Professional Documents
Culture Documents
Bahar D. Dirgantara
....
“Aku tidak tahu kenapa saat aku tanya Yangti-ku, ibu dari
ibuku, tentang kekasih di dunia itu, apa nanti juga kekasih di
akhirat,” batin Arina. Aku tak percaya atau mungkin aku ragu
perihal akhirat. Aku masih muda, kepala dua, belum perlu
memikirkan yang gaib itu. Kata Yangtiku, itu dunia gaib, kamu
tidak bisa melihat, tapi merasakan. “Kenapa harus dipercaya,
bukankah itu tak ada sekarang,” ungkapnya kemudian.
Mengenai kekasih. “Kalau kamu memohon sama Tuhan
kalau kamu kepingin punya pendamping (istilah Yangti untuk
kekasih) dunia-akhirat, ya berdoa saja,” begitu jelas Yangti.
“Tapi kamu harus yakin, Nduk,” lanjutnya setelah kami
diam beberapa saat.
Seperti itukah?
Pukul 11:00
Arina: sendiri
Malam terasa dingin, Sayang/lautan pasang/deburan ombak
menggilas kesunyian/aku sendiri
Jakarta
“Samudro, gimana, nih. Kalo kita nggak selesai tahun ini
skripsinya.”
“Tenang, Jakarta masih kita pijak. Nggak kemana-mana.”
Arto, sobatku ini. Paling aneh, kerjanya cuma baca buku.
Belajar dan cari referensi. Tak pernah bosan. “Kita itu harus
konsisten!” katanya bersemangat suatu saat. “Zaman global
sudah dekat, Bung! Kita harus pintar-pintar cari peluang.” Aku
menyela, “Sekecil apapun?” Arto menimpali cepat. “Benar
suekaleh!”
Contoh semangat seperti itu aku pernah dapatkan dari
kakekku. Wirausahawan tulen. Merintis sejak zaman Perang
Dunia I dua tahun bubar. Aku sendiri umur duapuluh satu
tahun masih leha-leha, adem-ayem.
Kakekku lahir zaman Eropa pecah perang 1918 dan
mengawali karir saat Zaman Malaise 1930, lidah orang
Indonesia menyebutnya Zaman Meleset. Saat perekonomian
Eropa ambruk akibat perang. Juga perekonomian di beberapa
kawasan lainnya, tak terkecuali Amerika. “Kakek kepingin
menyelamatkan bangsa,” katanya waktu aku masih SMP.
Walau Indonesia tetap angkuh dengan kemelaratannya
yang banyak hutang, semangat kakekku tak pernah lekang oleh
zaman. Umurnya kini 83, masih centil, suka sama yang bening-
bening. Tapi teman-teman kuliahku yang perempuan, justru
malah senang dengan kelakuan kakekku.
“Biar awet muda,” kata Tina yang memang kelihatan hot
di mata kakekku. Tentu saja hot juga di mata kami yang muda-
muda. Tina merupakan temanku yang disayang kakek.
Vira dari tiga serangkai Tina-Vira-Monic, pernah berbisik
padaku, ”Kalau saja aku ada pada zaman kakekmu, aku mau
dijadikan istri entah keberapa oleh kakekmu. Habis hot
banget!”
Aku tak mengerti, apakah maksud Vira ini serius atau
cuma main-main. Dasar!
“Tiap detik itu ilmu!” Keras. Arto membuyarkan
lamunanku.
“Edan! Berisik, kakekku lagi tidur.”
“Sori.” Arto cengengesan.
....
To: A
Kbr genting, rt sedang cekcok. Tapi kamu jgn panik. Cool aja!
Kalau tambah 200%, baru nanti kamu dikbri. Yang ptg kamu air-
cooling dulu sama mslh kamu.
Dah....
From R.
To Rrrrrrrrrr...
From Aaaaaaaaa...
....
Jam 16:00
“Sam, gila kamu!”
Aku kaget.
“Masih tenang-tenang di sini.”
Mullah berdiri di hadapanku. Aku lihat Adil di belakang
Mullah, di kejauhan berlarian menghampiri kami.
“Kamu nggak tahu?”
“Apa? Apa maksud kau?” tanyaku pada Mullah.
Belum sempat Mullah menjawab, Adil sudah tiba di
tempat kami dan berkata, “Hai!”
Napas Adil masih belum stabil.
“Begini,” Adil berkata. Napasnya masih tak teratur.
Aku jadi penasaran. Ada apa dengan dua orang temanku
ini. Berbicara tapi penuh tanda tanya bagi yang mendengarnya.
Mullah berinisiatif. “Sudahlah, kalian berdua ikut aku
segera. Cepat!”
Mullah menarik tanganku dan Adil menuju parkiran.
KOSONG
Masmu, r-suing.
....
Samudro.
Arina, aku melihatmu di Simpang Lima, 23 Juli 2001. Kau
bersama temanmu. Aku melihat kamu bahagia, ceria, aku
senang. Saat itu masa jedaku sebelum aku diwisuda. Sepertinya
aku sedang melihat sebuah acara televisi, tapi ini nyata bukan
khayal.
Puisi-puisi.
Samudro: kini
Waktu tak pernah berhenti/aku terus berjalan/air/dan angin
menemaniku/sejarah tak mungkin hilang begitu saja