You are on page 1of 32

BAB I.

PENDAHULUAN

1.1.

Latar Belakang

Dalam kehidupan sehari-hari, tiap individu pernah merasakan takut dan dalam batas-batas tertentu pernah pula merasakan ketakutan dan

kecemasan (anxiety). Stres dan kecemasan merupakan bagian dari kehidupan manusia sehari-hari dan merupakan gejala yang normal pada manusia. Bagi orang yang penyesuaiannya baik, maka stres dan kecemasan dapat cepat diatasi dan ditanggulanginya. Sebaliknya, bagi orang yang penyesuaiannya kurang baik, maka stres dan kecemasan merupakan bagian terbesar dalam kehidupannya. Untuk yang terakhir ini, penyesuaian yang dilakukan tidak tepat, sehingga stres dan kecemasan dapat menghambat kegiatan dan aktivitas sehari-hari (Prawitasari, 1988). Stres dapat menimbulkan kecemasan, dan kecemasan dapat dipicu oleh berbagai faktor, baik faktor psikologis maupun faktor fisik atau kombinasi dari kedua faktor tersebut. Respon tiap-tiap individu terhadap suatu stres tidaklah sama. Stres bagi seseorang belum tentu merupakan stres bagi yang lain. Hal ini bergantung pada somato-psiko-sosial orang tersebut. Seseorang yang mengalami stres dapat terwujud dalam berbagai bentuk penyakit atau dapat terungkap melalui ketidakmampuannya untuk melakukan penyesuaian diri dengan lingkungannya. Pendertiaan fisik dan psikis yang dialami oleh seseorang dapat menyebabkan orang tersebut tidak berfungsi secara wajar, tidak mampu untuk berprestasi tinggi dan sering merupakan masalah bagi lingkungan sosial dimana orang tersebut berada (Maramis, 1990). Kecemasan pada umumnya berhubungan dengan adanya situasi yang membahayakan atau situasi yang mengancam. Dengan berjalannya waktu, keadaan cemas tersebut biasanya akan dapat teratasi dengan sendirinya. Namun, ada keadaan dimana seseorang merasakan cemas yang

berkepanjangan, bahkan perasaan cemas tersebut tidak jelas lagi kaitannya

dengan faktor penyebab atau pencetus tertentu. Hal merupakan pertanda adanya gangguan kejiwaan yang dapat menyebabkan hambatan dalam berbagai segi kemampuan dan fungsi sosial bagi penderitanya (Mulyadi, 2003). Selain komponen motorik dan viseral, kecemasan dapat memeberikan pengaruh terhadap proses pikir, konsentrasi, proses belajar, dan persepsi. Hal ini penting untuk diperhatikan dalam melakukan penilaian klinis karena hal tersebut dapat menimbulkan kendala dalam kehidupan individu. Kehidupan mahasiswa dihadapkan oleh berbagai jenis stressor, seperti tekanan akademik dan tuntutan untuk sukses, masa depan yang tidak pasti serta kesulitan terhadap sistem perkuliahan. Mahasiswa menghadapi permasalahan sosial, emosional dan permasalahan keluarga yang dapat memberikan pengaruh bagi cara belajar dan prestasi akademik (Rogers, 2003). Mahasiswa kedokteran memiliki faktor pendukung kecemasan yang tinggi. Mereka dapat menderita gangguan kecemasan selama mereka

menjalani masa perkuliahan yang dapat dipengaruhi oleh peristiwa hidup dan tuntutan akademik, termasuk tekanan waktu, tekanan pada saat menghadapi ujian, masalah ekonomi, waktu yang terbatas untuk rekreasi dan liburan, kesendirian serta ketergantungan terhadap orang tua (Darlene et al). Telah dilakukan sebuah penelitian di Surakarta, dimana penelitian tersebut membandingkan tingkat kecemasan dari Mahasiswa Fakultas Kedokteran dan Mahasiswa Fakultas Ekonomi. Hasil penelitian tersebut menunjukan bahwa tingkat kecemasan Mahasiswa Fakultas Kedokteran Lebih Tinggi dari Mahasiswa Fakultas Ekonomi (Sudianto, 2009) Kurikulum sebagai Fakultas Kedokteran memiliki Universitas komitmen Islam Indonesia berpedoman pada misi Universitas Islam Indonesia yaitu, Terwujudnya UII rahmatan lilalamin pada kesempurnaan

(keunggulan), risalah islamiyah dibidang pendidikan, penelitian, pengabdian masyarakat dan dakwah setingkat universitas yang berkualitas di negaranegara maju. Kurikulum Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia juga

berpedoman pada misi Universitas Islam Indonesia yaitu : menegakan wahyu illahi dan sunnah nabi sebagai sumber kebenaran abadi yang membawa rahmat bagi alam semesta melalui pengembangan dan penyebaran ilmu, pengetahuan, teknologi, budaya, sastra dan seni yang berjiwa Islam dalam rangka membentuk cendekiawan muslim dan pemimpin bangsa yang bertakwa, berakhlak mulia, berilmu alamiah dan beramal ilmiah yang memiliki keunggulan dalam keislaman, keilmuan, kepemimpinan, keahlian,

kemandirian dan profesionalisme. Diasumsikan bagi sebagian mahasiswa Fakultas Kedokteran

Universitas Islam Indonesia merasa bahwa beban studi yang ditempuh cukup berat sehingga untuk dapat menyelesaikan studi tersebut secara tepat waktu diperlukan ketekunan dan perjuangan yang tinggi. Keterlambatan dalam menempuh studi dapat berlaku sebagai stressor yang dapat menimbulkan kecemasan bagi mahasiswa. Timbulnya kecemasan dapat mengganggu konsentrasi dan kemampuan berpikir sehingga akan berpengaruh terhadap prestasi yang akan dicapai dan akan semakin memperlama waktu keterlambatan studi. Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan diatas, disusunlah rumusan masalah yaitu mengetahui hubungan tingkat kecemasan dengan keterlambatan studi mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

1.2. Perumusan Masalah Apakah ada hubungan antara keterlambatan studi dengan tingkat kecemasan pada mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Islam Indonesia

1.3. Tujuan Penelitian Penelitian yang dilakukan bertujuan untuk mengetahui hubungan antara lama keterlambatan studi dengan tingkat kecemasan mahasiswa Fakultas kedokteran Universitas Islam Indonesia

1.4. Keaslian Penelitian Penelitian tentang tingkat kecemasan yang dihubungkan dengan variable lain telah banyak dilakukan. 1. Studi di Universitas Gadjah Mada mengenai tingkat kecemasan pada mahasiswa yang terlambat studi di fakultas kedokteran UGM Yogyakarta. Penelitian menunjukan memiliki tingkat kecemasan yang tinggi. 2. Hubungan Kecerdasan Emosi dengan Kecemasan pada siswa SMU, Analisis komparasi antara siswa SMU Negeri 3 Yogyakarta dengan siswa SMU Taruna Nusantara. Dilakukan oleh bahwa 34,43% responden

Sukardiansyah di bagian Ilmu Kedokteran Jiwa Universitas Gadjah Mada, pada Tahun 2004. 3. Studi di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta mengenai tingkat kecemasan di tahun pertama mahasiswa angkatan 1995 dan 1996 yang menunjukan tingkat kecemasan mencapai 62,3% setelah periode orientasi. 4. Penelitian di Surakarta yang membandingkan tingkat kecemasan pada mahasiswa Fakultas Kedokteran dan mahasiswa Fakultas Ekonomi. Hasil penelitian menunjukan bahwa tingkat kecemasan pada mahasiswa Fakultas Kedokteran lebih tinggi dibandingkan mahasiswa Fakultas Ekonomi (Sudianto, 2009).

1.5. Manfaat Penelitian 1. Manfaat penelitian bagi ilmu pengetahuan adalah menambah informasi tentang hubungan antara kecemasan dengan keterlambatan studi pada mahasiswa Fakultas kedokteran Universitas Islam Indonesia. 2. Aplikasi setelah didapatkan hasil dari penelitian ini adalah permasalahan ini perlu diketahui agar para mahasiswa lebih rajin belajar, menyelesaikan studi secara tepat waktu, serta mempersiapkan fisik dan mental secara keseluruhan agar kecemasan yang muncul jika mahasiswa mengalami

keterlambatan studi dapat diantisipasi dan dengan segera dapat diatasi dengan baik. Dengan demikian diharapkan bahwa ketika mahasiswa mengalami keterlambatan studi maka hal ini tidak menjadikan mahasiswa tersebut mengalami gangguan kejiwaan yang lebih mendalam sehingga hanya akan memperlambat studi melainkan mahasiswa yang

bersangkutan dapat lebih terpacu untuk menyelesaikan studinya.

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Kecemasan Hidup tenang dan bahagia selalu diimpikan oleh setiap orang dan setiap orang akan berusaha untuk mencapai hal tersebut meskipun tidak selamanya dapat dicapai. Apabila hal ini terjadi secara terus menerus maka akan timbul rasa gelisah dan ketidakpuasan serta kekhawatiran. Timbulnya rasa kecewa, gelisah, prihatin, dan rasa takut pada sesuatu yang akan menimpa dirinya tanpa ada sebab-sebab yang pasti merupakan pertanda adanya kecemasan. Perasaan semacam ini adalah hal yang wajar terjadi ketika orang tersebut merasa tidak yakin akan dirinya, merasa tidak mampu menghadapi masalah, frustasi, merasa terancam dan gelisah (Suriyasa, 1999). Gangguan cemas adalah keadaan tegang yang berlebihan atau tidak pada tempatnya yang ditandai oleh perasaan khawatir, tidak menentu, atau takut. Kata Anxietas berasal dari bahasa latin, angere, yang berarti tercekik atau tercekat. Respon anxietas seringkali tidak berkaitan dengan ancaman yang nyata, namun tetap dapat membuat seseorang tidak mampu bertindak atau bahkan menarik diri dari lingkungan (Maramis, 2009). Pengertian cemas mencakup berbagai kondisi yang sangat luas, mulai dari reaksi emosi yang sangat wajar (normal anxiety) sampai sindroma klinis yang patologis (pathological anxiety), dan dapat menyertai atau merupakan bagian dari berbagai kondisi psikologis maupun fisik dalam kehidupan seharihari. Dalam menentukan normal atau tidak, cemas dari kaca mata dokter umum dapat berbeda dari apa yang digambarkan oleh seorang psikiater (Wibisono, 1990). Kaplan mengemukakan bahwa kecemasan adalah campuran perasaan yang sangat tidak enak, khawatir, cemas, gelisah, yang disertai satu atau kebih keluhan fisik.

Tidak mudah untuk membedakan cemas yang wajar dan cemas yang sakit karena keduanya merupakan respon yang umum dan normal dalam kehidupan sehari-hari. Keadaan cemas yang wajar merupakan respon ketika terdapat adanya ancaman atau bahaya luar yang nyata, jelas, dan tidak bersumber pada adanya konflik. Sedangkan cemas yang sakit merupakan respon terhadap adanya bahaya yang lebih kompleks, tidak jelas sumber penyebabnya, dan lebih banyak melibatkan konflik jiwa yang ada dalam diri sendiri (Mulyadi, 2003). Menurut Solomon dan Patch (1974), kecemasan adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan pengalaman subyektif dari perasaan tegang yang tidak menyenangkan, rasa khawatir atau gelisah, keadaan yang menakutkan yang menyertai ancaman psikis atau konflik. Prawiro Husodo (1988) mengemukakan bahwa kecemasan adalah pengalaman emosi yang tidak menyenangkan yang datang dari dalam diri, yang bersifat meningkat, menggelisahkan dan menakutkan yang dihubungkan dengan suatu ancaman bahaya yang tidak diketahui oleh individu, perasaan ini disertai oleh komponen somatik, fisiologik, otonomik, biokimiawi, hormonal dan perilaku. Prawitasari (1998) mengemukakan bahwa pengertian kecemasan sering dikacaukan dengan takut meskipun antara rasa cemas dan rasa takut mempunyai perbedaan yang mendasar. Perbedaan itu terletak pada sebab timbulnya perasaan tersebut. Rasa takut timbul karena suatu ancaman atau bahaya yang datang dari luar yang dapat membahayakan kehidupan, serta obyek yang menimbulkan rasa takut ini bersifat nyata dan sepadan. Sedangkan kecemasan yang disebabkan oleh bahaya dari dalam diri manusia, disebut juga sebagai stimulus internal, dapat pula disebabkan oleh ancaman dari luar yang ditafsirkan lain dikarenakan distorsi persepsi realitas lingkungan, atau subyek yang dihadapi tidak jelas dan tidak sepadan. Stres dan kecemasan dahulu dipandang sebagai dua hal yang berbeda, walaupun seringkali tidak jelas atau tidak dapat ditegaskan dalam hal apa keduanya berbeda. Namun sekarang terdapat banyak pendapat yang

memandang bahwa keduanya sesungguhnya mengacu pada satu kualitas afektif (yaitu anxiety atau ketegangan, kecemasan) yang sama, dengan keterlibatan sistem saraf otonomik yang sama pula. Perbedaannya hanyalah pada penekanannya saja : istilah stress merupakan pandangan sosial yang bersifat non-medik, sedangkan anxiety merupakan pandangan klinik yang bersifat psikiatrik (Bahar, 1995).

Menurut freud, cemas dibagi dalam dua golongan yaitu: 1. Cemas nyata (real anxiety) : ancaman bahaya akibat hal-hal yang nyata dari luar individu. 2. Cemas neurotik (neurotic anxiety) : ancaman bahaya dicetuskan dari dalam diri sendiri (bawah sadar, repressed danger).

2.2 Kecemasan Normal Setiap orang pernah mengalami rasa cemas. Hal ini ditandai dengan adanya perasaan yang tidak enak, rasa takut yang samar-samar, dan sering disertai dengan gejala otonom seperti sakit kepala, berkeringat, rasa tertekan di dada, tidak enak perut, dan tidak dapat beristirahat, yang ditunjukan dengan orang tersebut tidak dapat mempertahankan posisi duduk atau

berdiri dalam jangka waktu relatif lama (Kaplan et al., 2007). Terdapat banyak hal dalam hidup manusia yang bisa menyebabkan rasa cemas yang normal. Banyak pengalaman hidup yang dapat memicu rasa cemas seperti ketika seseorang baru pertama kali masuk sekolah, pertama kali meninggalkan rumah dengan jarak yang jauh, atau ketika seseorang baru pertama kali naik pesawat terbang. Selama seseorang menjalani kehidupan, akan terdapat banyak hal-hal penting maupun dalam yang kehidupannya, tidak baik hal-hal yang yang dapat

menyenangkan

menyenangkan

menyebabkan variasi kecemasan. Hal-hal ini termasuk menjalani ujian sekolah, menikah, memiliki keturunan, bercerai, mendapatkan pekerjaan baru, dan lain-lain (Kaplan et al., 1990).

2.3 Cemas Patologis Cemas patologis dapat timbul sebagai gejala cemas yang terdapat pada berbagai gangguan atau penyakit. Cemas dapat pula digunakan sebagai kategori diagnostik tersendiri. Akan sulit membedakan gejala cemas yang sekunder terhadap gangguan psikopatologis lain dengan gangguan cemas yang normal, kecuali bahwa hal tersebut berlangsung berkepanjangan dan dapat diatasi bila psikopatologis primernya teratasi (Wibisono, 1990). Kecemasan juga merupakan salah satu gejala adanya gangguan mental. Gejala gangguan mental yang sering terjadi akibat adanya stressor antara lain adalah timbulnya : kecemasan (anxiety), ketegangan (tension), ketakutan, depresi, insomnia, nightmare, night terror, somnamulisme, hipoaktif, tilikan diri (insight) yang jelek, nihilistik dan anhedonia (Soewadi, 1999). Dalam PPDGJ III, kecemasan merupakan gangguan jiwa yang termasuk dalam gangguan jiwa neurotik, yaitu suatu kesalahan penyesuaian diri secara emosional karena tidak dapat diselesaikan suatu konflik yang tidak dasar. Kecemasan yang timbul dirasakan secara langsung dan diubah oleh mekanisme pembelaan psikologis dan pada akhirnya munculah gejala-gejala subyektif yang mengganggu.

2.4 Epidemiologi Kecemasan Kecemasan dapat terjadi pada semua usia, lebih sering pada usia dewasa dan lebih banyak pada wanita (Wibisono, 1990). Prevalensi (angka kesakitan) gangguan anxietas berkisar pada angka 6-7% dari populasi umum. Penelitian yang dilakukan pada sejumlah karyawan pada tingkat eksekutif di beberapa instansi pemerintah maupun swasta di Jakarta, menunjukan prevalensi phobia sosial (satu diantara gangguan anxietas), sebesar 10-16%. Penelitian yang dilakukan pada kelompok laki-laki dan kelompok perempuan pada siswa SLTA di dua kawasan Jakarta yaitu Jakarta Selatan dan Jakarta Utara, prevalensi gangguan anxietas sebesar 8-12%. Prevalensi keadaan cemas di Amerika berkisar 10 15% dari populasi umum

(Horowitz,1994). Angka prevalensi di negara berkembang belum ada, namun diperkirakan tidak jauh berbeda dibandingkan dengan negara maju. Kesulitan menentukan angka ini di negara berkembang diperbesar oleh kondisi budaya setempat yang umumnya memandang neurosis bukan sebagai penyakit, dan bila diobati maka pertolongan yang dicari adalah penyembuhan tradisional (Bahar, 1987). Angka prevalensi kecemasan memang sulit ditentukan karena sering muncul bersamaan dengan penyakit lain, dan biasanya dimasukkan kedalam gangguan jiwa neurosa/psikoneurosa (Roan, 1979). Wanita umumnya banyak terkena ganggguan cemas, dengan rasio 2,4 : 1. Gangguan cemas biasanya muncul pada kehidupan biasa, dengan onset pada usia 15 35 tahun dengan rata-rata usia 25 tahun. Usia setengah tua merupakan masa yang relatif bebas dari cemas dan mendekati masa klimakterium akan terjadi peningkatan kembali. Menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia (1984) berdasarkan survey kesehatan rumah tangga pada tahun 1972, dapat diketahui bahwa di Indonesia terdapat penderita psikosis 1-3% dan neurosis (termasuk kecemasan, obsesi, histeri, psikosomatik sebagai akibat tekanan jiwa sebesar 20 60%. Soewadi pada tahun 1987 mengemukakan bahwa penederita anxietas merupakan 30% dari pasien yang mencari pengobatan ke dokter ahli.

2.5 Etiologi Kecemasan Kesehatan mental dan penyakit penyakit kesehatan mental dipengaruhi oleh interaksi faktor sosial, psikologis, dan biologis, sama seperti kesehatan dan penyakit secara umum. (WHO, 2007). 1. Biologis Setiap kecemasan selalu melibatkan komponen kejiwaan maupun organobiologik walaupun pada tiap individu bentuknya tidak sama. Sebagian dari gejala tersebut merupakan penampakan dari terangsangnya sistem saraf otonom maupun viseral (Mulyadi, 2003). Menurut Maslim (1991), pada

10

dasarnya hidup manusia selalu berhubungan dengan lingkungan hidupnya, baik lingkungan alam maupun lingkungan sosial budaya. Suatu kejadian dalam lingkungan dipersepsikan oleh panca indera, diberi arti dan dikoordinasi respon terhadap kejadian tersebut oleh sistem saraf pusat, prosesnya melibatkan jalur : korteks serebri sistem limbik sistem aktivasi retikular hipotalamus, yang memberikan impuls kepada kelenjar hipofisis untuk mengekskresi mediator hormonal yang lain (katekolamin). Selanjutnya akan timbul gejala pada tubuh sebagai reaksi dari perubahan hormonal tersebut. Gejala tersebut disebut dengan gangguan kecemasan. Cemas dapat timbul akibat adanya respons terhadap kondisi stres atau konflik. Rangsangan berupa konflik, baik baik yang datang dari luar maupun yang datang dari dalam diri sendiri, akan menimbulkan respon dari sistem saraf yang mengatur pelepasan hormon tertentu. Akibat rangsangan dari hormon tersebut, maka muncul perangsangan pada organ-organ seperti jantung, lambung, pembuluh darah maupun alat-alat gerak tubuh, karena bentuk respon yang demikian, penderita biasanya tidak menyadari hal itu sebagai hubungan sebab akibat (Mulyadi, 2003).

2.

Psikologis Cemas pada umumnya berhubungan dengan adanya situasi yang

mengancam atau membahayakan. Biasanya dengan berjalannya waktu, keadaan seperti ini akan bisa teratasi dengan sendirinya. Namun, ada pula keadaan cemas yang berkepanjangan, bahkan tidak jelas lagi kaitannya dengan faktor pencetus tertentu. Hal seperti ini dapat menimbulkan

gangguan kejiwaan yang dapat menyebabkan kendala dalam berbagai segi kehidupan dan fungsi sosial. Pengalaman masa kecil yang bernilai emosi, namun pada masa berikutnya ditekan dapat menyebabkan kecemasan yang tinggi. Faktor cara hidup, pola makan serta kebiasaan hidup yang salah dapat menimbulkan kecemasan. Ketidak stabilan menghadapi ketidakpastian atau kesulitan hidup secara klinis dapat menimbulkan kecemasan. Faktor sosial

11

ekonomi juga berpengaruh terhadap timbulnya rasa cemas. Seseorang dengan dukungan sosial yang kurang atau memiliki tingkat ekonomi yang rendah akan cenderung lebih mudah mengalami kecemasan (Wibisono, 1990).

3.

Sosial Cemas merupakan perwujudan langsung tekanan hidup dan sangat

erat kaitannya dengan pola hidup. Kemajuan pesat di bidang teknologi dan komunikasi telah mendorong pola hidup sosial yang semakin kompleks, pergeseran nilai serta pembauran sosial dalam segala aspek kehidupan. Perkembangan dan perubahan yang demikian cepat, menimbulkan berbagai konflik dan rasa waswas yan menuntut kemampuan penyesuaian diri yang luar biasa dari setiap individu. Dampak yang jelas terlihat adalah meningkatnya kejadian gangguan jiwa (termasuk kelompok gangguan cemas) dan gangguan lain yang dilandasi atau dipengaruhi aspek kejiwaan (Wibisono, 1990).

2.6 Timbulnya Kecemasan Berbagai faktor dapat berpengaruh terhadap timbulnya kecemasan, seperti faktor psikologik, biologik, dan stress psikososial. Termasuk stressor kronik adalah kemelaratan, hubungan suami istri yang tidak harmoni, tidak punya pekerjaan, dikucilkan atau tidak mendapat dukungan dari masyarakat sekitar, dianggap rendah dan tidak disukai keluarga dan lingkungan. Apabila stressor yang ada tidak bisa diatasi oleh kemampuan individu, maka akan timbul konflik, yang seterusnya dipahami sebagai kecemasan

(Prawirohusodo, 1998). Menurut konsep psikodinamika yang dikemukakan oleh Freud pada abad ke-14, kecemasan dapat diterangkan sebagai berikut : kecemasan manusia pertama kali timbul pada saat lahir dan selanjutnya merasakan lapar yang pertama kali. Pada kondisi tersebut manusia masih lemah dan belum mampu memberikan respon terhadap kedinginan dan

12

kelaparan, maka lahirlah kecemasan yang pertama. Kecemasan berikutnya muncul apabila terdapat suatu keinginan (umumnya datang dari id) menuntut pelepasan melalui Ego, tetapi tidak mendapat persetujuan dari Super Ego (Super Ego mengancam dengan sangsi dosa), maka terjadilah konflik dalam ego, antara keinginan Id yang ingin dilepaskan dan sangsi dosa dari Super Ego, maka lahirlah kecemasan yang kedua. Konflik-konflik tersebut biasanya ditekan dalam dunia bawah sadar, dengan potensi yang tetap tidak terpengaruh oleh waktu, sering tidak realistik dan dibesar-besarkan. Tekanan konflik ini akan muncul dipermukaan kesadaran melalui tiga peristiwa : 1. Sensor Super Ego menurun 2. Desakan Id meningkat 3. Adanya stress psikoseksual maka lahirlah kecemasan-kecemasan berikutnya (Prawirohusodo, 1988). Kecemasan seperti ini sangat perlu dihadapi dengan mekanisme pembelaan dikarenakan kecemasan ini merupakan tanda dari adanya adanya gangguan atau ancaman pada keseimbangan psikologik. Bentuk mekanisme pembelaan yang dipakai tergantung pada lingkungan sosial, tipe kepribadian dan kebudayaan individu. Apabila kecemasan berhasil diatasi, maka kecemasan akan dapat dihadapi atau dikontrol, apabila kecemasan tetap ada, maka kecemasan ini akan berkembang menjadi kecemasan yang mengambang bebas (free floating anxiety) atau gejala neurotik yang lain tergantung dari bentuk mekanisme pembelaan yang dipakai (Halim, 1989). Menurut Maramis (1990), kecemasan bersifat sangat mengganggu

homeostasis dan fungsi individu. Oleh karena itu, perlu dihilangkan segera dengan berbagai macam cara penyesuaian diri.

2.7 Gambaran Klinis Kecemasan Menurut Maramis (2009), ciri utama sindrom anxietas terdiri atas meningkatnya keterjagaan, meningkatnya aktivitas simpatetik dan perasaan subjektif ketakutan serta kecemasan. Gejala-gejala anxietas terdiri atas dua

13

komponen, yaitu komponen psikis dan komponen fisik. Gejala psikis berupa anxietas atau kecemasan itu sendiri, yang sering digunakan dalam berbagai istilah seperti misalnya khawatir atau was-was. Komponen fisik merupakan manifestasi dari keterjagaan yang berlebihan (hyperarousal syndrome) yang terdiri dari gejala jantung berdebar, peningkatan frekuensi nafas

(hiperventilasi yang sering dirasakan sebagai sesak), mulut kering, keluhan lambung (maag), tangan dan kaki terasa dingin dan ketegangan otot (biasanya di pelipis, tengkuk, atau punggung). Hiperventilasi sering tidak disadari oleh penderita anxietas, gejala yang sering dikeluhkan adalah gejalagejala akibat berubahnya keseimbangan asam basa di darah yaitu hipokapnea, perasaan pusing seperti melayang, rasa kesemutan di tangan dan kaki, dan jika parah dapat terjadi spasme otot tangan dan kaki (spasme karpopedal). Sindrom kecemasan bervariasi tergantung dari tingkat kecemasan yang dialami oleh seseorang yang gejalanya terdiri atas kategori fisiologis, emosi, dan kognitif (Carpenito, 1998). a. Gejala fisiologis Terjadi peningkatan tekanan darah, peningkatan denyut nadi,

peningkatan frekuensi nafas, diaphoresis, suara getar, gemetar, palpitasi, mual, muntah, sering berkemih, diare, insomnia, kelelahan, kelemahan, pucat pada wajah, mulut kering, sakit badan dan nyeri (khususnya dada, punggung dan leher), gelisah, pusing, parastesia, rasa panas dan dingin. b. Gejala emosional Individu merasa tidak berdaya, ketakutan, gugup, kehilangan percaya diri, kehilangan kontrol, tegang dan merasa terkunci, tidak dapat rileks. Individu juga memperlihatkan keadaan yang peka terhadap rangsang, tidak sabar, marah meledak-ledak, menangis, cenderung menyalahkan orang lain, reaksi terkejut, mengkritik diri sendiri dan oran glain, menarik diri, kurang inisiatif dan mengutuk diri sendiri.

14

c.

Gejala Kognitif Tidak mampu berkonsentrasi, kurangnya orientasi lingkungan, pelupa,

termenung, memblok pikiran, berorientasi pada masa lalu dan perhatian yang berlebihan.

2.8 Pengertian Mahasiswa Mahasiswa secara sederhana dapat didefinisikan sebagai kelompok masyarakat yang dapat mengenyam pendidikan formal tingkat tinggi. Yahya Ganda (1987), mengatakan bahwa mahasiswa diartikan sebagai pelajar yang menimba ilmu di pengetahuan tinggi, dimana pada tingkat ini mereka dianggap memiliki kematangan fisik dan perkembangan pemikiran yang luas, sehingga dengan nilai lebih tersebut mereka dapat memiliki kesadaran untuk menentukan sikap dirinya serta mampu bertanggung jawab terhadap sikap dan tingkah lakunya dalam wacana ilmiah. Menurut Syaifullah (2005), mahasiswa merupakan kelompok generasi muda yang mempunyai peran strategis dalam kancah pembangunan bangsa, karena mahasiswa

merupakan sumber kekuatan moral (moral force) bagi bangsa Indonesia. Artinya bahwa mahasiswa merupakan bagian integral dari masyarakat yang dengan seleksi tertentu sehingga dapat mengenyam pendidikan formal tingkat tinggi. Menurut Soe Hok Gie (2005), mahasiswa merupakan bagian integral dari masyarakat yang merupakan perwujudan fase dari kehidupan manusia yang telah mencapai kesadaran akan tugas sejarah dan kemanusiaannya. Secara historis bahwa mahasiswa merupakan sumber kepemimpinan, dan secara sosiologis bahwa mahasiswa merupakan usia muda, idealis serta ilmiah. Mahasiswa merupakan the happy selected few yang dapat kuliah dan karena itulah mereka harus juga menyadari dan melibatkan diri dalam perjuangan bangsanya. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 1999 Tentang Perguruan Tinggi disebutkan bahwa mahasiswa adalah peserta didik yang terdaftar pada perguruan tinggi. Sedangkan dalam Statuta Universitas

15

Pendidikan Indonesia dikatakan bahwa mahasiswa adalah seorang yang telah memenuhi persyaratan masuk dan memenuhi kewajiban administrasi. Mahasiswa berhak untuk mengikuti kegiatan kurikuler dan ekstrakulikuler serta memanfaatkan fasilitas pendidikan sesuai dengan ketentuan dan perundang-undangan yang berlaku.

2.9 Pengertian Keterlambatan Studi Dalam kurikulum pendidikan dokter di Fakultas Kedokteran Universitas Islam Indonesia, lama studi Program Pendidikan Sarjana Kedokteran adalah 3,5 (tiga setengah) tahun yang terbagi dalam 7 semester dengan beban studi 155 SKS. Pada Tahap Pendidikan Umum dan Pendidikan Terintegrasi, mahasiswa dinyatakan lulus dan ditetapkan sebagai sarjana kedokteran (S.Ked), apabila : 1. Tidak ada nilai E 2. Untuk nilai blok, D tidak lebih dari 25% 3. Untuk nilai mata kuliah non blok, nilai minimal C 4. Indeks Prestasi Minimal 2,50 5. Memiliki sertifikat lulus Kuliah Kerja Nyata (KKN) 6. Telah menyelesaikan Kaya Tulis Imiah Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, kata terlambat berarti lewat dari waktu yang telah ditentukan. Jadi, pengertian terlambat studi di Fakultas Kedokteran Universitas Islam Indonesia adalah tidak dapat menyelesaikan program pendidikan Sarjana Kedokteran dalam kurun waktu tujuh semester.

2.1 0 Landasan Teori Secara umum kecemasan merupakan situasi yang memiliki

karakteristik adanya tuntutan lingkungan yang melebihi kemampuan individu untuk merespon lingkungan. Pengertian ini tidak hanya menyangkut lingkungan fisik saja, tetapi juga lingkungan sosial. Bagi yang

16

penyesuaiaanya buruk, maka stres dan kecemasan akan menghambat kegiatan sehari-hari (Prawitasari, 1988). Seorang mahasiswa dituntut dan selalu berharap dapat menyelesaikan studinya secara tepat waktu. Hal ini merupakan suatu kebanggaan dan pencapaian dalam kehidupan seorang mahasiswa. Apabila seorang

mahasiswa mengalami keterlambatan studi, maka akan terdapat perubahan sosial, dan psikologik yang mungkin terjadi pada mahasiswa tersebut, yang dapat menjadi stressor sehingga dapat menimbulkan kecemasan pada mahasiswa yang bersangkutan.

17

2.11 Kerangka Teori


Stressor

Individu

Adaptasi

Baik

Kurang Baik

Cemas

Gambar 1. Kerangka teori

18

2.12 Kerangka Konsep

Mahasiswa/i Fakultas Kedokteran Universitas Islam Indonesia

Mengalami Keterlambatan Studi

Tingkat Kecemasan

Gambar 2. Kerangka Konsep

2.13 Hipotesis Hipotesis yang diajukan pada penelitian ini adalah terdapat hubungan antara tingkat kecemasan dengan lama keterlambatan studi pada mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Islam Indonesia

19

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini adalah penelitian deskriptif analitik jenis cross sectional. Data diambil dari data primer yang diperoleh dari pengisian kuisioner langsung oleh subyek.

3.2 Populasi dan Sampel Populasi dari penelitian ini adalah mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Islam Indonesia. Kriteria yang telah ditetapkan sebagai berikut : 1. Kriteria Inklusi a. Tidak dapat menyelesaikan Program Pendidikan Sarjana

Kedokteran tepat waktu sesuai kurikulum Pendidikan sarjana kedokteran Fakultas Kedokteran Universitas Islam Indonesia. b. Bersedia menjadi responden dalam penelitian. 2. Kriteria eksklusi a. Tidak mengisi kuesioner secara benar dan lengkap. Rumus Besar sampel :
2 n = z PQ d2 Keterangan :

N z2

: jumlah sampel yang akan diteliti : koefisien keterandalan (sesuai tingkat kepercayaan yang

diinginkan = 1,96 (untuk tingkat kepercayaan 95%) P Q : proporsi penyakit atau keadaan yang akan dicari : variasi pada populasi (1-P). (0,50) karena proporsi sebelumya belum diketahui) d : tingkat ketetapan absolut yang dikehendaki (0,2)

20

Dari rumus diatas dapat dihitung jumlah sampel yang diteliti sebagai berikut:
n 1,96 .0.50 .(1 0.50 ) 0,2 2 0,9604 0,04

= 24,01 Dari hasil penghitungan diperoleh bahwa jumlah sampel minimal yang diambil peneliti adalah 24 orang.

3.3 Variabel Penelitian Variabel yang ingin diidentifikasi dalam penelitian ini adalah variabel bebas dan variabel bergantung. Variabel bebas disini adalah mahasiswa yang mengalami keterlambatan studi. Sedangkan variabel bergantungnya adalah tingkat kecemasan.

3.4 Definisi Operasional a. Kecemasan Kecemasan adalah suatu keaadan jiwa yang menurut TMAS (Taylor Manifest Anxiety Scale) dibagi menjadi dua golongan yaitu : 1. Nilai 2. Nilai 21 : kecemasan ringan 22 : kecemasan tinggi

b. Keterlambatan studi Keterlambatan studi adalah tidak dapat menyelesaikan program pendidikan Sarjana Kedokteran dalam kurun waktu tujuh semester. c. Mahasiswa Fakultas Kedokteran Uiversitas Islam Indonesia Mahasiswa Fakultas Kedokteran Uiversitas Islam Indonesia adalah Mahasiswa yang menjalani program pendidikan dokter di Fakultas Kedokteran Universitas Islam Indonesia

21

3.5 Instrumen Penelitian Instrumen penelitian yang digunakan untuk mengukur tingkat

kecemasan pada penelitian ini adalah menggunakan alat ukur berupa kuesioner TMAS (Taylor Mantifest Anxiety Scale). Kuesioner ini berisi 50 butir pertanyaan yang nantinya akan dimintai jawaban. Responden diminta untuk menjawab dengan hanya dua pilihan, Ya atau Tidak. Jika sesuai dengan kunci jawaban akan diberi nilai 1, dan jika tidak sesuai akan diberi nilai 0. Nilai maksimum adalah 50 dan nilai minimum adalah 0. Makin tinggi skor yang didapat, maka makin tinggi tingkat kecemasannya. Nilai yang nantinya diperoleh kemudian akan digolongkan menjadi dua kategori yaitu : 1. Nilai 2. Nilai 21 : kecemasan ringan 22 : kecemasan berat

Ketentuan TMAS dibuat oleh Spielberger pada tahun 1971 (Widodo, 2004). Instrumen TMAS terdiri dari lembaran untuk mengisi identitas subyek penelitian, serta lembaran penjelasan/petunjuk yang terdiri dari 50

pertanyaan. Instrumen TMAS valid dan reliabel sebagai alat bantu diagnosis keadaan gangguan cemas menyeluruh. Instrumen TMAS telah dipakai di Yogyakarta dan mempunyai validitas dan reabilitas yang cukup tinggi. Validitas TMAS adalah sebgai berikut : sensitivitas 90%, spesifisitas 90,4%, nilai ramal positif 94,7%, nilai ramal negatif 90,4%, efektifitas 92,5%. Uji reliabilitasnya terhadap Gangguan Cemas Menyeluruh menurut DSM III-R dengan metode analisis KR 20, didapatkan hasil r = 0,86 1991). (Wicaksono,

22

3.6 Tahapan Penelitian Penelitian dilakukan di Fakultas Kedokteran Universitas Islam

Indonesia. Subjek diambil dari keseluruhan Mahasiswa yang mengalami keterlambatan studi. Tahap-tahap penelitian meliputi: 1. Tahap persiapan Pada tahapan ini meliputi pembuatan proposal penelitian, konsultasi pada Dosen Pembimbing, seminar proposal serta penyelesaian administrasi dan pengurusan izin penelitian. 2. Tahap pelaksanaan Tahap ini dimulai dengan menyampaikan izin ke Fakultas Kedokteran Universitas Islam Indonesia yang menjadi tempat penelitian, kemudian pengumpulan data secara langsung di lokasi dengan sebelumnya subyek mengisi kuesioner TMAS. 3. Tahap akhir Pada tahap ini setelah semua data terkumpul dilakukan pengolahan data dan penyusunan laporan hasil penelitian.

3.7 Rencana Analisis Data Tahap analisis data dimulai dengan menghitung nilai tingkat

kecemasan lalu dimasukkan kedalam kategori tingkat kecemasan ringan atau berat. Pengolahan data dimulai dengan pemberian kode yaitu

mengelompokan data berdasarkan kategori. Setelah itu data dimasukkan. Kemudian dilakukan tabulasi data yaitu data dikelompokan berdasarkan variabel yang diteliti, untuk mendapatkan distribusi frekuensi dari masingmasing kategori. Untuk mendapatkan kekuatan hubungan antara variabel, data dianalisis statistik dengan dari uji Chi-Square. maka Sedangkan uji untuk Logistic

mendapatkan Regression.

pengaruh

variabel,

digunakan

23

3.8 Etika Penelitian Dalam mengadakan penelitian ini, peneliti akan berusaha

memperhatikan hak-hak responden sebagai subyek penelitian yang meliputi : 1. Memberi informasi tentang mekanisme penelitian sebagai calon responden sehingga responden mampu memahami dan diharapkan dapat berpartisipasi dalam penelitian ini. 2. Segala informasi yang didapat akan dijaga kerahasiaannya dan hanya akan digunakan untuk kepentingan penelitian. 3. Meminta izin terlebih dahulu kepada Fakultas Kedokteran Universitas Islam Indonesia.

24

3.9 Jadwal Penelitian Tahap Penelitian Penyusunan Proposal Pengajuan dan seminar proposal Pegambilan data Pengolahan data dan penyusunan laporan penelitian Seminar hasil penelitian V V V V V 1 2 3 4 5 2012 6 7 8 9 10 V 11 V 12

25

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 HASIL 4.1.1. Karateristik Kelompok Penelitian Subjek penelitian ini adalah Mahasiswa angkatan 2006, 2007, dan 2008 Fakultas Kedokteran Universitas Islam Indonesia yang belum menyelesaikan Program Pendidikan Sarjana. Dari 45 responden yang diberikan kuesioner, 2 responden tidak mengembalikan kuesioner,

sedangkan 3 responden tidak mengisi identitas kuesioner secara lengkap. Oleh karena itu, subjek yang dapat diikutkan dalam penelitian ini adalah berjumlah 40 responden. Dari 40 responden yang dimasukkan dalam kriteria penelitian, 5 responden adalah angkatan 2006, 10 responden angkatan 2007, dan 25 responden berasal dari angkatan 2008. Dari 40 responden, responden yang berjenis kelamin wanita adalah sejumlah 11 responden, dan responden yang berjenis kelamin pria adalah sejumlah 29 responden.Dengan menggunakan nilai batas TMAS 22, maka dari 40 responden terdapat 19 responden yang memiliki tingkat kecemasan berat, dan 21 responden yang memiliki tingkat kecemasan ringan. Data mengenai jumlah responden mahasiswa yang terlambat studi berdasarkan kelompok kecemasannya disajikan pada tabel 1.

Tabel 1. Frekuensi kecemasan pada mahasiswa yang terlambat studi di Fakultas kedokteran Universitas Islam Indonesia Kecemasan Berat Ringan TOTAL F 19 21 40 % 47,5 52,5 100

26

4.1.2. Tingkat Kecemasan Mahasiswa berdasarkan Angkatan (lama studi) Dari 40 responden seluruh angkatan, 20 responden (50%) menderita kecemasan ringan, dan 20 (50%) responden menderita kecemasan berat. Dari 5 responden (100%) angkatan 2006, semua memiliki skor TMAS yang berarti seluruh responden memiliki tingkat kecemasan 22 berat.

Sedangkan dari 10 responden angkatan 2007, terdapat 6 responden (60%) yang memiliki tingkat kecemasan berat dan 4 responden (40%) yang memiliki tingkat kecemasan ringan. Dari 25 responden angkatan 2008, 9 responden (36 %) memiliki tingkat kecemasan berat, sedangkan 16 responden (64%) memiliki tingkat kecemasan ringan. Data mengenai frekuensi tingkat kecemasan pada mahasiswa yang terlambat studi berdasarkan lama keterlambatan studi disajikan pada tabel 2 dan diagram 1.

Tabel 2. Tingkat kecemasan mahasiswa yang terlambat studi berdasarkan angkatan (lama keterlambatan studi) KECEMASAN Berat % Ringan % TOTAL ANGKATAN 2006 5 100% 0 0% 5 100% 2007 6 60% 4 40% 10 100% 2008 9 36% 16 64% 25 100% 40 20 TOTAL 20

27

Diagram 1. Tingkat kecemasan dan jumlah mahasiswa berdasarkan angkatan (lama keterlambatan studi)
18 16

14 12

10

ANGKATAN
6 2006

Count

4 2 Berat Ringan

2007 2008

KECEMASAN

28

4.1.3 Analisis Bivariat Analisis bivariat adalah analisis yang digunakan untuk mengetahui hubungan antara variabel bebas yaitu mahasiswa yang mengalami keterlambatan studi dengan variabel terikat yaitu tingkat kecemasan. Subjeknya adalah Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Islam Indonesia yang mengalami keterlambatan studi. Analisis data menggunakan uji chi-square X2 pada tingkat kemaknaan p < 0,05.

Tabel 3. Hubungan antara lama keterlambatan studi dengan tingkat kecemasan KECEMASAN Berat % Ringan % ANGKATAN 2006 5 100% 0 0% 2007 6 60% 4 40% 2008 9 36% 16 64% 0,025 p-value

Berdasarkan Tabel 3, dapat dilihat bahwa dari 5 responden (100%) angkatan 2006, semua memiliki skor TMAS 22 yang berarti seluruh

responden memiliki tingkat kecemasan berat. Sedangkan dari 10 responden angkatan 2007, terdapat 6 responden (60%) yang memiliki tingkat kecemasan berat dan 4 responden (40%) yang memiliki tingkat kecemasan ringan. Dari 25 responden angkatan 2008, 9 responden (36 %) memiliki tingkat kecemasan berat, sedangkan 16 responden (64%) memiliki tingkat kecemasan ringan. Setelah diuiji statistik dengan menggunakan Chi-Square, didapatkan perbedaan yang bermakna antara lama keterlambatan studi dengan tingkat kecemasan pada Mahasiswa Fakultas Kedokteran dengan nilai p=0,025. Dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara lama keterlambatan studi dengan tingkat kecemasan pada Mahasiswa Fakultas Kedokteran.
29

4.1.4 Pembahasan Besar frekuensi kecemasan pada mahasiswa yang terlambat studi di Fakultas Kedokteran Universitas Islam Indonesia adalah 50%. Besar frekuensi kecemasan ini lebih besar dari frekuensi gangguan cemaspada populasi umumyaitu sekitar 8% menurut DSM III (Noyes, Jr. 1986). Menurut Disketwa (1983), diperkirakan 2% sampai 4% diantara populasi umum mengalami kecemasan. Sedangkan menurut Setyonugroho (1980),

prevalensi kecemasan hanya berkisar 2% sampai 5% dari populasi, dan 6% sampai 7% dari semua penderita gangguan jiwa. Besarnya frekuensi kecemasan pada mahasiswa yang terlambat studi di Fakultas Kedokteran Universitas Islam Indonesia yang cukup tinggi ini dapat disebabkan oleh berbagai macam faktor. Perasaan khawatir, gelisah, dan merasa tidak mampu bersaing untuk dapat menyelesaikan studi tepat waktu seperti mahasiswa lainnya merupakan beban tersendiri dan dapat menjadi suatu stressor yang dapat menimbulkan kecemasan apabila mahasiswa tidak mampu untuk mengatasinya. Selain itu, karena stres bersifat kumulatif, maka terjadinya kecemasan pada mahasiswa yang terlambat studi tidak bisa dilepaskan sama sekali dari pengaruh kecemasan diluar keterlambatan studi seperti kepribadian, sikap orang tua, dan ketaatan beragama. Pada mahasiswa angkatan 2006 yang mengalami keterlambatan studi, ditemukan bahwa 100% mengalami kecemasan berat. Sedangkan pada mahasiswa angkatan 2007, 60% mengalami kecemasan berat dan 40% mengalami kecemasan ringan. Pada mahasiswa angkatan 2008, 36% mengalami kecemasan berat, sedangkan 64% mengalami kecemasan ringan. Besar frekuensi kecemasan berat pada mahasiswa yang terlambat studi tertinggi pada angkatan 2006, dan terendah pada angkatan 2008. Hal ini menunjukan bahwa semakin lama masa keterlambatan studi, maka semakin berat tingkat kecemasan yang dialami oleh mahasiswa. Hal ini kemungkinan disebabkan karena pada angkatan 2006 tuntutan untuk

30

menyelesaikan studi lebih besar jika dibandingkan dengan angkatan 2007 dan 2008. Hal ini bisa menjadi stresor yang kuat dan membutuhkan adaptasi yang cukup baik, sehingga ketika seseorang tidak dapat melakukan adaptasi dengan baik, maka dapat menimbulkan kecemasan yang berat bagi mahasiswa. Keadaan ini sesuai dengan pendapat Prawirohusodo (1988) yang menyatakan bahwa bila stresor tidak dapat diatasi oleh kemampuan adaptasi individu, maka akan timbul konflik dan seterusnya dihayati sebagai kecemasan. Daradjat (1982) juga menyatakan bahwa kecemasan timbul karena individu tidak mampu menyesuaikan diri terhadap dirinya sendiri, orang lain, dan lingkungannya. Frekuensi kecemasan berat pada angkatan 2007 dan 2008 menurun kemungkinan disebabkan karena tuntutan dan tekanan tidak begitu berat dibandingkan dengan angkatan 2006.

31

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN

V.I KESIMPULAN 1. Frekuensi mahasiswa yang terlambat studi di Fakultas Kedokteran Universitas Islam Indonesia angkatan 2006, 2007, 2008 yang mempunyai tingkat kecemasan berat adalah sebesar 50%. 100% dari angkatan 2006, 60% dari angkatan 2007, dan 36% dari angkatan 2008. 2. Terdapat hubungan antara tingkat kecemasan dengan lama

keterlambatan studi pada mahasiswa fakultas kedokteran Universitas Islam Indonesia (p=0,025). V. II SARAN 1. Perlu diberikan bimbingan dan konseling pada mahasiswa yang terlambat studi untuk mengatasi kecemasan yang terjadi, serta perlu diberikannya dukungan dan motivasi dari berbagai kalangan agar mahasiswa yang bersangkutan cepat menyelesaikan studinya. 2. Perlu dilakukan penelitian serupa dengan sampel yang lebih banyak dan tekhnik penelitian yang lebih handal. 3. Perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui faktor faktor dan sebab mahasiswa mengalami keterlambatan studi.

32

You might also like