You are on page 1of 4

PEDOMAN PEMBERIAN CAIRAN : 1.

Per oral saja, Penderita dengan luka bakar tak luas (< 15% grade II) 2. Infus (IVFD) : pada luka bakar > 15% Jenis Perawatan Luka pada luka bakar Perawatan luka secara terbuka, Setiap hari penderita dimandikan setelah itu diolesi salep SSD Perawatan luka secara tertutup, Cuci luka & debridemant - Silver sulfadiazin - Rawat tertutup dengan kassa steril - Hari ke-7 mulai dimandikan setelah mandi oleskan Sol savlon 1:30 - Buka verband Jika luka hanya menunggu epitelisasi, dibuka 4 hari - Posisi penderita : - Ekstremitas: fleksi /ekstensi max, - Leher & muka: semi fowler

Pemberian Terapi Cairan Menurut Karakata, S dan Bachsinar, B.,1996, cara pemberian cairan pada luka bakar sebagai berikut: 1. Formula EVANS Dalam 24 jam I. Berikan :

NaCl 0.9% Koloid Dekstrosa 5%

: 1 x BB x % luka bakar. : 1 x BB x % luka bakar. : 2000 ml (untuk penggantian Insensible water loss).

Dalam 8 jam pertama, jumlah cairan yang diberikan sebesar setengah dari kebutuhan total. Dalam 16 jam kedua, diberikan sisa kebutuhan total. Dalam 24 jam II. Berikan :

NaCl 0.9% Koloid Dekstrosa 5%

: 1 x BB x % luka bakar. : 1 x BB x % luka bakar. : 2000 ml (untuk penggantian Insensible water loss).

Cairan diberikan dalam tetes merata. Cara menghitung tetes, dipakai rumus :

g =

P Qx3

Keterangan

: g = jumlah tetes per menit p = jumlah cairan dalam cc Q = jam yang diperkirakan

BB = berat badan penderita (dalam kg). IWL = (Insensible water lost) adalah kehilangan setiap hari yang tidak kita sadari. Kehilangan air dengan cara ini berlangsung lewat keringat dan pernapasan. Rata-rata IWL pada orang dewasa 2000 cc/hari. Pada pemberian cairan yang tepat, akan dicapai produksi urin 50 cc/jam. Pada anak-anak, pemberian Dekstrosa 5% sebagai pengganti IWL berdasarkan berat badannya. Untuk berat badan <10 kg penggantian IWL sebesar 100 ml/kgBB, berat badan 10-20 kg: 50 ml/kgBB, dan berat badan >20 kg: 25 ml/kgBB 2. Formula BROOKE

Dalam 24 jam I. Berikan :

Koloid

: 0,5 x BB x % luka bakar.

Ringer laktat : 1,5 x BB x % luka bakar. Dekstrosa 5%


24 jam II. Berikan :

: 2000 ml

Koloid

: 0,25 x BB x % luka bakar.

Ringer laktat : 0,75 x BB x % luka bakar. Dekstrosa 5% : 2000 ml

3.

Formula BAXTER (1971)

Paling banyak saat ini, praktis dan mudah. Pada cara ini hanya diberikan cairan Ringer laktat. Dalam 24 jam I. Berikan :

Ringer laktat

: 4 x BB x % luka bakar.

Setengah dari jumlah kebutuhan cairan total diberikan dalam 8 jam pertama, sisanya diberikan dalam 16 jam berikutnya. Dalam 24 jam II. Berikan :

Ringer laktat

: 4 x BB x % luka bakar.

Kebutuhan total cairan pada hari kedua sama dengan hari pertama, hanya cara pemberiannya berbeda. Pada hari kedua cairan diberikan sedemikian rupa, sehingga produksi urin sekitar 50-100 ml/jam. Jumlah cairan dan elektrolit yang diberikan dalam 48 jam pertama (24 jam I + 24 jam II) tidak banyak berbeda antara formula satu dengan lainnya. Miliekivalen Natrium rata-rata normal sekitar 0,5-0,6 mEq/kgBB/%luka bakar. Sumber: Karakata, S dan Bachsinar, B.,1996 PEMERIKSAAN PENUNJANG Pemeriksaan penunjang yang dilakukan: 1. Pemeriksaan darah rutin dan kimia darah 2. Urinalisis 3. Pemeriksaan keseimbangan elektrolit 4. Analisis gas darah 5. Radiologi jika ada indikasi ARDS 6. Pemeriksaan lain yang dibutuhkan untuk menegakkan diagnosis SIRS dan MODS SIRS adalah suatu bentuk respon klinik yang bersifat sistemik terhadap berbagai stimulus klinik berat akibat infeksi ataupun noninfeksi seperti trauma, luka bakar, reaksi autoimun, sirosis, pankreatitis, dll. Respon ini merupakan dampak dari pelepasan mediator-mediator inflamasi (proinflamasi) yang mulanya bersifat fisiologik dalam proses penyembuhan luka, namun oleh karena pengaruh beberapa faktor predisposisi dan faktor pencetus, respon ini berubah secara berlebihan (mengalami eksagregasi) dan menyebabkan kerusakan pada organ-organ sistemik, menyebabkan disfungsi dan berakhir dengan kegagalan organ terkena menjalankan fungsinya; MODS (Multi-system Organ Disfunction Syndrome) bahkan sampai kegagalan berbagai organ (Multi-system Organ Failure/MOF). Pemeriksaan Laboratorium a) Pemeriksaan darah lengkap. b) Pemeriksan kadar elektrolit darah. c) Konsentrasi gas darah dan karboksihemoglobin. d) Pemeriksaan penyaringan terhadap obat-obatan, antara lain etanol. e) Penilaian terhadap status mental pasien dan antisipasi terhadap gejala-gejala putus obat. f) Rontgen dada dan radiografi seluruh vertebra (Schwart, 2000) FASE PADA LUKA BAKAR Dalam perjalanan penyakit, dapat dibedakan menjadi tiga fase pada luka bakar, yaitu: 1. Fase awal, fase akut, fase syok Pada fase ini, masalah utama berkisar pada gangguan yang terjadi pada saluran nafas yaitu gangguan mekanisme bernafas, hal ini dikarenakan adanya eskar melingkar di dada atau trauma multipel di rongga toraks; dan gangguan sirkulasi seperti keseimbangan cairan elektrolit, syok hipovolemia. Fase setelah syok berakhir, fase sub akut Masalah utama pada fase ini adalah Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS) dan Multi-system Organ Dysfunction Syndrome (MODS) dan sepsis. Hal ini merupakan dampak dan atau perkembangan

2.

3.

masalah yang timbul pada fase pertama dan masalah yang bermula dari kerusakan jaringan (luka dan sepsis luka) Fase lanjut Fase ini berlangsung setelah penutupan luka sampai terjadinya maturasi jaringan. Masalah yang dihadapi adalah penyulit dari luka bakar seperti parut hipertrofik, kontraktur dan deformitas lain yang terjadi akibat kerapuhan jaringan atau struktur tertentu akibat proses inflamasi yang hebat dan berlangsung lama

Pembagian zona kerusakan jaringan: 1. Zona koagulasi, zona nekrosis Merupakan daerah yang langsung mengalami kerusakan (koagulasi protein) akibat pengaruh cedera termis, hampir dapat dipastikan jaringan ini mengalami nekrosis beberapa saat setelah kontak. Oleh karena itulah disebut juga sebagai zona nekrosis. Zona statis Merupakan daerah yang langsung berada di luar/di sekitar zona koagulasi. Di daerah ini terjadi kerusakan endotel pembuluh darah disertai kerusakan trombosit dan leukosit, sehingga terjadi gangguam perfusi (no flow phenomena), diikuti perubahan permeabilitas kapilar dan respon inflamasi lokal. Proses ini berlangsung selama 12-24 jam pasca cedera dan mungkin berakhir dengan nekrosis jaringan. Zona hiperemi Merupakan daerah di luar zona statis, ikut mengalami reaksi berupa vasodilatasi tanpa banyak melibatkan reaksi selular. Tergantung keadaan umum dan terapi yang diberikan, zona ketiga dapat mengalami penyembuhan spontan, atau berubah menjadi zona kedua bahkan zona pertama.

2.

3.

(Moenadjat Y. Luka bakar. Edisi 2. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2003.) Luka Bakar Terhadap Suhu Tubuh Pertahanan imunologik tubuh sangat berubah akibat luka bakar, kehilangan integritas kulit diperparah lagi dengan pelepasan faktor-faktor inflamasi yang abnormal, hal ini membuat seseorang yang menderita luka bakar berisiko tinggi mengalami sepsis. Selain itu, hilangnya kulit juga menyebabkan ketidakmampuan tubuh untuk mengatur suhu, sehingga seorang yang menderita luka bakar dapat memperlihatkan suhu tubuh yang rendah dalam beberapa jam pertama pasca-luka bakar, namun kemudian akan mengalami hipertermia sekalipun tidak disertai infeksi karena hipermetabolisme menyetel kembali suhu tubuh inti. Edema Paru Cedera inhalasi dibawah glotis terjadi akibat menghirup produk pembakaran yang tidak sempurna atau gas berbahaya, Keracunan karbon monoksida akan mengakibatkan seseorang tidak mampu memenuhi kebutuhan oksigen yang adekuat kepada jaringan, hal ini karena afinitas hemoglobin terhadap karbon monoksida 200 kali lebih besar daripada afinitasnya terhadap oksigen. Brunner dan Suddarth. (2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Brunner dan Suddarth ed.8. vol.3. Jakarta: EGC. Obesitas dapat menyebabkan penurunan suplai pembuluh darah, yang merusak pengiriman nutrisi dan elemenelemen yang lainnya yang diperlukan pada proses penyembuhan. Selain itu pada obesitas penyatuan jaringan lemak lebih sulit, komplikasi seperti dehisens dan eviserasi yang diikuti infeksi bisa terjadi (DeLaune dan Ladner, 1998).

You might also like