You are on page 1of 7

D.Perkembangan Politik HANKAM Negara di Era Orba 1.

Usaha Integrasi ABRI Pada bulan juni tahun 1962, presiden Soekarno mengintegrasikan TNI dan Polisi dalam organisasi ABRI, dengan sentralisasi komando pada panglima tertinggi (pangti). Jabatan para kepala staff angkatan dan kepolisian RI, diubah menjadi panglima angkatan (pangad,pangal, pangau dan pangak). Usaha integrasi ABRI pada era demokrasi terpimpin ini menemui banyak hambatan. Hambatan utama adalah munculnya divergensi dan rivalitas antar angkatan. Masalahmasalah pembinaan teritorial, doktrin, kekaryaan, organisasi dan intelijen merupakan sumber timbulnya divergensi dan persaingan.pada masa awal orde baru, pimpinan ABRI berusaha menghilangkannya melalui tiga pendekatan yaitu pendekatan pendidikan, pendekatan doktriin dan pendekatan organisasi.1 Khusus pendekatan pendidikan, penekanan diletakan pada bidang pendidikan yang terinteraksi dan gabungan secara fisik.pendidikan terintegrasi dimulai pada tingkat pembentukan perwira dan diteruskan pada tingkat lanjutan perwira. Pendidikan yang terintegrasi secara mental dan fisik pada tingkat pembentukan perwira perwira adalah dasar untuk membentuk kader penerus ABRI. Untuk pelaksanaan itu, pada tahun 1966 dibentuk wadah pendidikan baru, yakni Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (AKABRI). Pendekatan kedua yang ditempuh dalam mencapai integrasi ABRI ialah pendekatan doktrin, melalui penyususnan dan penyempurnaan doktrin dasar angkatan dan polisi menjadi satu doktrin ABRI. Karena sejak seminar pertama TNI AD yang diselenggrakan enam bulan sebelum meletus G 30 S menghasilkan doktrin Tri Ubaya Sakti. Beberapa saat kemudian menyusul doktrin dari angkatan-angkatan dan POLRI. TNI AL menyusun doktrin dengan nama eka casana jaya ( satu doktrin yang menang), TNI AU dengan doktrin swa bhuana paksa (syap tanah air), dan Polri dengan doktrin tata tentrem kerta rahardja . dengan doktrin-doktrin itu, TNI AD menonjolkan wawasan buana, TNI AL menitikberatkan wawasan bahari, TNI AU menekankan pada wawasan dirgantara, dan polri pada wawasan ketentraman masyarakat.

Saleh Asad Djamhari, Ichtisar Sedjarah Perdjuangan ABRI, 1971, hlm. 128 -129

Doktrin yang berdiri sendiri dengan wawasan yang berbeda dan bersaing satu dengan yang lain akan sangat membahayakan keutuhan ABRI dan kesatuan bangsa. Sebab pada hakikatnya wawasan adalah aspek dari falsafah hidup suatu angkatan yang berisi dorongan dan rangsangan untuk mencari jalan dan cara guna mencapai tujuan hidup. Oleh karena itu, pimpinan angkatan bersenjata mengusahakan integrasi melalui seminar. Seminar Hankam diselenggrakan dari tanggal 12 hingga 21 november 1966seminar berhasil merumuskan doktrin pertahanan keamanan nasional dan doktrin perjuangan ABRI yang bernama Tjatur Darma Eka Karma serta wawasan nusantara bahari. Dengan berhasilnya seminar hankam menyususun doktrin ini, perbedaan-perbedaan yang tajam antara doktrin angkatan berhasil ditumpulkan, khususnya mengenai perbedaan wawasan. Pendekatan ketiga ialah pendekatan organisasi. Landasan pengorganisasian pada awal ore baru berdasar pda surat keputusan residen no. 132 tahun 1967. Karena pada tahun 1963 pembagian dan penentuan kerja antara badan-badan angkatan menjadi rancu, karena masingmasing banyak menjalankna fungsi yang serupa sehingga menimbulkan kesimpangsiuran. Dikeluarkannya keputusan presiden no 132 tahun 1967 adalah untuk menertibkan pembagian fungsioanal angkatan. Tiap-tiap angkatan mempunyai tugas penyelenggaran dan pembinaan hamkanas menurut matranya masing-masing. Sesuai dengan keputusan presiden no

132/1967 ABRI terdiri atas angkatan darat (AD), angkatan laut (AL), angkatan udara (AU) dan angkatan kepolisian (AK). Keputusan presiden no 132/1967 ini kemudian disempurnakan dengan keputusan presiden no 79 tahun 1969. Tujuan penyempurnaan ini adalah agar pada akhir repelita tahun 1973 telah didapat landasan dan pangkal tolak pembanguna suatu sistem hamkanas yang modern, baik doktrin maupun aparaturnya. Dengan tercapainya kemantapan integrasi antara fungsi-funsi pertahanan keamanan, baik dalam segi organisasi maupun segi prosedur kerjanya, diadakan penyempurnaan kembali keputusan presiden no 79/ 1969 dengan keputusan presiden no 7 tahun 1974 tanggal 18 februari 1974. Penyempurnaan dilakukan terutama pada tingkat departemental, eselon, pimpinan yang terdiri dari pimpinan dan pembantu pimpinan, serta beberapa badan pada eselon pelaksana pusat.2

22

Marwati Joeded . Nugroho Notosusanto. 2008. Sejarah Nasional Indonesia VI: Zaman Jepang dan Zaman Republik Indonesia. Jakarta. Balai Pustaka, hal, 595.

2. Dwi Fungsi ABRI. ABRI yang muncul sejak masa revolusi, sejak awal memang sudah menjalankan fungsi sosial maupun politiknya, disini fungsi yang dijalankan dapat diterima masyarakat. Dwifungsi ABRI dapat diartikan sebagai pengesahan pelaksanaan fungsi sosial politik oleh anggota ABRI. Namun untuk mewujudkan landasan hukum yang tepat dan mantap harus melalui tahapan yang tidak sebentar. Sejak diberlakukannya UU No.80 tahun 1958, fungsi sosial politik ABRI memperoleh pengakuan yuridis. Sedangkan landasan konstitusionalnya berasal dari UUD 1945 Pasal 2 ayat (1) yang memposisikan ABRI sebagai golongan fungsional. Bahkan di awal Orde Baru, landasan yang dimiliki ABRI bertambah dengan dikeluarkannya TAP MPR yang menjamin kelangsungan kekaryaan anggota ABRI. Pada dasarnya, konsep dwifungsi ABRI tidak bisa dilepaskan dari perkembangan sistem ketatanegaraan dan sistem politik di Indonesia. Keberadaan ABRI sebagai kekuatan social dan politik yang telah melekat sejak kelahirannya, secara nyata memang telah diterima oleh rakyat, karena peranannya memang secara nyata diperlukan bagi kelangsungan sistem kenegaraan dan sistem politik Indonesia yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945. Hal tersebut ditunjukkan oleh pelbagai peranan ABRI dalam menghadapi situasi-situasi genting, Mulai dari perang mempertahankan kemerdekaan hingga penumpasan G30S/PKI. Dalam menghadapi situasi-situasi genting itu, ABRI telah memainkan peranannya dalam bidang politik. Sebagai contoh ialah Instruksi Bekerja Pemerintah Militer seluruh Jawa No. I/MBKD/1948 dari Kolonel Nasution. Konsep Dwifungsi ABRI sendiri dipahami sebagai jiwa, tekad dan semangat pengabdian ABRI, untuk bersama-sama dengan kekuatan perjuangan lainnya, memikul tugas dan tanggung jawab perjuangan bangsa Indonesia, baik di bidang hankam negara mapun di bidang kesejahteraan bangsa dalam rangka penciptaan tujuan nasional, berdasarkan pancasila dan UUD 1945. Berangkat dari pemahaman tersebut, ABRI memiliki keyakinan bahwa tugas mereka tidak hanya dalam bidang hankam namun juga non-hankam. Sebagai kekuatan hankam, ABRI merupakan suatu unsur dalam lingkungan aparatur pemerintah yang bertugas di bidang kegiatan melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Sebagai kekuatan social, ABRI adalah suatu unsure dalam kehidupan politik di lingkungan masyarakat yang bersama-sama dengan kekuatan social lainnya secara aktif melaksanakan kegiatan-kegiatan pembangunan nasional.

Dwifungsi ABRI, seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya diartikan bahwa ABRI memiliki dua fungsi, yaitu fungsi sebagai pusat kekuatan militer Indonesia dan juga fungsinya di bidang politik. Dalam pelaksanaannya pada era Soeharto, fungsi utama ABRI sebagai kekuatan militer Indonesia memang tidak dapat dikesampingkan, namun pada era ini, peran ABRI dalam bidang politik terlihat lebih signifikan seiring dengan diangkatnya Presiden Soeharto oleh MPRS pada tahun 1968. Hal ini dipandang wajar karena pada saat itu sektor militer memiliki kekuatan yang paling besar. Sebenarnya, sejak awal milliter ikut ambil peran dalam mengurusi urusan sipil telah muncul suatu indikasi dimana kekuatan militer Indonesia dianggap akan memgang peran penting dalam sejarah perpolitikan Indonesia. Indikasi ini muncul sesuai dengan teori Hunnington dan Finner yang mengatakan bahwa penyebab paling penting dari intervensi militer dalam bidang politik adalah sistem kebudayaan politiknya, struktur politik, serta institusinya. Oleh karena itulah, tidak heran jika partisipasi politik dari kekuatan militer Indonesia sangat kental pada masa itu mengingat masih rendahnya level sistem budaya politik pada masa itu serta tidak mampunya membatasi kegiatan militer pada bidang non-politis saja. 3 Secara umum, intervensi ABRI dalam bidang poilitik pada masa Orde Baru yang mengatasnamakan Dwifungsi ABRI ini salah satunya adalah dengan ditempatkannya militer di DPR, MPR, maupun DPD tingkat provinsi dan kabupaten. Perwira yang aktif, sebanyak seperlima dari jumlahnya menjadi anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPRD), dimana mereka bertanggung jawab kepada komandan setempat, sedangkan yang d di MPR dan DPR tingkat nasional bertanggung jawab langsung kepada panglima ABRI. Selain itu, para ABRI juga menempati posisi formal dan informal dalam pengendalian Golkar serta mengawasi penduduk melalui gerakan teritorial diseluruh daerah dari mulai Jakarta sampai ke dareahdaerah terpencil, salah satunya dengan gerakan AMD (ABRI Masuk Desa). 4 Keikutsertaan militer dalam bidang politik secara umum bersifat antipartai. Militer percaya bahwa mereka merupakan pihak yang setia kepada modernisasi dan pembangunan. Sedangkan partai politik dipandang memiliki kepentingan-kepentingan golongan tersendiri. Lebih jauh, Harold Crouch dalam bukunya Militer dan Politik di Indonesia menerangkan bahwa pandangan pihak militer terpecah menjadi dua kelompok, namun keduanya tetap

Basari, Hasan., Seperti yang dikutip dari Huntington, Political Order ,dalam Ulf Sandhaussen, Politik Militer Indonesia 1945-1967 : Menuju Dwifungsi ABRI, trans, LP3ES, Jakarta, 1998. 4 Jenkins, David., Soeharto dan Barisan Jenderal Orba : Rezim militer Indonesia 1975-1983., Komunitas Bambu, Jakarta, 2010.

menganut sifat antipartai. Hal ini juga disampaikan oleh A.H. Nasution. Kelompok pertama adalah kelompok berhalauan keras yang ingin mengubah struktur politik dengan sistem dwipartai. Berbeda dengan kelompok tersebut, kelompok kedua adalah kelompok moderat yang cenderung tetap ingin mempertahankan sistem politik saat itu, dan menginginkan perubahan dilaksanakan secara bertahap dan alami. Setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah tentu memiliki dampak yang akan dirasakan secara luas, tidak terkecuali Dwifungsi ABRI. Dalam hal ini, kita akan mengetahui bahwa Dwifungsi ABRI tidak hanya menimbulkan dampak negatif sebagaimana yang berkembang di masyarakat selama ini, namun juga dampak positif bagi system politik di Indonesia yang seringkali tidak diekspos pada masyarakat. Diantara berbagai dampak negatif yang muncul sebagai konsekuensi pelaksanaan Dwifungsi ABRI, berkurangnya jatah kaum sipil di bidang pemerintahan adalah hal yang paling terlihat. Pada masa Orde Baru, pelaksanaan negara banyak didominasi oleh ABRI. Dominasi yang terjadi pada masa itu dapat dilihat dari: (a). Banyaknya jabatan pemerintahan mulai dari Bupati, Walikota, Gubernur, Pejabat Eselon, Menteri, bahkan Duta Besar diisi oleh anggota ABRI yang dikaryakan, (b). Selain dilakukannya pembentukan Fraksi ABRI di parlemen, ABRI bersama-sama Korpri pada waktu itu juga dijadikan sebagai salah satu tulang punggung yang menyangga keberadaan Golkar sebagai partai politik yang berkuasa pada waktu itu, (c). ABRI melalui berbagai yayasan yang dibentuk diperkenankan mempunyai dan menjalankan berbagai bidang usaha dan lain sebagainya. Hal ini pada dasarnya bisa kita pahami sebagai sebuah pelaksanaan pendekatan patrimonialisme yang dilakukan oleh Soeharto dalam menjalankan pemerintahannya. Sebagaimana kita ketahui, pada awal pemerintahannya Soeharto mengalami masa yang cukup sulit. Pemberontakan PKI yang terjadi pada tahun 1965 waktu itu menimbulkan goncangan yang cukup hebat bagi seluruh sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Kehidupan politik di Indonesia mengalami instabilitas yang sangat hebat. Belum lagi inflasi yang cukup tinggi hingga ratusan persen membuat perekonomian Indonesia terpuruk sangat dalam. Dalam kaitannya dengan pemberontakan PKI, ABRI yang dipimpin oleh Soeharto waktu itu tampil sebagai pihak yang mampu menumpas kebiadaban PKI. Tentu saja ini adalah sebuah prestasi yang layak untuk diganjar dengan penghargaan di mana Soeharto menempatkan banyak Jendral dalam berbagai posisi pemerintahan. Lebih dari itu, dengan menempatkan jendral-jendral dalam posisi strategis di pemerintahan, Soeharto sedang

berupaya untuk membentuk pola hubungan yang saling menguntungkan di mana dia ingin menciptakan loyalitas di kalangan elit dalam hal ini ABRI pada dirinya karena dengan posisi strategis tersebut, aspirasi para jendral khususnya di bidang materi bisa tercukupi dengan lebih mudah. Dengan demikian, pemerintahan yang dipimpin oleh Soeharto menjadi lebih stabil. Program-program yang diciptakan untuk memulihkan keadaan negara juga berhasil dilakukan dengan efektif. Dominasi dwifungsi ABRI dalam hal tersebut pada akhirnya menimbulkan dampak yang lebih buruk. Dampak tersebut antara lain adalah: (a). Kecenderungan ABRI untuk bertidak represif dan tidak demokratis/otoriter. Hal ini dapat terjadi karena kebiasaan masyarakat yang terbiasa taat dan patuh kepada ABRI. Sehingga masyarakat enggan untuk mencari inisiatif dan alternatif karena semua inisiatif dan alternatif harus melalui persetujuan ABRI. Kalaupun masyarakat telah mengungkapkan inisiatifnya, tak jarang inisiatif tersebut ditolak oleh ABRI yang menjabat sebagai petinggi di wilayahnya tersebut, (b). Menjadi alat penguasa, yakni dengan adanya dwifungsi ABRI ini, maka ABRI dengan bebas bergerak untuk menjabat di pemerintahan. Sehingga untuk mencapai tingkat penguasa tidak mustahil untuk dilakukan oleh seorang ABRI, sehingga dengan mudah ABRI mengatur masyarakat, dan (c). Tidak berjalannya fungsi kontrol oleh parlemen. Dampak dari kondisi ini adalah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan, misalnya dalam bentuk korupsi. Hal tersebut dapat terjadi karena ABRI juga yang bertindak sebagai parlemen sehigga ia tidak ingin repot-repot melakukan kontrol terhadap bawahannya. Lebih dari itu, dengan adanya Dwifungsi ABRI, prakter-praktek nepotisme makin tumbuh subur di Indonesia. Tidak jarang keluarga atau rekan terdekat dari anggota ABRI memanfaatkan posisi yang dimiliki untuk kepentingannya masing-masing. Dengan pengaruh yang dimilikinya mengingat jabatannya baik di bidang militer maupun politik, anggota ABRI ini berusaha untuk meperluas usaha istrinya, saudaranya, bahkan sepupunya.

Namun demikian, Dwifungsi ABRI juga menunjukkan dampak positif sebagai mana ditunjukkan oleh berkecimpungnya ABRI dalam bidang ekonomi. Keikutsertaan militer dalam ekonomi telah menjadi usaha yang mapan dari pimpinan tentara untuk mencari tambahan bagi alokasi anggaran dan menguatkan kebebasan mereka dari pemerintah melalui pembiayaan yang mereka dapatkan dari usaha yang disponsori militer dan menyedot dana dari BUMN yang dipimpin oleh kaum militer. Otomatis kegiatan-kegiatan yang ABRI pada waktu itu memiliki sumber dana yang tidak terbatas dari anggaran pemerintah.

Lebih dari itu, dampak positif dari adanya dwifungsi ABRI itu sendiri lebih banyak dirasakan oleh kalangan internal ABRI khususnya dalam bidang materi. Dengan adanya dwifungsi ABRI, banyak dari anggota ABRI yang mendapatkan posisi penting dalam pemerintahan, bahkan mengalahkan masyarakat sipil yang sebenarnya sudah fokus mengenyam pendidikan di bidang pemerintahan. Hal ini mengakibatkan para Jendral ABRI memiliki kesejahteraan yang terhitung tinggi karena kiprahnya dalam posis-posisi strategis itu. Di sisi lain, banyaknya anggota ABRI yang mendapatkan posisi penting dalam pemerintahan, bahkan mengalahkan masyarakat sipil yang sebenarnya sudah fokus mengenyam pendidikan di bidang pemerintahan berimplikasi pada banyaknya dari masyarakat yang ingin menjadi anggota ABRI. Hal ini merupakan sesuatu yang positif karena dengan banyaknya orang yang ingin menjadi anggota ABRI maka seleksi bagi orangorang yang ingin tergabung dalam militer Indonesia lebih kompetitif. Pada akhirnya, keberhasilan Presiden Soeharto untuk menjalankan berbagai macam program pembangunannya menjadi dampak positif diberlakukannya konsep Dwifungsi ABRI di era orde baru. Dengan adanya Dwifungsi ABRI tidak bisa kita pungkiri kegiatan politik masyarakat khususnya yang tidak sejalan dengan apa yang digariskan oleh pemerintah berada di bawah kekangan. Namun demikian, terjadi sebuah stabilitas politik yang mampu menjadi pendorong bagi keberhasilan program-program yang dicanangkan oleh pemerintah. Hal ini bisa kita lihat dengan kiprah Fraksi ABRI di DPR-RI yang dengan tegas memposisikan dirinya sebagai partai pendukung pemerintah. Jika ditambah dengan suara Golkar, tentu saja setiap kebijakan pemerintah yang dibahas di DPR-RI dapat berjalan dengan mulus tidak seperti apa yang kita lihat pada masa pemerintahan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono.

You might also like