You are on page 1of 5

SKISTOSOMIASIS 4A

A. DEFINISI Skistosomiasis merupakan penyakit parasit yang bersifat zoonosis, disebabkan oleh investasi cacing yang hidup dalam pembuluh darah vena. Nama lain penyakit ini adalah Biliharzia yang diambil dari nama ahli patologi Theodore Maximillian Biliharz (18251862) (Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia, 2007). B. ETIOLOGI Kelas Trematoda filum Platyhelminthes (cacing pipih) adalah cacing sinsitial berbadan lunak, sering disebut cacing pipih, yang secara khas pipih dan berbentuk seperti daun atau memanjang dengan sepasang penghisap dan usus bipartitus yang berakhir buntu tanpa anus. Skistosoma memiliki siklus hidup vertebrata trematoda-invertebrata khas, dengan manusia menjadi tuan rumah definitif. Skistosoma berjenis kelamin terpisah yang bersifat diecious dengan dimorfisme seksual yang kuat. Cacing pipih tersebut tidak memiliki stadium pembungkus kista atau penjamu intermedia kedua (Brooks et al., 2008). Skistosoma mengalami fase reproduksi aseksual yang kompleks melalui beberapa generasi stadium larva dalam siput (penjamu intermedia). Siklus hidup skistosoma secara khas dimulia dengan telur yang masuk ke air tawar melalui feses. Telur berkembang, menetas dan melepaskan bentuk larva pertama yang bersilia dan mencari siput, yaitu mirasidium. Mirasidium melepaskan selubung silianya untuk membentuk sporokista. Generasi sporokista terakhir pada sporokista membentuk banyak serkaria dengan ekor bercabang yang mampu menggantung pada permukaan air menggunakan pinggiran ekor yang bercabang di sisi terminal dan menginvasi kulit manusia atau penjamu akhir vertebrata lain (Susanto et al., 2009). Spesies Skistosoma yang dapat menginfeksi manusia:

skistosoma mansoni dan intercalatum Skistosoma menyebabkan skistosomiasis usus skisistosoma haematobium menyebabkan skistosomiasis kemih Skistosoma japonicum dan skistosoma mekongi menyebabkan schistosomiasis usus Asia (Brooks et al., 2008).

Ada tiga spesies skistosoma penting yang menimbulkan infeksi pada manusia, yaitu skistosoma mansomi, skistosoma haematobium dan skistosoma japonicum (Isselbacher et al., 1999).

Spesies skistosoma yang ditemukan di Indonesia adalah sikstosoma japonicum (Natadisastra dan Agoes, 2009). C. EPIDEMIOLOGI Meskipun memiliki tingkat kematian rendah, skistosomiasis merupakan penyakit kronis yang dapat merusak organ-organ internal dan, pada anak-anak mengganggu pertumbuhan dan perkembangan kognitif (Dhawan, 2008). Skistosoma mansomi ditemukan di Negara-negara bagian Amerika Selatan( Brazil, Venezuela, serta Suriname), sebagian kepulauan karibia, afrika dan Timur Tengah. Sementara infeksi oleh Skistosoma japonicum terjadi di kawasan timur jauh yaitu sebagian besar dijumpai di Cina dan Filipina. Infeksi skistosoma haematobium terjadi di Afrika dan Timur Tengah. Spesies lain yang tidak begitu penting adalah skistosoma mekongi, suatu spesiies parasit yang ada kaitannya dengan skistosoma japonicum serta ditemukan di sepanjang sungai Mekong di Indocina dan skistosoma intercalatum yang ditemukan pada daerah tertentu di kawasan Afrika Barat bagian Tengah. Di seluruh dunia, sebnyak 200 juta orang terjangkit oleh skistosomiasis. Namun, sebagian besar individu yang terinfeksi mengalami gejala dan tanda saja, hanya sebaguan kecil yang berlanjut menjadi penyakit yang signifikan (Natadisastra dan Agoes, 2009). D. PATOFISIOLOGI Pada beberapa hari pertama setelah infeksi, skistosomul relatif rentan terhadap serangan imun. Sejumlah system menggunakan antibodi dan atau eosinofil, neotrofil, makrofag dan komplemen untuk membunuh skistosomul secara in vitro. Akan tetapi setelah skistosomul menjadi matur, skistosomul menjadi refrakter terhadap respon imunitas ini. Selain itu, skistosomul membungkus dirinya dengan protein pejamu dan menghindari pengenalan oleh sel pejamu. Sejumlah antibody yang menghambat aktifiatas pembunuhan yang efektif juga meningkatkan kelangsungan hidup parasit. Semua telur skistosoma mencetuskan suatu respon granulomatosa yang paling baikdipahami pada infeksi skistosoma mansoni. Pejamu menjadi tersensitisasi terhadap proteintelur melalui mekanisme imunitas seluler yang menginduksi granuloma yang lebih besar. Akan tetapi, seiring dengan infeksi yang terus berlanjut, ukutan granuloma berkurang akibat pengerahan sel T-supresor, sedangkan antibody tidak mempunyai pengaruhatas ukuran granuloma. Pada tahap infeksi kronik, perubahan imunitas diperantarai olehfaktor serum, termasuk rantai kerja anti-idiotip. Baik telur maupun granuloma melepaskan faktor yang menginduksi proliferasi fibroblast secara in vitro, akan tetapi, fibrosis hati pada manusia mungkin mencakup lebih dari penyatuan granuloma fibrotic yang sederhana. Setelah infeksi bertahun-tahun, beberapa individu yang mengalami infeksi

berat nembentuk lesi fibrotic tahap akhir, terutama fibrosis portal (fibrosis Symmer), sering menyebabkan varises esophagus dan slenomegali pada infeksi skistosoma japonicum, dan skistosoma mekongi dan fibrosis ureter dan kandung kemih pada infeksi skistosoma haematobium. Setelah pembentukan fibrosis portal, telur dialihkan ke paru melalui vena kolateral portal-sistemik, yang mengakibatkan terjadinya kor pulmonale pada kira-kira 15% penderita dengan fibrosis Symmer. Kompleks imun yang dialihkan ke sirkulasi sistemik menyebabkan glomerulomefritis (Isselbacher et al., 1999). E. GEJALA KLINIS Skistosomiasis akut (demam Katayama) dapat terjadi seminggu setelah infeksi awal, khususnya oleh S. Mansoni dan S. japonicum. Manifestasi klinis skistosomiasis meliputi:

Sakit perut Batuk Diare Eosinofilia - granulocyte eosinofil yang sangat tinggi (sel darah putih). Demam Kelelahan Hepatosplenomegali Luka kelamin Gejala Kulit : Pada awal infeksi, gatal ringan dan dermatitis papular kaki dan bagian lainnya setelah berenang di sungai tercemar yang mengandung serkaria (Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia, 2007). Kadang-kadang lesi sistem saraf pusat terjadi: penyakit granulomatosa serebral dapat

disebabkan oleh ektopik''S. japonicum''telur di otak, dan lesi granulomatosa sekitar telur ektopik di sumsum tulang belakang dari''S. mansoni''dan''S. haematobium infeksi dapat mengakibatkan myelitis melintang dengan paraplegia lembek. Selanjutkan infeksi dapat menyebabkan reaksi granulomatosa dan fibrosis pada organ yang terkena, yang dapat mengakibatkan manifestasi yang meliputi:

Poliposis kolon dengan diare berdarah (Schistosoma mansoni); Hipertensi portal dengan hematemesis dan splenomegali (S. mansoni,S. japonicum); Sistitis dan ureteritis (S. haematobium) dengan hematuria, yang dapat berkembang menjadi kanker kandung kemih;

Hipertensi paru (S. mansoni,S. japonicum, lebih jarang S. haematobium);

Glomerulonefritis, dan lesi sistem saraf pusat (Dhawan, 2008).

F. DIAGNOSIS Diagnosis dapat ditegakkan dengan menemukan telur cacing. Telur dapat dideteksi dalam feses, jaringan atau urin. Konsentrasi telur dengan sedimensi seng sulfat atau tehnik lainnya biasanya diperlukan (Brooks et al., 2008). G. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Tes antibodi imunofluoresens dengan menggunakan potongan cacing skistososma dewasa untuk menentukan adanya antibody terhadap antigen usus skistosoma sangat membantu untuk mengenali pasien yang baru saja terinfeksi atau skistosomiasis akut. Akhirakhir ini telah dikembangkan pemeriksaan assay untuk mendeteksi antigen yang tampaknya berguna dalam membuat diagnosis infeksi dan menentukan respon pasien terhadap pengobatan yang diberikan (Isselbacher et al., 1999). H. PENATALAKSANAAN Salah satu terapi yang cocok untuk sikstosomiasis adalah praziquantel (Biltricide). Obat ini mampu mengobati sikstosomiasis akibat spesies S.hematobium, S.mansoni, dan S.japonicum. Obat lainnya yang juga cukup sering digunakan adalah Oxamniquine, Artemisin, dan Metrifonate. Namun obat-obat ini jarang dipakai untuk sikstosomiasis akibat spesies S.japonicum. Terapi pembedahan juga kadang bisa dijadikan pilihan untuk mengeluarkan polip atau sumbatan saluran kemih (Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia, 2007). I. KOMPLIKASI SKISTOSOMIASIS

Komplikasi yang sering terjadi dari penyakit ini antara lain: splenomegali malnutrisi varises esofagii hipertensi portal hipertensi pulmonal gangguan fungsi hati gangguan usus besar gagal ginjal kronik kanker buli-buli mielitis tranversa epilepsi atau neuritis optika akibat dari penimbunan telur-telur skistosoma (Dhawan, 2008).

J. PROGNOSIS Tanpa komplikasi prognosis baik (Dhawan, 2008). DAFTAR PUSTAKA Brooks, G.F; Butel, J.S; Morse, S.A. 2008. Mikrobiologi Jawetz, Melnick, &Adelberg. Ed.23. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta. Dhawan, V.K. 2008. Schistosomiasis. Available at: http://www.emedicine.com. Accessed 11/04, 2013. Isselbacher, K.J; Braunwald, E; Wilson, J.D; Martin, J.B; Faunci, A.S dan Kasper, D.L. 1999. Harrison prinsip-prinsip ilmu penyakit dalam. Ed.13. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta. Natadisastra, D dan Agoes, R. 2009. Parasitologi Kedokteran: ditinjau dari organ tubuh yang diserang. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta. Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia.2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Penerbitan IPD FKUI Pusat. Jakarta. Susanto, I; Ismid, I.S; Sjarifuddin, P.K dan Sungkar, S. 2009. Parasitologi Kedokteran. Ed. 4. Balai Penerbit FKUI. Jakarta.

BIODATA Nama: Cut Yulistiyani Nim : 0907101050022

You might also like