You are on page 1of 4

PERAN SUBYEK DALAM TEORI DAN METODOLOGI

Oleh, Aceng Ruhendi Saifullah

NPM: 0906506776

Program Studi: Ilmu Linguistik

Para pemikir ilmu pengetahuan pada umumnya sepakat bahwa setiap usaha
yang memakai sifat ilmiah harus memenuhi tiga syarat, yaitu syarat
keeksplisitan, syarat kesistematisan, dan syarat keobjektifan. Dalam
kaitannya dengan topik tulisan ini, yang mencoba mendiskusikan peran
subjek dalam teori dan metodologi ilmu pengetahuan, menarik untuk
digarisbawahi yang berkaitan dengan ”syarat keobjektifan”. Pertanyaannya,
sejauh mana sesungguhnya syarat keobjetifan itu dapat diwujudkan dan
adakah ruang yang terbuka bagi peran kesubjektifaan dalam teori dan
metodologi ilmu pengetahuan?

Kalau kita mengikuti kerangka kebudayaan dari Kuhn yang berlapis tiga,
yaitu ide di lapisan dalam, perilaku di lapisan tengah, dan kebudayaan fisik
di lapisan luar, maka akan tampak di mana dan sejauh mana peran subyek
dalam teori dan metodologi ilmu pengetahuan budaya. Ketika fokus kajian
kita berada pada lapisan luar (berupa kebudayaan fisik) dan lapisan tengah
(berupa perilaku manusia), maka obyektifitas masih mungkin dan ini
merupakan tipikal dari paradigm positivisme yang serba empiris dan
materialistis. Persoalannya, ketika fokus kajian memasuki lapisan dalam
(berupa ide atau aturan), maka keobyektifan menjadi sesuatu yang nihil dan
kesubyektifan menjadi sesuatu yang niscaya. Peran subyek yang dominan
dalam kajian ilmu pengetahuan budaya ini merupakan tipikal dari paradigm
idealism yang serba kritis dan interpretatif.
Dalam kasus kajian bahasa -- sebagai salah satu bentuk kebudayaan di
samping religi, kesenian, sistem pengetahuan,organisasi sosial, sistem
ekonomi dan sistem teknologi – peran subyek akan tampak ketika fokus
kajian memasuki wilayah langue, sementara keobyektifan berada di wilayah
parole. Persoalannya, bahasa sebagai perilaku budaya verbal memiliki dua
ujud representasi, yakni lisan dan tulisan. Ketika perilaku bahasa
direpresentasikan dalam ujud lisan, yang muncul adalah fenomena parole
yang obyektif dan bermakna tunggal. Namun, ketika perilaku bahasa
direpresentasikan dalam ujud tulisan, yang muncul adalah fenomena teks
yang subyektif, interpretatif, dan bermakna jamak. Di sinilah peran subyek
dalam ilmu dan metodologi linguistik mengemuka sebagaimana menjadi
tipikal dari paradigm hermeneutika.

Masuknya peran subyek dalam ilmu dan metodologi tidak sebatas karena
pengaruh obyek kajian yang melampaui batas empiris dan materialis, akan
tetapi juga dikarenakan hasrat ilmuwan yang berusaha memuaskan
keinginannya lebih dalam dan menyeluruh terhadap obyek yang berada di
luar jangkauan indrawi. Hal itu biasanya muncul dalam bentuk pertanyaan-
pertanyaan: apakah sesuatu itu, mengapa sesuatu itu ada, bagaimana
keberadaannya dan apa tujuan keberadaannya? Masing-masing pertanyaan
itu akan menghasilkan:

 Ilmu pengetahuan filosofis yang mempersoalkan hakekat atau esensi


sesuatu;
 Ilmu pengetahuan kasualistik, yang mengacu kepada hukum sebab-
akibat;
 Ilmu pengetahuan yang bersifat deskriptif-analitik, yaitu yang
berusaha menjelaskan sifat-sifat umum yang dimiliki oleh suatu jenis
obyek; dan
 Ilmu pengetahuan yang bersifat normative, yaitu yang berusaha
memahami norma suatu obyek untuk mengetahui manfaat dan
tujuannya.
Nah, mengingat obyek ilmu pengetahuan budaya itu tidak hanya berada
pada tataran bendawi yang dapat diindrai (materialis-empiris), akan tetapi
meliput juga wilayah ide atau makna di balik obyek, maka peran subyek
dalam teori dan metodologi ilmu pengetahuan budaya mengemuka dalam
rangka membongkar makna di balik obyek itu.

Dalam “Hidup matinya Sang Pengarang”, Toeti Heraty menggambarkan


ilustrasi yang menarik dan relevan yang berkaitan dengan peran subyek
dalam teori dan metodologi ini. Peran pengarang yang pada mulanya
“diagungkan” sebagai obyek kajian, pada lompatan berikutnya ternyata
“dinihilkan”, dan yang tersisa hanya peran pembaca dan kritikus sebagai
subyek yang leluasa dan dominan memaknai suatu teks. “…selama 40 tahun
terakhir, teori makna karangan, atau teori pemaknaan oleh pengarang,
mengalami serangan bertubi-tubi. Para ahli sejarah harus menjelaskan
mengapa demikian halnya, mengapa doktrin pemaknaan-oleh-pengarang
tergusur oleh doktrin baru dimana pengarang-tidak-berperan, atau dengan
rumusan linguistik disebut otonomi semantik”, tulisnya. Lebih jauh Toeti
Heraty menegaskan bahwa teori otonomi semantic ini menurut Hirsch begitu
bersemangat menyingkirkan pengarang, sehingga mengabaikan kenyataan
bahwa makna adalah urusan alam sadar manusia dan bukan soal kata-kata.

Ya. Kata-kata adalah sesuatu yang nyata, empirik, dan material, serta
berada di “permukaan”, sehingga bisa dihampiri secara obyektif. Sementara
ide, gagasan, maksud, ideologi, aturan, adalah sesuatu yang gaib, abstrak,
interpretatif, dan berada di “kedalaman alam sadar manusia”, sehingga
hanya bisa dibongkar dan dipahami secara subyektif. Di situlah, agaknya,
peran subyek dalam teori dan metodologi ilmu pengetahuan budaya. Lebih
jauh lagi, sebagai implikasinya, peran subyek dalam teori terwadahi dalam
paradigma kritis dan peran subyek dalam metodologi mewujud dalam
metode kualitatif. Wallahualam.
DAFTAR PUSTAKA

Denzin, Norman K. & Yvonna S. Lincoln. 1994. “Introduction: Entering the


Field of Qualitative Research”, dalam Handbook of Qualitative Research.
London-New delhi: sage Publications.

Noerhadi, Toeti Heraty. 2000. “Hidup Matinya Sang Pengarang”.

Posenau, Pauline Marie. “Into the Fray: Crisis, Continuity, and Diversity”,
dalam Post-Modernism and the Social Sciences.

You might also like