You are on page 1of 52

19

Universitas Indonesia
BAB 2
TINJAUAN LITERATUR


2.1. Konsep dan Teori Privatisasi

Privatisasi, istilah lain dari denasionalisasi, adalah proses pengalihan
kepemilikan dari milik umum menjadi milik pribadi
3
. Steve H. Hanke (1987)
mendefinisikan privatisasi sebagai transfer fungsi aset dan jasa dari pemerintah ke
swasta yang meliputi aktivitas mulai dari penjualan perusahaan negara (State
Owned Enterprise atau SOE) sampai pengalihan pengelolaan jasa publik kepada
kontraktor swasta. Yergin dan Stanislaw (1998) mencatat bahwa istilah
privatisasi diciptakan oleh Peter Drucker untuk menggantikan istilah
denasionalisasi pada tahun 1979. Selain itu, Choirie (2003) mengemukakan
pengertian privatisasi secara umum sebagai kebijakan yang dilakukan oleh
pemerintah dengan memberi berbagai fasilitas yang memudahkan pihak swasta
dalam mengambil alih perusahaan milik negara. Di Indonesia, proses privatisasi
diatur oleh Kementerian Negara Badan Usaha Milik Negara (Kementerian Negara
BUMN) dan berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan
Usaha Milik Negara dinyatakan bahwa pengertian privatisasi adalah penjualan
saham Persero, baik sebagian maupun seluruhnya, kepada pihak lain dalam
rangka meningkatkan kinerja dan nilai perusahaan, memperbesar manfaat bagi
negara dan masyarakat, serta memperluas kepemilikan saham oleh masyarakat.
Privatisasi sering diasosiasikan dengan perusahaan berorientasi jasa atau
industri, seperti pertambangan, manufaktur atau energi, meski dapat pula
diterapkan pada aset apa saja, seperti tanah, jalan, atau bahkan air. Secara teori,
privatisasi membantu terbentuknya pasar bebas serta mengembangkan kompetisi
kapitalis, yang oleh para pendukungnya dianggap akan memberikan harga yang
lebih kompetitif kepada publik. Sebaliknya, para sosialis menganggap privatisasi
sebagai hal yang negatif, karena memberikan layanan penting untuk publik
kepada sektor privat akan menghilangkan kontrol publik dan mengakibatkan

3
www.wikipedia.org
Pengaruh privatisasi dengan..., Anggita Cinditya Mutiara Kusuma, FE UI, 2009

Universitas Indonesia
20

kualitas layanan yang buruk, akibat penghematan-penghematan yang dilakukan
oleh perusahaan dalam mendapatkan profit.
4

Beberapa penelitian terdahulu yang akan dibahas pada bagian selanjutnya
menunjukkan bahwa privatisasi terbukti mampu meningkatkan kinerja dan
efisiensi perusahaan negara. Namun Peter McPherson (1986) mengungkapkan
bahwa privatisasi akan berjalan baik dengan catatan dan langkah strategis sebagai
berikut:
1. Pemerintah memiliki komitmen kuat untuk reformasi ekonomi
2. Privatisasi tidak akan berjalan mudah karena menyangkut kepentingan
politik
3. Tidak ada model tunggal untuk keberhasilan privatisasi
4. Privatisasi berarti juga diberlakukannya mekanisme pasar
Kemudian di dalam penelitian Price Waterhouse (1989) tercatat bahwa
paling tidak ada 6 (enam) tujuan privatisasi sebagai berikut:
1. Meningkatkan pendapatan baru bagi pemerintah
2. Mendorong efisiensi ekonomi
3. Mengurangi campur tangan pemerintah dalam perekonomian
4. Mendorong kepemilikan saham yang lebih luas
5. Memberikan kesempatan untuk mengenalkan persaingan
6. Mengembangkan pasar modal negara
Sementara Pasal 74 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 menetapkan
maksud dan tujuan privatisasi, yaitu untuk meningkatkan kinerja dan nilai tambah
perusahaan serta meningkatkan peran serta masyarakat dalam kepemilikan saham
Persero. Privatisasi dilakukan dengan memperhatikan prinsip-prinsip transparansi,
kemandirian, akuntabilitas, pertanggungjawaban, dan kewajaran.
Di dalam salah satu penelitian mengenai privatisasi yang pernah
dilakukan, Megginson dan Netter (2001) menemukan bahwa ada 3 (tiga) macam
bentuk privatisasi yang paling umum, yaitu:
1. Penjualan perusahaan milik negara (BUMN) yang telah ada
2. Penggunaan sumber pembiayaan dan manajemen dari swasta daripada dari
pemerintah untuk pembangunan infrastruktur baru

4
Loc. cit.
Pengaruh privatisasi dengan..., Anggita Cinditya Mutiara Kusuma, FE UI, 2009

Universitas Indonesia
21

3. Outsourcing (mengontrak agen luar dari pihak swasta)
Khusus untuk Indonesia, Kementerian Negara BUMN mengatur bahwa
privatisasi dapat dilakukan dengan menggunakan salah satu dari 3 metode sebagai
berikut:
1. Penjualan Saham berdasarkan Ketentuan Pasar Modal;
2. Penjualan Saham Langsung kepada Investor/Strategic Sale (SS);
3. Penjualan Saham kepada Manajemen dan/atau Karyawan (Employee and
Management Buy Out /EMBO)


2.2. Sejarah Privatisasi

Privatisasi adalah salah satu metode yang diharapkan mampu
meningkatkan kinerja BUMN Indonesia yang selama ini beroperasi secara kurang
efisien dan kurang kompetitif. Perlindungan dan pembiayaan pemerintah terhadap
BUMN diperkirakan menjadi penyebab buruknya kinerja BUMN. Namun,
privatisasi BUMN di Indonesia baik secara langsung maupun tidak langsung juga
mendapat pertentangan dari pihak-pihak yang merasa bahwa aset negara memang
tidak seharusnya dikelola oleh pihak swasta apalagi pihak asing. Untuk
memahami tujuan utama dari privatisasi yang juga telah dijalankan oleh beberapa
negara maju dan berkembang di dunia, kita harus mengenal terlebih dahulu
sejarah privatisasi tersebut baik di dunia maupun di Indonesia.
Robert Sobel (1999) mengemukakan bahwa kepemilikan negara dalam
produksi adalah sebuah hal yang umum pada masa kuno di beberapa negara
seperti Yunani dan Cina dimana negara-negara tersebut memonopoli sektor
industri strategis seperti pertambangan dan pertanian. Di beberapa perusahaan
bahkan bank milik negara diberikan hak monopoli atau posisinya dilindungi
seperti yang dikemukakan oleh Rafael La Porta, Florencio Lopez-de Silanes, dan
Andrei Shleifer (1998). Sampai pada akhirnya pemerintahan Chancellor Konrad
Adenauer di Jerman melakukan program denasionalisasi pertama dalam lingkup
luas pada tahun 1961 setelah era perang dunia dengan menjual mayoritas saham
Volkswagen dan perusahaan industri VEBA kepada investor swasta. Kemudian
Pengaruh privatisasi dengan..., Anggita Cinditya Mutiara Kusuma, FE UI, 2009

Universitas Indonesia
22

pemerintahan konservatif Perdana Menteri Margaret Thatcher di Inggris pada
1981 melakukan privatisasi dengan penjualan British Aerospace (penerbangan)
dan Cable & Wireless (telekomunikasi). Banyak orang akhirnya mengasosiasikan
program privatisasi modern dengan pemerintahan Thatcher. Walaupun
pemerintahan Thatcher bukanlah kali pertama program privatisasi secara besar-
besaran dilakukan, namun program ini adalah yang terpenting dalam sejarah.
Thatcher mengadopsi istilah privatisasi yang diciptakan oleh Peter Drucker
untuk menggantikan istilah denasionalisasi seperti dikemukakan oleh Yergin
dan Stanislaw (1998). Kesuksesan program privatisasi Inggris mendorong banyak
negara maju lainnya untuk mulai menawarkan perusahaan negara lewat saham
publik. William Megginson (2000) mengungkapkan bahwa privatisasi meluas
secara global di pertengahan tahun 80-an saat pemerintahan Negara Eropa Barat,
Asia Selatan dan Timur, Amerika Latin, serta Sub-Sahara Afrika juga mengadopsi
program divestasi komprehensif ini. Pemerintahan Jacques Chirac di Perancis
memprivatisasi 22 perusahaan negara pada tahun 1988. Kemudian pemerintahan
Balladur mulai tahun 1993 melakukan program privatisasi yang lebih besar lagi di
Perancis seperti penjualan saham France Telecom pada November 1998.
Beberapa negara Eropa lainnya seperti Italia, Jerman, dan Spanyol juga
meluncurkan program privatisasi lainnya selama tahun 1990-an. Sementara di
Asia, pemerintah melakukan penjualan perusahaan negara saat kondisi pasar
menarik atau uang dibutuhkan untuk melindungi defisit anggaran, seperti yang
terjadi di Cina dan India menurut Sumit Majumdar (1996). Pada sisi lain, negara
Amerika Latin seperti Chili juga melakukan privatisasi pertamanya pada tahun
1990. La Porta dan Lopez-de-Silanes (1999) melaporkan bahwa sampai dengan
tahun 1992 Meksiko telah memprivatisasi 361 perusahaan negaranya.
Indonesia sendiri melakukan program privatisasi pertamanya di tahun
1991 dengan penjualan saham perusahaan semen milik negara. Kebijakan
privatisasi dari tahun 1991 hingga tahun 1997 dilakukan dengan penjualan saham
perdana di pasar modal dalam negeri dan pasar modal luar negeri. Tahun 1991
pemerintah menjual 35% saham PT Semen Gresik, kemudian dilanjutkan pada
tahun 1994 dimana pemerintah menjual 35% saham PT Indosat. Privatisasi di
Indonesia terus berlanjut pada tahun 1995 setelah pemerintah menjual 35% saham
Pengaruh privatisasi dengan..., Anggita Cinditya Mutiara Kusuma, FE UI, 2009

Universitas Indonesia
23

PT Tambang Timah dan 23% saham PT Telkom, tahun 1996 saham BNI
didivestasi 25% dan tahun 1997 saham PT Aneka Tambang dijual sebanyak 35%.
5

Kebijakan privatisasi pada masa Orde Baru ini dilakukan untuk menutupi
pembayaran hutang luar negeri (HLN) Indonesia yang jumlahnya terus
membengkak. Tahun 1985 HLN pemerintah sudah mencapai US$ 25,321 milyar.
Pada tahun 1991 jumlah HLN pemerintah membengkak dua kali lipat menjadi
US$ 45,725 milyar. Jumlah HLN pemerintah terus bertambah hingga tahun 1995
mencapai US$ 59,588 milyar. Hidayatullah (2002) melansir bahwa pemasukan
dari hasil privatisasi BUMN tahun 1995-1997 yang digunakan pemerintah untuk
membayar HLN dapat menurunkan HLN pemerintah menjadi US$ 53,865 milyar
pada tahun 1997.
Program privatisasi yang sudah dijalankan Orde Baru dilanjutkan lagi
dengan memperbanyak jumlah BUMN yang dijual baik di pasar modal maupun
kepada investor strategis. Tahun 1998 pemerintah kembali menjual 14% saham
PT Semen Gresik kepada perusahaan asing Cemex. Tahun 1999 pemerintah
menjual 9,62% saham PT Telkom, 51% saham PT Pelindo II kepada investor
Hongkong, dan 49% saham PT Pelindo III kepada investor Australia. Tahun 2001
pemerintah kembali menjual 9,2% saham Kimia Farma, 19,8% saham Indofarma,
30% saham Socufindo, dan 11,9% saham PT Telkom. Antara tahun 2002-2006
privatisasi dilanjutkan dengan menjual saham 14 BUMN dengan cara IPO (Initial
Public Offering) dan strategic sales.
6
Secara singkat proses privatisasi BUMN di
Indonesia yang telah berlangsung selama tahun 1991-2007 digambarkan melalui
Tabel 2.1.



Tabel 2.1. Privatisasi BUMN 1991-2007

Tahun BUMN
% Yang
Dijual
Metode Hasil
% Sisa Saham
RI
1991 PT. Semen Gresik Tbk
27
*

8
IPO
Rp. 280 milyar
Rp. 126 milyar
65

5
www.bumn-ri.com
6
Ibid.
Pengaruh privatisasi dengan..., Anggita Cinditya Mutiara Kusuma, FE UI, 2009

Universitas Indonesia
24

1994 PT. Indosat Tbk
10
*

25
IPO Rp. 2.537 milyar 65
PT. Tambang Timah
tbk
25
10
*

IPO Rp. 511 milyar 65
1995
PT. Telkom Tbk
10
*

13
IPO Rp. 5.058 milyar 80
1996 PT BNI Tbk 25
*
IPO Rp. 920 milyar 99
**

1997
PT. Aneka Tambang
Tbk
35
*
IPO Rp. 603 milyar 65
1998 PT Semen Gresik Tbk 14 SS Rp. 1.317 milyar 51
PT Pelindo II 49
***
SS USD 190 juta 100
PT Pelindo III 51
****
SS USD 157 juta 100 1999
PT Telkom Tbk 9,62 Plecement Rp. 3.188 milyar 66,19
PT Kimia Farma Tbk 9,2
*
IPO Rp. 110 milyar 90,8
PT Indofarma Tbk 19,8
*
IPO Rp. 150 milyar 80,2
PT Socfindo 30 SS USD 45,4 juta 10
2001
PT Telkom Tbk 11,9 Plecement Rp. 3.100 milyar 54,29
PT Indosat Tbk
8,06
41,94
Plecement
SS
Rp. 967 milyar
USD 608,4 juta
56,94
*****

14,39
PT Telkom Tbk 3,1 Plecement Rp. 1.100 milyar 51,19
PT Tambang Batubara
Bukit Asam Tbk
15
1,26
*

IPO Rp. 156 milyar 84
2002
PT WNI 41,99 SS Rp. 255 milyar 0
PT Bank Mandiri Tbk 20 IPO Rp. 2.547 milyar 80
PT Indocement TP
Tbk
16,67 SS Rp. 1.157 milyar 0
PT BRI Tbk
30
15
*

IPO Rp. 2.512 milyar 57,57
2003
PT PGN Tbk
20
19
*

IPO Rp. 1.235 milyar 60,03
PT Pembangunan
Perumahan
49 EMBO Rp. 60,49 milyar 51
PT Adhi Karya Tbk
24,5
24,5
*

EMBO
IPO
Rp. 65 milyar 51
******

PT Bank Mandiri Tbk 10 Plecement Rp. 2.844 milyar 69,96
2004
PT Tambang Batubara 12,5 IPO Rp. 180 milyar 65,02
Pengaruh privatisasi dengan..., Anggita Cinditya Mutiara Kusuma, FE UI, 2009

Universitas Indonesia
25

Bukit Asam Tbk
2006 PT PGN Tbk 5,31 Plecement Rp. 2,088 milyar 55,33
PT BNI Tbk
10,86
15
*

SO
Rp. 3,125 milyar
Rp. 4.034 milyar
73,3
PT Wijaya Karya Tbk 31,7
*
IPO Rp. 775,38 milyar 68,4
2007
PT Jasa Marga Tbk 30
*
IPO Rp. 3,468 milyar 70
Catatan:
* : Dari saham baru
** : Termasuk dana rekap bank
*** : Saham yang dijual adalah saham PT JICT, anak perusahaan PT Pelindo II
**** : Saham yang dijual adalah saham PT TPS, anak perusahaan PT Pelindo III
*****
: Pada saat yang sama privatisasi PT Indosat Tbk dilakukan 2 metode (Placement &
SS)
****** : Pada saat yang sama privatisasi PT Adhi Karya dilakukan 2 metode (IPO & EMBO)

Sumber: Kementerian Negara BUMN (www.bumn-ri.com)


2.3. Teori Struktur, Perilaku, dan Kinerja

Teori struktur, perilaku, dan kinerja atau lebih dikenal sebagai paradigma
Structure Conduct and Performance (SCP) diturunkan dari analisis pasar aliran
ekonomi neoklasikal. Edwards, Allen, dan Shaik (2006) mengemukakan bahwa
paradigma SCP adalah buah pemikiran aliran Harvard School dan dipopulerkan
selama 1940-1960 dengan beberapa studi empiris mengenai identifikasi hubungan
antara struktur industri dan kinerja perusahaan. Hipotesis SCP ini kemudian
diimplementasikan dengan banyaknya peraturan anti-trust. Pemikiran ini
kemudian diikuti oleh aliran Chicago School semenjak tahun 1960-1980. Namun
Chicago School lebih menekankan pada rasionalisasi perusahaan untuk
berkembang, teori penetapan harga, dan estimasi ekonometri. Selama tahun 1980-
1990 paradigma SCP dipenuhi dengan pemikiran game theory (teori permainan)
yang menekankan pada penetapan keputusan strategis dan konsep Nash
Equlibrium. Setelah tahun 1990, ekonomi industri secara empiris menggunakan
teori ekonomi dan alat ekonometri untuk menciptakan model empiris yang
Pengaruh privatisasi dengan..., Anggita Cinditya Mutiara Kusuma, FE UI, 2009

Universitas Indonesia
26

Performance
kompleks dari perubahan teknologi, analisis merger, teori mengenai keluar-
masuknya perusahaan dalam pasar, dan identifikasi kekuatan pasar (market
power).
Paradigma SCP memiliki dua hipotesis yang saling bertolak belakang,
yaitu structure performance hypothesis tradisional dan efficient structure
hypothesis. Structure performance hypothesis menyatakan bahwa derajat
konsentrasi pasar berhubungan terbalik dengan derajat kompetisi. Hal ini
dikarenakan konsentrasi pasar mendorong perusahaan untuk saling berkolusi.
Secara spesifik, paradigma SCP standar ini meyakinkan bahwa terdapat hubungan
langsung antara derajat konsentrasi pasar dan derajat kompetisi antar perusahaan.
Hipotesis ini mendukung teori bahwa terdapat hubungan positif antara konsentrasi
pasar (diukur dengan rasio konsentrasi) dan kinerja (diukur dengan tingkat
keuntungan), tanpa memperdulikan tingkat efisiensi (diukur dengan pangsa
pasar). Dengan demikian perusahaan yang terdapat dalam industri dengan tingkat
konsentrasi lebih tinggi akan memperoleh keuntungan lebih tinggi daripada
perusahaan yang beroperasi di industri dengan tingkat konsentrasi rendah, tanpa
mengukur efisiensi perusahaan tersebut. Selain itu, pandangan yang juga disebut
sebagai pandangan strukturalis ini juga menyatakan bahwa struktur pasar
dipengaruhi oleh faktor internal, yaitu tingkat konsentrasi serta faktor eksternal
lainnya seperti tingkat permintaan dan kebijakan pemerintah. Marthin (1988)
menjelaskan bahwa struktur tersebut kemudian akan mempengaruhi perilaku yang
terbentuk yang kemudian akan mempengaruhi kinerja tersebut pada akhirnya.
Paradigma yang dinyatakan oleh kaum strukturalis tersebut dapat digambarkan
melalui Gambar 2.1 berikut ini.






Gambar 2.1. Paradigma SCP

Sumber: Marthin, Stephen (1988)

Structure Conduct
Pengaruh privatisasi dengan..., Anggita Cinditya Mutiara Kusuma, FE UI, 2009

Universitas Indonesia
27

Sementara efficiency structure hypothesis menyatakan bahwa kinerja
perusahaan berhubungan positif dengan tingkat efisiensinya. Hal ini karena
konsentrasi pasar dibentuk dari kompetisi dimana perusahaan dengan struktur
biaya yang rendah akan mampu meningkatkan keuntungan dengan cara
menurunkan harga dan memperluas pangsa pasar. Hubungan positif antara
keuntungan perusahaan dan struktur pasar ditunjukkan dengan keuntungan yang
diperoleh dengan meningkatnya pangsa pasar oleh perusahaan yang lebih efisien.
Sebaliknya, keuntungan ini akan meningkatkan konsentrasi pasar. Dengan
demikian, meningkatnya profit atau keuntungan akan diperoleh oleh perusahaan
yang lebih efisien dan bukan dihasilkan dari aktivitas kolusi seperti yang
disarankan paradigma SCP tradisional (Molyneux dan Forbes, 1995). Pada
umumnya, kedua hipotesis tersebut telah berulangkali coba dibuktikan
menggunakan ukuran profit atau profit marjin sebagai indikator kinerja. Pada
penelitian ini, kinerja merupakan faktor utama yang akan menjadi variabel terikat
dalam penelitian. Penelitian ini tidak akan membahas mengenai struktur dan
perilaku perusahaan di dalam industri, karena sifat penelitian ini yang lintas-
industri. Namun pemahaman mengenai keterkaitan antara struktur, perilaku, dan
kinerja tetap perlu dipahami.


2.3.1. Struktur

Struktur sering diartikan sebagai bentuk atau susunan komponen pada
suatu bentuk. Dalam konteks industri, yang termasuk dalam struktur antara lain
adalah jumlah dan ukuran perusahaan dalam industri tersebut, tingkat konsentrasi,
hambatan masuk bagi perusahaan baru, diferensiasi produk, diversifikasi atau
konglomerasi, dan integrasi vertikal (Carlton dan Perloff, 2000). Sementara
Ferguson (1988) mengemukakan bahwa struktur merupakan:
Karakteristik dan komposisi pasar dan industri dalam suatu perekonomian
Jumlah dan ukuran distribusi perusahaan di suatu ekonomi secara
keseluruhan
Pengaruh privatisasi dengan..., Anggita Cinditya Mutiara Kusuma, FE UI, 2009

Universitas Indonesia
28

Lingkungan dimana perusahaan di suatu pasar beroperasi. Hal ini dapat
dilihat dari jumlah dan ukuran distribusi penjual dan pembeli di pasar.
Struktur juga dapat menggambarkan tingkat kekuatan pasar melalui
tingkat konsentrasinya. Semakin tinggi tingkat konsentrasi di suatu pasar dapat
diartikan sebagai struktur pasar yang mendekati monopoli, yaitu struktur pasar
dimana beberapa perusahaan memiliki kekuatan pasar yang tinggi. Sehingga
secara tidak langsung, tingkat konsentrasi yang tinggi menggambarkan kekuatan
pasar yang semakin tinggi pula.
Koch (2000) menyatakan bahwa struktur pasar merupakan elemen
strategis yang relatif permanen dari lingkungan perusahaan yang mempengaruhi
dan dipengaruhi oleh perilaku dan kinerja di dalam pasar. Hal ini menyebabkan
struktur pasar sebagai bahasan penting untuk mengetahui perilaku dan kinerja
suatu industri. Struktur pasar sendiri memiliki beberapa elemen utama seperti
pangsa pasar (market share), konsentrasi (concentration), dan hambatan masuk
(barriers to entry).


2.3.2. Perilaku

Perilaku atau conduct dalam paradigma SCP merupakan suatu hasil reaksi
perusahaan yang ada dalam pasar terhadap struktur yang terjadi di pasar serta
bagaimana interaksi mereka dengan para pesaing. Conduct juga merupakan
perilaku perusahaan, dengan bersaing atau kolusi. Rasio konsentrasi yang tinggi
merupakan salah satu indikator yang menyatakan bahwa ada kompetisi yang
terjadi tidak sempurna di pasar. Selain itu, diperlukan elemen-elemen lain selain
struktur pasar (yaitu perilaku perusahaan-perusahaan yang terdapat di dalamnya)
untuk menilai derajat kompetisi pasar. Yang termasuk dalam conduct antara lain
perilaku harga, kapasitas produksi, advertensi, pengeluaran untuk penelitian dan
pengembangan (R&D), strategi produk dan non harga, investasi dan kekakuan
terhadap pesaing.
Hasibuan (1993:16) mengemukakan bahwa perilaku merupakan pola
tanggapan dan penyesuaian suatu industri di dalam pasar untuk mencapai
Pengaruh privatisasi dengan..., Anggita Cinditya Mutiara Kusuma, FE UI, 2009

Universitas Indonesia
29

tujuannya. Industri yang satu dengan industri yang lain memiliki perilaku, salah
satu penyebabnya adalah struktur yang dimiliki oleh industri tersebut. Perilaku
terlihat menarik untuk dibahas jika suatu perusahaan berada pada suatu industri
yang terdapat dalam struktur pasar yang tidak sempurna. Struktur pasar yang
sempurna menyebabkan perusahaan tidak memiliki kekuatan untuk menentukan
harga pasar. Dengan demikian, perilaku dapat diartikan sebagai pola tanggapan
dan penyesuaian berbagai perusahaan yang terdapat dalam suatu industri untuk
mencapai tujuannya dan menghadapi persaingan.


2.3.3. Kinerja

Perilaku perusahaan yang telah kita bahas sebelumnya nantinya akan
mempengaruhi kinerja atau performance perusahaan dalam industri tersebut yang
tercermin dalam harga produk, efisiensi produktif dan alokatifnya, pemerataan
(equity), kemajuan teknis, laba dan pertumbuhannya (Carlton dan Perloff, 2000).
Perubahan kinerja tersebut tentu logisnya dalam kerangka pikir SCP harus
bermula dari perilaku yang juga logisnya harus didahului perubahan struktur.
Perubahan itu bisa berasal dari luar sebagai external forces atau exogeneous
variable dan dari dalam sebagai audit internal (endegeneous variable).
Kinerja merupakan implikasi yang dihasilkan oleh perilaku perusahaan.
Jika struktur dan perilaku berhubungan dengan bagaimana suatu pasar berfungsi
dalam batas kondisi dasar, maka kinerja berhubungan dengan seberapa baiknya
pasar berfungsi (Greer, 1992). Seberapa baik pasar berfungsi, biasanya diukur
dengan efisiensi, tingkat full-employment, atau tingkat keuntungan yang diraih
perusahaan. Efisiensi dan tingkat full-employment merupakan elemen yang
mencerminkan efisisensi alokatif atau menguntungkan secara sosial. Sedangkan
tingkat keuntungan perusahaan merupakan elemen yang mencerminkan efisiensi
perusahaan secara individu (efisiensi produktif). Dari sini dapat terlihat bahwa
tujuan perusahaan memaksimumkan keuntungan seringkali bertolak belakang
dengan tujuan ekonomi sosial yaitu efisiensi alokatif.
Pengaruh privatisasi dengan..., Anggita Cinditya Mutiara Kusuma, FE UI, 2009

Universitas Indonesia
30

Efisiensi alokatif merupakan efisiensi dalam pengalokasian sumber daya.
Efisiensi ini tercapai ketika terjadi alokasi sumber daya yang sedemikian rupa
sehingga jumlah dan jenis barang yang diproduksi tepat dan selaras dengan
preferensi konsumen. Tapi pada kenyataannya efisiensi jenis ini sulit untuk
dihitung. Sedangkan efisiensi produktif merupakan efisiensi teknis produksi,
dalam penggunaan faktor-faktor produksi. Penurunan biaya produksi berarti
efisiensi dalam produksi yang dapat berarti memproduksi barang dengan biaya
serendah mungkin atau dengan produksi barang semaksimum mungkin dengan
biaya tertentu.


2.3.4. Keterkaitan Elemen Struktur, Perilaku, dan Kinerja

Keterkaitan antara elemen struktur, perilaku, dan kinerja dapat ditunjukkan
melalui persamaan berikut

) , ( ); , ( ); , (
3 2 1
C S f P P S f C P C f S = = = K K (2.1)

Dimana S adalah Stucture, C adalah Conduct, dan P adalah Performance.
Persamaan tersebut mengindikasikan bahwa struktur mempengaruhi perilaku,
dimana semakin rendah konsentrasi maka semakin kompetitif perilaku
perusahaan. Perilaku mempengaruhi kinerja, dimana semakin kompetitif perilaku
maka market power (kekuatan pasar) semakin kecil, yang berarti semakin besar
efisiensi sosial. Struktur mempengaruhi kinerja, dimana penurunan konsentrasi
pasar ke arah penguasaan pasar yang lebih rendah. Hal ini menyiratkan bahwa
secara langsung dan tidak langsung struktur mempengaruhi kinerja. Keterkaitan
antara elemen structure, conduct, dan performance dapat dilihat melalui Gambar
2.2.




Pengaruh privatisasi dengan..., Anggita Cinditya Mutiara Kusuma, FE UI, 2009

Universitas Indonesia
31

Kebijakan Pemerintah
1. Regulasi
2. Antitrust
3. Hambatan Masuk
4. Pajak dan Subsidi
5. Insentif Investasi
6. Kebijakan Makro








Gambar 2.2. Keterkaitan Elemen SCP


2.4. Pengukuran Kinerja

Pengukuran kinerja menurut paradigma SCP dapat dilakukan melalui
berbagai cara. Berdasarkan Church dan Ware (2000)
7
, pengukuran kinerja dapat
dilakukan dengan menggunakan salah satu dari tiga variabel perhitungan seperti
berikut ini:
1. Economic profit atau rates of return of investment
Laba ekonomis mengandung arti selisih antara pendapatan dan opportunity
cost dari semua input. Dalam jangka panjang, laba ekonomis adalah
indikator kekuatan pasar. Pada pasar persaingan sempurna, laba ekonomis

7
Diambil dari Mudrajad Kuncoro (2007).
Kinerja
1. Efisiensi
2. Profit
3. Produktivitas
4. Pertumbuhan
Perilaku
1. Pricing
2. Taktik Legal
3. Advertensi dan R&D
4. Investasi
Struktur
1. Jumlah & Ukuran Perusahaan
2. Tingkat Konsentrasi
3. Hambatan Masuk
4. Diferensiasi Produk
Kondisi Dasar
1. Permintaan Konsumen
2. Penawaran
3. Teknologi
4. Skala Ekonomis
Pengaruh privatisasi dengan..., Anggita Cinditya Mutiara Kusuma, FE UI, 2009

Universitas Indonesia
32

berkurang dengan adanya pendatang baru yang masuk pasar. Keuntungan
adalah indikator yang kurang sempurna karena boleh jadi perusahaan
memiliki kekuatan pasar, namun tidak memiliki economic profit.
2. Indeks Lerner atau Price-Cost Margin
Perhitungan Indeks Lerner dapat dilakukan dengan rumus (P-MC)/P,
namun pada umumnya data MC sulit diperoleh. Oleh sebab itu sering
digunakan perhitungan PCM, yaitu dengan menggantikan MC menjadi
AVC sehingga PCM dapat dihitung dengan menggunakan cara (P-
AVC)/P, dimana P adalah harga dan AVC adalah biaya variabel rata-rata.
3. Tobins Q
Pendekatan ini menggunakan penilaian pasar modal untuk menaksir laba
ekonomis. Tobins q adalah rasio antara nilai pasar suatu perusahaan
terhadap biaya penggantian (replacement cost) atau aset perusahaan. Nilai
pasar suatu perusahaan adalah jumlah nilai stok dan utang perusahaan.
Selisih nilai pasar perusahaan atas biaya penggantian asetnya sering
ditafsirkan sebagai laba ekonomis. Nilai q yang melebihi satu berarti
makin besar nilai return suatu perusahaan relatif terhadap biaya asetnya,
maka makin tinggi laba ekonomisnya.

Pada penelitian ini pengukuran kinerja akan dilakukan melalui tiga
indikator yaitu profitabilitas, rasio hutang, dan intensitas tenaga kerja. Pengukuran
kinerja melalui profitabilitas merupakan indikator utama dalam mengukur kinerja
dalam penelitian ini, sementara dua indikator lainnya akan dijadikan sebagai
bahan perbandingan dan pengukuran robustness model pengaruh privatisasi
terhadap kinerja. Ketiga indikator di atas dapat digolongkan sebagai efisiensi
produktif di dalam paradigma SCP. Walaupun efisiensi produktif memang
memiliki keterbatasan dibandingkan efisiensi alokatif yang dapat mengukur
efisiensi secara sosial, namun pengukuran efisiensi produktif relatif lebih mudah
dilakukan karena ketersediaan data.
Sebagai pengukuran kinerja utama, Return on Asset (ROA) merupakan
salah satu dari rasio yang menunjukkan profitabilitas perusahaan. Van Horne
(2000) menyatakan bahwa ROA menunjukkan keefisienan manajemen dalam
Pengaruh privatisasi dengan..., Anggita Cinditya Mutiara Kusuma, FE UI, 2009

Universitas Indonesia
33

mengelola aset untuk menghasilkan profit. ROA dihitung dengan cara membagi
net income perusahaan terhadap total aset perusahaan. ROA mengindikasikan
penghasilan yang didapatkan dari aset yang diinvestasikan oleh perusahaan. Aset
dari perusahaan terdiri dari hutang dan ekuitas. Kedua macam aset perusahaan ini
digunakan dalam membiayai operasional perusahaan. ROA menunjukkan kepada
investor bagaimana perusahaan mengubah uang yang diinvestasikan ke dalam
perusahaan menjadi keuntungan untuk perusahaan. Semakin tinggi ROA berarti
perusahaan semakin baik, karena perusahaan menghasilkan lebih banyak
keuntungan dibandingkan dengan apa yang diinvestasikan. Dengan penilaian
kinerja melalui ROA yang tinggi berarti menandakan bahwa perusahaan tersebut
beroperasi secara efektif. Hal ini merupakan daya tarik bagi investor yang akan
mengakibatkan peningkatan nilai saham perusahaan yang bersangkutan.
Sementara pengukuran kinerja dengan indikator intensitas tenaga kerja
dilakukan menggunakan rasio Employment to Real Asset (ERA). Perhitungan
ERA dilakukan dengan membagi jumlah tenaga kerja perusahaan dengan real
asset perusahaan tersebut. Suatu perusahaan dikatakan memiliki intensitas tenaga
kerja yang lebih tinggi apabila nilai ERA lebih besar. Artinya, untuk jumlah aset
dan penjualan yang sama, perusahaan tersebut memiliki jumlah tenaga kerja yang
lebih besar dibandingkan perusahaan lain. Walaupun intensitas tenaga kerja
menguntungkan jika dilihat secara sosial, namun nilai ERA yang tinggi
mengindikasikan bahwa suatu perusahaan kurang efisien dalam menggunakan
sumber daya manusianya. Hal ini berarti intensitas tenaga kerja yang lebih tinggi
justru akan berdampak buruk terhadap kinerja perusahaan.
Pengukuran kinerja terakhir dilakukan dengan menggunakan rasio hutang
atau Total Liabilities to Total Asset (LTA). Rasio hutang ini diperoleh dengan
cara membagi total kewajiban perusahaan dengan total asetnya. Rasio hutang
menunjukkan seberapa efektif perusahaan mengelola hutangnya untuk
meningkatkan total asetnya. Nilai rasio hutang yang semakin tinggi menunjukkan
suatu perusahaan lebih banyak berhutang dibandingkan mengelola asetnya untuk
meningkatkan pendapatan. Hal ini mengindikasikan bahwa perusahaan tersebut
tidak mampu mengelola hutangnya secara efektif. Selain itu, nilai rasio hutang
Pengaruh privatisasi dengan..., Anggita Cinditya Mutiara Kusuma, FE UI, 2009

Universitas Indonesia
34

yang semakin tinggi juga mengindikasikan bahwa perusahaan tersebut memiliki
kinerja yang kurang baik.


2.5. Teori Stackelberg First-Mover Advantages
8


Teori First-Mover Advantages atau biasa disebut juga Model Stackelberg
(selanjutnya akan disebut dengan teori Stackelberg First-Mover Advantage)
merupakan model yang menjelaskan mengenai keunggulan pihak yang bergerak
pertama. Model ini pada umumnya diterapkan pada pasar oligopoli sebagai
permainan strategi dimana perusahaan leader bergerak terlebih dahulu kemudian
diikuti oleh perusahaan follower secara berurutan. Model ini diberi nama sesuai
dengan ekonom asal Jerman, Heinrich Freiherr von Stackelberg, yang
menjelaskan model tersebut dalam bukunya Market Structure and Equilibrium
(Marktform und Gleichgewicht) pada tahun 1934. Menurut teori permainan, para
pemain dalam model Stackelberg First-Mover Advantage adalah leader dan
follower yang berkompetisi dalam kuantitas, sehingga model ini sering disebut
juga sebagai model Market Leader.
Model ini dapat dipahami lebih dalam melalui persamaan matematis pada
perusahaan leader (perusahaan 1) dan perusahaan follower (perusahaan 2).
Asumsi yang digunakan adalah kedua perusahaan tersebut mempunyai biaya
marginal nol, dan bahwa kurva permintaan pasar dinyatakan oleh P = 30 Q,
dimana Q adalah total output. Andaikanlah perusahaan 1 menetapkan outputnya
terlebih dahulu, dan kemudian diikuti perusahaan 2 setelah mengamati keputusan
perusahaan 1. Dengan demikian dalam menetapkan outputnya perusahaan 1 harus
mempertimbangkan bagaimana perusahaan 2 akan bereaksi. Namun terpenuhinya
keseimbangan dalam model Stackelberg First-Mover Advantage harus memenuhi
syarat bahwa perusahaan leader harus mengetahui bahwa follower akan mengikuti
aksinya.
Analisis model Stackelberg First-Mover Advantage ini dimulai dengan
perusahaan 2 yang mengambil keputusan setelah perusahaan 1, sehingga

8
Diambil dari: Pindyck, Robert S. , Daniel L. Rubinfeld. 2001. Microeconomics 5
th
Ed. New
Jersey: Prentice Hall, Inc.
Pengaruh privatisasi dengan..., Anggita Cinditya Mutiara Kusuma, FE UI, 2009

Universitas Indonesia
35

perusahaan 2 menganggap output perusahaan 1 sebagai sesuatu yang tetap. Total
penerimaan perusahaan 2, R
2
, dinyatakan oleh

2 1
2
2 2 2
2 2 1 2 2
2 2 2
30
) ( 30
) 30 (
Q Q Q Q R
Q Q Q Q R
Q Q PQ R
=
+ =
= =
(2.2)

Penerimaan marjinalnya MR
2
, adalah penerimaan tambahan R
2
yang
dihasilkan dari perubahan tambahan output Q
2

1 2 2 2 2
2 30 / Q Q Q R MR = = (2.3)

Sekarang, dengan menentukan MR
2
sama dengan nol (sebagai syarat
untuk memaksimalkan output), maka kurva reaksi perusahaan 2 adalah sebagai
berikut

1 2
2
1
15 Q Q = (2.4)

Sementara perusahaan 1 berusaha memaksimalkan laba pada saat
penerimaan marjinalnya sama dengan biaya marjinalnya yang berjumlah nol.
Total penerimaan perusahaan 1, R
1
, dinyatakan oleh
2 1
2
1 1 1
1 2 1 1 1
1 1 1
30
) ( 30
) 30 (
Q Q Q Q R
Q Q Q Q R
Q Q PQ R
=
+ =
= =
(2.5)

Karena R
1
bergantung pada Q
2
, perusahaan 1 harus mengantisipasi
seberapa besar yang akan diproduksi perusahaan 2. Namun perusahaan 1 tahu
bahwa perusahaan 2 akan memilih Q
2
sesuai dengan kurva reaksi (2.4). Dengan
mensubstitusikan persamaan (2.4) untuk Q
2
ke dalam persamaan (2.5), kita dapat
menemukan bahwa penerimaan perusahaan 1 adalah

Pengaruh privatisasi dengan..., Anggita Cinditya Mutiara Kusuma, FE UI, 2009

Universitas Indonesia
36

2
1 1 1
1 1
2
1 1 1
2
1
15
2
1
15 30
Q Q R
Q Q Q Q R
=

=
(2.6)

Maka, penerimaan marjinal perusahaan 1 adalah

1 1 1 1
15 / Q Q R MR = = (2.7)

Penentuan MR
1
= 0 akan menghasilkan Q
1
= 15. Sementara dari kurva
reaksi perusahaan 2 (2.4), kita menemukan bahwa Q
2
= 7,5. Ini artinya,
perusahaan 1 memproduksi dua kali lipat produk perusahaan 2 dan memperoleh
laba dua kali lebih banyak. Model Stackelberg First-Mover Advantage berhasil
membuktikan bahwa menjadi perusahaan yang bertindak lebih dulu memberi
keunggulan bagi perusahaan 1.
Model Stackelberg First-Mover Advantage tersebut memang tidak
sepenuhnya relevan dengan penelitian ini. Hal ini karena model Stackelberg First-
Mover Advantage hanya dapat dibuktikan pada pasar duopoli di dalam satu
industri yang sama. Namun, intisari model Stackelberg First-Mover Advantage
yang menyatakan bahwa perusahaan yang bertindak lebih dahulu akan
mendapatkan keunggulan lebih besar dibandingkan perusahaan yang bertindak
setelahnya mampu dijadikan hipotesis bahwa BUMN yang melakukan proses
privatisasi terlebih dahulu akan mendapatkan keunggulan dibandingkan BUMN
yang melakukan proses privatisasi belakangan. Hal ini diperkuat dengan
kenyataan bahwa BUMN yang melakukan proses privatisasi lebih awal akan
mampu beradaptasi dengan persaingan di pasar, memperoleh kesempatan untuk
melakukan inovasi lebih awal, serta mampu mengembangkan usahanya lebih lama
sehingga pada akhirnya akan mampu memiliki kinerja yang lebih baik
dibandingkan dengan BUMN yang baru belakangan melakukan proses privatisasi.




Pengaruh privatisasi dengan..., Anggita Cinditya Mutiara Kusuma, FE UI, 2009

Universitas Indonesia
37

2.6. Penelitian Privatisasi Terdahulu

Privatisasi telah menjadi salah satu pusat perhatian dalam ilmu ekonomi
terutama setelah globalisasi makin meluas di dunia. Penelitian pertama yang
membandingkan kinerja BUMN sebelum dan sesudah privatisasi dilakukan oleh
Megginson, Nash, dan van Randenborgh (1994) terhadap 61 perusahaan dari 18
negara dan 32 sektor industri dengan jangka waktu 1961-1989. Penelitian tersebut
membandingkan kinerja BUMN dari 3 (tiga) tahun sebelum privatisasi hingga 3
(tiga) tahun setelah privatisasi, dan mendapatkan hasil bahwa secara ekonomi dan
statistik terdapat peningkatan secara signifikan dalam output, efisiensi
operasional, profitabilitas, pemanfaatan modal investasi, dan pembayaran dividen
setelah proses privatisasi. Bahkan metode penelitian berupa analisis tanpa
penyesuaian pasar secara keseluruhan dengan uji peringkat bertanda Wilcoxon
yang dilakukan oleh Megginson, Nash, dan van Randenborgh disebut sebagai
metodologi MNR dan banyak dipakai pada penelitian serupa berikutnya, termasuk
pada penelitian ini sebagai metode analisis deskriptif. Metode MNR tersebut
membandingkan indikator-indikator kinerja pada periode sebelum dan sesudah
privatisasi dengan proksi-proksi seperti yang ditunjukkan dalam Tabel 2.3 sebagai
berikut.



Tabel 2.2. Pendekatan Metode MNR

Characteristics Proxy
Predicted
Relationship*
Return on Sales (ROS) = Net Income/Sales ROSa > ROSb
Return on Assets (ROA)= Net Income/Total Assets ROAa > ROAb Profitability
Return on Equity (ROE) = Net Income/ Equity ROEa > ROEb
Sales Efficiency (SALEFF) = Sales/Number of
Employees
SALEFFa >
SALEFFb Operating
Efficiency Net Income Efficiency (NIEFF) = Net
Income/Number of Employees
NIEFFa > NIEFFb
Capital
Investment
Capital Expenditures to Sales (CESA) = Capital
Expenditures/Sales
CESAa > CESAb
Pengaruh privatisasi dengan..., Anggita Cinditya Mutiara Kusuma, FE UI, 2009

Universitas Indonesia
38

Capital Expenditures to Assets (CETA) = Capital
Expenditures/Total Assets
CETAa > CETAb
Output
Real Sales (RS) = Nominal Sales/Consumer Price
Index
RSa ? RSb
Employment
Total Employment (EMPL) = Total Number of
Employees
EMPLa < EMPLb
Liabilities to Assets (LTA) = Total Liabilities/Total
Assets
LAa < Lab
Debt to Assets (LEV) = Total Debt/Total Assets LEVa < LEVb Leverage
Long Term Debt to Equity (LEV2) = Long Term
Debt/Equity
LEV2a < LEV2b
Dividends to Sales (DIVSAL) = Cash
Dividens/Sales
DIVSALa >
DIVSALb
Payout
Dividend Payout (PAYOUT) = Cash
Dividends/Net Income
PAYOUTa >
PAYOUTb

Sumber: Megginson, Nash, dan Van Randenborgh (1994)

Metode MNR ini, misalnya, digunakan oleh Macquieira dan Zurita (1996)
pada penelitian serupa terhadap kinerja 22 perusahaan Chili yang diprivatisasi
pada tahun 1984-1989. Hasil penelitian ini kembali menunjukkan bahwa terjadi
peningkatan signifikan pada output, profitabilitas, produktivitas pekerja, investasi,
dan pembayaran dividen. Namun setelah melakukan penyesuaian pergerakan
pasar, perubahan tersebut tidak lagi terjadi secara signifikan. Boubakri dan Cosset
(1998) menggunakan metode yang berbeda yaitu dengan perubahan nilai rasio
sebelum dan setelah privatisasi dan memfokuskan penelitian privatisasi ini dengan
meneliti 79 perusahaan hanya dari 21 negara berkembang dan 32 sektor industri
pada tahun 1980-1992, dan kembali menunjukkan peningkatan secara signifikan 3
(tiga) tahun setelah terjadinya privatisasi pada output, efisiensi operasional,
profitabilitas, pemanfaatan modal investasi, pembayaran dividen, dan
produktivitas pegawai, serta pengurangan secara signifikan pada leverage. Bahkan
peningkatan kinerja BUMN yang ditunjukkan dengan metode ini lebih besar
daripada yang ditunjukkan dengan metode MNR.
Setelah itu, penelitian privatisasi sering difokuskan pada privatisasi
dengan metode penjualan saham. Hal ini misalnya dilakukan oleh DSouza dan
Pengaruh privatisasi dengan..., Anggita Cinditya Mutiara Kusuma, FE UI, 2009

Universitas Indonesia
39

Megginson (1999) terhadap 85 perusahaan dari 28 negara yang diprivatisasi
dengan metode penjualan saham pada rentang waktu 1990-1994 dengan
menggunakan metode MNR. Hampir sama dengan penelitian-penelitian
sebelumnya, mereka berhasil membuktikan secara empiris bahwa terjadi
peningkatan signifikan pada profitabilitas, output, efisiensi operasional, dan
pembayaran dividen. Selain itu terjadi penurunan signifikan pada rasio hutang
serta terdapat penurunan jumlah karyawan walaupun tidak signifikan. DSouza
dan Megginson kemudian menyimpulkan bahwa privatisasi menghasilkan
peningkatan kinerja yang signifikan terhadap perusahaan milik negara. Penelitian
serupa lalu dilanjutkan oleh Verbrugge, Megginson, dan Owens (2000) terhadap
65 bank yang secara penuh atau sebagian diprivatisasi dengan menggunakan
metode penjualan saham dari tahun 1981-1996. Namun mereka hanya mampu
membuktikan bahwa perubahan kinerja yang terjadi ternyata bersifat moderat atau
tidak terlalu terpengaruh oleh proses privatisasi, walaupun para investor yang
membeli saham bank milik negara pada saat penawaran saham perdana tetap
mendapatkan return yang positif.
Salah satu penelitian terhadap perusahaan milik negara yang juga akan
menjadi jurnal acuan dalam penelitian ini adalah penelitian yang dilakukan oleh
Dewenter dan Malatesta (2001) pada 63 perusahaan besar dan memiliki informasi
lengkap yang diprivatisasi selama kurun waktu 1981-1994. Berbeda dengan
beberapa penelitian sebelumnya, penelitian tersebut tidak hanya membandingkan
kinerja perusahaan milik negara sebelum dan setelah privatisasi dengan metode
MNR, melainkan juga melakukan regresi untuk melihat perbandingan kinerja
relatif antara perusahaan milik negara dengan perusahaan swasta. Model yang
digunakan oleh Dewenter dan Malatesta dalam melihat perbandingan kinerja
relatif antara perusahaan milik negara dan perusahaan swasta pada tiga indikator
kinerja utama (profitabilitas, rasio hutang, dan intensitas tenaga kerja) adalah
sebagai berikut:

) ( DREGIONit t DINDUSTRYi GGDPt ASSETSit DGOVit ROSit + + + + = (2.8)
) ( DREGIONit t DINDUSTRYi GGDPt SALESit DGOVit ROAit + + + + = (2.9)
) ( DREGIONit t DINDUSTRYi GGDPt SALESit DGOVit ROEit + + + + = (2.10)
Pengaruh privatisasi dengan..., Anggita Cinditya Mutiara Kusuma, FE UI, 2009

Universitas Indonesia
40

) ( DREGIONit t DINDUSTRYi GGDPt SALESit DGOVit LTAit + + + + = (2.11)
) ( DREGIONit t DINDUSTRYi GGDPt ASSETSit DGOVit ERSit + + + + = (2.12)
) ( DREGIONit t DINDUSTRYi GGDPt SALESit DGOVit ERAit + + + + = (2.13)

Dimana,
ROSit = Return on Sales perusahaan i pada tahun t
ROAit = Return on Assets perusahaan i pada tahun t
ROEit = Return on Equity perusahaan i pada tahun t
LTAit = Liabilities to Total Assets perusahaan i pada tahun t
ERSit = Rasio jumlah tenaga kerja terhadap real sales perusahaan i pada
tahun t
ERAit = Rasio jumlah tenaga kerja terhadap real assets perusahaan i pada
tahun t
DGOVit = Dummy variable untuk kepemilikan, dimana 1 menunjukkan
kepemilikan negara (BUMN) sementara 0 menunjukkan
kepemilikan swasta
ASETit = Logaritma real assets perusahaan i pada tahun t
SALESit = Logaritma real sales perusahaan i pada tahun t
GGDPt = Pertumbuhan Produk Domestik Bruto tahun t
DINDUSTRY = Dummy variable untuk jenis industri perusahaan i pada tahun t
DREGION = Dummy variable untuk daerah geografis perusahaan i pada tahun
t

Hasil penelitian tersebut secara signifikan menjelaskan bahwa perusahaan
milik negara memiliki kinerja inferior dibandingkan dengan perusahaan swasta,
sesuai dengan penelitian yang juga pernah dilakukan oleh Boardman dan Vining
(1989). Sementara metode MNR yang juga digunakan pada penelitian ini
menunjukkan hasil yang beragam tak seperti pada penelitian-penelitian
sebelumnya. Diantaranya, beberapa indikator kinerja berbasis profitabilitas
memang telah meningkat beberapa tahun sebelum privatisasi dan meningkat lagi
setelah privatisasi. Namun perhitungan pendapatan sebelum dikurangi pendapatan
dan pajak (pendapatan kotor) justru meningkat sebelum privatisasi dan menurun
Pengaruh privatisasi dengan..., Anggita Cinditya Mutiara Kusuma, FE UI, 2009

Universitas Indonesia
41

kembali setelahnya. Hasil penelitian tersebut juga menemukan bahwa banyak dari
peningkatan kinerja perusahaan milik negara sebenarnya telah muncul lebih dari
tiga tahun sebelum pemerintah mengurangi kepemilikan sahamnya atau
melakukan proses privatisasi. Hal ini menimbulkan dugaan bahwa pemerintah
telah melakukan manipulasi data keuangan sebelum penerbitan saham perdana
untuk menarik minat para investor, seperti yang telah dibuktikan oleh Loughran
dan Ritter (1995). Selain itu, penelitian ini juga membuktikan bahwa terjadi
peningkatan jumlah karyawan setelah perusahaan milik negara diprivatisasi,
berkebalikan dengan penelitian-penelitian sebelumnya. Namun Dewenter dan
Malatesta tetap menemukan bahwa tingkat rasio hutang perusahaan milik negara
memang menurun setelah proses privatisasi. Hal ini terjadi karena perusahaan
milik negara selama ini memang tidak memiliki pilihan lain untuk mendapatkan
dana selain berhutang dan mereka dapat berhutang langsung pada pemerintah
dengan tingkat bunga yang menguntungkan. Namun privatisasi, terutama yang
dilakukan dengan penjualan saham, memungkinkan perusahaan mendapatkan
sumber pendanaan berupa penjualan saham di pasar modal.
Kesimpulan akhir penelitian Dewenter dan Malatesta tersebut menyatakan
bahwa walaupun perusahaan milik negara memang mendapatkan keuntungan
yang lebih rendah dibandingkan perusahaan swasta, tidak terdapat cukup bukti
bahwa privatisasi merupakan faktor satu-satunya yang dapat meningkatkan
keuntungan atau profitabilitas. Sebagian besar pengukuran profitabilitas dalam
penelitian tersebut menunjukkan bahwa sebenarnya profitabilitas perusahaan
milik negara bernilai lebih rendah pada lima tahun setelah privatisasi
dibandingkan tiga tahun sebelumnya. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah
telah melakukan restrukturisasi pada setidaknya beberapa perusahaan negara
sebelum memprivatisasinya. Artinya, kepentingan politik di balik privatisasi
merupakan faktor utama yang memaksa perusahaan negara untuk beroperasi
secara lebih menguntungkan. Penelitian tersebut menyarankan bahwa seharusnya
tujuan utama dalam melakukan privatisasi bukanlah untuk mencapai manfaat
efisiensi, melainkan untuk memungkinkan perusahaan negara menghadapi
perubahan situasi ekonomi-politik di negaranya. Hal ini sesuai dengan apa yang
diungkapkan Yarrow (1986) bahwa walaupun privatisasi dapat menuntun
Pengaruh privatisasi dengan..., Anggita Cinditya Mutiara Kusuma, FE UI, 2009

Universitas Indonesia
42

peningkatan kinerja bagi perusahaan yang akhirnya dimiliki publik, peningkatan
tersebut akan terbuang sia-sia tanpa meningkatnya disiplin perusahaan tersebut.
Sementara itu, penelitian terdahulu menyangkut privatisasi dan
kepemilikan perusahaan juga telah dilakukan di Indonesia. Sebagai contoh,
Friawan (2002) meneliti mengenai hubungan struktur kepemilikan dan kinerja
profitabilitas pada perusahaan di Indonesia dan menyimpulkan bahwa perusahaan
yang dimiliki pemerintah (BUMN) memiliki kinerja profitabilitas yang lebih
rendah. Selain itu, Yusuf (2006) menggunakan metode Data Envelopment
Analysis (DEA) untuk menganalisis kinerja efisiensi relatif 13 BUMN yang
dikelompokkan ke dalam lima sektor usaha, yaitu sektor pertambangan; semen,
dan gas; sektor konstruksi; sektor telekomunikasi; dan sektor perbankan untuk
periode waktu analisis 2 tahun sebelum dan 2 tahun sesudah privatisasi, dan untuk
sektor farmasi dengan periode waktu analisis 4 tahun sebelum dan sesudah
privatisasi. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa hasil privatisasi tidak
sama untuk setiap BUMN dimana bagi beberapa BUMN proses privatisasi tidak
terlalu mempengaruhi kinerja produktivitas perusahaan tersebut. Walau secara
keseluruhan proses privatisasi mampu membawa perbaikan pada kinerja efisiensi
BUMN, namun hasil uji Wilcoxon menunjukkan secara rata-rata privatisasi yang
dilakukan tidak menunjukkan perubahan yang signifikan pada tingkat
produktivitas BUMN. Sedangkan Dharmestabudhi (2007) meneliti pengaruh
privatisasi asing terhadap kinerja industri semen dengan menggunakan studi kasus
PT. Semen Gresik, Tbk dari tahun 1980-2004. Dengan menggunakan metode
Price Cost Margin (PCM), diperoleh kesimpulan bahwa hasil privatisasi asing PT.
Semen Gresik oleh perusahaan asing (Cemex) melalui kerjasama mitra strategis
secara individual mampu meningkatkan kinerja PT. Semen Gresik karena
didukung oleh Cemex yang juga pemain besar industri semen di pasar
internasional.
Penelitian terdahulu yang dilakukan terkait privatisasi selama ini memang
sebagian besar dilakukan dengan membandingkan kinerja BUMN dari berbagai
macam indikator pada periode sebelum dan sesudah privatisasi. Sementara terkait
dengan topik penelitian ini yang salah satunya untuk meneliti pengaruh waktu
dilaksanakannya privatisasi terhadap kinerja BUMN sesuai dengan dasar teori
Pengaruh privatisasi dengan..., Anggita Cinditya Mutiara Kusuma, FE UI, 2009

Universitas Indonesia
43

Stackelberg First-Mover Advantage belum pernah dilakukan. Dengan
menggunakan hipotesis dari penelitian-penelitian terdahulu, penulis ingin
mencoba membuktikan bahwa privatisasi memang membawa dampak yang positif
bagi perusahaan negara yang sebagian sahamnya telah dimiliki oleh publik.
Penulis akan menggunakan metode MNR untuk menganalisis secara deskriptif
perubahan kinerja BUMN sebelum dan setelah diprivatisasi. Sementara untuk
analisis regresi penulis akan menggunakan dasar teori Stackelberg First-Mover
Advantage untuk membuktikan BUMN yang melakukan pergerakan lebih dahulu,
dalam hal ini melakukan privatisasi lebih awal, akan memiliki kinerja yang lebih
baik dibandingkan BUMN yang bergerak belakangan atau melakukan privatisasi
belakangan.

Pengaruh privatisasi dengan..., Anggita Cinditya Mutiara Kusuma, FE UI, 2009

44
Universitas Indonesia
BAB 3
PERKEMBANGAN PRIVATISASI BUMN


3.1. Perkembangan BUMN di Indonesia
9


Selama beberapa dasawarsa ini Badan Usaha Milik Negara (BUMN) telah
berperan dalam perekonomian nasional dengan mendukung dan mendorong gerak
pembangunan bangsa Indonesia. Master Plan yang dikeluarkan Kementerian
Negara BUMN menyatakan bahwa pada tahun 1940-1950-an sektor korporasi
masih kecil dan didominasi oleh perusahaan asing atau perusahaan dengan
kepemilikan yang sangat terpusat. Peranan dan kekuatan pemerintah pada waktu
itu masih terbatas dan lembaga-lembaga yang dibutuhkan untuk membina sektor
korporasi dalam perekonomian modern belum didirikan. Di sisi lain dana
investasi swasta yang dibutuhkan belum dapat tersedia. Pada tahun 1970-an
beberapa sektor yang menyangkut hajat hidup orang banyak belum terkelola
dengan baik. Pemerintah kemudian menyadari bahwa sektor korporasi yang
handal dalam membangun perekonomian nasional dibutuhkan untuk menciptakan
lapangan kerja, menghasilkan barang dan jasa untuk dalam negeri maupun ekspor,
serta memberi layanan yang optimal bagi konsumen.
Pemerintah mulai mengembangkan sektor korporasi dengan mendirikan
BUMN yang sebagian berasal dari hasil nasionalisasi perusahaan eks Belanda.
Sejak saat itu peranan pemerintah sampai dengan awal 1970-an mendominasi
kegiatan ekonomi, sementara sektor swasta belum menunjukkan kemajuan yang
berarti. Awal tahun 1980-an pemerintah mulai menyadari bahwa untuk
mendorong perekonomian nasional tidak cukup diisi dengan peran pemerintah
saja. Peranan sektor korporasi swasta (termasuk usaha kecil dan menengah) dan
koperasi perlu segera ditingkatkan. Peranan pemerintah melalui kegiatan usaha
BUMN harus segera dikurangi. Kebijakan-kebijakan pembangunan sejak era itu
dikembangkan ke arah peningkatan peran sektor korporasi swasta, hal ini terbukti
dengan menurunnya dominasi kontribusi BUMN terhadap Produk Domestik
Bruto dari 70% di tahun 1970-an menjadi hanya 40% di tahun 2002.

9
Diambil dari Master Plan Badan Usaha Milik Negara 2005-2009, Kementerian Negara BUMN
Pengaruh privatisasi dengan..., Anggita Cinditya Mutiara Kusuma, FE UI, 2009

Universitas Indonesia
45

Walaupun BUMN-BUMN telah mencapai tujuan awal sebagai agen
pembangunan dan pendorong terciptanya sektor korporasi, namun tujuan tersebut
dicapai dengan biaya yang relatif tinggi dan kinerja BUMN dinilai belum cukup
memadai. Sebagai contoh, pengembalian atas modal (ROE) tahun 2000 dan 2001
hanya mencapai 5.15% dan 8.2% atau jauh lebih rendah dibandingkan dengan
tingkat suku bunga di pasar. Sedangkan tahun 19921999 ROE rata-rata hanya
sebesar 9.9%.
Pemerintah menyadari bahwa pengelolaan BUMN secara umum selama
ini masih harus terus diikuti dengan implementasi praktek-praktek Good
Corporate Governance (GCG) yang baik. Praktek-praktek kurang terpuji akibat
belum adanya standar etika bisnis dan belum sempurnanya transparansi dalam
pengelolaan perusahaan, dapat membuat situasi ekonomi semakin memburuk.
Oleh karena itu, praktek-praktek bisnis dengan standar etika dan transparansi,
independensi, akuntabilitas, responsibilitas, dan fairness serta profesionalisme
dalam pengelolaan perusahaan perlu terus didorong agar perkembangan sektor
korporasi baik swasta maupun BUMN senantiasa diikuti dengan perangkat
praktek-praktek GCG yang memadai. Perhatian terhadap masalah-masalah yang
menyebabkan belum optimalnya kinerja BUMN dan dorongan untuk
meningkatkan praktek GCG perlu mendapatkan perhatian besar, sehingga upaya
reformasi BUMN melalui restrukturisasi (revitalisasi) diikuti dengan profitisasi,
kemudian privatisasi, perlu dilaksanakan. Kebutuhan untuk mereformasi BUMN
tidak terlepas dari perubahan iklim usaha yang sedemikian cepat dalam era
globalisasi dimana kegiatan perusahaan tidak lagi dibatasi oleh batas-batas antar
negara dan adanya saling ketergantungan antar bangsa, pasar dan perusahaan-
perusahaan. Fokus pengelolaan BUMN perlu diarahkan pada peningkatan daya
saing, pengembangan usaha dan penciptaan peluang-peluang baru melalui
manajemen yang dinamis dan profesional untuk dapat memasuki dan
berkompetisi dalam era globalisasi, serta keleluasaaan perusahaan dalam upaya
mencapai tujuannya. Dalam upaya mereformasi BUMN, langkah restrukturisasi,
profitisasi dan privatisasi merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan satu sama
lain. Ketiganya juga merupakan komponen yang lekat dengan konsep reformasi
BUMN. Profitisasi diartikan sebagai peningkatan efisiensi perusahaan sehingga
Pengaruh privatisasi dengan..., Anggita Cinditya Mutiara Kusuma, FE UI, 2009

Universitas Indonesia
46

mencapai profitabilitas dengan nilai perusahaan yang optimum, sehingga apabila
dilakukan privatisasi, perusahaan sudah pada kondisi yang optimal pula.
Sedangkan restrukturisasi dilakukan dengan maksud menyehatkan BUMN agar
dapat beroperasi secara efisien, transparan dan profesional. Restrukturisasi
sebagian ataupun menyeluruh terhadap BUMN dibutuhkan untuk peningkatan
kinerja dan nilai perusahaan sebelum divestasi dilakukan. Sedangkan pelaksanaan
divestasi atau privatisasi perlu memperhatikan waktu, situasi dan keadaan pasar
yang tepat.


3.1.1. Perkembangan Jumlah BUMN

BUMN di Indonesia sampai dengan tahun 2006 berjumlah 139 perusahaan
dan beroperasi pada hampir seluruh sektor usaha, khususnya industri hulu.
Perkembangan jumlah BUMN dapat dilihat pada Tabel 3.1 sebagai berikut:



Tabel 3.1. Perkembangan Jumlah BUMN 2002-2006

No. BUMN Jumlah BUMN
2002 2003 2004 2005 2006
1 Persero Tbk 8 11 12 12 12
2 Persero 124 119 119 114 114
3 Perum 11 13 13 13 13
4 Perjan 15 14 14 0 0
Jumlah 158 157 158 139 139
Jumlah perusahaan dengan saham
Negara kurang dari 51% 20 21 21 21 21
BUMN Terbuka
PT Telkom Tbk PT Bank BRI Tbk
PT Semen Gresik
Tbk
PT Bank Mandiri Tbk PT Bank Kimia Farma Tbk
PT Aneka
Tambang Tbk
PT Bank BNI Tbk PT Indofarma Tbk PT Timah Tbk
PT TB Bukit Asam Tbk PT PGN Tbk
PT Adhi Karya
Tbk

Sumber: Master Plan Badan Usaha Milik Negara 2005-2009, Kementerian Negara BUMN

Pengaruh privatisasi dengan..., Anggita Cinditya Mutiara Kusuma, FE UI, 2009

Universitas Indonesia
47

Berdasarkan Tabel 3.1 tersebut dapat diketahui bahwa jumlah BUMN
cenderung menurun selama tahun 2002-2006. Bahkan BUMN yang berbentuk
Perjan (Perusahaan Jawatan) tidak ada lagi di Indonesia semenjak tahun 2005.
Tabel tersebut juga mengungkapkan bahwa walaupun jumlah BUMN cenderung
menurun, jumlah BUMN yang berbentuk Perusahaan Perseroan (Persero) Terbuka
justru meningkat dari semula 8 perusahaan pada tahun 2002 menjadi 12
perusahaan pada tahun 2006. Selain itu jumlah perusahaan dengan saham negara
kurang dari 51% juga meningkat walaupun hanya bertambah satu perusahaan. Hal
ini secara kasat mata menunjukkan bahwa pemerintah ingin meningkatkan
kemandirian BUMN agar dapat bersaing dengan perusahaan lainnya di industri,
baik dengan cara menjadikannya perusahaan terbuka atau dengan mengurangi
presentase kepemilikan saham pemerintah.


3.1.2. Perkembangan Kinerja Keuangan BUMN

Pemerintah sebenarnya telah melakukan berbagai upaya untuk
meningkatkan efisiensi, produktivitas dan profitabilitas BUMN sejak tahun 1988,
namun dirasakan masih belum memberikan hasil yang optimal. Data
perkembangan kinerja keuangan BUMN yang ditunjukkan melalui Return on
Asset (ROA), Return on Equity (ROE), Aktiva, Ekuitas, dan Hutang dapat dilihat
pada gambar-gambar dan tabel-tabel sebagai berikut:

a. Return on Asset (ROA)

ROA untuk BUMN dikelompokkan menjadi 5 bagian yaitu BUMN Jasa
Keuangan, BUMN Non Jasa Keuangan, BUMN Pertamina, BUMN PSO/Subsidi,
dan BUMN Terbuka. Dimana rata-rata ROA per tahun untuk masing-masing
kelompok pada tahun 2002-2006 tersebut secara berurutan adalah 2.41%, 6.19%,
13.92%, 0.17%, dan 4.83%. Gambaran perkembangan ROA tahun 2002-2006
dapat dilihat pada Tabel 3.2.

Pengaruh privatisasi dengan..., Anggita Cinditya Mutiara Kusuma, FE UI, 2009

Universitas Indonesia
48

Tabel 3.2. Perkembangan ROA BUMN 2002-2006

ROA dalam Persen 2002 2003 2004 2005 2006
Rata-
Rata
BUMN Jasa
Keuangan 2.39 2.51 3.03 1.88 2.22 2.41
BUMN Non Jasa
Keuangan 3.51 3.00 5.22 7.56 8.45 6.19
Pertamina 12.26 12.08 17.42 13.92
BUMN PSO/Subsidi (2.07) (2.15) (0.81) (0.26) 0.17 0.17
BUMN Terbuka 4.56 4.53 5.66 4.82 4.56 4.83

Sumber: Master Plan Badan Usaha Milik Negara 2005-2009, Kementerian Negara BUMN, diolah
kembali

Tabel 3.2 tersebut menunjukkan bahwa rata-rata ROA untuk BUMN yang
berada dalam sektor non jasa keuangan lebih besar daripada untuk BUMN yang
berada dalam sektor jasa keuangan. Selain itu, tabel tersebut juga menunjukkan
bahwa rata-rata ROA untuk BUMN terbuka jauh lebih besar daripada BUMN
yang masih disubsidi oleh pemerintah.

b. Return on Equity (ROE)

ROE untuk BUMN juga dikelompokkan menjadi 5 bagian yaitu BUMN
Jasa Keuangan, BUMN Non Jasa Keuangan, BUMN Pertamina, BUMN
PSO/Subsidi dan BUMN Terbuka. Rata-rata ROE per tahun untuk masing-masing
kelompok tersebut adalah 27.83%, 19.56%, 18.60%, (1.38%), dan 38.92%.
Gambaran perkembangan ROE tahun 2002-2006 dapat dilihat pada Tabel 3.3.
Berbanding terbalik dengan perkembangan ROA, perkembangan ROE
yang ditunjukkan melalui Tabel 3.3 menunjukkan bahwa rata-rata ROE untuk
BUMN yang berada dalam sektor jasa keuangan lebih besar daripada untuk
BUMN yang berada dalam sektor non jasa keuangan. Namun perkembangan ROE
kembali menunjukkan bahwa rata-rata ROE untuk BUMN terbuka jauh lebih
besar daripada BUMN yang masih disubsidi oleh pemerintah.



Pengaruh privatisasi dengan..., Anggita Cinditya Mutiara Kusuma, FE UI, 2009

Universitas Indonesia
49

Tabel 3.3. Perkembangan ROE BUMN 2002-2006

ROE dalam Persen 2002 2003 2004 2005 2006
Rata-
Rata
BUMN Jasa
Keuangan 33.52 28.36 29.41 20.02 20.81 27.83
BUMN Non Jasa
Keuangan 22.98 18.58 22.95 13.72 15.07 19.56
Pertamina 17.82 19.37 24.33 18.60
BUMN PSO/Subsidi (3.02) (3.37) 1.29 (0.42) 0.35 (1.38)
BUMN Terbuka 44.59 36.37 40.03 34.70 27.41 38.92

Sumber: Master Plan Badan Usaha Milik Negara 2005-2009, Kementerian Negara BUMN, diolah
kembali

c. Perkembangan Total Aktiva, Ekuitas dan Hutang

Total aktiva atau aset, ekuitas dan hutang pada BUMN selama tahun 2002-
2006 memang terlihat menunjukkan perkembangan, walaupun tidak semuanya
berkembang secara signifikan. Gambar 3.1 menunjukkan bahwa jika dilihat dari
sisi jumlah aset, tampak terjadi pertumbuhan jumlah aset yang cukup signifikan
dalam periode tahun 20022006. Namun pertumbuhan jumlah aset tersebut
dirasakan belum proporsional dengan pertumbuhan modal perusahaan yang
pertumbuhannya relatif minim. Sehingga bisa dikatakan bahwa perkembangan
total aktiva ini disebabkan sebagian besar dibiayai dari dana eksternal atau hutang
yang pada Gambar 3.1 tersebut juga menunjukkan perkembangan yang signifikan.

0
200
400
600
800
1000
1200
1 2 3 4 5
Tahun
R
p

T
r
i
l
i
u
n
Total Kewajiban
Total Ekuitas
Total Aktiva

Gambar 3.1. Perkembangan Total Aktiva, Ekuitas, dan Hutang BUMN 2002-
2006
Sumber: Master Plan Badan Usaha Milik Negara 2005-2009, Kementerian Negara BUMN

Pengaruh privatisasi dengan..., Anggita Cinditya Mutiara Kusuma, FE UI, 2009

Universitas Indonesia
50

d. Perkembangan Jumlah Laba

Sama halnya dengan jumlah aset, jumlah laba yang diperoleh BUMN pada
periode tahun 2002-2006 juga mengalami pertumbuhan yang signifikan, yaitu
rata-rata 37.56% per tahun. Perkembangan laba BUMN yang mengalami
perkembangan paling signifikan terjadi pada tahun 2003 ke tahun 2004.
Sementara perkembangan tahun 2004 ke tahun 2005 tidak terlalu menunjukkan
perkembangan yang signifikan. Perkembangan laba BUMN selama periode 2002-
2006 dapat dilihat melalui Gambar 3.2 berikut ini.





Gambar 3.2. Perkembangan Laba BUMN 2002-2006

Sumber: Master Plan Badan Usaha Milik Negara 2005-2009, Kementerian Negara BUMN


3.1.3. Perkembangan Kontribusi BUMN

Kontribusi BUMN terhadap penerimaan negara bersumber dari dividen
BUMN, pajak yang disetorkan BUMN, dan hasil privatisasi BUMN.
Perkembangan kontribusi BUMN terhadap negara selama tahun 2002-2006
ternyata menunjukkan hasil yang naik-turun, walaupun secara rata-rata masih
memberikan peningkatan kontribusi, seperti yang dapat ditunjukkan melalui tabel-
tabel dan gambar-gambar berikut ini:


Pengaruh privatisasi dengan..., Anggita Cinditya Mutiara Kusuma, FE UI, 2009

Universitas Indonesia
51

a. Kontribusi Dividen

Pada periode tahun 2002-2006 terjadi pertumbuhan kontribusi dividen
rata-rata 13.34% per tahun. Pertumbuhan tersebut di samping karena perbaikan
keuntungan BUMN, juga disebabkan karena kebijakan pemerintah untuk
meningkatkan devidend pay out ratio dari rata-rata 20% sebelum krisis moneter
1997, menjadi sekitar 40% setelah krisis moneter, bahkan beberapa BUMN
dikenakan lebih dari 50%. Gambaran kontribusi dividen BUMN dapat dilihat
pada Gambar 3.3 berikut.





Gambar 3.3. Perkembangan Kontribusi Dividen BUMN 2002-2006

Sumber: Master Plan Badan Usaha Milik Negara 2005-2009, Kementerian Negara BUMN

b. Kontribusi Pajak

Kontribusi BUMN lainnya yaitu pajak, pada periode tahun 2002-2006 juga
mengalami pertumbuhan yang cukup tinggi yaitu rata-rata 35.4% per tahun.
Peningkatan kontribusi pajak BUMN antara lain disebabkan karena adanya
perbaikan keuntungan BUMN sehingga mampu memberikan kontribusi pajak
yang lebih tinggi. Peningkatan kontribusi BUMN terhadap pajak dapat dilihat
melalui Gambar 3.4 berikut ini.

Pengaruh privatisasi dengan..., Anggita Cinditya Mutiara Kusuma, FE UI, 2009

Universitas Indonesia
52



Gambar 3.4. Perkembangan Kontribusi Pajak BUMN 2002-2006

Sumber: Master Plan Badan Usaha Milik Negara 2005-2009, Kementerian Negara BUMN

c. Kontribusi Privatisasi

Kontribusi BUMN dari segi privatisasi sangat tergantung pada keputusan
pemerintah untuk melakukan atau tidak melakukan proses privatisasi setiap
tahunnya. Data yang diberikan Kementerian Negara BUMN menunjukkan bahwa
dari 15 BUMN yang telah diprivatisasi dari tahun 1999 sampai 2006 (tahun 2005
tidak ada privatisasi) melalui metode IPO atau penjualan saham perdana (12
BUMN) dan metode lain (3 BUMN), menghasilkan kontribusi sebesar Rp 25.9
triliun, seperti yang ditunjukkan dalam Gambar 3.5 berikut ini.





Gambar 3.5. Perkembangan Kontribusi Privatisasi BUMN 2002-2006

Sumber: Master Plan Badan Usaha Milik Negara 2005-2009, Kementerian Negara BUMN

Pengaruh privatisasi dengan..., Anggita Cinditya Mutiara Kusuma, FE UI, 2009

Universitas Indonesia
53

Berdasarkan keterangan yang diberikan Bursa Efek Indonesia (BEI) pada
tanggal 5 Januari 2007, peran 12 BUMN Tbk. dalam Pasar Modal cukup besar.
Hal ini dapat dilihat dari penguasaan kapitalisasi pasar di BEI yang mencapai
36.02% atau senilai Rp 456.5 Triliun dari total 342 Perusahaan Tbk.


3.2. Metode Privatisasi

Seperti yang telah disebutkan melalui Kementerian Negara BUMN, untuk
meningkatkan kinerja BUMN salah satu cara yang dapat ditempuh adalah dengan
melakukan proses privatisasi terhadap BUMN. Menurut Indra Bastian (2002),
privatisasi BUMN dapat dilakukan dengan beberapa metode, yaitu:
1) Penawaran umum (Flotation)
Penawaran umum atau flotation adalah penjualan saham suatu perusahaan
melalui pasar modal sampai dengan 100% dari kepemilikan saham
perusahaan tersebut atau secara penuh. Penjualan saham yang dilakukan
untuk pertama kalinya dikenal dengan istilah Penawaran Umum Perdana
atau Initial Public Offering (IPO).
2) Penempatan Langsung (Direct Placement)
Penempatan langsung merupakan penjualan saham perusahaan sampai
100% kepada pihak-pihak lain dengan cara negosiasi, umumnya melalui
tender. Hal ini dapat disebut pula private placement (penjualan langsung
ke satu investor secara borongan), strategic sale atau trade sale.
3) Management Buy Out (MBO)
MBO adalah pembelian saham mayoritas oleh suatu konsorsium yang
diorganisasi dan dipimpin oleh manajemen perusahaan yang bersangkutan.
Biasanya para manajer hanya menempatkan sejumlah kecil dari modal
yang dibutuhkan dan diikuti oleh pemodal lainnya seperti perusahaan
modal ventura atau bank investasi.
4) Likuidasi
Likuidasi adalah alat untuk menyebarkan kembali (redeploy) aset dan
tenaga kerja untuk tujuan pemanfaatan yang lebih produktif. Pihak yang
Pengaruh privatisasi dengan..., Anggita Cinditya Mutiara Kusuma, FE UI, 2009

Universitas Indonesia
54

melakukan likuidasi harus mempertimbangkan hasil terbaik apakah yang
akan diperoleh dengan cara menjual perusahaan sebagai usaha yang
sedang berjalan (going concern) atau dengan cara menjual asetnya.
5) Privatisasi Lelang
Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Keuangan No. 47/KMK.01/1996,
pelelangan aset negara dapat dilakukan oleh Balai Lelang Swasta. SK
tersebut dikeluarkan untuk menguatkan peran profesional swasta untuk
menangani aset negara yang akan dilelang.
6) Kepemilikan dengan menggunakan Dana Perwalian Privatisasi
(Privatization Trust Fund)
Metode ini dipertimbangkan penggunaannya apabila BUMN tidak dapat
dijual kepada pemilik modal atau kepada masyarakat. Pemerintah akan
memindahkan saham yang tidak terjual kepada sebuah dana perwalian
yang akan mengelola portfolionya, menerima deviden, dan menjual
kepemilikannya pada kondisi pasar yang tepat.
7) Penjualan Aset
Penjualan aset adalah metode yang memisahkan aset perseroan dan
menjual aset tersebut sehingga dapat dipergunakan oleh swasta.
8) Konsesi
Konsesi adalah sewa aset untuk jangka panjang, biasanya antara 25 sampai
30 tahun. Pemegang konsesi mempunyai hak umtuk menjalankan usaha
dan berkewajiban memelihara aset yang ada dan juga menambahkan aset
bila diperlukan.
9) Sewa Guna Usaha atau Lease
Metode ini memberikan hak pada penyewa untuk mengelola sekumpulan
aset untuk jangka waktu yang singkat, umumnya 4 sampai 5 tahun, tetapi
pemiliknya tetap bertanggung jawab untuk menambah aset tersebut dan
umumnya juga memelihara aset yang ada.

Sementara menurut Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2005,
privatisasi pada BUMN dapat dilakukan dengan menggunakan salah satu dari 3
metode di bawah ini yaitu:
Pengaruh privatisasi dengan..., Anggita Cinditya Mutiara Kusuma, FE UI, 2009

Universitas Indonesia
55

a) Penjualan Saham berdasarkan Ketentuan Pasar Modal;
b) Penjualan Saham Langsung kepada Investor/Strategic Sale (SS)
c) Penjualan Saham kepada Manajemen dan/atau Karyawan (Employee and
Management Buy Out /EMBO)
Masing-masing metode tersebut memiliki kriteria yang berbeda-beda dan
disesuaikan dengan kondisi BUMN pada saat akan diprivatisasi. Kriteria bagi
BUMN yang akan diprivatisasi dengan metode Penjualan Saham berdasarkan
Ketentuan Pasar Modal, yang juga merupakan metode yang menjadi fokus
penelitian ini, adalah:
a) Berada dalam sektor yang kompetitif, mengalami pertumbuhan beberapa
tahun terakhir dan memiliki trend pertumbuhan ke depan serta sahamnya
diminati oleh investor;
b) Mampu membukukan keuntungan (profitable) dan memiliki prospek
usaha yang baik di masa mendatang;
c) Memiliki produk/jasa unggulan;
d) Membutuhkan investasi modal yang besar untuk pengembangan usaha;
e) Memiliki kompetensi baik teknis, manajemen dan jaringan pemasaran
yang memadai;
f) Memenuhi persyaratan peraturan Bapepam dan Bursa Efek (Pasar Modal).
Sedangkan Penjualan Saham Langsung kepada Investor/Strategic Sale
(SS) dapat dilakukan terhadap BUMN-BUMN yang memenuhi kriteria di bawah
ini:
a) Memerlukan bantuan dan keahlian, know-how, expertise dari mitra
strategis, seperti operasi/teknis, inovasi/pengembangan produk,
manajemen, pemasaran teknologi, dan kemampuan pendanaan;
b) Membutuhkan dana yang besar namun menghadapi keterbatasan dana dari
Pemerintah (selaku shareholder) dan/atau kesulitan menarik dana dari
pasar modal;
c) Mendorong lebih lanjut pengelolaan dan pengembangan sebagian
aset/kegiatan operasionalnya yang dapat dipisahkan untuk dikerjasamakan
dengan mitra strategis;
Pengaruh privatisasi dengan..., Anggita Cinditya Mutiara Kusuma, FE UI, 2009

Universitas Indonesia
56

d) Mengurangi kepemilikan negara menjadi minoritas sepanjang tidak
bertentangan dengan regulasi;
e) Merupakan sektor yang bukan strategis bagi Pemerintah.
Adapun Employee and Management Buy Out (EMBO) digunakan untuk
BUMN-BUMN yang masuk dalam kriteria:
a) Memiliki bidang usaha yang core business-nya jasa profesional
(brainware), atau core business-nya bukan jasa profesional tetapi bidang
usahanya sangat kompetitif dan memerlukan kompetensi tehnis khusus;
b) Nilai aset relatif kecil dan hasil penjualan saham relatif tidak terlalu besar;
c) Perusahaan harus menjaga kelangsungan (kesinambungan) program yang
telah terjadwal sehingga diharapkan program privatisasi tidak akan
mengubah dinamika manajemen yang ada dan tidak mempengaruhi
kegiatan usaha;
d) Nature of businessnya dianggap dapat dijalankan dan dimiliki oleh
karyawan/manajemen;
e) Modal perusahaan tidak terlalu besar, sehingga karyawan dan manajemen
mampu untuk berpartisipasi dalam kepemilikannya.
Kementerian Negara BUMN sendiri menyatakan bahwa sebagai strategi
pokok maka secara umum, privatisasi diarahkan bukan semata-mata untuk
pemenuhan APBN, tetapi lebih diutamakan untuk mendukung pengembangan
perusahaan dengan metode utama melalui penawaran umum di pasar modal serta
untuk lebih mendorong penerapan prinsip-prinsip Good Corporate Governance.
Oleh karena itu, privatisasi yang dilakukan tidak melalui metode penawaran
umum lewat pasar modal akan dilakukan sangat selektif dan hati-hati. Metode ini
terutama digunakan untuk BUMN-BUMN yang memerlukan pendanaan yang
tidak dapat diperoleh atau dipenuhi dari pasar modal dan/atau pemerintah serta
memerlukan peningkatan kompetensi tehnis, manajemen dan pemasaran.
Pemerintah juga telah melegalkan privatisasi BUMN secara hukum
melalui beberapa peraturan dan ketentuan yang bersifat tetap. Peraturan dan
Ketentuan Terkait dengan privatisasi BUMN antara lain sebagai berikut:
a) Keputusan Presiden Nomor 103 tahun 1998 Tentang Tim Evaluasi
Privatisasi BUMN;
Pengaruh privatisasi dengan..., Anggita Cinditya Mutiara Kusuma, FE UI, 2009

Universitas Indonesia
57

b) Keputusan Menteri Koordinator Pengawasan Pembangunan/PAN Nomor
41/KEP/MK.WASPAN/9/1998 Tentang Tata Cara Penyetoran Penerimaan
Negara Bukan Pajak Dari Hasil-Hasil Pengelolaan Kekayaan Negara Yang
Dipisahkan;
c) Keputusan Presiden Nomor 24 tahun 2001 Tentang Tim Konsultasi
Privatisasi BUMN;
d) Keputusan Presiden Nomor 122 tahun 2001 Tentang Tim Kebijakan
Privatisasi BUMN jo Keputusan Presiden Nomor 7 tahun 2002 Tentang
Tim Kebijakan Privatisasi BUMN;
e) Keputusan Menteri Negara BUMN Nomor KEP-35/M.BUMN/2001
tentang Prosedur Privatisasi BUMN;
f) Peraturan Pemerintah Nomor 33 tahun 2005 Tentang Tata Cara
Privatisasi;
g) Keputusan Presiden Nomor 18 tahun 2006 Tentang Komite Privatisasi
Perusahaan Perseroan (Persero).


3.3. Privatisasi dengan Metode Penjualan Saham

Privatisasi dengan metode penjualan saham merupakan metode privatisasi
yang paling sering digunakan dan merupakan metode privatisasi utama di
Indonesia sampai dengan saat ini. Hal ini terutama karena privatisasi melalui
mekanisme penjualan saham diharapkan akan memberikan dampak terhadap
BUMN berupa perubahan perilaku manajemen ke arah keterbukaan dan
profesionalisme. Selain itu, privatisasi melalui mekanisme penjualan saham
diharapkan juga akan mendorong BUMN untuk meningkatkan pertumbuhan yang
tinggi yang pada akhirnya akan memajukan perusahaan.
Bastian (2002) mengungkapkan bahwa manfaat utama yang dihasilkan
dari metode privatisasi dengan penjualan saham, yaitu:
1) BUMN akan memperoleh dana yang relatif besar dari penjualan saham;
2) Pembagian deviden dilakukan berdasarkan keuntungan, sehingga BUMN
akan berusaha meningkatkan margin keuntungannya;
Pengaruh privatisasi dengan..., Anggita Cinditya Mutiara Kusuma, FE UI, 2009

Universitas Indonesia
58

3) Perusahaan dituntut lebih terbuka, sehingga dapat memacu perusahaan
untuk meningkatkan profesionalisme;
4) Memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk turut serta memiliki
saham perusahaan sehingga dapat mengurangi kesenjangan sosial.
Namun, privatisasi dengan metode penjualan saham juga memiliki
konsekuensi yang dirasa akan memberatkan BUMN, antara lain adalah:
1) Keharusan untuk mengikuti peraturan-peraturan pasar modal mengenai
kewajiban pelaporan;
2) Kewajiban membayar deviden;
3) BUMN dituntut untuk terus berusaha meningkatkan pertumbuhan
perusahaan tanpa memperhatikan kondisi makroekonomi;
4) Harus mampu menghasilkan keuntungan selama dua tahun berturut-turut
sebelum melakukan penjualan saham;
5) Kewajiban mengikuti aturan pemeriksaan laporan keuangan oleh akuntan
publik dengan hasil pemeriksaan wajar tanpa pengecualian.


3.4. Profil 12 BUMN

Kementerian Negara BUMN telah menyatakan bahwa metode privatisasi
dengan penjualan saham merupakan metode utama dalam melakukan proses
privatisasi di Indonesia. Pernyataan Kementerian Negara BUMN tersebut telah
dibuktikan karena sebagian besar proses privatisasi BUMN di Indonesia
dilakukan melalui metode penjualan saham. Bagian berikut akan memberikan
gambaran dan profil singkat 12 BUMN yang melalui proses privatisasi dengan
metode penjualan saham dan merupakan BUMN yang menjadi sampel dalam
penelitian ini.




Pengaruh privatisasi dengan..., Anggita Cinditya Mutiara Kusuma, FE UI, 2009

Universitas Indonesia
59

3.4.1. PT. Aneka Tambang
10


Perusahaan Perseroan (Persero) PT Aneka Tambang Tbk (selanjutnya
disebut PT Antam) didirikan di Republik Indonesia pada tanggal 5 Juli 1968
berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 22 tahun 1968, dengan nama Perusahaan
Negara (PN) Aneka Tambang, dan diumumkan dalam Tambahan No. 36, Berita
Negara No. 56, tanggal 5 Juli 1968. Pada tanggal 14 September 1974, berdasarkan
Peraturan Pemerintah No. 26 tahun 1974, status Perusahaan diubah dari
Perusahaan Negara menjadi Perusahaan Negara Perseroan Terbatas (Perusahaan
Perseroan) dan sejak itu dikenal sebagai Perusahaan Perseroan (Persero) Aneka
Tambang. Berdasarkan Pasal 3 Anggaran Dasar Perusahaan, ruang lingkup
kegiatan PT Antam adalah di bidang pertambangan berbagai jenis bahan galian,
serta menjalankan usaha di bidang industri, perdagangan, pengangkutan dan jasa
lainnya yang berkaitan dengan bahan galian tersebut. PT Antam mulai beroperasi
secara komersial pada tanggal 5 Juli 1968. Privatisasi dengan metode penjualan
saham dilakukan PT Antam setelah pada tahun 1997, PT Antam melakukan
penawaran saham perdana kepada masyarakat sebanyak 430.769.000 saham yang
merupakan 35% dari jumlah 1.230.769.000 saham ditempatkan dan disetor penuh.
Penawaran saham kepada masyarakat tersebut dicatat pada Bursa Efek Jakarta
(BEJ) dan Bursa Efek Surabaya (BES) pada tanggal 27 November 1997 (pada
tahun 2008, kedua bursa tersebut digabung menjadi Bursa Efek Indonesia).


3.4.2. PT. Bank Mandiri
11


Bank Mandiri didirikan pada tanggal 2 Oktober 1998, sebagai bagian dari
program restrukturisasi yang dilakukan Gubernur Bank Indonesia. Pada bulan Juli
1999, empat bank BUMN yakni Bank Bumi Daya, Bank Dagang Negara, Bank
Exim, dan Bapindo disatukan ke dalam Bank Mandiri. Sejarah dari keempat bank
tersebut dapat dilihat selama lebih dari 140 tahun ke belakang, dan penyatuan
keempat bank tersebut dapat memperkuat pembangunan sektor perbankan di

10
Diambil dari Laporan Tahunan Aneka Tambang 2005
11
Diambil dari Laporan Tahunan Bank Mandiri 2005
Pengaruh privatisasi dengan..., Anggita Cinditya Mutiara Kusuma, FE UI, 2009

Universitas Indonesia
60

Indonesia. Bank Dagang Negara (BDN) merupakan salah satu bank tertua di
Indonesia. BDN berawal dari Nederlandsch Indische Escompto Maatschappij
yang didirikan oleh Pemerintahan Hindia Belanda di Batavia pada tahun 1857.
Pada tahun 1949 nama bank tersebut kemudian diganti menjadi Escomptobank
NV dan pada tahun 1960 bank tersebut dinasionalisasi dan namanya kembali
diganti menjadi Bank Dagang Negara. BDN memfokuskan diri pada kredit
industri dan sektor pertambangan. Sementara Bank Bumi Daya (BBD) berdiri
sejak tahun 1959 melalui nasionalisasi perusahaan Belanda, De Nationale
Handelsbank NV, yang beroperasi dibawah nama Bank Umum Negara. Pada
tahun 1964 Bank Umum Negara mengambil alih bisnis perbankan yang telah
dinasionalisasi dari Chartered Bank (sebelumnya merupakan bank milik Inggris).
Pada tahun 1965 Bank Umum Negara dimasukkan ke dalam unit usaha Bank
Negara Indonesia (BNI) dan dikenal sebagai BNI Unit IV, yang kemudian berdiri
sendiri menjadi Bank Bumi Daya pada tahun 1968. Selanjutnya, sejarah Bank
Ekspor Impor Indonesia (Bank Exim) dapat ditelusuri lewat perusahaan
perdagangan Belanda, N.V. Nederlansche Handels Maatschappij, yang didirikan
pada tahun 1842 dan berekspansi ke sektor perbankan pada tahun 1870.
Pemerintah Indonesia menasionalisasi perusahaan ini pada tahun 1960, dan pada
tahun 1965 dimerger dengan Bank Negara Indonesia sebagai BNI Unit II. Pada
tahun 1968, BNI Unit II dibagi menjadi dua, dimana divisi Ekspor Impor pada
BNI Unit II dibentuk menjadi Bank Exim dan berspesialisasi pada pendanaan
ekspor dan impor. Bank terakhir yaitu Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo)
didirikan pada tahun 1951 dengan nama awal yaitu Bank Industri Negara (BIN).
BIN bergerak di bidang pembangunan sektor ekonomi perkebunan, industri, dan
pertambangan. Bapindo kemudian didirikan sebagai bank BUN pada tahun 1960
dan dimergerkan dengan BIN. Pada tahun 1970 Bapindo kemudian ditugaskan
oleh pemerintah untuk mendukung pembangunan nasional melalui penawaran
kredit jangka menengah dan panjang di sektor manufaktur, transportasi, dan
pariwisata. Masing-masing dari keempat bank tersebut memainkan peran penting
di dalam pertumbuhan ekonomi Indonesia. Saat ini Bank Mandiri meneruskan
tradisi tersebut dengan memberikan pelayanan jasa keuangan di seluruh
Indonesia. Bank Mandiri terus memberikan kredit di sektor manufaktur pangan,
Pengaruh privatisasi dengan..., Anggita Cinditya Mutiara Kusuma, FE UI, 2009

Universitas Indonesia
61

agribisnis, konstruksi, kimia, dan tekstil, baik kepada usaha besar maupun pada
Usaha Kecil dan Menengah (UKM). Bank Mandiri telah menjadi Perusahaan
Terbuka (Tbk.) sejak awal pendiriaannya yaitu pada tahun 1998 dengan
mendaftarkan diri di Bursa Efek Indonesia. Saat ini Bank Mandiri memiliki
21.000 karyawan yang tersebar di 909 cabangnya dan merupakan bank umum
dengan aset terbesar di Indonesia.


3.4.3. PT. Bank Negara Indonesia
12


PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk (selanjutnya disebut BNI)
mulanya didirikan di Indonesia sebagai bank sentral dengan nama Bank Negara
Indonesia berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 2 tahun 1946 tanggal 5 Juli
1946. Selanjutnya, berdasarkan Undang-Undang No. 17 tahun 1968, BNI
ditetapkan menjadi Bank Negara Indonesia 1946, dan statusnya menjadi bank
umum milik negara. Berdasarkan pasal 3 Anggaran Dasar BNI, ruang lingkup
kegiatan BNI adalah melakukan usaha di bidang perbankan, termasuk melakukan
kegiatan berdasarkan prinsip syariah. Kantor Pusat BNI berlokasi di Jl. Jend.
Sudirman Kav. 1, Jakarta. Sampai dengan tanggal 31 Desember 2001, BNI
memiliki 12 kantor wilayah yang membawahi 685 kantor cabang dan cabang
pembantu domestik, kantor kas, kios plus dan 10 kantor cabang syariah. Selain
itu, jaringan BNI juga meliputi enam kantor cabang luar negeri yaitu Singapura,
Hong Kong, Tokyo, London, New York dan Cayman Island (untuk cabang
Cayman Island hanya berupa aktivitas offshore banking). Pada tanggal 28 Oktober
1996, BNI melakukan penawaran umum perdana atas 1.085.032.000 saham Seri B
kepada masyarakat di Indonesia. Saham yang ditawarkan tersebut mulai
diperdagangkan di Bursa Efek Jakarta dan Surabaya pada tanggal 25 Nopember
1996. Sampai dengan akhir tahun 2004, persentase kepemilikan pemerintah di
BNI adalah sebesar 99,11 % sedangkan kepemilikan masyarakat adalah sebesar
0,89 %


12
Diambil dari Laporan Tahunan BNI 2004
Pengaruh privatisasi dengan..., Anggita Cinditya Mutiara Kusuma, FE UI, 2009

Universitas Indonesia
62

3.4.4. PT. Bank Rakyat Indonesia
13


PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (selanjutnya disebut BRI)
didirikan pada tanggal 18 Desember 1968 berdasarkan Undang-Undang No. 21
Tahun 1968. Pada tanggal 29 April 1992, berdasarkan Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia No. 21 Tahun 1992, bentuk badan hukum BRI diubah
menjadi Perusahaan Perseroan (Persero). Berdasarkan pasal 3 Anggaran Dasar
BRI yang terakhir, ruang lingkup kegiatan BRI adalah turut melaksanakan dan
menunjang kebijakan program pemerintah di bidang ekonomi dan pembangunan
nasional pada umumnya, khususnya dengan melakukan usaha di bidang
perbankan sesuai dengan undang-undang dan peraturan yang berlaku, termasuk
melakukan kegiatan sesuai dengan prinsip syariah. Dalam rangka penawaran
umum saham perdana BRI, berdasarkan pernyataan pendaftaran tanggal 31
Oktober 2003, pemerintah, melalui Menteri BUMN menyetujui untuk melakukan
penawaran umum saham perdana (Initial Public Offering/IPO) sebesar
3.811.765.000 lembar saham biasa BRI bersamaan dengan opsi pemesanan lebih
dan opsi penjatahan lebih.


3.4.5. PT. Indofarma
14


PT. Indonesia Farma Tbk, disingkat dengan PT. Indofarma (Persero) Tbk
dan selanjutnya disebut PT Indofarma didirikan berdasarkan akta No. 1 tanggal 2
Januari 1996 dan diubah dengan akta No. 134 tanggal 26 Januari 1996. Pada
awalnya, PT Indofarma merupakan sebuah pabrik obat yang didirikan pada tahun
1918 dengan nama Pabrik Obat Manggarai. Pada tahun 1950, Pabrik Obat
Manggarai ini diambil alih oleh Pemerintah Republik Indonesia dan dikelola oleh
Departemen Kesehatan. Pada tahun 1979, nama pabrik obat ini diubah menjadi
Pusat Produksi Farmasi Departemen Kesehatan. Kemudian, berdasarkan Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia (PP) No. 20 tahun 1981, Pemerintah menetapkan
Pusat Produksi Farmasi Departemen Kesehatan menjadi Perusahaan Umum

13
Diambil dari Laporan Tahunan BRI 2006
14
Diambil dari Laporan Tahunan 2007 PT Indofarma Tbk.
Pengaruh privatisasi dengan..., Anggita Cinditya Mutiara Kusuma, FE UI, 2009

Universitas Indonesia
63

Indonesia Farma (Perum Indofarma). Selanjutnya pada tahun 1996, status badan
hukum Perum Indofarma diubah menjadi Perusahaan Perseroan (Persero)
berdasarkan PP No. 34 tahun 1995. Pada 2001, PT Indofarma menjadi perusahaan
terbuka. Sesuai dengan pasal 3 anggaran dasar Perusahaan, maksud dan tujuan
pendirian PT Indofarma adalah melaksanakan dan menunjang kebijakan serta
program Pemerintah di bidang ekonomi dan pembangunan nasional pada
umumnya, khususnya di bidang farmasi, diagnostik, alat kesehatan, serta industri
produk makanan dengan menerapkan prinsip-prinsip Perseroan Terbatas. Kantor
dan lokasi pabrik PT Indofarma terletak di jalan Indofarma No. 1, Cibitung,
Bekasi. PT Indofarma mulai berproduksi secara komersial tahun 1983. Hasil
produksi PT Indofarma dipasarkan di dalam dan di luar negeri. Pada tanggal 30
Maret 2001, Perusahaan memperoleh surat pernyataan efektif dari Ketua Badan
Pengawas Pasar Modal No. S-660/PM/2001, untuk melakukan Penawaran umum
saham sebanyak 596.875.000 saham Seri B dengan nilai nominal Rp.100 per
saham. Pada tanggal 17 April 2001 Saham tersebut telah dicatat pada Bursa Efek
Jakarta dan Bursa Efek Surabaya. Dengan struktur permodalan yang lebih kuat,
Indofarma mengembangkan produksi sehingga bukan hanya membuat obat-obat
esensial dan generik, melainkan juga Obat dengan nama Dagang (OND) baik
etikal maupun OTC, obat tradisional (herbal), dan makanan kesehatan.


3.4.6. PT. Indosat
15


PT Indosat Tbk (selanjutnya disebut Indosat) didirikan sebagai perusahaan
Penanaman Modal Asing (PMA) di bidang penyelenggaraan jasa telekomunikasi
internasional di Indonesia pada tahun 1967. Pada tahun 1980, Pemerintah
Indonesia mengambil alih seluruh saham Indosat, sehingga sejak itu Indosat
beroperasi sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Perseroan menjadi
perusahaan publik pada tahun 1994, dengan mencatatkan sahamnya di Bursa Efek
Jakarta dan Bursa Efek Surabaya, serta mencatatkan American Depository
Receipts di New York Stock Exchange. Memasuki abad ke-21 dan sejalan dengan

15
Diambil dari Laporan Tahunan Indosat 2005
Pengaruh privatisasi dengan..., Anggita Cinditya Mutiara Kusuma, FE UI, 2009

Universitas Indonesia
64

tren di dunia, Pemerintah Indonesia melakukan deregulasi industri telekomunikasi
nasional dengan membuka peluang terhadap persaingan pasar yang lebih bebas
dan secara bertahap mencabut hak eksklusivitas yang dimiliki oleh Indosat dan PT
Telkom. Indosat segera menangkap peluang ini dengan mengembangkan bisnis
selular dan, pada 2001, mendirikan perusahaan operator seluler, yaitu PT Indosat
Multi Media Mobile (IM3), yang diikuti dengan akuisisi penuh PT Satelit Palapa
Indonesia (Satelindo) di tahun 2002, menjadikan Indosat sebagai penyelenggara
selular terbesar kedua di Indonesia. Pada akhir tahun 2002, Pemerintah Indonesia
melakukan divestasi saham Indosat yang dimilikinya sebesar 41,94% kepada ST
Telemedia Pte. Ltd. melalui perusahaan holding Indonesia Communications
Limited (ICL). Pada tanggal 20 November 2003, melalui penandatanganan
penggabungan usaha antara Satelindo, IM3, dan Bimagraha ke dalam Indosat,
Perseroan menjadi Full Network Service Provider (FNSP) yang fokus pada bisnis
selular. Hal ini diikuti oleh pelaksanaan program transformasi menyeluruh yang
dimulai pada 2004, meliputi bidang sumber daya manusia, teknologi, serta budaya
dan nilai-nilai perusahaan. Upaya ini mulai menunjukkan hasil yang
menggembirakan, seiring dengan keberhasilan Perseroan mencatat pendapatan
yang melampaui Rp. 10 triliun dan peningkatan marjin pada tahun ke-10 sebagai
perusahaan publik.


3.4.7. PT. Kimia Farma
16


Kimia Farma merupakan perusahaan industri farmasi pertama yang ada di
Indonesia yang didirikan oleh Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1917. Nama
Kimia Farma sendiri pada awalnya adalah NV Chemicalien Handle Rathkamp &
Co. Berdasarkan kebijaksanaan nasionalisasi atas eks perusahaan Belanda di masa
awal kemerdekaan, pada tahun 1958, Pemerintah Republik Indonesia melakukan
peleburan sejumlah perusahaan farmasi menjadi PNF Bhineka Kimia Farma.
Kemudian pada tanggal 16 Agustus 1971, bentuk badan hukum PNF diubah
menjadi Perseroan Terbatas dan merubah nama perusahaan menjadi PT Kimia

16
Diambil dari Laporan Tahunan 2006 Kimia Farma
Pengaruh privatisasi dengan..., Anggita Cinditya Mutiara Kusuma, FE UI, 2009

Universitas Indonesia
65

Farma (Persero). Di tahun 2001, tepatnya tanggal 4 Juli 2001, Kimia Farma
kembali merubah statusnya menjadi perusahaan publik dan telah dicatatkan pada
Bursa Efek Jakarta serta Bursa Efek Surabaya. Kimia Farma merupakan sebuah
perusahaan pelayanan kesehatan terintegrasi yang meliputi Industri, Pemasaran,
Distribusi, Ritel, Laboratorium Klinik dan Klinik Kesehatan.


3.4.8. PT. Perusahaan Gas Negara
17


PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk atau sering disebut PGN
merupakan sebuah perusahaan milik negara yang dirintis sejak tahun 1859, ketika
masih bernama Firma LJN Einthoven & Co. Gravenhage. Kemudian, pada tahun
1863, oleh Pemerintah Belanda, perusahaan tersebut diberi nama NV Netherland
Indische Gaz Maatschapij (NV NIGM). Namun, pada tahun 1958, Pemerintah
Republik Indonesia mengambil alih kepemilikan Firma tersebut dan merubah
namanya menjadi Badan Pengambil Alih Perusahaan-perusahaan Listrik dan Gas
(BP3LG). Seiring dengan perkembangan Pemerintahan Indonesia, pada tahun
1961 status perusahaan itu beralih menjadi BPU-PLN.Pada tanggal 13 Mei 1965,
berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 19/1965, PGN ditetapkan sebagai
perusahaan negara dan dikenal sebagai Perusahaan Negara Gas (PN Gas).
Kemudian, berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 27 tahun 1984, PN Gas diubah
menjadi perusahaan umum (Perum) dengan nama Perusahaan Umum Gas Negara.
Setelah itu, status perusahaan diubah dari Perum menjadi Perseroan Terbatas yang
dimiliki oleh negara sehingga namanya berubah menjadi PT Perusahaan Gas
Negara (Persero) berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 37 tahun 1994 dan Akta
Pendirian Perusahaan No. 486 tanggal 30 Mei 1996. Anggaran Dasar Perusahaan
terakhir diubah pada tanggal 3 Nopember 2003, antara lain tentang perubahan
nilai nominal saham, peningkatan modal dasar, modal ditempatkan dan disetor
penuh Perseroan serta perubahan status Perseroan menjadi perusahaan terbuka.
Pada tahun 2003, PGN melalui PGN Euro Finance 2003 Limited (PGNEF), Anak
Perusahaan, mencatatkan USD 150 juta Guaranteed Notes yang jatuh tempo pada

17
Diambil dari Laporan Tahunan 2007 PGN
Pengaruh privatisasi dengan..., Anggita Cinditya Mutiara Kusuma, FE UI, 2009

Universitas Indonesia
66

tahun 2013 di Singapore Exchange Securities Trading Limited. Pada tahun 2004,
PGN melalui PGNEF mencatatkan USD 125 juta Guaranteed Notes yang jatuh
tempo pada tahun 2014. Pada tanggal 5 Desember 2003, PGN memperoleh
pernyataan efektif dari Badan Pengawas Pasar Modal untuk melakukan
penawaran umum saham perdana kepada masyarakat sebanyak 1.296.296.000
saham, yang terdiri dari 475.309.000 saham dari divestasi saham Pemerintah
Republik Indonesia, pemegang saham Perusahaan dan 820.987.000 saham baru.
Sejak saat itu, nama resmi PGN menjadi PT Perusahaan Gas Negara (Persero)
Tbk. Saham perusahaan telah dicatatkan di Bursa Efek Jakarta dan Bursa Efek
Surabaya pada tanggal 15 Desember 2003 dengan kode transaksi perdagangan
PGAS. Sesuai dengan Pasal 3 Anggaran Dasar Perseroan, PGN bertujuan untuk
melaksanakan dan menunjang kebijakan dan program pemerintah di bidang
ekonomi dan pembangunan nasional pada umumnya, khususnya di bidang
pengembangan pemanfaatan gas bumi untuk kepentingan umum serta penyediaan
gas dalam jumlah dan mutu yang memadai untuk melayani kebutuhan masyarakat.
Guna mencapai tujuan tersebut, PGN telah melaksanakan perencanaan,
pembangunan, pengelolaan dan usaha hilir bidang gas bumi yang meliputi
kegiatan pengangkutan dan niaga. Pada saat ini, bidang usaha utama PGN adalah
distribusi gas bumi ke pelanggan industri, komersial dan rumah tangga dan
transmisi gas bumi.


3.4.9. PT. Semen Gresik
18


PT Semen Gresik (Persero) Tbk merupakan perusahaan yang bergerak di
bidang industri semen. Diresmikan di Gresik pada tanggal 7 Agustus 1957 oleh
Presiden RI pertama dengan kapasitas terpasang 250.000 ton semen per tahun.
Pada tanggal 8 Juli 1991 Semen Gresik tercatat di Bursa Efek Jakarta dan Bursa
Efek Surabaya serta merupakan BUMN pertama yang go public dengan menjual
40 juta lembar saham kepada masyarakat. Komposisi pemegang saham pada saat
itu adalah: Negara RI 73% dan masyarakat 27%. Pada bulan September 1995,

18
Diambil dari Laporan Tahunan 2007 PT Semen Gresik (Persero) Tbk
Pengaruh privatisasi dengan..., Anggita Cinditya Mutiara Kusuma, FE UI, 2009

Universitas Indonesia
67

Semen Gresik melakukan Penawaran Umum Terbatas I (Right Issue I), yang
mengubah komposisi kepemilikan saham menjadi Negara RI 65% dan masyarakat
35%. Pada tanggal 15 September 1995 PT Semen Gresik berkonsolidasi dengan
PT Semen Padang dan PT Semen Tonasa. Total kapasitas terpasang Semen Gresik
saat itu sebesar 8,5 juta ton semen per tahun. Pada tanggal 17 September 1998,
Negara RI melepas kepemilikan sahamnya di Semen Gresik sebesar 14% melalui
penawaran terbuka yang dimenangkan oleh Cemex S. A. de C. V., perusahaan
semen global yang berpusat di Meksiko. Komposisi kepemilikan saham berubah
menjadi Negara RI 51%, masyarakat 35% dan Cemex 14%. Kemudian tanggal 30
September 1999 komposisi kepemilikan saham berubah menjadi: Pemerintah
Republik Indonesia 51,01%, masyarakat 23,46% dan Cemex 25,53%. Pada
tanggal 27 Juli 2006 terjadi transaksi penjualan saham Cemex Asia Holdings Ltd.
pada Blue Vally Holdings PTE Ltd. sehingga komposisi kepemilikan saham
sampai saat ini berubah menjadi Negara RI 51,01% Blue Valley Holdings PTE
Ltd. 24,90% dan masyarakat 24,09%. Saat ini kapasitas terpasang riil Semen
Gresik sebesar 17,1 juta ton semen per tahun dan menguasai sekitar 44,4% pangsa
pasar semen domestik.


3.4.10. PT. Tambang Batubara Bukit Asam
19


PT. Tambang Batubara Bukit Asam (Persero), Tbk selanjutnya disebut
PTBA, memiliki cadangan batubara 7,3 miliar ton atau 17% dari sumberdaya
batubara Indonesia dan merupakan produsen batubara terbesar ke-5 di Indonesia.
Selain itu PTBA merupakan pemasok batubara terbesar ke-2 untuk pasar
domestik, serta mendistribusikan sekitar 20% produknya ke pasar luar negeri
seperti Jepang, Taiwan, Malaysia, Pakistan, Spanyol, Perancis, dan Jerman. Sejak
23 Desember 2002, PTBA tercatat sebagai Perusahaan Publik yang mencatatkan
sahamnya di Bursa Efek Jakarta dan di Bursa Efek Surabaya. Komposisi
kepemilikan saham PTBA saat ini adalah 83,7% oleh Negara Republik Indonesia
dan 16,3% oleh masyarakat. Kesuksesan PTBA tidak terlepas dari sejarah panjang

19
Diambil dari Laporan Tahunan 2003 PT. Tambang Batubara Bukit Asam (Persero), Tbk
Pengaruh privatisasi dengan..., Anggita Cinditya Mutiara Kusuma, FE UI, 2009

Universitas Indonesia
68

kegiatan penambangan batubara di Indonesia. Kegiatan penambangan batubara
dilakukan pertama kali oleh Pemerintah Hindia Belanda tahun 1918, kemudian
diambil alih oleh Pemerintah Jepang tahun 1942. Pengelolaan selanjutnya beralih
kepada Pemerintah Republik Indonesia setelah masa Kemerdekaan. Industri
batubara pada awalnya hanya merupakan sumber energi kedua setelah minyak
bumi. Gagasan untuk menjadikan batubara sebagai sumber energi alternatif
bermula saat terjadi embargo ekonomi terhadap Amerika Serikat dan Eropa oleh
negara-negara Arab yang melambungkan harga minyak dunia. Mengantisipasi
kondisi ini maka pada tahun 1976, pemerintah RI mengeluarkan Instruksi
Presiden (Inpres) mengenai pengembangan batubara sebagai sumber energi
alternatif. Inpres tersebut kemudian ditindaklanjuti dengan dikeluarkannya
Peraturan Pemerintah No. 42 tahun 1980, dan sebagai implementasi didirikan
perusahaan penambangan batubara PT. Tambang Batubara Bukit Asam yang
berlokasi di Tanjung Enim, Sumatera Selatan pada tanggal 2 Maret 1981.
Berdasarkan PP No. 56 tahun 1990, tanggal 30 Oktober 1990, pemerintah
menggabungkan Perum Tambang Batubara yang beroperasi di Sawahlunto,
Sumatera Barat ke dalam Perseroan. Dengan demikian PTBA merupakan satu-
satunya Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang melakukan kegiatan
penambangan batubara di Indonesia. Selain sebagai perusahaan penambangan
batubara, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi No.
483/201/M.DJP/1993, PTBA juga ditugaskan sebagai pelopor pengembangan
briket batubara.


3.4.11. PT. Tambang Timah
20


PT Timah (Persero) Tbk. didirikan pada tanggal 2 Agustus 1976. Pada
tanggal 27 September 1995, PT Timah memperoleh persetujuan dari Badan
Pengawas Pasar Modal (Bapepam) melalui suratnya No. S-1246/PM/1995 untuk
melakukan penawaran umum atas 176.155.000 saham Seri B dan GDR milik
Perusahaan. Penawaran umum yang terakhir dilakukan pada tanggal 19 Oktober

20
Diambil dari Sustainability Report PT Timah (Persero) Tbk.
Pengaruh privatisasi dengan..., Anggita Cinditya Mutiara Kusuma, FE UI, 2009

Universitas Indonesia
69

1995. PT Timah dan anak-anak perusahaannya (bersama-sama atau Grup)
berusaha dalam bidang pertambangan, perindustrian, perdagangan, pengangkutan,
dan jasa. Kegiatan utama PT Timah adalah berfungsi sebagai perusahaan
pertambangan timah dan nikel serta turut aktif di berbagai sektor bisnis terkait
seperti konstruksi, pembangkit listrik, pelatihan pertambangan, fasilitas
pertambangan, dan jasa eksplorasi. Produk andalan PT Timah adalah timah padat
yang dijual dengan merek dagang Bangka Tin dan Mentok. Lokasi usaha PT
Timah tersebar di Bangka, Belitung, Kundur, serta sebuah kantor perwakilan di
Jakarta. Sampai dengan tahun 2007, kepemilikan saham pemerintah di PT Timah
adalah sebesar 65 persen sementara sisanya yaitu 35 persen saham dimiliki oleh
publik.


3.4.12. PT. Telekomunikasi Indonesia
21


Sejarah Perusahaan Perseroan (Persero) PT Telekomunikasi Indonesia,
Tbk (PT Telkom) dimulai pada tahun 1842 saat sebuah badan usaha swasta
penyedia layanan pos dan telegrap dibentuk pada masa pemerintahan kolonial
Belanda. Kemudian pada tahun 1906 Pemerintah kolonial Belanda membentuk
sebuah jawatan yang mengatur layanan pos dan telekomunikasi yang diberi nama
Jawatan Pos, Telegrap dan Telepon (Post, Telegraph en Telephone Dienst/PTT).
Setelah itu, pada tahun 1945 terjadi Proklamasi kemerdekaan Indonesia sebagai
negara merdeka dan berdaulat, lepas dari pemerintahan Jepang. Hal ini
menyebabkan pada tahun 1961 status jawatan diubah menjadi Perusahaan Negara
Pos dan Telekomunikasi (PN Postel). Pada tahun 1965 PN Postel dipecah menjadi
Perusahaan Negara Pos dan Giro (PN Pos & Giro), dan Perusahaan Negara
Telekomunikasi (PN Telekomunikasi). Pada tahun 1974 PN Telekomunikasi
disesuaikan menjadi Perusahaan Umum Telekomunikasi (Perumtel) yang
menyelenggarakan jasa telekomunikasi nasional maupun internasional. Kemudian
pada tahun 1980 PT Indonesian Satellite Corporation (Indosat) didirikan untuk
menyelenggarakan jasa telekomunikasi internasional, terpisah dari Perumtel. Pada

21
Diambil dari Laporan Tahunan 2003 PT Telekomunikasi Indonesia, Tbk.
Pengaruh privatisasi dengan..., Anggita Cinditya Mutiara Kusuma, FE UI, 2009

Universitas Indonesia
70

tahun 1989 Pemerintah membentuk Undang-Undang nomor 3/1989 tentang
Telekomunikasi berisikan tentang peran serta swasta dalam penyelenggaraan
telekomunikasi. Kemudian pada tahun 1991 Perumtel berubah bentuk menjadi
Perusahaan Perseroan (Persero) Telekomunikasi Indonesia berdasarkan PP no. 25
tahun 1991. PT Telkom berubah bentuk menjadi perusahaan terbuka ketika pada
tahun 1995 dilakukan penawaran umum perdana saham PT Telkom (Initial Public
Offering/IPO) yang dilakukan pada tanggal 14 November 1995. Sejak itu saham
PT Telkom tercatat dan diperdagangkan di Bursa Efek Jakarta (BEJ), Bursa Efek
Surabaya (BES), New York Stock Exchange (NYSE) dan London Stock
Exchange (LSE). Saham PT Telkom juga diperdagangkan tanpa pencatatan
(Public Offering Without Listing /POWL) di Tokyo Stock Exchange.
Perkembangan PT Telkom terus terjadi setelah pada tahun 1996 Kerja Sama
Operasi (KSO) mulai diimplementasikan pada 1 Januari 1996 di wilayah Divisi
Regional-I Sumatra - dengan mitra PT Pramindo Ikat Nusantara (Pramindo);
Divisi Regional-III Jawa Barat dan Banten - dengan mitra PT Aria West
International (AriaWest); Divisi Regional-IV Jawa Tengah dan Daerah Istimewa
Yogyakarta - dengan mitra PT Mitra Global Telekomunikasi Indonesia (MGTI);
Divisi Regional-VI Kalimantan - dengan mitra PT Dayamitra Telekomunikasi
(Dayamitra); dan Divisi Regional-VII Kawasan Timur Indonesia - dengan mitra
PT Bukaka Singtel. Pada tahun 1999 Pemerintah membentuk Undang-undang
nomor 36/1999, tentang penghapusan monopoli penyelenggaraan telekomunikasi.
Kemudian pada tahun 2001 PT Telkom membeli 35% saham PT Telkomsel dari
PT Indosat sebagai bagian dari implementasi restrukturisasi industri jasa
telekomunikasi di Indonesia, yang ditandai dengan penghapusan kepemilikan
bersama dan kepemilikan silang antara PT Telkom dengan Indosat. Dengan
transaksi ini, PT Telkom menguasai 72,72% saham PT Telkomsel.

Pengaruh privatisasi dengan..., Anggita Cinditya Mutiara Kusuma, FE UI, 2009

You might also like