You are on page 1of 13

5.

Definisi Glaukoma Glaukoma berasal dari kata Yunani glaukos yang berarti hijau kebiruan, yang memberikan kesan warna tersebut pada pupil penderita glaucoma. Glaukoma adalah suatu keadaan tekanan intraokuler/tekanan dalam bola mata relatif cukup besar untuk menyebabkan kerusakan papil saraf optik dan menyebabkan kelainan lapang pandang (Ilyas, 2009).

Klasifikasi glaukoma Klasifikasi glaukoma berdasarkan pada mekanisme berkurangnya absorpsi (James, 2005) : a. Glaukoma primer 1. Sudut terbuka kronis 2. Sudut tertutup akut dan kronis b. Glaukoma kongenital 1. Primer 2. Rubella 3. Sekunder akibat kelainan mata turunan lain (misalnya aniridia atau tidak adanya iris) c. Glaukoma sekunder (penyebab) 1. Trauma 2. Pembedahan mata 3. Terkait dengan penyakit mata lainnya (misalnya uveitis) 4. Peningkatan tekanan vena episklera 5. Terinduksi steroid 6. Faktor resiko glaukoma: Faktor-faktor risiko terjadinya peningkatan intraokuler dapat dibedakan berdasarkan karakteristik sosiodemografi, penyakit sistemik, dan riwayat keluarga.

a. Karakteristik sosiodemografi mencakup (Vaughan., 2007) : 1. Usia Risiko terjadinya glaukoma meningkat sesuai dengan pertambahan usia. Risiko akan semakin tinggi pada orang yang berusia lebih dari 40 tahun, 10% berusia di atas 80 tahun. 2. Jenis kelamin Menurut para ahli yang melakukan penelitian di Framingham (The Framingham Eye Stud), risiko pria menderita glaukoma 2 kali lebih besar dari pada wanita. b. Penyakit sistemik mencakup (Vaughan, 2007) : 1. Miopia/Hipermetropia tinggi Penderita miopi tinggi berisiko 2-3 kali lebih besar untuk penderita glaukoma sudut terbuka. Sedangkan hipermetropia tinggi memperbesar risiko terjadinya glaukoma sudut tertutup. 2. Diabetes Mellitus Hubungan antara diabetes mellitus dengan glaukoma masih merupakan kontroversial. Namun demikian, seseorang dengan diabetes disarankan untuk rajin memeriksakan matanya. 3. Hipertensi Peningkatan 10 mmHg tekanan darah akan menaikkan tekanan intraokuler sebanyak 0,24-0,40 mmHg. c. Riwayat keluarga Angka kejadian penderita glaukoma dengan riwayat glaukoma dalam keluarga mencapai 5-19 %. Risiko akan meningkat pada individu dimana terdapat saudara yang juga menderita glaukoma. Sedangkan jika orang tua atau anak yang menderita glaukoma, risiko tidak akan terlalu tinggi (Vaughan, 2007). Faktor resiko terjadinya glaukoma yang lain di antaranya sebagai berikut (Corwin, 2009): a. berasal dari Karibia-Afrika b. kornea tipis c. miopia

d. mutasi genetik 7. Epidemiologi Penyakit ini masih kalah pamor dengan katarak yang memang sudah diketahui sebagai penyebab kebutaan nomer satu di Indonesia bahkan di seluruh dunia. Padahal saat ini glaukoma menjadi penyebab kebutaan nomer dua hampir di seluruh dunia, dan menjadi penyebab kebutaan permanen (irreversibel) terbesar di dunia. Data dari WHO tahun 2010, diperkirakan 39 juta orang di dunia menderita kebutaan dan glaukoma menyumbang sebesar 3,2 juta dari jumlah keseluruhan tersebut (Davey, 2006). 8. Patogenesis Glaukome ec uveitis Dilatasi pembuluh darah kecil hiperemi perikorneal (pericorneal vascular injection) Permeabilitas pembuluh darah Eksudasi iris edema, pucat, pupil reflex s/d hilang, pupil miosis Migrasi sel-sel radang dan fibrin ke BMD BMD keruh, sel dan flare (+), efek tyndal (+) Sel radang menumpuk di BMD hipopion (bila proses akut) Migrasi eritrosit ke BMD hifema (bila proses akut) Sel-sel radang melekat pada endotel kornea keratic precipitate Sel-sel radang, fibrin, fibroblast menyebabkan iris melekat pada kapsul lensa anterior sinekia posterior

dan pada endotel kornea sinekia anterior Sel-sel radang, fibrin, fibroblas menutup pupil seklusio pupil / oklusio pupil Gangguan pengaliran keluar cairan mata dan peningkatan tekanan intra okuler glaukoma sekunder Gangguan metabolisme lensa lensa keruh, katarak komplikata Keradangan menyebar luas endoftalmitis, panoftalmitis Mengenai mata jiran symphatetic ophtalmia Diagram 2.3. Patogenesis dan Patofisiologi Uveitis (Ilyas, 2009).

8. Patofisiologi Glaukoma 1 2

TIO Humor aqueous Diserap oleh kornea Edema kornea (1) Efekprisma Refraksi cahaya tidak sempurna Bayangan jatuh tidaktepat di retina Reseptor nyeri Nyeri Desak coroid Coroid dilatasi (2) Kemerahan Ekscavatio glaucomatous (3) Visusmenurun Desak diskus optikum

Tampak halo/gambaran pelangi


Diagram 2.4. Patofisiologi glaukoma (Ilyas, 2009).

10. Tatalaksana glaukoma Fokus utama pengobatan glaukoma adalah untuk menurunkan tekanan intraokuler (TIO) sehingga dapat mencegah terjadinya penurunan lapangan pandang dan ketajaman penglihatan lebih lanjut yang berujung pada kebutaan akibat adanya penekanan pada nervus optikus. Hingga saat ini telah terdapat 3 metode untuk penatalaksanaan glaukoma, yaitu (Khaw, 2005 ; Gerhard, 2007) : a. Nonmedikamentosa, sebagai berikut (Baughman, 2000) : 1. Mengedukasi pasien bahwa penurunan TIO optimum tergantung pada kepatuhan terhadap regimen obat-obatan dan mengikuti perintah untuk

pemeriksaan tindak lanjut. 2. Memberi pemahaman mengenai nama obat-obat, deskripsi wadah, frekuensi dan waktu pemberian. 3. Edukasi mengenai perawatan mata yang balk, pemeliharaan kesehatan fisik yang baik, dan gaya hidup yang konsisten dengan tingkat stres yang rendah. Perawatan mata meliputi menjaga mata agar tetap bersih dan bebas dari iritan, menghindari menggosok mata, menggunakan kosmetik nonalergi, dan mengenakan kacamata selama berenang, serta kacamata pelindung ketika melakukan olahraga atau bekerja di halaman atau area yang kemungkinan membahayakan. 4. Mengedukasi pasien untuk dapat mengenali keadaan mata. 5. Tekankan bahwa pengobatan glaukoma adalah pengontrolan dan bukan penyembuhan. Pengobatan ini mencakup penatalaksanaan seumur hidup. 6. Memberikan dorongan untuk mempertahankan kesehatan yang baik dan menghindari masukkan cairan yang berlebihan, mempertahankan tingkat berat badan yang sesuai, melakukan olahraga, dan meluangkan waktu untuk bcrsenang-senang dan relaksasi. 7. Mendorong untuk berbagi perasaan dan pikiran dengan keluarga dan teman atau bergaul dengan pasien lain sesama penderita glaukoma. b. Medikamentosa Berdasarkan tujuan farmakoterapinya, obat anti glaukoma dibedakan menjadi beberapa jenis, yaitu: untuk menurunkan produksi aqueous humor, memperlancar aliran aqueous humor, dan menurunkan volume korpus vitreus. Akan tetapi, sebelum diberikan pengobatan maka harus dilakukan observasi terlebih dahulu apakah tekanan intraokuler sudah stabil dan harus dipastikan mata dalam keadaan tenang. 1) Supresi produksi aqueous humor (Khaw, 2005) : a) Antagonis adrenergik beta Obat ini dapat digunakan sendiri atau dikombinasi dengan obat lain. Contoh obat: timolol

Efek samping: pada penggunaan adrenergik sering terjadi reaksi alergi, pandangan kabur, sakit kepala, rasa terbakar di mata, takikardia dan aritmia. b) Agonis adrenergik alfa Bekerja untuk mengurangi produksi cairan aquos dan memperlancar drainase. Contoh obat: epinefrin Efek samping: rasa terbakar di tempat meneteskan obat topikal, midriasis, hipertensi, malaise, sakit kepala, mulut dan hidung kering. c) Inhibitor karbonik anhidrase (CAI) Bekerja mengurangi produksi cairan aquos sebesar 40-60% dengan menghambat kerja enzim karbonik anhidrase di korpus siliaris. Obat ini bisa diberikan per oral ataupun intravena. Contoh obat: acetazolamid Efek samping: paresethesia di lengan dan tungkai, dispepsia, gangguan ingatan, depresi, batu ginjal, dan polakisuria. Inhibitor karbonik anhidrase diturunkan dari golongan sulfa, sehingga bisa juga menyebabkan aplastik anemia walaupun hal ini jarang terjadi. 2) Memperlancar aliran aqueous humor Parasimpatomimetik Obat yang digunakan merupakan golongan agonis kolinergik. Bekerja pada anyaman trabekular dengan meningkatkan kontraksi otot siliaris sehingga pupil mengalami miosis. Karena efek inilah maka obat parasimpatomimetik sering juga disebut obat miotik. Konstriksi pupil sangat penting dalam penatalaksanaan glaukoma sudut tertutup. Contoh obat: pilokarpin. Efek samping: diare, kram perut, hipersalivasi, enuresis dan bisa juga reaksi alergi. 3) Menurunkan volume korpus vitreus Obat-Obatan Hiperosmotik Mekanisme kerjanya dengan menyebabkan darah menjadi

hipertonik sehingga air tertarik keluar dari korpus vitreus dan terjadi penciutan korpus vitreus. Contoh obat: gliserin. Efek samping: sakit

pinggang, sakit kepala, gangguan mental. KI pada pasien DM karena obat ini bisa menyebabkan hiperglikemia atau bahkan ketoasidosis. Penatalaksanaan terbaik untuk glaukoma sudut tertutup adalah pembedahan. Terapi medikamentosa hanya merupakan pengobatan pendahuluan sebelum penderita dioperasi. Obat yang biasa dipakai untuk glaukoma sudut tertutup adalah (Khaw, 2005) : - Parasimpatomimetik: pilokarpin 2-4%, setiap menit 1 tetes selama 5 menit. Kemudian diteruskan setiap jam. - Inhibitor karbonik anhidrase: asetazolamid 250 mg, 2 tablet. Kemudian disusul dengan 1 tablet tiap 4 jam. - Hiperosmotik: gliserin 50%, 1-1,5 gr/kg yang diberikan per oral. Dengan pengobatan seperti di atas, tekanan dapat turun sampai di bawah 25 mmHg dalam waktu 24 jam. Bila tekanan intraokuler sudah turun, operasi harus dilakukan dalam 2-4 hari kemudian. Pengobatan glaukoma sudut terbuka diberikan semaksimal mungkin sehingga tercapai tekanan intraokuler normal, ekstravasasi tidak bertambah dan lapangan pandang tidak memburuk. Namun, obat yang diberikan haruslah yang mudah diperoleh dan mempunyai efek samping yang minimal. Obat yang bisa dipakai untuk glaukoma sudut terbuka adalah (Khaw, 2005) : - Parasimpatomimetik: pilokarpin 2-4%, 1 tetes, 3-6 kali sehari atau eserin 0,25-0,5%, 1 tetes, 3-6 kali sehari - Agonis-alfa: epinefrin 0,5-2%, 1 tetes, 2 kali sehari - beta-blocker: timolol maleat 0,25-0,5%, 1 tetes, 1-2 kali sehari - Inhibitor karbonik anhidrase: asetazolamid 250 mg, 1 tablet, 4 kali sehari Obat-obat ini biasanya diberikan secara tunggal atau bila perlu dapat dikombinasi. Bila dengan pengobatan tersebut tekanan intraokuler terkontrol dengan baik, maka penderita harus menggunakan obat tersebut seumur hidup. Kalau tidak berhasil, frekuensi penetesan atau dosis obat dapat ditingkatkan.

c. Tindakan pembedahan 1) Trabekulektomi Merupakan teknik yang paling sering digunakan. Pada teknik ini, bagian kecil trabekula yang terganggu diangkat kemudian dibentuk bleb dari konjungtiva sehingga terbentuk jalur drainase yang baru. Lubang ini akan meningkatkan aliran keluar cairan aquos sehingga dapat menurunkan tekanan intraokuler. Tingkat keberhasilan operasi ini cukup tinggi pada tahun pertama, sekitar 70-90% tetapi di kemudian hari lubang drainase tersebut dapat menutup kembali sebagai akibat sistem penyembuhan terhadap luka sehingga tekanan intraokuler akan meningkat. Oleh karena itu, terkadang diperlukan obat seperti mitomycin-C and 5-fluorourasil untuk memperlambat proses penyembuhan. Teknik ini bisa saja dilakukan beberapa kali pada mata yang sama (Gerhard, 2007). 2) Iridektomi perifer Pada tindakan ini dibuat celah kecil pada kornea bagian perifer dengan insisi di daerah limbus. Pada tempat insisi ini, iris dipegang dengan pinset dan ditarik keluar. Iris yang keluar digunting sehingga akan didapatkan celah untuk mengalirnya cairan aquos secara langsung tanpa harus melalui pupil dari bilik mata belakang ke bilik mata depan. Teknik ini biasanya dilakukan pada glaucoma sudut tertutup, sangat efektif dan aman, namun waktu pulihnya lama (Gerhard, 2007). d. Laser Pada teknik laser, operator akan mengarahkan sebuah lensa pada mata kemudian sinar laser diarahkan ke lensa itu yang akan memantulkan sinar ke mata. Risiko yang dapat terjadi pada teknik ini yaitu tekanan intraokuler yang meningkat sesaat setelah operasi. Namun hal tersebut hanya berlangsung untuk sementara waktu. Beberapa tindakan laser yang lazim dilakukan adalah (Gerhard, 2007) : 1) Laser Iridektomy Teknik ini biasa digunakan sebagai terapi pencegahan yang aman dan efektif untuk glaukoma sudut tertutup. Dilakukan dengan membuat celah kecil di iris perifer dan mengangkat sebagian iris yang menyebabkan

sempitnya sudut bilik mata depan. Beberapa keadaan yang tidak memungkinkan dilakukannya laser iridektomy, diantaranya kekeruhan kornea, sudut bilik mata depan yang sangat sempit dengan jaringan iris yang sangat dekat dengan endotel kornea, penderita yang pernah menjalani operasi ini sebelumnya namun gagal dan pada penderita yang tidak bisa diajak bekerja sama (Gerhard, 2007). Pada umumnya komplikasi yang terjadi pada laser iridektomi meliputi kerusakan lokal pada lensa dan kornea, ablasio retina, pendarahan, gangguan visus dan tekanan intra okular meningkat. Kerusakan lensa dihindari dengan cara menghentikan prosedur dan segera penetrasi iris untuk iridektomi lebih ke superior iris perifer (Gerhard, 2007).

Gambar 2.6. Laser iridektomi (Gerhard, 2007). 2) Laser Peripheral Iridotomy (LPI) Dilakukan pada glaukoma sudut tertutup. Pada teknik ini dibuat lubang kecil di iris perifer sehingga iris terdorong ke belakang lalu sudut bilik mata depan akan terbuka (Gerhard, 2007).

Gambar 2.7. laser peripheral iridectomy

3) Laser Trabeculoplasty Dilakukan pada glaukoma sudut terbuka. Sinar laser (biasanya argon) ditembakkan ke anyaman trabekula sehingga sebagian anyaman mengkerut. Kerutan ini dapat mempermudah aliran keluar cairan aquos. Pada beberapa kasus, terapi medikamentosa tetap diperlukan. Tingkat keberhasilan dengan Argon laser trabeculoplasty mencapai 75%. Karena adanya proses penyembuhan luka maka kerutan ini hanya akan bertahan selama 2 tahun (Gerhard, 2007).

Gambar 2.8. laser trabekuloplasty (Gerhard, 2007).

4) Neodymium : YAG laser cyclophotocoagulation (YAG CP) Teknik ini digunakan pada glaukoma sudut tertutup. Caranya dengan merusak sebagian corpus siliar sehingga produksi cairan aquos berkurang (Gerhard, 2007).

Gambar 2.9. laser cyclophotocoagulation (Gerhard, 2007).

11. Prognosis 12laucoma Tanpa pengobatan yang adekuat, glaukoma akan berkembang secara perlahan menjadi kebutaan total. Bila proses penyakit terdeteksi secara dini, sebagian besar pasien dapat ditangani dengan baik secara medis. Pemberian obat tetes mata untuk mengontrol glaukoma cukup memberikan perbaikan prognosis (Ilyas, 2001). Glaukoma akut merupakan kegawatdaruratan mata, yang harus segera ditangani dalam 24 48 jam. Jika TIO tetap terkontrol setelah terapi akut glaukoma sudut tertutup, maka kecil kemungkinannya terjadi kerusakan penglihatan progresif. Tetapi bila terlambat ditangani dapat mengakibatkan buta permanen (Ilyas, 2001).

INFO IV Diagnosis : OS Glaukoma sekunder e.c uveitis anterior Terapi:

Sulfas atropin 2 x 1 tetes Steroid topikal 4 x 1 tetes Dexamethasone 2 x 1 tablet Diamox 250 mg 2 x 1 tablet Timolol maleat topikal 2 x 1 Evaluasi TIO

DAFTAR PUSTAKA

Davey, Patrick. 2006. At A Glance Medicine. Jakarta : EGC Dorland, W.A Newman. 2002. Kamus Kedokteran Dorland Edisi 29. Jakarta : EGC Gerhard KL, Oscar, Gabriele, Doris, Peter. 2007. Ophtalmology a short textbook second edition. New York : Thieme Stuttgart Ilyas, Sidharta. 2001. Kedaruratan Dalam Ilmu Penyakit Mata. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. Ilyas, Sidharta. 2009. Ilmu Penyakit Mata Edisi Ketiga. Jakarta : Balai Penerbit FKUI Ilyas, Sidarta. 2010. Ilmu Penyakit Mata. Jakarta Universitas Indonesia. : Fakultas Kedokteran

Lubis, Rodiah R. 2009. Aqueous Humor. USU e-Repository Martini, Frederich., Nath, Judi., et al. 2009. Fundamentals of anatomy and physiology, 8th edition. San Francisco : Pearson International Education Rahmawaty, L, Rodiah. 2009. Tonometer. Medan : Departemen Ilmu Kesehatan Mata FK USU Sherwood, Lauralee. 2009. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Jakarta : EGC. Snell, R.S. 2006. Neuroanatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. Jakarta : EGC. Vaughan, DG, T. Asbury, P. Riodan-Eva. 2007. Oftalmologi Umum Edisi 17. Jakarta : EGC.

You might also like