You are on page 1of 19

KONSTRUKSI OTORITAS PENGADILAN AGAMA ATAS TALAK oleh E r f a n i, S.HI. (Calon Hakim pada Pengadilan Agama Tangerang) I.

PENDAHULUAN Perkawinan pada dasarnya adalah seperangkat ujian. Ujian yang sepasang suami isteri dituntut mampu menghadirkan sakinah, mawaddah, dan rahmah dalam rumah tangga yang mereka bina. Apa yang disebut banyak orang bahwa perkawinan adalah sebuah kenikmatan, mungkin ada benarnya. Namun perlu disadari, memahami perkawinan sebagai kenikmatan, akan membentuk asumsi bahwa ketika rumah tangga (perkawinan) itu sudah kehilangan kenikmatan, maka berakhirlah masa jodoh dan perpisahan menjadi jalan berikutnya. Asumsi demikian ini tentu teramat naif kaitannya dengan perkawinan sebagai ikatan suci lahir batin. Oleh karena itu, harus jujur dikatakan bahwa persentase muatan kenikmatan perkawinan, akan berbanding amat jauh dengan persentase muatan ujian, dan keharusan suami isteri mengupayakan keutuhan, dan pengendalian situasi harmonis dalam rumah tangga. Adalah kesepakatan umumnya masyarakat, meletakkan standarisasi tentang keharmonisan, atau kesuksesan sepasang suami isteri dalam mahligai rumah tangga, berupa keutuhan (kebersamaan) rumah tangga itu sampai akhir hayat, baik keduanya atau salah satunya. Sehingga, saat mereka mampu mempertahankan keutuhan rumah tangga sampai hanya maut yang memisahkan, masyarakat akan menilai sukses rumah tangga tersebut. Hal ini tentu menjadi dambaan siapa pun yang sedang menjalin hubungan suami isteri dalam ikatan suci pernikahan dan balutan keluarga (rumah tangga). Namun dalam kenyataannya, tidak sedikit pasangan suami isteri yang gagal melawati ujian perkawinan tersebut, situasi mana ikatan sakral perkawinan itu harus putus bukan oleh maut, tetapi ombak besar yang menelingkupkan bahtera, hingga terpecah belah antar satu dan bagian lainnya. Agama teramat sigap mengantisipasi kemunculan kenyataan itu. Karena selain lembaga pernikahan, Agama juga menyediakan wadah perceraian sebagai (setidaknya) jalur darurat yang dapat dibuka guna menampung kegagalan rumah
1
Erfani, Konstruksi Otoritas PA atas Talak. 2011

tangga. Islam khususnya, menyebut lembaga itu sebagai thalaq atau firaq. Kendati istilah thalaq (selanjutnya ditulis talak) sendiri bukanlah produk original hukum Islam, namun Islam memandung perlu melakukan adaptasi dengan kondisi yang hidup saat itu, dengan merekrut beberapa istilah yang telah ada. Sebagaimana yang diketahui, bahwa terma talak, adalah istilah yang memang sudah dikenal sangat akrab di masa jahiliyah. Situasi dimana kaum suami bebas tanpa batas kapan dan dimana saja boleh (sering) melakukan (menjatuhkan) talak terhadap istri dan/atau istri-istri mereka1. Islam selanjutnya merekonstruksi kenyataan itu (tanpa mengubah istilahnya) dengan memberikan batasan jumlah talak yang hanya sampai pada tiga kali saja berikut ketentuanketentuan tersendiri yang lebih humanis yang tentunya bermaksud menjunjung tinggi martabat manusia, khususnya kaum perempuan. Dalam perjalanannya, kodifikasi fikih menggiring lembaga talak dalam konteks yang tidak saja melibatkan muatan hukum asalnya, tetapi juga dengan menghadirkan upaya proteksi sakralitas talak dengan membubuhkan konten teknis dan prosedur-prosedur tertentu. Islam tidak sekadar menentukan hukum talak secara materiil, melainkan juga hal-hal formil yang menentukan bagaimana semestinya lembaga talak digunakan. Pengadilan Agama sebagai institusi yang menangani lembaga talak, melalui berbagai regulasi hukum, telah berupaya melakukan upaya

menyinergikan (internalisasi) kententuan materiil talak dan formilnya dalam wadah hukum Islam keindonesiaan atas dasar asas legalitas. Ketentuan hukum, yang memposisikan Pengadilan Agama sebagai satu-satunya institusi yang bisa memberikan pengakuan secara resmi tentang keterjadian sebuah tindakan talak di tengah masyarakat muslim Indonesia2. Untuk tujuan ini, maka Kompilasi Hukum Islam secara progressif memberi arti talak sebagai ikrar suami di hadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan, dengan tata cara tertentu3. Berbagai penafsiran (kajian) hukum diupayakan sebisa mungkin mendukung ketentuan tersebut. Sebuah upaya yang memang belumlah tuntas
1 2

Tentang istilah Thalaq, lihat misalnya Abu Bakar Muhammad Syatha, Ianah al Thalibin, Juz IV hal. 2. Dimaksudkan menunjuk Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 39 ayat (1) jo. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Pasal 65 dan Kompilasi Hukum Islam Pasal 115. Perceraian hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak 3 Lihat Kompilasi Hukum Islam Pasal 117, 129, 130, dan 131.

2
Erfani, Konstruksi Otoritas PA atas Talak. 2011

menjawab berbagai ketimpangan yang masih tersisa seputar pemaknaan dan pelaksanaan talak di muka persidangan. Hal ini semakin krusial, ketika otoritas talak yang telah paten berada di tangan suami secara independen, lantas diambil alih oleh negara dengan menunjuk Pengadilan Agama sebagai institusinya. Untuk tujuan penyempurnaan, tulisan ini berupaya menyuguhkan aspek-aspek hukum dalam talak yang telah mengalami peleburan (pembaharuan) sebagai konsekuensi dari karakteristik hukum yang selalu ingin berjalan seirama dengan dimensi ruang dan waktu yang hukum itu bergulir di dalamnya, dalam hal ini di Indonesia. Luasnya cakupan tema tulisan ini sementara telah cukup banyak pembahasan sebelumnya dengan tema yang hampir sama, mengharuskan adanya spesifikasi pembahasan dalam rumusan-rumusan bahasan tertentu. Beberapa rumusan itu adalah sebagai berikut; 1. Apa dasar konstruksi legitimasi keharusan talak di muka persidangan Pengadilan Agama? 2. Bagaimana konstruksi pemahaman pengambilalihan otoritas talak dari suami ke otoritas Pengadilan Agama? 3. Bagaimana idealnya penyelesaian perkara talak oleh hakim Pengadilan Agama? Dengan dikhususkannya pembahasan ini pada rumusan-rumusan tersebut, diharapkan mampu memberikan sudut pandang baru tentang eksistensi hukum talak di Indonesia, dan upaya penyelesaiannya secara utuh. II. PEMBAHASAN A. Unifikasi Hukum Talak dan Relevansinya dengan Otoritas Negara Secara etimologi, thalaq ( )artinya melepas ikatan baik secara inderawi maupun hakiki4. Pengertian yang sama juga diambil dari kata firaq ( )dan sarah (). Dalam konteks terminologi (syara), thalaq diartikan sebagai pelepasan ikatan nikah atau mengurangi ikatannya dengan lafaz tertentu. Pelepasan ikatan nikah secara mutlak misalnya dalam talak bain, yang mengharuskan pernikahan baru untuk kembali. Sementara talak dalam arti
4

Lihat misalnya Abdurrahman al Jaziry, Al fiqh ala al Madzahib al Arbaah, Juz IV. Hal. 138

3
Erfani, Konstruksi Otoritas PA atas Talak. 2011

pengurangan ikatan nikah misalnya dalam talak raji yang belum melepaskan ikatan nikah seutuhnya sehingga masih mungkin kembali sejauh masih dalam masa iddah5. Lafaz tertentu yang menjadi bagian pengertian talak menghendaki dua bentuk lafaz, yaitu jelas ( )dan konotasi (). Dalam konteks fikih, fuqaha` cenderung memberikan rincian-rincian tertentu tentang hukum asalnya. Sebagai perbandingan tentang hukum asal talak dan rincian-rinciannya, dapat digambarkan sebagai berikut6: 1. Golongan Hanafiyah Menurut Hanafiyah (sebagai pandangan mazdhab mereka), mengatakan bahwa hukum asal talak adalah mubah/ibahah7. Hal ini dipahami dari beberapa hal: - Kemutlakan ayat-ayat tentang talak, seperti ayat 1 surah al Thalaq8 dan ayat 236 surah al Baqarah.9 - Praktik Talak Nabi terhadap Hafshah yang terjadi bukan karena sebab suatu tindakan tercela atau bukan pula sebab sikap angkuh (tidak taat) yang dilakukan Hafshah.10 - Kemutlakan praktik talak beberapa Shahabah, termasuk juga Hasan bin Ali. 2. Kalangan Jumhur Fuqaha (Malikiyah, Syafiiyah, dan Hanabilah) Menurut jumhur, talak hukum asalnya jaiz11, namun yang utama adalah sebisa mungkin tidak dilakukan karena talak sarat muatan negatif terhadap hubungan kasih sayang yang telah/sedang dibina, kecuali adanya sebabsebab yang menghendakinya. Oleh sebab itu, maka talak sesungguhnya akan
5 6

Lihat Ibid Tentang Perbandingan Hukum talak ini, lihat misalnya, Wahbah Zuhaili, Al Fiqh Al Islamiy wa Adillatuhu, Juz. XI. hal. 340-341 7 stressing hukum mubah adalah bahwa pelaksanaannya tidak menimbulkan sanksi/haraj. Lihat Al Amudiy, al Ihkam fi Ushul al Ahkam, juz I. hal. 170 8 QS. Al Thalaq (65):2 9 QS. Al Baqarah (2): 236 10 HR. Abu Dawud, al Nasai`, dan Ibu Majah, dari Umar ra. Versi HR. Ahmad dari Jalur Ashim bin Umar: : 11 stressing hukum jaiz adalah bahwa meninggalkannya tidak menimbulkan sanki/haraj. Lihat Al Amudiy, op.cit. Secara khusus, Malikiyah menyandangkan status Khilaful Aula, yang juga dapat dimaknai jaiz, yaitu cenderung dekat kepada Makruh. Al Jaziriy condong kepada hukum Makruhlah yang lebih mengena kepada hakikat/substansi talak itu sendiri. Abdurrahman Al Jaziriy, Op.Cit.

4
Erfani, Konstruksi Otoritas PA atas Talak. 2011

mengalami perubahan status hukum menyesuaikan latar belakang situasi dan sebab-sebab tersebut. Rincian dari perubahan status hukum talak tersebut sebagai berikut12: - Haram, misalnya dengan talak yang dijatuhkannya itu seorang suami justru akan terjerumus dalam perbuatan zina karena ketergantungannya kepada kebutuhan biologis dengan isterinya, atau dengan sengaja menalak isterinya agar dapat berhubungan intim dengan perempuan lain. Atau ia tahu kondisinya tidak mampu menikah lagi, sementara hasrat biologisnya tinggi, maka talak yang dilakukannya dapat menjadi haram. Talak haram juga terjadi ketika dijatuhkan kepada isteri yang sedang haid, atau masa suci namun pernah digauli. - Makruh, talak hukumnya makruh dalam hal-hal seperti, 1) seorang suami masih memiliki keinginan yang teramat dalam terhadap perkawinannya itu, namun justru menjatuhkan talak terhadap isterinya, 2) Seorang suami masih mendambakan mendapat keturunan dari isterinya, sementara perkawinannya tidak membuatnya lalai dalam kewajiban beribadah, ia pun tidak khawatir akan terjerumus ke dalam zina seandainya berpisah dengan isterinya, maka talak yang dijatuhkannya dapat dihukumi makruh, 3) talak seorang suami yang sesungguhnya ia tidak memiliki cukup alasan untuk melakukannya sesuai hadis Nabi dari Ibn Umar tentang talak13. - Wajib, talak dapat dihukumi wajib seperti dalam hal seorang suami yang sangat meyakini bahwa mempertahankan kehidupan bersama isterinya justru menjerumuskannya dalam hal-hal yang haram dalam agama, misalnya demi memenuhi nafkah isteri ia harus menempuh cara mencuri, atau menipu, dll., dan segala kemudaratan yang jauh lebih besar dari kemudaratan talak. Talak juga wajib dalam kasus ila` dimana suami bersumpah tidak akan menggauli isterinya lagi.
12

Perincian hukum seperti ini merupakan tradisi biasa dalam fikih. Permasalahan yang muncul selanjutnya adalah apakah hukum-hukum yang variatif itu berpengaruh terhadap keabsahan talak itu sendiri. Faktor perselisihan itu muaranya adalah perbedaan fuqaha` dalam memahami larangan-larangan tentang suatu hal apakah merupakan bagian daripada hal itu secara integral ataukah berdiri sendiri sebagai ketentuan hukum lain. Misalnya ada larangan tentang penjatuhan talak dalam masa haid, apakah larangan itu berarti bahwa talaknya itu lantas tidak sah. Dalam hal ini, Imam Syafii cenderung melihatnya sebagai ketentuan hukum lain, yang tidak berpengaruh terhadap sah atau tidaknya sebuah talak, karena larangan talak saat haid itu, kaitannya dengan masa iddah yang tentu akan semakin lama. (lihat Al Amudiy, al Ihkam fi Ushul al Ahkam , juz I, hal. 162). Bertolak dari hal ini, maka standar sahnya talak adalah keterpenuhan rukun-syaratnya. 13 HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah dengan Isnad Shahih, juga HR. Hakim yang olehnya dinyatakan shahih. Dari Ibnu Umar ra.:

5
Erfani, Konstruksi Otoritas PA atas Talak. 2011

- Sunah/Nadb/Mandub, talak dapat dihukumi sunah dengan standar alasan talak yang disebabkan oleh kondisi negatif dari isteri, misalnya isteri memiliki sikap yang berlebihan dalam cara bicara dan selalu merongrong suami, sehingga sikapnya itu berpotensi menjerumuskan suami dalam perbuatan tidak terpuji pula. Secara umum, kategori hukum sunah adalah pada situasi dimana isteri melalaikan kewajibannya, atau berkelakuan tercela, sementara suami tidak mungkin memaksanya dalam hal itu. Beberapa ketentuan hukum talak tersebut menunjukkan bahwa talak bersifat sangat kondisional, sehingga talak seseorang dengan talak orang lain, akan sangat mungkin berbeda dalam segi hukumnya. Tentu yang paling harus diberikan tindakan preventif adalah terhadap talak yang haram dan makruh. Hal ini karena talak tersebut tidak lantas menjadi solusi masalah rumah tangga, melainkan justru akan menghadirkan malapetaka yang jauh lebih besar. Mafsadah yang akan muncul dari adanya praktik talak haram dan makruh, dapat diklasifikasikan dalam dua aspek: 1. Aspek humanisme, halmana talak haram dan makruh jelas akan sangat bernilai diskriminatif terhadap kaum isteri dan anak-anak yang telah lahir dalam pernikahan itu. Isteri yang sebelumnya menggantungkan sebagian hidupnya kepada suami, jelas akan mengalami masalah besar, saat jalinan itu diputus secara zalim. Masa depan anak mereka akan dilalui tanpa asupan psikologis yang optimal, belum lagi di belakang sana, sanksi sosial seolah penjara yang mengurung tiap gerak dan langkah. Pembiaran terhadap hal ini, berarti kerelaan untuk kembali ke masa jahiliyah yang talak berlaku secara bebas tanpa batas, dan manusia kehilangan bargaining position. 2. Aspek sakralitas agama, situasi yang talak akan sangat bernilai destruktif terhadap konstruksi sakral pernikahan. Destruksi itu dapat digambarkan, dalam situasi di mana talak seolah memperolok (istihza`) aturan agama, yang telah membingkai talak sebagai ritual darurat yang aktifasinya terbatas. Talak yang otoritasnya diamprahkan kepada suami secara independen itu, adalah senjata yang diamanatkan agama guna mewujudkan kemaslahatan bagi kehidupan suami isteri, jika saja dimensi ruang dan waktunya sesuai syariat. Sebaliknya aktifasi talak yang bukan pada dimensinya, maka pelaksana talak justru disanksi (berdosa) oleh agama lantaran telah secara salah
6
Erfani, Konstruksi Otoritas PA atas Talak. 2011

menggunakan haknya. Pembiaran terhadap praktik talak haram, berarti kesediaan menyaksikan menyebarluasnya prilaku haram di tengah kehidupan masyarakat muslim atas nama hak individual-keberagamaan kaum suami. Terhadap mafsadah tersebut, negara memiliki kewajiban untuk

mencegahnya. Kewajiban negara mencegah hal itu, artinya negara bertanggung jawab dalam hal pelaksanaan/penggunaan lembaga talak dalam masyarakat. Ketika lembaga talak merupakan domain agama, maka konstitusi sangat jelas mengamanatkan negara untuk menjamin pelaksanaan aktifitas agama itu, dan harus memberikan dukungan secara proporsional. Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia pasal 29 ayat (2) disebutkan, Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu. Pemahaman terhadap jaminan kemerdekaan dalam hal agama itu, tidak sekadar dipahami dalam

konteks memilih agama, namun jaminan pula dalam hal pelaksanaan agama, meliputi fasilitas, sarana-prasarana ibadat, dan pelaksanaan ajaran-ajaran agama. Artinya ketika ternyata pelaksanaan ajaran agama justru menimbulkan kemudaratan, maka negara harus berfungsi menjalankan peranannya mencegah kemudaratan itu. Selain legitimasi di atas, terhadap mafsadah dan kemudaratan yang bernuansa diskriminatif terhadap kemanusiaan, maka konstitusi pun

mengamanatkan negara untuk turut serta melindungi. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pasal 28I ayat (2), menyebut, Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu. Penyebutan hak dalam pasal ini, tentu bermaksud menyebutkan kewajiban di sisi yang lain. Maka pada negaralah amanat kewajiban atas perlindungan dan pembebasan dari bentuk-bentuk diskriminatif itu diembankan. Menyadari kewajiban itu, maka Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, serta Kompilasi Hukum Islam, berupaya mengakomodir pengendalian lembaga talak agar sedianya negara mengambil peran strategis dalam pelaksanaannya. Beberapa pasal pun dihadirkan dalam Undang-Undang tersebut. Dan dari sekian pasal, terdapat satu rumusan hukum penting dan sangat fundamental kaitannya dengan pelaksanaan talak yaitu Undang-Undang Nomor 1
7
Erfani, Konstruksi Otoritas PA atas Talak. 2011

Tahun 4791 Pasal 39 ayat (1) jo. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Pasal 65, dan Kompilasi Hukum Islam Pasal 115, Perceraian hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Kata hanya dalam rumusan ini berfungsi untuk hashr, yaitu kemutlakan pelaksanaan perceraian di muka persidangan, sekaligus limitasi wewenang pemberian pengakuan resmi berkepastian hukum atas peristiwa perceraian hanya pada institusi Pengadilan saja. Secara khusus bagi peradilan agama, pembatasan itupun dikukuhkan pula dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 117 yang memberi definisi talak sebagai ikrar suami di hadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan, dengan tata cara tertentu. Kehadiran ketentuan tersebut dengan demikian harus dimaknai secara runut, yang muaranya adalah amanat konstitusi, dan sikap negara untuk menjalankan perannya sebagai pengendali sendi-sendi kehidupan beragama, bermasyarakat, dan bernegara. Negara selanjutnya mengamperahkan otoritas (delegation of authority) penanganan perkara talak kepada Pengadilan Agama. B. Memahami Sakralitas Talak dalam Otoritas Pengadilan Agama Agar talak dapat berada pada posisi yang sebenarnya dan berperan sebagaimana fungsinya maka talak harus melewati beberapa fase untuk selanjutnya menentukan talaklah jalur yang harus ditempuh. Menurut Wahbah Al Zuhaili, talak adalah lembaga/proses syariat (bentukan hukum) yang sifatnya pengecualian (tersendiri sebagai bentuk final) karena situasi darurah. Oleh karena itu, ia mengurutkan 7 (tujuh) fase, baru selanjutnya lambaga talak dapat diperankan. Ketujuh fase itu adalah, 1) muasyarah bilmaruf, adanya upaya sungguh-sungguh kedua belah pihak menciptakan hubungan yang baik dan patut, 2) al Shabr, yaitu upaya bertahan/tabah menghadapi ujian yang timbul sebagai akibat perkawinan termasuk perubahan sikap pasangan hidup, 3) tahammululadza, adalah situasi seorang suami secara gigih memikul tanggung jawab keluarga dengan segala resikonya, termasuk situasi yang membuat sakit batinnya, 4) al wazhu, upaya suami memberikan nasihat kepada isterinya tentang apa yang semestinya secara intens namun proporsional, 5) al hajr, upaya (nasihat) suami mengambil sikap (pembelajaran)
8
Erfani, Konstruksi Otoritas PA atas Talak. 2011

dengan cara membatasi komunikasi terhadap isteri, 6) al dharb al yasir, upaya tegas suami terhadap isteri, dapat pula berupa sikap fisik yang wajar (tidak mencelakai), 7) irsalulhakamain, upaya membangun konsolidasi keluarga dua belah pihak dengan media delegasi hakam.14 Tujuh fase tersebut, sesungguhnya ingin memberikan pesan penting tentang betapa talak bukan sesuatu yang remeh. Nikah yang sarat muatan sakralitas, mulai dari adanya aspek penghalalan yang haram, pemaduan dua keluarga, juga media suci pembentukan manusia-manusia baru lewat produktifitas rahim, maka proses mengakhiri jalinan itu haruslah dalam rangkaian yang sakral pula, bukan sekadar karena adanya alasan hukum semata. Sayyid Sabiq menandaskan hal yang sama tentang sakralitas talak, saat memulai pembahasan bab Talak dalam Fiqh al Sunnah_nya. Menurutnya, keutuhan kehidupan rumah tangga merupakan cita-cita luhur yang didambakan Islam. Karenanya, akad nikah harus dipahami sebagai jalinan yang kekal seumur hidup, dimana suami dan istri harus berupaya menjadikannya sebagai ladang kehidupan, naungan kenikmatan, yang di dalamnya mereka mencetak generasi yang saleh. Pesan inilah yang ingin disampaikan Tuhan sehingga menyimbolkan ikatan nikah sebagai mitsaqan ghalizhan. Maka tindakan yang secara sembarangan menodai ikatan suci itu menjadi sesuatu yang dibenci dalam Islam15. Islam lewat pemikiran para fuqaha telah sangat konsen mengupayakan regulasi ketentuan talak dengan mengakomodir maksud proteksi sakralitas talak itu. Bahwa talak tak sesederhana bagaimana lafaz talak itu terucap oleh seorang suami, melainkan diatur pula situasi batin suami yang bersangkutan. Selain itu, istri sebagai pihak yang kepadanya talak dijatuhkan, juga tidak luput menjadi perhatian dalam tata aturan pelaksanaan talak. Bahkan, sakralitas talak itu tidak sekadar melibatkan hanya kedua belah pihak saja, melainkan dikehendaki pula adanya proses persaksian yang seksama terhadap keterjadian talak tersebut. Dalam praktiknya, majelis hakim yang menangani ikrar talak, diperankan sebagai media persaksian dimaksud. Kendati persaksian majelis hakim ini menyisakan beberapa masalah, misalnya kesaksian hakim perempuan dan jumlah saksi,
14 15

Wahbah al Zuhaili, Op Cit, hal. 337 Sayyid Sabiq, Fiqh al Sunnah, Jilid II. Hal. 421

9
Erfani, Konstruksi Otoritas PA atas Talak. 2011

namun setidaknya nilai sakral talak itu harus didudukkan dalam porsi yang semestinya. C. Implementasi Rukun-Syarat Talak di Persidangan Untuk maksud tersebut sebelumnya, dipandang perlu menguraikan materiil talak, yakni mengenai rukun-syaratnya. Di kalangan fuqaha memang berbeda pandangan tentang jumlah/pengangkaan rukun-syarat talak. Namun dari sekian pengangkaan jumlah syarat rukun talak itu, seluruhnya dapat dikelompokkan dalam hal-hal sebagai berikut; 1. Muthalliq Yaitu suami yang terikat dalam jalinan pernikahan yang sah, yang pada dirinya terdapat otoritas talak secara independen. Muthalliq (suami yang mengucapkan talak) harus memenuhi syarat sebagai berikut; - Berada dalam kondisi sadar dan sehat pikirannya. Aspek kesehatan pikiran ini artinya keterbebasan dari tiga hal, 1) mengalami gangguan kejiwaan (junun), 2) pengaruh zat-zat yang memabukkan, alkohol, narkoba, dll (sakar/sakran). Dalam sebab yang kedua, diperselisihkan fuqaha` tentang mabuk yang disengaja dan yang tidak disengaja., 3) kehilangan kesadaran akibat pengaruh penyakit (mughma alaih).16 - Berada dalam situasi batin yang stabil, tidak sedang mengalami intervensi mental. Aspek stabilitas batin dan mental ini, dapat diklasifikasikan dalam tiga hal, 1) tidak dalam keadaan marah (ghadhab) yang menyebabkannya kehilangan kendali secara total (ighlaq) sehingga ia sendiri tidak mengetahui apa yang diucapkannya., 2) tidak dalam paksaan orang atau sebuah situasi dimana kehendak hati dan bicaranya dikendalikan oleh orang dan atau situasi itu (mukrah/ikrah)., 3) tidak sedang bergurau, bercanda, dan atau tidak sedang salah ucap/tidak sengaja (hazl/khatha`).17 2. Muthallaqah Yaitu istri, pihak yang menjadi tujuan/objek yang kepadanya talak dijatuhkan. Kalangan Syafiiyah menamakan rukun ini sebagai Mahall al Thalaq. Beberapa syarat dalam rukun ini antara lain:18
16 17

Lihat Abdurrahman Al Jaziriy, Op.cit. Hal 142 Lihat Sayyid Sabiq, Op.Cit. Hal. 249-250 18 Lihat Wahbah Al Zuhailiy, Op.Cit. Hal. 347

10
Erfani, Konstruksi Otoritas PA atas Talak. 2011

- Terikat dalam jalinan nikah yang sah (bukan jalinan yang bathil/dilarang) dengan muthalliq. - Muthallaqah adalah muthallaqah talak raji yang masih dalam ikatan nikah, dan dalam masa iddah. - Muthallaqah dalam masa nikahnya sudah pernah melakukan hubungan suami-isteri (al madkhulah biha/al mauthu`ah), karena jika belum terjadi hal tersebut, maka tidak akan ada masa iddah. Syarat ini artinya, talak itu tetap terjadi, namun bukan raj`i, melainkan bain shugra. - Muthallaqah dalam keadaan suci yang dalam masa suci itu tidak terjadi hubungan suami-isteri (wath`u), bukan dalam kondisi haid atau nifas. Karena talak saat haid atau suci yang dicampuri, merupakan talak bidi yang haram hukumnya dan berdosa pelakunya, kendati tidak berpengaruh kepada keabsahan talak menurut pandangan mayoritas fuqaha`.19 3. Shighat Yaitu lafaz yang digunakan untuk menyatakan talak. Shighat ini hanya bersifat sepihak, atau dapat dikatakan hanya mengandung unsur Ijab saja, tanpa diperlukan adanya kerelaan atau penerimaan (qabul) dari isteri. Hal ini karena talak adalah hak suami secara mutlak. Adapun syarat yang diharuskan dalam shighat talak adalah : - Harus menggunakan redaksi kata/kalimat yang menunjukkan pemutusan pernikahan, tidak harus dalam bahasa arab. Adanya rukun shighat menghendaki bahwa talak tidak dapat dilakukan dengan filiy, tetapi harus dengan kalimat atau komunikasi verbal, baik secara sharih maupun kinayah, sindiran.20 - Harus jelas penunjukan objek talak kepada muthallaqah/mahall al thalaq. Hal ini dapat dilakukan dengan menyebut nama secara jelas, atau alias, ciri-ciri/sifat tertentu dan khusus, dll.21 4. Qashd Adalah adanya unsur kesengajaan dalam pelafalan talak (shighat talak) yaitu secara sadar dan sungguh sungguh mengetahui apa maksud dan konsekuensi

19 20

Lihat Sayyid Sabiq, Op.Cit. Hal. 265 Lihat Abdurrahman Al Jaziriy, Op.Cit. Hal. 142 21 Lihat Wahbah Al Zuhailiy, Op.Cit. Hal. 357

11
Erfani, Konstruksi Otoritas PA atas Talak. 2011

dari yang diucapkannya.22 Dengan kata lain rukun ini menghendaki unsur keseriusan yang sifatnya memang abstrak. Penjelasan tentang hal ini telah diwakili dalam penjelasan syarat muthalliq yang menghendaki keutuhan situasi suami. Jika dicermati, maka rukun-syarat talak tersebut tidak sekadar merumuskan hal-hal fisik (zhawahir) melainkan diikutsertakan pula hal-hal non lahiriyah. Hal-hal non lahiriyah itu meliputi situasi batin Muthalliq, stabilitas emosional (ghadhab), intervensi mental (mukrah), kesehatan jiwa dan normalitas fikir (junun/sakar), dan ada tidaknya kehendak sungguh-sungguh. Ketika lembaga talak berada dalam otoritas Pengadilan Agama, maka hakim diembankan tugas penting tentang upaya menilai hal-hal batiniyah itu. Jika dipertanyakan tentang posibilitas hakim dalam kapasitasnya sebagai manusia untuk menilai halhal tersebut, sementara wilayah sarair adalah otoritas Tuhan, maka dapat dijawab dengan bahwa di situlah peran penting hakim dalam kapasitasnya sebagai wakil tuhan yang bertugas membahasakan sesuatu atas nama tuhan. Dan adalah merupakan konsekuensi logis dari pemeriksaan perkara hukum keluarga jika dominasi masalahnya adalah urusan rasa dan hati. Untuk tujuan ini, maka adalah keniscayaan pula bahwa hakim tidak sekadar berkutat masalah yuridis formil, melainkan harus pula melakukan pendekatan psikologis yang memadai. Dalam praktiknya, tentu pertimbangan tentang hal-hal non lahiriyah ini tidak bisa seutuhnya diwujudkan dalam pembuktian secara formil dan dituangkan dalam pertimbangan hukum, melainkan dilakukan inventarisasi fakta-fakta persidangan yang terkait dengan indikasi keterpenuhan syarat-syarat yang abstrak itu, secara tersendiri. Hal ini karena hukum acara belum memberikan proteksi dan guaranty atas pertimbangan-pertimbangan tersebut secara memadai, sehingga penerapannya akan menyalahi ketentuan hukum acara yang berlaku. Oleh karena itu, penerapan gagasan ini hanya merupakan tuntutan dan motifasi relijiusitas hakim yang bersangkutan. Di sisi yang lain, prosesi keterjadian talak dalam hukum Islam, selain terkait erat dengan keterpenuhan rukun-syarat talak sebagaimana tersebut di atas, juga sering dikaitkan dengan adanya keharusan persaksian saat pelafalan/ikrar
22

Lihat Ibid. 346

12
Erfani, Konstruksi Otoritas PA atas Talak. 2011

talak itu diucapkan. Hal ini karena dalam surah al Thalaq ayat 2, terdapat perintah isyhad (persaksian), yang secara paralel disebutkan setelah perintah

imsakulmuthallaqah (rujuk) dan perintah mufaraqatulmuthallaqah (talak). Keberadaan perintah isyhad itu mendapat berbagai komentar dari kalangan Mufassirin dan Fuqaha`. Di antara mereka ada yang menilai perintah itu merujuk ke perintah rujuk saja, namun umumnya mufassirin menilai perintah isyhad itu kaitannya dengan rujuk dan talak, misalnya Al Baghawiy23, Ibnu Katsir24, Al Fakhr Al Raziy25, dan Al Alusiy26. Selain berbeda dalam memahami hal tersebut, mereka juga berbeda dalam menentukan hukum persaksian dalam rujuk, dan khususnya dalam talak. Komentar dan pandangan mereka itu jika dipetakan segi hukumnya, maka persaksian talak dikelompokkan dalam dua klasifikasi, 1) yang menghukumi (maksimal) nadb/mandub, 2) yang menghukumi wajib. Klasifikasi yang pertama, adalah pandangan umumnya Fuqaha dan Mufassirin, antara lain dipromotori oleh kalangan Hanafiyah, Syafiiyah, Hanabilah, dan Malikiyah. Konstruksi hukum sunnah/nadb dalam persaksian talak menurut mereka antara lain: - perintah isyhad dalam ayat 2 surah al Thalaq dihubungkan/dikiaskan dengan perintah isyhad dalam ayat 282 surah al Baqarah27, yang menghukumi persaksian dalam bai sebagai mandub.28 - Perintah persaksian talak dalam surah al Thalaq ayat 2 berada setelah terlebih dahulu ada perintah imsak al muthallaqat (amsikuuhunna) dan mufaraqatul muthallaqat yang menghendaki maksud otoritas rujuk dan talak ada pada suami (tidak diperlukan qabul, hanya ucapan sepihak saja (ijab)), maka perintah persaksian talak tidak bisa dinyatakan berfungsi sebagai petunjuk hukum wajib, sehingga hanya sekadar bersifat pelengkap yang status hukumnya hanya sunat saja (mustahabb/nadb).29 - Praktik talak di zaman Nabi dan shahabah tidak mengikutsertakan persaksian sebagai hal yang diperlukan untuk keterjadian sebuah talak, sehingga
23 24

Lihat Tafsir Al Baghawiy, Juz VIII. Hal. 150 Lihat Tafsir Ibnu Katsir, Juz. VIII. Hal. 145 25 Lihat Tafsir Al Fakhr Al Raziy. Hal. 4483 26 Lihat Tafsir Al Alusi, Juz 21 Hal. 66 27 QS. Al Baqarah (2):282, .. 28 Lihat Tafsir Ayat al Ahkam, Hal. 597 29 Lihat Ibid. Hal. 598

13
Erfani, Konstruksi Otoritas PA atas Talak. 2011

persaksian dalam talak tidak bisa dikatakan wajib30. Persaksian talak dengan demikian dihukumi sunnah, dalam kaitannya menghindari

perselisihan/pengingkaran atas talak (tajahud), misalnya ketika salah seorang di antara mereka meninggal, lantas menuntut hak waris, sementara pernikahannya telah putus31. Kalangan yang menghukumi persaksian talak wajib antara lain, golongan Syiah Imamiyah, Zhahiriyah, kalangan Ahl al Bait/Shahabat seperti Ali bin Abi Thalib dan Imran bin Hushain, dan kalangan tabiin di antaranya Muhammad al Baqir dan Jafar Shadiq, hal yang sama juga disampaikan oleh Ibn J urayj menganut pendapat Atha. Argumentasi yang digunakan antara lain: Perintah persaksian ikrar talak yang ada dalam surah al Thalaq ayat 2, merupakan redaksi yang sifatnya mutlak, sementara prinsip dasar dari perintah adalah penunjukan hukum wajib (dalalah al wujub), maka persaksian talak hukumnya wajib. Terhadap adanya pemalingan petunjuk wajib menjadi sunah (nadb/mustahabb) dalam hal isyhad ini sementara tidak ada dalil yang akurat, dianggap keluar dan menyalahi tradisi syara.32 Pandangan yang menyatakan tidak ditemui praktik nabi dan shahabah tentang keharusan isyhad dalam talak, tidak dapat dibenarkan secara mutlak lantaran Ali bin Abi Thalib dan Imran bin Hushain pernah menyatakan talak dan rujuk seseorang tidak sah (tidak dianggap sebagai talak), karena ternyata tidak atau belum mempersaksikan dua orang saksi yang adil, dan dinyatakan talak tersebut menyalahi sunnah.33 Hal ini berarti, persaksian dalam dalam merupakan sebuah kemutlakan, yang jika tidak dilakukan maka talak tersebut dinyatakan tidak terjadi, dan pelakunya dinyatakan berdosa. Hal yang sama disampaikan pula oleh kalangan tabiin, di antaranya Muhammad al Baqir dan Jafar Shadiq. Sayyid Sabiq menyimpulkan bahwa adanya pernyataan fuqaha` tentang Ijma hukum sunnah (nadb) dalam persaksian talak, dengan demikian hanyalah Ijma
30 31

Lihat Sayyid Sabiq, Fiqh Al Sunnah, Jilid II. Hal. 257 Al Qurthubiy, Al Jami li Ahkam Al Quran, Jilid 18 Hal. 159 32 Lihat Sayyid Sabiq, Op Cit. Jilid II, Hal. 259 33 Ali ra :" : " : Imran bin Hushain ra: " :

14
Erfani, Konstruksi Otoritas PA atas Talak. 2011

dalam pengertian Ijma Madzhabiy (Ijma Kolektif suatu madzhab saja bukan ulama secara menyeluruh) dan tidak termasuk di dalamnya Shahabat dan Tabiin. Dan kewajiban persaksian talak dengan demikian adalah madzhab Shahabat dan Tabiin, serta merupakan madzhab Atha. Ibnu Sirin, dan Ibnu Jurayj.34 Keberadaan hukum wajib dalam persaksian talak merupakan perintah yang dipahami sebagai bagian dari substansi talak yang berkonsekuensi dosa jika ditinggalkan, sekaligus menjadi syarat (hukum wadhi) yang jika tidak terpenuhi, talaknya menjadi tidak sah. Hal ini sebagaimana disampaikan Thabrasiy.35 Yang harus dipahami dari perbedaan pendapat di atas, adalah bahwa fuqaha` berupaya mencari tahu tentang hukum asal dari persaksian talak. Artinya, status hukum apa (hukum taklify) sebetulnya yang dikendaki oleh Syari dengan menghadirkan lembaga persaksian talak itu. Untuk tujuan ini, maka jalur yang ditempuh adalah Ushul Fiqh, dengan fasilitas kaidah-kaidah yang telah ada untuk itu. Dari penerapan kaidah Ushul itu, Ulama telah memperoleh hasil akurat, bahwa hukum persaksian talak adalah wajib karena redaksi perintah menghendaki dalalah al wujub. Penolakan terhadap hasil terapan kaidah ushul ini, oleh Jumhur dilandasi oleh adanya qarinah berupa perintah talak dan rujuk yang mendahului perintah persaksian. Sementara rujuk dan talak sendiri hukumnya (hukum asal) tidak merupakan hukum wajib, karena hak atas keduanya itu ada pada suami secara individual. Dalam kaidahnya, segala bentuk hak pribadi, tidak mengharuskan persaksian saat penggunaannya. Sebagaimana disampaikan sebelumnya, bahwa hukum talak akan secara relatif mengalami unifikasi. Hukum persaksian talak, jika argumentasi

penolakannya adalah hak individual, maka dapat dijawab dengan bahwa eksistensi individualitas hak talak itu tidak lagi dapat dipertahankan saat mana hal itu diperhadapkan dengan kenyataan adanya otoritas negara dalam pelaksanaan ajaran agama. Sifat individualitas suami dalam talak, akan terkikis seiring dengan adanya pertalian yang kuat antara pernikahan dengan tatanan sosial-kemasyarakatan, dan hukum-hukum kependudukan yang hidup di dalam negara. Dengan terkikisnya hak

34 35

Lihat Ibid. Hal. 260 Lihat Al Alusiy, Op.Cit. Juz 21. Hal. 66

15
Erfani, Konstruksi Otoritas PA atas Talak. 2011

individual talak bagi suami, maka kaidah yang menafikan keharusan persaksian dalam talak dengan alasan hak individual, akan menjadi gugur pula sehingga memerlukam penyesuaian. Penyesuaian dimaksud jelas adalah mengembalikan ketentuan hukum asal persaksian talak yaitu wajib dengan konsekuensi dosa bagi pelanggarnya. Restorasi hukum wajib, tentu belumlah cukup untuk menjawab tujuan keterkendalian lembaga talak di masyarakat. Oleh karena itu, Negara patut mengambil peran dalam pelaksanaan talak dan persaksian atasnya. Pengadilan Agama, selanjutnya menjadi institusi yang diamanahkan untuk pencapaian tujuan tersebut.

III. PENUTUP A. Kesimpulan Pembahasan tentang konstruksi pembaruan hukum talak di Indonesia ini mengantarkan pada butir-butir akhir sebagai jawaban dari beberapa hal yang ingin dicapai dalam rumusan pembahasan sebelumnya. Beberapa kesimpulan tersebut adalah: 1. Islam pada prinsipnya melestarikan lembaga (pranata) talak sebagai salah satu fasilitas hukum individual dengan dominasi muatan sosial (implikasi kehidupan bermasyarakat), dari yang sebelumnya hanya berupa aktifitas individual kaum suami secara sepihak. Untuk itu, maka rumusan tentang status hukum sebuah talak sangat relatif bergulir seputar hukum taklifi yang lima, sehingga penentuan status hukum talak akan bersifat kasuistis. Unifikasi status hukum talak menghendaki adanya delegasi otoritas (pengamprahan wewenang) guna menentukan status hukum dimaksud, untuk selanjutnya menyatakan sebuah talak dapat diterima atau tidak. Di Indonesia, otoritas itu diberikan kepada Pengadilan Agama berdasarkan Undang-Undang Perkawinan dan juga Undang-Undang Peradilan Agama, serta ditandaskan lagi dalam Kompilasi Hukum Islam. Sebuah ketentuan yang merupakan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam menjamin pelaksanaan Agama dan perlindungan Hak Asasi Manusia. 2. Talak memang merupakan perbuatan individual seorang suami sebagai pemilik otoritas talak terhadap isterinya yang dalam pelaksanaannya tidak perlu
16
Erfani, Konstruksi Otoritas PA atas Talak. 2011

melibatkan pihak manapun. Hal ini mendapat legitimasi menurut mafhum muwafaqah atas kaidah hukum bahwa semua urusan yang diperbuat seseorang untuk dirinya sendiri (yang merupakan haknya secara mutlak), maka tidak ada urgensinya melibatkan pihak lain untuk mempersaksikannya, apalagi jika sampai melibatkan institusi besar seperti negara. Kendati demikian, sudut pandang terhadap talak akan sangat timpang jika ditujukan hanya kepada lembaga talak itu sendiri secara parsial. Karena seharusnya, lembaga talak dipahami sebagai satu kesatuan yang utuh dengan jalinan pernikahan yang melandasinya. Atas dasar ini, maka talak hanya bisa dilakukan oleh seorang pria terhadap perempuan yang keduanya terikat dalam pernikahan yang sah. Dengan demikian, talak sesungguhnya memiliki hubungan hukum yang teramat erat dengan lingkungan, masyarakat, dan negara. Karena eksistensi jalinan pernikahan sepasang manusia, menimbulkan hak dan kewajiban baik terhadap masyarakat maupun negara, sebagaimana masyarakat dan negara memiliki hak dan kewajiban pula secara timbal balik terhadap mereka. Oleh karena itu, putusnya jalinan pernikahan tersebut sementara tidak diketahui akurasinya, akan menimbulkan pengaruh sangat besar bagi sendi-sendi kehidupan bermasyarakat dan bernegara. 3. Penggunaan otoritas penanganan talak oleh Pengadilan Agama dengan demikian harus dipahami sebagai bentuk perhatian negara terhadap pelaksanaan agama yang oleh konstitusi dijamin eksistensinya. Sehingga penyelesaian talak harus dilakukan dengan cara seksama, meliputi konteks lahiriyah (zhawahir) kasusnya sekaligus melibatkan aspek batiniyah subjeknya. Urgensi keterlibatan aspek batiniyah sebagai sasaran pertimbangan, harus dinyatakan sebagai keniscayaan karena talak didominasi oleh muatan perasaan dan urusan hati. Terhadap posibilitas (mungkin atau tidak) hakim menilai aspek batiniyah yang notabene otoritas Tuhan, maka harus dijawab dengan bahwa kapasitas hakim sebagai wakil memang dimaksudkan untuk menerjemahkan bahasa Tuhan (bertindak dengan nama Tuhan) tentang keadilan. Oleh karena itu, rukun dan syarat talak tidak sekadar menformulasikan unsur-unsurnya secara fisik, namun

dipersyaratkan pula aspek-aspek batin, emosionalitas, mentalitas, dan kesucian muthallaqah yang menaungi unsur-unsur fisik itu. Hal ini untuk mengakomodir maksud proteksi terhadap sakralitas nikah, yang mengharuskan sakralitas pula saat mengakhirinya.

17
Erfani, Konstruksi Otoritas PA atas Talak. 2011

B. Saran 1. Terhadap adanya unifikasi hukum talak, dipandang harus mewaspadai kemungkinan adanya praktik perkara talak yang tergolong hukum haram dan makruh. Untuk itu, diperlukan standarisasi khusus, antara lain, pertimbangan tentang latar belakang perkara talak yang diajukan, letak kesalahan dan penyebab keretakan, dan kemudaratan yang bakal muncul pasca talak dijatuhkan, baru selanjutnya mempertimbangkan kemaslahatan individual pihak dan jika mungkin dapat pula melibatkan kemaslahatan sosial secara proporsional. 2. Membangun sudut pandang yang utuh, sinergis, dan integral, antara jalinan nikah dan talak, adalah cara yang relevan menjiwai konstruksi legitimasi peralihan otoritas talak ke dalam kompetensi negara, sehingga pekerjaan memutus perkara talak dapat diupayakan/dijiwai secara optimal dengan tetap menjunjung tinggi nilai-nilai sakral yang hidup di dalamnya. 3. Pertimbangan hal-hal non lahiriyah, jelas cukup berat dan rumit bagi hakim. Namun tidak tertutup kemungkinan ia dapat dilakukan secara baik. Untuk tujuan ini, maka pendekatan psikologis dipandang urgen (dharuriy), guna menemukan titik rasa dan komunikasi lintas batin antar hakim dan pihak berperkara, selain juga power spiritual yang tak dapat dipungkiri

keniscayaannya, guna memperkuat signal vertikal, sebagai satu-satunya kekuatan sejati.

C. Referensi Al Quran Al Kariim Undang-Udang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama Kompilasi Hukum Islam Abdurrahman al Jaziry, Al fiqh ala al Madzahib al Arbaah, tt. Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad Al Qurthubiy, Al Jami li Ahkam Al Quran, Dar Alam al Kutub ; Riyadh, 2003 Abu al Fida` Ismail bin Umar bin Katsir, Tafsir Al Quran Al Azhim, Cet ke III. Dar Tayyibah; 1999

18
Erfani, Konstruksi Otoritas PA atas Talak. 2011

Abu Bakar bin Sayyid Muhammad Syatha Dimyathi, Ianah al Thalibin, tt. Dar al Fikr ; Beirut Abu Muhammad Husain bin Masud, Maalim al Tanzil/Tafsir Al Baghawiy, cet ke IV, Dar Tayyibah; 1997

Ali bin Muhammad Al Amudiy Abu al Hasan, Al Ihkam fi Ushul Al Ahkam, Cet. I.,Dar al Kitab al Arabiy ; Beirut, 1404 Muhammad Bin Umar bin Husain al Raziy, Tafsir Al Fakhr Al Raziy., Dar Ihya Turats Al Arabiy; tt

Sayyid Sabiq, Fiqh al Sunnah Syihabuddin Mahmud bin Abdillah al Husaini Al Alusiy, Ruh Al Maaniy fi Tafsir Al Quran al Azhim wa Sabi al Matsaniy

Tafsir Ayat al Ahkam Wahbah al Zuhaili, Al Fiqh Al Islamiy wa Adillatuhu, tt. Dar al Fikr : Damaskus

19
Erfani, Konstruksi Otoritas PA atas Talak. 2011

You might also like