You are on page 1of 11

MANAJEMEN - PENANGANAN KORBAN BENCANA TINDAKAN PADA PASIEN GAWAT-DARURAT Syaiful Saanin, SpBS. BSB Dinkes Propinsi Sumbar.

learning @ http://www.angelfire.com/nc/neurosurgery Kehalaman utama. Slides PENDAHULUAN Penilaian awal korban cedera kritis akibat cedera multipel merupakan tugas yang menantang, dan tiap menit bisa berarti hidup atau mati. Sistem Pelayanan Tanggap Darurat ditujukan untuk mencegah kematian dini (early) karena trauma yang bisa terjadi dalam beberapa menit hingga beberapa jam sejak cedera (kematian segera karena trauma, immediate, terjadi saat trauma. Perawatan kritis, intensif, ditujukan untuk menghambat kematian kemudian, late, karena trauma yang terjadi dalam beberapa hari hingga beberapa minggu setelah trauma). Kematian dini diakibatkan gagalnya oksigenasi adekuat pada organ vital (ventilasi tidak adekuat, gangguan oksigenisasi, gangguan sirkulasi, dan perfusi end-organ tidak memadai), cedera SSP masif (mengakibatkan ventilasi yang tidak adekuat dan / atau rusaknya pusat regulasi batang otak), atau keduanya. Cedera penyebab kematian dini mempunyai pola yang dapat diprediksi (mekanisme cedera, usia, sex, bentuk tubuh, atau kondisi lingkungan). Tujuan penilaian awal adalah untuk menstabilkan pasien, mengidentifikasi cedera / kelainan pengancam jiwa dan untuk memulai tindakan sesuai, serta untuk mengatur kecepatan dan efisiensi tindakan definitif atau transfer kefasilitas sesuai. Setiap bencana selalu menampilkan bahaya dan kesulitannya masing-masing. Yang akan dibicarakan berikut ini antara lain adalah petunjuk umum dalam mengelola korban bencana disamping untuk kegawatan sehari-hari. Mungkin diperlukan modifikasi oleh pemegang komando bila dianggap diperlukan perubahan. Bencana adalah setiap keadaan dimana jumlah pasien sakit atau cedera melebihi kemampuan sistem gawat darurat yang tersedia dalam memberikan perawatan adekuat secara cepat dalam usaha meminimalkan kecacadan atau kematian (korban massal), dengan terjadinya gangguan tatanan sosial, sarana, prasarana (Bencana kompleks bila disertai ancaman keamanan). Bencana mungkin disebabkan oleh ulah manusia atau alam. Keberhasilan pengelolaan bencana memerlukan perencanaan sistem pelayanan gawat darurat lokal, regional dan nasional, pemadam kebakaran / rescue, petugas hukum dan masyarakat. Kesiapan rumah sakit serta kesiapan pelayanan spesialistik harus disertakan dalam mempersiapkan perencanaan bencana. Secara nasional kegiatan penanggulangan gawat darurat sehari-hari maupun dalam bencana diatur dalam Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu (SPGDT S/B) yang harus diterapkan oleh semua fihak termasuk masyarakat awam, dibagi kedalam subsistem pra rumah sakit, rumah sakit dan antar rumah sakit. Proses pengelolaan bencana diatur dalam Sistem Komando Bencana. Kendali biasanya ditangan Bakornas-PB (Banas) / Satkorlak-PB / Satlak-PB, namun bisa juga pada penegak hukum seperti pada kasus kriminal / terorisme atau penyanderaan. Kelompok lain bisa membantu pemegang kendali. Jaringan transportasi dan komunikasi antar instansi harus sudah dimiliki untuk mendapatkan pengelolaan bencana yang berhasil.

Tingkat respons atas bencana. Akan menentukan petugas dan sarana apa yang diperlukan ditempat kejadian : Respons Tingkat I : Bencana terbatas yang dapat dikelola oleh petugas sistim gawat darurat dan penyelamat lokal tanpa memerlukan bantuan dari luar organisasi. Respons Tingkat II : Bencana yang melebihi atau sangat membebani petugas sistim gawat darurat dan penyelamat lokal hingga membutuhkan pendukung sejenis serta koordinasi antar instansi. Khas dengan banyaknya jumlah korban. Respons Tingkat III : Bencana yang melebihi kemampuan sumber sistim gawat darurat dan penyelamat baik lokal atau regional. Korban yang tersebar pada banyak lokasi sering terjadi. Diperlukan koordinasi luas antar instansi. TRIASE. Triase adalah proses khusus memilah pasien berdasar beratnya cedera atau penyakit (berdasarkan yang paling mungkin akan mengalami perburukan klinis segera) untuk menentukan prioritas perawatan gawat darurat medik serta prioritas transportasi (berdasarkan ketersediaan sarana untuk tindakan). Artinya memilih berdasar prioritas atau penyebab ancaman hidup. Tindakan ini berdasarkan prioritas ABCDE yang merupakan proses yang sinambung sepanjang pengelolaan gawat darurat medik. Proses triase inisial harus dilakukan oleh petugas pertama yang tiba / berada ditempat dan tindakan ini harus dinilai ulang terus menerus karena status triase pasien dapat berubah. Bila kondisi memburuk atau membaik, lakukan retriase. Triase harus mencatat tanda vital, perjalanan penyakit pra RS, mekanisme cedera, usia, dan keadaan yang diketahui atau diduga membawa maut. Temuan yang mengharuskan peningkatan pelayanan antaranya cedera multipel, usia ekstrim, cedera neurologis berat, tanda vital tidak stabil, dan kelainan jatung-paru yang diderita sebelumnya. Survei primer membantu menentukan kasus mana yang harus diutamakan dalam satu kelompok triase (misal pasien obstruksi jalan nafas dapat perhatian lebih dibanding amputasi traumatik yang stabil). Di UGD, disaat menilai pasien, saat bersamaan juga dilakukan tindakan diagnostik, hingga waktu yang diperlukan untuk menilai dan menstabilkan pasien berkurang. Di institusi kecil, pra RS, atau bencana, sumber daya dan tenaga tidak memadai hingga berpengaruh pada sistem triase. Tujuan triase berubah menjadi bagaimana memaksimalkan jumlah pasien yang bisa diselamatkan sesuai dengan kondisi. Proses ini berakibat pasien cedera serius harus diabaikan hingga pasien yang kurang kritis distabilkan. Triase dalam keterbatasan sumber daya sulit dilaksanakan dengan baik. Saat ini tidak ada standard nasional baku untuk triase. Metode triase yang dianjurkan bisa secara METTAG (Triage tagging system) atau sistim triase Penuntun Lapangan START (Simple Triage And Rapid Transportation). Terbatasnya tenaga dan sarana transportasi saat bencana mengakibatkan kombinasi keduanya lebih layak digunakan. Tag Triase Tag (label berwarna dengan form data pasien) yang dipakai oleh petugas triase untuk mengindentifikasi dan mencatat kondisi dan tindakan medik terhadap korban. Triase dan pengelompokan berdasar Tagging. Prioritas Nol (Hitam) : Pasien mati atau cedera fatal yang jelas dan tidak mungkin diresusitasi. Prioritas Pertama (Merah) : Pasien cedera berat yang memerlukan penilaian cepat serta tindakan medik dan transport segera untuk tetap hidup (misal : gagal nafas, cedera torako-abdominal,

cedera kepala atau maksilo-fasial berat, shok atau perdarahan berat, luka bakar berat). Prioritas Kedua (Kuning) : Pasien memerlukan bantuan, namun dengan cedera yang kurang berat dan dipastikan tidak akan mengalami ancaman jiwa dalam waktu dekat. Pasien mungkin mengalami cedera dalam jenis cakupan yang luas (misal : cedera abdomen tanpa shok, cedera dada tanpa gangguan respirasi, fraktura mayor tanpa shok, cedera kepala atau tulang belakang leher tidak berat, serta luka bakar ringan). Prioritas Ketiga (Hijau) : Pasien degan cedera minor yang tidak membutuhkan stabilisasi segera, memerlukan bantuan pertama sederhana namun memerlukan penilaian ulang berkala (cedera jaringan lunak, fraktura dan dislokasi ekstremitas, cedera maksilo-fasial tanpa gangguan jalan nafas, serta gawat darurat psikologis). Sebagian protokol yang kurang praktis membedakakan prioritas 0 sebagai Prioritas Keempat (Biru) yaitu kelompok korban dengan cedera atau penyaki kritis dan berpotensi fatal yang berarti tidak memerlukan tindakan dan transportasi, dan Prioritas Kelima (Putih)yaitu kelompok yang sudah pasti tewas. Bila pada Retriase ditemukan perubahan kelas, ganti tag / label yang sesuai dan pindahkan kekelompok sesuai. Triase Sistim METTAG. Pendekatan yang dianjurkan untuk memprioritasikan tindakan atas korban. Resusitasi ditempat. Triase Sistem Penuntun Lapangan START. Berupa penilaian pasien 60 detik dengan mengamati ventilasi, perfusi, dan status mental (RPM : R= status Respirasi ; P = status Perfusi ; M = status Mental) untuk memastikan kelompok korban (lazimnya juga dengan tagging) yang memerlukan transport segera atau tidak, atau yang tidak mungkin diselamatkan atau mati. Ini memungkinkan penolong secara cepat mengidentifikasikan korban yang dengan risiko besar akan kematian segera atau apakah tidak memerlukan transport segera. Resusitasi diambulans. Triase Sistem Kombinasi METTAG dan START. Sistim METTAG atau sistim tagging dengan kode warna yang sejenis bisa digunakan sebagai bagian dari Penuntun Lapangan START. Resusitasi di ambulans atau di Area Tindakan Utama sesuai keadaan. PENILAIAN DITEMPAT DAN PRIORITAS TRIASE Bila jumlah korban serta parahnya cedera tidak melebihi kemampuan pusat pelayanan, pasien dengan masalah mengancam jiwa dan cedera sistem berganda ditindak lebih dulu. Bila jumlah korban serta parahnya cedera melebihi kemampuan *) dst dibawah algoritma Algoritma Sistem START : Gangguan sosial Jumlah orang yang diungsikan, dipindahkan dan jumlah orang yang kehilangan rumah Rumah sementara, pertolongan, bantuan dan produksi ekonomi Psikologi, kontak sosial, kohesi dan moral masyarakat Dampak Skala dan Biaya pembersihan Konsekuensi lingkungan lingkungan tingkatan dampak dan perbaikan yang jelek, risiko (lahan peranian, kesehatan dan risiko hutan) bencana mendatang

4. Prosedur Penyusunan Peta Zona Bahaya dan Risiko Data yang diperlukan untuk penyusunan peta zona bahaya: 1) data pustaka data sekunder: untuk mengetahui karakteristik dan sejarah bencana masa lalu; 2) Analisis foto udara/citra penginderaan jauh, yang mencakup: (a) bentuklahan (morfogenesa , morfometri), (b) geologi (litologi, struktur, stratigrafi), (c) jenis bahaya (gempa bumi, tsunami, lahar, awan panas, banjir, longsoran, kekeringan dan kebakaran hutan), (d) penutup lahan/penggunaan lahan (kawasan permukiman beserta jumlah penduduknya, kawasan perdagangan, industri, lahan pertanian, perkebunan; hutan). 3) Hasil interpretasi tersebut menghasikan satuan lingkungan fisikal: geomorfologi, satuan geologi dan satuan penutup lahan/penggunaan lahan yang masing-masing diujudkan peta sementara. Peta sementara tersebut diuji di lapangan untuk peta tematik final. Tumpang susun peta tematik tersebut dan dikombinasikan data aspek sosial diperoleh peta bahaya dan peta risiko. Gambar 1 menunjukkan diagram penyusunan peta bahaya dan peta risiko.

5. Teknik Perhitungan Risiko Perhitungan risiko dalam modul ini menggunakan cara pengharkatan (scoring) dan pembobotan. Cara pengharkatan ini unsur yang diperhitungkan adalah nilai obyek bencana, obyek bencana, potensi bahaya, nilai bahaya/bencana relatif. Cara ini belum baku, dan perlu pengembangan. Unsur yang diperhitungkan masih terbatas dan belum mencakup seluruh elemen bahaya. Dalam perhitungan tingkat risiko perlu asumsi-asumsi, karena faktor yang mempengaruhi bahaya umumnya kompleks. Contoh perhitungan risiko adalah sebagai berikut. 6. Peta Zonasi Risiko Peta zonasi risiko dapat disusun dengan langkah seperti yang tercantum pada Gambar 1 atau menggunakan sistem sel. Makna penting dari peta zonasi risiko adalah: (1) merupakan hasil penilaian tingkat risiko; (2) merupakan kelanjutan dari peta kerawanan bahaya/bancana; (3) bermanfaat untuk mitigasi bencana, karena dalam peta tersebut tercantum tingkat kerawanan bahaya dan tingkat kerentanan obyek berisiko; (4) dapat dijadikan dasar perencanaan pengembangan wilayah, daerah yang dipilih adalah daerah yang tingkat risiko renda atau tanpa; (5) skala peta disesuaikan dengan luas daerah dan tingkat kerincian yang diharapkan.

1. Mitigasi bencana merupakan komponen siklus penanggulangan bencana yang sangat penting, karena tujuannya adalah untuk meminimalisir korban jiwa , kerugian harta benda dan kerusakan lingkungan. 2. Efektiftas mitigasi bencana tergantung pada jenis bencana, faktor penyebab bencana dan kelengkapan persyaratan yang diperlukan.

3. Mitigasi dapat dilakukan dengan dua cara : struktural dan non struktural; kedua cara tersebut penting tetapi yang lebih berdaya guna adalah yang non struktural, sedang yang struktural lebih bersifat temporal. 4. Peta zonasi tingkat risiko bahaya/bencana yang didasarkan pada tingkat kerawanan bahaya dan tingkat kerentanan obyek terkena bencana, dapat digunakan sebagai dasar untuk mitigasi bencana. 5. Kerentanan dan risiko dapat dijadikan kerangka dasar pengambilan keputusan untuk menentukan keuntungan dan kerugian dalam perencanaan dengan memperhitungkan risiko bencana dan tanpa perhitungan risiko bencana. 6. Informasi kerentanan dan risiko dapat digunakan untuk menambah kesadaran publik pada umumnya, sebagai masukan bagi warga masyarakat dalam hal pendidikan atau program penyadaran publik yang terkait dengan risiko bencana, khususnya dalam penurunan risiko atau mereduksi risiko.

DAFTAR PUSTAKA Carter, W.Nick., 1992. Disaster Management. A Disaster Managers Handbook. Manila: National Library of the Philippines CIP Data. DEPDAGRI, 2003. Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 131 Tahun 2003. Tentang Pedoman Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi di Daerah. Jakarta: Direktorat Perlindungan Masyarakat, Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsa. DKP,2004. Penyusunan Konsep Strategi Nasional Mitigasi Lingkungan di Wilayah Pesisir. Jakarta: Direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Bagian Proyek Pengembangan Pesisir dan Pantai. Panizza, Mario, 1996. Environmental Geomorphology. Amsterdam: Elsevier. Sutikno, 2004. Manajemen Kebencanaan di Indonesia. Bahan Pelatihan SIPBI. Yogyakarta: PSBA UGM. Sutikno 2005. Mitigasi Bencana di Jawa Timur. Makalah Seminar di Jurusan Geografi FMIPA Univeristas Negeri Malang. Verstappen, H.Th. 1983. Applied Geomorphology for Environmental Management. Amsterdam: Elsevier Verstappen, H.Th. 2004. Disaster Mitigation. Enschede: ITC.

Hitam = Deceased (Tewas) ; Merah = Immediate (Segera), Kuning = Delayed (Tunda) ; Hijau = Minor. Semua korban diluar algoritma diatas : Kuning. Disini tidak ada resusitasi dan C-spine control. Satu pasien maks. 60 detik. Segera pindah kepasien berikut setelah tagging. Pada sistem ini tag tidak diisi, kecuali jam dan tanggal. Diisi petugas berikutnya. *) tenaga dan fasilitas pusat pelayanan, pasien dengan peluang hidup terbesar dengan paling sedikit manghabiskan waktu, peralatan dan persediaan, ditindak lebih dulu. Ketua Tim Medik mengatur Sub Tim Triase dari Tim Tanggap Pertama (First Responders) untuk secara cepat menilai dan men tag korban. Setelah pemilahan selesai, Tim Tanggap Pertama melakukan tindakan sesuai kode pada tag. (Umumnya tim tidak mempunyai tugas hanya sebagai petugas triase, namun juga melakukan tindakan pasca triase setelah triase selesai). 1. Pertahankan keberadaan darah universal dan cairan. 2. Tim tanggap pertama harus menilai lingkungan atas kemungkinan bahaya, keamanan dan jumlah korban dan kebutuhan untuk menentukan tingkat respons yang memadai (Rapid Health Assessment / RHA).

3. Beritahukan koordinator propinsi (Kadinkes Propinsi) untuk mengumumkan bencana serta mengirim kebutuhan dan dukungan antar instansi sesuai yang ditentukan oleh beratnya kejadian (dari kesimpulan RHA). 4. Kenali dan tunjuk pada posisi berikut bila petugas yang mampu tersedia : - Petugas Komando Bencana. - Petugas Komunikasi. - Petugas Ekstrikasi/Bahaya. - Petugas Triase Primer. - Petugas Triase Sekunder. - Petugas Perawatan. - Petugas Angkut atau Transportasi. 5. Kenali dan tunjuk area sektor bencana : - Sektor Komando / Komunikasi Bencana. - Sektor Pendukung (Kebutuhan dan Tenaga). - Sektor Bencana. - Sektor Ekstrikasi / Bahaya. - Sektor Triase. - Sektor Tindakan Primer. - Sektor Tindakan Sekunder. - Sektor Transportasi. 6. Rencana Pasca Kejadian Bencana : 7. Kritik Pasca Musibah. 8. CISD (Critical Insident Stress Debriefing). Sektor Tindakan Sekunder bisa berupa Sektor Tindakan Utama dimana korban kelompok merah dan kuning yang menunggu transport dikumpulkan untuk lebih mengefisienkan persedian dan tenaga medis dalam resusitasi-stabilisasi. TINDAKAN DAN EVAKUASI MEDIK Tim Medik dari Tim Tanggap Pertama (bisa saja petugas yang selesai melakukan triase) mulai melakukan stabilisasi dan tindakan bagi korban berdasar prioritas triase, dan kemudian mengevakuasi mereka ke Area Tindakan Utama sesuai kode prioritas. Kode merah dipindahkan ke Area Tindakan Utama terlebih dahulu. TRANSPORTASI KORBAN Koodinator Transportasi mengatur kedatangan dan keberangkatan serta transportasi yang sesuai. Koordinator Transportasi bekerjasama dengan Koordinator Medik menentukan rumah sakit tujuan, agar pasien trauma serius sampai kerumah sakit yang sesuai dalam periode emas hingga tindakan definitif dilaksanakan pada saatnya. Ingat untuk tidak membebani RS rujukan melebihi kemampuannya. Cegah pasien yang kurang serius dikirim ke RS utama. (Jangan pindahkan bencana ke RS). PERIMETER Perimeter Terluar. Mengontrol kegiatan keluar masuk lokasi. Petugas keamanan mengatur perimeter sekitar lokasi untuk mencegah masyarakat dan kendaraan masuk kedaerah berbahaya. Perimeter seluas

mungkin untuk mencegah yang tidak berkepentingan masuk dan memudahkan kendaraan gawat darurat masuk dan keluar. Jalur untuk Transport Korban Petugas keamanan bersama petugas medis menetapkan perimeter sekitar lokasi bencana yang disebut Zona Panas. Ditentukan jalur yang dinyatakan aman untuk memindahkan korban ke perimeter kedua atau zona dimana berada Area Tindakan Utama. Tidak seorangpun diizinkan melewati perimeter Zona Panas untuk mencegah salah menempatkan atau memindahkan pasien secara tidak aman tanpa izin. Faktor lain yang mempengaruhi kemantapan Zona Panas antaranya lontaran material, api, jalur listrik, bangunan atau kendaraan yang tidak stabil atau berbahaya. Keamanan. Mengamankan penolong dan korban. Petugas keamanan mengatur semua kegiatan dalam keadaan aman bagi petugas rescue, pemadaman api, evakuasi, bahan berbahaya dll. Bila petugas keamanan melihat keadaan berpotensi bahaya yang bisa membunuh penolong atau korban, ia punya wewenang menghentikan atau merubah operasi untuk mecegah risiko lebih lanjut. Semua anggota Tim Tanggap Pertama dapat bekerja bersama secara cepat dan efektif dibawah satu sistem komando yang digunakan dan dimengerti, untuk menyelamatkan hidup, untuk meminimalkan risiko cedera serta kerusakan. PENILAIAN AWAL. Penilaian awal mencakup protokol persiapan, triase, survei primer, resusitasi-stabilisasi, survei sekunder dan tindakan definitif atau transfer ke RS sesuai. Diagnostik absolut tidak dibutuhkan untuk menindak keadaan klinis kritis yang diketakui pada awal proses. Bila tenaga terbatas jangan lakukan urutan langkah-langkah survei primer. Kondisi pengancam jiwa diutamakan.

Survei Primer. Langkah-langkahnya sebagai ABCDE (airway and C-spine control, breathing, circulation and hemorrhage control, disability, exposure/environment). Jalan nafas merupakan prioritas pertama. Pastikan udara menuju paru-paru tidak terhambat. Temuan kritis seperti obstruksi karena cedera langsung, edema, benda asing dan akibat penurunan kesadaran. Tindakan bisa hanya membersihkan jalan nafas hingga intubasi atau krikotiroidotomi atau trakheostomi. Nilai pernafasan atas kemampuan pasien akan ventilasi dan oksigenasi. Temuan kritis bisa tiadanya ventilasi spontan, tiadanya atau asimetriknya bunyi nafas, dispnea, perkusi dada yang hipperresonans atau pekak, dan tampaknya instabilitas dinding dada atau adanya defek yang mengganggu pernafasan. Tindakan bisa mulai pemberian oksigen hingga pemasangan torakostomi pipa dan ventilasi mekanik. Nilai sirkulasi dengan mencari hipovolemia, tamponade kardiak, sumber perdarahan eksternal. Lihat vena leher apakah terbendung atau kolaps, apakah bunyi jantung terdengar, pastikan sumber perdarahan eksternal sudah diatasi. Tindakan pertama atas hipovolemia adalah memberikan RL secara cepat melalui 2 kateter IV besar secara perifer di ekstremitas atas. Kontrol perdarahan eksternal dengan penekanan langsung atau pembedahan, dan tindakan bedah lain sesuai indikasi.

Tetapkan status mental pasien dengan GCS dan lakukan pemeriksaan motorik. Tentukan adakah cedera kepala atau kord spinal serius. Periksa ukuran pupil, reaksi terhadap cahaya, kesimetrisannya. Cedera spinal bisa diperiksa dengan mengamati gerak ekstremitas spontan dan usaha bernafas spontan. Pupil yang tidak simetris dengan refleks cahaya terganggu atau hilang serta adanya hemiparesis memerlukan tindakan atas herniasi otak dan hipertensi intrakranial yang memerlukan konsultasi bedah saraf segera. Tidak adanya gangguan kesadaran, adanya paraplegia atau kuadriplegia menunjukkan cedera kord spinal hingga memerlukan kewaspadaan spinal dan pemberian metilprednisolon bila masih 8 jam sejak cedera (kontroversial). Bila usaha inspirasi terganggu atau diduga lesi tinggi kord leher, lakukan intubasi endotrakheal. Tahap akhir survei primer adalah eksposur pasien dan mengontrol lingkungan segera. Buka seluruh pakaian untuk pemeriksaan lengkap. Pada saat yang sama mulai tindakan pencegahan hipotermia yang iatrogenik biasa terjadi diruang ber AC, dengan memberikan infus hangat, selimut, lampu pemanas, bila perlu selimut dengan pemanas. Prosedur lain adalah tindakan monitoring dan diagnostik yang dilakukan bersama survei primer. Pasang lead ECG dan monitor ventilator, segera pasang oksimeter denyut. Monitor memberi data penuntun resusitasi. Setelah jalan nafas aman, pasang pipa nasogastrik untuk dekompresi lambung serta mengurangi kemungkinan aspirasi cairan lambung. Katater Foley kontraindikasi bila urethra cedera (darah pada meatus, ekimosis skrotum / labia major, prostat terdorong keatas). Lakukan urethrogram untuk menyingkirkan cedera urethral sebelum kateterisasi. RESUSITASI DAN PENILAIAN KOMPREHENSIF Fase Resusitasi. Sepanjang survei primer, saat menegakkan diagnosis dan melakukan intervensi, lanjutkan sampai kondisi pasien stabil, tindakan diagnosis sudah lengkap, dan prosedur resusitatif serta tindakan bedah sudah selesai. Usaha ini termasuk kedalamnya monitoring tanda vital, merawat jalan nafas serta bantuan pernafasan dan oksigenasi bila perlu, serta memberikan resusitasi cairan atau produk darah. Pasien dengan cedera multipel perlu beberapa liter kristaloid dalam 24 jam untuk mempertahankan volume intravaskuler, perfusi jaringan dan organ vital, serta keluaran urin. Berikan darah bila hipovolemia tidak terkontrol oleh cairan. Perdarahan yang tidak terkontrol dengan penekanan dan pemberian produk darah, operasi. Titik capai resusitasi adalah tanda vital normal, tidak ada lagi kehilangan darah, keluaran urin normal 0,5-1 cc/kg/jam, dan tidak ada bukti disfungsi end-organ. Parameter (kadar laktat darah, defisit basa pada gas darah arteri) bisa membantu. Survei Sekunder. Formalnya dimulai setelah melengkapi survei primer dan setelah memulai fase resusitasi. Pada saat ini kenali semua cedera dengan memeriksa dari kepala hingga jari kaki. Nilai lagi tanda vital, lakukan survei primer ulangan secara cepat untuk menilai respons atas resusitasi dan untuk mengetahui perburukan. Selanjutnya cari riwayat, termasuk laporan petugas pra RS, keluarga, atau korban lain. Bila pasien sadar, kumpulkan data penting termasuk masalah medis sebelumnya, alergi dan medikasi sebelumnya, status immunisasi tetanus, saat makan terakhir, kejadian sekitar kecelakaan. Data ini membantu mengarahkan survei sekunder mengetahui mekanisme cedera,

kemungkinan luka bakar atau cedera karena suhu dingin (cold injury), dan kondisi fisiologis pasien secara umum. Pemeriksaan Fisik Berurutan. Diktum jari atau pipa dalam setiap lubang mengarahkan pemeriksaan. Periksa setiap bagian tubuh atas adanya cedera, instabilitas tulang, dan nyeri pada palpasi. Periksa lengkap dari kepala hingga jari kaki termasuk status neurologisnya. PEMERIKSAAN PENCITRAAN DAN LABORATORIUM. Pemeriksaan radiologis memberikan data diagnostik penting yang menuntun penilaian awal. Saat serta urutan pemeriksaan adalah penting namun tidak boleh mengganggu survei primer dan resusitasi. Pastikan hemodinamik cukup stabil saat membawa pasien keruang radiologi. Pemeriksaan Laboratorium saat penilaian awal. Paling penting adalah jenis dan x-match darah yang harus selesai dalam 20 menit. Gas darah arterial juga penting namun kegunaannya dalam pemeriksaan serial digantikan oleh oksimeter denyut. Pemeriksaan Hb dan Ht berguna saat kedatangan, dengan pengertian bahwa dalam perdarahan akut, turunnya Ht mungkin tidak tampak hingga mobilisasi otogen cairan ekstravaskuler atau pemberian cairan resusitasi IV dimulai. Urinalisis dipstick untuk menyingkirkan hematuria tersembunyi. Skrining urin untuk penyalahguna obat dan alkohol, serta glukosa, untuk mengetahui penyebab penurunan kesadaran yang dapat diperbaiki. Pada kebanyakan trauma, elektrolit serum, parameter koagulasi, hitung jenis darah, dan pemeriksaan laboratorium umum lainnya kurang berguna saat 1-2 jam pertama dibanding setelah stabilisasi dan resusitasi. PENUTUP. Indonesia adalah super market bencana. Semua petugas medis bisa terlibat dalam pengelolaan bencana. Semua petugas wajib melaksanakan Sistim Komando Bencana dan berpegang pada SPGDT-S/B pada semua keadaan gawat darurat medis baik dalam keadaan bencana atau seharihari. Semua petugas harus waspada dan memiliki pengetahuan sempurna dalam peran khusus dan pertanggung-jawabannya dalam usaha penyelamatan pasien. Karena banyak keadaan bencana yang kompleks, dianjurkan bahwa semua petugas harus berperan-serta dan menerima pelatihan tambahan dalam pengelolaan bencana agar lebih terampil dan mampu saat bencana sebenarnya. RUJUKAN. 1. Seri PPGD. Penanggulangan Penderita Gawat Darurat / General Emergency Life Support (GELS). Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu (SPGDT). Cetakan Ketiga. Direktorat Jenderal Bina Pelayanan Medik Departemen Kesehatan R.I. 2006. 2. Penanggulangan Kegawatdaruratan sehari-hari & bencana. Departemen Kesehatan R.I. Jakarta : Departemen Kesehatan, 2006. 3. Tanggap Darurat Bencana (Safe Community). Departemen Kesehatan R.I. Jakarta : Departemen Kesehatan, 2006. 4. Prosedur Tetap Pelayanan Kesehatan Penanggulangan Bencana dan Penaanganan Pengungsi. Departemen Kesehatan R.I. Pusat Penanggulangan Masalah Kesehatan. Tahun 2002. 5. Advanced Trauma Life Support. Course for Physicians 6th. edition. American College of

Surgeons, 55 East Erie Street, Chicago, IL 60611-2797. 6. Multiple Casualty Insidents. Available at http://www.vgernet.net/bkand/state/multiple.html.

You might also like