You are on page 1of 11

POSISI HADITS DALAM PEMBENTUKAN HUKUM ISLAM

PENDAHULUAN

Hadits adalah sumber hukum Islam kedua setelah al-Quran, berupa perkataan (qauliyah),
perbuatan (filiyah), dan diam (taqririyah atau sukutiyah) Rasulullah yang tercatat (sekarang)
dalam kitab-kitab hadits, baik sebagai ketetapan hukum maupun perintah-perintah, yang menjadi
rujukan ahli fiqih dalam merumuskan hukum. Demikian juga menjadi rujukan bagi dai dan
pendidik. Dari hadits tersebut mereka menggali makna-makna inspiratif, nilai-nilai yang
mengarahkan, kebijaksanaan yang tinggi, serta bentuk-bentuk penyampaian yang mendorong
orang melakukan kebaikan dan menjauhi keburukan.
Seluruh umat Islam telah menerima paham, bahwa hadits Rasulullah Saw. Itu sebagai pedoman
hidup yang utama, setelah al-Quran. Tingkah laku manusia yang tidak ditegaskan ketentuan
hukumnya, tidak diterangkan cara mengamalkannya, tidak diperincikan menurut petunjuk dalil
yang masih utuh, tidak dikhususkan menurut petunjuk ayat yang masih mutlak dalam al-Quran,
hendaklah dicarikan penyelesaiannya dalam hadits. Hadits berfungsi sebagai penjelas terhadap
hukum-hukum yang terdapat dalam al-Quran, sebagaimana yang telah disebutkan diatas.
Al-Quran dan hadits merupakan dua sumber hukum hukum Islam yang tetap, yang orang Islam
tidak mungkin memahami hukum Islam secara mendalam dan lengkap dengan tanpa kembali
kepada kedua sumber Islam tersebut. Seorang mujtahid dan seorang alimpun tidak diperbolehkan
hanya mencukupkan diri dengan salah satu dari keduanya.
Maka dari itu, penulis merasa penting untuk menguraikan tentang bagaimana posisi hadits dalam
pembentukan hukum Islam.


PEMBAHASAN


A. Pengertian Hadits

Hadits menurut bahasa berarti al-Jadiid, yaitu sesuatu yang baru, menunjukkan sesuatu yang
dekat atau waktu yang singkat. Lawan kata al-Hadits adalah al-Qadiim, artinya sesuatu yang
lama.
Hadits juga berarti khabar (berita), yaitu sesuatu yang diberitakan, diperbincangkan, dan
dipindahkan dari seseorang kepada orang lain.
Disamping pengertian tersebut, M.M. Azami mendefinisikan bahwa kata hadits, secara etimologi
(lughawiyah), berarti komunikasi, kisah, percakapan religius atau sekuler, historis atau
kontemporer.
Sedangkan secara terminologi, para ulama baik muhaditsin, fuqaha, ataupun ulama ushul,
merumuskan pengertian hadits secara berbeda-beda. Perbedaan pandangan tersebut lebih
disebabkan oleh terbatas dan luasnya objek tinjauan masing-masing, yang tentu saja
mengandung kecenderungan pada aliran ilmu yang di dalaminya.
Ulama hadits mendefinisikan hadits adalah segala sesuatu yang diberitakan dari Nabi Saw, baik
berupa sabda, perbuatan, taqrir, sifat-sifat maupun hal ihwal Nabi.
Menurut istilah ahli ushul fiqih, pengertian hadits adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada
Nabi Saw, selain al-Quran al-karim, baik berupa perkataan, perbuatan, maupun taqrir Nabi yang
bersangkut-paut dengan hukum syara.
Adapun menurut istilah para fuqaha, hadits adalah segala sesuatu yang ditetapkan Nabi Saw
yang tidak bersangkut-paut dengan masalah-masalah fardlu atau wajib.
Perbedaan pandangan tersebut kemudian melahirkan dua macam pengertian hadits, yakni
pengertian terbatas dan pengertian luas. Pengertian hadits secara terbatas, sebagaimana
dikemukakan oleh Jumhur al-Muhaditsin, adalah sesuatu yang dinisbahkan kepada Nabi Saw,
baik berupa perkataan, perbuatan, pernyataan (taqrir) dan sebagainya.
Adapun pengertian hadits secara luas, sebagaimana dikatakan Muhammad Mahfudz at-Tirmidzi,
adalah Sesungguhnya hadits bukan hanya yang dimarfukan kepada Nabi Muhammad Saw,
melainkan dapat pula disebutkan pada yang mauquf (dinisbahkan pada perkataan dan sebagainya
dari sahabat) dan maqthu (dinisbahkan pada perkataan dan sebagainya dari tabiin).
Kebanyakan para muhadditsin, baik yang termasuk aliran modern maupun yang termasuk aliran
kuno (salaf), berpendapat bahwa istilah hadits, khabar dan sunnah muradif (sinonim), walaupun
di sana-sini ada Ulama yang membedakan, namun perbedaan itu tidak prinsipil.
Jadi, pengertian hadits berdasarkan uraian di atas, penulis sepakat dengan pengertian yang
disampaikan oleh Ulama ahli ushul, sedangkan tentang istilah hadits penulis sepakat dengan
mayoritas muhadditsin, yang menyebutkan antara hadits, khabar dan sunnah adalah sinonim
(persamaan kata).

B. Hadits sebagai sumber hukum Islam

Hukum islam adalah firman syari yang berhubungan dengan perbuatan orang mukallaf, yang
mengandung tuntutan, membolehkan sesuatu atau menjadikan sesuatu sebagai syarat adanya
yang lain.
Pengertian hukum Islam menurut Ushul fiqih ialah firman (nash) dari pembuat syari baik firman
Allah maupun hadits Nabi Saw.
Hukum Islam meliputi:
1. Hukum taklifi
Adalah hukum-hukum yang mengandung tuntutan yang berupa perintah, larangan atau keizinan,
yakni:
a. Ijab (wajib)
b. Nadb (anjuran)
c. Tahrim (larangan)
d. Karahah
e. Ibahah (kebolehan)
2. Hukum Wadhi
Ialah hukum yang dijadikan sebab atau syarat atau penghalang terhadap pekerjaan atau hukum-
hukum yang dijadikan sebagai hasil dari perbuatan-perbuatan itu, seperti sah, batal, rukhsah dan
azimah.
Dasar Hukum Islam dalam arti pegangan, sumber atau mashdar perumusan perundang-undangan
Islam adalah al-Quran, hadits dan Ijtihad.
al-Quran sebagai pokok hukum merupakan dasar pertama dan hadits sebagai dasar kedua,
dengan kata lain ada rutbah atau derajat, al-Quran lebih tinggi rutbah derajatnya dari hadits.
1. Dalil kehujjahannya Hadits
Banyak ayat al-Quran dan hadits yang memberikan pengertian bahwa hadits itu merupakan
sumber hukum Islam selain al-Quran yang wajib diikuti, baik dalam bentuk perintah maupun
larangannya. Diantaranya ialah:
a. Dalil al-Quran
( #-!v u#-?)^u#( 4 (o--Putu#( t+| tkt93'N| uBt- (o'v
#-9+uA 'u#?o93'N uBt-! 4!
Z #-9.\e)o-> ve #-!v )e|
Artinya: Apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya
bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras
hukumannya. (Q.S. al-Hasyr: 7)

.c #-9.3o~e_t 'te= e #-!v (o-e| ?ouu9vu|#( (o-e| ( u#-9+u
#-!v &e\u#( \~|
Artinya: Katakanlah: Ta'atilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, Maka Sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang kafir. (Q.S. al-Imran: 32)


4 #-! /e-e._9 9e:o-t )ee +uA~ Be &|=(Zu- uBt-!
Artinya: Dan kami tidak mengutus seseorang Rasul melainkan untuk ditaati dengan seizin
Allah....(Q.S. an-Nisa: 64)

Bentuk-bentuk ayat seperti ini menunjukkan betapa pentingnya kedudukan penetapan kewajiban
taat terhadap semua yang disampaikan oleh Rasul Saw. Dan dari sinilah sebetulnya dapat
dinyatakan bahwa ungkapan wajib taat kepada Rasul Saw dan larangan mendurhakainya,
merupakan suatu kesepakatan yang tidak diperselisihkan oleh umat Islam.

b. Dalil Hadits
Artinya: Aku tinggalkan dua pusaka untukmu sekalian, yang kalian tidak akan tersesat selagi
kamu berpegang teguh pada keduanya, yaitu berupa kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya. (H.R.
Malik)

Hadits diatas menunjukkan kepada kita bahwa berpegang teguh kepada hadits/ menjadikan
hadits sebagai pegangan dan pedoman hidup itu adalah wajib, sebagaimana wajibnya berpegang
teguh kepada al-Quran.

c. Kesepakatan Ulama (Ijma)

Umat Islam telah sepakat menjadikan hadits sebagai salah satu dasar hukum Islam, karena sesuai
dengan yang dikehendaki oleh Allah. Penerimaan mereka terhadap hadits sama seperti
penerimaan mereka terhadap al-Quran, karena keduanya sama-sama dijadikan sebagai sumber
hukum Islam.
Kesepakatan umat Muslimin dalam mempercayai, menerima dan mengamalkan segala ketentuan
yang terkandung di dalam hadits ternyata sejak Rasulullah Saw masih hidup. Sepeninggal beliau,
semenjak masa Khulafa al-Rasyidin hingga masa-masa selanjutnya, tidak ada yang
mengingkarinya. Banyak diantara mereka yang tidak hanya memahami dan mengamalkan isi
kandungannya, akan tetapi bahkan mereka menghafal, memelihara dan menyebarluaskan kepada
generasi-generasi selanjutnya.
Contoh peristiwa yang menunjukkan adanya kesepakatan menggunakan hadits sebagai sumber
hukum Islam adalah:
Diceritakan dari Said bin Musayyab bahwa Usman bin Affan berkata : saya duduk
sebagaimana duduknya Rasulullah Saw, saya makan sebagaimana makannya Rasulullah dan
saya shalat sebagaimana shalatnya Rasul.

d. Sesuai dengan petunjuk akal atau berdasarkan logika.

Bahwa al-Quran sebagai wahyu dari sang pencipta, sedang hadits berasal dari hamba dan
utusan-Nya, maka sudah selayaknya bahwa yang berasal dari sang Pencipta itu lebih tinggi
kedudukannya dari pada yang berasal dari hamba / utusan-Nya.

2. Pembagian Hadits
Dilihat dari segi jumlah rawinya dalam kajian Ushul Fiqih dibagi kepada dua macam, yaitu:=
a. Hadits Mutawatir
Ialah hadits yang diriwayatkan oleh sekelompok orang yang tidak terhitung jumlahnya dan
mereka tidak mungkin sepakat bohong, dengan perawi yang sama banyaknya hingga sanadnya
bersambung sampai kepada Nabi Saw.
Contohnya sunnah filiyah (perbuatan) tentang rincian cara melakukan shalat, rincian haji, dan
lain-lain yang merupakan syiar agama Islam yang secara berturut-turut diwarisi dari satu
generasi ke generasi berikutnya sehingga sampai kepada kita. Hadits mutawatir terbagi dua
macam
1) Hadits mutawatir lafdzy
Ialah hadits yang diriwayatkan oleh orang banyak yang bersamaan dengan arti dan lafalnya.
Contoh:
Artinya: Barangsiapa berbohong atas diriku dengan sengaja (memalsukan hadits), maka
bersiap-siaplah bertempat tinggal di neraka.

Menurut Imam zakaria Muhyidin ibn Syaraf al-Nawawi (w. 676 H), ahli hadits dan ahli fiqih
dari kalangan syafiiyah, hadits tersebut diriwayatkan oleh tidak kurang dari dua ratus orang
sahabat.

2) Hadits mutawatir manawy
Ialah beberapa hadits yang beragam redaksinya tetapi maknanya sama.
Misalnya hadits yang menjelaskan bahwa Rasulullah mengangkat tangannya dalam setiap
berdoa. Hadits tersebut diriwayatkan dalam berbagai peristiwa dan dalam berbagai redaksi antara
lain diriwayatkan oleh Tirmidzi.

b. Hadits Ahad
Ialah hadits yang diriwayatkan oleh seorang, dua orang atau lebih sahabat, tetapi jumlahnya tidak
sama dengan yang meriwayatkan hadits mutawatir. Sesudah generasi sahabat tersebut, hadits itu
diriwayatkan oleh seorang, dua orang atau lebih generasi tabiin dan seterusnya sama oleh
generasi tabi tabiin. Hadits ahad adalah yang terbanyak jumlahnya dalam kitab-kitab hadits.
Hadits Ahad terbagi kepada tiga macam, yaitu:
1) Hadits masyhur
Yaitu hadits yang pada masa sahabat diriwayatkan oleh tiga orang perawi, tetapi kemudian pada
masa tabiin dan seterusnya hadits itu menjadi hadits mutawatir dilihat dari segi jumlah
perawinya.
Contoh: hadits yang diriwayatkan Umar
Artinya: Sesungguhnya sahnya suatu perbuatan amal tergantung pada niat, dan bagi setiap
orang apa yang menjadi niatnya.
2) Hadits Aziz
Yaitu yang pada satu periode diriwayatkan oleh dua orang meskipun pada periode-periode yang
lain diriwayatkan oleh banyak orang.
Contoh:
Artinya: Menuntut ilmu itu adalah merupakan kewajiban bagi tiap-tiap orang Islam baik laki-
laki atau perempuan.
3) Hadits Gharib
Yaitu hadits yang diriwayatkan orang perorangan pada setiap periode sampai hadits itu
dibukukan.
Contoh:
Artinya; Belum dianggap sempurna iman seseorang diantara kamu sehingga aku lebih disukai
olehnya daripada orang tuanya, anaknya, dan seluruh manusia.


Dari kedua pembagian hadits tersebut, para Ulama ushul fiqih sepakat bahwa hadits Mutawatir
adalah sah dijadikan sumber hukum, namun mereka berbeda pendapat tentang keabsahan hadits
Ahad sebagai sumber hukum.

= Dilihat dari segi kualitas atau integritas perawinya, dibagi menjadi tiga macam:

a. Hadits Sahih
Adalah hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang adil yaitu orang yang senantiasa berkata
benar dan menjauhi perbuatan terlarang, mempunyai ketelitian yang sempurna, sanad (mata
rantai yang menghubungkannya) bersambung sampai kepada Nabi Muhammad, tidak
mempunyai cacat dan tidak pula berbeda bahkan bertentangan dengan periwayatan orang-orang
yang terpercaya.

b. Hadits Hasan
Ialah hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang adil (dapat dipercaya), tetapi kurang
ketelitiannya, sanadnya bersambung sampai kepada Nabi Muhammad, tidak mempunyai cacat
dan tidak pula berbeda atau bertentangan dengan periwayatan yang disampaikan oleh orang yang
terpercaya.

c. Hadits Dhaif
Adalah yang tidak memenuhi syarat yang dipunyai oleh hadits sahih dan hadits hasan. Hadits
dhaif banyak macamnya, yang terlemah adalah hadits maudhu.

Jadi, Hadits yang mempunyai martabat tertinggi dalam kedudukannya sebagai sumber atau dalil
hukum adalah hadits yang qathi dari segi wurud atau sanadnya, yaitu kebenaran materinya
datang dari Nabi dan qathi dari segi dilalah atau penunjukannya terhadap hukum. Namun
jumlah hadits yang qathi ini sangat terbatas. Adapun yang banyak jumlahnya adalah hadits
dhanni dari segi materinya atau dari segi dilalah (penunjukkan)nya atau dari segi keduanya.
Menurut Abdul Karim Zaidan dan Abdul Khalaf hadits yang digolongkan kepada qathi al-
Wurud ini adalah mutawatir. Sebab hadits-hadits mutawatir ini tidak diragukan kebenaran bahwa
pasti datang dari Nabi Saw. Sementara itu hadits mashur dan ahad yang digolongkan kepada
dzanni al-Wurud.

3. Apakah hadits sebagai sumber yang berdiri sendiri?
Jawaban yang memadai atas pertanyaan apakah hadits sekedar pelengkap bagi al-Quran ataukah
sumber yang berdiri sendiri menuntut kejelasan tentang hubungan hadits dengan al-Quran
dalam tiga kapasitas berikut:
a. Hadits dapat berupa ketentuan-ketentuan yang hanya mengkonfirmasikan dan
mengulangi pernyataan al-Quran, dimana ketentuan-ketentuan tersebut bersumber dari
al-Quran, dan hadits semata memperkuatnya. Seperti semua hadits mengenai lima rukun
Islam dan masalah-masalah lain seperti hak-hak orang tua, persoalan hak milik orang lain
dan hadits-hadits yang mengatur ketentuan tentang pembunuhan, pencurian dan
kesaksian palsu, dan sebagainya, pada dasarnya menegaskan kembali prinsip-prinsip al-
Quran mengenai masalah-masalah ini.
Contohnya, hadits yang menyatakan bahwa tidak sah mengambil harta seorang Muslim
tanpa izinnya.
Hadits disini sekedar mengkonfirmasikan al-Quran dalam surat an-Nisa ayat 29 yang
memerintahkan umat Islam untuk tidak sekali-kali memakan harta orang lain dengan
jalan perniagaan yang berlaku suka sama suka diantara kamu. Sumber dari ketentuan ini
adalah al-Qauran, dan karena itu, hadits tadi semata menegaskan kembali al-Quran,
tidak ada alasan untuk mengatakan bahwa ia (hadits) merupakan otoritas yang berdiri
sendiri.
b. Hadits dapat berupa penjelasan atau klarifikasi bagi al-Quran, ia bisa menjelaskan
nash al-Quran yang mujmal, mengkualifikasikan pernyataan-pernyataannya yang mutlaq
atau menspesifiakasikan term-term yang amm. Inilah sebenarnya peran yang dimainkan
hadits dalam kaitan dengan al-Quran, ia menjelaskannya.
Misalnya, melalui hadits jenis ini istilah-istilah dalam al-Quran seperti salat, zakat, haji,
riba dan sebagainya memperoleh makna yuridis (syari)nya. Yang mana dalam kaitan
dengan transaksi jual-beli, al-Quran hanya menyatakan bahwa jual-beli adalah halal dan
sebaliknya riba adalah haram. Prinsip umum ini belakangan dijelaskan oleh hadits yang
menguraikan ketentuan-ketentuan rinci mengenai jual-beli, termasuk syarat-syarat,
macam-macam dan jenis-jenis jual-beli yang terhitung riba.
c. Hadits dapat berupa ketentuan-ketentuan yang tidak disinggung oleh al-Quran, dimana
ketentuan-ketentuan tersebut bersumber pada hadits itu sendiri. Variasi hadits atau
sunnah ini, yang disebut sunnah al-muassisah, atau sunnah pembentuk tidak
mengkonfirmasikan ataupun menyangkal al-Quran, dan isi-isinya tidak bisa diruntut
kepada kitab suci. Hanya variasi hadits inilah yang tidak termasuk inti perdebatan apakah
hadits merupakan sumber hukum yang berdiri sendiri atau tidak.
Misalnya, larangan poligami dengan bibi pihak ibu atau pihak ayah dari istri (sering disebut
sebagai hubungan yang haram), bagian nenek dalam warisan, hukuman rajam, yakni hukuman
mati dengan dilempari batu bagi pezina muslim yang telah kawin, semua bersumber dari
ketentuan hadits, karena al-Quran sendiri tidak menyinggung masalah-masalah ini.
Ada beberapa ketidaksepakatan di kalangan fuqaha apakah hadits merupakan sumber yang
berdiri sendiri? Beberapa ulama abad-abad belakangan (al-mutakh-khirun), termasuk al-Syatibi
dan al-Syaukani, berpendapat bahwa hadits adalah sumber yang berdiri sendiri. Misalnya, al-
Quran pada lebih dari satu tempat memerintahkan orang-orang yang beriman untuk mentaati
Allah dan Rasul-Nya (an-Nisa ayat 58 dan 80, al-Maidah ayat 92). Kenyatan bahwa ketaatan
kepada Nabi secara khusus diperintahkan sesudah ketaatan kepada Allah memperkuat
kesimpulan bahwa taat kepada Nabi berarti taat kepadanya kapan saja ketika dia menyuruh atau
melarang sesuatu yang tidak disinggung-singgung oleh al-Quran. Inilah bukti terhadap pendapat
yang disampaikan oleh ulama al-mutakh-khirun termasuk syatibi dan al-Syaukani bahwa hadits
itu independent.
Misalnya hadits yang meriwayatkan bahwa sebagian anak kecil itu di siksa pada hari kiamat, hal
itu disampaikan oleh kaum Azariqah dari golongan khawarij mengenai anak-anaknya orang
musyrik, seperti hadits yang meriwayatkan bahwa Nabi ditanya tentang masa depan anak-anak
yang meninggal, Nabi bersabda: Allah itu lebih mengetahui apa yang mereka lakukan. hadits
tersebut tertolak, karena bertentangan dengan al-Quran dan sunnah.
Sedangkan dalil al-Quran yang bertentangan dengan hadits yang bertolak tersebut adalah
misalnya surat Ghofr ayat 17 yaitu:

Jadi, syarat hadits yang diriwayatkan itu maknanya tidak bertentangan dengan dalil yang lebih
kuat baik dari al-Quran maupun hadits yang mutawatir.

C. Hadits yang dapat dijadikan rujukan dalam penetapan Hukum
Umat Islam telah mengakui bahwa hadits Nabi Saw. Itu dipakai sebagai pedoman hidup yang
utama setelah al-Quran. Ajaran-ajaran Islam yang tidak ditegaskan ketentuan hukumnya, tidak
dirinci menurut petunjuk dalil yang masih utuh, tidak diterangkan cara pengamalannya dan atau
tidak dikhususkan menurut petunjuk ayat yang masih mutlak dalam al-Quran, maka hendaknya
dicarikan penyelesaiannya dalam hadits.
Agar hadits dapat berfungsi sebagaimana tujuan diatas, maka kita harus memastikan bahwa
hadits tersebut benar-benar berasal dari Nabi Saw. Ilmu hadits telah menjelaskan bahwa hadits
yang dijadikan sandaran harus berkualitas sahih atau hasan. Istilah sahih mirip dengan yudisium
istimewa atau baik sekali dalam nilai akademik, sedangkan hasan mirip denga yudisium
baik atau cukup. Oleh karena itu, hadis hasan yang memiliki kualitas tertinggi mendekati
sahih, sedangkan yang terendah mendekati hadits dhaif (lemah).
Para ulama sepakat bahwa syarat ini harus dipenuhi oleh hadits-hadits yang dapat dijadikan
landasan dalam menetapkan hukum-hukum syariat praktis, yang merupakan tiang ilmu fiqih dan
dasar dalam menentukan halal dan haram. Namun mereka berbeda pendapat mengenai hadits-
hadits yang berkaitan dengan keutamaan amal (fadhail al-amal), zikir (doa-doa), ungkapan-
ungkapan yang menggugah keimanan (raqaiq), anjuran dan ancaman (targib wa tarhib), dan lain
sebagainya, yang tidak masuk dalam bab penetapan hukum syara (tasyri). Diantara ulama salaf,
ada yang bersikap longgar dalam meriwayatkannya dan tidak menganggap keliru dalam
mengungkapkannya.
Namun, kelonggaran dalam meriwayatkan hadits-hadits seperti di atas tidaklah berlaku mutlak,
melainkan harus ditinjau terlebih dahulu dalam bidang apa hadits itu berbicara, juga terdapat
syarat-syarat yang harus dipenuhi. Namun, banyak orang yang menyalahgunakannya sehingga ke
luar dari jalur yang benar dan mencemari kesucian sumber Islam yang suci.
Jadi, disini dalam menetapkan sebuah hukum Islam harus lebih teliti untuk memilih hadits yang
akan dijadikan sebagai rujukan, apakah hadits itu sahih, hasan atau dhaif. Jika termasuk hadits
sahih, tidak perlu diperbincangkan lagi. Jika sanadnya lemah, para ahli hadits sepakat bahwa
hadits dhaif hanya boleh digunakan untuk anjuran dan ancaman (at-targib wa tarhib), seperti
termuat dalam kitab al-Adzkar karya an-Nawawi, Insan al-Uyun karya Ali bin Burhanuddin al-
Halabi, al-Asrar al-Muhammadiyah karya Ibn Fahruddin ar-Rumi, dan yang lainnya.

D. Urgensi Hadits dalam Hukum Islam
Penegasan posisi hadits sebagai sumber hukum Islam ini sangat strategis bagi upaya revitalisasi
hukum Islam. Karena sebagian besar hukum Islam bersumber pada hadits. Terlebih lagi, hadits
atau sunnah banyak menjadi dalil bagi berbagai hukum yang berkaitan dengan kehidupan
bernegara, misalnya pengaturan hubungan penguasa dan rakyat, hubungan negara Islam dengan
negara lain, pengangkatan hakim (qadhi) dan sebagainya.
Dari hadits, kita akan dapat memahami sistem ekonomi Islam, misalkan tentang kepemilikan
individu, umum dan negara, pendapatan dan belanja negara, keharusan pemenuhan kebutuhan
pokok individu, sandang, pangan, dan papan, kewajiban negara untuk menjamin pendidikan,
keamanan, dan kesehatan dan sebagainya.
Dari hadits atau sunnah kita akan dapat memahami secara rinci sistem interaksi dan pergaulan
pria dan wanita, misalkan berbagai hukum tentang melamar (khitbah) calon istri, hukum nikah,
hukum nasab (garis keturunan), hukum cerai, hukum silaturrahim dan seterusnya.
Dari hadits pula kita akan dapat memahami secara rinci sistem pendidikan Islam untuk
membentuk generasi muda yang berkepribadian Islam dan cakap menghadapi kehidupan dengan
berbagai bekal pengetahuannya.
Hadits adalah sumber kedua dalam Islam, baik sebagai ketetapan hukum maupun perintah-
perintah, yang menjadi rujukan ahli fiqih dalam merumuskan hukum. Demikian juga menjadi
rujukan bagi dai dan pendidik. Dari hadits, mereka menggali makna-makna inspiratif, nilai-nilai
yang mengarahkan, kebijaksanaan yang tinggi, serta bentuk-bentuk penyampaian yang
mendorong orang melakuakn kebaikan dan menjauhi keburukan.
Dengan demikian, posisi strategis hadits sangat jelas dalam hubungannya dengan penerapan
hukum Islam dalam segala aspeknya. Sebaliknya, tanpa hadits atau sunnah, jangan dibayangkan
akan ada pelaksanaan hukum Islam yang benar dan paripurna dalam kehidupan. Ringkas kata,
tak ada hukum Islam dan sekaligus revitalisasi hukum Islam tanpa hadits.

E. Golongan yang menolak hadits sebagai sumber hukum Islam
Walaupun telah jelas dalil-dalil dan alasan-alasan yang menunjukkan bahwa hadits itu
merupakan salah satu sumber hukum Islam, akan tetapi ada juga segolongan kecil dari umat
Islam yang menolak terhadap hadits sebagai sumber Hukum Islam.
Imam Syafii dalam kitabnya al-Umm telah menguraikan panjang lebar tentang alasan-alasan
yang dipergunakan oleh golongan yang menolak hadits Nabi tersebut, kemudian beliau
mengemukakan bantahan-bantahannya lengkap dengan alasan-alasannya.
Imam Syafii, karena jasa dan peranannya yang sangat besar dalam membela hadits sebagai
dasar hukum Islam tersebut, telah digelari sebagai Penolong hadits ().
Beliau, walaupun tidak secara jelas menyebut nama-nama golongan atau orang yang menolak
hadits itu, tetapi beliau telah membagi golongan yang menentang hadits tersebut kepada tiga
golongan. Yaitu:
a. Golongan yang menolak hadits seluruhnya, baik yang mutawatir maupun yang ahad.
Menurut Abu Zahrah, mereka itu adalah dari kaum Zindiq dan sebagian dari Khawarij.
b. Golongan yang menolak hadits, kecuali jika hadits tersebut ada persamaannya dengan
al-Quran.
Menurut analisis Imam Syafii, bahwa golongan ini ada dua kemungkinan landasan berpikirnya.
Yaitu:
1) Mereka secara apriori menolak hadits, terkecuali memang ada nash al-Quran yang sama
mengenai lafadznya atau makna jiwanya dengan hadits tersebut.
Bila demikian, maka mereka ini pada hakikatnya sama dengan golongan yang pertama, yakni
golongan yang menolak hadits seluruhnya. Sebab, jika mereka baru mau menerima hadits
apabila ada persamaannya dengan al-Quran, maka yang menjadi hujjah, pada hakikatnya adalah
al-Quran dan bukan haditsnya.
2) Mereka menolak hadits, kecuali bila memang ada sandarannya dalam al-Quran, karena
adanya pertimbangan, bahwa al-Quran itu adalah sumber hukum Islam yang pertama yang
bersifat universal dan umum, sedangkan hadits berfungsi menjelaskan detailnya dan cabang-
cabangnya.
Kepada golongan ini, Imam Syafii tidak menganggap sebagai golongan yang sesat, tetapi
bahkan menganggapnya sebagai golongan yang berhati-hati dalam menggali hukum dari
sumbernya yang pokok, yakni al-Quran. Yang termasuk golongan ini antara lain Imam Syatiby,
yang dalam kitabnya al-Muwafaqat menyatakan:
Artinya: Sunnah itu, tidak mendatangkan sesuatu hukum, terkecuali bila ia memiliki landasan
dalam al-Quran.

c. Golongan yang menolak hadits sebagai hujjah.
Artinya, mereka masih menerima hadits Mutawatir. Yang mereka tolak adalah hadits ahad.
Adapun alasan-alasan yang dipergunakan oleh golongan yang menolak hadits tersebut, antara
lain sebagai berikut:
1) Firman Allah surat an-Nahl ayat 89 yang berbunyi:
t ('& 9e3'~c ?e;|u~Z+- #-9.3It~=, t=v. uPt9.Zu-

Artinya: ...Dan kami turunkan kepadamu al-Kitab (al-Quran) untuk menjelaskan segala
sesuatu.....

Ayat ini mereka pahami bahwa al-Quran itu telah mencakup segala masalah agama dengan
sejelas-jelasnya dan terperinci, hingga tidak memerlukan lagi penjelasan dari selain al-Quran,
misalnya hadits.
2) Andai kata hadits itu sebagai dasar / sumber hukum, tentunya Rasulullah sejak hidupnya telah
memerintahkan para sahabatnya untuk menulis seluruh hadits beliau, agar tidak hilang dan
dilupakan orang. Akan tetapi kenyataannya, Rasulullah tidak melakukan demikian. Sehingga
olehnya itu hadits terpakasa diterima secara dhanny tidak syah untuk berhujjah.

Tetapi dua alasan tersebut dapat ditolak dengan argumentasi sebagai berikut:
1. al-Quran tidak memuat segala persoalan dan problematika secara terperinci (detail), akan
tetapi bersifat umum dan global. Banyak sekali ketetapan al-Quran yang memerlukan penjelasan
dan penafsiran dari berbagai aspek, baik dalam hal ubudiyah maupun muammalah. Dan yang
kompeten untuk memberikan penjelasan dan penafsiran itu, adalah Rasulullah.
Misalnya saja, firman Allah yang memerintahkan kepada orang-orang yang beriman untuk
mendirikan shalat, al-Quran sendiri tidak menjelaskan bagaimana cara-cara shalat yang
dimaksud. Maka Rasulullah di sini memberi penjelasan dengan sabdanya:
Bershalatlah kamu, sebagaimana kamu melihat aku shalat
2. Tentang Rasulullah tidak memerintahkan untuk menulis seluruh hadits beliau kepada para
sahabat, bukanlah suatu alasan bahwa hadits tidaklah berkedudukan sebagai dasar hukum Islam.
Sikap Rasulullah yang demikian itu, justru telah bertujuan untuk memelihara kemurnian al-
Quran dan agar tidak tercampur dengan hadits.
Dengan demikian, walaupun Rasulullah tidak memerintahkan untuk menulis dan
mengumpulkannya dalam satu mushaf, tetapi berkat ketelitian para ulama ahli hadits, maka
sampai detik ini kita masih dapat menjumpai hadits-hadits Rasul yang sahih. Dan justru dengan
hadits bisa menjelaskan tentang detailnya hukum Islam, yang oleh al-Quran di jelaskan secara
mujmal (global) dan umum.

F. Kontribusi hadits terhadap ilmu falak
Berdasarkan uraian diatas tentang posisi hadits dalam pembentukan hukum Islam, disini penulis
berpendapat bahwa hadits sangat urgen dalam kaitannya dengan ilmu falak. Karena sebagai
sumber dan dasar hukum Islam yang kedua setelah al-Quran, hadits sangat berperan dalam
menetapkan hukum tentang penentuan awal Ramadhan atau awal puasa. Seperti contoh hadits
sahih yang diriwayatkan oleh Imam Muslim yang berbunyi:
Berpuasalah karena melihat bulan, dan berbukalah karena melihat bulan.

Disini, posisi hadits adalah sebagai dasar yang dijadikan rujukan oleh jumhur Ulama untuk
menetapkan awal Ramadhan atau awal puasa itu dengan metode Rukyah. Sehingga dengan
contoh ini menjadi jelaslah tentang posisi hadits dalam pembentukan hukum Islam, khususnya
dalam menetapkan hukum yang belum pernah disinggung di dalam al-Quran yaitu tentang
masalah rukyah.
Selain rukyah, para ahli hisab juga menggunakan hadits sebagai dalil metode hisab yang mereka
sepakati, yaitu
Berpuasalah kamu karena melihat bulan, dan berbukalah kamu karena melihat bulan, jika
ternyata bulan tertutup atasmu, maka kira-kirakanlah.

Jadi, disini penulis tidak sepakat dengan golongan-golongan yang mengikngkari sunnah, karena
sudah jelas bahwa hadits sangat dibutuhkan bagi umat Islam khususnya dalam masalah perintah
yang berkaitan dengan ibadah mahdlah yaitu awal puasa atau ramadhan. Meskipun nanti pada
penerapan hadits itu ada penafsiran makna yang berbeda-beda. Misalnya hadits yang dijadikan
dalil ahli hisab, kata faqdurulahu bagi ahli hisab dimaknai dengan kira-kirakanlah dengan
perhitungan hisab itu sendiri, sedangkan untuk ahli rukyah memaknai faqdurulahu dengan
menggenapkan bulan syaban menjadi 30 hari.
Dengan demikian, jelas sekali anggapan dan pemahaman cukup hanya dengan al-Quran tanpa
memerlukan hadits adalah sesat, batal dan tidak bisa diterima. Hal ini ditegaskan oleh al-Quran.
al-Quran menyebutkan bahwa Rasulullah adalah penjelas (mubayyin) terhadap apa yang
diturunkan Allah.

KESIMPULAN

Dari paparan diatas, penulis bisa menyimpulkan bahwa:
1. Posisi hadits dalam pembentukan hukum Islam adalah sebagai dasar / sumbernya dalam
menetapkan hukum dan menjelaskan hukum-hukum yang telah disebutkan al-Quran secara
global.
2. Kekuatan hadits sebagai sumber hukum ditentukan oleh dua segi yaitu segi kebenaran
materinya (wurudnya) dan kekutan sunnah yang mengikuti kebenaran pemberitaannya apakah
hadits itu mutawatir atau ahad.
3. Hadits sebagai sumber hukum Islam dimaksudkan sebagai tasyri (menetapkan hukum) yang
mencakup segala urusan dan permasalahan, apakah itu masalah ibadah, makanan, minuman,
politik, peradilan, keluarga dan seterusnya. Dan semua hadits yang diriwayatkan dengan sahih
dari Nabi Saw. adalah hukum-hukum yang wajib diikuti sepanjang masa, selama tidak ada
qarinah (indikasi) yang menggugurkan kewajiban tersebut.

REFERENSI

Ali, Muhammad Daud. Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di
Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 1998.

Effendi, Satria dan M.Zein. Ushul Fiqih. Jakarta: Prenada Media. 2005.

Hasaballah, Ali. Ushulut Tasyriul Islami (...: Dar al-Maarif.)

Ismail, M. Syuhudi. Pengantar Ilmu Hadits. Bandung:...tt...tt).

Jurnal Al-Insan. Hadits Nabi Otentisitas dan Upaya Destruksinya. Depok: Lembaga Kajian dan
Pengembangan Al-Insan. 2007.

Kamali, Muhammad Hashim. Prinsip dan Teori-teori Hukum Islam (Ushul al-Fiqh). Yogyakarta:
Pustaka Pelajar. 1996.

Mudasir.Ilmu hadits. Bandung: CV. Pustaka Setia. 2005.

Muhaimin, dkk. Kawasan dan wawasan Studi Islam, (tt...tt)

Qardawi, Yusuf. Pengantar Studi Hadits. Bandung: CV. Pustaka Setia. 1991.

Rahman, Fatchur. Ikhtisar Musthalahul Hadits. Bandung: PT. al-marif. 1974.

Romli. Muqaranah Mazahib Fil Ushul. Jakarta: Gaya Media Pertama. 1999.

. Soetari, Endang Ilmu Hadits. Bandung: Amal Bakti Press. 1997.

Solahudin, M Agus. dan Agus Suyudi. ulumul Hadits. Bandung: CV. Pustaka Setia. 2009

Suparta, Munzier. ilmu Hadits. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2002.

Syarifuddin, Amir Ushul Fiqih. Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu. 1997.

Zahrah, Muhammad Abu. Ushul Fiqih. Jakarta: PT. Pustaka Firdaus. 1995.

You might also like