You are on page 1of 35

BAB III TINJAUAN PUSTAKA 2.

1 ANATOMI

Gambar 2.1 Anatomi kepala

2.1.1 Kulit kepala Kulit kepala terdiri dari lima lapisan yang disebut sebagai SCALP yaitu : Skin (kulit), Connective tissue (Jaringan penyambung), Aponeurosis ( Galea aponeurotika), Loose areolar tissue (jaringan penunjang longgar), perikranium. Jaringan penunjang longgar memisahkan galea aponeurotika dari perikranium dan merupakan tempat tertimbunnya darah (hematoma subgaleal). Kulit kepala memiliki banyak pembuluh darah sehingga bila terjadi perdarahan akibat laserasi kulit kepala akan menyebabkan banyak kehilangan darah, terutama pada bayi dan anak-anak.1,2,3

12

2.1.2 Tulang Tengkorak Tulang tengkorak terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii. Kalvaria khususnya diregio temporal adalah tipis, namun disini dilapisi oleh otot temporalis. Basis kranii berbentuk tidak rata sehingga dapat melukai bagian dasar dari otak saat bergerak akibat proses akselerasi dan deselerasi. Rongga tengkorak dasar dibagi dalam tiga fossa yaitu : fossa anterior, fosa media, dan fosa posterior. Fosa anterior adalah tempat lobus frontalis, fosa media adalah tempat lobus temporalis dan fosa posterior adalah ruang bagi bagian bawah batang otak dan serebelum.1-3

2.1.3 Meningen Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3 lapisan yaitu : durameter, arakhnoid, dan pia mater. Dura mater adalah selaput yang keras, terdiri dari jaringan ikat fibrosa yang melekat erat pada permukaan dalam dari cranium. Karena tidak melekat pada selaput arakhnoid dibawahnya, mereka terdapat suatu ruang potensial (ruang subdura) yang terletak antara duramater dan arakhnoid, dimana sering dijumpai perdarahan subdural. Pada cidera otak, pembuluh-pumbuluh vena yang berjalan pada permukaan otak menuju sinus sagitalis superior digaris tengah atau disebut bridging veins, dapat mengalami robekan dan menyebabkan perdarahan subdural. Pada beberapa tempat tertentu duramater membelah menjadi dua lapis membentuk sinus venosus besar yang mengalirkan darah vena kesinus transverses dan sinus sigmoideus. sinus sigmoideus biasanya lebih dominan disebelah kanan. Laserasi dari sinus sinus ini dapat mengakibatkan perdarahan hebat. Arteri-arteri meningea terletak antara duramater dan permukaan dalam dari kranium (ruang epidural). Adanya fraktur dari tulang kepala dapat menyebabkan laserasi pada arteri-arteri ini dapat menyebabkan perdarahan epidural. Yang paling sering mengalami cedera adalah arteri meningea media yang terletak pada fosa temporalis.
13

Dibawah duramater terdapat lapisan kedua dari meningen, yang tipis dan tembus pandang disebut selaput arakhnoid. Lapisan ketiga adalah piamater yang melekat erat pada permukaan korteks serebri. Cairan serebrospinal bersirkulasi dalam ruangan subarachnoid. Perdarahan subarahnoid umumnya disebabkan akibat cedera kepala.1-3

2.1.4 Otak Otak manusia terdiri dari serebrum, serebelum dan batang otak. Serebrum terdiri atas hemisfer kanan dan kiri yang dipisahkan oleh falks serebri, yaitu lipatan duramater dari sisi inferior sinus sagitalis superior. Pada hemisfer serebri kiri terdapat pusat bicara manusia yang bekerja dengan tangan kanan, dan juga pada lebih dari 85 % orang kidal. Hemisfer otak yang mengandung pusat bicara sering disebut sebagai hemisfer dominan. Lobus frontal berkaitan dengan fungsi emosi, fungsi motorik, dan pada sisi dominan mengandung pusat ekspresi bicara (area bicara motorik). Lobus parietal berhubungan dengan sensorik dan orientasi ruang. Lobus temporal mengatur fungsi motorik tertentu. Pada semua orang yang bekerja dengan tangan kanan dan sebagian besar orang kidal. Lobus temporal kiri bertanggung jawab dalam kemampuan penerimaan rangsang dan integrasi bicara. Lobus oksipital bertanggung jawab dalam proses penglihatan. Batang otak terdiri dari mesensefalon (midbrain), pons dan medulla oblongata. Mesensefalon dan pons bagian atas berisi sistem aktivasi retikuler yang berfungsi dalam kesadaran dan kewaspadaan. Pada medulla oblongata terdapat pusat kardiorespiratorik, yang terus memanjang sampai medulla spinalis di bawahnya. Lesi yang kecil saja pada batang otak sudah dapat menyebabkan defisit neurologis yang berat. Serebelum bertanggung jawab dalam fungsi koordinasi dan keseimbangan dan terletak dalam fosa posterior, berhubungan dengan medulla spinalis, batang otak dan juga kedua hemisfer serebri.1-3
14

2.1.5 Cairan serebrospinal Cairan serebrospinal dihasilkan oleh pleksus koroideus (terletak diatap ventrikel) dengan kecepatan produksi sebanyak 20 ml/jam. CSS mengalir dari ventrikel lateral melalui foramen monro menuju ventrikel III, akuaduktus dari sylvius menuju ventrikel IV. Selanjutnya CSS keluar dari sistem ventrikel dan masuk kedalam ruang subarachnoid yang berada dalam seluruh permukaan otak dan medulla spinalis. CSS akan direabsorpsi kedalam sirkulasi vena melalui granulasio arakhnoid yang terdapat dalam sinus sagitalis superior. Adanya darah dalam CSS dapat menyumbat granulasio arakhnoid sehingga

mengganggu penyerapan CSS dan menyebabkan kenaikan tekanan intrakranial (hidrosefalus komunikans pasca trauma)1-3

2.1.6 Tentorium Tentorium serebri membagi rongga tengkorak menjadi ruang

supratentorial (terdiri dari fosa kranii anterior dan fosa kranii media) dan ruang infratentorial (berisi fosa kranii posterior). Mesensefalon (midbrain)

menghubungkan hemisfer serebri dengan batang otak (pons dan medulla oblongata) dan berjalan melalui celah lebar tentorium serebelli yang disebut incisurra tentorial. Nervus okuiomotgrius (Nervus IE) berjalan di sepanjang tepi tentorium, dan saraf ini dapat tertekan bila terjadi herniasi lobus temporal, yang umumnya diakibatkan oleh adanya massa supratentorial atau edema otak. Serabut-serabut parasimpatik yang berfungsi melakukan konstriksi pupil mata berjalan pada sepanjang permukaan nervus okulomotorius. Paralisis serabutserabut ini yang disebabkan oleh penekanan Nervus in akan mengakibatkan dilatasi pupil oleh karena tidak adanya hambatan aktivitas serabut simpatik. Bagian otak yang sering mengalami herniasi melalui insisura tentorial adalah sisi medial lobus temporal yang disebut Unkus. Herniasi Unkus juga menyebabkan penekanan traktus kortikospinal (piramidalis) yang berjalan pada otak tengah. Traktus piramidalis atau traktus motorik menyilang garis tengah
15

menuju sisi berlawanan pada level foramen magnum, sehingga penekanan pada traktus ini menyebabkan paresis otot-otot sisi tubuh kontralateral. Dilatasi pupil ipsilateral disertai hemiplegia kontralateral dikenal sebagai sindrom klasik herniasi unkus. Kadang-kadang, lesi massa yang terjadi akan menekan dan mendorong otak tengah ke sisi berlawanan pada tepi tentorium serebeli dan mengakibatkan hemiplegia dan dilatasi pupil pada sisi yang sama dengan hematoma intrakraniahya (sindroma lekukan Kernohan).1-3

2.2 ASPEK FISIOLOGIS PADA KEPALA A. Hukum Monroe Kellie Berbeda dengan organ tubuh lainnya, jaringan otak terdapat dalam rongga tulang tengkorak yang sifatnya tertutup, kaku dan tidak elastik. Sebagai dampaknya, kompartemen intrakranial ini hanya dapat mentoleransi sedikit saja peningkatan volume, sebelum terjadi peningkatan tekanan intrakranial yang dramatis Konsep ini dijabarkan dalam hokum Monroe-Kellie yang menegaskan bahwa total volume intrakranial adalah tetap, karena sifat dasar dari tulang tengkorak yang tidak elastik. Volume intrakrnial (V ic) adalah sama dengan jumlah total volume komponen-komponen, yaitu volume jaringan otak (V br), volume cairan serebrospinal (V csf), dan volume darah (V bl).

Pada orang dewasa, volume intrakrnial normalnya sekitar 1500 ml, dimana 85-90% merupakan jaringan otak, 10% volume darah intravaskuler serebral, dan sisanya (<3%) merupakan volume cairan serebrospinal. Saat terjadi cedera kepala dan timbul edema pada jaringan otak akan bertambah. Karena volume intrakranial sifatnya tetap, makanya dalam kompartemen intrakranial (Intrakranial pressure/ ICP) akan meningkat kecuali

16

terjadi mekanisme kompartemen misalnya dengan terjadinya penurunan volume dari komponen intrakranial lainnya. Hal ini akan erat dengan kaitannya dengan compliance intrakranial, yang menjelaskan perubahan tekanan berkaitan dengan perubahan volume. Complience = Perubahan volume/perubahan tekanan Besarnya compliance intrakranial didasarkan pada tekanan volume (pressure volume idex = PVI) yang ada dalam kompartemen intrakranial. Secara singkat dan sederhana, yang perlu dipahami adalah bahwa kompartemen intrakrnial memiliki compliance yang terbatas dan tidak mampu mentoleransi bila ada peningkatan volume yang signifikan, yang disebabkan misalnya oleh karena adanya edema otak, atau massa (contoh hematoma). Konsep hokum Monroe-Kelli ini perlu dipahami dalam rasionalisasi intervensi tatalaksana cedera kepala. Manakala volume dari salah satu komponen volume total intrakranial diturunkan, maka tekanan intrakranial yang terjadi juga akan turun.1-5

B. Tekanan Perfusi Serebral Tekanan perfusi serebral adalah nilai selisih antara mean arterial pressure (MAP) dan tekanan intrakranial (ICP) CPP = MAP ICP CPP merupakan nilai tekanan aliran darah yang ada pada jaringan otak. Pada seseorang yang sedang dalam kondisi normal aliran darah otak (cerebral blood flow) akan bersifat konstan selama berkisar antara 50 150 mmhg. Hal ini dapat terjadi dengan adanya autoregulasi dari arteriol yang akan mengakibatkan vasokonstriksi dan vasodilatasi dalam upayanya menjaga agar aliran darah ke otak berlangsung konstan.1-5

17

2.3 DEFENISI CEDERA KEPALA Cedera kepala (Trauma kapitis) adalah cedera mekanik yang secara langsung atau tidak langsung mengenai kepala yang mengakibatkan luka di kulit kepala, fraktur tulang tengkorak, robekan selaput otak, dan kerusakan jaringan otak itu sendiri, serta mengakibatkan gangguan neurologis.1

2.4 KLASIFIKASI CEDERA KEPALA Dalam mengklasifikasikan cedera kepala, ada banyak cara pembagian. Namun yang paling umum dan berguna dalam penggunaan sehari-hari yaitu berdasarkan mekanisme, beratnya, dan berdasarkan morfologi.1,2,5-10

A. Mekanisme Cedera Kepala Cedera otak dibagi atas cedera tumpul dan cedera tembus. Cedera tumpul biasanya berkaitan dengan kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh atau pukulan benda tumpul. Cedera tembus disebabkan oleh luka tembak ataupun tusukan.

B. Beratnya Cedera Glasgow Coma Scale (GCS) digunakan secara umum dalam deskripsi beratnya penderita cedera otak. Glasgow coma scale (GCS) yaitu suatu skala untuk menilai secara kuantitatif tingkat kesadaran seseorang dan kelainan neurologis yang terjadi. Ada tiga aspek yang dinilai yaitu reaksi membuka mata (eye opening), reaksi berbicara (verbal respon), dan reaksi lengan serta tungkai (motor respons).

18

Glasgow Coma Scale (GCS) yang dimaksud adalah :

Gambar 2.2 Glasgow Coma Scale (GCS)

Dengan

Glasgow

coma

scale

(GCS),

cedera

kepala

dapat

diklasifikasikan menjadi : Cedera otak berat o Nilai GCS 3 - 8 didefinisikan sebagai koma. o Defisit neurologis, dan pingsan lebih dari 6 jam Cedera otak sedang o Nilai GCS 9 13 o Adanya defisit neurologis, dan pingsan antara 10 menit sampai dengan 6 jam.

19

Cedera kepala ringan o Nilai GCS 14-15, tanpa defisit neurologis, dan pingsan tidak lebih dari 10 menit. Namun bila dari pemeriksaan CT-Scan ternyata ada perdarahan, maka dklasifikasikan mejadi cidera kepala sedang.

C. Morfologi 1. Fraktur Kranium Fraktur Kranium dapat terjadi pada atap atau lisar tengkorak, dapat berbentuk garis/linear itau bintang/stelata, dan dapat pula terbuka atau tertutup. Fraktur dasar tengkorak biasanya memerlukan pemeriksaan CT scan dengan teknik "bone window" untuk memperjelas garis frakturnya. Adanya tanda-tanda klinis fraktur dasar tengkorak menjadikan petunjuk kecurigaan untuk melakukan

pemeriksaan lebih rinci. Tanda-tanda tersebut antara lain ekimosis periorbital (Raccon eyes sign), ekimosis retro aurikuler (Battle Sign), kebocoran CSS (rhinorrhea, otorrhea), paresis nervus fasialis dan kehilangan pendengaran, yang dapat timbul atau beberapa hari setelah trauma. Umumnya prognosis pemulihan paresis nervus fasialis lebih baik pada keadaan paresis yang terjadi pada beberapa waktu kemudian, sementara prognosis pemulihan N VIII buruk. Fraktur dasar tengkorak yang menyilang kanalis karotikus dapat merusak arteri karotis (diseksi, pseudoaneurisma atau trombosis) dan dianjurkan untuk dilakukan arteriografi. Fraktur kranium terbuka dapat mengakibatkan adanya hubungan antara laserasi kulit kepala dengan permukaan otak karena robeknya selaput dura. Adanya fraktur tengkorak tidak dapat diremehkan, karena menunjukkan bahwa benturan yang terjadi cukup berat. Pada penderita

20

sadar, bila ditemukan fraktur linier pada kalvaria kemungkinan adanya perdarahan intrakranial meningkat sampai 400 kali. Pada penderita koma kemungkinan ditemukannya perdarahan intra-kranial pada fraktur linier adalah 20 kali karena resiko adanya perdarahan intrakranial memang sudah lebih tinggi. Menurut Iskandar Japardi (1999:6), Klasifikasi fraktur tulang tengkorak dapat dilakukan berdasarkan : 1) a) Gambaran fraktur, dibedakan atas : Linier Fraktur linier merupakan garis fraktur tunggal pada tengkorak yang meliputi seluruh ketebalan tulang. Pada pemeriksaan radiologi akan terlihat sebagai garis radiolusen. Fraktur linear

21

b)

Diastase Fraktur yang terjadi pada sutura, sehingga terjadi pemisahan sutura cranial. Fraktur ini sering terjadi pada anak dibawah usia 3 tahun.

Fraktur diastasis

c)

Comminuted

Fraktur dengan dua atau lebih fragmen fraktur.

22

d) Depressed Fraktur depressed diartikan sebagai fraktur dengan tabula eksterna pada satu atau lebih tepi fraktur terletak dibawah level anatomic normal dari tabula interna tulang tengkorak sekitarnya yang masih utuh. Jenis fraktur ini terjadi jika energy benturan relative besar terhadap area benturan yang relative kecil. Misalnya benturan oleh martil, kayu, batu, pipa besi, dll. Pada gambaran radiologis akan terlihat suatu area double density (lebih radio opaque) karena adanya bagian-bagian tulang yang tumpang tindih. Menurut Suzanne C. Smeltzer & Brenda G. Bare, vol. 3, 1996 : 2358 fraktur depresi adalah fraktur dengan fragmen patahan terdorong kedalam (sering terjadi pada tulang tengkorak dan wajah). Fraktur Tertekan (Depressed fracture)

23

Fraktur tertekan (Depressed fracure)

2) Lokasi Anatomis, dibedakan atas : a) Konveksitas (kubah tengkorak) yaitu fraktur yang terjadi pada tulang-tulang yang membentuk konveksitas (kubah) tengkorak seperti os.Frontalis, os. Temporalis, os. Parietalis, dan os. Occipitalis.

b) Basis crania (dasar tengkorak) yaitu fraktur yang terjadi pada tulang yang membentuk dasar tengkorak. Dasar tengkorak terbagi atas tiga bagian yaitu : (1) fossa Anterior (2) fosa Media (3) fosa Posterior fraktur pada masing-masing fosa akan memberikan manifestasi yang berbeda. 3) keadaan luka, dibedakan atas : a) terbuka b) tertutup

24

Luas lapisan tipe fraktur ditentukan oleh beberapa hal, pertama ditentukan oleh besarnya energy yang membentur kepala (energy kinetic objek), kedua ditentukan oleh Arah benturan, ketiga ditentukan oleh bentuk tiga dimensi (geometris) objek yang membentur, keempat ditentukan oleh lokasi anatomis tulang tengkorak tempat benturan terjadi, dan kelima ditentukan oleh perbandingan antara besar energi dan luasnya daerah benturan, semakin besar nilai perbandingan ini akan cenderung

menyebabkan fraktur depressed. Pendapat ini didukung oleh beberapa hal antara lain : a. Fraktur pada tabula interna biasanya lebih luas dari pada fraktur tabula eksterna diatasnya b. Sering ditemukan adanya fraktur tabula interna walaupun tabula eksterna utuh c. Kemungkinan hal ini juga didukung oleh pengamatan banyaknya kasus epidural hematoma akibat laserasi arteri meningea media, walaupun pada pemeriksaan awal dengan radiologi dan gambaran intra operatif tidak tampak adanya fraktur pada tabula eksterna, tetapi tampak garis fraktur pada tabula interna.

2. Lesi intrakranial Lesi ini diklasifikasikan sebagai lesi fokal atau lesi difus, walaupun kedua jenis lesi ini sering terjadi bersamaan. Termasuk dalam lesi fokal yaitu perdarahan epidural, perdarahan subdural, kontusio, dan perdarahan intra serebral. a. Cedera otak difus Mulai dari konkusi ringan dimana gambaran CT scan normal sampai kondisi yang sangat buruk. Pada konkusi,
25

penderita

biasanya

kehilangan

kesadaran

dan

mungkin

mengalami amnesia retro/anterograd. Cedera otak difus yang berat biasanya diakibatkan hipoksia, iskemik dari otak karena syok yang berkepanjangan atau periode apneu yang terjadi segera setelah trauma. Pada beberapa kasus, CT scan sering menunjukkan gambaran normal, atau gambaran edema dengan batas area putih dan abu-abu yang kabur. Kasus yang lebih jarang, biasanya pada kecelakaan motor dengan kecepatan tinggi, pada CT scan menunjukkan gambaran titik-titik perdarahan multipel di seluruh hemisfer otak yang terkonsentrasi di batas area putih dengan abu-abu. Selama ini dikenal isilah Cedera Aksonal Difus (CAD) untuk mendefinisikan trauma otak berat dengan prognosis yang buruk. Penelitian secara

mikroskopis menunjukkan adanya kerusakan pada akson dan terlihat pada manifestasi klinisnya b. Perdarahan epidural (epideral hematom) Relatif jarang, lebih kurang 0,5% dari semua cedera otak dan 9% dari penderita yang mengalami koma Hematoma epidural terletak di luar dura tetapi di dalam rongga tengkorak dan cirinya berbentuk bikonveks atau menyerupai lensa cembung. Sering terletak di area temporal atau temporoparietal yang dan biasanya disebabkan oleh robeknya a. meningea media akibat fraktur tulang tengkorak. Gumpalan darah yang terjadi biasanya berasal dari pembuluh arteri, namun dapat juga terjadi akibat robekan dari vena besar. Epidural Hematom berarti pendarahan terdapat pada daerah

antara duramater dan tulang cranium. Gambarannya hiperdens bikonveks, tanpa melewati sutura. Beberapa kasus terjadi Lucid interal. Pasien trauma kepala datang dengan kondisi umum baik,
26

namun secara mendadak mengalami kehilangan kesadaran. Biasanya akibat kompresi parenkim akibat pendarahan, wajib diawasi terus bisa dengan CT scan. Apabila penekanan meningkat, meningkatkan tekanan intracranial, kompresi system vaskuler cerebral, iskemik dan hipoksis, berbahaya.

Cembung ganda (lenticellular) epidural hematoma (panah), sangat mendalam untuk patah tulang tengkorak parietal (panah).

c. Perdarahan subdural (subdural hematom) Perdarahan subdural lebih sering terjadi daripada perdarahan epidural (kira-kira 30 % dari cedera otak berat). Perdarahan ini

27

terjadi akibat robeknya vena-vena kecil di permukaan korteks serebri. Perdarahan subdural biasanya menutupi seluruh

permukaan hemisfer otak. Biasanya kerusakan otak di bawahnya lebih berat dan prognosisnyapun jauh lebih buruk dibanding pada perdarahan epidural. Subdural hematom (SDH) berarti pendarahan ada di antara duramater dengan arachnoidmater, bentuk hiperdense dengan bentuk kovenks--konkaf Kedua pendarahan di atas biasanya terjadi akibat trauma, dengan ketentuan Trauma langsung (coup) menyebabkan fraktur linear, dengan hematoma jenis epidural. Terjadi cross sutura, perpindahan dari supratentorial ke infratentorial, pendarahan bersifat arterial, merupakan medical emergency. Trauma tidak langsung (countercoup), tanpa fraktur, pendarahan Janis hematom subdural.

Tinggi kepadatan, bulan sabit berbentuk hematoma. Melapisi belahan otak kanan. Pergeseran septum

pellucidum biasanya garis tengah karena panah efek massa.

28

Wilayah hipodens (panah) dalam kepadatan tinggi. Hematoma (panah) dapat mengindikasikan perdarahan aktif.

29

Subakut subdural hematoma (panah). Perhatikan kompresi materi abu-abu dan putih? Di hemisphAere kiri karena efek massa.

30

Ini hematoma subdural kronis (kepala panah) menunjukkan yang septations dan loculations yang sering terjadi dari waktu ke waktu.

Bulan Sabit hematoma subdural berbentuk kronis (panah). Perhatikan atenuasi rendah karena reabsorbtion dari perdarahan dari waktu ke waktu.

Beberapa fokus kepadatan tinggi sesuai. Perdarahan (panah) di daerah kepadatan rendah (panah) di lobus frontal kiri karena memar otak.
31

d. Subarachnoid Hematom Subarachnoid Hematom berarti pendarahannya ada di cavum subarachnoid. Pendarahan masuk ke dalam sulcus, hyperdense sulcus.

32

e. Kontusio dan perdarahan intraserebral Kontusio serebri sering terjadi (20% sampai 30% dari cedera otak berat), dan sebagian besar terjadi di lobus frontal dan lobus temporal, walaupun dapat juga terjadi pada setiap bagian dari otak. Kontusio serebri dapat terjadi, dalam waktu beberapa jam atau hari, berubah menjadi perdarahan intraserebral yang membutuhkan tindakan operasi. Hal ini timbul pada lebih kurang 20% dari penderita dan cara mendeteksi terbaik adalah dengan mengulang CT scan dalam 12 - 24 jam setelah CT scan pertama. Intracerebral Hematoma (ICH) Pendarahan terjadi pada parenkim otak. Cysterna melebar.

33

Intraparenchymal atau perdarahan intraserebral (panah), subarachnoid hemorrhage (panah), atau darah yang mengelilingi permukaan otak, dan edema (tanda bintang), atau pembengkakan otak.

34

f. Intraventricular Hematoma

Perdarahan

intraventricular

(panah)

ditemukan

pada

trauma Pasien. Perhatikan perdarahan subarachnoid dalam ruang subarachnoid (panah).

35

Kepadatan darah tinggi (patah) mengisi sulci selama konveksitas otak kanan? Dalam subarachnoid hemorrhage.

2.4 PEMERIKSAAN KLINIS Pemeriksaan fisik secara lengkap dapat dilakukan bersamaan dengan secondary survey, bila keadaan memungkinkan, khususnya bila cedera tidak terlalu berat. Pemeriksaan neurologis, selain pemeriksaan GCS, perlu dilakukan lebih dalam, mencakup pemeriksaan fungsi batang otak, syaraf kranial, fungsi motorik, fungsi sensorik, dan reflek-reflek. Pada bagian thoraks perlu diperiksa fungsi pernapasan dan kardiovaskuler. pada daerah abdomen perlu diperhatikan adanya kemungkinan cedera organ dalam.1,2,3

2.5 PEMERIKSAAN PENUNJANG Pemeriksaan penunjang yang perlu dilakukan adalah 1. Pemeriksaan Radiologi Foto Rontgen: Pemeriksaan radiologi yang paling sering dan mudah dilakukan adalah rontgen kepala, yang kerap dijadikan pemeriksaan skrining adanya fraktur tulang tengkorak. Sejak ditemukannya CT-scan, maka penggunaan foto Rontgen cranium dianggap kurang optimal. Dengan pengecualian untuk

36

kasus-kasus tertentu seperti frakturpada vertex yang mungkin lolos dari CTcan dan dapat dideteksi dengan foto polos maka CT-scan dianggap lebih menguntungkan dari pada foto Rontgen kepala. Di daerah pedalaman dimana CT-scan tidak tersedia, maka foto polos x-ray dapat memberikan informasi yang bermanfaat. Diperlukan foto posisi AP (anteroposterior), lateral, Townes view dan tangensial terhadap bagian yang mengalami benturan untuk menunjukkan suatu fraktur depresi. Bila diperlukan, dapat pula dilakukan foto lateral dari kedua sisi. Foto polos cranium dapat menunjukkan adanya fraktur, lesi osteolitik atau osteoblastik, atau pneumosefal. Foto polos tulang belakang digunakan untuk menilai adanya fraktur, pembengkakan jaringan lunak, deformitas tulang belakang, dan proses-prosesosteolitik atau osteoblastik. Dengan keunggulannya terhadap rontgen polos kepala, maka jika ada indikasi jelas untuk pemeriksaan CT-Scan dianjurkan untuk tidak perlu lagi melakukan rontgen kepala. CT scan : CT scan adalah kriteria modalitas standar untuk menunjang diagnosa fraktur pada cranium. Potongan slice tipis pada bone windows hingga ketebalan 1-1,5 mm, dengan rekonstruksi sagital berguna dalam menilai cedera yang terjadi. CT scan Helical sangat membantu untuk penilaian fraktur condylar occipital, tetapi biasanya rekonstruksi tiga dimensi tidak diperlukan. Indikasi pemeriksaan CT-Scan pada kasus cedera kepala : Bila secara klinis (penilaian GCS) didapatkan klasifikasi cedera kepala sedang dan berat. Cedera kepala ringan yang disertai fraktur tengkorak Adanya kecurigaan dan tanda terjadinya fraktur basis kranii Adanya defisit neurologi, seperti kejang dan penurunan gangguan kesadaran Sakit kepala yang hebat

37

Adanya tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial atau herniasi jaringan otak Kesulitan dalam mengeliminasi kemungkinan perdarahan intraserebral1-5 MRI (Magnetic Resonance Angiography) : bernilai sebagai pemeriksaan penunjang tambahan terutama untuk kecurigaan adanya cedera ligamentum dan vaskular. Cedera pada tulang jauh lebih baik diperiksa dengan menggunakan CT scan. MRI memberikan

pencitraan jaringan lunak yang lebih baik dibanding CT scan. 2. Pemeriksaan laboratorium darah Ada beberapa pemeriksaan laboratorium yang berguna pada kasus cedera kepala, yaitu : Pemeriksaan nilai HB, berguna sebagai salah satu tanda adanya perdarahan hebat. Leukositosis, dapat digunakan sebagai salah satu indikator berat ringannya cedera kepala yang terjadi Pemeriksaan golongan darah, untuk persiapan bila diperlukan tranfusi darah pada kasus perdarahan hebat Pemeriksaan kadar gula darah sewaktu dapat berguna untuk memonitor agar jangan sampai terjadi hipoglikemi maupun hiperglikemia Pemeriksaan fungsi ginjal, untuk memeriksa apakah ginjal berfungsi dengan baik Analisa gas darah, terutama pada pasien yang kesadarannya menurun Pemeriksaan elektrolit diperlukan untuk mengetahui apakah ada dalam kadar normal atau tidak. gangguan elektrolit menyebabkan penurunan kesadaran.1-5

38

2.6 PENATALAKSANAAN CEDERA KEPALA1-10 1. Primary Survey Jalan nafas (airway) Gangguan jalan nafas (airway) yang kerap terjadi misalnya akibat lidah yang jatuh kebelakang. Karenanya, bila tidak ada cedera dibagian cervical, kepala diposisikan ekstensi. Bila tidak membantu atau tidak dapat dilakukan, dapat dipasang pipa orofaring atau pipa endotrakeal. Selain itu perlu dilakukan pembersihan daerah mulut akan lendir, darah, muntahan, atau gigi palsu. Bila pasien masih muntah, baringkan dalam posisi miring. Isi lambung dikosongkan dengan menggunakan pipa nasogastrik, agar tidak sampai muntahan kedalam paru. Pernapasan (Breathing) Gangguan pernapasan (Breathing) dapat terjadi karena gangguan yang bersifat sentral maupun perifer. Kelainan perifer misalnya karena adanya aspirasi, trauma pada dada yang menyebabkan pneumotoraks atau gangguan gerakan pernapasan. Gangguan yang bersifat sentral, misalnya akibat gangguan pusat nafas diotak. Untuk mengatasinya dicari penyebabnya terlebih dahulu, sementara itu dapat diberikan oksigen dosis tinggi, 10-15 liter per menit secara intermitten. Bila memungkinkan dipasang ventilator. Sirkulasi (Circulation) Gangguan sirkulasi dapat disebabkan karena cedera otak, dapat pula disebabkan karena faktor ekstrakranial. Penanganan pertama gangguan sirkulasi ini adalah menghentikan sumber perdarahan, perbaikan fungsi jantung, dan penggantian darah yang hilang. Darah yang hilang dapat digantikan selain dengan darah atau plasma darah, dapat pula diberi cairan yang bersifat isotonic, yaitu NaCl 0,9% atau ringer laktat.

39

2. Secondary Survey Pada secondary survey, dilakukan pemeriksaan ulang tanda vital, pencatatan hal yang penting dan pemeriksaan fisik secara cepat namun menyeluruh dari kepala hingga kaki.Secara praktis dikenal dengan istilah 5 B dalam patokan pemantauan dan penanganan yang harus dilakukan, yaitu: Pernapasan (Breathing) Frekuensi dan jenis pernapasan penderita perlu diperhatikan dan dijaga agar tidak terganggu. Adanya sumbatan harus dicegah misalnya dengan menjaga posisi kepala, pemasangan intubasi, trakeostomi, dll. Oksigenasi jaringan otak harus diperhatikan sebab berkaitan dengan terjadinya komplikasi edema serebri yang akan memperberat keadaan pasien. Perlu juga diperhatikan dan diperiksa ulang apakah ada kelainan pada dada yang mengganggu pernapasan seperti pneumotoraks, flail chest, kontusio paru, dll. Darah (blood) Pemeriksaan laboratorium darah (khususnya Hb dan leukosit) perlu pula dilakukan. Tekanan darah yang meningkat disertai adanya penurunan denyut nadi menunjukkan adanya tekanan intrakranial yang meningkat. Tekanan darah yang menurun disertai denyut nadi yang meningkat menunjukkan adanya keadaan syok hipovolemik, yang umumnya bukan dari daerah kepala/otak, melainkan dari cedera lain yang menyertainya. Otak (Brain) Adanya perubahan GCS menjadi semakin kecil akan menunjukkan adanya perburukan keadaan. Selain penilaian GCS perlu dilakukan pemeriksaan saraf pusat yang lebih mendetail misalnya keadaan pupil (ukuran, bentuk dan reflek), Gerakan bola mata, reflek patologis dan paresis.

40

Kandung Kemih (Blader) Kandung kemih perlu dikososngkan, dengan tujuan mencegah pasien mengejan, yang dapat berakibat penekanan tekanan intrakranial. pengososngan ini dapat dilakukan dengan pemasangan kateter urin Usus besar (Bowel ) Usus yang penuh dan feaces yang keras akan menyebabkan pasien mengejan. Hal ini perlu dihindari agar tidak terjadi peningkatan tekanan intracranial 2.6.1 Penatalaksanaan Cedera Kepala Ringan1 ALGORITME 1 Penatalaksanaan Cedera Kepala Ringan Definisi: Penderita sadar dan berorientasi (GCS14-15) Riwayat: Nama, umur, jenis kelamin, ras, pekerjaan Tingkat kewaspadaan Mekanisme cedera Amnesia: Retrograde, Antegrade Waktu cedera Sakit kepala: ringan, sedang, berat Tidak sadar segera setelah cedera Pemeriksaan umum untuk menyingkirkan cedera sistemik Pemeriksaan neurologis terbatas. Pemeriksaan rontgen vertebra servikal dan lainnya sesuai indikasi Pemeriksaan kadar alkohol darah dan zat toksik dalam urine Pemeriksaan CT scan kepala sangat ideal pada setiap penderita, kecuali bila memang sama sekali asimtomatik dan pemeriksaan neurologis normal

Observasi atau dirawat di RS CT scan tidak ada Fscan abnormal Semua cedera tembus Riwayat hilang kesadaran Kesadaran menurun Sakit kepala sedang-berat Intoksikasi alkohol/ obat-obatan Kebocoran likuor: Rhinoreaotorea Cedera penyerta yang bermakna Tak ada keluarga di rumah GCS < 15 Defisit neurologis fokal

Dipulangkan dari RS Tidak memenuhi kriteria rawat. Diskusikan kemungkinan kembali Ke rumah sakit bila memburuk dan berikan lembar observas Jadwalkan untuk kontrol ulang

Gambar 2.3 Algoritme penatalaksanaan cedera kepala ringan

41

2.6.2 Penatalaksanaan Cedera Kepala Sedang1 ALGORITME 2 Penatalaksanaan Cedera Kepala Sedang Definisi: Penderita biasanya tampak kebingungan atau mengantuk, namun masihmampu menuruti perintah (GCS:9-13). Pemeriksaan awal: Sama dengan untuk cedera kepala ringan ditambah pemeriksaan darah sederhana Pemeriksaan CT scan kepala pada semua kasus Dirawat untuk observasi

Setelah dirawat: Pemeriksaan neurologis periodik Pemeriksaan CT scan ulang bila kondisi penderita memburuk atau bila penderita akan dipulangkan.

Bila kondisi membaik (90%) Pulang bila rnemungkinkan Kontrol di poliklinik

Bila kondisi memburuk (10%) Bila penderita tidak mampu

melakukan perintah lagi, segera lakukan pemeriksaan CT scan ulang dan penatalaksanaan sesuai protokol cedera kepala berat.

Gambar 2.4 Algoritme penatalaksanaan cedera kepala sedang

42

2.6.3 Penatalaksanaan Cedera Kepala Berat1

Tabel 4 - Penatalaksanaan Awal Cedera Otak Berat Definisi: Penderita tidak mampu melakukan perintah sederhana karena menurun (GC5 3-8) Pemeriksaan dan penatalaksaan ABCDE Primary Survey dan resusitasi Secondary Survey dan riwayat AMPLE Rawat pada fasilitas yang mampu melakukan tindakan perawatan defmitif Bedah saraf Reevaluasi neurologis: GCS Respon buka mate Respon motorik Respon verbal Refleks cahaya pupil

kesadaran yang

Obat-obatan Manitol Hiperventilasi sedang (PCO2O5 mmHg) Antikonvulsan

Tes Diagnostik (sesuai urutan) CT Scan Ventrikulografi udara Angiogram Gambar 2.5 Algoritme penatalaksanaan Cedera Kepala Berat

43

2.6.4 Terapi Medika Mentosa Untuk Cedera Otak Tujuan utama protokol perawatan intensif ini adalah untuk mencegah terjadinya kerusakan sekunder terhadap otak yang telah mengalami cedera. Prinsip dasarnya adalah bila sel saraf diberikan suasana yang optimal untuk pemulihan, maka diharapkan dapat berfungsi normal kembali. Namun bila sel saraf dibiarkan dalam keadaan tidak optimal maka sel dapat mengalami kematian.1 1. Cairan intravena Cairan intravena diberikan secukupnya untuk resusitasi agar penderita tetap dalam keadaan normovolemia. Keadaan hipovolemia pada pasien sangatlah berbahaya. Namun, perlu diperhatikan untuk tidak memberikan cairan berlebih. Jangan berikan cairan hipotonik. Penggunaan cairan yang mengandung glukosa dapat menyebabkan hiperglikemia yang berakibat buruk pada otak yang cedera. Karena itu cairan yang dianjurkan untuk resusitasi adalah larutan garam fisiologis atau Ringer's Lactate. Kadar natrium serum perlu diperhatikan pada pasien dengan cedera kepala. Keadaan hiponatremia sangat berkaitan dengan timbulnya edema otak yang harus dicegah.

2. Hiperventilasi Pada kebanyakan pasien, keadaan normokarbia lebih disukai. Hiperventilasi dilakukan dengan menurunkan PCOa dan akan

menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah otak. Hiperventilasi yang berlangsung terlalu lama dan agresif dapat menyebabkan iskemia otak akibat terjadinya vasokonstriksi serebri berat sehingga menimbulkan gangguan perfusi otak. Hal ini terjadi terutama bila PCOz dibiarkan turun sampai di bawah 30 mm Hg (4,0 kPa). Hiperventilasi sebaiknya dilakukan secara selektif dan hanya dalam waktu tertentu. Umumnya, PCOz dipertahankan pada 35 mmHg atau
44

lebih. Hiperventilasi dalam waktu singkat PCO2 antara 25-30 mm Hg) dapat diterima jika diperlukan pada keadaan deteriorasi neurologis akut.

3. Manitol Manitol digunakan untuk menurunkan TIK yang meningkat. Sediaan yang tersedia biasanya cairan dengan konsentrasi 20%. Dosis yang biasa dipakai adalah 1 g/kgBB diberikan secara bolus intravena. Dosis tinggi manitol jangan diberikan pada pasien yang hipotensi karena manitol adalah diuretik osmotik yang poten. Indikasi penggunaan manitol adalah deteriorasi neurologis yang akut, seperti terjadinya dilatasi pupil, hemiparesis atau kehilangan kesadaran saat pasien dalam observasi. Pada keadaan ini pemberian bolus manitol (1 g/kg) harus diberikan secara cepat (dalam waktu 5 menit) dan penderita segera dibawa ke CT scan atau langsung ke kamar operasi bila lesi penyebabnya sudah diketahui dengan CT scan.

4. Furosemid (Lasix @) Obat ini diberikan bersama manitol untuk menurunkan TIK. Dosis yang biasa diberikan adalah 03-0,5 mg/kgBB, diberikan secara intravena. Seperti pada penggunaan manitol, furosemid sebaiknya jangan diberikan kepada pasien hipovolemik.

5. Steroid Berbagai penelitian tidak menunjukkan manfaat steroid untuk mengendalikan kenaikan TIK maupun memperbaiki hasil terapi penderita dengan cedera otak berat Karenanya penggunaan steroid pada penderita cedera otak tidak dianjurkan.

45

6. Barbiturat Barbiturat bermanfaat untuk menurunkan TIK yang refrakter terhadap obat-obatan lain. Namun obat ini jangan diberikan dalam keadaan hipotensi atau hipovolemi. Nantinya hipotensi sering terjadi pada penggunaan barbiturat Karena itu barbiturat tidak diindikasikan pada fase akut resusitasi.

7. Antikonvulsan Epilepsi pascatrauma terjadi pada 5% penderita yang dirawat di RS dengan Terdapat cedera 3 kepala tertutup dan 15% pada cedera kepala berat yang berkaitan dengar insidensi epilepsi (1) pertama, (2) perdarahan

faktor

kejang awal yang terjadi dalam

minggu

intrakranial, atau (3) fraktur depresi. Penelitian tersamar ganda menunjukkan bahwa fenitoin bermanfaat dalam mengurangi terjadinya kejang dalam minggu pertama cedera namun tidak setelah itu. Fenitoin atau fosfenitoin adalah obat yang biasa diberikan dalam fase akut Untuk dewasa dosis awalnya adalah 1 g yang diberikan secara intravena dengan kecepatan pemberian tidak lebih cepat dari 50 mg/menit Dosis

pemeliharaan biasanya 100 mg/8 jam, dengan titrasi untuk mencapai kadar terapetik serum. Pada pasien dengan kejang lama, diazepam atau lorazepam digunakan sebagai tambahan fenitoin sampai kejang berhenti. Untuk mengatasi kejang yang terus menerus mungkin memerlukan anestesi umum. Sangat jelas bahwa kejang harus dihentikan dengan segera karena kejang yang berlangsung lama (30 sampai 60 menit) dapat meyebabkan cedera otak sekunder.

46

You might also like