You are on page 1of 30

PRESENTASI KASUS

SINUSITIS MAKSILARIS AKUT

Disusun oleh : ALFRED ALBERTA JOSHUA RITONGA (11-2011-021)

Pembimbing : Dr. Asnominanda, Sp.THT-KL Dr. Swasono, Sp.THT-KL, M.Kes

Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Penyakit THT RSPAU dr. ESNAWAN ANTARIKSA Fakultas Kedokteran UKRIDA 9 April 2012 - 12 Mei 2012 JAKARTA

LEMBAR PENGESAHAN

Case dengan Judul : SINUSITIS MAKSILARIS AKUT disusun oleh ALFRED ALBERTA JOSHUA RITONGA (11-2011-021) telah diterima dan disetujui oleh pembimbing sebagai syarat untuk menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit THT di RSPAU dr. Esnawan Antariksa periode 9 April 2012 - 12 Mei 2012

Disetujui & disahkan di Jakarta, 1 Mei 2012 oleh pembimbing :

Dr. Asnominanda, Sp.THT-KL

RUMAH SAKIT PUSAT TNI AU Dr ESNAWAN ANTARIKSA SMF TELINGA HIDUNG TENGGOROK Jl. Merpati No 2, Halim Perdanakusuma Jakarta Timur 13610

Nama : Alfred Alberta Joshua Ritonga NIM : 11 2011 038 : dr Asnominanda, Sp.THT-KL

Tanda Tangan .............

Dr. Pembimbing / Penguji

I. IDENTITAS PASIEN Nama Umur Pekerjaan Alamat : Ny. D : 46 tahun : Guru : Jln. Trikora Jenis Kelamin Agama Pendidikan Status Menikah : Perempuan : Islam : S-2 : Sudah Menikah

II. ANAMNESIS Diambil secara Pada tanggal : Auto-anamnesis : 26 April 2012 Jam : 12.00 WIB

Keluhan utama

: nyeri pada pipi kiri

Keluhan tambahan

: sakit kepala dan pilek

Riwayat penyakit sekarang (RPS)

OS datang dengan keluhan nyeri pada pipi sebelah kiri sejak 2 hari SMRS. Nyeri pipi kiri dirasakan hilang timbul, bila timbul tanpa disertai pemicu tertentu dan terasa sedikit berdenyut. OS juga mengeluh sakit kepala sejak 2 hari terakhir, bersamaan dengan nyeri pada pipi. Sakit kepala dirasakan hilang timbul, juga timbul tanpa disertai pemicu tertentu, tidak berdenyut,

hanya berupa rasa nyeri tanpa disertai rasa berputar, terutama pada bagian kepala bawah. OS juga mengeluhkan hidung tersumbat dan pilek yang berlangsung sudah sejak 1 minggu SMRS disertai dengan keluarnya ingus. Pada awalnya, ingus yang keluar berwarna putih, namun 2 hari SMRS ini, OS mengeluh ingus yang keluar berwarna kuning, kental dan sedikit berbau. OS menyangkal adanya batuk dan OS juga merasakan adanya lendir yang turun ke tenggorokan dan saat dikeluarkan berwarna kekuningan dan jumlahnya sedikit. OS tidak merasa demam dan merasa sedikit lesu. OS mengaku sering bersin-bersin pada pagi hari. Setelah bersin, OS mengaku hidungnya terasa gatal dan tersumbat, disertai dengan keluarnya ingus yang encer dan bening. Sakit kepala tidak dirasakan oleh OS pada waktu pagi hari, tetapi jika keluhan pilek semakin memberat, maka OS mulai merasakan timbulnya sakit kepala, yang bersifat terus menerus, tidak berdenyut dan menghilang tidak lama setelah keadaan OS membaik. OS mengaku mempunyai riwayat alergi terhadap kelembaban udara, terutama saat pagi hari. OS tidak merokok, tidak pernah mengalami kecelakaan pada daerah muka, riwayat adanya benjolan atau tumor di hidung juga disangkal, riwayat perdarahan di hidung (mimisan) disangkal. OS memiliki riwayat gigi berlubang pada rahang atas, namun gigi berlubang tersebut sudah dicabut. OS mengaku adanya gangguan penciuman pada hidung. OS menyangkal berkurangnya kemampuan penglihatan pada kedua mata OS. Sakit kepala yang dirasakan oleh OS, dirasakan menyebar ke daerah belakang dan bawah kepala dan timbul jika keluhan pilek semakin memberat. OS menyangkal adanya gangguan pendengaran atau berkurangnya suara yang didengar, bunyi denging atau dengung disangkal oleh OS, cairan yang keluar dari telinga disangkal oleh OS, rasa penuh di telinga disangkal oleh OS dan nyeri telinga disangkal oleh OS. Nyeri tenggorokan, gangguan menelan dan hambatan pada saluran napas disangkal oleh OS. Sebelumnya, OS pernah berobat ke dokter atas penyakitnya tersebut.OS menyangkal dia pernah dioperasi sebelumnya. OS juga tidak pernah berobat ke pengobatan lainnya untuk menghilangkan keluhan tersebut. OS hanya meminum obat-obat yang pernah diberikan oleh dokter kepadanya.

Riwayat penyakit dahulu (RPD) :

OS mengaku keluhan bersin dan pilek setiap pagi sudah dirasakan sejak masa anak-anak. Keluhan tersebut mulai membaik jika menjelang siang, dan lebih jarang terjadi bila dibandingkan dengan sekarang. OS mengaku keluhan nyeri pipi mulai dirasakan sejak 2 atau 3 tahun yang lalu, namun OS hanya datang ke dokter dan mengkonsumsi obat dari dokter saja dan riwayat operasi disangkal oleh OS.

Keadaan Umum Kesadaran Tensi Nadi Suhu Pernapasan Berat badan : Compos mentis : 120/80 mmHg : 86x/menit : 36.5C : 20x/menit : 58 kg

III. PEMERIKSAAN FISIK 1. Telinga Kanan Bentuk daun telinga Kelainan kongenital Tumor/ tanda peradangan Nyeri tekan tragus Penarikan daun telinga Kelainan: - pre aurikuler - infra aurikuler - retroaurikuler Liang Telinga Membran timpani tidak ditemukan tidak ditemukan tidak ditemukan CAE lapang, serumen (-) Dalam batas normal, retraksi (-), edema (-), reflex cahaya (+) jam 5, tidak ditemukan tidak ditemukan tidak ditemukan CAE lapang, serumen (-) Dalam batas normal, retraksi (-), edema (-), reflex cahaya (+) jam 7, Normal tidak ditemukan tidak ditemukan (-) (-) Kiri Normal tidak ditemukan tidak ditemukan (-) (-)

Tes Penala: - Rinne - Weber - Swabach

Positif Tidak ada lateralisasi Sama dengan pemeriksa

Positif Tidak ada lateralisasi Sama dengan pemeriksa

Kesan : pada kedua telinga tidak ditemukan kelainan 2. Hidung dan Sinus Paranasal - Bentuk - Tanda Peradangan - Vestibulum : Simetris : Tidak ditemukan tanda peradangan dari luar - Tampak bulu hidung bilateral +/+ - Hiperemis -/-, massa -/-, lapang +/+, polip -/- Hipertrofi -/- Cavum Nasi - Konka inferior kanan/kiri : Sekret +/+, warna kuning, muko-purulen : Tampak pucat, edema ringan +/+, hipertrofi -/+, sekret +/+ - Meatus nasi inferior kanan/kiri - Konka medius kanan/kiri - Meatus nasi medius kanan/kiri - Septum nasi - Daerah sinus frontalis dan sinus maksilaris : Sekret +/+, hiperemis -/: Hiperemis -/-, hipertrofi -/+ : Sekret +/+, hiperemis -/: Deviasi (-), sisa sekret (-/+) : Nyeri ketok (+) pada sinus maksilaris sinistra, nyeri tekan sinus frontalis (-), nyeri tekan sinus maksilaris : kiri (+), kanan (-) Rhinopharynx Koana Septum nasi posterior Muara tuba eustachius Tuba eustachius Torus tubaris Post nasal drip : : : : : :+ Tidak dilakukan pemeriksaan (Rhinoskopi posterior)

Pemeriksaan Transiluminasi o Sinus Frontalis kanan, grade o Sinus Frontalis kiri, grade o Sinus Maxillaris kanan, grade o Sinus Maxillaris kiri, grade : tidak dilakukan : tidak dilakukan : tidak dilakukan : tidak dilakukan

3. Tenggorok PHARYNX o Dinding pharynx o Arcus o Tonsil perlekatan (-) o Uvula o Gigi o Lain-lain drip (+) LARYNX o Epiglotis o Plica aryepiglotis o Arytenoids o Ventricular band o Pita suara o Rima glotidis o Cincin trachea o Sinus piriformis : tidak dilakukan : tidak dilakukan : tidak dilakukan : tidak dilakukan : tidak dilakukan : tidak dilakukan : tidak dilakukan : tidak dilakukan : simetris di tengah, hiperemis (-) : Bekas pencabutan gigi (+) M2 atas kiri, sisa akar (-), : tidak hiperemis, permukaan rata : simetris kanan-kiri, tidak hiperemis : T1-T1, hiperemis (-), kripta lebar(-), dentritus(-),

oral hygiene baik, caries dentis (-) : radang ginggiva (-), mukosa pharynx tenang, post nasal

o Kelenjar limfe Submandibula dan Cervical : tidak tampak membesar MAKSILLO FACIAL Nervus Kranialis

o Nervus 1 (olfaktorius) o Nevus 2 (optikus) o Nervus 3 (okulomotorius) o Nervus 4 (trochlearis) normal. o Nervus 5 (trigeminus) o Nervus 6 (abdusen) o Nevus 7 (fascialis) nomal/memperlihatkan gigi. o Nevus 8 (vestibularis) o Nervus 10 (vagus) o Nervus 11 (aksesorius) normal o Nervus 12 (hipoglossus) artikulasi bicara baik. Bentuk

: tidak dilakukan : tidak dilakukan : gerakan kedua bola mata (atas-luar, atas-dalam,

bawah-luar, medial-horizontal) normal : gerakan kedua bola mata ( bawah-medial)

: membuka mulut, mengunyah, menggigit nomal : gerakan kedua bola mata ke arah lateral normal : mengerutkan dahi, menutup mata, menyeringai

: dapat dilihat pada pemeriksaan telinga

o Nervus 9 (glossopharingeus) : tidak dilakukan : bicara dan menelan normal : mengangkat bahu dan memalingkan kepala

: pergerakan lidah normal, tremor lidah (-),

o Deformitas os maxilla, os mandibula, dan os zygomaticum tidak ada o Hematoma (-) LEHER Tidak ada pembesaran kelenjar getah bening leher

III.

PEMERIKSAAN PENUNJANG Telah dilakukan pemeriksaan foto polos dengan posisi Waters dengan hasil : tampak perselubungan dan batas udara-cairan (air fluid level) pada sinus maksilla sinistra. Pemeriksaan Laboratorium tidak dilakukan.

IV.

RESUME Dari anamnesis, didapatkan keluhan :

Seorang perempuan berumur 46 tahun, bekerja sebagai guru di sebuah sekolah, datang ke poliklinik THT RSPAU dengan keluhan nyeri pada pipi sebelah kiri sejak 2 hari SMRS yang dirasakan hilang timbul dan terasa sedikit berdenyut. Selain itu, OS juga mengeluh sakit kepala yang dirasakan hilang timbul, tidak berdenyut, hanya berupa rasa nyeri tanpa disertai rasa berputar, terutama pada bagian kepala bawah dan juga hidung tersumbat dan pilek yang berlangsung sudah sejak 1 minggu SMRS setiap pagi disertai dengan keluarnya ingus. OS mengaku mempunyai riwayat alergi terhadap kelembaban udara, terutama saat pagi hari. Dari pemeriksaan didapatkan : Hidung : - Cavum Nasi - Konka inferior kanan/kiri : Sekret +/+, warna kuning, muko-purulen : Tampak pucat, edema ringan +/+, hipertrofi -/+, sekret +/+ - Meatus nasi inferior kanan/kiri - Konka medius kanan/kiri - Meatus nasi medius kanan/kiri - Septum nasi - Daerah sinus frontalis dan sinus maksilaris : Sekret +/+, : Hipertrofi -/+ : Sekret +/+ : Sisa sekret (+) : Nyeri ketok (+) pada sinus maksilaris sinistra, nyeri tekan sinus maksilaris : kiri (+), kanan (-).

Tenggorok Pada pemeriksaan, ditemukan post nasal drip (+). V. DIAGNOSIS BANDING 1. Sinusitis maksilaris akut 2. Sinusitis dentogen 3. Nyeri Trigeminal

VI.

DIAGNOSIS KERJA

Diagnosis Kerja : Sinusitis maksilaris akut Dasar diagnosis : Kriteria mayor : facial pain (nyeri terutama di daerah pipi), hidung tersumbat, PND

Kriteria minor : sakit kepala, pilek, lemas Akut : gejala < 4 minggu, tidak dapat sembuh sempurna dengan pengobatan.

Pemeriksaan fisik sinus paranasal : o Nyeri ketok (+) pada sinus maksilaris sinistra, nyeri tekan sinus frontalis (-), nyeri tekan sinus maksilaris : kiri (+), kanan (-)

Pemeriksaan fisik hidung : o Terdapat sekret pada cavum nasi, meatus nasi inferior, konka nasalin inferior dan meatus nasi media.

VII. -

USULAN PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan naso-endoskopi dan sinuskopi CT-SCAN Sinus paranasal. Pemeriksaan mikrobiologi kultur swab sekret hidung tenggorok dan uji resistensi kuman terhadap antibiotik.

VIII. PENATALAKSANAAN a. Medika Mentosa Antibiotik : Ciprofloxacin tablet 500 mg 2x/hari selama 5 hari Mukolitik : Ambroxol tablet 3x/hari selama 5 hari Dekongestan : Rhinos SR tablet 2x/hari selama 5 hari Analgetik : Paracetamol 500 mg tablet 3x/hari selama 5 hari

b. Operatif FESS Caldwell-Luc Irigasi

IX.

ANJURAN Hindari paparan alergen secara langsung, seperti asap rokok dan debu. Hindari suhu dingin, terutama yang berasal dari AC sehingga tidak memperparah gejala alergi.

Menjaga stamina tubuh tetap fit dengan mengatur pola istirahat dan olahraga yang cukup. Hindari minuman dingin (es). Menggunakan obat sesuai dengan anjuran dokter. Kontrol kembali ke dokter 1 minggu kemudian, terlebih jika gejala dirasakan tidak membaik atau bertambah parah.

X.

PROGNOSIS Quo ad vitam Quo ad functionam : ad bonam : ad bonam

TINJAUAN PUSTAKA
SINUSITIS MAKSILARIS AKUT

1. Anatomi Anatomi Hidung Hidung terdiri atas hidung luar dan hidung dalam. Struktur hidung luar dapat dibedakan atas tiga bagian yaitu: paling atas kubah tulang yang tidak dapat digerakkan, di bawahnya terdapat kubah kartilago yang sedikit dapat digerakkan dan yang paling bawah adalah lobolus hidung yang mudah digerakkan.

Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah : a. Batang hidung (Dorsum nasi) : agak keatas dan belakang dari apeks, berlanjut sampai kepangkal hidung dan menyatu dengan dahi b. Puncak hidung (apeks) c. Ala nasi d. Kolumela membranosa, mulai dari apeks, yaitu diposterior bagian tengah pinggir dan terletak sebelah distal dari kartilago septum. e. Lubang hidung (nares anterior) Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yaitu M. Nasalis parstransversa dan M. Nasalis pars allaris. Kerja otot-otot tersebut menyebabkan nares dapat melebar dan menyempit. Batas atas nasi eksternus melekat pada os frontal sebagai radiks (akar), antara radiks sampai apeks (puncak) disebut dorsum nasi. Lubang yang terdapat pada bagian inferior disebut nares, yang dibatasi oleh : Superior : os frontal, os nasal, os maksilla Inferior : kartilago septi nasi, kartilago nasi lateralis, kartilago alaris mayor dan kartilago alaris minor. Dengan adanya kartilago tersebut maka nasi eksternus bagian inferior menjadi fleksibel. Hidung dalam terdiri atas struktur yang membentang dari os internum di sebelah anterior hingga koana di posterior, yang memisahkan rongga hidung dari nasofaring. Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan kebelakang, dipisahkan oleh septum nasi dibagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Pintu atau lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares anterior dan lubang belakang disebut nares posterior (koana) yang menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring. Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai ala nasi, tepat dibelakang nares anterior, disebut dengan vestibulum. Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut dengan vibrise. Kavum nasi ini berhubungan dengan sinus frontal, sinus sfenoid, fossa kranial anterior dan fossa kranial media. Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding yaitu dinding medial, lateral, inferior dan superior. Dinding medial hidung ialah septum nasi. Septum nasi ini dibentuk oleh tulang dan tulang rawan, dinding lateral terdapat konkha superior, konkha media dan konkha inferior. Yang terbesar dan letaknya paling bawah ialah konkha inferior, kemudian yang lebih kecil

adalah konka media, yang lebih kecil lagi konka superior, sedangkan yang terkecil ialah konka suprema dan konka suprema biasanya rudimenter. Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan labirin etmoid, sedangkan konka media, superior dan suprema merupakan bagian dari labirin etmoid. Celah antara konka inferior dengan dasar hidung dinamakan meatus inferior, berikutnya celah antara konkha media dan inferior disebut meatus media dan sebelah atas konkha media disebut meatus superior. Konka nasalis suprema, superior dan media merupakan tonjolan dari tulang etmoid. Sedangkan konka nasalis inferior merupakan tulang yang terpisah. Ruangan di atas dan belakang konka nasalis superior adalah resesus sfeno-etmoid yang berhubungan dengan sinus sfenoid. Kadang-kadang konka nasalis suprema dan meatus nasi suprema terletak di bagian ini. Batas-batas kavum nasi Posterior : berhubungan dengan nasofaring Atap : os nasal, os frontal, lamina kribriformis etmoidale, korpus sfenoidale dan sebagian os vomer Lantai : merupakan bagian yang lunak, kedudukannya hampir horisontal, bentuknya konkaf dan bagian dasar ini lebih lebar daripada bagian atap. Bagian ini dipisahkan dengan kavum oris oleh palatum durum. Medial : septum nasi yang membagi kavum nasi menjadi dua ruangan (dekstra dan sinistra), pada bagian bawah apeks nasi, septum nasi dilapisi oleh kulit, jaringan subkutan dan kartilago alaris mayor. Bagian dari septum yang terdiri dari kartilago ini disebut sebagai septum pars membranosa = kolumna = kolumela. Lateral : dibentuk oleh bagian dari os medial, os maksila, os lakrima, osetmoid, konka nasalis inferior, palatum dan os sfenoid. Meatus medius merupakan salah satu celah yang penting dan merupakan celah yang lebih luas dibandingkan dengan meatus superior. Disini terdapat muara dari sinus maksilla, sinus frontal dan bahagian anterior sinus etmoid. Dibalik bagian anterior konka media yang

Gambar 2. Konka nasalis

letaknya menggantung, pada dinding lateral terdapat celah yang berbentuk bulat sabit yang dikenal sebagai infundibulum. Ada suatu muara atau fisura yang berbentuk bulan sabit menghubungkan meatus medius dengan infundibulum yang dinamakan hiatus semilunaris. Dinding inferior dan medial infundibulum membentuk tonjolan yang berbentuk seperti laci dan dikenal sebagai prosesus unsinatus. Di bagian atap dan lateral dari rongga hidung terdapat sinus yang terdiri atas sinus maksilla, etmoid, frontalis dan sphenoid. Dan sinus maksilla merupakan sinus paranasal terbesar diantara lainnya, yang berbentuk pyramid iregular dengan dasarnya menghadap ke fossa nasalis dan puncaknya kearah apek prosesus zigomatikus os maksilla. Perdarahan Hidung Secara garis besar perdarahan hidung berasal dari 3 sumber utama yaitu: a. Arteri Etmoidalis anterior b. Arteri Etmoidalis posterior cabang dari arteri oftalmika c. Arteri Sfenopalatina, cabang terminal arteri maksilaris interna yang berasal dari arteri karotis eksterna.

Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang arteri maksilaris interna, diantaranya ialah ujung arteri palatina mayor dan arteri sfenopalatina yang keluar dari foramen

sfenopalatina bersama nervus sfenopalatina dan memasuki rongga hidung dibelakang ujung posterior konka media. Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari cabang-cabang arteri fasialis. Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang arteri sfenopalatina, arteri etmoid anterior, arteri labialis superior dan arteri palatina mayor, yang disebut pleksus Kieesselbach (Littles area). Pleksus Kiesselbach letaknya superfisialis dan mudah cedera oleh truma, sehingga sering menjadi sumber epistaksis. Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan arterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke vena oftalmika yang berhubungan dengan sinus kavernosus.

Persarafan hidung Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari nervus etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari nervus nasosiliaris, yang berasal dari nervus oftalmikus. Saraf sensoris untuk hidung terutama berasal dari cabang oftalmikus dan cabang maksilaris nervus trigeminus. Cabang pertama nervus trigeminus yaitu nervus oftalmikus memberikan cabang nervus nasosiliaris yang kemudian bercabang lagi menjadi nervus

etmoidalis anterior dan etmoidalis posterior dan nervus infratroklearis. Nervus etmoidalis anterior berjalan melewati lamina kribrosa bagian anterior dan memasuki hidung bersama arteri etmoidalis anterior melalui foramen etmoidalis anterior, dan disini terbagi lagi menjadi cabang nasalis internus medial dan lateral. Rongga hidung lainnya, sebagian besar mendapat persarafan sensoris dari nervus maksila melalui ganglion sfenopalatinum. Ganglion sfenopalatina, selain memberi persarafan sensoris, juga

memberikan persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerima serabut serabut sensorid dari nervus maksila.Serabut parasimpatis dari nervus petrosus profundus. Ganglion sfenopalatinum terletak dibelakang dan sedikit diatas ujung posterior konkha media. Nervus Olfaktorius turun melalui lamina kribosa dari permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung. Anatomi Sinus Paranasal Sinus paranasal merupakan rongga-rongga yang terdapat di dalam os maxilla, os frontale, os sphenoidale, dan os ethmoidale. Dindingnya terdiri atas tulang kompakta dengan dilapisi muko-endosteum yang berhubungan dengan mukosa respiratoria pada kavitas nasi. Sinus paranasal dipersarafi oleh cabang-cabang N. oftalmikus dan N. maxillaris. Sinus merupakan penonjolan/evaginasi dari kavitas nasi sehinga drainase keluar dari cairannya menuju cavitas

nasi secara langsung atau tidak langsung. Dengan adanya hubungan ini maka rhinitis atau radang pada kavitas nasi dapat menjalar ke sinus menyebabkan sinusitis.

GAMBAR 6. Anatomi sinus paranasal

1. Sinus Maxillaris Merupakan sinus paranasal yang terbesar, terdapat dalam korpus maxilla, berbentuk piramid berbaring dengan basis di sebelah medial sedangkan apex di processus zygomaticus maxillae. Dinding medialnya merupakan dinding lateral cavitas nasi. Atapnya merupakan lantai orbita, sedangkan alasnya merupakan processus alveolaris. Muara sinus maxillaris pada meatus nasi medius yaitu pada hiatus semilunaris. Saluran ini terdapat pada dinding medial sebelah anterosuperior. Innervasi oleh N. Alveolaris Superior dan N. Infraorbitalis, vaskularisasi oleh A. Maxillaris Interna, A. Infraorbitalis, A. Palatina Mayor. 2. Sinus Ethmoidalis Terdiri atas beberapa ruangan (4-17 pada tiap sisi), terletak di dalam labyrinthus ethmoidalis di antara orbita dan cavitas nasi. Bagian-bagian dari sinus ethmoidalis disebut cellulae ethmoidales. Dindingnya dibentuk oleh os frontale, os maxilla, os lacrimale, os sphenoidale, dan os palatina. Berdasarkan muaranya, cellulae ethmoidales digolongkan menjadi : a. Cellulae ethmoidales anterior yang bermuara di meatus nasi medius b. Cellulae ethmoidales posterior yang bermuara di meatus nasi superior dan suprema. Inervasi oleh N. Ethmoidalis posterior dan N. Ethmoidalis anterior. Vaskularisasi oleh A. Ethmoidalis posterior dan A. Ethmoidalis anterior.

3. Sinus Frontalis Dapat dianggap sebagai akibat meluasnya cellulae ethmoidalis anterior ke os frontale. Kanan dan kiri tidak sama besar dan dipisahkan oleh keping tulang yang terdapat di linea mediana. Sinus ini sering meluas sampai atap orbita. Sinus frontalis bermuara ke meatus nasi medius secara langsung atau melalui saluran yang disebut duktus frontonasalis. Inervasi: N. Supraorbitalis cabang dari N. Oftalmikus. Vaskularisasi: a.supraorbitalis. 4. Sinus Sphenoidalis Terdapat di dalam corpus sphenoidale dan dapat meluas ke osoccipitale. Bermuara pada recessus sphenoethmoidalis. Sinus sphenoidalis terbagi menjadi belahan kanan dan kiri oleh septum tulang yang biasanya mengalami deviasi ke salah satu pihak. Dinding depannya merupakan dua keping tulang tipis disebut conchae sphenoidale. Inervasi n.ethmoidalis posterior. Vaskularisasi a.maxillaris.

2.

Fisiologi Hidung Hidung berfungsi sebagai indra penghidu, menyiapkan udara inhalasi agar dapat

digunakan paru serta fungsi filtrasi. Sebagai fungsi penghidu, hidung memiliki epitel olfaktorius berlapis semu yang berwarna kecoklatan yang mempunyai tiga macam sel-sel syaraf yaitu sel penunjang, sel basal dan sel olfaktorius. Fungsi filtrasi, memanaskan dan melembabkan udara inspirasi akan melindungi saluran napas dibawahnya dari kerusakan. Partikel yang besarnya 5-6 mikrometer atau lebih, 85% - 90% disaring di dalam hidung dengan bantuan TMS. Sebagai jalan nafas Pada inspirasi, udara masuk melalui nares anterior, lalu naik ke atas setinggi konka media dan kemudian turun ke bawah ke arah nasofaring,sehingga aliran udara ini berbentuk lengkungan atau arkus. Pada ekspirasi, udara masuk melalui koana dan kemudian mengikuti jalan yang sama seperti udara inspirasi. Akan tetapi di bagian depan aliran udara memecah, sebagian lain kembali ke belakang membentuk pusaran dan bergabung dengan aliran dari nasofaring. Pengatur kondisi udara (air conditioning) Fungsi hidung sebagai pengatur kondisi udara perlu untuk mempersiapkan udara yang akan masuk ke dalam alveolus. Fungsi ini dilakukan dengan cara :

a. Mengatur kelembaban udara. Fungsi ini dilakukan oleh palut lendir.Pada musim panas, udara hampir jenuh oleh uap air, penguapan darilapisan ini sedikit, sedangkan pada musim dingin akan terjadisebaliknya. b. Mengatur suhu. Fungsi ini dimungkinkan karena banyaknyapembuluh darah di bawah epitel dan adanya permukaan konka danseptum yang luas, sehingga radiasi dapat berlangsung secara optimal.Dengan demikian suhu udara setelah melalui hidung kurang lebih 37C. Sebagai penyaring dan pelindung Fungsi ini berguna untuk membersihkan udara inspirasi dari debu danbakteri dan dilakukan oleh : a. Rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi b. Silia c. Palut lendir (mucous blanket). Debu dan bakteri akan melekat padapalut lendir dan partikel partikel yang besar akan dikeluarkandengan refleks bersin. Palut lendir ini akan dialirkan ke nasofaringoleh gerakan silia. d. Enzim yang dapat menghancurkan beberapa jenis bakteri, disebut lysozime.

Indra penghidu Hidung juga bekerja sebagai indra penghidu dengan adanya mukosa olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas septum. Partikel bau dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut lendir atau bila menarik nafas dengan kuat. Resonansi suara Penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan menyanyi. Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang, sehingga terdengar suara sengau. Proses bicara Membantu proses pembentukan kata dengan konsonan nasal (m,n,ng) dimana rongga mulut tertutup dan rongga hidung terbuka, palatum molle turun untuk aliran udara. Refleks nasal Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan saluran cerna, kardiovaskuler dan pernafasan. Contoh : iritasi mukosa hidung menyebabkan refleks bersin dan nafas terhenti. Rangsang bauter tentu menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung dan pankreas.

3. Definisi Sinusitis merupakan peradangan pada mukosa sinus paranasal. Umumnya disertai atau dipicu oleh rhinitis, sehingga sering disebut rhinosinusitis. Jika mengenai beberapa sinus disebut multisinusitis, sedangkan jika mengenai semua sinus disebut pansinusitis. Dikatakan sinusitis kronik jika berlangsung beberapa bulan atau tahun.

4.

Etiologi dan Faktor Predisposisi Berdasarkan penyebabnya, sinusitis dapat terjadi akibat perluasan infeksi dari rhinogenik

(penyebab dari hidung) dan dentogenik (penyebab dari gigi dan akar gigi). Selain 2 penyebab diatas, dapat pula terjadi akibat infeksi di daerah faring, tonsil dan penyebaran secara hematogen (jarang). Selain itu, beberapa faktor lain seperti ISPA akibat virus, rhinitis terutama rhinitis alergi, polip hidung, kelainan anatomi seperti deviasi septum atau hipertrofi konka, sumbatan kompleks ostio-meatal (KOM), infeksi tonsil, diskinesia silia seperti pada sindrom kartagener dan penyakit bawaan seperti kistik fibrosis dapat menyebabkan timbulnya sinusitis. Pada anak, hipertrofi adenoid merupakan faktor penyebab yang penting sehingga perlu dilakukan adenoidektomi untuk menghilangkan sumbatan dan menyembuhkan sinusitisnya. Faktor lain yang juga berpengaruh adalah lingkungan berpolusi, udara dingin, serta kebiasaan merokok. Keadaan ini lama-lama akan menyebabkan perubahan mukosa dan merusak silia. Faktor predisposisi yang mempermudah terjadinya rhinosinusitis adalah kelainan anatomis di rongga hidung, atau kelainan yang didapat seperti polip dan hipertrofi konka yang menyebabkan penyumbatan di daerah muara ostium sinus. Infeksi merupakan salah satu penyebab utama yang paling sering menimbulkan gejala dari rinosinusitis, dan beberapa hal yang lebih jarang seperti tumor. Infeksi merupakan faktor penyerta yang penting pada penyakit ini, karena biasanya kejadian rhinitis alergi dapat disertai dengan infeksi bakteri, sehingga bakteri bersarang di lokasi lendir dan menjadi sumber infeksi.

5. Patofisiologi Beberapa teori yang dikemukakan sebagai fungsi sinus paranasal antara lain : (1) sebagai pengatur kondisi udara, (2) sebagai penahan suhu, (3) membantu keseimbangan kepala, (4) membantu resonansi suara, (5) peredam perubahan tekanan udara dan (6) membantu produksi mukus untuk membersihkan rongga hidung.

Fungsi sinus paranasal dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti pertahanan mukosilier, ostium sinus yang tetap terbuka dan pertahanan tubuh, baik lokal maupun sistemik. Seperti pada mukosa hidung, di dalam sinus juga terdapat mukosa bersilia dan palut lendir di atasnya. Di dalam sinus, silia bergerak secara teratur untuk mengalirkan lendir menuju ostium alamiahnya mengikuti jalur-jalur yang sudah tertentu polanya. Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan lancarnya klirens mukosiliar di dalam KOM. Mukus juga mengandung substansi antimikrobial dan zat-zat yang berfungsi sebagai mekanisme pertahanan tubuh terhadap kuman yang masuk bersama udara pernafasan. Organ-organ yang membentuk KOM letaknya berdekatan dan bila terjadi edema, mukosa yang berhadapan akan saling bertemu sehingga silia tidak dapat bergerak dan ostium tersumbat. Akibatnya, terjadi tekanan negatif di dalam rongga sinus yang menyebabkan terjadinya transudasi, mula-mula serous. Kondisi ini bisa dianggap sebagai rinosinusitis nonbacterial dan biasanya sembuh dalam beberapa hari tanpa pengobatan. Bila kondisi ini menetap, sekret yang terkumpul dalam sinus merupakan media baik untuk tumbuhnya dan multiplikasi bakteri. Sekret menjadi purulen. Keadaan ini disebut sebagai rinosinusitis akut bakterial dan memerlukan terapi antibiotik. Bila sumbatan berlangsung terus, akan terjadi hipoksia dan retensi lendir sehingga timbul infeksi oleh bakteri anaerob. Bakteri yang sering ditemukan pada sinusitis akut adalah Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae, Moraxella catarrhalis, Streptococcus B hemoliticus. Selanjutnya terjadi perubahan jaringan menjadi hipertrofi, polipoid atau pembentukan polip dan kista.

Gambar 7. Perubahan Mukosa Pada Sinus

Bila sumbatan berlangsung terus akan terjadi hipoksia dan retensi lendir sehingga timbul infeksi oleh bakteri anaerob. Selanjutnya terjadi perubahan jaringan menjadi hipertrofi, polipoid dan pembentukan kista. Polip nasi dapat menjadi manifestasi klinis dari penyakit sinusitis. Polipoid berasal dari edema mukosa, dimana stroma akan terisi oleh cairan

interseluler sehingga mukosa yang sembab menjadi polipoid. Bila proses terus berlanjut, dimana mukosa yang sembab makin membesar dan kemudian turun ke dalam rongga hidung sambil membentuk tangkai, sehingga terjadilah polip. 6. Manifestasi Klinis Keluhan utama sinusitis akut ialah hidung tersumbat disertai nyeri/ rasa tekanan pada muka dan ingus purulen yang seringkali turun ke tenggorok (post nasal drip). Dapat disertai gejala sistemik seperti demam dan lesu. Keluhan nyeri atau rasa tekanan didaerah sinus yang terkena merupakan ciri khas sinusitis akut, serta nyeri juga terasa ditempat lain. Sinusitis maksila nyeri pada pipi Sinusitis etmoid nyeri di antara atau di belakang kedua bola mata Sinusitis frontal nyeri di dahi atau seluruh kepala Sinusitis sfenoid nyeri di verteks, oksipital, belakang bola mata, daerah mastoid Gejala lain adalah sakit kepala, hipoosmia/anosmia, halitosis, post nasal drip yang menyebabkan batuk dan sesak pada anak. Keluhan sinusitis kronik tidak khas, kadang-kadang hanya satu atau 2 dari gejala berikut seperti sakit kepala kronik, post nasal drip, batuk kronik, gangguan tenggorok, gangguan telinga akibat sumbatan kronik muara tuba eustasius, gangguan ke paru seperti bronkhitis dan serangan asma yang meningkat dan sulit diobati. Pada anak, mukopus yang tertelan dapat menyebabkan gastroenteritis.

7. Diagnosis Kriteria diagnosis : SIGN AND SYMPTOMS Major Criteria Facial pain/pressure* Facial congestion/fullness Nasal obstruction/blockage Nasal discharge/purulence/discolored nasal drainage Hyposmia/anosmia Purulence in nasal cavity on examination Minor Criteria Headache Fever Halitosis Fatigue Dental pain Cough Ear pressure/fullness

*Facial pain/pressure alone does not constitute a suggestive history for chronic rhinosinusitis in the absence of another major nasal symptom or sign Probable sinusitis: 2 major or 1 major + 2 minor

DIAGNOSTIC TEST Major Criteria thickened mucosa filling defect 50% of anthrum CT Scan with thickening of mucosa or opacification of sinus Probable sinusitis: 1 major (confirmed), 1 minor (supportive) Minor Criteria Waters Radiograph with opacification, air fluid level, or Nasal cytologic study (smear) with neutrophils and bacteria

Kriteria rinosinusitis akut dan kronis pada penderita dewasa dan anak berdasarkan gambaran klinik dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Kriteria Rinosinusitis Akut dan Kronik pada Anak dan Dewasa Menurut International Conference on Sinus Disease 1993 & 2004. RINOSINUSITIS KRITERIA RINOSINUSITIS AKUT KRONIK Dewasa 1. Lama Gejala dan Tanda 2. Jumlah episode serangan akut, masing-masing berlangsung minimal 10 hari 3. Reversibilitas mukosa < 12 minggu Anak < 12 minggu Dewasa > 12 minggu Anak > 12 minggu > 6 kali / tahun

< 4 kali / tahun

< 6 kali / tahun

> 4 kali / tahun

Dapat sembuh sempurna dengan pengobatan medikamentosa

Tidak dapat sembuh sempurna dengan pengobatan medikamentosa

Diagnosis Rinosinusitis Akut Pada Dewasa Ditegakkan berdasarkan kriteria di bawah ini: a) Anamnesis Riwayat rinore purulen yang berlangsung lebih dari 7 hari, merupakan keluhan yang paling sering dan paling menonjol pada rinosinusitis akut. Keluhan ini dapat disertai keluhan lain seperti sumbatan hidung, nyeri/rasa tekanan pada muka, nyeri kepala, demam, ingus

belakang hidung, batuk, anosmia/hiposmia, nyeri periorbital, nyeri gigi, nyeri telinga dan serangan mengi (wheezing) yang meningkat pada penderita asma. b) Rinoskopi Anterior Rinoskopi anterior merupakan pemeriksaan rutin untuk melihat tanda patognomonis, yaitu sekret purulen di meatus medius atau superior; atau pada rinoskopi posterior tampak adanya sekret purulen di nasofaring (post nasal drip). c) Nasoendoskopi Pemeriksaan nasoendoskopi dapat dilakukan untuk menilai kondisi kavum nasi hingga ke nasofaring. Pemeriksaan ini dapat memperlihatkan dengan jelas keadaan dinding lateral hidung. d) Foto polos sinus paranasal Pemeriksaan foto polos sinus bukan prosedur rutin, hanya dianjurkan pada kasus tertentu, misalnya: e) Rinosinusitis akut dengan tanda dan gejala berat. Tidak ada perbaikan setelah terapi medikamentosa optimal Diduga ada cairan dalam sinus maksila yang memerlukan tindakan irigasi Evaluasi terapi Alasan medikolegal.

Tomografi Komputer dan MRI Pemeriksaan tomografi komputer tidak dianjurkan pada rinosinusitis akut, kecuali ada kecurigaan komplikasi orbita atau intrakranial. Pemeriksaan MRI hanya dilakukan pada kecurigaan komplikasi intrakranial.

f)

Pungsi sinus maksila Tindakan pungsi sinus maksila dapat dianjurkan sebagai alat diagnostik untuk mengetahui adanya sekret di dalam sinus maksila dan jika diperlukan untuk pemeriksaan kultur dan resistensi.

g) Sinoskopi Dapat dilakukan untuk melihat kondisi antrum sinus maksila serta. Pemeriksaan ini menggunakan endoskop, yang dimasukkan melalui pungsi di meatus inferior atau fosa kanina. Dilihat apakah ada sekret, jaringan polip, atau jamur di dalam rongga sinus maksila, serta bagaimana keadaaan mukosanya apakah kemungkinan kelainannya masih reversible atau sudah irreversible.

8. Terapi Tujuan terapi sinusitis adalah : - Mempercepat penyembuhan - Mencegah komplikasi - Mencegah perubahan menjadi kronik. Prinsip pengobatan adalah membuka sumbatan di KOM sehingga drenase dan ventilasi sinus-sinus pulih secara alami. a) Medikamentosa Terapi yang diberikan pada rinosinusitis pada prinsipnya adalah untuk menghilangkan gejala yang timbul dan untuk menghilangkan sumber penyakitnya. Jika sudah terjadi infeksi, maka diperlukan pemberian antibiotik yang sesuai dengan pola resistensi kuman yang menginfeksi tersebut. Pada umumnya, antibiotik golongan fluorokuinolon dan sefalosporin generasi ke-4 dapat digunakan untuk mengobati rinosinusitis akut yang terinfeksi bakteri.

Selain itu, drainase sinus dapat dilancarkan dengan memberikan obat-obat mukolitik seperti ambroxol dan bromheksin. Sumbatan akibat edema mukosa di hidung dapat diatasi dengan memberikan obat dekongestan seperti pseudoefedrin dan fenilpropanolamin, dua kali sehari selama 3-7 hari, diberikan topikal ke dalam hidung atau per oral, untuk membuka sumbatan ostium dan mengeringkan sinus. Untuk pasien dengan rhinitis alergi, antihistamin generasi kedua dapat diberikan untuk mengurangi gejala seperti loratadin. b) Operatif Radikal

Terapi radikal dilakukan dengan mengangkat mukosa yang patologik dan membuat drenase dari sinus yang terkena. Untuk sinus maksila dilakukan operasi Caldwell-Luc. Pembedahan ini dilaksanakan dengan anestesi umum atau lokal. Jika dengan anestesi lokal, analgesi intranasal dicapai dengan menempatkan tampon kapas yang dibasahi kokain 4% atau tetrakain 2% dengan efedrin 1% diatas dan dibawah konka media. Prokain atau lidokain 2% dengan tambahan ephineprin disuntika di fosa kanina. Suntikan dilanjutkan ke superior untuk saraf intraorbital. Incisi horizontal dibuat di sulkus ginggivobukal, tepat diatas akar gigi. Incisi dilakukan di superior gigi taring dan molar kedua. Incisi menembus mukosa dan periosteum. Periosteum diatas fosa kanina dielevasi sampai kanalis infraorbitalis, tempat saraf orbita diidentifikasi dan secara hati-hati dilindungi. Pada dinding depan sinus dibuat fenestra, dengan pahat, osteatom atau alat bor. Lubang diperlebar dengan cunam pemotong tulang kerison, sampai jari kelingking dapat masuk. Isi antrum dapat dilihat dengan jelas. Dinding nasoantral meatus inferior selanjutnya ditembus dengan trokar atau hemostat bengkok. Antrostomi intranasal ini dapat diperlebar dengan cunam kerison dan cunam yang dapat memotong tulang kearah depan. Lubang nasoantral ini sekurang-kurangnya 1,5 cm dan yang dipotong adalah mukosa intra nasal, mukosa sinus dan dinding tulang. Telah diakui secara luas bahwa berbagai jendela nasoantral tidak diperlukan. Setelah antrum diinspeksi dengan teliti agar tidak ada tampon yang tertinggal, incisi ginggivobukal ditutup dengan benang plain cat gut 00. biasanya tidak diperlukan pemasangan tampon intranasal atau intra sinus. Jika terjadi perdarahan yang mengganggu, kateter balon yang dapat ditiup dimasukan kedalam antrum melalui lubang nasoantral. Kateter dapat diangkat pada akhir hari ke-1 atau ke 2. kompres es di pipi selama 24 jam pasca bedah penting untuk mencegah edema, hematoma dan perasaan tidak nyaman. Non-radikal Akhir-akhir ini dikembangkan metode operasi sinus paranasal dengan menggunakan endoskop yang disebut Bedah Sinus Endoskopi Fungsional (BESF/FESS). Prinsipnya adalah membuka dan membersihkan daerah kompleks ostiomeatal yang menjadi sumber penyumbatan dan infeksi, sehingga ventilasi dan drenase sinus dapat lancar kembali melalui ostium alami. Dengan demikian mukosa sinus akan kembali normal.

9. Komplikasi Komplikasi sinusitis telah menurun secara nyata sejak ditemukannya antibiotik. Komplikasi berat biasanya terjadi pada sinusitis akut atau pada sinusitis kronis dengan eksaserbasi akut, berupa komplikasi orbita atau intrakranial. Komplikasi Orbita. Komplikasi ini dapat terjadi karena letak sinus paranasal yang berdekatan dengan mata (orbita). Sinusitis etmoidalis merupakan penyebab komplikasi orbita yang tersering kemudian sinusitis maksilaris dan frontalis. Terdapat lima tahapan terjadinya komplikasi orbita ini. a.Peradangan atau reaksi edema yang ringan b. Selulitis orbita. Edema bersifat difus dan bakteri telah secara aktif menginvasi isi orbita namun pus belum terbentuk c.Abses subperiosteal. Pus terkumpul di antara periorbita dan dinding tulang orbita menyebabkan proptosis dan kemosis, d. Abses periorbita. Pada tahap ini, pus telah menembus periosteum dan bercampur dengan isi orbita, e.Trombosis sinus kavernosus. Komplikasi ini merupakan akibat penyebaran bakteri melalui saluran vena ke dalam sinus kavernosus di mana selanjutnya terbentuk suatu tromboflebitis septic. Komplikasi Intrakranial. Komplikasi ini dapat berupa meningitis, abses epidural, abses subdural, abses otak, dan trombosis sinu kavernosus. Osteomielitis dan abses subperiosteal. Paling sering timbul akibat sinusitis frontalis dan biasanya ditemukan pada anak-anak. Pada osteomielitissinus maksila dapat timbul fistula oroantral atau fistula pada pipi. Kelainan paru, seperti bronkitis kronis dan bronkiektasis. Adanya kelainan sinus paranasal disertai dengan kelainan paru ini disebut sinobronkitis. Selain itu, dapat juga menyebabkan kambuhnya asma bronkial yang sukar dihilangkan sebelum sinusitisnya disembuhkan.

10. Pencegahan Pencegahan yang harus dilakukan pada pasien dengan rinosinusitis adalah dengan menghindarkan penyebab terjadinya penyakit penyerta. Jika pasien memiliki riwayat alergi seperti pada rinitis alergi, maka pasien dianjurkan untuk menghindari bahan-bahan yang menimbulkan reaksi alergi seperti asap rokok, bulu binatang, debu, dan sebagainya. Jika pasien memiliki riwayat pembusukan akar gigi, maka pasien perlu ke dokter gigi untuk mengobati keadaan gigi tersebut. Jika pasien memiliki riwayat ISPA, maka pasien perlu mengobati infeksi yang terjadi dengan terapi yang adekuat. Disamping itu, gaya hidup sehat, olahraga yang teratur dan kontrol rajin ke dokter dapat meningkatkan pemahaman pasien akan penyakitnya dan dapat mengurangi angka kekambuhan penyakit.

11. Prognosis Prognosis rinosinusitis bergantung dari seberapa cepat pasien mendapatkan pengobatan. Secara umum, prognosis dari penyakit sinusitis akut ini baik, sesuai dengan terapi yang intensif dan perbaikan gaya hidup yang juga sesuai dengan edukasi yang diberikan oleh dokter.

DAFTAR PUSTAKA
1. Sherwood L. Sistem saraf periferdivisi aferen indera. Fisiologi manusia dari sel ke sistem. Jakarta: EGC; 2001.h.149-195. 2. Hilger AP. Penyakit sinus paranasalis. Dalam: Adams GL, Boies LR, Higler AP, editor. Boies buku ajar penyakit tht. Jakarta: EGC;2003.h.240-62. 3. Soepardi EA, Iskandar N, Bashirudin J, Restuti RD. Sinusitis. Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok kepala dan leher. Edisi ke-6. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2010.h.150-4. 4. 5. Bull TR. The nose. Color atlas of ENT diagnosis. 4th ed. London: Thieme; 2003.p.99-164. Dhillon R.S, East C.A. Nose and paranasal sinuses. An illustrated colour text ear nose and throat and head and neck surgery. 2nd ed. London: Churchill Livingstone; 2000.p.30-55. 6. Lalwani A.K. Diagnosis & Treatment Otolaryngology Head and Neck Surgery. 2nd ed. New York : McGraw Hill; 2008.p.273-81.

You might also like