You are on page 1of 9

BAB I PENDAHULUAN

I. LATAR BELAKANG

Indonesia sebagai negara tropis memiliki keanekaragaman sumber daya alam hayati. Keanekaragaman ini sangat bermanfaat, terutama dengan banyaknya spesies tumbuhan dan tanaman yang dapat digunakan sebagai obat. Tumbuhan dan tanaman obat ini telah dijadikan obat tradisional yang turun temurun karena obat tradisional memiliki banyak kelebihan diantaranya mudah diperoleh, harganya yang lebih murah, dapat diramu sendiri dan memiliki efek samping yang lebih kecil dibandingkan obat-obatan dari produk farmasi. Oleh sebab itu, kecenderungan masyarakat untuk menggunakan obat tradisional yang berasal dari alam atau herba dalam pemeliharaan kesehatan, kebugaran, dan pengobatan semakin meningkat. Salah satu tanaman yang dipercaya dapat dijadikan obat dan menjaga kebugaran adalah sereh wangi yaitu tanaman herba yang tinggi dengan rimbunan daun yang lebat. Tanaman ini mampu tumbuh sampai 1.01.5 m. Panjang daunnya mencapai 7080 cm dan lebarnya 2 5 cm, berwarna hijau muda, kasar dan mempunyai aroma yang lebih kuat jika dibandingkan dengan sereh dapur. Sereh wangi dipercaya dapat menyembuhkan beberapa penyakit. Salah satu khasiatnya adalah sebagai obat kumur (Wijayakusuma, 2001). Dalam rangka meningkatkan mutu, keamanan, dan kemanfaatan obat bahan alam. Salah satu langkah yang dilakukan adalah standardisasi bahan baku yang digunakan dalam produksi obat tradisional, termasuk standardisasi ekstrak (Depkes RI, 2000). Pada praktikum kali ini dilakukan standardisasi ekstrak daun sereh dengan menentukan parameter non spesifik yang meliputi susut pengeringan dan bobot jenis dengan metoda piknometer ekstrak bahan alam.

II. TUJUAN Mahasiswa dapat melakukan penentuan parameter susut pengeringan dari ekstrak bahan alam. Mahasiswa mampu menentukan bobot jenis ekstrak bahan alam dengan metode piknometer.

III. MANFAAT Mahasiswa dapat memahami dan menerapkan proses standardisasi ekstrak yaitu menentukan parameter non spesifik yang meliputi penentuan parameter susut pengeringan dan bobot jenis dari suatu ekstrak bahan alam, yang akan berguna untuk menentukan langkah selanjutnya untuk mengembangkan suatu ekstrak bahan alam ini menjadi sediaan herbal bermutu tinggi dan dapat digunakan oleh masyarakat dikemudian hari.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Menurut Farmakope Indonesia Edisi IV, ekstrak adalah sediaan kental yang diperoleh dengan mengekstraksi senyawa aktif dari simplisia nabati atau hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian hingga memenuhi baku yang telah ditetapkan. Standarisasi ekstrak dilakukan secara parameter non spesifik dan parameter spesifik ( Farmakope Indonesia, 1995).

Bahan obat sediaan fitofarmaka umumnya menggunakan ekstrak cair, ekstrak kental dan tingtur. Sediaan fitofarmaka yang dibuat dari bahan ekstrak cair jika disimpan dalam jangka waktu yang lama akan lebih cepat mengalami gangguan penyimpanan dalam penyimpanan secara fisika, kimia dan mikrobiologi. Berdasarkan hal tersebut, ekstrak kering perlu dikembangkan dalam penggunaan obat pada sediaan fitofarmaka.

Ekstrak kering adalah sediaan tanaman yang diperoleh dengan cara pemekatan dan pengeringan ekstrak cair sampai mencapai konsentrasi yang diinginkan menurut cara cara yang memenuhi syarat. Pengaturan biasanya dilakukan berdasarkan kandungan bahan aktif dengan cara penambahan bahan inert.

Standardisasi Ekstrak Ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstraksi zat aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang diperoleh diperlukan sedemikian hingga memenuhi baku yang telah ditetapkan. Standardisasi ekstrak tidak lain adalah serangkaian parameter yang dibutuhkan sehingga ekstrak persyaratan produk kefarmasian sesuai dengan persyaratan yang berlaku. Ekstrak terstandar berarti konsistensi kandungan senyawa aktif dari setiap batch yang diproduksi dapat dipertahankan, dan juga dapat mempertahankan pemekatan kandungan senyawa aktif pada ekstrak sehingga dapat mengurangi secara signifikan volume permakaian per dosis, sementara dosis yang diinginkan terpenuhi, serta ekstrak yang diketahui kadar senyawa aktifnya ini dapat dipergunakan sebagai bahan pembuatan formula lain secara mudah seperti sediaan cair , kapsul, tablet, dan lain-lain.

Parameter standar simplisia atau ekstrak tanaman Standarisasi simplisia atau ekstrak tanaman mempunyai pengertian bahwa simplisia atau ekstrak yang akan digunakan untuk obat atau sebagai bahan baku harus mempunyai standar mutu. Sebagai parameter standar yang digunakan adalah persyaratan yang tercantum dalam monografi resmi, seperti Materia Medika. Parameter standar ini dibedakan menjadi dua, yaitu parameter standar spesifik dan parameter standar no spesifik. Dalam praktikum ini hanya akan dibahas mengenai pengukuran parameter standar spesifik. Pengukurannya dilakukan secara kuantitatif. Salah satu contoh dari parameter standar adalah penentuan susut pengeringan dan peentuan bobot jenis. o Susut pengeringan Susut pengeringan merupakan pengukuran sisa zat setelah pengeringan pada temperature 105 C selama 30 menit atau sampai konstan, yang dinyatakan dalam persen. Dalam hal khusus (jika bahan tidak mengandung minyak menguap atau atsiri dan sisa

pelarut organic) identik dengan kadar air, yaitu kandungan air karena berada di atmosfer atau lingkunan udara terbuka. Tujuannya untuk mengetahui susut pengeringan adalah memberikan batasan maksimal (rentang) tentang besarnya senyawa yang hilang pada proses pengeringan. Untuk simplisia atau ekstrak yang tidak mengandung minyak atsiri dan sisa pelarut organic menguap, susut pengeringan diidentikkan dengan kadar air, yaitu kandungan air karena simplisia berada di atmosfer dan lingkungan terbuka sehingga dipengaruhi oleh kelembaban lingkungan penyimpanan. Prosedurnya menurut Farmakope Indonesia IV adalah, campur dan timbang saksama zat uji, kecuali dinyatakan lain dalam masing-masing monografi, lakukan penetapan menggunakan 1 gram hingga 2 gram. Apabila zat uji berupa hablur besar, gerus secara cepat hingga ukuran partikel lebih kurang 2 mm. Tara botol timbang dangkal bersumbat kacayang telah dikeringkan selama 30 menit pada kondisi seperti yang akan digunakan dalam penetapan. Masukkan zat uji ke dalam botol timbang tersebut, dan timbang saksama botol beserta isinya. Perlahan-lahan dengan menggoyang, ratakan zat uji lebih kurang 5 mm dan dalam hal zat ruahan tidak lebih dari 10 mm. Masukan ke dalam oven. Panaskan zat uji pada suhu dan waktu tertentu seperti yang tertera pada monografi (catatan, suhu yang tercantum dalam monografi haruslah dianggap dalam rentang 2 C dari angka yang tertulis). Pada waktu oven dibuka, botol segera ditutup dan biarkan dalam desikator sampai suhunya mencapai suhu kamar sebelum ditimbang. Jika zat uji melebur pada suhu lebih rendah dari suhu yang ditetapkan untuk penetapan susut pengeringan, biarkan botol beserta isinya selama 1 jam hingga 2 jam pada suhu 5 hingga 10 di bawah suhu lebur, kemudian keringkan pada suhu yang telah ditetapkan. Jika pengeringan dilakukan dalam desikator, lakukan penanganan khusus untuk menjamin zat pengering tetap efektif dengan cara menggantinya sesering mungkin. o Bobot jenis Parameter bobot jenis ekstrak merupakan parameter yang mengindikasikan spesifikasi ekstrak uji. Parameter ini penting karena bobot jenis ekstrak tergantung pada jumlah serta jenis komponen atau zat yang larut di dalamnya. Prinsipnya adalah massa per satuan volume pada suhu kamar (25 C) yang ditentukan dengan piknometer. Tujuannya adalah member batas besarnya massa per satuan volume (parameter khusus

ekstrak cair sampai dengan kental yang dapat dituang). Dilakukan dengan mengukur nilai maksimal rentang, terkait kemurnia dan kontaminasi. Kecuali dinyatakan lain, dalam masing-masing monografi, penentapan bobot jenis digunakan hanya untuk cairan yang diukur pada suhu 25 C. Bila pada suhu 25 C zat berbentuk padat, tetapkan bobot jenis pada suhu yang tertera pada masing-masing monografi dan mengacu pada air pada suhu 25 C. Bobot jenis suatu zat adalah hasil yang diperoleh dengan membagi bobot zat dengan bobot air, dalam piknometer. Pada praktikum ini ekstrak yang ditentukan nilai susut pengeringan dan bobot jenis adalah ekstrak sereh. Beriut klasifikasi dari tanaman sereh: Divisi Subdivisi Kelas Ordo Famili Genus Spesies : Magnoliophyta : Spermatophyta : Liliopsida : Cyperale : Poaceae : Cymbopogon : Cymbopogon nardus

(Ketaren, 1985) Sereh wangi mengandung saponin, flavonoid, polifenol, (Syamsuhidayat dan Hutapea, 1991), alkaloid dan minyak atsiri, (Leung dan Foster, 1996). Sereh biasa digunakan sebagai obat tradisional ekstrak sereh wangi sering diminum untuk mengobati radang tenggorokan, radang usus, radang lambung, diare, obat kumur, sakit perut (Wijayakusuma, 2001), batuk, pilek dan sakit kepala (Leung dan Foster, 1996), juga digunakan sebagai obat gosok, untuk mengobati eksema dan rematik (Oyen, 1999).

Hasil Data Pengamatan dan Perhitungan 1. Data Penentuan Bobot Jenis Ekstrak Sereh menggunakan Piknometer - Bobot piknometer kosong : 12,467 gram - Bobot piknometer + air : 22,681 gram - Bobot piknometer + ekstrak 5 % : 22,840 gram - Bobot piknometer + ekstrak 10 % : 23,008 gram Perhitungan d=

d = Bobot jenis W0 = Bobot piknometer kosong W1 = Bobot piknometer + air W2 = bobot piknometer + ekstrak d (ekstrak 5 %) = d (ekstrak 10 %) = = 1,015 = 1,032

Pembahasan Pemeriksaan parameter ekstrak perlu dilakukan untuk mengetahui kualitas ekstrak dilihat dari sifat fisik dan kandungan kimianya. Salah satu parameter yang kami lakukan pada praktikum ini adalah melakukan penetapan bobot jenis ekstrak. Penetapan bobot jenis ekstrak dapat dilakukan dengan cara menimbang piknometer dengan volume 25 ml dalam keadaan kosong. Kemudian piknometer diisi penuh dengan air dan ditimbang ulang. Selanjutnya piknometer diisi penuh dengan ekstrak dan ditimbang kembali. Piknometer yang digunakan cukup satu saja selama pengujian, dikarenakan pada proses pengujian tidak terjadi kesalahan pada proses penimbangan piknometer sehingga mendapatkan hasil yang lebih akurat. Kecuali dinyatakan lain dalam masing-masing monografi, penetapan bobot jenis digunakan hanya untuk cairan, didasarkan pada perbandingan bobot zat di udara pada suhu 250C terhadap bobot air dengan volume dan suhu yang sama. Pada praktikum ini suhu ruangan ketika melaksanakan uji tidak sesuai dengan suhu yang seharusnya dikarenakan rungan ber ac, keadaan ini bisa saja dapat mempengaruhi hasil uji, sehingga hasil yang didapatkan tidak maksimal, tapi pada uji yang dilakukan faktor ini diabaikan dikarenakan keadaan yang tidak memungkinkan.

Pada praktikum kali ini didapatkan hasil bobot jenis sampel 5 % sebesar 1,015 dan bobot jenis sampel 10 % sebesar 1,032. Menurut standar yang telah ditetapkan, selisih dari bobot jenis ekstrak 5% dengan 10% berkisar antara 0,3-0,5. Dari hasil praktikum pada ekstrak dengan kadar 5 % dan 10 % didapatkan selisih sebesar 0,017. Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak yang didapatkan sudah sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Sampel yang diuji masih bisa dikatakan murni karena memiki selisih bobot jenis yang sesuai dengan literatur. Hasil Data Pengamatan dan Perhitungan 1. Data Susut Pengeringan Ekstrak Sereh Bobot cawan + ekstrak Bobot cawan Bobot sampel awal : 53,430 gram : 51, 547 gram : 2,050 gram

Perhitungan % susut pengeringan = x 100 %

A1 = Bobot cawan + ekstrak (gr) Ao = Bobot cawan kosong (gr) B = Bobot sampel awal (gr) % susut pengeringan = x 100 % = 91, 8536 %

Pembahasan Standardisasi dalam kefarmasian tidak lain adalah serangkaian parameter, prosedur, dan cara pengukuran yang hasilnya merupakan unsur-unsur terkait paradigma mutu kefarmasian. Mutu dalam artian memenuhi syarat standar, termasuk jaminan stabilitas sebagai produk kefarmasian. Standardisasi juga berarti proses mejamin bahwa produk akhir (ekstrak) mempunyai nilai parameter tertentu yang konstan. Ekstrak tumbuhan obat yang dibuat dari simplisia nabati dapat dipandang sebagai bahan awal dianalogkan sebagai komoditi bahan baku obat yang dengan teknologi fitofarmasi diolah menjadi produk jadi. Ekstrak sebagai bahan antara masih menjadi bahan yang dapat diproses lagi menjadi fraksifraksi, isolat senyawa tunggal ataupun tetap sebagai campuran dengan ekstrak lain. Ekstrak sebagai

produk jadi berarti ekstrak berada dalam sediaan obat dan siap digunakan. Jadi untuk memperoleh produk yang terstandar maka bahan dan prosesnya harus terstandar. Parameter farmakognosi merupakan pemeriksaan terhadap kualitas atau kemurnian ekstrak. Pengukurannya dilakukan secara kuantitatif. Susut pengeringan merupakan salah satu parameter non spesifik dalam standardisasi ekstrak. Susut pengeringan merupakan pengukuran zat sisasetelah mengalami pengeringan pada temperatur 1050C sampai berat konstan yang dinyatakan sebagai nilai persen. Jika bahan tidak mengandung minyak atsiri dan sisa pelarut organik menguap maka identik dengan kadar air yaitu kandungan air karena berada pada lingkungan terbuka. Pada praktikum kali ini,didapatkan hasil susut pengeringan ekstrak sebesar 91, 8536 %. Nilai ini menyatakan jumlah maksimal senyawa yang mudah menguap atau hilang pada proses pengeringan. Nilai susut pengeringan dalam hal khusus identik dengan kadar air jika bahan tidak mengandung minyak atsiri dan sisa pelarut organik yang menguap. Susut pengeringan ditentukan untuk menjaga kualitas ekstrak yang berkaitan dengan kemungkinan tumbuhnya jamur pada ekstrak.

Daftar pustaka:
Ditjen POM Depkes RI. 2000. Parameter Standar Umum Ekstrak Tubuhan Obat. Jakarta : Departemen Kesehatan RI. Wijayakusuma HMH. 2001. Tumbuhan berkhasiat obat Indonesia: rempah, rimpang, dan umbi. Jakarta: Milenia populer.

Anonim. 1985. Cara Pembuatan Simplisia. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta. Anonim. 1979. Farmakope Indonesia, Edisi III, Depkes RI, Jakarta. Anonim. 1995. Farmakope Indonesia Edisi IV. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta. Anonim. 2004. Monografi ekstrak tumbuhan obat Indonesia. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Ketaren S. 1985. Pengantar Teknologi Minyak Atsiri. Jakarta : PN Balai Pustaka. Hlm 204-220 Leung AY, Foster S. 1996. Encyclopedia of common natural ingredients used in food, drugs and cosmetic. Ed ke-2. New York : John Wiley & Sons.

List, P.H., and Schmidt, P.C. 1989. Phytopharmaceutical Technology. Boston: CRC Press. Oyen LPA. 1999. Cimbopogon citratus (DC) Staff. Di dalam: Oyen LPA, Nguyen XD, editor. Plant resources of South-East Asia No 19. Esential oil plant. Bogor : Prosea Bogor Indonesia. Syamsuhidayat SS, Hutapea JR. 1991. Inventaris Tanaman obat Indonesia. Jakarta: Depkes RI. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Jakarta. Wijayakusuma HMH. 2001. Tumbuhan berkhasiat obat Indonesia: rempah, rimpang, dan umbi. Jakarta: Milenia populer.

You might also like