You are on page 1of 19

LAPORAN PENDAHULUAN

STROKE HEMORAGIC

LAPORAN PRAKTIK PROFESI NERS


KEPERAWATAN GAWAT DARURAT

Oleh :
RETYANINGSIH IDA YANTI
NIM 22020113210006

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI NERS


PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNDIP
SEMARANG
2014

LAPORAN PENDAHULUAN
STROKE HEMORAGIK
I. Definisi
Menurut WHO stroke adalah gangguan fungsional otak sebagian
atau menyeluruh yang timbul secara mendadak dan akut yang berlangsung
lebih dari 24 jam, yang disebabkan oleh gangguan peredaran darah otak.
(Junaidi, 2004). Stroke adalah penyakit gangguan fungsional otak fokal
maupun global akut dengan gejala dan tanda sesuai bagian otak yang
terkena, yang sebelumnya tanpa peringatan; dan dapat sembuh sempurna,
sembuh dengan cacat, atau kematian, yang diakibatkan oleh gangguan
aliran darah ke otak karena perdarahan ataupun non perdarahan (Junaidi,
2004). Stroke adalah suatu penyakit defisit neurologis akut yang
disebabkan oleh gangguan pembuluhan darah otak, terjadi secara
mendadak dan menimbulkan gejala atau tanda yang sesuai dengan daerah
otak yang terganggu (Bustan, 2007).
Stroke hemoragik adalah disfungsi neurologi fokal yang akut dan
disebabkan oleh perdarahan primer substansi otak yang terjadi secara
spontan bukan oleh karena trauma kapitis, disebabkan oleh karena
pecahnya pembuluh arteri, vena dan kapiler. (Djoenaidi Widjaja et. al,
1994). Stroke hemoragik adalah stroke yang disebabkan perdarahan
intrakranial non traumatik. Perdarahan intrakranial yang sering terjadi
adalah perdarahan intraserebral (PIS) dan perdarahan subarakhnoid (PSA).
II. Etiologi
Stroke disebabkan adanya sumbatan di pembuluh darah arteri
karena thrombus atau emboli dan juga disebabkan oleh terjadinya
perdarahan karena hipertensi, aneurisma yang pecah atau AVM
( ArterioVenous Malformation ).
Faktor-faktor resiko stroke dapat dikelompokkan sebagai berikut:
A. Faktor Resiko yang tidak dapat dimodifikasi
1. Umur

Semakin meningkatnya umur seseorang, maka risiko untuk terkena


stroke juga semakin meningkat. Risiko stroke meningkat sebesar
20% pada usia 45-55, 32% pada usia 55-64, dan 83% pada usia 6574 tahun.
2. Jenis Kelamin
Kejadian stroke lebih sering terjadi pada laki-laki dibandingkan
pada wanita.
3. Riwayat Penyakit Keluarga
Keluarga yang pernah mengalami serangan stroke dapat menjadi
faktor risiko untuk terserang stroke juga (Wahjoepramono, 2005).
4. Ras
Orang kulit hitam memiliki insiden sroke lebih tinggi dibandingkan
dengan orang kulit putih (Wahjoepramono, 2005). Di Indonesia,
suku Batak dan Padang lebih rentan terserang stroke dibandingkan
dengan suku Jawa, hal ini disebabkan oleh pola dan jenis makanan
yang lebih banyak mengandung kolesterol (Depkes, 2007)
B. Faktor risiko yang dapat dimodifikasi
1.

Akibat adanya kerusakan arteri yaitu: hipertensi, DM

2.

Penyebab timbulnya trombosis: polycitemia

3.

Penyebab emboli: MCI, kelainan katub, heart rate tidak teratur,


penyakit jantung

4.

Penyebab hemoragik: tekanan darah terlalu tinggi, aneurisma arteri,


penurunan faktor pembekuan darah (leukemia, pengobatan
antikoagulan)

5.

Bukti yang menyatakan kerusakan arteri sebelumnya: PJK seperti


angina, TIA.

6.

Faktor resiko lainnya adalah : Merokok, penggunaan obat-obatan


( Kokain), konsumsi alkohol,

obesitas, stress, hiperkolesterol,

hiperlipoprotein, hiperlipidemia, riwayat Stroke, TIA, peminum


alcohol, penghentian obat-obatan antihipertensi secara mendadak
III. Pathofisiologi

Otak merupakan jaringan yang memiliki tingkat metabolisme paling


tinggi. Aliran darah yang membawa glukosa dan oksigen ke otak sangat
penting bagi kehidupan dan metabolisme sel-sel otak. Sel otak yang tidak
dialiri aliran darah yang membawa glukosa dan oksigen dapat rusak
bahkan menjadi mati. Ada beberapa kelainan yang diduga merupakan
penyebab stroke. Akan tetapi arterosklerosis diduga sebagai penyebab
primer dari penyakit stroke. Arterosklerosis merupakan kumpulan
perubahan patologis pada pembuluh darah arteri, seperti hilangnya
elastisitas dan menyempitnya lumen pembuluh darah (Junaidi, 2004).
Proses arterosklerosis ini lebih mudah terjadi pada pembuluh darah arteri
karena arteri lebih banyak memiliki sel otot polos dibandingkan vena dan
sel otot polos tadi lebih banyak membentuk kumpulan plak arterosklerosis
(Junaidi, 2004). Resiko arterosklerosis berhubungan dengan kadar LDL
dalam darah yang meningkat, yang berasal dari katabolisme VLDL dan
mengangkut 70% kolesterol serum total.
Secara klinis, stroke dibagi menjadi 2 yaitu :
1. Stroke Iskemia, dibagi juga menjadi stroke trombotik, yang disebabkan
oleh thrombus dan stroke embolik, yang disebabkan oleh embolus
2. Stroke Hemoragik, adalah stroke yang disebabkan oleh pecahnya
pembuluh darah sehingga menyebabakan terjadinya perdarahan
jaringan

otak

maupun

ruangan

otak

(ventrikuler,

di

subdural,

subarahnoid)
Ada dua bentuk Stroke hemoragik
a. Perdarahan Intra Serebral (PIS)
Pecahnya pembuluh darah otak terutama karena hipertensi
mengakibatkan darah masuk ke dalam jaringan otak, membentuk
massa

atau

hematom

yang

menekan

jaringan

otak

dan

menimbulkan oedema di sekitar otak. Peningkatan TIK yang


terjadi dengan cepat dapat mengakibatkan kematian yang
mendadak karena herniasi otak. Perdarahan intra cerebral sering

dijumpai di daerah putamen, talamus, sub kortikal, nukleus


kaudatus, pon, dan cerebellum.
Hipertensi kronis mengakibatkan perubahan struktur dinding
permbuluh darah berupa lipohyalinosis atau nekrosis fibrinoid.
b. Perdarahan sub arachnoid (PSA)
Pecahnya pembuluh darah karena aneurisma atau AVM.
Aneurisma paling sering didapat pada percabangan pembuluh
darah besar di sirkulasi willisi. AVM dapat dijumpai pada jaringan
otak dipermukaan pia meter dan ventrikel otak, ataupun didalam
ventrikel otak dan ruang subarakhnoid.
Pecahnya arteri dan keluarnya darah ke ruang subarakhnoid
mengakibatkan tarjadinya peningkatan TIK yang mendadak,
meregangnya struktur peka nyeri, sehinga timbul nyeri kepala
hebat. Sering pula dijumpai kaku kuduk dan tanda-tanda
rangsangan selaput otak lainnya. Peningkatam TIK yang mendadak
juga mengakibatkan perdarahan subhialoid pada retina dan
penurunan

kesadaran.

Perdarahan

subarakhnoid

dapat

mengakibatkan vasospasme pembuluh darah serebral. Vasospasme


ini seringkali terjadi 3-5 hari setelah timbulnya perdarahan,
mencapai puncaknya hari ke 5-9, dan dapat menghilang setelah
minggu ke 2-5. Timbulnya vasospasme diduga karena interaksi
antara bahan-bahan yang berasal dari darah dan dilepaskan
kedalam cairan serebrospinalis dengan pembuluh arteri di ruang
subarakhnoid. Vasospasme ini dapat mengakibatkan disfungsi otak
global (nyeri kepala, penurunan kesadaran) maupun fokal
(hemiparese, gangguan hemisensorik, afasia danlain-lain).
Otak dapat berfungsi jika kebutuhan O2 dan glukosa otak
dapat terpenuhi. Energi yang dihasilkan didalam sel saraf hampir
seluruhnya melalui proses oksidasi. Otak tidak punya cadangan O2
jadi kerusakan, kekurangan aliran darah otak walaupun sebentar
akan menyebabkan gangguan fungsi. Demikian pula dengan

kebutuhan glukosa sebagai bahan bakar metabolisme otak, tidak


boleh kurang dari 20 mg% karena akan menimbulkan koma.
Kebutuhan glukosa sebanyak 25 %

dari seluruh kebutuhan

glukosa tubuh, sehingga bila kadar glukosa plasma turun sampai 70


% akan terjadi gejala disfungsi serebral. Pada saat otak hipoksia,
tubuh berusaha memenuhi O2 melalui proses metabolik anaerob,
yang dapat menyebabkan dilatasi pembuluh darah otak.
IV. Manifestasi Klinik
Tanda dan gejala yang muncul sangat tergantung dengan daerah otak yang
terkena (Junaidi, 2004):
1. Adanya serangan defisit neurologis/kelumpuhan fokal
2. Suka bicara tidak lancar dan tidak jelas
3. Tidak memahami pembicaraan orang lain
4. Pengaruh terhadap status mental: tidak sadar, konfus, lupa tubuh
sebelah
5. Pengaruh secara fisik: paralise, disfagia, gangguan sentuhan dan
sensasi, gangguan penglihatan, kesulitan mendengar, menelan,
6. Pengaruh terhadap komunikasi: bicara tidak jelas, kehilangan bahasa
Dilihat dari bagian hemisfer yang terkena tanda dan gejala dapat berupa:
Hemisfer kiri
Mengalami hemiparese kanan

Hemisfer kanan
hemiparese sebelah kiri tubuh

Perilaku lambat dan hati-hati

penilaian buruk

Kelainan lapang pandang kanan

mempunyai kerentanan terhadap

Disfagia global

sisi

Afasia

memungkinkan terjatuh ke sisi

Mudah frustasi

yang berlawanan tersebut

V. Pemeriksaan Penunjang

kontralateral

sehingga

1. Laboratorium :
Pe Hb, Ht biasa menyertai pada stroke yang berat
Pe Leukosit menandakan selain adanya infeksi juga stress fisik
ataupun terjadi kematian jaringan
PT / PTT untuk melihat fungsi pembekuan darah sebelum pemberian
terapi antikoagulan
Lumbal Pungsi dilakukan bila tidak ada peningkatan TIK, untuk
melihat adanya perdarahan subarahnoid, ditandai dengan adanya
darah pada cairan CSF dari lumbal pungsi
2. Radiografi:
CT Scan, untuk melihat adanya edema, hematoma, iskemi dan infark
MRI : menunjukkan daerah yang mengalami infark, hemoragik, dan
adanya AVM
Angiografi serebral : menentukan penyebab stroke secara spesifik,
seperti perdarahan, oklusi, rupture, obstruksi
Rontgen Kepala : menggambarkan perubahan kelenjar lempeng
pineal daerah yang berlawanan dari massa yang meluas, kalsifikasi
karotis interna.
VI. PENGKAJIAN PRIMER
1. Airway: pengkajian mengenai kepatenan jalan. Kaji adanya obstruksi
pada jalan napas karena dahak, lendir pada hidung, atau yang lain.
2. Breathing: kaji adanya dispneu, kaji pola pernapasan yang tidak
teratur, kedalaman napas, frekuensi pernapasan, ekspansi paru,
pengembangan dada.
3. Circulation: meliputi pengkajian volume darah dan kardiac output serta
perdarahan. Pengkajian ini meliputi tingkat kesadaran, warna kulit,
nadi, dan adanya perdarahan.
4. Disability: yang dinilai adalah tingkat kesadran serta ukutan dan reaksi
pupil.

5. Exposure/ kontrol lingkungan: penderita harus dibuka seluruh


pakaiannya.
VII. PENGKAJIAN SKUNDER
Pengkajian sekunder adalah pemeriksaan kepala sampai kaki (head to toe)
termasuk reevaluasi pemeriksaan TTV.
1. Anamnesis
Setiap pemeriksaan yang lengkap memerlukan anamnesis mengenai
riwayat perlukaan. Riwayat AMPLE (alergi, medikasi, past illness,
last meal, event/environment) perlu diingat.
2. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik dimulai dengan evaluasi kepala akan adanya luka,
kontusio atau fraktuf. Pemeriksaan maksilofasialis, vertebra sevikalis,
thoraks, abdomen, perineum, muskuloskeletal dan pemeriksaan
neurologis juga harus dilakukan dalam secondary survey.
3. Reevaluasi
Monitoring tanda vital dan haluaran urin penting dilakukan.
4. Tambahan pada secondary survev
Selama secondary survey, mungkin akan dilakukan pemeriksaan
diagnostik yang lebih spesifik seperti foto tambahan dari tulang
belakang serta ekstremitas, CT-Scan kepala, dada, abdomen dan
prosedur diagnostik lain
5. Pengkajian kebutuhan dasar:
a. Aktivitas / istirahat :Merasa kesulitan melakukan kegiatan karena
kelemahan, kehilangan sensasi atau paralysis ( hemiplegia),
gangguan penglihatan, gangguan tingkat kesadaran
b. Sirkulasi :
Riwayat

penyakit

jantung,

polisitemia,

hipotensi

postural,

hipertensi arterial, frekuensi nadi yang bervariasi, disritmia,


perubahan irama EKG, Bruits pada arteri karotis, femoralis, iliaka
yang abnormal

c. Integritas Ego :
Perasaan tidak berdaya, putus asa, emosi yang labil, kesulitan
untuk mengekspresikan diri
d. Eliminasi :
Perubahan pola berkemih seperti inkontinensia urin, anuria,
distensi abdomen, bising usus bisa negatif
e. Makanan/cairan ;
Nafsu makan berkurang, mula muntah selama fase akut,
kehilangan sensasi pada lidah, pipi, tenggorokan, disfagia, adanya
riwayat DM, penngkatan lemak dalam darah, obesitas.
f. Neurosensori ;
5 area pengkajian neurologik yaitu :
1) Fungsi serebral meliputi status mental, fungsi intelektual, daya
pikir, status emosional, persepsi, kemampuan motorik,
kemampuan bahasa.
2) Fungsi syaraf cranial meliputi nervus cranial I sampai XII
3) Fungsi sensori meliputi sensasi taktil, sensasi nyeri dan suhu,
vibrasi dan propiosepsi, merasakan posisi, dan integrasi sensasi
4) Fungsi motorik meliputi ukuran otot, tonus otot, kekuatan otot,
keseimbangan dan koordinasi
5) Fungsi Refleks meliputi refleks brakoiradialis, patella, ankle,
kontraksi abdominal, dan babinski.
g. Nyeri / kenyamanan :
Sakit kepala, tingkah laku yang berbeda-beda, gelisah, ketegangan
otot
h. Pernafasan :
Riwayat merokok, ketidakmampuan menelan, membatukkan, nafas
tidak teratur, suara nafas ronkhi karena aspirasi
i. Keamanan :
Gangguan penglihatan, perubahan sensori persepsi, tidak mampu
mengenali objek, warna, kata dan wajah, gangguan respon

terhadap panas, dingin, kesulitan menelan, gangguan dalam


memutuskan.
j. Interaksi social ;
Masalah bicara, ketidakmampuan dalam berkomunikasi
k. penyuluhan / pembelajaran :
Adanya riwayat hipertensi pada keluarga, stroke, kecanduan
alcohol.
VIII. Diagnosa dan Rencana Keperawatan
1. Gangguan

perfusi

jaringan

otak

yang

berhubungan

dengan

perdarahan intra cerebral


a.

Tujuan :
Perfusi jaringan otak dapat tercapai secara optimal

b.

Kriteria hasil :
1) Klien tidak gelisah
2) Tidak ada keluhan nyeri kepala
3) GCS 4,5,6
4) Tanda-tanda vital normal(nadi : 60-100 kali permenit, suhu:
36-36,7 C, pernafasan 16-20 kali permenit)

c.

Rencana tindakan
1)

Berikan penjelasan kepada keluarga klien tentang sebabsebab gangguan perfusi jaringan otak dan akibatnya

2)

Anjurkan kepada klien untuk bed rest total

3)

Observasi dan catat tanda-tanda vital dan kelainan tekanan


intrakranial tiap dua jam

4)

Berikan posisi kepala lebih tinggi 15-30 dengan

letak

jantung (beri bantal tipis)


5)

Anjurkan klien untuk menghindari batuk dan mengejan


berlebihan

6)

Ciptakan lingkungan yang tenang dan batasi pengunjung

7)

Kolaborasi dengan tim dokter dalam pemberian obat

neuroprotektor
2. Gangguan

mobilitas

fisik

berhubungan

dengan

hemiparese/hemiplegia
a.

Tujuan :
Klien mampu melaksanakan aktivitas fisik sesuai dengan
kemampuannya

b.

Kriteria hasil
1) Tidak terjadi kontraktur sendi
2) Bertambahnya kekuatan otot
3) Klien menunjukkan tindakan untuk meningkatkan mobilitas

c.

Rencana tindakan
1) Ubah posisi klien tiap 2 jam
2) Ajarkan klien untuk melakukan latihan gerak aktif pada
ekstrimitas yang tidak sakit
3) Lakukan gerak pasif pada ekstrimitas yang sakit
4) Berikan papan kaki pada ekstrimitas dalam posisi
fungsionalnya
5) Tinggikan kepala dan tangan
6) Kolaborasi dengan ahli fisioterapi untuk latihan fisik klien

3. Gangguan persepsi sensori : perabaan yang berhubungan dengan


penekanan pada saraf sensori
a.

Tujuan :
Meningkatnya persepsi sensorik : perabaan secara optimal.

b.

Kriteria hasil :
1) Klien dapat mempertahankan tingakat kesadaran dan fungsi
persepsi
2) Klien mengakui perubahan dalam kemampuan untuk
meraba dan merasa
3) Klien dapat menunjukkan perilaku untuk mengkompensasi
terhadap perubahan sensori

c.

Rencana tindakan

1) Tentukan kondisi patologis klien


2) Kaji kesadaran sensori, seperti membedakan panas/dingin,
tajam/tumpul, posisi bagian tubuh/otot, rasa persendian
3) Berikan

stimulasi

terhadap

rasa

sentuhan,

seperti

memberikan klien suatu benda untuk menyentuh, meraba.


Biarkan klien menyentuh dinding atau batas-batas lainnya.
4) Lindungi klien dari suhu yang berlebihan, kaji adanya
lindungan yang berbahaya. Anjurkan pada klien dan
keluarga untuk melakukan pemeriksaan terhadap suhu air
dengan tangan yang normal
5) Anjurkan klien untuk mengamati kaki dan tangannya bila
perlu dan menyadari posisi bagian tubuh yang sakit.
Buatlah klien sadar akan semua bagian tubuh yang
terabaikan seperti stimulasi sensorik pada daerah yang
sakit, latihan yang membawa area yang sakit melewati garis
tengah, ingatkan individu untuk merawata sisi yang sakit.
6) Hilangkan kebisingan/stimulasi eksternal yang berlebihan.
7) Lakukan validasi terhadap persepsi klien
4. Gangguan komunikasi verbal yang berhubungan dengan penurunan
sirkulasi darah otak
a.

Tujuan
Proses komunikasi klien dapat berfungsi secara optimal

b.

Kriteria hasil
1) Terciptanya suatu komunikasi dimana kebutuhan klien
dapat dipenuhi
2) Klien mampu merespon setiap berkomunikasi secara verbal
maupun isarat

c.

Rencana tindakan
1)

Berikan metode alternatif komunikasi, misal dengan


bahasa isarat

2)

Antisipasi setiap kebutuhan klien saat berkomunikasi

3)

Bicaralah dengan klien secara pelan dan gunakan


pertanyaan yang jawabannya ya atau tidak

4)

Anjurkan kepada keluarga untuk tetap berkomunikasi


dengan klien

5)

Hargai kemampuan klien dalam berkomunikasi

6)

Kolaborasi dengan fisioterapis untuk latihan wicara

5. Kurangnya

perawatan

diri

berhubungan

dengan

hemiparese/hemiplegi
a.

Tujuan
Kebutuhan perawatan diri klien terpenuhi

b.

Kriteria hasil
1) Klien dapat melakukan aktivitas perawatan diri sesuai
dengan kemampuan klien
2) Klien dapat mengidentifikasi sumber pribadi/komunitas
untuk memberikan bantuan sesuai kebutuhan

c.

Rencana tindakan
1) Tentukan kemampuan dan tingkat kekurangan dalam
melakukan perawatan diri
2) Beri motivasi kepada klien untuk tetap melakukan aktivitas
dan beri bantuan dengan sikap sungguh
3) Hindari melakukan sesuatu untuk klien yang dapat
dilakukan klien sendiri, tetapi berikan bantuan sesuai
kebutuhan
4) Berikan umpan balik yang positif untuk setiap usaha yang
dilakukannya atau keberhasilannya
5) Kolaborasi dengan ahli fisioterapi/okupasi

6. Resiko gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan


dengan kelemahan otot mengunyah dan menelan
a.

Tujuan
Tidak terjadi gangguan nutrisi

b. Kriteria hasil

1)

Berat badan dapat dipertahankan/ditingkatkan

2)

Hb dan albumin dalam batas normal

c.Rencana tindakan
1)

Tentukan kemampuan klien dalam mengunyah, menelan


dan reflek batuk

2)

Letakkan posisi kepala lebih tinggi pada waktu, selama dan


sesudah makan

3)

Stimulasi bibir untuk menutup dan membuka mulut secara


manual dengan menekan ringan diatas bibir/dibawah dagu
jika dibutuhkan

4)

Letakkan makanan pada daerah mulut yang tidak terganggu

5)

Berikan makan dengan berlahan pada lingkungan yang


tenang

6)

Mulailah untuk memberikan makan peroral setengah cair,


makan lunak ketika klien dapat menelan air

7)

Anjurkan klien menggunakan sedotan meminum cairan

8)

Anjurkan

klien

untuk

berpartisipasidalam

program

latihan/kegiatan
9)

Kolaborasi dengan tim dokter untuk memberikan ciran


melalui iv atau makanan melalui selang

7. Gangguan eliminasi alvi (konstipasi) berhubngan dengan imobilisasi,


intake cairan yang tidak adekuat
a.

Tujuan
Klien tidak mengalami kopnstipasi

b.

Kriteria hasil
1) Klien dapat defekasi secara spontan dan lancar tanpa
menggunakan obat
2) Konsistensi feses lunak
3) Tidak teraba masa pada kolon ( scibala )
4) Bising usus normal ( 7-12 kali per menit )

c.

Rencana tindakan

1) Berikan penjelasan pada klien dan keluarga tentang


penyebab konstipasi
2) Auskultasi bising usus
3) Anjurkan

pada

klien

untuk

makan

makanan

yang

mengandung serat
4) Berikan intake cairan yang cukup (2 liter perhari) jika tidak
ada kontraindikasi
5) Lakukan mobilisasi sesuai dengan keadaan klien
6) Kolaborasi dengan tim dokter dalam pemberian pelunak
feses (laxatif, suppositoria, enema)
8. Resiko gangguan integritas kulit berhubungan dengan tirah baring
lama
a. Tujuan
Klien mampu mempertahankan keutuhan kulit
b. Kriteria hasil
1)

Klien mau berpartisipasi terhadap pencegahan luka

2)

Klien mengetahui penyebab dan cara pencegahan luka

3)

Tidak ada tanda-tanda kemerahan atau luka

c. Rencana tindakan
1) Anjurkan untuk melakukan latihan ROM (range of motion)
dan mobilisasi jika mungkin
2) Rubah posisi tiap 2 jam
3) Gunakan bantal air atau pengganjal yang lunak di bawah
daerah-daerah yang menonjol
4) Lakukan masase pada daerah yang menonjol yang baru
mengalami tekanan pada waktu berubah posisi
5) Observasi terhadap eritema dan kepucatan dan palpasi area
sekitar terhadap kehangatan dan pelunakan jaringan tiap
merubah posisi
6) Jaga kebersihan kulit dan seminimal mungkin hindari trauma,
panas terhadap kulit

9. Resiko terjadinya ketidakefektifan bersihan jalan nafas yang


berhubungan dengan menurunnya refleks batuk dan menelan,
imobilisasi
a.

Tujuan :
Jalan nafas tetap efektif.

b. Kriteria hasil :
1) Klien tidak sesak nafas
2) Tidak terdapat ronchi, wheezing ataupun suara nafas
tambahan
3) Tidak retraksi otot bantu pernafasan
4) Pernafasan teratur, RR 16-20 x per menit
c. Rencana tindakan :
1) Berikan penjelasan kepada klien dan keluarga tentang sebab
dan akibat ketidakefektifan jalan nafas
2) Rubah posisi tiap 2 jam sekali
3) Berikan intake yang adekuat (2000 cc per hari)
4) Observasi pola dan frekuensi nafas
5) Auskultasi suara nafas
6) Lakukan fisioterapi nafas sesuai dengan keadaan umum
klien
10.Gangguan eliminasi uri (incontinensia uri) yang berhubungan dengan
penurunan sensasi, disfungsi kognitif, ketidakmampuan untuk
berkomunikasi
a.

Tujuan :
Klien mampu mengontrol eliminasi urinnya

b. Kriteria hasil :
1) Klien

akan

melaporkan

penurunan

atau

hilangnya

inkontinensia
2) Tidak ada distensi bladder
c. Rencana tindakan :
1) Identifikasi pola berkemih dan kembangkan jadwal berkemih

sering
2) Ajarkan untuk membatasi masukan cairan selama malam hari
3) Ajarkan

teknik

(rangsangan

untuk

kutaneus

mencetuskan
dengan

refleks

penepukan

berkemih
suprapubik,

manuver regangan anal)


4) Bila masih terjadi inkontinensia, kurangi waktu antara
berkemih pada jadwal yang telah direncanakan
5) Berikan penjelasan tentang pentingnya hidrasi optimal
(sedikitnya 2000 cc per hari bila tidak ada kontraindikasi

DAFTAR PUSTAKA
Bustan, MN. (2007). Epidemiologi Penyakit Tidak Menular. Jakarta: Rineka
Cipta
Departemen Kesehatan RI. (2007). Pedoman Pengendalian Penyakit Jantung
dan Pembuluh Darah. Jakarta: Direktorat
Doenges, M.(2000). Rencana asuhan keperawatan: Pedoman untuk
perencanaan dan pendokumentasian perawatan pasien. (edisi ke-3).
EGC: Jakarta.
Ignativicius, D. (1999). Medical surgical nursing : across the health care
continuum. ( 3rd edition). W.B. Saunders Company: Philadelphia.
Junaidi, Iskandar. (2004). Panduan Praktis Pencegahan dan Pengobatan
Stroke. Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer
Lewis, Heitkemper & Dirksen. (2000). Medical surgical nursing: Assesment
and managements clinical problems. (5th ed.). Mosby Company.
Luckman & Sorensen. (1995). Medical surgical nursing:
psychophysiologic approach. (2nd ed.). WB Saunders Co.

Reksoprojo, S. (1995). Kumpulan kuliah ilmu bedah. Bagian Bedah FKUI.


Sjamsuhidajat, R. (1997). Buku ajar ilmu bedah.(edisi revisi). Jakarta: EGC.
Smeltzer & Bare. (1996). Brunner & Suddarth textbook of medical
surgicalNursing.(8th ed.). Philadelphia: Lippincott-Raven.
Noer, S., dkk. (1996). Buku ajar ilmu penyakit dalam, jilid I.Jakarta: Balai
Penerbit FKUI.
Wahjoepramono, EKA.J. (2005). Stroke Tata Laksana Fase Akut. Jakarta:
Universitas Pelita Harapan

You might also like