You are on page 1of 11

BAB I PENDAHULUAN

Penggunaan obat yang tidak rasional masih marak di Indonesia, dan masalah ini menjadi tanggung jawab banyak pihak, dari pembuat kebijakan, asosiasi profesi tenaga kesehatan, industri farmasi, dokter, apoteker, hingga media massa dan pasien. Kerja sama dan dukungan semua pihak mutlak diperlukan untuk memperbaiki kualitas pola pengobatan menjadi rasional sebagaimana dianjurkan Badan Kesehatan Dunia WHO. Menurut WHO, pengobatan yang rasional adalah pemberian obat yang sesuai kebutuhan pasien, dalam dosis yang sesuai dan periode waktu tertentu, serta dengan biaya serendah mungkin baik bagi pasien maupun komunitasnya. Pola pengobatan yang tidak mengikuti kaidah-kaidah di atas adalah pola pengobatan tidak rasional.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

1.

Penggunaan Obat Yang Rasional Memenuhi kriteria : Sesuai dengan Indikasi penyakit Diberikan dengan dosis yang tepat Interval waktu pemberian yang tepat Lama Pemberian yang tepat Obat yang diberikan harus efektif, dengan mutu terjamin dan aman. Tersedia setiap saat dengan harga yang terjangkau. Haruslah Mencakup : 1. Tepat Diagnosis Contoh Penyakit diare disertai lendir, darah serta gejala tenesmus diagnosis amoehiasis R / metronidazol Penanya ada darah dalam fase jika tidak ditanyakan bisa khole, tetrasiklin. 2. Tepat Indikasi Contoh Infeksi Bakteri antibiotic. Misal : Pada infeksi saluran nafas, adanya Sputum

mucapuralen atau banyi kurang dari 2 bulan, dengan kecepatan respirasi > 60 x/menit. 3. Tepat Pemilihan Obat Contoh Demam kasus Infeksi, inflamasi Parasetamol (paling aman) Asam mefenamat, ibuprofen (anti imflamasin non steroid) demam yang terjadi akibat proses peradangan / inflamasi 4. Tepat dosis, cara dan lama pemberian

pemberian dosis >>> untuk obat yang bersifat narrow therapeuric margin (rentang terapi yang sempit (mis : teofilin, digitalis, aminoklosida) berisiko timbulnya efek samping. Sebaliknya dosis terlalu < tidak menajin terapi yang diinginkan. 5. Pasien Patuh Ketidaktaatan minum obat terjadi pada keadaan : Jenis/jumlah obat yang diberikan terlalu banyak Frekuensi pemberian obat perhari terlalu sering Jenis sediaan obat terlalu beragam (mis : sirup, tablet dan lain-lain) Pemberian obat dalam jangka panjang (mis : DM, hipertensi) Pasien tidak mendapatkan penjelasan cukup cara minum dan lainlain. Timbul efek samping (mis : ruam kulit, nyeri lambung) atau ikutan (urin menjadi nerah karena minum rifampisin) Nasional TBC tanpa supervise gagal 6. Tepat penilaian terhadap kondisi pasien Respon terhadap efek obat sangat beragam teofilin dan aminoglikosida pada kelainan ginjal pemberian aminoglokosida hindarkan nefrotoksik meningkat. Yang perlu dipertimbangkan : -blocker (mis : propanol) tidak diberikan pada hipertensi yang mempunyai riwayat asma bronkospasmus Anti inflamasi non steroid sebaiknya dihindarai pada penderita asma mencetuskan serangan asma. Simetidin, klorpropamid, aminoglikosida, alopurinal pada usia lanjut ekstra hati-hati oleh karena waktu paruh memanjang secara bermakna efek toksik meningkat pada pemberian secara berulang. Peresapan kunilon (mis : siproloksaksin, afloksasin, tetrasiklin, doksisiklin dan metronidazol pada ibu hamil dihindari (efek buruk pada janin yang dikandungnya) 7. Tepat pemberian informasi

Rifampison urin berwarna merah Antibiotika harus diminum sampai habis (1 course of treatmen) 8. Tepat dalam melakukan upaya tindak lanjut Contoh : Teofilin sering gejala tahikardi, jika terjadi dosis tinjau ulang/obatnya diganti Syok anafilaksis pemberian injeksi adrenali yang kedua perlu segera dilakukan , jika yang pertama respons sirkulasi kardiovaculer belum seperti yang diharapkan. 2. Penggunaan Obat Yang Tidak Rasional Sering dijumpai dalam praktek sehari-hari, tanpa indikasi yang jelas, penentuan dosis, cara dan lama pemberian yang keliru serta harga yang mahal contoh ketidakrasionalan peresepan. Tidak rasional dampak negatif yang diterima oleh pasien >> dari manfaatnya. Dampak negatif (efek samping dan resistensi kuman) dampak ekonomi (biaya tidak terjangkau) dampak social (ketergantungan pasien terhadap intervensi obat). Penggunaan obat yang tidak rasional dikategorikan (cirri-ciri) : 1. Peresepan berlebih (over prescribing) Yaitu memberikan obat yang sebenarnya tidak diperlukan untuk penyakit yang bersangkutan. Contoh : Pemberian antibiotik pada ISPA non pneumonia (umumnya disebabkan oleh virus). Pemberian obat dengan dosis >> dari yang dianjurkan. Jumlah obat yang diberikan lebih dari yang diperlukan untuk pengobatan penyakit tersebut. 2. Peresepan kurang (under prescribing) Yaitu jika pemberian obat kurang dari yang seharusnya diperlukan, baik dosis, jumlah maupun lama pemberian. Contoh : o Pemberian antibiotika obat selama 3 hari untuk ISPA Pneumonia

o Tidak memberikan oralit pada anak yang jelas menderita diare 3. Peresepan majemuk (multiple prescribing) Yaitu jika memberikan beberapa obat untuk suatu indikasi penyakit yang sama, pemberian lebih dari satu obat untuk penyakit yang diketahui dapat disembuhkan dengan satu jenis obat. Contoh : pemberian puyer pada anak dengan batuk pilek, berisi : a. Amoksilin, b. Parasetamol, c. GG d. Deksametason, e. CTM, dan f. Luminal 4. Peresepan salah (incorrect prescribing) Pemberian obat untuk indikasi yang keliru, resiko efek samping >>. Contoh : Pemberian antibiotic golongan kuinolon (mis: Siprofloksasin dan Ofloksasin) untuk wanita hamil. Meresepkan Asam Mefenamat untuk demam pada anak < 2 tahun. Contoh lain ketidakrasionalan penggunaan obat dalam praktek seharihari: 1. Pemberian obat untuk penderita yang tidak memerlukan terapi obat Contoh : Pemberian Robaransia untuk perangsang nafsu makan pada anak interverensi gizi jauh lebih bermanfaat 2. Penggunaan obat yang tidak sesuai dengan indikasi penyakit. Contoh : Pemberian Injeksi vitamin B12 untuk keluhan pegel linu 3. Pemberian obat yang tidak sesuai dengan aturan Contoh : - Pemberian Ampisilin setelah makan - Frekuensi Pemberian Amoksilin 4 x sehari, bukannya 3 x 4. Penggunaan obat yang memiliki potensi toksisitas >> sementara obat lain dengan mamfaat yang sama tetapi jauh lebih aman tersedia.

Contoh : Pemakaian antibiotik golongan Aminoglikosida pada penderita usia lanjut resiko ototolsik dan nefrotoksik, sementara antibiotik lain yang aman tersedia. 5. Penggunaan obat yang harganya mahal, sementara obat sejenis dengan mutu yang sama dan harga lebih murah tersedia Contoh : Peresepan obat paten relative mahal, padahal ada obat generik murah, manfaat sama 6. Penggunaan obat yang belum terbukti secara ilmiah kemanfaatan dan keamanannya Contoh : Obat baru yang belum teruji manfaat, keamanannya sementara obat lain telah teruji tersedia. 7. Penggunaan obat yang jelas-jelas akan mempengaruhi kebiasaan/persepsi yang keliiru dari masyarakat terhadap hasil pengobatan Contoh : Kebiasaan pemberian infeksi Roboransia penderita dewasa akan mendorong selalu meminta diinjeksi jika datang dengan keluhan yang sama.
Contoh penggunaan obat yang tidak rasional

Pemberian injeksi B12 untuk keluhan pegel linu Pemberian puyer berisi campuran antibiotic dan obat simtomatik Pemberian ampisilin 3 x sehari, sesudah makan Pemberian antibiotic untuk ISPA non pneumonia

BAB III PEMBAHASAN

Pengobatan Rasional sesungguhnya merupakan suatu proses yang kompleks dan dinamis, dimana terkait beberapa komponen, mulai dari diagnosis, pemilihan dan penentuan dosis obat, penyediaan dan pelayanan obat, petunjuk pemakaian obat, bentuk sediaan yang tepat, cara

pengemasan, pemberian label dan kepatuhan penggunaan obat oleh penderita. Penyimpangan terhadap hal tersebut akan memberikan berbagai kerugian. Dampak negatif pemakaian obat yang tidak rasional sangat luas, namun secara ringkas dampak tersebut dapat digambarkan sebagai berikut: 1. Dampak terhadap mutu pengobatan dan pelayanan. Beberapa kebiasaan peresepan yang tidak rasional akan

mempengaruhi mutu pengobatan dan pelayanan secara langsung atau tidak langsung. Secara luas juga dampak negatifnya terhadap upaya penurunan mortalitas dan morbiditas penyakit-penyakit tertentu. Misalnya kebiasaan untuk selalu memberikan antibiotik dan antidiare terhadap kasus-kasus diare akut, dengan melupakan pemberian oralit yang memadai - niscaya sangat merugikan terhadap upaya penurunan mortalitas diare. 2. Dampak terhadap Efek Samping Obat (ESO) Masalah efek samping obat dianggap tidak kalah penting dengan masalah efek terapi obat. Dampak negatif dari efek samping obat ini kurang banyak disadari oleh para penulis resep. Efek samping obat merupakan reaksi yang sifatnya merugikan si pemakai dan timbulnya pada penggunaan obat dengan dosis terapi, diagnostik atau profilaksis. Kemungkinan resiko efek samping obat dapat diperbesar oleh penggunaan obat yang tidak rasional. Hal ini dapat dilihat secara

individual pada masing-masing pasien atau secara epidemiologik dalam tingkat populasi. Pemakaian obat yang berlebihan baik dalam jenis maupun dosis, jelas akan meningkatkan resiko efek samping. Pemakaian antibiotika secara berlebihan juga dikaitkan dengan meningkatnya resistensi kuman terhadap antibiotik yang bersangkutan dalam populasi. Hampir sebagian besar efek samping obat terjadi pada sistem gastrointestinal, sistem hemopoetika, kulit, saraf, kardiovaskuler, dan sistem respirasi. 3. Dampak terhadap biaya pelayanan pengobatan. Pemakaian obat-obatan tanpa indikasi yang jelas, untuk kondisikondisi yang sebetulnya tidak memerlukan terapi obat, merupakan pemborosan baik dipandang dari sisi pasien maupun sistem pelayanan. Dokter mungkin kurang memperhatikan dampak ekonomi ini, tetapi bagi pasien yang harus membayar atau sistem pelayanan yang harus menanggung ongkos pengobatan, hal ini akan sangat terasa. Kebiasaan peresepan yang terlalu tergantung pada obat-obat paten yang mahal, jika ada alternatif obat generik dengan mutu dan keamanan yang sama, jelas merupakan beban dalam pembiayaan dan merupakan salah satu bentuk ketidak rasionalan. Beberapa penelitian yang dilakukan Dit. Jen. POM menemukan bahwa 60-65 % biaya obat pada ISPA non pneumonia digunakan untuk antibiotika yang sebenarnya tidak diperlukan. Satu hal yang mungkin sering dilupakan oleh praktisi medik adalah meresepkan obat yang harganya tidak terjangkau oleh pasien. Meskipun kecil presentasenya, sekitar 15,4 % pasien ternyata hanya membeli sepertiga hingga setengah bagian dari resep antibiotika. Sehingga pada akhirnya pasienlah yang mendapat dampak negatif peresepan tersebut seperti misalnya risiko terjadinya resistensi bakteri karena kurang adekuatnya pemakaian antibiotika.

4. Dampak psikososial Pemakaian obat yang berlebihan oleh dokter sering akan memberikan pengaruh psikologik pada masyarakat. Masyarakat menjadi terlalu tergantung kepada terapi obat walaupun intervensi obat belum tentu merupakan pilihan utama untuk kondisi tertentu. Hal ini akan merangsang pola self medication yang tak terkendali ada masyarakat. Bentuk peresepan yang sifatnya pemaksaan vitamin dan obat penambah nafsu makan pada anak-anak merupakan contoh khas penggunaan obat yang tidak rasional. Peresepan ini seakan-akan memberi kesan bahwa obat-obat vitamin pada anak-anak adalah esensial untuk kesehatan, yang pada hakekatnya obat-obat vitamin tersebut tidak lebih dari plasebo yang harus dibayar mahal yang melebihi dari harga makanan yang memiliki nutrisi tinggi. Dalam klinik juga dirasakan, karena terlalu percaya pada pemberian antibiotika profilaksis, tindakan-tindakan aseptis pada pembedahan menjadi tidak atau kurang diperhatikan secara ketat. Sebenarnya dampak psikososial ini dapat dihindari dengan memberikan informasi dan edukasi secara benar kepada masyarakat. Dan tidak kalah pentingnya adalah kesadaran dari petugas kesehatan untuk melaksanakan pengobatan rasional.

BAB IV SIMPULAN

Kejadian ketidak-optimalan pengobatan misalnya dalam bentuk ketidak-rasionalan pengobatan, selalu merupakan konsekuensi dari pengobatan itu sendiri. Namun demikian, dengan mengetahui bentukbentuk yang terjadi, faktor-faktor pendorong yang mungkin berperan dan intervensi-intervensi yang paling efektif, kejadian ketidak-rasionalan pemakaian obat dapat ditekan seminimal mungkin. Sehingga dampak negatifnya dalam pelayanan juga dapat diusahakan sekecil mungkin.

10

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2008, Standar Pelayanan Farmasi di Rumah sakit, RS DR. Wahidin Sudirohusodo: Makassar

Anonim, 2000, Informatorium Obat Nasional Indonesia, Departemen Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Obat dan Makanan, Jakarta.

Arif, A., dan Sjamsudin, U., 1995, Obat Lokal, dalam Ganiswarna, S.G., Farmakologi dan Terapi, Edisi 4, 517, Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

Woodley, 1995, Yogyakarta.

Pedoman Pengobatan, 331, Yayasan Essentia Medica,

11

You might also like