You are on page 1of 22

Tinjauan Pustaka

PENATALAKSANAAN DIABETES MELITUS TIPE 2 BERDASARKAN GUIDELINE ADA DAN AACE

Oleh: Aina Nurlaila I1A008001

Pembimbing Dr.dr Agus Yuwono Sp.Pd KEMD, FINASIM

BAGIAN/ SMF ILMU PENYAKIT DALAM FK UNLAM RSUD ULIN BANJARMASIN Maret, 2014

BAB I PENDAHULUAN

Diabetes Melitus merupakan suatu penyakit kronik yang ditandai dengan peningkatan kadar glukosa didalam darah. Penyakit ini dapat menyerang segala lapisan umur dan sosial ekonomi. Di Indonesia saat ini penyakit DM belum menempati skala prioritas utama pelayanan kesehatan walaupun sudah jelas dampak negatifnya , yaitu berupa penurunan kualitas SDM , terutama akibat penyulit menahun yang ditimbulkannya. Dari berbagai penelitian epidemiologis di Indonesia didapatkan prevalensi DM sebesar 1,5 2,3 % pada penduduk usia lebih dari 15 tahun, bahkan pada suatu penelitian epidemiologis di Manado didapatkan prevalensi DM 6,1

%. Penelitian yang dilakukan di Jakarta, Surabaya, Makasar dan kota-kota lain di Indonesia membuktikan adanya kenaikan prevalensi dari tahun

ketahun. Berdasarkan pola pertambahan penduduk , diperkirakan pada tahun 2020 nanti akan ada sejumlah 178 juta penduduk berusia diatas 20 tahun dan dengan asumsi prevalensi DM sebesar 4 % akan didapatkan 7 juta pasien DM , suatu jumlah yang sangat besar untuk dapat ditangani oleh dokter spesialis / subspesialis /endokrinologis. Diabetes Melitus (DM) atau disingkat diabetes adalah gangguan kesehatan yang berupa skumpulan gejala yang disebabkan oleh peningkatan kadar gula (glukosa) darah akibat kekurangan ataupun resistensi insulin.

Dalam jumlah prevalensi penduduk dunia dengan DM di perhitungkan mencapai 125 juta pertahun dengan DM, dengan prediksi berlipat ganda mencapai 250 juta dalam 10 tahun mendatang (tahun 2020). Peningkatan prevalensi akan lebih menonjol perkembangannya di negara berkembang dibandingkan dengan negara maju. Prevalensi DM di Indonesia besarnya 1,2% 2,3% dari penduduk usia lebih 15 tahun.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I. Definisi Diabetes mellitus (DM) didefenisikan sebagai suatu penyakit atau gangguan metabolisme yang ditandai dengan tingginya kadar gula darah disertai dengan gangguan metabolisme karbohidrat, lipid dan protein sebagai akibat insufisiensi fungsi insulin. Insufisiensi insulin dapat disebabkan oleh gangguan atau defenisi produksi insulin oleh sel-sel beta Langerhans kelenjar pankreas atau disebabkan kurang responsifnya sel-sel tubuh terhadap. Menurut American Diabetes Association (ADA) tahun 2014,Diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau kedua-duanya

II. Klasifikasi

Klasifikasi DM yang dianjurkan menurut American Diabetes Association (ADA) 2014 dan AACE (American Association of Clinical Endocrinology), sebagai berikut :

1.

Diabetes Melitus tipe 1 (destruksi sel beta, umumnya menjurus ke defisiensi insulin absolut) : 4

Autoimun Idiopatik (tidak diketahui penyebabnya)

Tipe diabetes ini terjadi karena berkurangnya jumlah insulin dalam sirkulasi darah akibat rusaknya sel beta yang merupakan sel penghasil insulin pada pulau-pulau Lagerhans pankreas. IDDM dapat diderita oleh anak-anak maupun orang dewasa. Penyebab terbanyak dari kehilangan sel beta pada diabetes tipe 1 adalah kesalahan reaksi autoimunitas yang menghancurkan sel beta pankreas.

2.

Diabetes Melitus tipe 2 (bervariasi mulai dari yang terutama dominan

resistensi insulin disertai defisiensi insulin relatif sampai defek sekresi insulin disertai resistensi insulin), merupakan tipe diabetes mellitus yang disebabkan oleh mutasi pada banyak gen, termasuk yang mengekspresikan disfungsi sel , gangguan sekresi hormon insulin, resistansi sel terhadap insulin terutama pada hati menjadi kurang peka terhadap insulin serta yang menekan penyerapan glukosa oleh otot lurik namun meningkatkan sekresi gula darah oleh hati. Mutasi gen tersebut sering terjadi pada kromosom 19 yang merupakan kromosom terpadat yang ditemukan pada manusia. Pada tahap awal kelainan yang muncul adalah berkurangnya sensitifitas terhadap insulin, yang ditandai dengan meningkatnya kadar insulin di dalam darah. Hiperglisemia dapat diatasi dengan obat anti diabetes yang dapat meningkatkan sensitifitas terhadap insulin atau mengurangi produksi glukosa dari hepar, namun semakin parah penyakit, sekresi insulin pun semakin berkurang, dan terapi dengan insulin kadang dibutuhkan. 5

3.

Diabetes Melitus tipe lain : A. Defek genetik fungsi sel beta : * * B. C. Maturity Onset Diabetes of the Young DNA mitokondria

Defek genetik kerja insulin Penyakit endokrin pankreas : * * * pankreatitis tumor pankreas /pankreatektomi pankreatopati fibrokalkulus

D.

Endokrinopati : * * * * akromegali sindrom Cushing feokromositoma hipertiroidisme

E.

Karena obat/zat kimia : * * * vacor, pentamidin, asam nikotinat glukokortikoid, hormon tiroid tiazid, dilantin, interferon alfa dan lain-lain

F.

Infeksi : * Rubella kongenital, Cytomegalovirus (CMV)

G.

Sebab imunologi yang jarang : * antibodi anti insulin 6

H.

Sindrom genetik lain yang berkaitan dengan DM : * sindrom Down, sindrom Kleinfelter, sindrom Turner, dan lain-lain.

4.

Diabetes Melitus Gestasional (DMG), Diabetes Mellitus yang

muncul pada masa kehamilan, umumnya bersifat sementara, tetapi merupakan faktor risiko untuk Diabetes Mellitus tipe 2. Sekitar 4-5% wanita hamil diketahui menderita GDM, dan umumnya terdeteksi pada atau setelah trimester kedua .

III. Gejala Gejala diabetes adalah adanya rasa haus yang berlebihan, sering kencing terutama malam hari dan berat badan turun dengan cepat. Di samping itu kadangkadang ada keluhan lemah, kesemutan pada jari tangan dan kaki, cepat lapar, gatal-gatal, penglihatan kabur, gairah seks menurun, dan luka sukar sembuh. Kadang-kadang ada pasien yang sama sekali tidak merasakan adanya keluhan. Mereka mengetahui adanya diabetes hanya karena pada saat check-up ditemukan kadar glukosa darahnya tinggi. Beberapa faktor yang dapat menunjang timbulnya Diabetes mellitus yaitu kegemukan {BB (kg)>120% BB idaman atau IMT>27 (kg/m2)} kelompok usia dewasa tua (>45 tahun ) tekanan darah tinggi (>140/90 mmHg) riwayat keluarga DM riwayat kehamilan dengan BB lahir bayi>4000 gram 7

riwayat DM pada kehamilan dislipidemia (HDL<35 mg/dl dan atau Trigliserida>250 mg/dl

IV. Diagnosis Diagnosis DM berdasarkan ADA (American Diabetes Asociation) 2014 harus didasarkan atas pemeriksaan kadar glukosa darah sewaktu atau glukosa darah puasa atau glukosa darah 2 jam post prandial maupun kadar HbA1C.

Kadar gula darah sewaktulebih atau sama dengan 200mg/dl Kadar gula darah puasa lebih atau sama dengan 126mg/dl Kadar gula darah lebih atau sama dengan 200mf/dl pada 2 jam setelah TTGO

Sedangkan diagnosis DM berdasarkan AACE didasarkan atas pemeriksaan HbA1C.

HbA1C < 7,5% >7,5% >9 %


V. Pengelolaan

Tujuan : 1. Jangka pendek: menghilangkan keluhan/gejala DM dan mempertahankan rasa nyaman dan sehat. 2. Jangka panjang: mencegah penyulit, baik makroangiopati,

mikroangiopati maupunneuropati, dengan tujuan akhir menurunkan morbiditas dan mortilitas DM. 3. Cara: menormalkan kadar glukosa, lipid, insulin. Mengingat mekanisme dasar kelainan DM tipe-2 adalah terdapatnya faktor genetik,tekanan darah, resistensi insulin dan insufisiensi sel beta pankreas, maka cara-cara untuk memperbaikikelainan dasar yang dapat

dikoreksi harus tercermin pada langkah pengelolaan. 9

4.

Kegiatan: mengelola pasien secara holistik, mengajarkan perawatan mandiri dan melakukan promosi perubahan perilaku.

Algoritma penatalaksanaan DM tipe 2 berdasarkan ADA dapat dilihat pada gambar berikut:

10

Algoritma dimulai dengan modifikasi gaya hidup ditambah dengan pemberian metformin sebagai inisial terapi,kemudian dilakukan evaluasi kadar HbA1C setelah 3 bulan terapi. Dinilai kadar HbA1C, jika > 7 maka terapi dilanjutkan ke tahap dual terapi dengan kombinasi obat metformin dengan sulfonilurea/ metformin dengan tiazolindion. Algoritme dibuat dengan memperhatikan karakteristik intervensi

individual, sinergisme dan biaya. Tujuannya adalah untuk mencapai dan mempertahankan A1C < 7% dan mengubah intervensi secepat mungkin bila target glikekemik tidak tercapai.

11

Pada workshop tersebut diperkenalkan panduan algoritme tata laksana dari American Diabetic Association/European Association for the Society of Diabetes (ADA/EASD) 2009. Panduan tersebut menjelaskan dua metode terapi, yaitu wellvalidated dan less well-validated. Langkah pertama pada kedua metode tesebut adalah modifikasi pola hidup dan pemberian metformin. Modifikasi pola hidup yang dimaksud meliputi pemberian diet yang tepat dan aktivitas fisik yang dilakukan melalui edukasi ke pasien. Edukasi menjadi salah satu pilar utama pengobatan diabetes. Edukasi meliputi gaya hidup sehat, yaitu asupan diet yang benar sesuai kebutuhan, aktivitas fisik yang rutin dikerjakan, serta penurunan berat badan jika berlebih. Jika langkah pertama gagal maka diikuti langkah kedua, yaitu penambahan jenis pengobatan sulfonylurea atau insulin basal, bergantung pada kadar HbA1C. Jika kedua langkah tersebut gagal maka pengobatan dilakukan dengan terapi insulin. Sedangkan pada metode kedua, jika langkah pertama gagal maka diberikan pioglitazon atau agonis GLP-1. Jika kadar HbA1C belum mencapai target dan atau pasien tidak dapat mentoleransi pemberian terapi tambahan maka dapat dipertimbangkan untuk diberikan sulfonylurea. Adapun target HbA1C yang direkomendasikan oleh ADA adalah < 7%. Jika kedua langkah dalam metode kedua ini gagal maka strategi yang diterapkan berikutnya adalah terapi insulin

12

Tahap 1 : well validated core therapy Intervensi ini merupakan cara yang terbaik dan paling efektif, serta merupakan strategi terapi yang cost-effective untuk mencapai target glikemik. Algoritme tier1 ini merupakan pilihan utama terapi pasien diabetes tipe 2. Langkah pertama : Intervensi pola hidup dan metformin. Berdasarkan bukti-bukti keuntungan jangka pendek dan jangka panjang bila berat badan turun dan aktivitas fisik yang ditingkatkan dapat tercapai dan dipertahankan serta cost effectiveness bila berhasil, maka konsensus ini menyatakan bahwa intervensi pola hidup harus dilaksanakan sebagai langkah pertama pengobatan pasien diabetes tipe 2 yang baru. Intervensi pola hidup juga untuk memperbaiki tekanan darah, profil lipid, dan menurunkan berat badan atau setidaknya mencegah peningkatan berat badan, harus selalu mendasari pengelolaan pasien diabetes tipe 2., bahkan bila telah diberi obat-obatan. Untuk pasien yang tidak obes ataupun berat badan berlebih, modifikasi komposisi diet dan tingkat aktivitas fisik tetap berperan sebagai pendukung pengobatan. Para ahli membuktikan bahwa intervensi pola hidup saja sering gagal mencapai atau mempertahankan target metabolik karena kegagaalan menurunkan berat badan atau berat badan naik kembali dan sifat penyakit ini yang progresif atau kombinasi faktor- faktor tersebut. Oleh sebab itu pada konsensus ini ditentukan bahwa terapi metformin harus dimulai bersamaan dengan intervensi pola hidup pada saat diagnosis.

13

Metformin direkomendasikan sebagai terapi farmakologik awal , pada keadaan tidak ada kontraindikasi spesifik, karena efek langsungnya terhadap glikemia, tanpa penambahan berat badan dan hipoglikemia pada umumnya, efek samping yang sedikit, dapat diterima oleh pasien dan harga yang relatif murah. Penambahan obat penurun glukosa darah yang lain harus dipertimbangkan bila terdapat hiperglikemia simtomatik persisten. Langkah kedua : menambah obat kedua Bila dengan intervensi pola hidup dan metformin dosis maksimal yang dapat ditolerir target glikemik tidak tercapai atau tidak dapat dipertahankan, sebaiknya ditambah obat lain setelah 2-3 bulan memulai pengobatan atau setiap saat bila target A1C tidak tercapai. Bila terdapat kontraindikasi terhadap metformin atau pasien tidak dapat mentolerir metformin maka perlu diberikan obat lain. Konsensus menganjurkan penambahan insulin atau sulfonilurea . Yang menentukan obat mana yang dipilih adalah nilai A1C. Pasien dengan A1C > 8,5% atau dengan gejala klinik hiperglikemia sebaiknya diberi insulin; dimulai dengan insulin basal (intermediate-acting atau long acting). Tetapi banyak juga pasien DM tipe 2 yang baru masih memberi respons terhadap obat oral. Langkah ketiga : penyesuaian lebih lajut Bila intervensi pola hidup, metformin dan sulfonilurea atau insulin basal tidak menghasilkan target glikemia, maka langkah selanjutnya adalah

mengintesifkan terapi insulin. Intensifikasi terapi insulin biasanya berupa berupa

14

suntikan short acting atau rapid acting yang diberikan sebelum makan. Bila suntikan-suntikan insulin dimulai maka sekretagog insulin harus dihentikan. Tahap 2 : less well-validated therapies Pada kondisi-kondisi klinik tertentu algoritme tingkatan kedua ini dapat dipertimbangkan. Secara spesifik bila hipoglikemia sangat ditakuti (misalnya pada mereka yang melakukan pekerjaan yang berbahaya), maka penambahan exenatide atau pioglitazone dapat dipertimbangkan. Bila penurunan berat badan merupakan pertimbangan penting dan A1C mendekati target (<8%), exenatide merupakan pilihan. Bila inervensi ini tidak efektif dalam mencapai target A1C, atau pengobatan tersebut tidak dapat ditolerir oleh pasien, maka penambahan dengan sulfonilurea dapat dipertimbangkan. Alternatif lain adalah bahwa tier 2 intervention dihentikan dan dimulai pemberian insulin basal.

Sedangkan algoritme penatalaksanaan DM tipe 2 menurut AACE yaitu : Algoritma (flowchart sederhana) dimulai dengan modifikasi gaya hidup, seperti olahraga dan diet, sebagai faktor yang berdampak utama pada kesehatan pasien. Kemudian tergantung pada tingkat HbA1c, dapat menggunakan diagram alur untuk menentukan apakah obat tunggal, ganda obat, atau terapi triplekombinasi yang harus diberikan.

15

Bila kadar A1c adalah antara 6,5-7,5 % pada diagnosis , Anda mungkin akan dimulai pada monoterapi (obat tunggal ) : baik metformin , thiazolinedione a , a DPP - 4 inhibitor , atau inhibitor alpha - glucosidase . Jika target pencapaian tidak terpenuhi setelah dua atau tiga bulan , mungkin akan berpindah ke terapi ganda . Terapi ganda meliputi metformin di samping thiazolinedione , sebuah DPP - 4 inhibitor , atau inhibitor alpha - glucosidase . Bila kadar A1c adalah antara 7,6-9,0 % pada diagnosis , maka akan dimulai terapi ganda metformin plus satu dari monoterapi. Jika kontrol glukosa darah tidak tercapai dalam dua atau tiga bulan , diterapi dengan tiga kombinasi berikutnya . adapun contoh dari terapi tiga kombinasi meliputi metformin plus DPP - 4 inhibitor ditambah thiazolidinedione. 16

Bila kadar A1c berada di atas 9,0 % pada diagnosis dan pasien memiliki gejala khas DM, maka terapi akan dimulai pada insulin . Jika tidak memiliki gejala , pasien akan diterapi dengan tiga kombinasi.

VI. Target Pengelolaan Target glikemik yang paling baru adalah dari ADA (American Diabetes Association) yang dibuat berdasarkan kepraktisan dan projeksi penurunan kejadian komplikasi , yaitu A1C <7%.

17

Konsensus ini menyatakan bahwa kadar A1C > 7% harus dianggap sebagai alarm untuk memulai atau mengubah terapi dengan gol A1C < 7%. Faktor-faktor seperti harapan hidup, risiko hipoglikemia dan adanya CVD perlu menjadi pertimbangan pada setiap pasien sebelum memberikan regimen terapi yang lebih intensif. Sebagai evaluasi dari keberhasilan terapi, maka kadar HbA1C berdasarkan konsensus ADA di periksa 2 kali dalam satu tahun.

18

Sedangkan target terapi menurut AACE berdasarkan kadar HbA1C <6,5%.

19

20

21

DAFTAR PUSTAKA

1. Vaag Allan and Serens Land .Insulin Initation in Patient with type 2 diabetes mellitus: treatment guidelines, clinical evidence and patterns of use of basal vs premixed insulin analogue.Europian Journal of Endocrynology 2012; 159-170 2. T Bailey. Option for combination therapy in type 2 diabetes:comparison of the ADA/EASDposition statement and AACE/ACE algorithm:Am J Med.2013 Sep 3. J Alan Garber. American association of clinical endocrinologist comprehensive diabetes management algorithm 2013 consensus statement. Endocrine practice 2013June;vol 19 4. Engel SS,Seck TL, Gohlm Gt, Kauffman KD, Goldstein BJ et al.Assesment of AACE/ACE recommendation for initial dual antihyperglycemic therapy using the fixed dose combination of sitagliptin and metformin versus meformin. Endocr Pract. 2013 sept-oct 5. Klonoff David,Blonde Laurence,George Cembrowski et al. The current role of self monitoring of blood glucose in non insulin treated type 2 diabetes. Journal of diabetes science and technology, november 2011 6. Day Caroline. ADA-EASD diabetes guidance: individual treatmentof hyperglycaemia.Aston University 2012 7.

22

You might also like