You are on page 1of 7

RINGKASAN KEBUDAYAAN DAN MITIS

Untuk memenuhi tugas mata kuliah


Sosio-Antropologi Kebudayaan

Oleh:
A. Farid Nazaruddin ST
nim. 0920605002

JURUSAN ARSITEKTUR LINGKUNGAN BINAAN


FAKULTAS TEKNIK
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG
KEBUDAYAAN DAN MITIS

Perkembangan kebudayaan dewasa ini

Manusia dan kebudayaan tidak akan dapat terlepas satu sama lain. Apa yang dapat
kita perbuat dengan kebudayaan? Dengan ini diperlukan suatu strategi kebudayaan.
Berbagai perubahan terhadap kebudayaan, berbagai fungsi kebudayaan dan
berbagai penelitian tentang kebudayaan menuju suatu kebijakan yang harus
diperbuat terhadap kebudayaan untuk masterplan masa depan.

Filsafat kebudayaan bukan merupakan tujuan lagi, ia sekarang dapat menjadi alat
atau sarana untuk strategi kebudayaan untuk hari depan. Masyarakat modern harus
dapat menentukan arah tujuan kebudayaannya.

Dahulu, pendapat tentang hakikat kebudayaan merupakan manifestasi dari


kehidupan manusia yang berbudi luhur dan yang bersifat rohani. Sekarang pendapat
itu bergeser menjadi bahwa kebudayaan adalah manifestasi kehidupan setiap orang
dan setiap kelompok orang. Manusia selalu merubah alam. Manusia selalu
mengutik-utik lingkungan hidup alamiahnya. Dan itulah yang dinamakan
kebudayaan.

Kebudayaan meliputi segala perbuatan manusia. Kebudayaan juga dianggap


menjadi lebih dinamis. Ia adalah kata kerja. Bukan alat-alat karya manusia yang
dianggap sebagai kebudayaan tetapi proses pembuatannyalah yang dianggap
sebagai kebudayaan.

Tidak terkecuali tradisi, norma yang diturunkan. Manusia membuat sesuatu dengan
tradisi itu, ia menerimanya, menolaknya dan merubahnya. Kegiatan inilah yang
dinamakan kebudayaan. Jadi setiap orang, tidak terbatas pada para ahli pencipta
karya, tetapi juga setiap orang dan kelompok orang dapat membentuk sebuah
kebudayaan.

Karena kebudayaan merupakan kata kerja, ia tidak akan tamat, maka diperlukan
sebuah kebijakan terhadap pengelolaan konsep kebudayaan untuk mencapai masa
depan yang lebih baik. Untuk mencapai hal itu, maka manusia harus disadarkan
tentang kebudayaan. Dengan demikian diperlukan gambar kebudayaan supaya
dapat lebih jelas dimengerti lebih dan kurangnya kebudayaan dan bagaimana cara
memperbaikinya.

Manusia selalu menilai sesuatu, dan penilaian manusia dengan manusia yang selalu
bertalian (suka atau segan, membenarkan atau ditolak). Penilaian ini oleh Van
Peursen disebut dengan “evaluasi”. Perkembangan kebudayaan harus dievaluasi,
apabila ada yang tidak beres, maka dapat diperbaiki dan kemudian maju. Immanuel
Kant menuliskan bahwa ciri khas kebudayaan terdapat dalam kemampuan manusia
untuk mengajar dirinya sendiri. Kebudayaan seperti sebuah sekolah dimana manusia
dapat belajar. Dalam kebudayaan, manusia tidak hanya bertanya bagaimana sifat-
sifat tertentu, melainkan pula bagaimana sesuatu seharusnya bersifat.

Kebudayaan berdiri diantara imanensi alam yang berdiri sebagai objek yang diolah
dan transendensi evaluasi perkembangan kebudayaan itu sendiri. Manusia termasuk
dalam alam dan alam berevolusi, tetapi yang membedakan manusia dengan hewan
adalah manusia mengevalusai perbuatan-perbuatannya (norma) dari hal yang
bersifat rohani sampai meteriil.
Sehingga, peta kebudayaan yang digunakan sebagai penunjuk jalan perkembangan
kebudayaan menurut Peursen terbagi menjadi tiga tahapan. Tahap mitis, yaitu sikap
manusia yang merasakan dirinya terkepung oleh kekuatan-kekuatan gaib di
sekitarnya. Kedua, tahap ontologis, sikap manusia yang tidak lagi hidup dalam mitis
melainkan selalu ingin meneliti segala yang ikhwal dan menyusunnya dalam teori
dasar hakikat segala sesuatu (ontologi) dan mengenai segala sesuatu. Kemudian
tahap fungsionil ialah sikap dan alam pikiran yang makin nampak dalam manusia
modern. Ia tidak begitu terpesona lagi oleh lingkungannya. Umumnya ditandai
dengan mencari solusi baru untuk masalah lama dan bagaimana sebetulnya kita
sedang berusaha menyusun suatu policy baru mengenai kebudayaan kita.

Bukan berarti bahwa tahapan satu dengan yang lainnya itu lebih baik satu dengan
yang lain. Setiap tahap tidak lebih tinggi dari tahap-tahap yang lainnya. Tetapi
memang terdapat segi-segi negatif seperti, dalam tahap mitis terlihat praktek magi,
yaitu usaha mempengaruhi orang lain atau alam dengan ilmu sihir, tahap ontologis
substantialisme menjadikan manusia dan nilai-nilai menjadi semacam benda dan
memecah substansi benda satu dengan yang lain, sedangkan pada tahap fungsionil
operasionalisme bahwa manusia saling memperlakukan diri sebagai bagian dari
suatu sistem operasional yang besar sehingga penerimaan akan bahaya dan
kenegatifan sistem dianggapnya hanya sebagai efek yang seharusnya terjadi.

Dalam proses kebudayaan, manusia terpengaruh oleh “kekuasaan”. Kekuasaan


terdapat dalam alam raya, yaitu yang tidak termasuk dalam pribadi manusia tetapi
mempengaruhi manusia. Sejauh mana kekuasaan itu dapat mempengaruhi kita dan
sejauh mana kekuasaan itu kita tolak. Kebudayaan seperti pasang surut pengaruh
kekuasaan tersebut pada manusia.

Kesadaran manusia akan waktu sebagai kekuasaan yang mempengaruhinya


merupakan tingkatan perbedaan pokok manusia dengan hewan yang tinggi. Dari
dulu manusia sangat sadar akan pentingnya waktu dan bagaimana kita berhadapan
dengannya. Seperti Jaquetta Hawkes mengatakan “kera-kera dapat menjelma
sebagai tukang reparasi arloji jika mereka mengembangkan kesadaran tentang
waktu”.

Buku Strategie Van De Cultuur oleh Prof. Dr. C. A. van Peursen ini memang bukan
petunjuk pasti tentang bagaimana kebudayaan itu seharusnya, tetapi lebih kepada
rangsangan-rangsangan diskusi yang dapat membantu manusia agar menjadi lebih
sadar mengenai kebudayaannya serta menemukan kaidah-kaidah untuk mencapai
suatu strategi kebudayaan yang dapat dipertanggung jawabkan.

Apakah van Peursen tidak menganggap adanya unsur ketuhanan? Karena apabila
mengkaji kebudayaan tetapi tidak mempunyai dasar ketuhanan maka dapat
dianggap sebagai ateistis kebudayaan. Apakah van Peursen sengaja tidak
mencantumkan unsur ketuhanan pada tulisannya. Tetapi satu hal yang pasti, bahwa
definisi kebudayaan menurut van Peursen ini lebih kepada definisi dalam pandangan
tidak berketuhanan.

E. K. M. Masinambow memberikan penjelasan yang lebih singkat dan jelas tentang


hiruk pikuk persepsi kebudayaan Peursen, meski lebih terhadap teoritis. Ia
mengajukan 3 pertanyaan tentang kebudayaan, yaitu:
1. apakah yang dimaksud dengan kebudayaan itu harus dicari pada perilaku
atau pada hal-hal yang berada di belakang perilaku itu – di dalam kehidupan
intern manusia?
2. apakah yang dimaksud dengan kebudayan itu harus dicari pada benda-
benda yang dihasilkan manusia, pada lingkungan biofisik yang dimodifikasi
oleh manusia; atau pada hal-hal dalam kehidupan intern manusiayang
mendorongnya membuat membuat benda-benda itu atau merubah
lingkungnan biofisik itu?
3. apakah yang dimaksud dengan kebudayaan itu harus dicari pada lingkungan
alam yang sudah ada, tetapi diberikan “makna tertentu” oleh masyarakat
sehingga mempengaruhi perilaku manusia atau pada “makna” yang diberikan
itu?

Jawaban pada pertanyaan-pertanyaan itu tergantung pada teori tentang kebudayaan


yang dianut. Jika teori itu bersifat mentalistik atau idealistic, dengan sendirinya
kebudayaan itu berada di dalam diri manusia. Senaliknya juka teori itu bersifat
materialistic atau behavioristik, dengan sendirinya kebudayaan itu adalah keteraturan
pada perilaku dan pada artifak, pada pola pembuatan artifak maupun pola
penggunaannya.

Jika kebudayaan dianggap sebagai sistem pemberi informasi (tanda) maka sistem itu
berfungsi sebagai sarana penataan kehidupan bermasyarakat. Bagi warga suatu
masyarakat, pemahaman dari sistem tanda yang berlaku dalam masyarakat itu
memungkinkan berperilaku sesuai dengan apa yang diharapkan darinya oleh
sesama warga masyarakat itu, karena terdapat kesesuaian interpretasi dari tanda-
tanda yang digunakan

Dengan demikian van Peursen merupakan penulis tentang kebudayaan dengan kaca
mata idealistic atau mentalistik tetapi dengan pemikiran materialistik.

Dr. Galih Widjil Pangarsa memberikan penjelasan tentang kebudayaan dalam


pemikiran berketuhanan. Dia mencoba mengartikan kembali makna Cultuur yang
merupakan akar kata culture mengolah tanah untuk suatu hasil, kata ini kemudain
berkembang untuk pengolahan tanaman, ternah, mikroorganisme, pola karekteristik
perilaku masyarakat, sebuah gaya ekspresi artistik atau sisoal yang dimiliki golongan
tertentu di dalam aktifitas seni.

Sedangkan budaya berasal dari badaya bertasrif menjadi Al-Mubdi’u, salah satu
asma Allah yang berarti yang Maha Mengawali dan Menjadikan segala sesuatu dari
tiada. Konsep makna harafiah kata budaya menunjukkan akar kata-kata “budi” (akal-
budi, pikiran) dan “daya” (tenaga, kemampuan). Demikian sehingga budaya dapat
dimaknai sebagai kemampuan berakal budi dengan nilai-nilai luhur berketuhanan,
untuk mengawali hidup dengan suatu proses yang adil, harmonis, selaras dalam
kedamai-tentraman yang berbukti pada kesatuan jalinan kehidupan antar makhluk
ciptaan Allah.

Dalam konsep ini, sudah ada perbedaan tegas antara baik-buruk, benar-salah, adil-
zalim, indah-buruk dan seterusnya.

Alam pikiran mitis

Dunia mitis yang meliputi alam kebudayaan primitif ternyata masih tetapi menarik
bagi kita. Banyak para ahli ilmu antropologi kebudayaan meneliti hal ini. Bahkan
kemudian menyadari bahwa dunia ini tidak pantas lagi disebut sebagai primitif
karena temuan mereka tentang dunia mitis mengandung cerita-cerita dan filosofi
yang sangat dalam.
Kebodohan masyarakat jaman romantik dan masyarakat rasional melihat
kebudayaan mitis ini harus dihilangkan. Rasa kagum jaman romantik menganggap
manusia primitif hanya sebagai manusia purba yang hidupnya masih dekat dengan
alam dan yang masih murni, belum tersentuh oleh peradaban dan teknik modern.
Dunia mitis dipenuhi oleh kekuatan-kekuatan gaib yang tidak dapat dijangkau.
Padahal masyarakat mitis tersebut telah belajar, mengerti, menghormati, berperang,
membunuh, menciptakan teknik, dan lain sebagainya.

Lain lagi sikap rasionalis, yang memandang rendah terhadap kebudayaan mitis.
Seolah-olah alam pikiran mitis itu tidak ilmiah dan primitif. Padahal masyarakat mitis
hanya berpikir berbeda dengan masyarakat rasionalis. Bukan berarti rasionalis
merupakan jawaban dan solusi dari mitis. Bahkan Levy Bruhl menyimpulkan bahwa
masyarakat mitis pun rasionalis dalam cara-cara pendekatan pemikiran.

Kebudayaan masyarakat mitis hanyalah merupakan variasi kebudayaan dari


berbagai banyaknya kebudayaan yang ada di dunia ini. Kebudayaan satu dengan
yang lain tidak lebih tinggi derajatnya. Semuanya sejajar. Ia hanyalah teman
seperjalanan kebudayaan yang lain. Hanya saja manusia sering menganggap
kebudayaan yang baik adalah kebudayaan dimana media massa sering perlihatkan.
Levi Strauss membuka paradigma ini dengan penelitian dan filosofinya tentang
kebudayaan. Bahwa masyarakat primitif pun menganggap kekanak-kanakan
masyarakat modern yang selalu mempertanyakan suatu penjelasan pasti.

Fungsi mitos

Mitos adalah sebuah cerita yang memberikan arah atau pedoman tertentu kepada
sekelompok orang. Fungsi pertama mitos adalah menyadarkan manusia bahwa ada
kekuatan-kekuatan ajaib. Mitos tidah menjelaskan secara detail kekuatan itu, tetapi
membantu manusia agar manusia dapat menghayati daya-daya itu sebagai sesuatu
kekuatan yang menguasai sukunya. Seperti senjata yang dianggap mempunyai ruh
dapat meningkatkan daya semangat pejuang pemegang senjata itu.

Fungsi kedua dari mitos adalah ia memberi jaminan bagi masa kini. Seperti
keyakinan bahwa keberhasilan masa lampau yang diceritakan dalam mitos dapat
menjadi suatu kepastian bahwa ia akan terjadi pada masa kini. Mitos tentang dewa-
dewa yang melindungi masa panen, perkawinan, kelahiran, kedewasaan, pembuatan
senjata dan lain sebagainya.

Fungsi mitos yang ketiga adalah pengantara antara manusia dan daya-daya
kekuatan alam. Dengan kata lain, mitos dapat berfungsi untuk memberikan
pengetahuan tentang dunia. Lewat mitos manusia mendapatkan keterangan-
penjelasan tentang segala hal yang tidak dapat dijawab oleh manusia primitif.
Demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa manusia mitis dalam kehidupannya di
alam ini tidak merasa sebagai penguasa tunggal alam. Ia dilanda oleh perasaan dan
daya diluar pemahamannya yang dianggapnya dapat mengatur kehidupan dan alam.
Ia terpesona oleh eksistensi dirinya dalam eksistensi alamnya dan sebab mereka
eksis. Sehingga mereka pun merasa hormat dan takut akan “keajaiban”. Mereka
ekspresikan hal ini pada karya kebudayaan mereka, seperti patung, rumah dan lain
sebagainya.

Dapat disimpulkan bahwa inti sikap mitis adalah kehidupan ini ada, ajaib dan
berkuasa, penuh daya kekuatan.
Manusia dan dunia

Dalam lingkup hidup mitologis, tiada garis pemisah yang jelas antara manusia dan
dunia, antara subjek dan objek. Bahkan manusia belum dapat dikatakan sebagai
subjek karena mereka belum mendapatken eksistensi mereka yang bulat. Manusia
diresapi oleh pengaruh-pengaruh dari sukunya dan alam raya. Dalam tulisan-tulisan
mengenai gejala-gejala ini sering dipakai istilah “ruang sosio-mitis”, yaitu lingkup
daya kekuatan yang meliputi manusia dan yang ditentukan oleh pertalian dengan
sukunya (sosio-) dan oleh sikapnya yang mitis (-mitis). Baru dalam lingkup ini,
manusia tersebut mendapatkan identitasnya, ia baru menjadi seseorang dalam
ruang sosio-mitis tersebut.

Sehingga, bisa saja ia kehilangan identitasnya, kemauan hidupnya, kesadarannya,


bahkan dunianya karena tidak menjadi bagian dari satu ruang sosio-mitis sukunya.
Orang primitif belum mempunyai pengertian mengenai jiwanya sebagai sesuatu yang
merupakan miliknya sendiri, dasar identitasnya sebagai seorang manusia yang
bersifat pribadi.

Masyarakat mitis percaya dengan adanya jiwa dan bagaimana jiwa itu dapat berada
pada berbagai posisi dan tempat yang ada di dunia. Khususnya yang mitos mereka
ceritakan. Bagi mereka hanya ada satu dunia organis yang hidup. Batas-batas badan
kita tidak berhenti pada kulit badan kita. Manusia dan alam raya saling meresapi dan
oleh karena itu kekuatan manusiawi dan ilahi juga saling terlebur.

Nilai-nilai dan norma-norma seolah-olah merupakan polisi lalu lintas yang mengatur
masyarakat. Tetapi dalam masyarakat modern, kita menyaksikan hal itu bergeser
dengan sangat pesat. Bagaimana berperilaku terhadap alam, bagaimana
menghadapi hubungan sosial, semua telah berubah dan akan terus berubah. Dalam
masyarakat modern perekonomian menjadi raja dan menentukan kehidupan. Dalam
masyarakat mitis tidak, karena semua kegiatan ekonomi dan konsumsi masyarakat
telah terlebih dahulu dipermaklumkan oleh mitos. Nilai-nilai itu kemudian mengakar
dan sulit dirubah. Alam pikiran mitis tidak mempunyai kiblat historis, sedangkan
masyarakat modern sangat terpengaruh pada kesan historis. Mentalitas modern
lebih kepada perubahan, kemajuan dan masa depan, sedangkan masyarakat mitis
lebih menoleh ke belakang, ke masa silam yang lebih tersambung oleh mitos-mitos.

Magi(c)

Praktek magi (sihir) dalam sudut tertentu dapat disamakan dengan asuransi jiwa
pada masyarakat modern. Ia tidak menyelesaikan masalah, hanya meredakan
kegelisahan. Berhubungan dengan mitos, magi lebih imanen. Mitos lebih mirip
dengan pujaan religius, sedangkan magi lebih condong menguasai sesuatu lewat
beberapa kepandaian. Tentu saja magi berkaitan dengan mitos, seperti penggunaan
mantera dan alat-alat tertentu yang ditunjukkan terlebih dahulu oleh mitos.

Dalam mitos, manusia ingin mengabdi, dalam magi manusia ingin menguasai.
Kecenderungan magi ini dapat menuju ke sikap angkuh, sombong dan egois ingin
menguasai alam raya. Demikian pula dalam setiap tahap kebudayaan terdapat dua
factor dalam satu kancah daya kekuatan: usaha untuk menyesuaikan diri dalam
sebuah rangka yang tepat dan masuk akal antara manusia dan daya-daya kekuatan
tersebut, dan usaha-usaha untuk merebut kekuasaan; sikap rendah hati melawan
sikap yang angkuh.

Menurut Pangarsa, bumi adalah tempat berkehidupan bersama bagi sesama ciptaan
makhluk ciptaan yang selalu bersama dalam kejamak-majemukan. Keadaan chaotic
yang dihasilkan suatu masyarakat manusia, mau tidak mau akan nampak sebagai
bukti bahwa masyarakat terebut gagal mengambil pelajaran dari kebhinekaan
kehidupan bersama diatas bumi yang fitrahnya, terjalin sistemik tepat-terpadu
berketunggalikaan dalam kedamaian ini. Bila keterpaduan ruh jasad, immateri-materi
atau ghaib nyata dalam dirinya gagal disadari, pasti mustahil menyadari keterpaduan
di luar dirinya. Pasti ia akan selalu merusak tatanan dan menjadi manusia perusak.

DAFTAR PUSTAKA

Peursen, van C. A. 1988. Strategi Kebudayaan. Jakarta: Kanisius.

Masinambow, E.K.M. & Rahayu S. Hidayat. 2001. Semiotik: Mangkaji Tanda Dalam
Artifak. Jakarta: Balai Pustaka

Pangarsa, Galih Widjil. 2006. Merah Putih Arsitektur Nusantara. Yogyakarta:


Penerbit Andi

You might also like