You are on page 1of 2

Mencerdaskan Kehidupan Bangsa Inilah salah satu tugas nasional kita: mencerdaskan kehidupan bangsa.

Sampai sekarang, negara kita belum sanggup mewujudkannya. Sekitar 9 juta rakyat Indonesia masih buta huruf. Di daerah pedalaman, seperti diakui Kementerian Pembangunan Daerah tertinggal (PDT), angka melek huruf masih rata-rata 26%. Lihat pula kemampuan rakyat Indonesia mengakses pendidikan. Kita tahu, angka partisipasi kasar (APK) tingkat SMP baru 70%. Sedangkan APK untuk tingkat SMU baru berkisar 60%. Mengacu ke data Kemendiknas saja, dari 3,7 juta lulusan SMP, yang melanjutkan ke SMA/SMK hanya sekitar 2,2 juta. Artinya, ada 1,5 juta lulusan SMP yang terlempar di jalan. Jangan tanyakan tingkat partisipasi rakyat mengakses Perguruan Tinggi. APK Pendidikan Tinggi, seperti diklaim Menteri Pendidikan Nasional, baru berkisar 26 persen. Tetapi versi lain menyebutkan bahwa APK pendidikan tinggi di Indonesia baru berkisar 18,7 persen. Dengan mengacu pada fakta di atas, dapat disimpulkan bahwa negara masih gagal menjalankan tugasnya mencerdaskan kehidupan bangsa. Ironisnya, negara gagal bukan karena keterbatasan sumber daya, melainkan karena negara sendiri mengadopsi berbagai kebijakan yang merugikan pendidikan nasional. Pertama, cara pandanga negara, dalam hal ini pemerintahan berkuasa, dalam soal pendidikan sudah bergeser dari cita-cita proklamasi: pendidikan tidak lagi dipandang sebagai sarana mencerdaskan kehidupan bangsa, melainkan sebagai mediun untuk akumulasi keuntungan (profit). Ini sudah menjadi realitas dalam pendidikan nasional kita saat ini. Para pengusaha berlombalomba menanamkan modalnya dalam bisnis pendidikan. Biaya pendidikan pun melambung tinggi, khususnya di perguruan tinggi. Akibatnya, banyak rakyat Indonesia tidak bisa mengakses pendidikan itu. Kedua, lahirnya berbagai regulasi yang mengarahkan pendidikan tak ubahnya komoditi yang siap diperjual-belikan. Sebelumnya, sudah pernah disahkan UU Badan Hukum Pendidikan (UU BHP). Beruntung, berkat tekanan gerakan massa rakyat, UU tersebut dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Akan tetapi, keinginan pemerintah memprivatisasi pendidikan tinggi tidak berhenti di situ. Sekarang, misalnya, pemerintah sedang menyiapkan pengesahan RUU perguruan tinggi

terakhir dinamai RUU Pendidikan Tinggi. Semangat RUU PT ini tidak berbeda jauh dengan semangat UU BHP. Ketiga, negara mulai lepas tangan dalam urusan pendidikan. Penguasa di negara kita percaya betul dengan agama kaum neoliberal bahwa pasar akan mengatur dan mengefisienkan segalanya. Pasar, yang disemangati oleh nafsu mencari keuntungan, tidak akan bisa menjamin hak setiap warga negara mendapatkan pendidikan. Akhir-akhir ini, kita melihat bagaimana tingkah-laku negara menelantarkan pendidikan: gedung sekolah yang ambruk, bangunan sekolah yang tak ubahnya kandang ayam, peserta didik yang diusir dari sekolah karena soal biaya, fasilitas belajar-mengajar yang tak memadai, tawuran antar sekolah, dan lain sebagainya. Keempat, anggaran untuk mendanai pendidikan nasional belum memadai dan mengcover seluruh rakyat. Ini bisa dilihat pada anggaran pendidikan yang sangat rendah: anggaran pendidikan kita masih berkisar 3,41% dari PDB. Sedangkan negara-negara tetangga seperti Malaysia dan Thailand masing-masing 7,9% dan 5,0% dari PDB-nya. UNESCO sendiri menyerukan anggaran ideal untuk pendidikan adalah 6% dari PDB. Kelima, orientasi atau tujuan pendidikan nasional makin berorientasi kepada bisnis dan pasar tenaga kerja. Penanaman nilai-nilai kemanusiaan, demokrasi, patriotisme, budaya nasional dan kecintaan terhadap bangsa makin berkurang. Kurikulum kita banyak diwarnai oleh nilai-nilai individualisme, konsumtifisme, pragmatisme, dan penghambaan terhadap uang. Dengan demikian, bertepatan dengan momentum Hari Pendidikan Nasional hari ini, kami mengajak semua pembaca dan seluruh rakyat Indonesia untuk merenungkan nasib pendidikan nasional kedepan. Apakah kita menyerah dan membiarkan pendidikan nasional ditaklukkan oleh logika profit ataukah kita ingin mengembalikan pendidikan nasional sebagai sarana mencerdaskan kehidupan bangsa. Kalau kita konsisten dengan cita-cita nasional kita, sebagaimana dikehendaki oleh para pendiri bangsa, maka pilihan kita sudah pasti: akhiri model pendidikan yang berbau profit itu dan marilah kita mewujudkan pendidikan nasional yang mencerdaskan kehidupan bangsa

You might also like