Professional Documents
Culture Documents
Istilah kedudukan dan fungsi tentunya sering kita dengar, bahkan pernah kita
pakai. Misalnya dalam kalimat “Bagaimana kedudukan dia sekarang?”, “Apa fungsi
baut yang Saudara pasang pada mesin ini?”, dan sebagainya. Kalau kita pernah
memakai kedua istilah itu tentunya secara tersirat kita sudah mengerti maknanya.
Hal ini terbukti bahwa kita tidak pernah salah pakai menggunakan kedua istilah itu.
Kalau demikian halnya, apa sebenarnya pengertian kedudukan dan fungsi bahasa?
Samakah dengan pengertian yang pernah kita pakai?
Kita tahu bahwa bahasa sebagai alat komunikasi lingual manusia, baik secara
terlisan maupun tertulis. Ini adalah fungsi dasar bahasa yang tidak dihubungkan
dengan status dan nilai-nilai sosial. Setelah dihubungkan dengan kehidupan sehari-
hari, yang di dalamnya selalu ada nilai-nilai dan status, bahasa tidak dapat
ditinggalkan. Ia selalu mengikuti kehidupan manusia sehari-hari, baik sebagai
manusia anggota suku maupun anggota bangsa. Karena kondisi dan pentingnya
bahasa itulah, maka ia diberi ‘label’ secara eksplisit oleh pemakainya yang berupa
kedudukan dan fungsi tertentu.
Kedudukan dan fungsi bahasa yang dipakai oleh pemakainya (baca: masyarakat
bahasa) perlu dirumuskan secara eksplisit, sebab kejelasan ‘label’ yang diberikan
akan mempengaruhi masa depan bahasa yang bersangkutan. Pemakainya akan
menyikapinya secara jelas terhadapnya. Pemakaiannya akan memperlakukannya
sesuai dengan ‘label’ yang dikenakan padanya.
Di pihak lain, bagi masyarakat yang dwi bahasa (dwilingual), akan dapat
‘memilah-milahkan’ sikap dan pemakaian kedua atau lebih bahasa yang
digunakannya. Mereka tidak akan memakai secara sembarangan. Mereka bisa
mengetahui kapan dan dalam situasi apa bahasa yang satu dipakai, dan kapan dan
dalam situasi apa pula bahasa yang lainnya dipakai. Dengan demikian
perkembangan bahasa (-bahasa) itu akan menjadi terarah. Pemakainya akan
berusaha mempertahankan kedudukan dan fungsi bahasa yang telah disepakatinya
dengan, antara lain, menyeleksi unsur-unsur bahasa lain yang ‘masuk’ ke dalamnya.
Unsur-unsur yang dianggap menguntungkannya akan diterima, sedangkan unsur-
unsur yang dianggap merugikannya akan ditolak.
Sehubungan dengan itulah maka perlu adanya aturan untuk menentukan kapan,
misalnya, suatu unsur lain yang mempengaruhinya layak diterima, dan kapan
seharusnya ditolak. Semuanya itu dituangkan dalam bentuk kebijaksanaan
pemerintah yang bersangkutan. Di negara kita itu disebut Politik Bahasa Nasional,
yaitu kebijaksanaan nasional yang berisi perencanaan, pengarahan, dan ketentuan-
ketentuan yang dapat dipakai sebagai dasar bagi pemecahan keseluruhan masalah
bahasa.
Dari ketiga butir di atas yang paling menjadi perhatian pengamat (baca: sosiolog)
adalah butir ketiga. Butir ketiga itulah yang dianggap sesuati yang luar biasa.
Dikatakan demikian, sebab negara-negara lain, khususnya negara tetangga kita,
mencoba untuk membuat hal yang sama selalu mengalami kegagalan yang dibarengi
dengan bentrokan sana-sini. Oleh pemuda kita, kejadian itu dilakukan tanpa
hambatan sedikit pun, sebab semuanya telah mempunyai kebulatan tekad yang
sama. Kita patut bersyukur dan angkat topi kepada mereka.
Kita tahu bahwa saat itu, sebelum tercetusnya Sumpah Pemuda, bahasa Melayu
dipakai sebagai lingua franca di seluruh kawasan tanah air kita. Hal itu terjadi sudah
berabad-abad sebelumnya. Dengan adanya kondisi yang semacam itu, masyarakat
kita sama sekali tidak merasa bahwa bahasa daerahnya disaingi. Di balik itu, mereka
telah menyadari bahwa bahasa daerahnya tidak mungkin dapat dipakai sebagai alat
perhubungan antar suku, sebab yang diajak komunikasi juga mempunyai bahasa
daerah tersendiri. Adanya bahasa Melayu yang dipakai sebagai lingua franca ini pun
tidak akan mengurangi fungsi bahasa daerah. Bahasa daerah tetap dipakai dalam
situasi kedaerahan dan tetap berkembang. Kesadaran masyarakat yang semacam
itulah, khusunya pemuda-pemudanya yang mendukung lancarnya inspirasi sakti di
atas.
Apakah ada bedanya bahasa Melayu pada tanggal 27 Oktober 1928 dan bahasa
Indonesia pada tanggal 28 Oktober 1928? Perbedaan ujud, baik struktur, sistem,
maupun kosakata jelas tidak ada. Jadi, kerangkanya sama. Yang berbeda adalah
semangat dan jiwa barunya. Sebelum Sumpah Pemuda, semangat dan jiwa bahasa
Melayu masih bersifat kedaerahan atau jiwa Melayu. Akan tetapi, setelah Sumpah
Pemuda semangat dan jiwa bahsa Melayu sudah bersifat nasional atau jiwa
Indonesia. Pada saat itulah, bahasa Melayu yang berjiwa semangat baru diganti
dengan nama bahasa Indonesia.
Dengan fungsi keempat, bahasa Indonesia sering kita rasakan manfaatnya dalam
kehidupan sehari-hari. Bayangkan saja apabila kita ingin berkomunikasi dengan
seseorang yang berasal dari suku lain yang berlatar belakang bahasa berbeda,
mungkinkah kita dapat bertukar pikiran dan saling memberikan informasi?
Bagaimana cara kita seandainya kita tersesat jalan di daerah yang masyarakatnya
tidak mengenal bahasa Indonesia? Bahasa Indonesialah yang dapat menanggulangi
semuanya itu. Dengan bahasa Indonesia kita dapat saling berhubungan untuk segala
aspek kehidupan. Bagi pemerintah, segala kebijakan dan strategi yang berhubungan
dengan ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, dan kemanan
(disingkat: ipoleksosbudhankam) mudah diinformasikan kepada warganya. Akhirnya,
apabila arus informasi antarkita meningkat berarti akan mempercepat peningkatan
pengetahuan kita. Apabila pengetahuan kita meningkat berarti tujuan pembangunan
akan cepat tercapai.
Secara resmi adanya bahasa Indonesia dimulai sejak Sumpah Pemuda, 28 Oktober
1928. Ini tidak berarti sebelumnya tidak ada. Ia merupakan sambungan yang tidak
langsung dari bahasa Melayu. Dikatakan demikian, sebab pada waktu itu bahasa
Melayu masih juga digunakan dalam lapangan atau ranah pemakaian yang berbeda.
Bahasa Melayu digunakan sebagai bahasa resmi kedua oleh pemerintah jajahan
Hindia Belanda, sedangkan bahasa Indonesia digunakan di luar situasi pemerintahan
tersebut oleh pemerintah yang mendambakan persatuan Indonesia dan yang
menginginkan kemerdekaan Indonesia. Demikianlah, pada saat itu terjadi dualisme
pemakaian bahasa yang sama tubuhnya, tetapi berbeda jiwanya: jiwa kolonial dan
jiwa nasional.
Keempat fungsi itu harus dilaksanakan, sebab minimal empat fungsi itulah memang
sebagai ciri penanda bahwa suatu bahasa dapat dikatakan berkedudukan sebagai
bahasa negara.
Kalimat yang semacam itu juga tidak pernah kita jumpai pada waktu kita membaca
surat-surat dinas, dokumen-dokumen resmi, dan peraturan-peraturan pemerintah.
Di sisi lain, pada waktu kita berkenalan dengan seseorang yang berasal dari daerah
atau suku yang berbeda, pernahkah kita memakai kata-kata seperti ‘kepingin’,
‘paling banter’, ‘kesusu’ dan ‘mblayu’? Apabila kita menginginkan tercapainya tujuan
komunikasi, kita tidak akan menggunakan kata-kata yang tidak akan dimengerti oleh
lawan bicara kita sebagaimana contoh di atas. Kita juga tidak akan menggunakan
struktur-struktur kalimat yang membuat mereka kurang memahami maksudnya.
Yang menjadi masalah sekarang ialah apakah ada perbedan ujud antara bahasa
Indonesia sebagai bahasa negara/resmi sebagaimana yang kita dengar dan kita baca
pada contoh di atas, dan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, sebagaimana
yang pernah juga kita lakukan pada saat berkenalan dengan seeorang lain daerah
atau lain suku? Perbedaan secara khusus memang ada, misalnya penggunaan
kosakata dan istilah. Hal ini disebabkan oleh lapangan pembicaraannya berbeda.
Dalam lapangan politik diperlukan kosakata tertentu yang berbeda dengan kosakata
yang diperlukan dalam lapangan administrasi. Begitu juga dalam lapangan ekonomi,
sosial, dan yang lain-lain. Akan tetapi, secara umum terdapat kesamaan. Semuanya
menggunakan bahasa yang berciri baku. Dalam lapangan dan situasi di atas tidak
pernah digunakan, misalnya, struktur kata ‘kasih tahu’ (untuk memberitahukan),
‘bikin bersih’ (untuk membersihkan), ‘dia orang’ (untuk mereka), ‘dia punya harga’
(untuk harganya), dan kata ‘situ’ (untuk Saudara, Anda, dan sebagainya), ‘kenapa’
(untuk mengapa), ‘bilang’ (untuk mengatakan), ‘nggak’ (untuk tidak), ‘gini’ (untuk
begini), dan kata-kata lain yang dianggap kurang atau tidak baku.
Secara implisit, perbedaan dilihat dari proses terbentuknya antara kedua kedudukan
bahasa Indonesia, sebagai bahasa negara dan nasional, sebenarnya sudah terlihat di
dalam uraian pada butir 1.2 dan 1.3. Akan tetapi, untuk mempertajamnya dapat
ditelaah hal berikut.
Sudah kita pahami pada uraian terdahulu bahwa latar belakang timbulnya
kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan kedudukan bahasa
Indonesia sebagai bahasa negara jelas-jelas berbeda. Adanya kedudukan bahasa
Indonesia sebagai bahasa nasional didorong oleh rasa persatuan bangsa Indonesia
pada waktu itu. Putra-putra Indonesia sadar bahwa persatuan merupakan sesuatu
yang mutlk untuk mewujudkan suatu kekuatan. Semboyan “Bersatu kita teguh
bercerai kta runtuh” benar-benar diresapi oleh mereka. Mereka juga sadar bahwa
untuk mewujudkan persatuan perlu adanya saran yang menunjangnya. Dari sekian
sarana penentu, yang tidak kalah pentingnya adalah srana komunikasi yang disebut
bahasa. Dengan pertimbangan kesejarahan dan kondisi bahasa Indonesia yang
lingua franca itu, maka ditentukanlah ia sebagai bahasa nasional.
Setelah kita menelaah uraian terdahulu, kita mengetahui bahwa fungsi kedudukan
bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional berbeda sekali dengan fungsi kedudukan
bahasa Indonesia sebagai bahasa negara. Perbedan itu terlihat pada wilayah
pemakaian dan tanggung jawab kita terhadap pemakaian fungsi itu. Kapan bahasa
Indonesia sebagai bahasa negara/resmi dipakai, kiranya sudah kita ketahui.
Yang menjadi masalah kita adalah perbedaan sehubungan dengn tanggung jawab
kita terhadp pemakaian fungsi-fungsi itu. Apabila kita menggunakan bahasa
Indonesia sebagai fungsi tertentu, terdapat kaitan apa dengan kita? Kita berperan
sebagai apa sehingga kita berkewajiban moralmenggunakan bahasa Indonesia
sebagai fungsi tertentu? Jawaban atas pertanyaan itulah yng membedakan tanggung
jawab kita terhadap pemakaian fungsi-fungsi bahasa Indonesia baik dalam
kedudukannya sebagai bahasa nasional maupun sebagai bahasa negara/resmi.
Lain halnya dengan contoh berikut ini. Walaupun Ton Sin Hwan keturunan Cina,
tetapi karena dia warga negara Indonesia dan secara kebetulan menjabat sebagai
Ketua Lembaga Bantuan Hukum, maka pada saat dia memberikan penataran kepada
anggotnyan berkewajiban moral untuk menggunakan bahasa Indonesia. Tidak
perduli apakah dia lancar berbahasa Indonesia atau tidak. Tidak perduli apakah
semua pengikutnya keturunan Cina yang berwarga negara Indonesia ataukah tidak.