You are on page 1of 6

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 No.

4 Desember 2006 424




Intoleransi Laktosa

Atan Baas Sinuhaji
Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara/ Rumah Sakit H. Adam Malik Medan


Abstrak: Laktosa merupakan karbohidrat utama pada ASI dan memberikan hampir setengah dari
kalori yang terdapat di ASI. Defisiensi laktase menyebabkan laktosa tidak dapat diserap (malabsorpsi
laktosa). Defisiensi laktase bisa primer atau sekunder (mis. kerusakan mukosa usus). Laktosa yang
tidak diserap menyebabkan timbulnya berbagai gejala klinik (intoleransi laktosa). Defisiensi laktase
sekunder paling sering di jumpai pada masa bayi. Hal ini penting diingat oleh dokter anak, bila ada
diare dengan intoleransi laktosa kemungkinan adanya alergi protein susu sapi dan intoleransi lemak
harus dipertimbangkan.
Kata kunci: defisiensi laktase, malabsorpsi laktosa, intoleransi laktosa, alergi protein susu sapi


Abstract: Lactose, the primary carbohydrate in human milk, is contributed account for roughly half of
the total calories in human milk.
Lactose can not be absorbed (malabsorption) if there are lactase deficiency of the primary or
secondary (i.e those associated with mucosal damage). In the setting of failure to either digest or
absorp lactose, a distinct clinical symptoms is observed (intolerance). Secondary lactase deficiency is
by far the most common entity in infancy. It is important for pediatricians, who treat large number of
infant with gastroenteritis who have symptoms lactose intolerance, to realize the possibility of cows
milk protein sensitive enteropathy and fat intolerance.
Keywords: lactase deficiency, lactose malabsorption, lactose intolerance, cows milk protein sensitive
enteropathy



PENDAHULUAN
Susu merupakan sumber nutrient yang
penting untuk pertumbuhan bayi mamalia,
termasuk manusia, yang mengandung
karbohidrat, protein, lemak, mineral dan
vitamin. Laktosa merupakan satu-satunya
karbohidrat dalam susu mammalia, merupakan
disakarida yang terdiri dari gabungan
monosakarida: glukosa dan galaktosa.
1,2

Laktosa hanya dibuat di sel-sel kelenjar
mamma pada masa menyusui melalui reaksi
antara glukosa dan galaktosa uridin difosfat
dengan bantuan lactose synthetase.
3

Kadar laktosa dalam susu sangat bervariasi
antara satu mammalia dengan yang lain. ASI
mengandung 7% laktosa, sedangkan susu sapi
hanya mengandung 4%. Singa laut merupakan
satu-satunya mammalia yang tidak mengandung
laktosa dalam air susunya, juga enzim untuk
pemecahan laktosa (laktase).
1,2

Dalam tulisan ini akan diuraikan secara
ringkas manfaat laktosa juga manifestasi klinis,
diagnosa dan pengobatan intoleransi laktosa.

MANFAAT LAKTOSA
Laktosa merupakan sumber energi yang
memasok hampir setengah keseluruhan kalori
susu (35 45%). Di samping itu laktosa juga
penting untuk absorpsi kalsium. Namun studi
klinis menunjukkan, mineralisasi tulang bayi
yang mendapat formula susu sapi (mengandung
laktosa) maupun formula kedelai
(karbohidratnya terdiri dari polimer glukosa),
tidak ada perbedaan.
4,5

Galaktosa yang merupakan hasil hidrolisa
laktosa, merupakan senyawa yang penting untuk
pembentukan serebrosida. Serebrosida ini
penting untuk perkembangan dan fungsi otak.
Galaktosa ini juga dapat dibentuk oleh tubuh (di
hati) dari bahan lain (glukosa).
3

Karena itu keberadaan laktosa sebagai
karbohidrat utama yang terdapat di susu
TINJAUAN PUSTAKA
Atan Baas Sinuhaji Intoleransi Laktosa



Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 No. 4 Desember 2006 425
mammalia, termasuk ASI, merupakan hal yang
unik. Proses evolusi terpilihnya laktosa menjadi
karbohidrat satu-satunya yang terdapat di susu
mammalia, mungkin merupakan cerminan dari
adanya fungsi laktosa yang penting pada masa
bayi mammalia yang belum diketahui.
2
Apakah
sehubungan dengan pertahanan/pencernaan,
masih merupakan kemungkinan.
6


MANIFESTASI KLINIS
Karbohidrat yang dimakan diserap dalam
bentuk monosakarida (glukosa, galaktosa dan
fruktosa). Karena itu laktosa harus dihidrolisa
menjadi glukosa dan galaktosa agar proses
absorpsi dapat berlangsung. Hidrolisa ini
dilakukan oleh laktase (-galactosidase), suatu
enzim yang terdapat di brush border mukosa
usus halus.
Enzim lain yang terdapat di brush border
adalah sukrase, maltase dan glukoamilase.
Laktase dijumpai pada bagian luar brush border
dan di antara semua disakaridase, laktase yang
paling sedikit. Bila ada kerusakan mukosa
(serangan gastroenteritis), enzim laktase yang
selalu mendapat gangguan (defisiensi laktase
sekunder) dan hal ini yang paling sering
dijumpai.
1,8
Laktase akan kembali normal kalau
mukosa usus mengalami penyembuhan, namun
memerlukan waktu.
Pada janin manusia aktivitas laktase telah
kelihatan pada usia kehamilan 3 bulan dan
aktifitas laktase pada minggu 35- 38 meningkat
sampai 70 % dari bayi lahir aterm. Karena itu
defisiensi laktase primer dijumpai pada bayi
prematur sehubungan dengan perkembangan
usus yang immatur (developmental lactase
deficiency). Congenital lactase deficiency pada
bayi baru lahir, merupakan keadaan yang jarang
dijumpai. Penyakit ini diturunkan secara
autosomal recessive.
1

Aktifitas laktase ini menurun secara nyata
sejak umur 2 5 tahun (late onset lactase
deficiency) walau laktosa terus diberikan. Ini
menandakan laktase bukan enzim adaptif.
1,9

Pada beberapa ras , terutama orang kulit putih di
Eropa Utara, beberapa suku nomaden di Afrika,
aktifitas laktase pada manusia dewasa tetap
tinggi (persistence of lactase activity).
Bila ada defisiensi laktase, laktosa tidak
akan didigesti akibatnya tidak ada penyerapan
oleh mukosa usus halus. Disakarida ini
merupakan bahan osmotik yang akan menarik
air ke lumen. Jumlah air yang keluar sebanding
dengan jumlah laktosa yang tinggal di lumen
usus. Penambahan volume lumen usus akan
menyebabkan rasa mual , muntah dan
peningkatan peristaltik. Peristaltik usus yang
meninggi menyebabkan waktu transit usus
makin pendek sehingga mengurangi kesempatan
untuk digesti dan absorpsi. Laktosa dan
air/elektrolit yang tidak diserap meninggalkan
usus halus sampai di kolon. Di kolon, laktosa ini
akan difermentasi oleh flora normal menjadi gas
(CO
2
, H
2
dan CH
4
), asam lemak rantai pendek
(butirat, propional dan asetat) dan asam laktat.
10

Pembentukan gas menyebabkan perut
kembung dan sakit perut. Pembentukan gas
hidrogen oleh flora di kolon dapat dideteksi di
udara pernafasan. Ini yang menjadi dasar uji
hidrogen pernafasan. Pembentukan asam lemak
rantai pendek tadi diperlukan oleh tubuh karena
asam lemak ini dapat digunakan sebagai sumber
energi. Di samping itu pembentukan asam lemak
rantai pendek ini berguna untuk nutrisi kolon,
membantu absorpsi air/elektrolit dan motilitas
kolon.
Lebih kurang 70 % dari nutrisi kolon
berasal dari intraluminal.
11
Karena itu secara
fisiologis, dalam keadaan normal dijumpai
malabsorpsi laktosa/karbohidrat. Sedangkan
penyerapan asam laktat oleh kolonosit
menyebabkan asidosis metabolik.
Air/elektrolit yang sampai di kolon dan
hasil fermentasi tadi diserap oleh kolonosit
(colonic salvage). Bila colonic salvage dilewati,
maka asam laktat banyak dijumpai di tinja yang
akan menyebabkan penurunan pH tinja.
Demikian juga bila air/elektrolit dan laktosa
yang sampai ke kolon melewati colonic salvage,
maka akan menyebabkan kadar air tinja
meningkat (diare osmotik) dan bahan-bahan
reduksi (laktosa) dijumpai dalam tinja.
8,10
(lihat
gambar 1)
Tinjauan Pustaka



Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 No. 4 Desember 2006 426


Gambar 1. Patogenesa intoleransi laktosa




Gambar 2. Hubungan antara gastroenteritis , intoleransi laktosa, dan CMPSE
Defisiensi
SIgA
Sensitisasi
Sistemik
Absorpsi
makromolekuler
Rusak
mukosa
Cows Milk Protein Sensitive Enteropathy
( CMPSE )
Gastroenteritis akut
Intoleransi
Laktosa
Defisiensi
laktase
sekunder
Laktosa tidak diserap
Menarik air
Kolon
Colonic Salvage
Diare Osmotik
Bahan reduksi
Asam Laktat
Diserap
Fermentasi
Air Laktosa
Asam laktat
Asam lemak
rantai pendek
Gas CH4
CO2
H2
Atan Baas Sinuhaji Intoleransi Laktosa



Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 No. 4 Desember 2006 427
Ada beberapa terminologi yang perlu
dipahami sehubungan dengan gangguan
absorpsi laktosa yaitu:
1,9

1. Defisiensi laktase: rendah (atau tidak ada)
aktifitas laktase pada pemeriksaan hasil
biopsi mukosa usus halus.
2. Malabsorpsi laktosa: ketidak mampuan
usus halus mengabsorpsi laktosa yang
dibuktikan dengan pemeriksaan yang sesuai
(uji beban laktosa, uji hidrogen pernafasan).
3. Intoleransi laktosa: munculnya gejala-
gejala klinis setelah makan/minum bahan
yang mengandung laktosa (mencret, mual,
muntah, perut kembung dan sakit perut).

Hal ini perlu diperhatikan karena seorang
dengan defisiensi laktase belum tentu
mengalami malabsorpsi laktosa. Malabsorpsi
laktosa juga bisa disebabkan kerusakan mukosa
usus halus. Juga penderita malabsorpsi laktosa
belum tentu mengalami intoleransi laktosa.
Disamping aktifitas laktase di mukosa usus
halus, laktosa yang didigesti dan ditoleransi
dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu:
1

a. Jumlah laktosa yang dimakan (dose
dependent).
b. Waktu pengosongan lambung dan waktu
transit usus.
c. Pelarut yang digunakan untuk memberi
laktosa.
d. Flora normal yang terdapat di kolon.

Hal ini memperngaruhi gejala-gejala
intoleransi laktosa pada satu individu dengan
individu lain sehingga menimbulkan permasalah
diagnosa dan angka kejadian.

DIAGNOSA
Diagnosa intoleransi laktosa merupakan
gabungan gejala klinis dan uji/pemeriksaan yang
sesuai. Secara klinis dengan uji toleransi laktosa.
Setiap bayi minum bahan yang mengandung
laktosa akan timbul gejala klinis (diare, perut
kembung dan lain-lain). Bila laktosa dieliminasi
dari dietnya, maka gejala tersebut akan hilang.
1,8

Uji/pemeriksaan yang dilakukan bertujuan
untuk menentukan adanya malabsorpsi laktosa.
10

Adanya bahan-bahan reduksi dan pH tinja yang
asam mengindikasikan adanya malabsorpsi
laktosa. Walaupun pemeriksaan ini bersifat uji
saring dan kualitatif, uji ini valid bila: hanya
laktosa yang diminum, waktu transit usus yang
cepat, tinja yang segar dan harus diperiksa
segera, dan degradasi laktosa oleh flora kolon
tidak komplit.
Uji hidrogen pernafasan merupakan
pemeriksaan yang saat ini dianjurkan untuk
mendiagnosa malabsorpsi laktosa. Uji ini tidak
invasif dan dapat dilakukan pada bayi.
Peningkatan produksi gas hidrogen pada udara
pernafasan, menunjukkan adanya fermentasi
laktosa yang tidak dicerna yang sampai ke
kolon. Setelah puasa malam hari, peningkatan
gas hidrogen > 20 ppm sehabis minum laktosa,
mengindikasikan adanya malabsorpsi laktosa.
1,10


PENGOBATAN
Pengobatan intoleransi laktosa yang
disebabkan defisiensi laktase primer dapat
diberikan susu rendah/bebas laktosa tergantung
toleransi. Ataupun penambahan laktase
(Lactaid

)/Yoghurt ke dalam susu. Pemberian


susu yang diencerkan tidak disukai karena
menimbulkan pengaruh buruk pada gizi bayi,
apalagi kalau diberikan pada waktu yang lama.
12

Pada bayi prematur (dengan developmental
lactase deficiency), pemberian ASI dapat
diteruskan karena defisiensi laktase hanya
transient. Bila digunakan susu sebaiknya
kandungan karbohidratnya merupakan gabungan
laktosa yang direndahkan dan polimer glukosa.
Pemberian polimer glukosa memberikan
keuntungan berupa penurunan osmolalitas dan
mempercepat waktu pengosongan lambung.
Hal ini akan berbeda , bila intoleransi
laktosa yang disebabkan defisiensi laktase
sekunder (kerusakan mukosa misalnya oleh
karena gastroenteritis). Pada keadaan ini ASI
tetap diberikan walau kadar laktosanya lebih
tinggi dari susu sapi. Sebab pastinya kenapa
dapat ditoleransi belum diketahui, walau banyak
kemungkinan-kemungkinan yang menjelaskan.
13
Karena itu ASI harus diteruskan pada bayi/anak
dengan diare.
13-15

Intoleransi laktosa setelah serangan
gastroenteritis akut, umumnya temporer tetapi
dapat berlangsung sampai 4 bulan. Karena itu
wajar bila intoleransi laktosa setelah serangan
gastroenteritis akut, diberikan susu yang
diencerkan dan susu rendah/bebas laktosa.
Namun adanya intoleransi laktosa (setelah
serangan gastroenteritis akut), tidak
menyingkirkan kemungkinan adanya cows milk
protein sensitive enteropathy dan intoleransi
lemak.
16,17
(lihat gambar 2). Dengan demikian
pemberian susu yang diencerkan dan susu
rendah/bebas laktosa dapat menemui kegagalan
yang bervariasi antara 7,7 - 47 %.
18

Pemberian susu bebas laktosa, kelihatan
hanya sedikit manfaatnya pada pengobatan anak
dengan diare.
12

Tinjauan Pustaka



Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 No. 4 Desember 2006 428
Iacono, mendapatkan bila didapati nilai
steatokrit patologis pada masa serangan
gastroenteritis akut ,- terlebih bila bayi usia di
bawah 2 bulan -, sangat besar resiko untuk
timbulnya cows milk protein sensitive
enteropathy.
19

Fayat membandingkan manfaat pemberian
susu kacang kedelai yang mengandung sukrosa
dengan susu kacang kedelai yang mengandung
laktosa pada masing-masing 100 bayi umur 3
18 bulan dengan diare. Angka kegagalan
pemberian susu yang mengandung laktosa
sebesar 6 % dan yang mengandung sukrose
sebesar 2 %.
20
Walaupun kegagalan pemberian
susu yang mengandung sukrose lebih kecil,
kegagalan ini dapat berakibat fatal kalau tidak di
bawah pengawasan klinisi.
13

Karena itu bila mencret berlangsung
terus/makin hebat setelah pemberian susu,
sebaiknya susu distop dan diberikan kembali
setelah ada perbaikan.

KESIMPULAN
Diare dapat disebabkan intoleransi laktosa.
Tetapi diare (dalam hal ini gastroenteritis) juga
dapat menyebabkan intoleransi laktosa. Karena
itu pada penderita gastroenteritis disamping
intoleransi laktosa harus dipikirkan intoleransi
terhadap bahan-bahan lain yang terdapat di susu
agar dapat diberikan diet yang sesuai. Walaupun
kadar laktosa di ASI tinggi, ASI tetap diberikan
pada penderita gastroenteritis dengan intoleransi
laktosa.


DAFTAR PUSTAKA
1. Alliet P, Kretchmer N, Lebenthal E. Lactase
deficiency, lactose malabsorption, and
lactose intolerance. Dalam: Lebenthal E,
penyunting. Textbook of Gastroenterology
and Nutrition in Infancy. Edisi ke-2. New
York: Raven Press, 1989. h. 459-72.
2. George DE, DeFrancesca BA. Human milk
in comparison to cow milk. Dalam:
Lebenthal E, penyunting. Textbook of
Gastroenterology and Nutrition in Infancy.
Edisi ke-2. New York: Raven Press, 1989.
h. 239-61.
3. Mayes PA. Gluconeogenesis and control of
blood glucose. Dalam: Murray RK, Granner
DK, Mayes PA, Rodwell VW, penyunting.
Harpers Biochemestry. Edisi ke-22.
Connecticut: Prentice-Hall International
Inc., 1990. h. 179-98.
4. Steichen J, Tsang RC. Bone mineralisation
and growth in term infants fed soy based or
cow milk based formula. J Pediatr 1987;
110:687-92.
5. Mimouni F, Campaigne B, Neylan M,
Tsang RC. Bone mineralisation in the first
year of life in infants fed human milk, cow
milk formula, or soy based formula. J
Pediatr 1993; 122:348-54.
6. Jackson AA, Golden MH. The human
rumen. Lancet 1978; II:764-7.
7. Lifshitz F. Food intolerance and sensitivity.
Dalam: Lebenthal E, penyunting. Advances
in pediatrics gastroenterology and nutrition.
Mead Johson symposium series No. 1;
Manila, 1983: 131-40.
8. Heitlinger LA, Lebenthal E. Disorders of
carbohydrate digestion and absorption.
Pediatr Clin North Am 1988; 35:239-55.
9. Sahi T. Dietary lactose and the aetiology of
human small intestinal hypolactasia. Gut
1978; 19:1074-86.
10. Sinuhaji AB. Beberapa uji fungsi usus yang
penting dalam mendiagnosis penyakit
gastrointestinal pada anak. Disampaikan
pada Kongres Nasional Ilmu Kesehatan
Anak IX, Semarang, 13-17 Juni, 1993.
11. Roediger WEW. Metabolic basis of
starvation diarrhoea : Implication for
treatment. Lancet 1986; I:1082-4.
12. Lembcke JL. Dietary management of acute
childhood diarrhoea : A developing world
perspective. International Seminar in
Pediatric Gastroenterology and Nutrition :
Refeeding and diarrhoea 1994; 3:10-5.
13. Brown KH. Dietary management of acute
childhood diarrhea : Optimal timing of
feeding and appropriate use of milks and
mixed diets. J Pediatr 1991; 118:S92-8.
14. Sinuhaji AB. Patofisiologi dan tatalaksana
diare akut pada neonatus dan bayi. Dalam:
Pasaribu S, Lubis M, Lubis B, Khainir A,
Haris MS, penyunting. Penatalaksanaan
diare pada bayi dan neonatus. Naskah
lengkap Pendidikan Kedokteran
Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera
Utara Medan, 1999: 1-20.
15. Armon K, Stephenson T, MacFaul R,
Eccleston P, Werneke U. An evidence and
consensus based guideline for acute
diarrhoea management. Arch Dis Child
2001; 85:132-42.
Atan Baas Sinuhaji Intoleransi Laktosa



Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 No. 4 Desember 2006 429
16. Walker-Smith JA, Nazer H, Manuel P,
Jackson D, Philips AD, Soeparto P. Protein
intolerance as a cause of posenteritis
diarrhea. Dalam: Lebenthal E, penyunting.
Chronic diarrhea in child. New York:
Raven Press, 1984. h. 407-23.
17. Patrick MK, Gall DG. Protein intolerance
and immunocyte and enterocyte interaction.
Pediatr Clin North Am 1988; 35:17-34.
18. Sinuhaji AB, Lubis AH, Metrisal, Sutanto
AH. Penatalaksanaan diare kronik pada
anak. Dalam: Aldy D, Sutjipto A, Siregar
AA, Siregar RR, Lubis U, penyunting.
Masalah gizi, immunisasi, psikologi anak,
penyakit infeksi dan rooming in. Naskah
lengkap Pendidikan Ilmu Kesehatan Anak
Berkelanjutan II Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara Medan; 1987:
68-92.
19. Iacono G, Carrocio A, Alongi A, et al. The
steatocrit test a guide in the prevention of
cows milk enteropathy following acute
infectious enteritis. J Pediatr Gastroenterol
Nutr 1990; 11:48-52.
20. Fayad IM, Hashem M, Hussein A,
Abouzikri M, Abuzikri M, Santosham M.
Comparison soy based formula with lactose
and with sucrose in the treatment of acute
diarrhea in infant. Arch Pediatr Adolesc
Med 1999; 153:675-80.

You might also like