You are on page 1of 10

PENATALAKSANAAN OD ABLASIO RETINA PADA PASIEN DENGAN RIWAYAT HIPERTENSI

Irmawati Suling-20050310037 Dibuat oleh: Irmawati Suung,Modifikasi terakhir pada Mon 25 of Jul, 2011 [08:18] Highlighted words: ablasio retina Abstrak Ablasio retina merupakan suatu kelainan pada mata di mana lapisan sensori retina, sel kerucut dan sel batang terlepas dari lapisan epitel pigmen retina.1 Ablasio retina yang disebabkan oleh trauma lebih sering terjadi pada individu berusia 25-45 tahun. Gejala yang sering ditemukan adalah fotopsia. Fotopsia ini terjadi sebagai hasil dari stimulasi mekanik pada retina. 2 Tujuan dari tatalaksana ablasio retina adalah melepaskan traksi vitreoretina, dan menutup robekan retina.3 Pembedahan merupakan pengobatan yang dapat dilakukan untuk tujuan tersebut. Pemilihan tehnik pembedahan ditentukan oleh ukuran, jumlah dan lokasi dari robekan.3 Pasien datang dengan keluhan Penglihatan mata kanan mendadak buram sejak 5 hari SMRS. Riwayat Hipertensi (+) sejak 10 tahun yang lalu, namun pasien tidak berobat teratur. Riwayat Diabetes Mellitus disangkal. Paseien memperoleh terapi non medokamentosa dan medikamentosa.

Kata Kunci : Ablasio retina, Hipertensi.

Kasus Pasien wanita, usia 52 tahun datang denga keluhan utama mata kanan pasien mendadak buram, tidak merah dan tidak nyeri sejak 5 hari SMRS. Tidak ada riwayat trauma sebelumnya. Pasien merasa pandangan menjadi gelap seperti ada rambut atau asap berterbangan di matanya. Lama kelamaan semakin gelap hingga yang kelihatan hanya pinggir sebelah kanan. Pasien tidak melihat ada kilatan cahaya berulang. Tidak terdapat riwayat penglihatan kabur sesaat yang hilang timbul sebelumnya. Pasien menggunakan kacamata minus (-3 dioptri) di kedua mata sejak 10 tahun lalu. Pasien tidak mengeluh ada gangguan pada mata sebelumnya. RPD: Riwayat Hipertensi (+) sejak 10 tahun yang lalu, namun pasien tidak berobat teratur. Pemeriksaan fisik : KU : pasien tampak sakit sedang, kesadaran: compos mentis. Tanda Vital: BP: 140/80 mmHg, HR: 84 x/menit, RR : 16 x/ menit, Suhu: 36 oC. Pemeriksaan Oftalmologis OD : visus 1/300 proyeksi baik. Palpebra/konjungtiva: tenang. Kornea: jernih. Bilik mata depan : jernih, iris/pupil

bulat, sentral, middilatasi. Lensa :keruh, shadow test (+). TIO : n/p. Pergerakan : baik kesegala arah. Badan kaca : Tobbaco dust (+). Funduskopi : Papil bulat, batas tegas, CDR 0.3, aa/vv=2/3 ablasio retina (+) disuperior temporal meluas ke inferior temporal. Corrugated (+), Tear (+). Pemeriksaan Laboratorium : GDS : 105, GD 2 jam post prandial: 143 Diagnosis

Ablasio retina regmatogenosa OD Katarak senilis imatur ODS

Terapi Medikamentosa

Edukasi penyakit dan pengobatan

Non Medikamentosa

Tirah baring Pembedahan: Skleral buckling, vitrektomi

Diskusi Dari anamnesis didapatkan keluhan hanya terdapat pada satu mata berupa penurunan tajam penglihatan disertai bayangan hitam seperti rambut dan asap di lapang pandang yang berterbangan. Gejala ini disebut floater. Gejala ini adalah gejala yang harus dianggap adanya robekan atau pelepasan retina sampai dibuktikan tidak oleh pemeriksaan retina perifer secara teliti dengan oftalmoskop tidak langsung (funduskopi). Floater umumnya sering terjadi pada pasien miopia, pasien sineresis, perdarahan kecil akibat retinopati hipertensi. Namun karena keluhan pasien akut maka ablasio retina dapat menjadi penyebab gejala floater. Setelah dilakukan pemeriksaan funduskopi, dapat ditegakkan diagnosis ablasio retina. Pada funduskopi mata kanan ditemukan pelepasan retina dan terlihat robekan dari retina di daerah temporosuperior, namun pelepasan retina belum mengenai makula. Adanya robekan retina sebenarnya dapat menyebabkan perdarahan badan kaca sehingga menimbulkan floater, namun dari pemeriksaan funduskopi masih ditemukan adanya refleks fundus yang berwarna merah dan badan kaca terlihat masih jernih. Dapat disimpulkan pada pasien tidak terdapat perdarahan badan kaca. Floater terjadi karena kesadaran pasien sebagai persepsi adanya bayangan benda opak dalam korpus vitreum yang bayangannya jatuh di retina. Gejala ini paling sering ditemukan pada kelainan korpus vitreum. Pada ablasio retina, dapat terjadi floater karena adanya gerakan mengapung khas kekeruhan korpus vitreum posterior.

Pada pasien juga terdapat gejala berupa tobacco dust yang bila ditemukan dalam pemeriksaan slitlamp dengan gejala floater sugestif ke arah adanya robekan retina. Tobacco dust sendiri adalah makrofag berisikan kumpulan sel epitel pigmen retina. Adanya tobacco dust menandakan ada posterior vitreous detachment. Tatalaksana yang direncanakan untuk pasien ini adalah pembedahan. Teknik pembedahan yang digunakan adalah scleral buckling. Tujuannya adalah menutup robekan retina dengan menyatukan epitel pigmen dengan retina sensorik dan menurunkan traksi dinamis vitreoretinal. Pada pasien dapat dilakukan vitrektomi untuk membebaskan traksi korpus vitreum. Sebelum operasi pasien dirawat dan diharuskan istirahat total dan diberikan siklopegi berupa sulfas atropin eye drops untuk mengistirahatkan mata. Prognosis pada pasien ini adalah dubia ad bonam karena belum terlibatnya makula. Walaupun ablasio telah terjadi selama 5 hari namun penglihatan pasien dapat kembali seperti semula setelah operasi.

Kesimpulan Penegakan diagnosis pada pasien ini telah memenuhi kriteria diagnosis pasti ablasio retina yang didasarkan pada anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan oftalmologi. Penatalaksaan pada pasien ini meliputi terapi medikamentosa dan terapi bedah berupa Skleral buckling, vitrektomi yang telah sesuai dengan kepustkaan. Prognosis pasien adalah dubia ad bonam.

Daftar Pustaka 1. 94. Kanski JJ. Clinical Ophthalmology. 4th ed. Oxford: Butterworth Heinemann; 1999. p. 353-

2. Anonim. Retinal Detachment. [series online] 2007 July 23 [cited on 2007 August 29]. Available from URL: http://en.wikipedia.org/wiki/Retinal_detachment. 3. Ilyas HS. Ilmu Penyakit Mata. Edisi ke-3. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2004.

Ablasio Retina pada Laki-laki 67 Tahun dengan Faktor Resiko Miopia

Dibuat oleh: Ciptaning Sari DK,Modifikasi terakhir pada Fri 03 of Sep, 2010 [10:26] Highlighted words: ablasio retina

Ablasio Retina pada Laki-laki 67 Tahun dengan Faktor Resiko Miopia

ABSTRAK

Ablasio retina (retinal detachment) adalah suatu keadaan terpisahnya sel kerucut dan sel batang retina dari sel epitel pigmen retina. Pada keadaan ini sel epitel pigmen masih melekat erat dengan membran Bruch. Karena antara sel kerucut dan sel batang retina tidak terdapat suatu perlekatan struktural dengan koroid atau epitel pigmen, maka daerah ini merupakan titik lemah yang potensial untuk lepas secara embriologis. Lepasnya retina atau sel kerucut dan batang dari koroid atau sel epitel pigmen retina akan mengakibatkan terjadinya gangguan nutrisi retina dari pembuluh darah koroid yang bila berlangsung lama akan mengakibatkan gangguan fungsi yang menetap. Penderita laki-laki umur 67 tahun datang dengan keluhan penglihatan mata kiri gelap. Dari hasil anamnesis dan pemeriksaan, didapatkan tanda-tanda ablasio retina.

Key word: Ablasio Retina, Retinal Detachment

KASUS

Penderita laki-laki umur 67 tahun datang ke poliklinik mata RSUD Temanggung dengan keluhan utama penglihatan mata kiri gelap. Kurang lebih 1 minggu yang lalu penderita menyadari penglihatan mata kiri gelap, mata merah (-), gatal (-), nrocos (-), mblobok (-), riwayat trauma (-). Penderita sering melihat kilatan cahaya, terkadang ada klawur-klawur dan seperti ada bayangan hitam yang menutup seperti tirai. Penderita menggunakan kacamata minus lebih dari 30 tahun yang lalu. Penderita tidak mempunyai riwayat hipertensi, penyakit ginjal, dan diabetes melitus. Penderita juga tidak mempunyai riwayat trauma pada mata maupun riwayat pembedahan pada mata. Penderita juga tidak pernah menderita infeksi mata yang cukup parah. Riwayat keluarga tidak ada yang mempunyai riwayat hipertensi, penyakit ginjal, dan diabetes melitus. Pada pemeriksaan fisik didapatkan kondisi umum baik, kesadaran compos mentis. Pemeriksaan tanda vital, tekanan darah 130/90 mmHg, nadi 80x/menit, pernafasan 20x/menit, suhu afebris. Pemeriksaan subyektif, visus jauh OD 20/70 OS 1/300. Dengan koreksi kacamata sendiri visus

jauh OD menjadi 20/50, sedangkan OS tak ada kemajuan (tetap 1/300). Proyeksi sinar ODS baik. Persepsi warna ODS baik. Pemeriksaan obyektif, super silia ODS normal, kelopak mata ODS normal (pasangan simetris, gerakan bebas, kulit normal, tepi kelopak tidak ada sekret), apparatus lakrimalis ODS normal, bola mata ODS normal (pasangan sejajar, gerakan normal, ukuran normal), tekanan bola mata ODS normal, konjungtiva ODS normal, sklera ODS normal, kornea ODS (ukuran, kecembungan, limbus, permukaan) normal, kamera okuli anterior ODS (kedalaman normal, isi jernih), iris ODS (warna coklat, pasangan simetris, bentuk radier), pupil ODS (pasangan simetris, ukuran 3 mm, bentuk lingkaran, tempat sentral, reflek direk +, reflek indirek +), lensa ODS jernih. Pada pemeriksaan funduskopi OS didapatkan gambaran media kurang jernih, papil detail tak terlihat, retina separuh nasal terangkat 6 D,warna kelabu, makula detail tak terlihat.

DIAGNOSIS

Dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan funduskopi didapatkan diagnosis dari penderita adalah OD miopia dan OS suspek ablasio retina.

TERAPI

Pasien ini dirujuk untuk penanganan lebih lanjut.

DISKUSI

Ablasio retina (retinal detachment) adalah suatu keadaan terpisahnya sel kerucut dan sel batang retina dari sel epitel pigmen retina. Lepasnya retina atau sel kerucut dan batang dari koroid atau sel epitel pigmen retina akan mengakibatkan terjadinya gangguan nutrisi retina dari pembuluh darah koroid yang bila berlangsung lama akan mengakibatkan gangguan fungsi yang menetap (Ilyas, 2008). Ablasio retina lebih banyak terjadi pada usia 40-70 tahun, tetapi bisa terjadi pada anak-anak dan kejadian pada usia pertengahan (20-30 tahun) umumnya karena trauma. Secara internasional, faktor penyebab ablasio retina terbanyak adalah miopia 40-50%, operasi katarak (afakia, pseudofakia) 30-40%, dan trauma okuler 10-20% (Galloway et al., 2006; Larkin, 2008). Penderita ini adalah seorang laki-laki yang berumur 67 tahun dan mempunyai riwayat miopia lebih dari 30 tahun.

Penyebab dan patogenesis dari ablasio retina ini tergantung dari masing-masing jenisnya. Ablasio retina regmatogenosa terjadi akibat adanya robekan pada retina. Biasanya terjadi pada retina bagian perifer, jarang pada makula. Miopia tinggi, afakia, degenerasi laticce dan trauma mata biasanya berkaitan dengan ablasio retina jenis ini. Ablasio retina traksional terjadi akibat adanya tarikan (traksi) oleh jaringan parut pada badan kaca menyebabkan retina terangkat dari epitel pigmennya. Jaringan fibrosis pada badan kaca dapat disebabkan oleh retinopati diabetik proliferatif, vitreoretinopati proliferatif, trauma mata, dan perdarahan badan kaca akibat pembedahan atau infeksi. Ablasio retina eksudatif terjadi akibat adanya penimbunan cairan eksudat di bawah retina (subretina) dan mengangkat retina. Penimbunan cairan subretina terjadi akibat ekstravasasi cairan dari pembuluh retina dan koroid, misalnya pada penyakit epitel pigmen retina dan koroid. Penyakit degeneratif, kelainan kongenital, tumor pada koroid, miopia tinggi yang disertai lubang makula (macular hole) pada pemeriksaan funduskopi, vaskulopati (misalnya hipertensi maligna, toksemia gravidarum/eklampsia, penyakit kolagen), inflamasi dan infeksi pada jaringan uvea dapat dikaitkan dengan ablasio retina jenis ini (Hardy, 2000). Penderita menggunakan kacamata minus lebih dari 30 tahun yang lalu. Penderita tidak mempunyai riwayat hipertensi, penyakit ginjal, dan diabetes melitus. Penderita juga tidak mempunyai riwayat trauma pada mata maupun riwayat pembedahan pada mata. Penderita juga tidak pernah menderita infeksi mata yang cukup parah. Jadi kemungkinan penderita ini menderita ablasio retina regmatogenosa oleh karena miopia yang dideritanya.

Diagnosis ablasio retina ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan oftalmologi, dan pemeriksaan penunjang. a. Anamnesis

Gejala yang sering dikeluhkan penderita adalah (Langston, 2002; Galloway et al., 2006; Kanski, 2007) : 1) Floater: penderita merasakan adanya tabir atau bayangan yang datang dari perifer (biasanya dari sisi nasal) meluas dalam lapangan pandang. Tabir ini bergerak bersama-sama dengan gerakan mata. 2) Fotopsia: penderita melihat kilatan cahaya.

3) Penurunan tajam penglihatan. Pasien mengeluh penglihatannya sebagian seperti tertutup tirai yang semakin lama semakin luas. Selain itu, dari anamnesis perlu ditanyakan adanya riwayat trauma, riwayat pembedahan sebelumnya (seperti ekstraksi katarak, pengangkatan corpus alienum intraokuli), riwayat penyakit mata sebelumnya (uveitis, perdarahan vitreus, ambliopa, glaukoma dan retinopati diabetik), riwayat keluarga dengan penyakit mata serta penyakit sistemik yang berhubungan

dengan ablasio retina, misalnya diabetes, tumor, leukemia, eklamsia dan prematuritas (Langston, 2002; Galloway et al., 2006). b. Pemeriksaan Oftalmologi (Hardy, 2000; Jones, et al., 2004; Cassidy & Olver, 2005)

1) Pemeriksaan visus. Tajam penglihatan akan sangat terganggu bila makula lutea ikut terangkat. 2) Pemeriksaan lapangan pandang. Akan terjadi defek lapangan pandang seperti tertutup tabir dan dapat terlihat skotoma relatif sesuai dengan kedudukan ablasio retina. 3) Pemeriksaan funduskopi. Retina yang mengalami ablasio tampak sebagai membran abuabu merah muda yang menutupi gambaran vaskuler koroid dan terlihat adanya robekan retina berwarna merah. 4) Pemeriksaan tekanan bola mata. Pada ablasio retina tekanan intraokuli kemungkinan menurun. c. Pemeriksaan Penunjang (Larkin, 2008; Wu, 2008)

1) Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk mengetahui adanya penyakit penyerta antara lain glaukoma, diabetes melitus, maupun kelainan darah. 2) Pemeriksaan ultrasonografi dilakukan bila retina tidak dapat tervisualisasi oleh karena perubahan kornea, katarak, atau perdarahan. 3) Teknik pencitraan seperti foto orbita, CT scan, atau MRI tidak diindikasikan untuk membantu diagnosis ablasio retina tetapi dapat dibutuhkan untuk mendeteksi benda asing intraokuli dan tumor.

Pada kasus ini, dari anamnesa diperoleh informasi bahwa penderita sering melihat kilatan cahaya, terkadang ada klawur-klawur dan seperti ada bayangan hitam yang menutup seperti tirai. Penderita ini pada pemeriksaan didapatkan visus jauh OD 20/70 OS 1/300. Dengan koreksi kacamata sendiri visus jauh OD menjadi 20/50, sedangkan OS tak ada kemajuan (tetap 1/300). Proyeksi sinar ODS baik. Persepsi warna ODS baik. Pada pemeriksaan funduskopi OS didapatkan gambaran media kurang jernih, papil detail tak terlihat, retina separuh nasal terangkat 6 D,warna kelabu, makula detail tak terlihat. Sedangkan pemeriksaan laboratorium yang menunjang penegakan diagnosis belum dilakukan. Dengan demikian hasil pemeriksaan mengarah pada diagnosis ablasio retina.

Prinsip penatalaksanaan pada ablasio retina adalah untuk melekatkan kembali lapisan neurosensorik ke lapisan epitel pigmen retina, yaitu dengan pembedahan. Namun, pada ablasio

retina eksudatif juga diberikan terapi medikamentosa sesuai dengan etiologinya. Jika terjadi proses inflamasi seperti skleritis dapat diberikan obat anti inflamasi, jika terjadi infeksi maka pemberian antibiotik juga dianjurkan (Wu, 2008). Pembedahan ablasio retina dapat dilakukan dengan cara-cara berikut (Wijana, 1993; Batterburry & Bowling, 2005): Scleral Buckling

Tujuannya yaitu untuk mendekatkan sklera pada retina yang robek, menjadikan reposisi retina lebih dekat ke RPE dengan mengurangi tarikan vitreus pada retina yang robek. Retinopleksi pneumatik

Retinopleksi pneumatik merupakan cara yang paling banyak pada ablasio retina regmatogenosa terutama jika terdapat robekan tunggal pada 2/3 superior yang tampak pada fundus. Teknik pelaksanaan prosedur ini adalah dengan menyuntikkan gelembung gas ke dalam vitreus. Gelembung gas ini akan menutupi robekan retina. Vitrektomi

Cara ini bertujuan melepaskan tarikan vitreus, drainase internal cairan subretinal, tamponade intraokuli (udara, gas, silicon oil, cairan perfluorokarbon), dan membuat adhesi korioretinal memakai endolaser photocoagulation atau cryopexy. Pada kasus ini pasien dirujuk ke rumah sakit dengan fasilitas yang lebih lengkap untuk mendapatkan penanganan lebih lanjut. Di rumah sakit rujukan kemungkinan akan mendapatkan terapi pembedahan dengan salah satu teknik yang disebutkan diatas. Pemilihan teknik pembedahan disesuaikan dengan jenis ablasio retina yang diderita oleh pasien dan ditentukan berdasarkan pemeriksaan lebih lanjut pada rumah sakit rujukan.

Penurunan ketajaman penglihatan dan kebutaan merupakan komplikasi yang paling sering terjadi pada ablasio retina. Penurunan penglihatan terhadap gerakan tangan atau persepsi cahaya (light perception) adalah komplikasi yang sering dari ablasio retina jika melibatkan makula (Hardy, 2000). Bila ablasio retina sudah berlangsung lama, maka pada retina timbul gangguan metabolisme. Zat-zat toksik yang ditimbulkan menyebabkan degenerasi dan atrofi dari retina. Sel-sel batang dan kerucut menjadi rusak karena tidak mendapatkan makanan oleh karena pasokan makanan sel-sel tersebut berasal dari kapiler koroid (Wijana, 1993). Pada penderita ini didapatkan visus OS 1/300, jadi kemungkinan telah terjadi komplikasi yang melibatkan makula sehingga pasien hanya dapat melihat gerakan tangan. Jika dibiarkan maka pada penderita ini dapat mengalami kebutaan.

Prognosis tergantung luasnya robekan retina, jarak waktu terjadinya ablasio, diagnosisnya dan tindakan bedah yang dilakukan. Terapi yang cepat memberikan prognosis yang lebih baik. Prognosis lebih buruk bila mengenai makula atau jika telah berlangsung lama. Jika makula melekat dan pembedahan berhasil melekatkan kembali retina perifer, maka hasil penglihatan sangat baik dan robekan yang lebih luas pada vitreus dapat dicegah. Jika makula lepas lebih dari 24 jam sebelum pembedahan, maka tajam penglihatan sebelumnya mungkin tidak dapat pulih sepenuhnya. Namun, bagian penting dari penglihatan dapat kembali pulih dalam beberapa bulan (James et al., 2003).
Menurut Wijana (1993), prognosis dari ablasio retina adalah sebagai berikut:

1. 2. 3. 4.

Baik sekali, bila pertama kali operasi berhasil, yaitu 50-60 %. Bila operasi pertama tak berhasil, diulang lagi dua kali, prognosisnya 15 %. Operasi yang berulang kali atau ablasio retina yang lama, prognosis buruk sekali. Pada miopia tinggi, karena ada degenerasi retina, maka prognosis buruk.

Pada penderita ini telah terjadi kemungkinan ablasio retina lebih dari 24 jam ( 7 hari) dan menderita miopi lebih dari 30 tahun, sehingga memiliki prognosis yang buruk. Prognosis ad visam: malam; ad sanam: malam; ad vitam: dubia ad bonam; ad kosmetikam: dubia ad bonam.

KESIMPULAN

Ablasio retina (retinal detachment) adalah suatu keadaan terpisahnya sel kerucut dan sel batang retina dari sel epitel pigmen retina. Ablasio retina lebih banyak terjadi pada usia 40-70 tahun. Faktor penyebab ablasio retina terbanyak adalah miopia, operasi katarak (afakia, pseudofakia), dan trauma okuler. Gejala dari ablasio retina adalah adanya floater, fotopsia, dan penurunan tajam penglihatan. Pada pemeriksaan funduskopi diperoleh retina yang mengalami ablasio tampak sebagai membran abu-abu merah muda yang menutupi gambaran vaskuler koroid dan terlihat adanya robekan retina berwarna merah. Prinsip penatalaksanaan pada ablasio retina adalah untuk melekatkan kembali lapisan neurosensorik ke lapisan epitel pigmen retina, yaitu dengan pembedahan. Namun, pada ablasio retina eksudatif juga diberikan terapi medikamentosa sesuai dengan etiologinya.

Prognosis tergantung luasnya robekan retina, jarak waktu terjadinya ablasio, diagnosisnya dan tindakan bedah yang dilakukan. Pada miopia tinggi, karena ada degenerasi retina, maka prognosis buruk.

KEPUSTAKAAN

1. Batterbury, M., Bowling, B., 2005 Ophthalmology An Illustrated Colour Text, Elsevier Churchill Livingstone, London. 2. Cassidy, L., Olver, J., 2005 Ophthalmology at A Glance, Blackwell Publishing, Victoria.

3. Galloway, N. R., Amoaku, W. M. K., Galloway, P. H., Browning, A. C., 2006 Common Eye Diseases and Their Management, 3rd Ed., Springer-Verlag, London. 4. Hardy, R. A., In: Vaughan D.G., Asbury T, Riodan-Eva P (eds).,2000 Oftalmologi Umum, 14th Ed., Penerbit Widya Merdeka, Jakarta. 5. Ilyas, S., 2008 Ilmu Penyakit Mata, 3rd Ed., Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta. 6. James, B., Chew, C., Bron, A., 2003 Lecture Notes Oftalmologi, 9th Ed., Erlangga, Jakarta.

7. Kanski, J. J., 2007 Clinical Ophthalmology: A Systematic Approach, 6th Ed., Elsevier, Inggris. 8. Langston, D. P., 2002 Manual of Ocular Diagnosis and Therapy, 5th Ed, Lippicott Williams & Wilkins, Philadelphia. 9. Larkin, G. L., 2008 Retinal Detachment, Diakses pada tanggal 2 Juni 2010, dari http://www.emedicine.com/EMERG/topic504.htm. 10. Wu, L., 2008 Exudative Retinal Detachment, Diakses pada tanggal 3 Juni 2010, dari http://www.emedicine.com/oph/byname/Retinal-DetachmentExudative.htm. 11. Wu, L., 2008 Tractional Retinal Detachment, Diakses pada tanggal 3 Juni 2010, dari http://www.emedicine.com/oph/byname/Retinal-DetachmentTractional.htm.

You might also like