You are on page 1of 31

DSK

Bahar D. Dirgantara

Hak cipta ada pada penulis.


http://www.cakrawalapustaka.blogspot.com
bahar_dirgantara@yahoo.com
+62813.1584.3462 (mobile)
Novelet freeware
Satu

....

Jakarta-Semarang, Februari 2001


Puisi-puisi Samudro dan Arina. Memuaskan dahaga dan lapar,
mencoba.
Pukul 08:00
Samudro: sepi
Ketika kau bangun dan terjaga di pagi hari/bukalah jendela
kamarmu/kau melihat hari baru datang/dan kau tersenyum

Kawanan burung pipit menyambut/tanda keriangan/kau


renungi jiwa yang sendiri/menatap jalan tanpa ada yang
menemani

Aku di sini mencari dan terus/tapi berjuta langkah bukan yang


terbuang/tetap tanpa dapat meraih dan berarti/atau itukah
pengorbanan

Sejuta wajah yang kau dan aku lalui/tak dapat membuang


rasa/satu cermin tetap melekat/bersama awan dan angin

“Aku tidak tahu kenapa saat aku tanya Yangti-ku, ibu dari
ibuku, tentang kekasih di dunia itu, apa nanti juga kekasih di
akhirat,” batin Arina. Aku tak percaya atau mungkin aku ragu
perihal akhirat. Aku masih muda, kepala dua, belum perlu
memikirkan yang gaib itu. Kata Yangtiku, itu dunia gaib, kamu
tidak bisa melihat, tapi merasakan. “Kenapa harus dipercaya,
bukankah itu tak ada sekarang,” ungkapnya kemudian.
Mengenai kekasih. “Kalau kamu memohon sama Tuhan
kalau kamu kepingin punya pendamping (istilah Yangti untuk
kekasih) dunia-akhirat, ya berdoa saja,” begitu jelas Yangti.
“Tapi kamu harus yakin, Nduk,” lanjutnya setelah kami
diam beberapa saat.
Seperti itukah?

Pukul 11:00
Arina: sendiri
Malam terasa dingin, Sayang/lautan pasang/deburan ombak
menggilas kesunyian/aku sendiri

Kamu sendiri?/aku lebih kesepian/aku burung camar/yang


terbang mencari ikan di samudera

Masih tetap sendiri/sepi/walau harus terus minum/tapi air itu


asin

Aku lapar/tapi aku hanya makan ikan/kapan kamu mau datang


menolongku/aku sendiri

Sore. Langit merah. Teman kuliah, dua datang.


“Rin, aku mau nginep di sini, suntuk di kost. Panas,” kata
Shinta.
“Aku juga, kost sudah ndak nyaman. Aku mau pindah,”
kata Rasti.
Dua sobatku ini tidak mau dikekang. Bebas. Terbang.
Melayang. Punya ibu kost streng setengah mati. Itu ibu kost
Shinta: layaknya di penjara. Pulang jam sebelas malam malah
dimaki-maki. “Kamu itu perempuan apa sundal, malam begini
baru pulang,” kata ibu kost. “Nanti apa kata bapakmu. Aku
malu tak bisa mendidik.”
“Lengkingan suaranya menusuk hati dan bikin telinga
pekak,” ungkap Shinta.
“Lha, memangnya dia siapa. Kok pakai kata “mendidik”,”
kataku dalam hati.
Lain pula dengan Rasti yang kost di daerah Sriwijaya. Dia
tidak nyaman karena anak ibu kostnya selalu menerornya.
Gosipnya, si anak jatuh hati kepada Rasti.
“Lha, Rasti itu memang ayu, juga kemayu. Aku saja sebagai
perempuan mengakui, kok. Habis sebagai perempuan, ia
merupakan sosok ideal, pintar, kepingin punya anak banyak.
Siapa lelaki yang tidak mau punya istri bergairah seperti itu,”
batinku.
“Ras, mau pindah ke mana? Susah cari tempat sekarang.”
“Ke mana aja,” katanya cepat menimpali perkataanku.
“Aku wis ora betah. Aku memang fleksibel, tapi manusia
cemeng (anak ibu kost) itu tak mau ngerti juga.”
“Udah tahu cemeng. Kalo aku tak pites, injak-injak,
mlenyek, terus buang ke kali.” Shinta memberi semangat
ngawur.
Memang anak ibu kost itu seperti anak mami.
Dandanannya saja seperti anak dewasa, tapi kelakuan seperti
anak bayi baru mbrojol, oe-oe minta tetek ibu. Mentang-
mentang anak tunggal. Laki pula. “Belum lahir, orangtuanya
sudah memberi asuransi pendidikan satu milyar rupiah,” cerita
Rasti suatu kali. Eh, kok aku jadi sirik. Kebawa emosi kali, ya.
Kedua alisku naik-turun.

Semarang, 2 Februari 2001


Siang. Panas. Kota Lumpia tak pernah tidak panas. “Sumuk,”
kata Yangtiku.
Yangtiku itu mudanya pernah “gila” sebelum menikah
dengan Yangkung. Kata ibuku, “Gendheng, strip. Stress
ditinggal pacar, dua tahun masih hidup apa sudah mati itu
Yangtiku. Matanya jarang kedip apalagi melirik. Pandangannya
selalu ke depan, walaupun bisa menoleh. Tapi, biji matanya
tetap tak bergerak, persis di tengah-tengah. Bulatan hitam.”

Jakarta
“Samudro, gimana, nih. Kalo kita nggak selesai tahun ini
skripsinya.”
“Tenang, Jakarta masih kita pijak. Nggak kemana-mana.”
Arto, sobatku ini. Paling aneh, kerjanya cuma baca buku.
Belajar dan cari referensi. Tak pernah bosan. “Kita itu harus
konsisten!” katanya bersemangat suatu saat. “Zaman global
sudah dekat, Bung! Kita harus pintar-pintar cari peluang.” Aku
menyela, “Sekecil apapun?” Arto menimpali cepat. “Benar
suekaleh!”
Contoh semangat seperti itu aku pernah dapatkan dari
kakekku. Wirausahawan tulen. Merintis sejak zaman Perang
Dunia I dua tahun bubar. Aku sendiri umur duapuluh satu
tahun masih leha-leha, adem-ayem.
Kakekku lahir zaman Eropa pecah perang 1918 dan
mengawali karir saat Zaman Malaise 1930, lidah orang
Indonesia menyebutnya Zaman Meleset. Saat perekonomian
Eropa ambruk akibat perang. Juga perekonomian di beberapa
kawasan lainnya, tak terkecuali Amerika. “Kakek kepingin
menyelamatkan bangsa,” katanya waktu aku masih SMP.
Walau Indonesia tetap angkuh dengan kemelaratannya
yang banyak hutang, semangat kakekku tak pernah lekang oleh
zaman. Umurnya kini 83, masih centil, suka sama yang bening-
bening. Tapi teman-teman kuliahku yang perempuan, justru
malah senang dengan kelakuan kakekku.
“Biar awet muda,” kata Tina yang memang kelihatan hot
di mata kakekku. Tentu saja hot juga di mata kami yang muda-
muda. Tina merupakan temanku yang disayang kakek.
Vira dari tiga serangkai Tina-Vira-Monic, pernah berbisik
padaku, ”Kalau saja aku ada pada zaman kakekmu, aku mau
dijadikan istri entah keberapa oleh kakekmu. Habis hot
banget!”
Aku tak mengerti, apakah maksud Vira ini serius atau
cuma main-main. Dasar!
“Tiap detik itu ilmu!” Keras. Arto membuyarkan
lamunanku.
“Edan! Berisik, kakekku lagi tidur.”
“Sori.” Arto cengengesan.
....

Jakarta-Semarang, 27 Februari 2001


Samudro-Arina. Puisi-puisi menjadi satu.
Dua kota, sama sumuk dan tak teratur.

Di kota besar pertama/aku semakin pana/tanpa ada


pendingin/es meleleh

Kamu membuat hatikuyang panas/jadi hangat oleh sedikit


lelehan es/jangan kamu habiskan tetesannya/aku masih butuh

Lelehan itu semakin sedikit/aku ingin kamu memberi/aku


minta/kau carikan aku lelehan baru

Kamu ingat/kita jaga tali/jangan putus/jangan terbakar habis

Aku ingin mengehatnya/aku tetap jaga/biar sampai kau


dapat/aku menunggu

Kita jangan putus asa/berusaha/jangan pernah menyerah/kita


berjalan beriringan

Aku coba mengerti/kau juga/kita jalan bersama/itu janji kita

Yang terucap kita jaga/sampai Yang Berkehendak/buat kita


pisah/aku berusaha
Dua

Jakarta, Mei 1999


“Sayang kamu, Arina, orang sebaik dia kamu lepas di lautan
begitu saja,” kata Mullah.
“Aku juga nggak tahu, mudah-mudahan aku sama dia bisa
ketemu lagi.” Arina menarik napas panjang kemudian
menghembuskannya cepat-cepat.
“Amin, semoga saja.” Mullah berlalu.
Arina masih terpaku di bangku dekat sebuah pohon besar.
Kata hati Arina bertempur dengan dirinya.
“Kamu sudah berusaha?” kata hatinya.
Kepala Arina menggeleng dalam imajinya.
“Kamu harus punya usaha. Jangan memble aja. Kayak
nggak pernah...,” kata hati berhenti tiba-tiba.
Arina mengepalkan kedua tangannya keras. Matanya
memejam keras.
Kata hati memberikan kata-kata tajam. “Wah, bisa runtuh
dunia ini jika semua orang kayak kamu banyak: tak mau
usaha!”
Arina ingin berteriak, tapi ia tak mungkin melakukannya.
“KENAPA!!!” teriaknya kepada hati yang selalu
menggempurnya. Hati yang seharusnya membelainya.
Pertempuran kalbu jeda sesaat. Suara angin menerbangkan
dedaunan yang berserakan.
“Habis bagaimana?” katanya kepada hati.
“Lho, kok nanya. Kamu bagaimana? Punya otak, ya pikir.
Jangan tunda-tunda. Usaha.”
Arina bertambah kesal.
“Cari jalan keluar. Dilaknat tak bisa berpikir lagi baru rasa
kamu!”
Aku terpojok.
Arina mendesah.
Depok, 20 September 1996
Kampus Mudamadya. Awal.
Tiga dini hari aku terbangun, entah apa yang terus mengganggu
pikiranku hingga seperti ini.
“Sam, muka kamu kucel banget,” kata Mullah heran.
“Tahu, neh. Aku aja nggak tahu kenapa aku sampe begini,”
sahutku.
“Banyak pikiran, bagi-bagi dong!” seru Mullah bercanda.
Sampai hari ini aku terus mencari apa yang menjadi
pikiranku, sehari, sepekan, hingga sebulan ini.
Kutemui Adil, sobatku. Namun ia hanya memberiku
sedikit motivasi.
Samudro sungguh ingin mengetahui misteri pikirannya
ini. Kini ia tengah duduk di bangku taman kampus. Gundah.
Sesekali menyeruput air jeruk yang ia beli di kantin selepas
kuliah usai.
“Samudro, kok bengong?”
Samudro terkejut.
Arina merasa tidak enak. “Aku ganggu kamu?”
“Ah, ya. Maksudku nggak apa-apa.” Samudro tergagap.
“Aku beberapa hari lalu bicara dengan Mullah, kata
Mullah kamu lagi mikirin sesuatu, ya. Ada masalah, Sam?”
“Mullah cerita, apa?”
“Seperti yang ada di pikiran kamu sekarang,” jawab Arina
penuh teka-teki.
Samudro tak mau ambil pusing dengan jawaban Arina.
“Begini.” Samudro mulai menjelaskan.” Biasanya aku bisa
santai. Tapi sebulan terakhir ini..., entah apa yang ada di
kepalaku. Dipikirkan tapi nggak ketemu apa yang seharusnya
aku pikirkan.”
Keduanya membisu. Kebisuan ini dipecahkan oleh salah
seorang dosen melewati mereka.
“Hai, kalian sedang berpikir apa?” katanya sambil lalu.
Samudro dan Arina seketika melihat si dosen.
“Ah...,” kata Samudro yang tak mampu menyusun kalimat
apa untuk menjawab pertanyaan yang baru saja lewat.
Arina hanya menceplos, ”Ya....”
Jam istirahat makan siang beberapa menit habis. Jam
masuk kuliah sebentar lagi.
Arina pergi meninggalkan Samudro. Seperti datangnya
yang tiba-tiba, tanpa perkataan “halo”, “hai”, perginya kali ini
hanya dengan isyarat. Memegang pundak Samudro lantas
berlalu.
Di kejauhan Adil berlari-lari menuju arah Samudro
dengan setumpuk buku. Anak muda ini sungguh bersemangat
kuliah.
Saat tiba di tempat Samudro duduk. “Sam, tugas paper
banyak. Bantu aku, ya?” katanya cuek.
“Kamu juga bantu aku,” jawab Samudro sekenanya.
Adil hanya manggu-manggut sambil meletakkan buku-
bukunya, kemudian melap keringat di dahinya dengan handuk
kecil.

Semarang, Desember 1996


Arina mengaduh.
Sudah sebulan kita tak bertemu. Kamu ke mana. Aku sudah
pindah ke Semarang. Kamu juga, pindah, ya? Kenapa? Selalu
ingat aku? Berarti kamu mau melupakan aku, dong?! Oh, aku
masih.... Kapan bisa ketemu lagi, ya. Di mana aku mencarimu
kini?
Sebulan itu juga aku mendapat kabar dari rumah melalui
e-mail. Bahwa ibuku, kata Mas mbarebku, selingkuh.

To: A

Kbr genting, rt sedang cekcok. Tapi kamu jgn panik. Cool aja!
Kalau tambah 200%, baru nanti kamu dikbri. Yang ptg kamu air-
cooling dulu sama mslh kamu.
Dah....
From R.

Aku balas segera.

To Rrrrrrrrrr...

Aku jadi kaget. Sungguh!


Semoga aku bisa dingin.
Kbri aku saja, tank-top alias trims.

From Aaaaaaaaa...

Dunia makin hancur. Tak tahulah, mana yang benar dan


salah. Semuanya kaprah. Kata orang Jawa: diamput. Sial. Aku
tak tahu bagaimana lagi. Ia sudah membesarkan aku.
Kuhormati dari ujung rambut yang beberapa helai telah
beruban sampai ujung kaki. Kenapa? Ah, kenapa Tuhan
membiarkan semua itu. Apakah Kau tak punya kuasa untuk
mencegah. Apa Kau ada? Atau jangan-jangan Kau....
Aku bingung!

Yangkungku pernah bercerita soal ibu.


“Ibumu waktu kecil sampai sekarang ini tetap ayu. Banyak
yang naksir.”
“Pakai susuk kali, Yangkung,” kataku. Kata-kata yang
keluar dari anak berusia tujuh tahun, polos.
“Hush, kamu nggak boleh bicara seperti itu soal ibumu,”
Yangkung memperingatkanku.
“Mungkin bakat alam,” katanya melanjutkan. “Waktu
umur duabelas tahun sudah ada yang mesen buat jadi
pelampiasan. Tapi Yangkung tolak pesenannya itu. Laki-laki
pemesan itu manusia kadal, duda, sudah kawin-cerai tujuh
kali.”
“Itu gendheng,” kataku seceplosnya.
Yangkung tersenyum.
“Rekaman tentang ibumu lebih baik tanya Yangti. Karena
Yangti sangat memanjakan ibumu.”
Aku kurang mengerti cerita Yangkung saat itu. Maklum
aku baru tujuh tahun kala itu. Tapi kini aku paham maksudnya.
Apalagi ditambah cerita Yangkung saat aku duduk di
bangku SMP, sekitar limabelas tahun umurku kala itu, bila aku
tak salah ingat.
“walau dia sangat memanjakan ibumu ketika kecil, namun
saat remaja hingga kini Yangti cenderung tak acuh pada
ibumu,” kata Yangkung. “Mungkin Yangti cemburu dengan
keayuan ibumu. Seharusnya ia bangga dengan keayuan ibumu.
Sebangga seorang ibu yang dapat melahirkan anak perempuan
seayu dewi.”
Lain lagi cerita Yangti tentang ibu semasa aku SMA.
“Ibumu memang memiliki anugerah yang tidak dimiliki
oleh perempuan mana pun.”
“Yangti pikir seperti itu?” tanyaku.
“Iya. Dia tidak sekedar ayu, tapi daya pikatnya sungguh
luar biasa, bahkan bisa disebut diluar kebiasaan,” jelas Yangti.
“Karena itu Yangti cemburu karena ibu lebih dari Yangti?”
tanyaku ingin tahu.
Yangti mengernyitkan dahi dan memandangku dengan
tatapan tajam seolah-olah ia tahu dari mana sumber sebenarnya
pertanyaan yang keluar dari mulutku ini. Ia mengunci
mulutnya, tidak menjawab pertanyaanku.
Ia melanjutkan. Mengalihkan tema pembicaraan tiba-tiba.
“Yangkung kamu. Sebelum dengan Yangti dikenal dengan
julukan playboy. Tapi kenapa Yangti suka, mungkin karena
Yangti selalu dengar dari teman-teman Yangti kalau Yangkung
hanya mau insaf dari kelakuan playboynya itu bila mampu
menaklukkan Yangti,” cerita Yangti.
Aku menurut saja mengikuti alur pembicaraan Yangtiku.
“Mungkin Yangti ayu. Atau Yangti adalah primadona di
antara gadis-gadis. Atau malahan Yangti yang justru dipuja-
puja Yangkung. Dengan sikap Yangkung yang playboy, bisa jadi
itu cuma cara Yangkung untuk cari perhatian sama Yangti,”
ungkapku.
Yangti tidak menjawab lagi. Kedua pipinya kulihat
memerah.
Seperti itulah masa aku mengenal ibuku, walupun tidak
begitu mendalam, tapi setidaknya aku tahu gambaran ibu
sebenarnya. Ada konflik di antara mereka bertiga: Yangti, ibu
dan Yangkung. Bagi kita, yang hidup di masa kini seharusnya
konflik tak perlu terjadi. Tapi bagi mereka merupakan suatu hal
yang harus dipertentangkan. Aku tak mau ambil pusing dengan
semua konflik itu.
Memang aku tak menyadari maksud konflik itu pada
awalnya. Namun bila dirunutkan kemungkinan ada
hubungannya dengan ibu yang dituduh selingkuh oleh ayah,
seperti yang dituliskan Mas mbarebku di e-mail beberapa
waktu lalu.
Aku sendiri pernah berpikir. “Apa ayahku kurang
bergairah dengan ibuku? Padahal ibu kan ayu, tak bakal habis
bila sarinya terus dinikmati.” Atau pikiranku berbeda dengan
laki-laki. Katanya, seperti yang pernah kudengar dari dari
teman-temanku yang laki-laki di sekolah SMA, mereka
memiliki kecenderungan bila setelah bosan dengan sesuatu hal
akan berpindah ke hal yang lainnya.
Saat itu aku bertanya, “Termasuk soal perempuan?”
Mereka yang laki-laki hanya tertawa terbahak-bahak. Dua
orang teman perempuanku: Rita memelototi aku seperti
menghakimi aku, “Bodoh sekali pertanyaanmu itu!” dan Dina
hanya tertunduk.
Aku baru tahu setelah lulus kalau pertanyaanku itu seperti
menampar Dina. Karena Dina ternyata tiga kali pernah
dikecewakan oleh tiga lelaki. Maka itu, ia selalu tak pernah
angkat bicara ketika topik yang aku dan teman-teman
bicarakan soal laki-laki. Meskipun pembicaraan itu hanya di
antara kita kaum hawa, tak ada lelaki yang ikut nimbrung. Dina
oh Dina, maafkan aku, ya.
Chatroom
<Ar2000> bagaimana masih cekcok?
<r_suing> tambah parah!!!
<Ar2000> trs?
<r_suing> ibu minggat
<Ar2000> ke smg?
<r_suing> tak tahu, bkn sepertinya.
<Ar2000> sdh berapa hari?
<r_suing> 10 hari
<Ar2000> kok aku baru tahu? 
<r_suing> sori, aku kelewat sibuk sampe gak kasih tau km
<Ar2000> Mas, udah dulu, ya. aku mau kuliah dulu, kpn2 kita
lanjutin
<r_suing> Ya sudah, salam untuk Yangti....
<Ar2000> nanti aku sampaikan, dadah.... 
<r_suing> dadah jg 

Jakarta, Februari 2000


Bapak dan Ibu.
“Arina, semoga kamu ingat ibu. Ibu tidak salah, Nak. Jangan
salahkan ibu. Ayahmu sudah jarang pulang. Ibu khawatir tapi
ayahmu tak mau peduli lagi sama ibu. Mungkin kamu sudah
tanya-tanya sama Yangtimu. Terus saja bertanya biar kamu
puas. Ingat Yangtimu tidak sama dengan ibumu. Yangtimu
punya daya tarik yang jika semua lelaki melihatnya mustahil
untuk menolak keanggunannya. Sampai-sampai kaum hawa
yang “sedikit aneh” dapat tertarik magnet Yangtimu,
“Mungkin Yangtimu cerita kalau ibu ini banyak yang
mengejar, tapi ibu tak menggunakan kekuatan seperti
Yangtimu. Tanyalah Yangtimu, biar kamu puas. Atau Yangtimu
sudah memasukkan kekuatannya ke ibumu ini. Lebih baik
kamu tanya Yangtimu, biar lebih jelas. Ayahmu saat zaman
pacaran, istilah sekarang pdkt, suka memberi ibu ini bunga.
Kata ayahmu, “Kamu seperti bunga, tapi tidak seperti bunga
yang selalu layu.” Lalu, dia besoknya datang lagi. “Kamu seperti
bidadari, tapi aku belum melihat bidadari. Kamu mau jadi
bidadariku. Aku ingin. Kamu mau?” Begitu katanya. Sampai
akhirnya, ibumu yang kata orang ayu, walau ibu tak pernah
menganggap ibu atau merasa ibu ayu.... kamu mengerti, Nak?
Itu terserah kamu. Ibu sekarang hanya bisa berdoa semoga kmu
selesai kuliah. Ibu tak mau kamu terkatung-katung menangisi
nasib. Jangan pikirkan ibumu ini. Tuhan sudah punya garis
sendiri buat ibumu ini.
“Kamu mau tanya, di mana ibu sekarang? Ibu bisa jawab,
tentunya masih di Indonesia, tak jauh.”
Aku hanya tersenyum. Ternyata walau keadaan sedang
tidak menentu, ibu masih bisa menuliskan candaannya di
suratnya.
“Kalau kamu kangen berdoa saja. Mungkin lewat mimpi
kita bisa bertemu. Ingat! Hubungi Mas mbarebmu, ibu percaya
dia. Dia pengganti pimpinan rumah tangga setelah ayahmu tak
tahu juntrungannya menuduh soal ibu. Tanya sama Masmu.
Arin punya alamat e-mail, kata Masmu. Kamu bisa kontak dia
lewat situ. Maklum, walau ibu bisa menggunakan e-mail, tapi
ibu lebih senang memakai surat, lebih.... Sudahlah.
“Ibu amat bersyukur, kamu baik-naik saja. Ibu juga
mengapa tidak mau menelepon ke Semarang, karena ibu tak
mau ayahmu mendengar pembicaraan kita. Sebab bisa jadi ia
memantau pembicaraan kita. Maklum ayahmu pernah bekerja
di perusahaan telekomunikasi dan ia pernah menunjukkan
keahliaannya menyadap telepon di depan Mas mbarebmu.
Walau internet bisa disadap, tapi kemungkinan itu kecil sekali.
Kecuali ayahmu punya relasi atau kenalan seorang hacker.
Hacker seperti di film kesukaanmu The Lone Gunmen, kisah
tiga hacker yang sudah tak punya kerjaan di The X-Files terus
buat perusahaan kecil-kecilan tapi bukan fiktif dengan satu
tambahan anggota pria yang lugu dan perantara pembawa job
yang seorang perempuan. Kok ibu tahu, ya. Kamu pasti
bertanya. Setiap ibu lihat kamu belum tidur, biasanya ibu selalu
setel teve. Hari Rabu jam 22:30, kamu nonton itu, ibu jadi ikut
suka, bahkan kelewat suka.
“Sudah dulu ibu bicara. Doa ibu akan selalu mengalir. Ibu
restui jalanmu. Ingat Arina, jangan terpengaruh desas-desus.
Ambil jalan lurus. Salam dan sayang, ibumu tercinta.”

Ayahku juga mengirimkan surat padaku sepekan setelah


kedatangan surat ibu.
“Apa kata ibumu, Rin?”
Aku bingung. Ayah seperti sudah tahu kalau aku sudah
mendapat kabar dari ibu. Aku hanya berpikir, sebenarnya
ikatan batin antara ibu dan ayah belum hilang. Aku yakin
mereka, secara batin masih terkoneksi.
“Jangan pedulikan. Ayahmu sedang perang sama ibumu.
Dingin. Huh!”
Ada nada kesal dalam surat ayahku ini.
“Dia itu seperti ibunya, seperti Yangtimu itu. Punya susuk.
Gila, baru sekarang ayahmu sadar. Dari dulu ayahmu tidak
sadar. Masmu mbareb sudah kena guna-gunanya. Tak tahulah
apa yang dipakainya itu. Sundal. Sudah salah kaprah ibumu
mendidik anak-anaknya. Cuma tinggal kamu yang bapak
harapkan. Kedua mbakmu yang sudah nikah, biar mereka
mandiri dan adikmu sudah mengungsi di rumah pamanmu,
Sugeng. Pamanmu itu selalu membela ibumu, tapi pikirannya
penuh racun. Ayahmu ini rasional, tidak emosi. Pakai akal.
Masak perempuan pulang pagi. Ke mana, coba?! Kata ibumu, ke
rumah pamanmu. Bullshit, tahi ayam. Bohong itu semua. Sudah
sekitar ibumu menghilang. Apa itu? Ibu yang baik? Ayahmu
sekarang harus berjuang sendiri. Tinggal kamu harapan ayah.
“Mudah-mudahan kamu semakin matang. Salam hangat,
ayah yang selalu menyayangimu.”
Ayahku selalu ceplas-ceplos saat berbicara, tak terkecuali
melalui surat seperti kali ini.

Depok, 24 September 1996


Kampus Mudamadya, Depok, kelas bubar.
“Ri, sudah lama?” tanyaku.
“Belum.” Jawab Arina. “Kamu baru keluar kelas, Sam?”
Aku hanya mengangguk.
Aku kemudian mengambil posisi duduk di depannya.
Menyeruput minuman jeruk yang aku bawa.
Tatapan Arina tajam, seperti menunggu apa yang akan aku
ceritakan.
“Masalah kamu belum ketemu jawabannya?”
“Apa maksud Arina?” batinku.
Arina menunggu jawabanku. Lima menit sepertinya ia tak
tahan untuk bertanya kembali.
“Masalah yang kamu bilang waktu itu. Kamu tiba-tiba....”
Aku segera potong perkataannya. “Sudahlah....”
Aku sebenarnya belum menemukan jalan keluarnya. Tapi
aku juga tak mau membebani orang lain dengan masalahku.
Arina terus berusaha. “Tapi, kamu belum nemuin
solusinya, kan?”
Aku berdiri.
Arina terkejut, mungkin dikiranya aku marah.
“Kamu nggak apa-apa?”
Aku hanya menggeleng.
Aku lihat wajahnya masih memerah karena terkejut tadi.
“Aku jalan dulu,” kataku sambil berlalu.
Suara Arina setengah berteriak. “Aku mau membantumu,
Sam!”
Beberapa detik kemudian. “Kamu mau ke mana?” teriak
Arina.
Setelah itu aku tak mendengar lagi suaranya.

....

Depok, 1 Oktober 1996


Pesona Depok. Mendung.
Sudah sepekan aku tidak ketemu Arina. Ke mana ya dia? Aku
dulu pernah mengajak dia ke bioskop bareng Carly sama Adil.
Ada yang sepertinya aku lupa pada saat itu. Ada yang
berbeda. Arina, ya Arina. Ia tampak tak seperti biasanya.
Pakaiannya saat itu. Ia pakai rok panjang dengan sweater tipis
yang melekat di tubuhnya. Rambutnya pun potongan baru,
belum pernah ia menggerai rambutnya. Biasanya ia selalu
kuncir. Rambutnya nampak halus bila dilihat tanpa perlu
membelainya. Berkilau bila terkena sinar lampu pada malam
itu.
Ah, apa ini. Mimpi itu. Orang asing itu. Orang misterius
itu. Dia ternyata....

Pondok Labu, Jakarta


“Ri, kok cemberut?”
Arina hanya diam membisu.
“Sori beberapa waktu aku menghilang,” kataku lagi.
“Nggak apa. Kan teman kamu banyak,” katanya jutek.
Ada apa dengan Arina. Kenapa jadi judes seperti ini, ya.
Aku termenung.
“Kenapa ngelamun?” katanya melenyapkan termenungku.
“Kamu nggak ngerti, Sam.” Arina berat mengatakan.
“Aku....”
Ia tak menyelesaikan kalimatnya.
Ia kemudian berdiri menuju bangku di taman dan duduk
di atasnya. Aku mengikutinya. Aku hanya memandanginya. Ia
pun juga memandangiku sesaat, setelah itu pandangannya
mengarah ke kolam ikan dengan pancuran di tengahnya.
Setengah jam kami terdiam seperti itu.
Aku pun pamit. Arina tetap terdiam.

Jakarta, 2 Oktober 1996


“Sam, ceria banget hari ini! Dapet lotere?” tegur Mullah.
“Eh, Mullah. Baru dateng?”
“Iya. Aku duluan, mau serahin tugas, udah telat sejam.”
Mullah berlalu, berlari menabrak orang sesekali.
Hari ini aku tidak melihat Arina. Ke mana dia. Biasanya
jam istirahat atau jeda sebelum kuliah berikutnya ia selalu ada
di kantin atau perpustakaan. Di perpustakaan tadi sudah aku
cari, tapi tak terlihat. Di kantin ini pun tak ada. Sudah dua gelas
jus jeruk aku habiskan, kedatangan Arina tak kunjung tiba.
Terdengar sayup-sayup seseorang menyebut Arina.
“Hai, gawat! Arina....”
Ah, mungkin cuma suara-suara di kepalaku.

Jam 16:00
“Sam, gila kamu!”
Aku kaget.
“Masih tenang-tenang di sini.”
Mullah berdiri di hadapanku. Aku lihat Adil di belakang
Mullah, di kejauhan berlarian menghampiri kami.
“Kamu nggak tahu?”
“Apa? Apa maksud kau?” tanyaku pada Mullah.
Belum sempat Mullah menjawab, Adil sudah tiba di
tempat kami dan berkata, “Hai!”
Napas Adil masih belum stabil.
“Begini,” Adil berkata. Napasnya masih tak teratur.
Aku jadi penasaran. Ada apa dengan dua orang temanku
ini. Berbicara tapi penuh tanda tanya bagi yang mendengarnya.
Mullah berinisiatif. “Sudahlah, kalian berdua ikut aku
segera. Cepat!”
Mullah menarik tanganku dan Adil menuju parkiran.

Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta Pusat


Jam 17:15
Kami bertiga segera keluar dari mobil. Di perjalanan tadi kami
hanya membisu. Adil tertidur. Mullah serius sekali saat
menyetir. Sedangkan aku, hanya dapat membunuh kesepian
dengan menyalakan radio yang sedang menyiarkan tangga lagu
Top 40.
Aku tak tahu kalau tujuan kami adalah rumah sakit.
Mobil di parkirkan Mullah di areal parkir rumah sakit itu.
“Kenapa kita ke sini?”
Mullah tak menjawab. Ia malah sibuk membangunkan
Adil.
Adil mengulet beberapa kali. Matanya mulai terbuka.
“Sudah sampai kita?”
“Ya. Ayo kita sudah. Turun, yuk!” ajak Mullah.
Adil memandangiku.
“Kamu belum tahu, ya, Sam?”
“Aku bingung kenapa kita ada di sini.”
Adil beralih memandang Mullah.
Mullah hanya berkata, “Kamu ceritain aja, Dil.”
“Arina ada di rumah sakit ini.”
Aku seperti mendapat serangan petir.
Mullah dan Adil tak menjelaskan lebih lanjut. Mullah
hanya bilang sebaiknya kita segera turun.
Itulah perjalananku dari kampus hingga parkiran rumah
sakit ini. Aku masih belum menemukan jawaban apa yang
sebenarnya terjadi.
Sesampainya di bagian informasi, Adil menanyakan
sesuatu kepada suster yang sedang bertugas.
Oh ya, aku baru ingat. Kalau hari ini aku harus
menyerahkan naskah ceritaku kepada Mas Rully dari Majalah
Shift. Tapi dalam kondisi seperti ini aku tak enak untuk segera
berlalu. Aku lihat jam tangan. Limabelas menit lagi, aku
seharusnya sudah dalam perjalanan ke kantor majalah itu. Aku
melihat sekeliling, apakah ada telepon umum.
Adil mendatangi kami.
“Ayo, kita ke lantai tiga.”
“Sebentar. Ada yang harus aku telepon.”
Mullah hanya menggeleng dan menghela napas panjang.
“Kau ke tempat parkiran aja. Di sana banyak telepon
umum. Kalau mau nyaman dekat situ ada wartel juga.”
“Aku menyusul.” Aku segera berlalu.
Mullah dan Adil seperti bercakap-cakap sebentar,
kemudian segera berlalu. Entah apa yang sedang mereka
bicarakan.
Aku meminta izin kepada Mas Rully untuk datang agak
terlambat karena aku sedang di rumah sakit. Mas Rully hanya
menjawab santai, “Aku nggak ada, kamu taruh saja di atas print
di meja saya.”
Aku lega. Mas Rully biasanya tak mau mentolerir
keterlambatan. Kali ini sepertinya dia sedang bahagia. Maklum
baru saja dapat tugas meliput konser di Singapura.
Aku tidak bisa lama berada di rumah sakit ini. Aku berlari
menuju lantai tiga. Tak sempat menunggu lift, aku naik melalui
tangga.
Aku tadi lupa menanyakan di sebelah mana lantai tiganya.
Aku mencari Adil dan Mullah. Sesekali membuka ruangan
tempat pasien dirawat namun tak menemukan mereka berdua.
Setelah limabelas menit aku seperti melihat Adil di
kejauhan. Adil pun melihatku, ia melambai padaku. Aku
percepat jalanku.
“Ke mana saja? Lama banget teleponnya.”
“Aku nggak bisa lama. Aku harus kirim naskahku ke
kantor majalah.”
“Yah.” Adil menghela napas.
“Arina kenapa memangnya?”
“Kepalanya kena terbentur setir saat menyetir. Kata dokter
berdasarkan orang yang mengantarkan ia ke rumah sakit ini,
Arina mencoba menghindari motor yang mau masuk gang.
Motor itu menyalip tiba-tiba dari kanan dan memotong
jalurnya,” jelas Adil rinci.
“Apa diagnosa dokter?”
“Belum tahu. Mullah masih di ruang dokter.”
“Keluarganya sudah dihubungi?” tanyaku.
“Dari rumah sakit ini sudah menghubungi tadi.”
“Baiklah. Aku pamit dulu.”
“Nggak tunggu Arina siuman?”
“Aku sudah terlambat.”
Adil terpaku di tempat ia berdiri mamandangiku.
Aku sebenarnya tidak kuasa untuk meninggalkan rumah
sakit ini. Tapi bagaimana lagi, naskah di tanganku saat ini
adalah jalan menuju karirku. Simalakama, memang.

Perkembangan berikutnya, aku mendapat kabar bahwa Arina


masih di rumah sakit. Dua hari yang lalu aku menjenguknya.
Tapi aku datang terlalu larut, ia sudah terlelap. Saat itu ibunya
yang menjaga Arina. Arina terlihat pucat sekali malam itu. Ia
terkena serangan darah rendah, begitu kata ibunya. “Kepalanya
sering sakit, seperti digigit. Arina selalu cerita seperti itu ke
ibu,” jelas ibu Arina.
Malam itu pula aku meminta maaf pada ibunya kalau aku
tidak dapat sering-sering menjenguk Arina seperti teman-
teman lainnya karena aku harus menyelesaikan beberapa
proyek tulisan bersama rekan di kantor majalah. Ibu Arina
mamahaminya. Ia juga akan menyampaikan permohonan
maafku ke Arina.
Sudah sepekan ini Arina di pembaringan rumah sakit.
“Hai, lagi bengongin apa?” tegur Mas Rully.
“Eh, Mas. Nggak kok.” Aku kikuk.
“Cerita aja kalo ada masalah.”
“Hmm, nggak apa, cuma....” Aku tak dapat menyelesaikan
kalimatku.
Mas Rully masih berdiri di sampingku, membolik-balik
halaman Majalah Shift edisi sebelumnya.
“Tulisan tentang pasar “minggu” atau pasar kagetan tiap
Minggu yang di Depok itu nanti digabungin aja sama tulisan-
tulisan Eddy. Besok redaksi budaya mau rapat. Kamu juga.
Besok kamu mulai ikut rapat sama anak-anak budaya. Jam 8
pagi, ya.” Ia pun segera berlalu setelah aku mengangguk dan
mengatakan “iya”.
Aku konsentrasi lagi ke monitor komputer di hadapanku.
Usai itu aku merasa...

KOSONG

Aku keluar dari kantor majalah itu dengan langkah


lunglai. Suara bising kendaraan sesekali membunuh sepinya
malam larut.
Tiga

Kampus Tercinta, Jakarta, 2 Agustus 2001


Wisuda.
Arina, aku sudah lulus. Kamu kapan? Kapan kita ketemu lagi,
aku kangen. Aku sendiri. Tidak seperti dulu saat ada kamu.
Kamu bak air yang selalu buat aku segar. Kamu selalu
mendengarkan tumpahan sampah dari dalam diriku. Kamu
bantu aku. Maaf, aku dulu sangat.... tak mau tahu tentang
keadaanmu. Sampai ketika kamu pulang dari rumah sakit saja
aku tak pernah sedetik pun menjengukmu. Tapi aku berusaha
untuk itu. Juga jangan salahkan Adil kalau aku tak
menemuimu, karena Adil sudah berulang kali memintaku
untuk menemuimu. Semoga saja kamu bisa memahami
kondisiku. Maaf, ya.

“Sam, selamat, ya,” Mullah menyalamiku.


“Kau juga.” Aku memeluknya.
Aku dan Adil pindah ke kampus ini, sedangkan Mullah
masih di kampus lama hingga ia lulus. Kami bertiga sudah lulus
kini. Tak terasa sudah aku tapaki beberapa tahun ini bergabung
dengan korps mahasiswa. Teman-temanku di tempat kampus
dimana aku lulus, gemar sekali demonstrasi. Ada seorang
pemuda bernama Rocky, bukan nama sebenarnya, disebut
sebagai orator ulung. Saking seringnya berdemo kulitnya
sampai tak terawat. Namun begitu, ia disukai banyak anak-anak
baru. Adil pernah berkata, “Buat mereka, kata-kata Rocky maut
lah. Banyak yang klepek-klepek, kan.”
Tentang Adil ikut pindah denganku adalah karena ia
merasa sangat bergantung padaku. Karena memang akulah
yang hanya bisa membantu permasalahan kuliahnya selama ini.
Pada dasarnya, ia pemuda yang cerdas. Tapi gayanya yang
sedikit urakan dan mulutnya yang bak TOA kala berdebat,
membuat dosen sering kesal dan selalu dipojokkan oleh Adil.
Beberapa teman di kampus lama pernah menyarankan ia
pindah kampus saja. Karena beberapa dari mereka pernah
mencuri dengar beberapa dosen yang punya pengalaman
mengajar di kelas dimana ada Adil sedang berdiskusi mengenai
Adil. Beberapa dosen menyarankan mentransfer Adil ke
kampus lain. Awalnya, Adil tak menggubris berita itu. Tapi
setelah ia mendengar sendiri ketika ia akan masuk kantor
dosen, ia dengar berita serupa. Ia mendengarkan di dekat pintu
masuk hingga pembicaraan selesai.
Setelah Adil sadar dan mendapatkan aku bakal pindah
kampus, Adil segera ikut mendaftar ke kampus baruku. Kami
siapkan berkas-berkas untuk ditransfer bersama-sama. Ia
semangat sekali saat itu. Ia memang butuh suasana baru dengan
dosen yang lebih moderat.

Semarang, 3 Juli 2001


Surat dari Mas mbareb, Rahmat Shalih.
Adikku yang manis,
Masmu harap kamu baik-baik saja.kabar di sana gimana? Yangti
sehat, kan? Aku harap dia baik-baik juga.
Masmu kemarin ketemu seorang teman lama, dia cerita sama
Mas kalu hidup ini tak ada yang kekal. Katanya, “Kalau mau kekal,
mendingan kamu mati dulu.”
Mas melihat banyak perubahan (mungkin bisa disebut evolusi)
pada diri teman Mas itu. Dia kelihatan bijaksana sekali. Kalau dulu ia
orangnya cuek banget sama situasi-kondisi. Sampai suatu ketika ia
harus kehilangan kedua orang tuanya akibat kecelakan mobil. Dia ada
di situ, tapi tak kuasa menolong. Sebab kaki sebelah kirinya terjepit
dashboard. Pada awalnya, ia stres berat. Hidup tak teratur, tidur di
jalanan. Tapi suatu waktu dia mimpi saat tidur di teras masjid.
Ceritanya begini.
Terdengar suara gema.
“Arzal, kau dengar suaraku?”
Teman Mas menggigil ketika mendengar suara itu. Dia melihat
cahaya yang terang, lalu dari titik pusat cahaya terang itu muncul dua
tiang yang kian lama kian mendekatinya. Dia sangat ketakutan.
“Anak Muda, jangan kau tangisi semua peristiwa yang
menimpamu.”
Teman Mas bingung. “Siapa kamu! Tunjukkan wujudmu!”
teriaknya.
“Inilah wujudku.”
“Apa?! Hanya cahaya terang!” Ia memeluk tubuhnya yang
menggigil.
“Ya, inilah aku.”
“Apa engkau malaikat... atau....”
Cahaya Terang itu memotong. “Cukup, jangan teruskan! Aku
hanya ingin menyampaikan.”
“Allah,” teman Mas mendesah.
“Kau telah meninggalkan dunia yang seharusnya kau nikmati
dan jalani.”
Kemudian terdegar adzan Subuh.
“Allah,” teriaknya.
Seseorang mendekati teman Mas. “Hei, Nak! Bangun ayo kita
sholat.”
Teman Mas bangun. Orang itu melanjutkan, “Kamu kenapa,
Nak?”
Setelah itu, ia merenung untuk waktu yang cukup lama dan
berpikir bahwa orang tuanya pergi untuk memenuhi panggilan.
Diceritakanlah mengenai kedua tiang itu. Itu merupakan simbol kedua
orang tuanya. Sepasang tiang bendera yang menghampirinya. Orang
tua yang berharap anaknya baik-baik saja.
Cerita ini bukan Mas buat-buat. Tapi teman Mas yang bilang.
Kenapa Mas cerita ini ke kamu. Soalnya ini juga terjadi pada
kita, Rin. Ayah sama Ibu sudah bercerai. Maafkan Mas baru kasih tahu
kamu sekarang. Tapi, saat Mas tanya mereka secara terpisah mereka
masih menyayangi kita semua, anak-anaknya. Jadi, sebenarnya ini
hanya kesalah pahaman yang sudah tidak dapat lagi diperbaiki. Sulit
menyatukan gelas yang sudah jadi beling. Mas hanya berpikir, setiap
orang punya jalan hidup sendiri. Mungkin pikiran ini agak aneh, tapi
memang seperti itu jalan hidup, kadang kita tak tahu apa yang terjadi
esok.
Maaf, ya Rin. Mas tak bisa jaga keutuhan keluarga. Tapi Mas
mau kita semua jangan putuskan tali yang sudah terjalin. Sengaja Mas
baru sampaikan berita ini karena tak mau mengganggu skripsimu.
Dadah!

Masmu, r-suing.

Nb: Mas sudah pindah, kontrak kamar


Kirim surat ke
Jl. Mangga Raya no. 174
Gandaria Selatan-Cilandak
Jaksel 12420

Aku lipat surat dengan perasaan sesak.

Semarang, 23 Juli 2001


Rasti.
Aku tak jadi pindah. Aku pernah melihat Anak cemeng itu
memuaskan hasratnya di kamar mandi dengan tangannya.
Waktu itu aku buru-buru, mau kuliah, begitulah niatnya.
Soalnya, tugas matakuliah Antropologi harus kumpul tepat jam
10:30 nanti. Sekarang sudah jam 9:30. sarapan saja aku belum,
maklum habis begadang, kebut semalaman kerjakan tugas si
Dosen streng Giyanto, eh Pak Giyanto. Oh ya, aku lihat anak
itu, si Cemeng itu, merem melek, keenakan sekali....
Ingat! Aku tadi nunggu dari jam 9:30, masak anak lanang
mandinya lama, tak mungkin itu. Lalu, aku coba
memberanikan mengintip. Itu awal ceritanya.
Aku sendiri belum tahu bagaimana rasanya jika
kepunyaanku dimasuki benda itu. Menurut teman-temanku
yang sudah nonton the x-movies, katanya, “Nonton aja
terangsang, gimana sampai berbuat.” Kami semua ngakak saat
itu. Tapi, benar juga, aku sekarang jadi..., seperti kepengen. Apa
aku terangsang. Ah, sudahlah.
Aku turun dari kursi yang jadi tempat tumpuanku tadi.
“Hai manusia, cepetan, aku wis telat!” kataku sambil
mengedor-gedo pintu kamarmandi sekuat tenaga, biar dia yang
lagi keenakan kaget. Sukurin.
“Tenang, Anak kemayu!” balasnya membahana, mungkin
terdengar sampai pintu gerbang.
“Cepet! Lagi mainan, ya,” godaku.
“Mainan apanya.” Mungkin ia merasa seperti ditembak
jantungnya. Ketahuan ni ye.
Sepuluh menit dia guyur-guyur. Pintu kamar mandi
dibukanya. Aku tertawa, menggelegar.
“Hahaha..., main apa main,” godaku. “Emangnya sudah gak
ada yang mau, sampai stres begitu.”
“Oo, kamu mau. Nanti malem, ya.”
Kukepalkan tinjuku ke arah mukanya. “Tak usah, ya.
Punyamu itu seperti pisang kepok, kecil.” Kuperlihatkan jari
kelingkingku. Mukanya langsung merah. Aku geli.
“Oo..., anak numpang.” Bisa sewot juga dia.
“Wis ben, yang penting aku bayar,” kataku langsung
ngeloyor msuk kamar mandi.
Di kamar mandi aku membayangkan, kalau aku sampai
punya pacar yang kayak begitu, langsung aku putus tanpa ba-
bi-bu, tus pedhot. Karena orang seperti itu bukan tipe orang
yang bisa menahan hawa nafsu. Bisa-bisa nanti aku
diperkosanya. Bila terjadi, pacarku itu langsung aku piting,
buka celananya erus sentil-sentil biar kapok. Habis itu tinggal
pergi. Dadah....
Kejadian itu aku ceritakan sesampainya di rumah
Yangtinya Arina.
“Kamu pikir dengan kemampuan karatemu bisa digunakan
terserah kamu suka. Jangan, nanti susah cari jodoh baru tahu
rasa,” kata Arina panjang lebar.
“Habis piye meneh, lha wong lanang saiki ndak ada yang
setia. Lihat, contoh jelas, kalau sendiri malah neko-neko kayak
Anak cemeng itu,” belaku.
“Jangan begitu kamu,” balas Arina pelan.
“Kamu juga, dah tahu kalau siapa itu, ee Samudro, ya?
Mana buktinya dia setia sama kamu. Cari alamatmu saja gak
pernah. Dia kan bisa tanya sama bapakmu di Jakarta sana. Lebih
hebat lagi kasak-kusuk cari kamu di sini, baru itu aku acungi
jempol, kalau perlu empat jempol: dua jempol tangan sama dua
jempol kaki,” diam sesaat. “Gombal laki-laki!” bersungutnya
aku.
Arina seperti hatinya sedang menimbang-nimbang.
Terombang-ambing seperti kapal coba menembus angin badai
di lautan luas. Air mata mulai membasahi pipinya.
Aku tak mengira kalau Arina bisa juga menangis, sebab
selama ini Arina termasuk seorang yang tegar, namun kadang
sulit ditebak. Saat ibunya kabur dan akhirnya bercerai, ia
terlihat biasa-biasa saja, tak tampak sedih sedikit pun. Mungkin
untuk yang satu ini lain.
“Aku keterlaluan, ya? Maafkan aku, ya? Aku gak ada
maksud buat kamu sedih.”
“Ah, tak apa-apa, Ras. Aku hanya ingat dia aja. Aku Cuma
mau tahu dia sekarang kayak apa, ya.” Ia menyeka air matanya.
“Aku pikir kamu sudah melupakan dia, maaf ya.”
Arina hanya mengangguk-angguk dan masih menyeka air
matanya.
“Wis tho, kita jalan, yuk!” Aku coba mengubah topik.
“Ke mana?”
“Simpang Lima, kita kongko di sana sampai pagi. Piye?”
Arina tak menjawab, seperti masih membayangkan
Samudro, laki-laki yang telah merampok hatinya. Ih, kasar
sekali.
“Ayo, Rin jangan dipikir lagi. Sudah sana mandi, aku
tunggu.”
“Kamu?”
“Aku mandi di kamar mandi belakang saja.”

Simpang Lima, jam 19:30


Kami sudah berdiri di depan Mal Ciputra, lalu duduk-duduk di
pinggiran Bundaran Simpang Lima. Tempat ini merupakan imej
dari keramaian kota Semarang. Lalu lintas terlihat ramai tapi
tak sampai bikin macet.
Arina pertama kali datang ke Semarang pernah mengeluh
padaku. “Ras, mobil-motor di sini tidak mau mengalah, mau
menyeberang saja sudah bikin jantung empot-empotan.
Padahal aku masih di pinggir trotoar.”
Pernyataan Arina sama dengan aku saat pertama kali
injakkan kaki di Atlas ini. Kaget juga untuk urusan
menyeberang jalan ini sedikit terabaikan. Lagipula Semarang
suhunya lebih terik dari Jakarta, mau cari tempat tenang malah
dapat yang sumpek. Walaupun aku sejak SD tinggal di Jakarta,
toh ternyata Semarang tak seindah bayangan cerita kedua
orangtuaku. Yang lebih hebat lagi, Seksi Loro dekat Pasar
Lampersari kini berubah jadi mal. Bisa saja nanti Semarang
dikutuk jadi danau dadakan seperti Jakarta.
Tapi sebenarnya Semarang juga termasuk kota banjir.
Maksudku untuk daerah kota bawah. Seperti potongan lagu
Jawa, “...Semarang kaline banjir....”
Buktinya saat aku ketemu seorang ibu di angkot yang
pulang belanja dari Pasar Johar. Dia cerita, “Di tempat ibu
tinggal, Jalan Jambu II iku saiki nek udhan deres buanjir.”
Bayangkan, padahal daerah Lampersari-Candi sudah agak
ke atas, walau tak dekat-dekat amat dengan daerah atas. Tapi
yang namanya musibah, ya mau gimana lagi.
“Ras, aku laper. Makan, yuk!” Mengelus-elus perut.
“Enaknya makan apa, ya?”
“Menurut kamu apa?” Malah balik tanya.
“Apa itu?” Tunjukku ke seberang.
“Mana?” Mata Arina mencari.
“Itu, tahu campur. Enak katanya di situ.”
“Boleh.”
“Yuk, langsung ke sana!”
Kami berdua menyeberang dengan hati-hati.
Kami makan dengan lahapnya secepat kilat ternyata aku
lapar juga. Penjual yang melayani kami sampai geleng-geleng
melihat gaya makan kami yang seperti kuli sedang istirahat
sedang istirahat makan siang. Atau mungkin geleng-geleng
karena melihat kami ini merupakan dua manusia yang manis-
manis, tombo ngantuk.

....

Jakarta, 11 Agustus 2001


Arina.
Mas, aku nanti pulang tanggal 30 Oktober. Kamu jemput
aku, dong. Aku mau kamu orang pertama yang aku lihat.
Ia membayangkan seperti apa kini Rahmat Shalih
keadaannya.

Samudro.
Arina, aku melihatmu di Simpang Lima, 23 Juli 2001. Kau
bersama temanmu. Aku melihat kamu bahagia, ceria, aku
senang. Saat itu masa jedaku sebelum aku diwisuda. Sepertinya
aku sedang melihat sebuah acara televisi, tapi ini nyata bukan
khayal.

Puisi-puisi.
Samudro: kini
Waktu tak pernah berhenti/aku terus berjalan/air/dan angin
menemaniku/sejarah tak mungkin hilang begitu saja

Arah angin pasti tetap/hati pasti pernah berubah/namun jangan


jiwa yang berubah/sebab itu berbahaya
Perjalanan, kadang, ada saat-
saat kita tidak dapat
menemukan titik temu. Dua
manusia sejati yang berjodoh
belum tentu pula
menemukan momentum
yang dekat, perlu proses
demi temukan peluang tepat.
Yah, hanya menunggu dan
mencoba, menciptakan
peluang titik temu. Semoga.

You might also like