You are on page 1of 33

REFERAT BEDAH SARAF

SALIN ATAU ALBUMIN UNTUK RESUSITASI CAIRAN


PADA PASIEN DENGAN CEDERA OTAK TRAUMATIK

Oleh EKA ARTHA MULIADI H1A007016

PEMBIMBING

Dr. Bambang Priyanto, Sp.BS

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITRAAN KLINIK MADYA BAGIAN/SMF BEDAH RUMAH SAKIT UMUM PROVINSI NTB FAKULTAS KEDOKTERAN UNINTRAVENAERSITAS MATARAM 2012

SALIN ATAU ALBUMIN UNTUK RESUSITASI CAIRAN PADA PASIEN DENGAN CEDERA OTAK TRAUMATIK

Latar Belakang Penelitian evaluasi perbandingan cairan salin dengan cairan albumin (SAFE Study) telah menyimpulkan bahwa pasien dengan cedera otak traumatik yang diberikan resusitasi albumin memiliki angka kematian yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang mendapatkan resusitasi dengan salin. Kami melakukan penelitian post hoc follow up pada pasien dengan cedera otak traumatik yang ikut dalam penelitian SAFE sebelumnya. Metode Untuk pasien dengan cedera otak traumatik (yaitu pasien dengan riwayat trauma, terbukti adanya trauma kepala pada computed tomografi [CT] scan, dan skor Glasgow Coma Scale [GCS]) 13, kami mencatat karakteristik dasar dari formulir laporan kasus, catatan klinis, dan CT scan dan mengatur hasil status vital dan neurologis fungsional setelah 24 bulan dari pengacakan. Hasil Kami mengamati 460 pasien, 231 di antaranya (50,2%) menerima albumin dan 229 (49,8%) menerima salin. subkelompok pasien dengan skor GCS dari 3-8 diklasifikasikan sebagai cedera otak sangat berat (160 [69,3%] pada kelompok albumin dan 158 [69,0%] dikelompok salin).Karakteristik demografi dan indeks keparahan cedera otak serupa dari awal. Pada 24 bulan, 71 dari 214 pasien dalam kelompok albumin (33,2%) telah meninggal, dibandingkan dengan 42 dari 206 dalam kelompok salin (20,4%) (risiko relatif, 1,63; confidence interval 95% [CI], 1,17-2,26, P = 0,003). Di antara pasien dengan cedera otak berat, 61 dari 146 pasien dalam kelompok albumin (41,8%) meninggal, dibandingkan dengan 32 dari 144 dalam kelompok salin (22,2%) (risiko relatif, 1,88, 95% CI, 1,31-2,70; P <0,001), antara pasien dengan skor GCS dari 9 -12, kematian terjadi pada 8 dari 50 patients pada kelompok albumin (16,0%) dan 8 dari 37 pada kelompok salin (21,6%) (relatif risiko, 0,74, 95% CI, 0,31-1,79, P = 0,50). Kesimpulan Dalam penelitian post hoc pada pasien dengan cedera otak traumatik kritis, resusitasi cairan dengan albumin dikaitkan dengan tingkat kematian yang lebih tinggi dibandingkan resusitasi cairan dengan salin. (Current Controlled Trials nomor, ISRCTN76588266.)

Pada pasien dengan cedera otak traumatik, resusitasi cairan merupakan komponen dasar dari pemulihan dan pemeliharaan sirkulasi serebral dan sistemik. Ada ketidakpastian tentang pilihan cairan yang terbaik karena kurangnya percobaan acak-terkontrol yang adekuat. Akibatnya, kedua strategi resusitasi dengan kristaloid dan koloid masih dianjurkan. Penelitian Evaluasi Cairan Salin versus Albumin (SAFE) membandingkan efek resusitasi cairan dengan albumin atau salin terhadap angka kematian pada populasi pasien heterogen di unit perawatan intensif (ICU). Secara keseluruhan, penelitian ini menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan dalam risiko kematian antara pasien yang menerima albumin dibandingkan dengan mereka yang menerima salin. Terdapat bukti efek pengobatan yang heterogen pada pasien yang terdiagnosis dan mereka yang tidak terdiagnosis trauma, bukti ini dihasilkan dari peningkatan jumlah kematian di antara pasien dengan cedera otak traumatik yang menerima albumin. Signifikansi klinis dari hasil observasi pada pasien dengan cedera otak traumatik masih meragukan karena dua alasan utama. Pertama, studi SAFE tidak mengumpulkan data yang cukup rinci untuk menunjukkan bahwa berbagai faktor dasar yang diketahui mempengaruhi hasil akhir dari cedera otak traumatik adalah serupa pada pasien yang memperoleh perlakuan dengan albumin dan bagi mereka yang memperoleh salin. Kedua, hasil akhir utama dari penelitian SAFE bahwa tingkat kematian diukur dalam waktu 28 hari setelah pengacakan, sedangkan rekomendasi konsensus terakhir menyebutkan kematian dan hasil akhir fungsi neurologis dalam waktu antara 6 dan 24 bulan, sebagai ukuran hasil akhir yang tepat setelah cedera otak traumatik. Karena sangat pentingnya hasil utama dari penelitian SAFE, kami melakukan penelitian followup post hoc pada pasien dari penelitian SAFE yang memiliki cedera otak traumatik (penelitian SAFETBI). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendokumentasikan karakteristik dasar yang diketahui mempengaruhi hasil akhir dari cedera otak traumatik dalam kelompok albumin dan salin dan membandingkan kematian dan fungsi neurologis pada kedua kelompok 24 bulan setelah pengacakan.

Metode Desain Penelitian Penjelasan rinci tentang rancangan penelitian SAFE telah dipublikasikan sebelumnya. Singkatnya, penelitian duta ganda, acak terkontrol telah dilakukan di ICU multidisiplin dari 16 rumah sakit di Australia dan Selandia Baru antara November 2001 dan Juni 2003. Pasien dewasa yang memenuhi syarat secara acak dipilih untuk mendapatkan 4% albumin (Albumex, CSL) atau normal salin untuk semua resusitasi cairan di ICU sampai hari kematian, keluar dari ICU, atau 28 hari setelah pengacakan. Pengacakan dikelompokkan berdasarkan diagnosis trauma (didefinisikan sebagai luka pada tubuh yang disebabkan oleh kekuatan mekanik, tidak termasuk luka bakar). Cedera otak traumatik

didefinisikan sebagai diagnosis trauma ditambah skor Glasgow Coma Scale (GCS) 13 atau kurang pada saat datang pertama kali ke rumah sakit dan terdapat kelainan pada scan Computer tomografi (CT) kepala konsisten dengan cedera otak traumatik. Dalam penelitian SAFE-TBI, kami mengidentifikasi semua pasien dengan cedera otak traumatik dari data dasar penelitian SAFE. Kami memasukan pasien yang di laporkan pada penelitian SAFE ditambah pasien tambahan dengan diagnosis cedera kepala yang terdaftar masuk dalam rumah sakit sebagai komponen dari penilaian Fisiologi Akut dan Evaluasi Kesehatan Kronis (APACHE) II. Kami meninjau catatan klinis dan CT scan untuk mengkonfirmasi bahwa semua pasien memenuhi kriteria penelitian SAFE-TBI. Protokol penelitian telah disetujui oleh komite etik dari semua lembaga yang berpartisipasi. Persetujuan tertulis diperoleh dari pasien, bila memungkinkan, atau dari pengganti yang sah. Kami mengumpulkan data dari formulir laporan kasus, catatan klinis, dan CT scan dari studi SAFE untuk menentukan karakteristik dasar demografi, tingkat keparahan cedera, dan variabel spesifik otak- yang terkait dengan hasil akhir neurologis. Terakhir, kami menentukan secara prospektif status vital dan hasil akhir fungsi neurologis 24 bulan setelah pengacakan. Pada bulan Juni 2005, pengumpulan data menyimpulkan, 2 tahun setelah pasien akhir direkrut ke dalam penelitian SAFE. Semua pengumpul data dan penilai terlatih tidak menyadari tugas pengobatan. Pada bulan juni 2005, pengumpulan data diakhiri, 2 tahun setelah pengrekrutan pasien terakhir dalam penelitian SAFE. Semua pengumpul data dan penilai yang dilatih tidak mengetahui pengobatan yang diberikan.

Dasar penilaian Kami memperoleh informasi dasar tentang usia, jenis kelamin, dan tingkat keparahan penyakit dan cedera. Penghitungan skor APACHE II didapatkan dari nilai-nilai terburuk dalam 24 jam sebelum pengacakan, yang disingkat sebagai Skala Cedera (Revisi 1990 dan dipublikasikan 1998) dan dihitung oleh penilai yang terlatih. Indeks khusus untuk cedera otak yang kita gunakan adalah nilai terakhir skor GCS sebelum pengacakan (saat pasien tidak dibius), respon motorik yang di catat khusus dari GCS, dan penilaian tingkat keparahan cedera otak dari CT scan terakhir sebelum pengacakan. Ada atau tidak adanya perdarahan subarachnoid traumatik dan tiap hasil CT scan, dihitung menurut klasifikasi Marshall, dicatat secara independen oleh dua peneliti, yang tidak mengetahui pengobatan yang diberikan. Kami mencatat kejadian dan frekuensi hipotensi sistemik (didefinisikan sebagai episode tekanan darah sistolik <90 mm Hg atau tekanan arteri rata-rata <65 mm Hg) yang terjadi dalam waktu 24 jam setelah cedera tapi sebelum pengacakan, ada atau tidak adanya alat untuk memonitor tekanan intrakranial, dan episode hipertensi intrakranial yang terjadi sebelum dan setelah pengacakan. Untuk keperluan studi

ini, hipertensi intrakranial didefinisikan sebagai tekanan intrakranial lebih besar dari 30 mmHg dalam dua kali pengukuran terpisah berturut-turut dengan jarak minimal 30 menit. Komite penanganan penelitian memilih ambang batas atas tekanan intrakranial ini sebagai indeks keparahan dimana diatas angka ini hipertensi intrakranial kemungkinan menyebabkan mekanisme patologis kematian.

Penilaian Lanjut dan Pengukuran Hasil Akhir Ukuran hasil akhir utama adalah tingkat kematian dan hasil akhir fungsi neurologis 24 bulan setelah pengacakan. Kematian yang terjadi di rumah sakit lebih dari 28 hari setelah pengacakan ditentukan dari catatan rumah sakit. Pasien yang bertahan hidup namun sudah pulang dari rumah sakit dapat diketahui, dan kematian yang terjadi diantara saat pulang dari rumah sakit dan 24 bulan setelah pengacakan juga dicatat. Pasien yang hidup 24 bulan setelah pengacakan diwawancarai oleh penilai tunggal terlatih. Penilai menggunakan kuesioner standar terstruktur melalui telpon untuk menentukan delapan tingkat skor GOS (Glasgow outcome scale), di mana 8 mengindikasikan minimal atau tidak ada kecacatan dan 1 indikasi kematian. Hasil akhir neurologis kemudian didefinisikan sebagai Baik (grade 5 sampai 8) atau tidak baik (grade 1 sampai 4). Untuk pasien yang meninggal dalam waktu 28 hari setelah pengacakan, penyebab utama kematian ditentukan dengan menggunakan klasifikasi yang dirancang oleh tiga peneliti selama melakukan penelitian SAFE. Alokasi penyebab primer dan sekunder kematian ditentukan dari formulir laporan kasus, catatan rumah sakit, dan sertifikat kematian. Penyebab utama kematian ditentukan secara independen oleh dua peneliti, yang tidak mengetahui pengobatan yang diberikan. Jika ada pertentangan, seorang penyelidik ketiga, yang juga tidak mengetahui pengobatan yang diberikan, menentukan penyebab utama kematian dan pandangan mayoritas diterima. George Institute for International Health dan the Australian and New Zealand Intensintravenae Care Society Clinical Trials Group melakukan pengaturan data dan tempat serta analisa data tidak tergantung pada temuan para agen. Naskah disiapkan oleh komite penulisan dan direvisi oleh para peneliti, yang menyetujui naskah akhir. . Analisis Statistik Data dipindah dari data dasar penelitian dan dianalis dengan menggunakan Stata software, versi 8.2, dan software SPSS, versi 12. Semua analisa dilakukan berbasis intention-to-treat data. Jika ada data yang hilang, kami melaporkan data yang ada dan tidak membuat asumsi tentang data yang hilang tersebut. Analisis unintravenaariat proporsi dibandingkan dengan menggunakan uji chi-square atau uji exact Fisher, dan variabel kontinyu dibandingkan dengan menggunakan T-test tidak berpasangan atau

analisis varian. Hasil perbandingan angka kejadian dalam dua kelompok disajikan sebagai risiko relatif dengan interval kepercayaan 95%. Baseline kovariat yang diketahui terkait dengan peningkatan mortalitas dari cedera otak traumatik (usia lebih tua dari 60 tahun, 17 GCS skor 8, 18 tekanan sistolik <90 mm Hg, 19 dan perdarahan subarachnoid traumatik) digunakan ke model logistic-regresi multintravenaariat, dan odds rasio dalam 24 bulan diatur dan disesuaikan. Lama bertahan hidup dibandingkan pada kedua kelompok dengan menggunakan uji log-rank dan disajikan sebagai kurva Kaplan-Meier yang tidak disesuaikan dengan baseline kovariat. Analisis dilakukan pada semua pasien dan dalam subkelompok sesuai dengan klasifikasi tingkat keparahan cedera kepala traumatik menurut Brain Trauma Foundation: pasien sebelum pengacakan, sementara tidak dibius, dengan skor GCS terakhir tercatat 3-8 diklasifikasikan sebagai cedera otak traumatik berat, dan skor GCS 9 sampai 12 diklasifikasikan sebagai cedera otak traumatik sedang.

Hasil Studi Pasien Kami mengidentifikasi 515 pasien dengan cedera otak traumatik. Dari jumlah tersebut, 492 dilaporkan dalam SAFE study. Tambahan 23 pasien diidentifikasi dari diagnosis cedera kepala berdasar APACHE II yaitu mereka yang tercatat masuk ke rumah sakit. Sebanyak 55 pasien kemudian dikeluarkan: 14 tidak memiliki diagnosis trauma saat masuk, 20 memiliki skor GCS tanpa sedasi terakhir sebelum diacak lebih besar dari 13, 19 memiliki gambaran CT scan normal sebelum diacak, dan 2 mengundurkan diri dari penelitian. Dari 460 pasien yang tersisa, 231 (50,2%) dipilih untuk menerima albumin dan 229 (49,8%) untuk menerima salin (Gambar 1). Karakteristik dasar demografi, skor keparahan cedera, variabel hemodinamik, dan variabel khusus untuk cedera otak adalah serupa pada kedua kelompok (Tabel 1). Kami membagi 160 pasien dalam kelompok albumin (69,3%) dan 158 pada kelompok salin (69,0%) mengalami cedera otak traumatik yang parah (GCS skor, 3 sampai 8). CT skor didapatkan secara berturut 213 pasien (92,2%) dan 207 (90,4%) dalam kelompok albumin dan salin. Nilai CT-scan dan proporsi pasien dengan perdarahan subarachnoid traumatik pada CT adalah serupa pada kedua kelompok, begitu juga dengan kejadian hipotensi sebelum diacak. Secara keseluruhan, pemantauan tekanan intrakranial dilakukan pada 137 dari 203 pasien dalam kelompok albumin (67,5%) dan 147 dari 213 pasien dalam kelompok salin (69,0%). Pemantauan tekanan intrakranial dilakukan pada 104 dari 137 pasien dengan cedera otak traumatik yang parah pada kelompok albumin (75,9%) dan 114 dari 147 pasien dengan cedera otak traumatik yang parah dalam kelompok salin (77,6%). Nilai awal rata-rata ( SD) tekanan intrakranial adalah 15,0 12,9 mm Hg pada kelompok

albumin dan 12,4 7,2 pada kelompok salin. Kejadian hipertensi intrakranial prerandomization adalah serupa pada kedua kelompok.

Gambar 1. Penjaringan Pasien dan Penilaian Hasil Primer. Evaluasi Cairan Salin versus Albumin (SAFE), cedera otak traumatik (TBI), Glasgow Coma Scale (GCS). Skrining tambahan dari data dasar SAFE dilakukan menurut Fisiologi Akut dan Evaluasi Kesehatan Kronis II diagnostic kode

Tabel 1. Karakteristik dasar pasien

o o o

Nilai Plus-minus (mean SD). Karena pembulatan, tidak semua persentase total 100. Fisiologi Akut dan Evaluasi Kesehatan Kronis (APACHE), Glasgow Coma Scale (GCS), dan computed tomography (CT). Skor yang lebih tinggi pada skala keparahan cedera mengindikasikan penyakit yang lebih parah. Skor APACHE II berkisar dari 0-72, dan Skor Skala Cedera adalah 0-75. Rentang nilai dari 15(Normal) sampai 3 (koma yang dalam)

Cedera Diffuse II merupakan semua cedera Diffuse yang terdapat basal cisterns dan pergeseran garis tengah otak kurang dari 5 mm dan tidak terdapat lesi yang tinggi atau berdensitas campuran yang lebih besar dari 25 ml.

Cedera Difuse III termasuk semua semua cedera Diffuse yang menyebabkan peenekanan atau tidak ditemukannya basal cisterns dan menyebabkan pergeseran garis tengah kurang dari 5 mm dan tidak terdapat lesi yang tinggi atau berdensitas campuran yang lebih besar dari 25 ml.

Cedera Difuse INTRAVENA termasuk semua cedera Diffuse dengan pergeseran garis tengah lebih dari 5 mm dan tidak terdapat lesi yang tinggi atau berdensitas campuran yang lebih besar dari 25 ml.

Pemberian Cairan Dan Efek Pengobatan Selama 48 jam pertama di ICU, pasien dalam kelompok penerima albumin secara signifikan lebih sedikit pada studi cairan daripada pasien dalam kelompok salin (Tabel 2). Tidak ada perbedaan yang signifikan dalam volume studi terhadap pemberian cairan setelah 2 hari pertama. Selain terjadi peningkatan keperluan untuk transfusi sel darah merah pada hari kedua dalam kelompok albumin, volume pemberian cairan nonstudy selama 4 hari pertama mirip pada kedua kelompok. Tidak ada perbedaan signifikan pada tekanan arterial sistemik atau denyut jantung antara kedua kelompok pada salah satu dari 4 hari pertama. tekanan vena sentral secara signifikan lebih tinggi pada kelompok albumin dibandingkan kelompok salin selama 24 jam pertama. Konsentrasi albumin serum secara signifikan lebih tinggi pada kelompok albumin dibandingkan kelompok salin pada masing-masing 4 hari pertama. Tidak ada perbedaan yang signifikan kejadian hipertensi intrakranial pasca-pengacakan antara kedua kelompok.

Hasil Hasil akhir utama diperoleh pada 214 pasien pada kelompok albumin (92,6%) dan 206 pasien dalam kelompok salin (90,0%). Pada 24 bulan, 71 dari 214 pasien dalam kelompok albumin (33,2%) telah meninggal, dibandingkan dengan 42 dari 206 pasien dalam kelompok salin (20,4%) (risiko relatif, 1,63; 95% confidence interval [CI], 1,17 - 2,26, P = 0,003). Sebagian besar kematian terjadi pada 28 hari pada kedua kelompok: 61 dari 71 kematian pada kelompok albumin (85,9%) dibandingkan dengan 36 dari 42 kematian pada kelompok salin (85,7%) (Tabel 3). Proporsi pasien yang mati otak tidak tercatat. Cedera otak traumatik telah diidentifikasi sebagai penyebab utama kematian dalam 28 hari pada 46 dari 61 kematian pada kelompok albumin (75,4%) dan 30 dari 36 kematian pada kelompok salin (83,3%). Pada kelompok albumin, 50 dari 61 kematian (82,0%) terjadi di ICU, sedangkan 25 dari 36 kematian pada kelompok salin (69,4%). Pada pasien dengan cedera otak traumatik yang parah (GCS skor, 3-8), 61 dari 146 pasien dalam kelompok albumin (41,8%) telah meninggal pada 24 bulan dibandingkan dengan 32 dari 144 dalam

kelompok salin (22,2%) (risiko relatif , 1,88, 95% CI, 1,31-2,70, P <0,001). Pada pasien yang tersisa (cedera otak traumatik sedang, skor GCS, 9-12), 8 dari 50 pasien dalam kelompok albumin (16,0%) telah meninggal pada 24 bulan dibandingkan dengan 8 dari 37 pada kelompok salin (21,6%) ( risiko relatif, 0,74, 95% CI, 0,31-1,79, P = 0,50). Penyesuaian untuk kovariat awal tidak mengubah temuan penelitian. Membandingkan kelompok albumin dengan kelompok salin, odds rasio yang ditemukan kematian pada 24 bulan adalah 1,70 (95% CI, 1,03-2,83, P = 0,04). Di antara pasien dengan cedera otak traumatik yang berat, odds rasio yang ditemukan kematiannya adalah 2,38 (95% CI, 1,33-4,26, P = 0,003), antara pasien dengan cedera otak traumatik moderat, odds rasio yang ditemukan adalah 0,38 (95% CI, 0,10 menjadi 1,49, P = 0,17). Kami mengamati secara signifikan lebih sedikit hasil perbaikan neurologis yang baik dalam 24 bulan pada kelompok albumin (96 dari 203 [47,3%]) dibandingkan kelompok salin (120 dari 198 [60,6%]) (risiko relatif, 0,78, 95% CI, 0,65-0,94 , P = 0,007). Demikian pula, terjadi lebih sedikit perbaikan neurologis yang baik pada pasien dengan cedera otak traumatik berat pada kelompok albumin (51 dari 139 [36,7%]) dibandingkan kelompok salin (77 dari 140 [55,0%]) risiko relatif, 0,67; 95% CI, 0,51-0,87, P = 0,002). Jumlah lebih kecil dari hasil akhir yang baik diamati pada kelompok albumin karena memiliki tingkat kematian yang lebih besar, sedangkan hasil akhir fungsional pada pasien yang bertahan serupa pada kedua kelompok (risiko relatif, 0,95, 95% CI, 0,83-1,08, P = 0,41). Probabilitas angka bertahan hidup berbeda secara signifikan dalam kelompok albumin dan kelompok salin (P = 0,007) (Gambar 2).

Diskusi Kami melakukan penelitian post hoc follow up pasien dengan cedera otak yang direkrut ke dalam penelitian SAFE. Karakteristik awal demografi dan keparahan cedera otak serupa pada pasien yang mendapatkan salin dan mereka yang mendapatkan albumin untuk resusitasi cairan. Kami menetapkan kematian dan hasil akhir fungsional pada 24 bulan dan menemukan bahwa tingkat kematian lebih tinggi secara signifikan pada pasien yang memperoleh albumin dibandingkan mereka yang memperoleh salin. Perbedaan tersebut adalah karena tingkat kematian yang lebih tinggi dalam waktu 28 hari setelah pengacakan dalam subkelompok pasien dengan cedera otak traumatik yang parah (GCS skor, 3 sampai 8) yang diberikan albumin. Penelitian kami besar, perbandingan tersamar-ganda terapi cairan pada pasien dengan cedera otak traumatik, penelitian ini memiliki sejumlah kekuatan methodologic. Pasien dengan cedera otak traumatik diidentifikasi sama seperti dalam studi SAFE. Kami mempertahankan pengobatan tersamar selama periode penelitian dan mencapai tingkat penyelesaian tindak lanjut 2 tahun lebih dari 90%. Ini lebih baik dibandingkan dengan studi lain yang menilai tingkat kecacatan setelah cedera otak traumatik, di mana

rata-rata kehilangan tindak lanjut adalah 19%. Kami mampu menyesuaikan analisis kami menggunakan kovariat dasar klinis yang relevan. Angka kematian di antara pasien yang memperoleh albumin dalam penelitian ini konsisten dengan tingkat kematian yang sama dari studi epidemiologi internasional. Penelitian ini dirancang post hoc, dan beberapa data dikumpulkan secara retrospektif. Masih tetap mungkin bahasan hasil kami menunjukan kemungkinan menemukan subkelompok.
Tabel 2. Pemberian cairan dan efek physiologi pengobatan

Nilai Plus-minus (mean SD). Karena pembulatan, tidak semua persentase total 100. Nilai P untuk membandingkan nilai rata-rata setiap variabel yang di berikan pada waktu tertentu

Tabel 3. Hasil primer dan skunder

Skala koma Glasgow (GCS), Skala Outcome Glasgow (GOS),

dimana terdapat 8 indikasi minimal atau

ketidakmampuan dan 1 indikasi kematian. Skor GOS 5-8 dipertimbangkan kearah yang baik.

Sebelum penelitian kami, percobaan acak terkontrol yang lain meneliti efek dari pilihan cairan resusitasi terhadap hasil akhir dari cedera otak traumatik. Dalam percobaan tersamar ganda tersebut, dosis tunggal salin hipertonik dibandingkan dengan salin isotonik untuk resusitasi pra-rumah sakit pasien

dengan cedera otak traumatik. Penelitian ini tidak mengidentifikasi perbedaan hasil jangka panjang neurologis. Strategi pemberian cairan berbasis kristaloid lebih disukai dalam protokol resusitasi trauma, meskipun bukti yang mendukung strategi ini dalam kasus-kasus cedera otak terbatas. Sebagian besar protokol didasarkan pada pendekatan pragmatis untuk resusitasi, pada asumsi bahwa pemulihan cepat volume sirkulasi darah dan pencegahan hipotensi dapat mempercepat perbaikan pada pasien dengan cedera otak. Penggunaan larutan kristaloid hipertonik juga telah diusulkan untuk meningkatkan osmolalitas plasma dan penurunan edemaa otak. Strategi resusitasi cairan berbasis koloid, termasuk penggunaan albumin, didasarkan pada prinsipprinsip fisiologis, dengan tujuan mempertahankan atau menambah tekanan plasma onkotik untuk meminimalkan ekstravasasi cairan intravaskuler ke interstitium otak. Studi pada hewan, sejauh ini telah menunjukkan efek albumin yang samar dalam memodulasi pergeseran cairan intrakranial dalam model cedera otak traumatik dan stroke. Laporan kasus serial longitudinal satu pusat melaporkan berkurangnya kematian setelah mengadakan strategi pengobatan yang mencakup pemberian albumin. Baru-baru ini, penulis yang sama telah melaporkan peningkatan jumlah pasien yang memiliki hasil neurologis yang tidak menguntungkan setelah menggunakan strategy ini.

Gambar 2. Kaplan-Meier Perkiraan kemungkinan bertahan hidup Gambar ini menunjukkan kemungkinan bertahan hidup selama 28 hari (Gambar A) dan pada 24 bulan (Gambar B) pada pasien dengan cedera otak traumatik yang menerima albumin dan yang menerima salin. P = 0,007 untuk masing-masing dengan uji log-rank.

Penelitian kami menyediakan data post hoc untuk memandu pilihan resusitasi cairan pada pasien dengan cedera otak traumatik, namun mekanisme biologis untuk perbedaan yang diamati dalam peristiwa kematian masih belum jelas. Karena tidak ada perbedaan pada titik akhir resusitasi atau penyebab dan waktu kematian antara dua kelompok, satu mekanismenya mungkin eksaserbasi edemaa serebral vasogenic atau sitotoksik disebabkan oleh pemberian albumin. Tekanan intrakranial awal cenderung lebih tinggi pada kelompok albumin, walaupun perbedaan ini tidak substansial. Besarnya peningkatan tekanan intrakranial mungkin juga tertutupi oleh intervensi terapi yang beberapa di antaranya mungkin memiliki efek samping. Selain itu, kami menetapkan hipertensi intrakranial pasca-pengacakan sebagai tekanan intrakranial yang melebihi 30 mm Hg untuk dua bacaan berturut-turut minimal 30 menit secara terpisah, dan itu artinya kemungkinan bahwa perbedaan dalam derajat hipertensi intrakranial yang lebih rendah mungkin bisa terjadi dan bisa menjelaskan perbedaan dalam hasil pengamatan kami. Analisis rinci lebih lanjut tentang mekanisme biologis yang berhubungan dengan hipertensi intrakranial diperlukan. Sebagai kesimpulan, dalam penelitian kami membandingkan albumin dengan salin untuk resusitasi cairan intravaskuler di ICU, angka kematian yang lebih tinggi diamati di antara pasien dengan cedera otak traumatik berat yang menerima 4% albumin dibandingkan mereka yang menerima salin. Temuan ini menunjukkan bahwa salin lebih baik dibandingkan albumin selama resusitasi akut pasien dengan cedera otak traumatik berat.

TINJAUAN PUSTAKA

TINJAUAN PUSTAKA Trauma dapat menyebabkan kerusakan pada berbagai macam jaringan dan organ tubuh, diantaranya pembuluh darah. Akibat kerusakan jaringan dan organ tubuh ini dapat terjadi gangguan hemodinamik. Kabanyakan penderita trauma akan mengalami syok hipovolemik, tetapi mungkin juga menderita syok kardiogenik, neurogenik, dan bahkan syok septik. (Kresnoadi, Erwin. 2010) Trauma jaringan akan berakibat pada terjadinya sindrom respon inflamasi sistemik (SIRS), pelepasan mediator yang menyebabkan peningkatan permiabilitas vaskuler dan edema jaringan. Selain itu yang lebih penting adalah bahwa perdarahan yang berlangsung akan menyebabkan berkurangnya volume intravena. Redistribusi cairan awal yang terjadi setelah trauma berkaitan dengan tingginya tingkat trauma yang terjadi dan iskemia oleh karena banyaknya darah yang hilang saat berlangsungnya trauma.(Kresnoadi, Erwin. 2010) Disamping pemilihan cairan yang tepat, monitoring sangat berperan. Monitor yang diperlukan antara lain jumlah urin, keadaan mental pengisian kapiler, warna kulit, suhu dan laju nadi. Sedangkan evaluasi lanjutan diperlukan kadar laktat, asam basa, konsumsi oksigan dan saturasi oksigen vena campuran.( Marino, Paul L. 2007) Resusitasi cairan dimulai bila tanda dan gejala kehilangan darah nampak atau diduga ada, bukan bila tekanan darah menurun atau sudah tidak terdeteksi. Beberapa faktor akan sangat mengganggu penilain respon hemodinamik terhadap perdarahan. Faktor-faktor itu meliputi : Usia penderita Parahnya cedera ( trauma ) yang memerlukan perhatian khusus bagi jenis dan anatomi cederanya Rentang waktu antara cedera dan permulaan terapi Obat obat yang sebelumnya sudah diberikan karena ada penyakit kronis

Sehingga sangat berbahaya untuk menunggu sampai ada tanda-tanda yang jelas untuk memulai resusitasi. (Kresnoadi, Erwin. 2010) Terdapat tiga tipe cairan resusitasi yaitu cairan yang mengandung sel darah merah ( whole blood dan packed cells) dimana cairan ini akan meningkatkan kapasitas bawaan oksigen darah. Cairan yang kedua adalah cairan yang mengandung molekul berukuran besar dengan keterbatasan gerak keluar dari ruang vaskular (Koloid : Plasma, albumin, dekstran, hetastarch) yang meningkatkan volume intravaskular

dan efektif untuk meningkatkan Kardiac Output. Tipe cairan yang ketiga adalah cairan yang mengandung elektrolit dan molekul kecil lain yang dapat bergerak bebas pada ruang ekstraseluler dan merupakan pilihan untuk meningkatkan volume cairan interstisial (Kristaloid : Salin, Ringer laktat, dan normosol). (Marino, Paul L. 2007) Pada pasien dengan perdarahan kurang dari 1500cc, terapi cairan yang dilakukan adalah dengan kristaloid, sedangkan apabila melebihi 1500cc dapat ditambahkan produk darah biasanya dengan whole blood.Cairan kristaloid seperti ringer laktat atau NaCl 0,9% dapat digunakan untuk hipovolemia dan gangguan elektrolit. Tujuan terapi ini adalah meningkatkan MAP menjadi 70 mmHg melalui infus cairan kristaloid hangat sebanyak 1000-2000ml. Koloid biasa digunakan dengan jumlah lebih sedikit daripada cairan kristaloid karena koloid merupakan cairan yang bersifat hipertonik. Selain itu, efek volume intravaskular kristaloid jauh lebih singkat daripada efek koloid karena kristaloid dengan mudah didistribusikan ke cairan ekstraseluler, hanya sekitar 20% elektrolit yang dibiarkan tinggal di ruang intravaskular.(Setyohadi, Bambang. 2011) Kristaloid dengan kadar isotonik Na+ dan koloid kedua-duanya dapat digunakan untuk ekspansi ruang intravaskular. Hal yang perlu diingat adalah bahwa untuk ekspansi ruang intravaskular diperlukan lebih banyak kristaloid daripada koloid, dan untuk ekspansi ruang intravaskular dengan kristaloid diperlukan waktu lebih lama, kristaloid lebih murah, dan koloid memiliki resiko reaksi imunologis. (Kresnoadi, Erwin. 2010) Perkiraan jumlah kehilangan cairan dan darah memberikan pegangan untuk mempertimbangkan jumlah cairan dan darah pasien yang dibutuhkan. Perkiraan jumlah total kristaloid yang dibutuhkan untuk mengganti setiap milliliter kehilangan darah adalah dengan 3ml cairan kristaloid yang kemudian akan mengganti kehilangan volume plasma ke dalam ruang interstisial dan intraseluler. Perlu diingat bahwa sangat penting untuk melakukan penilaian ulang respon pasien terhadap resusitasi cairan dan bukti adanya perfusi dan oksigenasi organ yang adekuat.Hal-hal yang perlu untuk dievaluasi sepertitanda vital, output urin, dan keseimbangan asam basa. ( Marino, Paul L. 2007. Setyohadi, Bambang. 2011)

A. Jenis Cairan 1. Kristaloid Cairan yang mengandung zat dengan berat molekul rendah ( < 8000 Dalton ), dengan atau tanpa glukosa. Cairan ini dapat berbentuk larutan isotonik atau hipertonik. Cairan isotonis akan bergerak bebas didalam kompartemen intravaskular dan interstisial namun tidak menyebabkan pergeseran intrasel. Cairan ini dapat efektif mengganti cairan interstisial yang bergeser. Cairan hipertonik dapat menyebabkan redistribusi cairan intrasel kedalam kompertemen ekstraseluler. (Kresnoadi, Erwin. 2010)

Keuntungan secara teoritis dari cairan hipertonis adalah jumlah yang diperlukan untuk resusitasi sedikit. Efek osmotik, efek inotropik dan efek vasodilatasi langsung cairan salin hipertonik akan meningkatkan MAP, CO dan meningkatkan aliran darah ginjal, mesenterium, serta pembuluh darah koroner dengan cara vasodilatasi perifer. Namun untuk dapat bekerja efektif, cairan ini harus melewati paru-paru, sehingga akan memicu reseptor osmolar ,sehinga hal ini dapat juga menjadi predesposisi perdarahan yang banyak dari pembuluh darah yang telah terbuka. Dapat juga menyebabkan hipernatremia dan hiperkloremia dengan hasil akhir asidosis metabolik. (Kresnoadi, Erwin. 2010. Bilkovski, Robert. 2004) Berdasarkan kandungan elektrolitnya cairan kristaloid dibagi menjadi dua golongan : (Kresnoadi, Erwin. 2010) Mengandung elektrolit: ringer laktat, ringer solution, NaCl 0,9%, Tidak mengandung elektrolit: dekstrose 5% dan 10%

2. Koloid Cairan yang mengandung zat dengan berat molekul tinggi (> 8000), tekanan onkotik tinggi sehingga sebagian besar akan tinggal di ruang intravaskular. Koloid pertama kali diperkenalkan oleh Starling. Koloid berasal dari tanaman gumacacia yang digunakan pada perang dunia I, sedangkan darah dan komponennya digunakan pada perang dunia II. Albumin kemudian banyak digunakan, namun karena harganya yang mahal kemudian mendorong berkembangnya koloid sintetis seperti dekstran, gelatin dan hetastarches. Pengganti darah dikembangkan untuk mencari cairan pembawa oksigen yang non antigenic dan bebas pembawa penyakit. Tersedia tiga produk berbahan dasar hemoglobin: (Kresnoadi, Erwin. 2010) 1. Stroma bebas hemoglobin 2. Stroma modifikasi bebas hemoglobin 3. Hemoglobin yang terlingkupi dalam liposom Hemoglobin pembawa O2 (HbOc ) dari darah sapi atau darah manusia yang sudah ekspire masih dalam penilitian. Contoh cairan koloid adalah : Albumin, Plasma Protein Function, Dextran, Hetastarches, red blood cell.

3. Cairan khusus Cairan yang dipergunakan untuk koreksi atau indikasi khusus seperti NaCl 3%, bic-nat, manitol. Resusitasi cairan dapat meningkatkan edemaa interstitial, dimana akan meningkatkan trauma perfusi ke dalam membrane interstitial kapiler. Hal ini mengakibatkan kanaikan tekanan onkotik pada ruang ekstraseluler dan yang paling bertanggung jawab untuk hal ini adalah glukosa. Edemaa jaringan jarang sekali mengancam nyawa namun dapat menurunkan oksigenasi jaringan, menunda penyembuhan dapat mengakibatkan sepsis. Tujuan utama dari terapi cairan menjamin suplai oksigen yang mencukupi. (Kresnoadi, Erwin. 2010) Respon pasien untuk resusitasi awal ini akan menentukan terapi selanjutnya, terdapat tiga pola respon resusitasi cairan yaitu : (Kresnoadi, Erwin. 2010) 1. Respon cepat : respon cepat dan hemodinamis stabil. Penderita kelompok ini memberikan respon terhadap bolus cairan awal dan hemodinamik tetap normal jika cairan awal selesai atau dilambatkan sampai kecepatan maintenance. Penderita ini biasanya kehilangan volume darah minimum ( < 20% ). Konsultasi pembedahan diperlukan selama penilaian dan terapi awal, karena intervensi operatif mungkin masih diperlukan. 2. Respon sementara: Respon awal baik kemudian dengan cepat memburuk oleh karena cairan akan semakin menurun dari kadar yang bisa dipertahankan. Respon hemodinamik akan berubah bila tetesan diperlambat karena kahilangan darah masih berlangsung. Jumlah kehilangan darah pada kelompok ini 20 40% volome darah. Pemberian cairan pada kelompok ini harus diteruskan, demikian pula pemberian darah. Respon terhadap pemberian darah menentukan penderita mana yang memerlukan operasi segera. 3. Tidak respon : gagal untuk respon terhadap kristaloid maupun darah. Kelompok ini tidak memberikan respon / respon minimal walaupun sudah diberikan darah dan cairan yang cukup. Tindakan operasi harus segara dilakukan. Walaupun sangat jarang namun harus diwaspadai kemungkinan syok non haemoragik seperti tamponade jantung atau kontusio miokard. Pemasangan CVP atau echocardiografi emergensi dapat membantu membadakan kedua kelompok ini. B. Tujuan resusitasi cairan adalah : (Kresnoadi, Erwin. 2010) Memulihkan volume sirkulasi darah Pada syok untuk memulihkan perfusi jaringan dan pengiriman oksigan pada sel sehingga tidak terjadi iskhemia jaringan hingga dapat menekan terjadinya gagal organ

Perlu pertimbangan lokasi distribusi air, garam dan protein plasma. Volume cairan pengganti yang diperlukan di tentukan oleh ruang distribusi Tergantung kadar koloid dan natrium cairan pengganti. Untuk resusitasi awal larutan elektrolit isotonis masih digunakan, jenis cairan ini mengisi

intravaskuler dalam waktu singkat dan juga menstabilkan volume vaskuler dengan cara menggantikan kehilangan cairan berikutnya kedalam ruang interstisial dan intraseluler. Larutan ringer Laktat adalah cairan pilihan pertama. NaCl fisiologis pilihan kedua, walaupun NaCl merupakan pengganti yang baik, namun cairan ini memiliki potensi untuk terjadinya asidosis hiperkhloremik, kemungkinan ini bertambah besar bila fungsi ginjalnya kurang baik. Perubahan langsung yang dapat diamati pada hemodilusi adalah anemia dan hipoalbunemia yang banyak dikaitkan dengan penyebab edema. Hal ini terjadi karena kadar eritrosit dan hemoglobinnya serta albumin menurun karena diencerkan. Plasma ekspander / substitusi seperti HAES, Gelatin dan dekstran dapat mempercepat naiknya tekanan darah, karena molekul dan air yang dibawanya tinggal lama di intra vaskuler. (Kresnoadi, Erwin. 2010)

C. Resusitasi Menggunakan Kombinasi Kristaloid dan Koloid Secara umum resusitasi kristaloid menyebabkan ekspansi ke ruang interstisial, sedang koloid yang bersifat hiperonkotik cendrung menimbulkan ekspansi ke volume intravaskular dengan meminjam cairan dari ruang interstisial. Koloid isoonkotik akan mengisi ruang intravaskular tanpa mengurangi volume interstisial. (Kresnoadi, Erwin. 2010) Secara fisiologis kristaloid akan menyebabkan edema dibanding koloid. Pada keadaan permiabilitas yang meningkat, ada kemungkinan koloid akan merembes kedalam ruang interstisial dan akan meningkatkan tekanan onkotik plasma. Keadaan ini akan menghambat kehilangan cairan selanjutnya dari sirkulasi. Kelebihan kristaloid dalam respon metabolik adalah meningkatkan pengiriman oksigen ke jaringan (DO2) dan konsumsi O2 ( VO2 ) serta menurunkan laktat serum. Parameter-parameter tersebut merupakan indikator untuk mengetahui prognosis pasien. (Kresnoadi, Erwin. 2010) Ketika menggunakan cairan kombinasi, kristaloid hipertonik dapat menarik air dari ruang interseluler dan komponen koloid akan memperpanjang efek menguntungkan cairan ini. Cairan salin hipertonis dextran 40 (HSD) akan mengekspansi plasma 3-4 kali dari volume yang diberikan. Kristaloid akan mengekspansi volume plasma kurang dari 30%. Namun beberapa penelitian memperlihatkan akan terjadi lebih banyak perdarahan pada kelompok ini. (Kresnoadi, Erwin. 2010)

Dalam menangani penderita dengan perdarahan kita harus menguasai beberapa langkah yang harus kita kerjakan: (Kresnoadi, Erwin. 2010) a) Pemeriksaan fisik Pemeriksaan fisik diarahkan kepada dIagnosis cedera yang mengancam nyawa dan meliputi penilaian dari ABCDE b) Akses pambuluh darah Harus segara mendapat akses ke sistem pembuluh darah. Tempat terbaik untuk jalur intravena orang dewasa adalah pembuluh darah lengan bawah.Kalau keadaan tidak memungkinkan, bisa di gunakan pembuluh darah sentral. Atau biasa dengan vena seksi pada vana safhana di kaki. Akses vena sentral juga dapat dipertimbangkan, tetapi harus dipertimbangkan juga komplikasi dari penempatan akses vena sentral. (Kresnoadi, Erwin. 2010) c) Terapi awal cairan Larutan elektrolit isotonik digunakan untuk resusitasi awal. Jenis cairan ini mengisi intravaskular dalam waktu singkat dan juga menstabilkan volume vaskular dengan cara menggantikan cairan berikutnya kedalam ruang intersisial dan intraselular. Larutan NaCl dan RL merupakan pilihan utama d) Evaluasi resusitasi cairan dan perfusi organ serta respon penderita e) Umum Pulihnya tekanan darah ke normal, tekanan nadi dan denyut nadi merupakan tanda positif yang menandakan bahwa perfusi sedang kembali ke normal. Namun pengamatan tersebut tidak memberi informasi tentang perfusi organ. Parbaikan pada status sistim saraf pusat dan peredaran darah kulit adalah bukti penting mengenai peningkatan perfusi. f) Produksi urine Dalam batas tertentu urin bisa digunakan sebagai pemantau aliran darah ginjal. Penggantian volume yang memadai seharusnya menghasilkan keluaran urin sekitar 0,5 ml / kg / jam pada dewasa, 1ml / kg / jam pada anak-anak, dan 2 ml / kg/jam untuk bayi (dibawah umur 1 tahun ) g) Keseimbangan asam basa Asidosis yang persisten biasanya akibat resusitasi yang tidak adekuat/ kehilangan darah terus menerus. Defisit basa yang diperoleh dari BGA dapat berguna untuk memperkirakan beratnya defisit perfusi yang akut.

e) Transfusi darah Pemberian transfusi darah Pemberian darah tergantung respon penderita terhadap pemberian cairan. Respon terhadap bolus cairan awal akan memberikan informasi tipe dan jumlah cairan tambahan yang diperlukan. Kadar Hb tidak dapat digunakan sebagai parameter diperlukannya transfusi. Transport O2 dan kunsumsi O2 harus juga dipertimbangkan. Efek hipovolemi harus dipisahkan dari anemi. (Kresnoadi, Erwin. 2010) Ada empat alasan utama untuk melakukan transfusi darah dan komponen darah dalam trauma adalah : (Kresnoadi, Erwin. 2010) 1. Perbaikan transport oksigen 2. Mengembalikan jumlah eritrosit 3. Koreksi perdarahan yang diakibatkan oleh disfungsi trombosit 4. Koreksi perdarahan yang diakibatkan difisiensi faktor perdarahan

D. Tujuan akhir resusitasi (Kresnoadi, Erwin. 2010) Kontrol terhadap perdarahan, pengembalian kembali volume darah yang bersirkulasi dan memberikan oksigenasi yang adekuat pada tingkat seluler masih merupakan perhatian utama bagi pasien trauma. Tidak ada tujuan akhir tunggal yang dapat mencukupi dan harus dipertimbangkan bersamaan dengan tanda vital yang lain. Tekanan darah dan denyut jantung merupakan indikator yang buruk bagi tingkat keparahan syok dan tidak berkoresponden baik dengan indeks jantung, walaupun parameter ini tercantum dalam ATLS (Advanced Trauma Life Support)). Sangat sulit untuk memantau volume darah, indeks jantung, dan DO2 (Oksigen pengirim) sebelum dan selama pemberian sejumlah besar cairan pada unit gawat darurat ataupun pada ruang oprasi. Variabel yang terkait dengan tingkat perfusi seperti kandungan oksigen A-V (arteri-vena), pH vena campuran, base excess arteri dapat juga memperkirakan survintravenaal dan kecukupan resusitasi. Hal tersebut dapat memberikan indikasi defisit oksigen dalam tubuh. Tingkat mortalitas meningkat seiring tingkat asidosis pada saat masuk dan 24 jam selanjutnya. Kadar laktat dapat dinormalkan dalam 24 jam, terdapat kemungkinan survintravenaal 100%, dan 75% jika normalisasi mkan waktu 48 jam. Tonometer gaster memberikan pemeriksaan indikator pengembalian aliran darah splanknikus. Pemantauan oksigen jaringan merupakan indikator lain yang baik. Aliran darah otot skelet menurun pada keadaan awal syok dan dapat dipulihkan selama resusitasi, membuat tekanan oksigen parsial merupakan indikator yang sensitif terhadap adanya aliran darah yang rendah. Jaringan subkutan merupakan area sensitif lainnya dimana konsumsi oksigen dapat dideteksi.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Latar Belakang Penelitian untuk mengevaluasi perbandingan cairan salin dengan cairan albumin pada pasien dengan cedera otak traumatik guna melihat cairan resusitasi mana yang lebih baik dari keduanya.

Metode Metode yang digunakan adalah dengan melanjutkan penelitian yang telah ada sebelumnya dengan metode post hoc follow up, dan beberapa data dikumpulkan secara retrospektif

Subjek Penelitian

Gambar 1. Deskripsi penjaringan subyek penelitian Gambar 1 menjelaskan tentang subyek penelitian dari awal sampai akhir penelitian. 515 pasien dengan cedera otak traumatik (yaitu pasien dengan riwayat trauma, terbukti adanya trauma kepala pada computed tomografi [CT] scan, dan skor Glasgow Coma Scale [GCS] 13)yang didapat dari:

o o o o

492 pasien dari penelitian SAFE(Salin albumin fluid evaluation) sebelumnya 23 dari tambahan pasien yang diidentifikasi oleh diagnosis APACHE II mereka dari cedera kepala yang tercatat masuk ke rumah sakit 255 pasien diberikan resusitasi albumin secara acak, 260 pasien diberikan salin secara acak Pada kelompok albumin 24 orang pasien dikeluarkan dari penelitian: 1 karena persetujuan 5 pasien karena tidak terklasifikasikan sebagai cedera otak traumatik (TBI) 8 pasien tidak masuk kriteria radiologinya 10 tidak sesuai dengan GCS

Pada kelompok salin 31 orang pasien dikeluarkan dari penelitian: 1 karena persetujuan 9 pasien karena tidak terklasifikasikan sebagai cedera otak traumatik (TBI) 11 pasien tidak masuk kriteria radiologinya 10 tidak sesuai dengan GCS

Pada kelompok albumin 231 pasien yang memenuhi kriteria dan telah di follow up, tetapi selama penelitian berjalan terdapat 17 pasien yang hilang dari follow up sehingga pasien yang bertahan sampai akhir sejumlah 214 orang

Pada kelompok salin 231 pasien yang memenuhi kriteria dan telah di follow up, tetapi selama penelitian berjalan terdapat 23 pasien yang hilang dari follow up sehingga pasien yang bertahan sampai akhir sejumlah 206 orang

Tabel 1. Karakteristik dasar subyek penelitian

Dari tabel diatas dijelaskan tentang karakteristik dasar dari subyek penelitian berupa dasar karakteristik demografi, skor keparahan cedera, variabel hemodinamik, dan variabel khusus untuk cedera otak serupa pada kedua kelompok.

Terdapat 160 pasien dalam kelompok albumin (69,3%) dan 158 pada kelompok salin (69,0%) yang memiliki cedera otak traumatik yang parah (GCS skor, 3 sampai 8). CT skor yang diperoleh untuk 213 pasien (92,2%) dan 207 (90,4%) dalam kelompok albumin dan salin berturut-turut. Nilai CT-scan dan proporsi pasien dengan perdarahan subarachnoid traumatik pada CT adalah serupa pada kedua kelompok, seperti kejadian hipotensi sebelum diacak.

Pada penelitian ini, penilaian CT scan dibagi dalam tiga kelompok yaitu: o Cedera Diffuse II merupakan semua cedera Diffuse yang terdapat basal cisterns dan pergeseran garis tengah otak kurang dari 5 mm dan tidak terdapat lesi yang tinggi atau berdensitas campuran yang lebih besar dari 25 ml. o Cedera Diffuse III termasuk semua semua cedera Diffuse yang menyebabkan peenekanan atau tidak ditemukannya basal cisterns dan menyebabkan pergeseran garis tengah kurang dari 5 mm dan tidak terdapat lesi yang tinggi atau berdensitas campuran yang lebih besar dari 25 ml. o Cedera Diffuse INTRAVENA termasuk semua cedera Diffuse dengan pergeseran garis tengah lebih dari 5 mm dan tidak terdapat lesi yang tinggi atau berdensitas campuran yang lebih besar dari 25 ml.

Secara keseluruhan, pemantauan tekanan intrakranial dilakukan pada 137 dari 203 pasien dalam kelompok albumin (67,5%) dan 147 dari 213 pasien dalam kelompok salin (69,0%). Pemantauan tekanan intrakranial dilakukan pada 104 dari 137 pasien dengan cedera otak traumatik yang parah pada kelompok albumin (75,9%) dan 114 dari 147 pasien dengan cedera otak traumatik yang parah dalam kelompok salin (77,6%). Nilai awal rata-rata ( SD) tekanan intrakranial adalah 15,0 12,9 mm Hg pada kelompok albumin dan 12,4 7,2 pada kelompok salin. Kejadian hipertensi intrakranial prerandomisation adalah serupa pada kedua kelompok.

A. HASIL Tabel 2. Pemberian cairan dan efek physiologi resusitasi

Tabel 3. Hasil primer dan skunder penelitian

Hasil utama yang diperoleh dalam 214 pasien pada kelompok albumin (92,6%) dan 206 pasien dalam kelompok salin (90,0%). Pada 24 bulan, 71 dari 214 pasien dalam kelompok albumin (33,2%) telah meninggal, dibandingkan dengan 42 dari 206 pasien dalam kelompok salin (20,4%) (risiko relatif, 1,63; 95% confidence interval [CI], 1,17 - 2,26, P = 0,003). Sebagian besar kematian terjadi pada 28 hari pada kedua kelompok: 61 dari 71 kematian pada kelompok albumin (85,9%) dibandingkan dengan 36 dari 42 kematian pada kelompok salin (85,7%) Proporsi pasien yang mati otak tidak tercatat. Cedera otak traumatik telah diidentifikasi sebagai penyebab utama kematian dalam 28 hari pada 46 dari 61 kematian pada kelompok albumin (75,4%) dan 30 dari 36 kematian pada kelompok salin (83,3%). Pada kelompok albumin, 50 dari 61 kematian (82,0%) terjadi di ICU, sedangkan 25 dari 36 kematian pada kelompok salin (69,4%).

Pada pasien dengan cedera otak traumatik yang parah (GCS skor, 3-8), 61 dari 146 pasien dalam kelompok albumin (41,8%) telah meninggal pada 24 bulan dibandingkan dengan 32 dari 144 dalam kelompok salin (22,2%) (risiko relatif , 1,88, 95% CI, 1,31-2,70, P <0,001). Pada pasien yang tersisa (cedera otak traumatik sedang, skor GCS, 9-12), 8 dari 50 pasien dalam kelompok albumin (16,0%) telah meninggal pada 24 bulan dibandingkan dengan 8 dari 37 pada kelompok salin (21,6%) ( risiko relatif, 0,74, 95% CI, 0,31-1,79, P = 0,50). Penyesuaian untuk kovariat awal tidak mengubah temuan penelitian. Membandingkan kelompok albumin dengan kelompok salin, odds rasio kematian pada 24 bulan adalah 1,70 (95% CI, 1,03-2,83, P = 0,04). Di antara pasien dengan cedera otak traumatik yang berat, odds rasio kematiannya adalah 2,38 (95% CI, 1,33-4,26, P = 0,003), antara pasien dengan cedera otak traumatik moderat, odds rasionya adalah 0,38 (95% CI, 0,10 menjadi 1,49, P = 0,17).

Gambar 2. Kaplan-Meier Perkiraan kemungkinan bertahan hidup

Gambar ini menunjukkan kemungkinan bertahan hidup selama 28 hari (Gambar A) dan pada 24 bulan (Gambar B) pada pasien dengan cedera otak traumatik yang menerima albumin dan yang menerima salin. P = 0,007 untuk masing-masing dengan uji log-rank.

Dari hasil penelitian ini, secara signifikan lebih baik hasil perbaikan neurologis dalam 24 bulan pada kelompok albumin (96 dari 203 [47,3%]) dibandingkan kelompok salin (120 dari 198 [60,6%]) (risiko relatif, 0,78, 95% CI, 0,65-0,94 , P = 0,007). Demikian pula, terjadi perbaikan neurologis yang baik pada pasien dengan cedera otak traumatik berat pada kelompok albumin (51 dari 139 [36,7%]) dibandingkan kelompok salin (77 dari 140 [55,0%]) risiko relatif, 0,67; 95% CI, 0,51-0,87, P = 0,002). Jumlah yang lebih kecil dari hasil yang lebih baik diamati pada kelompok albumin yang memiliki tingkat kematian yang lebih besar, karena hasil fungsional pada pasien yang bertahan serupa pada kedua kelompok (risiko relatif, 0,95, 95% CI, 0,83-1,08, P = 0,41). Probabilitas survintravenaal secara signifikan berbeda dalam albumin dan kelompok salin (P = 0,007) (Gambar 2).

B. PEMBAHASAN Dari penelitian follow up pasien post hoc dengan cedera otak yang direkrut ke dalam penelitian SAFE. Karakteristik awal demografi dan keparahan cedera otak serupa pada pasien yang mendapatkan salin dan mereka yang mendapatkan albumin untuk resusitasi cairan. Angka kematian dan hasil fungsional ditentukan setelah 24 bulan dan didapatkan bahwa tingkat kematian lebih tinggi secara signifikan pada pasien yang memperoleh albumin dibandingkan mereka yang memperoleh salin. Perbedaan tersebut adalah karena tingkat kematian yang lebih tinggi dalam waktu 28 hari setelah pengacakan dalam subkelompok pasien dengan cedera otak traumatik yang parah (GCS skor, 3 sampai 8) yang diberikan albumin. Hasil dari penelitian ini juga dapat memperkuat hasil temuan pada penelitian SAFE terhadap subyek penelitiannya yang tergolong dalam pasien trauma dimana terdapat bukti peningkatan jumlah kematian di antara pasien dengan cedera otak traumatik yang menerima albumin, walaupun pada penelitian SAFE itu signifikansi klinis dari hasil observasi pada pasien dengan cedera otak traumatik masih meragukan karena alasan studi SAFE tidak mengumpulkan data yang cukup rinci untuk menunjukkan bahwa berbagai faktor dasar yang diketahui mempengaruhi hasil akhir dari cedera otak traumatik adalah serupa pada pasien yang memperoleh perlakuan dengan albumin dan bagi mereka yang memperoleh salin. Dan juga karena hasil akhir utama dari penelitian SAFE bahwa tingkat kematian diukur dalam waktu 28 hari setelah pengacakan, sedangkan rekomendasi konsensus terakhir menyebutkan kematian dan hasil akhir fungsi neurologis dalam waktu antara 6 dan 24 bulan, sebagai ukuran hasil akhir yang tepat setelah cedera otak traumatik. Pilihan terapi cairan untuk resusitasi pada pasien trauma sampai saat ini masih kontroversi, dan berbagai pemeriksaan tentang hal ini masih belum memuaskan. Volume pengganti pada pasien trauma seharusnya tidak hanya bertujuan untuk meningkatkan volume sirkulasi intravaskuler, efek samping, efek

pada peradangan, perfusi dan oksigenasi jaringan harus dipertimbangkan juga. Cairan yang berbeda menunjukkan efek bervariasi pada volume kompartemen.

Tabel 4. Efek beberapa cairan terhadap kompartemen intravaskular, intersisial dan intrasel

Resusitasi cairan pada pasien cedera otak traumatik adalah untuk mencegah terjadinya hipotensi. Hipotensi adalah bila tekanan darah sistolik 90 mmHg. Terapi cairan diberikan untuk menunjang kinerja kardiovasular untuk mempertahankan tekanan perfusi serebral yang adekuat dan mengurangi terjadinya kerusakan otak skunder. Volume cairan yang tidak adekuat dapat mempresipitasi hipotensi mendadak sehingga harus dicegah. (Boldt, Joachim. 2008) Pada saat ini, kita hidup dari meta-analisis dan pengobatan berbasis bukti (EBM). Metaanalisis menyatukan informasi dari uji coba terkontrol secara acak dari intervensi yang sama, dan saat ini pilihan terapi sering berhubungan dengan hasil dari meta-analisis. (Boldt, Joachim. 2008) Meta-Analisiss: Kristaloid versus Koloid. (Boldt, Joachim. 2008) Dalam meta-analisis dari tahun 1989, penurunan angka kematian didokumentasikan ketika kristaloid digunakan pada pasien trauma. Dalam analisis ini, disertakan lima penelitian trauma, dua pada tahun 1981, masing-masing satu pada tahun 1979, 1978, dan 1977. Dalam meta-analisis oleh Schierhout dan Robertson pada tahun 1998, penggunaan koloid dikaitkan dengan peningkatan insiden kematian. Tujuh studi trauma dimasukkan dalam metaanalisis: tiga studi menggunakan larutan hipertonik / koloid, dua menggunakan albumin, sisanya yang lain menggunakan dekstran dan gelatin. Hasilnya 37 analisa penelitian, resusitasi dengan koloid dikaitkan dengan peningkatan 4% risiko absolut kematian (empat kematian ekstra untuk setiap 100 pasien yang diresusitasi). Dalam analisis EBM (evidence-based Medicine) Cochrane untuk penggantian volume pada tahun 1998, empat studi trauma dimasukkan, salah satunya tahun 1977, dua tahun 1978, dan satu pada 1983. Pesan dari analisis ini adalah bahwa EBM albumin "membunuh pasien kami" (untuk setiap 17 pasien yang diobati dengan albumin, ada 1 kematian tambahan). Hanya satu meta-analisis yang membedakan antara pasien trauma dan jenis lainnya (misalnya, operasi jantung, pasien perawatan kritis). Dalam analisis tahun 1999, empat penelitian trauma dimasukkan. Kempat penelitian ini sudah lebih dari 17 tahun. Campuran dari semua jenis koloid

dibandingkan dengan kristaloid berbasis resusitasi. Tidak ada perbedaan antara kedua strategi penggantian volume.

Jadi sampai saat ini masih belum ada konsensus mengenai pengobatan yang optimal dari hipovolemia pada pasien trauma. Kontroversi terus ada berkaitan dengan cairan yang paling tepat selama resusitasi trauma.

KESIMPULAN

Dari penelitian follow up pasien post hoc dengan cedera otak berat didapatkan tingkat kematian dan hasil fungsional yang ditentukan setelah 24 bulan lebih tinggi secara signifikan pada pasien yang memperoleh albumin dibandingkan mereka yang memperoleh salin. Strategi pemberian cairan berbasis kristaloid lebih disukai dalam protokol resusitasi trauma, meskipun bukti yang mendukung strategi ini dalam kasus-kasus cedera otak terbatas. Sebagian besar protokol didasarkan pada pendekatan pragmatis untuk resusitasi, pada asumsi bahwa pemulihan cepat volume sirkulasi darah dan pencegahan hipotensi dapat mempercepat perbaikan pada pasien dengan cedera otak. Penggunaan larutan kristaloid hipertonik juga dapat meningkatkan osmolalitas plasma dan menurunkan edemaa otak. Strategi resusitasi cairan berbasis koloid, termasuk penggunaan albumin, didasarkan pada prinsipprinsip fisiologis, dengan tujuan mempertahankan atau menambah tekanan plasma onkotik untuk meminimalkan ekstravasasi cairan intravaskuler ke interstitium otak. Pilihan terapi cairan untuk resusitasi pada pasien trauma sampai saat ini masih kontroversi, dan berbagai pemeriksaan tentang hal ini masih belum memuaskan. Volume pengganti pada pasien trauma seharusnya tidak hanya bertujuan untuk meningkatkan volume sirkulasi intravaskuler, efek samping, efek pada peradangan, perfusi dan oksigenasi jaringan harus dipertimbangkan juga. Cairan yang berbeda menunjukkan efek bervariasi pada volume kompartemen. Resusitasi cairan pada pasien cedera otak traumatik adalah untuk mencegah terjadinya hipotensi. Hipotensi adalah bila tekanan darah sistolik 90 mmHg. Terapi cairan diberikan untuk menunjang kinerja kardiovasular untuk mempertahankan tekanan perfusi serebral yang adekuat dan mengurangi terjadinya kerusakan otak skunder. Volume cairan yang tidak adekuat dapat mempresipitasi hipotensi mendadak sehingga harus dicegah. Hasil meta-analisis dan pengobatan berbasis bukti (EBM). Meta-analisis menyatukan informasi dari uji coba terkontrol secara acak dari intervensi yang sama, dan meta-analisis yang ada sebelumnya menemukan bahwa terjadi penurunan angka kematian pada pasien yang memperoleh resusitasi dengan kristaloid.

DAFTAR PUSTAKA

Boldt, Joachim. 2008. Fluid Choice for Resuscitation in Trauma. International Trauma Care (ITACCS): Ludwigshafen, Germany Bilkovski, Robert N. dkk. 2004. Targeted resuscitation strategies after injury. Lippincott Williams & Wilkins: USA. Kresnoadi, Erwin. 2010. Penggunaan Cairan Koloid Untuk Resusitasi Pada Kasus Perdarahan Akut. FK Unram: Mataram. Kresnoadi, Erwin. 2010. Resusitasi Perdarahan Pada Trauma. Fk Unram: Mataram Marino, Paul L. 2007. ICU Book, The, 3rd Edition. Lippincott Williams & Wilkins: New York. Moppett. 2007. Traumatik brain injury: assessment, resuscitation and early management. British Journal of Anaesthesia: Nottingham , UK. Setyohadi, Bambang. 2011. EIMED PAPDI Kegawat Daruratan Penyakit Dalam. Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. FK UI: Jakarta. .

You might also like