You are on page 1of 7

PERUBAHAN STRUKTUR SOSIAL KELUARGA PEKERJA MIGRAN

PADA MASYARAKAT PEDESAAN JAWA

Oleh : Sumartono
(Mahasiswa Program Magister : SPD)

A. Latar Belakang

Masyarakat tidak begitu saja muncul seperti sekarang ini, tetapi terjadi karena
adanya perkembangan yang dimulai dari masa lampau dan terdapat masyarakat
yang mewakili masa tersebut. Masyarakat ini kemudian berkembang mengikuti
perkembangan zaman sehingga kemajuan yang dimiliki masyarakat sejalan dengan
perubahan yang terjadi secara global, tetapi ada pula masyarakat yang berkembang
tidak seperti mengikuti perubahan zaman melainkan berubah sesuai dengan konsep
mereka tentang perubahan itu sendiri.

Sejarah perkembangan masyarakat dari waktu ke waktu telah membuktikan bahwa


pada dasarnya manusia hidup dalam suatu masyarakat ingin mencapai sesuatu
yang lebih baik dari waktu sebelumnya. Fenomena ini menunjukkan bahwa manusia
ingin selalu mengalami perubahan ke tingkat kehidupan yang lebih baik dari waktu
ke waktu. Pada kenyataannya, perubahan kehidupan masyarakat tidak selalu
demikian, akan tetapi mengalami keberagaman, sehingga keadaan ini menyebabkan
terjadinya kesenjangan diantara masyarakat yang satu dengan masyarakat lainnya.
Banyak faktor yang mempengaruhi keberhasilan kehidupan keluarga dalam
kelompok sosial masyarakat. Keberhasilan memperoleh kehidupan sosial yang lebih
baik sangat ditentukan oleh masing-masing individu yang ada dalam masyarakat
tersebut. Faktor sosial budaya masyarakat adalah merupakan salah satu faktor yang
diduga mempengaruhi keberhasilan kehidupan masyarakat. Tanda-tanda ini
nampak jelas apabila kita melihat perbedaan antara masyarakat berpendidikan
dibandingkan dengan masyarakat yang tidak berpendidikan. Ada kecenderungan
bahwa masyarakat berpendidikan lebih tinggi memperoleh tingkat kehidupan sosial
ekonomi yang lebih baik daripada mereka yang berpendidikan dibawahnya.
Demikian juga dari aspek budaya. Individu yang mempunyai karakter budaya “rajin
1
dan keras” dalam bekerja akan lebih berhasil dalam pemenuhan kebutuhan sosial
ekonominya daripada individu yang mempunyai karakter budaya “malas” dalam
bekerja.

Dalam falsafah Jawa yang dituangkan dalam peribahasa (paribasan) yang


mengatakan sebagai berikut: “Tunggak Jarak Mrajak Tunggak Jati Semi”
sesungguhnya mempunyai makna yang dalam. Makna yang dimaksud dalam
peribahasa tersebut adalah bahwa di masa yang akan datang masyarakat
keturunan rakyat jelata akan mendapatkan kemakmuran yang lebih baik daripada
masyarakat keturunan darah biru/ningrat. Dugaan sementara masyarakat Jawa ini
didasarkan pada suatu filosofi gaya hidup (life style) bahwa rakyat jelata lebih gigih
bekerja sedangkan masyarakat keturunan ningrat lebih banyak berpangku tangan.
Keadaan yang semula sebagai bayangan atau mimipi saja, saat ini menjadi suatu
kenyataan. Keberhasilan sebagian kondisi ekonomi masyarakat rakyat jelata secara
berangsur mampu bersaing bahkan sebagian telah mampu menggeser strata sosial
ekonomi masyarakat keturunan ningrat. Perbedaan karakter yang tercermin pada
budaya masyarakat yang beragam secara berangsur dapat mengakibatkan
terbentuknya pelapisan sosial dalam masyarakat. Adanya keragaman karakter
individu dalam suatu masyarakat tersebut membentuk pelapisan sosial yang
mempunyai pengaruh perubahan terhadap struktur sosial dalam suatu masyarakat
dari waktu ke waktu.

Jacobus Ranjabar (2008, 176) juga menguatkan bahwa salah satu faktor yang
mempengaruhi perubahan sosial adalah unsur-unsur budaya. Kadar perubahan
sosial sangatlah berbeda antara masyarakat yang satu dengan yang lainnya. Kondisi
lingkungan yang dapat memberikan tekanan pada suatu individu atau kelompok
masyarakat dapat menimbulkan pengaruh terhadap pola pikir masyarakatnya.
Tekanan kondisi lingkungan tersebut misalnya, geografis, kondisi alam, penduduk,
rendahnya tingkat ekonomi masyarakat. Aktualisasi pola pikir sangat mempengaruhi
perilaku budaya masyarakat. Rendahnya tingkat ekonomi masyarakat yang
terwujud dalam bentuk kemiskinan pada masyarakat pedesaan di Jawa, mampu

2
mempengaruhi pola pikir individu dan kelompok masyarakat untuk usaha mengatasi
kemiskinan tersebut dengan melakukan tindakan migrasi dengan tujuan mencari
pekerjaan atau mata pencaharian yang lebih baik ke daerah lain. Menurut Everet S.
Lee (1979), ada beberapa faktor yang mempengaruhi sesorang individu melakukan
migrasi. Adapun faktor-faktor tersebut adalah :
1. Faktor-faktor yang ada di daerah asal;
Faktor-faktor di daerah asal meliputi faktor-faktor yang bersifat positif dan
negatif. Faktor negatif merupakan faktor yang tidak menyenangkan di daerah
asal, bersifat memberi dorongan (push factor) kepada calon migran sebagai
motivasi melakukan migrasi. Faktor positif sebagai faktor yang menyenangkan,
menyebabkan individu menginginkan tetap tinggal di daerah asal. Misalnya :
rasa keterikatan dengan keluarga, dsb.
2. Faktor-faktor yang ada di daerah tujuan;
Terdiri dari faktor positif dan faktor negatif. Faktor positif di daerah tujuan
merupakan faktor yang menarik (pull factor) bagi calon migran agar termotivasi
melakukan migrasi. Misalnya: informasi tentang kemudahan memperoleh
pendapatan yang lebih baik. Faktor negatif di daerah tujuan merupakan faktor
yang menyebabkan calon migran kurang atau tidak mempunyai motivasi
melakukan migrasi. Misalnya: daerah tujuan ternyata tidak aman, dsb.
3. Faktor penghalang (barrier);
Faktor penghalang adalah faktor yang dapat menghambat keinginan calon
migran untuk melakukan migrasi. Misalnya : hambatan transportasi, keuangan
dsb.
4. Faktor individu.
Faktor individu adalah faktor yang sangat menentukan. Betapapun susahnya
hidup di daerah asal atau bagaimanapun menariknya di daerah tujuan, kalau
tidak mempunyai keberanian individu, maka peristiwa migrasi tidak terjadi.
Dengan demikian dari ke empat faktor tersebut, yang paling menentukan terjadinya
peristiwa migrasi pada seseorang adalah faktor individu/pribadi. Sifat-sifat individu
yang melekat pada dirinya seperti keberanian, percaya diri, motivasi yang kuat dsb
sangat berpengaruh terhadap kepastian seseorang melakukan migrasi. Faktor yang

3
paling dominan seseorang melakukan migrasi adalah karena tekanan/kebutuhan
ekonomi. Akan tetapi yang lebih menentukan keberhasilan seseorang setelah
migrasi adalah kemampuan berinteraksi orang tersebut dengan orang atau pihak
lain. Berdasarkan teori Social Exchange, dalam pergaulan hidup manusia terdapat
suatu kecenderungan yang kuat bahwa kepuasan atau kekecewaan bersumber
pada perilaku pihak lain terhadap dirinya sendiri. Para sosiolog menyatakan bahwa
seseorang akan berinteraksi dengan pihak lain, oleh karena hal itu dianggapnya
menguntungkan karena akan memperoleh imbalan (Soerjono Soekanto 1982, 9).
Oleh karena itu, agar perilaku orang/pihak lain dapat memberikan keuntungan
kepada diri kita sendiri, maka memelihara hubungan dan interaksi antara kedua
belah pihak menjadi sangat penting.

B. Perubahan sosial keluarga migran pedesaan di Jawa

Beberapa daerah di Jawa, khususnya pedesaan, pertanian masih menjadi


karakteristik masyarakat Jawa. Walaupun demikian penampilan fisik masyarakat
pedesaan tersebut sudah tidak lagi dapat dilihat atau diidentifikasikan dari pakaian,
rumah, dan sebagainya. Identifikasi sebagai Jawa masih dapat dilihat dalam
tindakan, cara pandang, perilaku, dan kelas sosial dalam masyarakat Jawa. Desa
sebagai daerah lokal yang juga mengalami proses globalisasi memperlihatkan
bahwa nilai-nilai dari luar lokal dipelajari dan diadopsi. Desa yang sifatnya masih
homogen dengan struktur sosial yang masih pakem kemudian mau tidak mau juga
mengalami proses tersebut secara langsung atau tidak langsung. Perubahan
masyarakat terhadap model produksi dari pertanian ke migrasi membawa
transformasi pada bentuk tradisional ke modern, mempengaruhi struktur kelas
sosial dan dinamika perubahan atau pergantian kelas semakin banyak terjadi pada
kalangan masyarakat di desa.

Terbukanya kesempatan untuk mengadakan mobilitas internasional maupun


transnasional yang menyentuh masyarakat tradisional menyebabkan terjadinya
migrasi kerja sebagai model produksi baru dalam masyarakat lokal. Hal ini
memberikan kontribusi dalam pergerakan baru dalam masyarakat lokal itu sendiri

4
yang dapat merubah struktur sosial masyarakat. Setiap orang dapat menjadi migran
untuk melakukan aktivitas ekonomi. Selain karena pertanian yang tidak lagi dapat
menjamin kebutuhan ekonomi masyarakat, ada kebutuhan status dan harga yang
lebih ingin dicari oleh para migran. Para tenaga kerja Indonesia yang semakin lama
kian merasakan kesejahteraan yang didapatkannya dari pekerjaannya sebagai
migran, memiliki kebutuhan akan mengejar nilai status atau modal kekuasaan untuk
berada dalam masyarakatnya (www. Learning-of.slametwidodo.com).

Dalam struktur masyarakat pedesaan di Jawa, dikenal dengan adanya lapisan


masyarakat kelas atas yang disebut priyayi (seperti keturunan orang Kraton,
pegawai, guru, pamong desa dsb) dan masyarakat kelas bawah disebut masyarakat
biasa (seperti : pedagang, petani, buruh tani, tukang bangunan). Pada awalnya,
kondisi sosial ekonomi masyarakat kelas bawah secara umum lebih buruk daripada
kelas atas. Sebagian besar masyarakat kelas bawah yang hidup sebagai petani
mempunyai pendapatan yang rendah. Dampak dari kondisi sosial ekonomi tersebut
adalah rendahnya tingkat pendidikan, rendahnya tingkat kesejahteraan dsb.
Tekanan sosial ekonomi pada masyarakat kelas bawah di pedesaan Jawa
menyebabkan masyarakat memutuskan untuk mencari pilihan hidup yang lebih
baik. Migrasi untuk menjadi tenaga kerja di luar negeri menjadi salah satu pilihan
mereka. Disisi lain kelompok masyarakat kelas priyayi tidak selamanya mempunyai
kondisi sosial ekonomi yang lebih baik. Namun kelompok masyarakat priyayi ini
karena status sosialnya kadangkala menjadi hambatan sehingga tidak memilih
menjadi tenaga kerja migran. Ada kesan bahwa tenaga kerja migran adalah
pasarnya masyarakat kelas bawah. Sedangkan kelas atas pasar kerjanya pada jenis
pekerjaan yang di mata masyarakat lebih tinggi, seperti pegawai, guru dst.

Tenaga kerja migran berawal dari individu dan dilanjutkan dengan kelompok
masyarakat, telah menjadi pekerjaan bahkan status sosial idola di mata masyarakat
pedesaan Jawa. Tenaga kerja migran telah mampu merubah kelas sosial mereka
dalam masyarakat. Perolehan ekonomi yang dikirim dari hasil pekerjaan sebagai
tenaga kerja migran yang disebut remiten telah mampu meningkatkan
kesejahteraan mereka. Mereka mampu membuat rumah permanen yang baik.
5
Mereka mampu menghidupi keluarganya dengan baik, bahkan lebih baik daripada
kelompok keturunan ningrat yang tidak berhasil dalam kehidupan sosial
ekonominya. Keberhasilan aspek ekonomi rakyat biasa pada masyarakat pedesaan
Jawa ini menyebabkan terjadinya pergeseran struktur sosial, dimana mereka akan
berada pada lapisan sosial yang lebih tinggi dari sebelumnya. Perubahan paradigma
terhadap pandangan kelas sosial yang terjadi pada masyarakat pedesaan di Jawa,
nampak adanya suatu pergeseran. Pada kejayaan zaman kerajaan, keturunan
ningrat yang biasa disebut darah biru mempunyai kelas sosial yang tinggi. Setelah
itu bergeser pada kelompok masyarakat yang berpendidikan tinggi. Namun pada
zaman reformasi sekarang ini, keberhasilan ekonomi menjadi indikator yang ikut
menentukan kelas sosial dalam masyarakat.

C. Kesimpulan

Migrasi sebagai suatu bentuk proses sosial telah merubah kondisi sosial ekonomi
keluarga tenaga kerja migran menjadi lebih baik. Sebagian besar keluarga
masyarakat migran di pedesaan Jawa telah merasakan peningkatan kondisi sosial
ekonominya. Keberhasilan migran ditentukan oleh kemampuan interaksi sosial,
karena pada hakikatnya keberhasilan tergantung interaksi terhadap orang lain.

Semenjak arus globalisasi telah meresap ke dalam kehidupan sehari-hari maka


pertumbuhan kelas baru di pedesaan telah menentukan status dan posisi sosial
seseorang dapat berubah–ubah atau bergerak dalam stratifikasi sosial.

Migrasi keluar negeri yang temporer merupakan alat untuk mencapai status dan
kedudukan yang lebih tinggi seperti halnya priyayi. Seperti mimpi indah di ruang
global kembali ke desa kebutuhan akan kepuasan mencapai status dalam
kedudukan tinggi dalam konteks tradisional Jawa terpenuhi manakala telah berhasil
meraih keberhasilan ekonomi, meskipun identitas “Jawa” masih tetap ada.

Keberhasilan kaum migran telah merubah paradigma kelas atas pada lapisan
masyarakat pedesaan Jawa yang bergeser dari keturunan ningrat, berpendidikan
tinggi menuju masyarakat yang berpendapatan tinggi.

6
DAFTAR PUSTAKA

1. Lee, Everet S. 1979, Suatu Teori Migrasi, Pusat Penelitian dan Studi Kependudukan
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta,
2. Ranjabar, Jacobus,S.H.,M.Si., 2008, Perubahan Sosial Dalam Teori Makro,
Pendekatan Realitas Sosial, Bandung, Alfabeta.
3. Soekanto, Soerjono, SH, MA, Dr, 1982, Teori Sosiologi tentang Pribadi Dalam
Masyarakat, Jakarta, Ghalia Indonesia.
4. www. Learning-of.slametwidodo.com

You might also like