You are on page 1of 5

Begini Cara penanganan longsor yang tepat.

1. Mengubah Geometri Kelerengan (Bahasa Gaulnya kita buat Landai saja) Perubahan geometri lereng ini pada prisnsipnya bertujuan untuk mengurangi gaya pendorong dari masa tanah atau gaya-gaya yang menggerakan yang menyebabkan gerakan lereng. Perbaikan dengan perubahan geometri lereng ini meliputi pelandaian kemiringan lereng dan pembuatan trap-trap/bangku/teras (benching) dengan perhitungan yang tepat 2. Mengendalikan Aliran Air Permukaan Air merupakan salah satu faktor penyumbang ketidakmantapan lereng, karena akn meninggikan tekanan air pori. Pengendalian air ini dapat dilakukan dengan cara sistem pengaturan drainase lereng baik dengan drainase permukaan maupun bawah permukaan (Hardiyatmo. C. H., 2006). Pemilihan metode ini cocok digunakan dalam upaya pencegahan tetapi jika pada sebelumnya telah terjadi gerakantanah maka diperlukan beberapa metode penanggulangan sebagai pendukung. 3. Penanaman Pohon Dilajur Rawan Longsor Tumbuhan dapat digunakan untuk mengontrol erosi pada tanah yang tidak stabil. Metode penanaman ini bertujuan untuk melindungi lereng, karena akar-akar pohon akan menyerap air dan mencegah air berinfiltrasi ke dalam zona tanah tidak stabil. Akar-akaran dalam kelompoknya membentuk rakit yang menahan partikel tanah tetap di tempatnya. Dalam kondisi demikian umunua akar-akar tumbuhan menambah kuat geser tanah (Hardiyatmo. C. H., 2006). 4. Sementasi (Bahasa Gaulnya Kita campur saja dengan Semen) Menurut Dwiyanto (2005), grouting merupakan metode untuk memperkuat tanah/batuan atau memperkecil permeabilitas tanah/batuan dengan cara menyuntikkan pasta semen atau bahan kimia ke dalam lapisan tanah/batuan. Grouting merupakan suatu proses pemasukan suatu cairan dengan tekanan kedalam rongga atau pori rekahan dan kekar pada batuan yang dalam waktu tertentu cairan tersebut akan menjadi padat dan keras secara fisika maupun kimiawi, dengan tujuan untuk menurunkan permeabilitas, meningkatkan kuat geser, mengurangi kompresibilitas, mengurangi potensi erosi internal terutama pada pondasi alluvial. Grouting adalah penyuntikan bahan semi kental (slurry material) ke dalam material tanah/batuan dengan bertekanan dan melalui lubang bor spesial, dengan tujuan menutup diskontinuitas terbuka rongga-rongga dan lubang- lubang pada lapisan/strata yang dituju (Pangesti, 2005) 5. Betonisasi Ya cara ampuh cuman ndikit mahal dari Grouting yaitu dengan cara pembetonan namun cara ini hanya bersifat sementara karena hanya menguatkan komposisi tanah luarnya saja sedangkan dalamnya sama saja jadi bersifat sementara saja. KONSEP PENGENDALIAN PEMANFAATAN RUANG KAWASAN RAWAN BENCANA LONGSOR 3.1 Konsep Pengendalian Seperti halnya penanganan kawasan rawan banjir, dalam kaitannya dengan pengelolaan kawasan rawan banjir, terdapat 2 (dua) pendekatan pengendalian yang dilakukan, yaitu: 1. Pengendalian Struktural (Pengendalian Terhadap Longsor) Pelaksanaan pengendalian ini dilakukan melalui kegiatan rekayasa teknis, terutama dalam penyediaan prasarana dan sarana serta penanggulangan longsor (salah satu literatur adalah Keputusan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 378/KPTS/1987 Lampiran Nomor 1 tentang Petunjuk Perencanaan Penanggulangan Longsoran); 2. Pengendalian Non Struktural (Pengendalian Terhadap Pemanfaatan Ruang) Kegiatan ini dilakukan untuk meminimalkan kerugian yang terjadi akibat bencana banjir, baik korban jiwa maupun materi, yang dilakukan melalui pengelolaan daerah pengaliran, pengelolaan kawasan banjir, flood proofing, penataan sistem permukiman, sistem peringatan dini, mekanisme perijinan,

serta kegiatan lain yang berkaitan dengan upaya pembatasan (limitasi) pemanfaatan lahan dalam rangka mempertahankan keseimbangan ekosistem. Pedoman yang disusun merupakan bentuk pengendalian pemanfaatan ruang kawasan rawan bencana banjir, yang perlu dilakukan sebagai suatu upaya untuk menjaga kesesuaian pemanfaatan ruang dengan fungsi ruang yang telah ditetapkan dalam rencana tata ruang wilayah. 3.2 Pembagian Ruang Yang Mempunyai Potensi Rawan Bencana Longsor dan Banjir Pada Gambar 3.1 disajikan konsep pembagian ruang untuk kawasan yang mempunyai potensi rawan bencana banjir dan longsor, yaitu: 1. Kawasan Rawan Bencana Longsor Meliputi Kawasan Perbukitan yang berfungsi sebagati Kawasan Lindung; 2. Kawasan Rawan Bencana Banjir 3. - 1Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang di Kawasan Rawan Bencana Longsor Meliputi Kawasan Dataran dan Pesisir yang berfungsi sebagai Kawasan Budidaya. Pegunungan/Perbukitan Dataran Tinggi Dataran RendahRawan Longsor Rawan Banjir Gambar 3.1 Pembagian Ruang Kawasan Potensi Rawan Bencana Banjir dan Longsor Berdasarkan gambaran tersebut terlihat adanya keterkaitan antara pola penanganan kawasan rawan longsor dan rawan banjir, karena pola pengelolaan kawasan rawan longsor di bagian hulu, mempunyai dampak besar terhadap kawasan rawan banjir yang ada di bagian hilir. 3.3 Kebijakan Pokok Pemanfaatan Ruang Rencana tata ruang berisi kebijakan pokok pemanfaatan ruang berupa struktur dan pola pemanfaatan ruang dalam kurun waktu tertentu. Pola pemanfaatan ruang disusun untuk mewujudkan keserasian dan keselarasan pemanfaatan ruang bagi kegiatan budidaya dan non budidaya (lindung). Sedangkan struktur ruang dibentuk untuk mewujudkan susunan dan tatanan pusat-pusat permukiman yang secara hirarkis dan fungsional saling berhubungan. Pemanfaatan ruang diwujudkan melalui program pembangunan, dan pola pemanfaatan ruang yang mengacu pada rencana tata ruang akan menciptakan terwujudnya kelestarian lingkungan. Pengendalian pemanfaatan ruang kawasan rawan bencana longsor dilakukan dengan mencermati konsistensi (kesesuaian dan keselarasan) antara rencana tata ruang dengan pemanfaatan ruang. 3 - 2Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang di Kawasan Rawan Bencana Longsor Secara normatif dalam Keputusan Presiden (Keppres) RI Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung, pasal 33 menyatakan bahwa kawasan rawan bencana, sebagai salah satu kawasan lindung, diidentifikasi sering berpotensi tinggi mengalami bencana alam seperti letusan gunung berapi, gempa bumi, dan tanah longsor. Dengan demikian, pengelolaan kawasan rawan bencana longsor sama dengan pengelolaan kawasan lindung. Pada pasal 37 Keppres RI Nomor 32 Tahun 1990, pengendalian kawasan lindung, terutama dikaitkan dengan kawasan rawan longsor, meliputi: (1) Di dalam kawasan lindung dilarang dilakukan kegiatan budidaya, kecuali yang tidak mengganggu fungsi lindung; (2) Kegiatan budidaya yang sudah ada di kawasan lindung yang mempunyai dampak penting terhadap lingkungan hidup, dikenakan ketentuan-ketentuan yang berlaku sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1986 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan; (3) Apabila menurut Analisis Mengenai Dampak Lingkungan kegiatan budi daya mengganggu fungsi lindung, harus dicegah perkembangannya, dan fungsi sebagai kawasan lindung dikembalikan secara bertahap. Berdasarkan hal tersebut, pengelolaan kawasan rawan bencana longsor harus memperhatikan prinsip perlindungan terhadap keseimbangan ekosistem dan jaminan terhadap kesejahteraan masyarakat, yang penerapannya harus dilakukan secara seimbang atau harmonis. Sehubungan dengan kedudukannya sebagai bagian dari rencana tata ruang, maka konsep dasar pengelolaan kawasan rawan bencana longsor mengacu pada :

1. Kawasan rawan bencana longsor yang mutlak harus dilindungi, kebijakan harus secara ketat mempertahankan fungsi kawasan tersebut sebagai kawasan lindung; 2. Kawasan rawan bencana longsor yang tidak mengganggu fungsi lindung dan masih dapat dibudidayakan dengan kriteria dan persyaratan tertentu, kebijakan harus memberi peluang bagi masyarakat untuk memanfaatkan kawasan tersebut untuk kegiatan budidaya, dengan tetap memperhatikan ketentuan-ketentuan yang berlaku dan tetap mempertahankan kawasan tersebut sebagai kawasan yang mempunyai fungsi lindung. 3 - 3Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang di Kawasan Rawan Bencana Longsor 3.4 Permasalahan Pemanfaatan Ruang Kawasan Rawan Bencana Longsor Permasalahan banjir dan longsor yang terjadi selama ini, sangat terkait dengan adanya fenomena alam dan perilaku manusia dalam penyelenggaraan/ pengelolaan alam. Konsep dasar yang harus dipahami dalam penyelenggaraan/ pengelolaan longsor adalah: 1. Perlu adanya pemahaman dasar terkait dengan pengertian dan ruang lingkup keseimbangan ekosistem, yang mempunyai limitasi pemanfaatan; 2. Diperlukan pola pengelolaan ruang kawasan rawan bencana longsor, sebagai langkah nyata dalam mendukung upaya pengendalian; 3. Terjadinya penyimpangan terhadap konsistensi, terkait dengan kesesuaian dan keselarasan, antara rencana tata ruang dengan pemanfaatannya, baik pada kawasan hulu maupun hilir. 3.5 Pemanfaatan Ruang Kawasan Rawan Bencana Longsor Pola pemanfaatan ruang kawasan lindung sangat mendukung pemanfaatan ruang di kawasan rawan bencana longsor. Bentuk pengendalian pemanfaatan ruang, baik pada bagian kawasan hulu maupun hilir, harus bersinergi satu sama lain, sebagai kesatuan paket kebijakan. Tujuan kebijakan pemanfaatan ruang di kawasan rawan bencana longsor adalah: 1. Pengendalian ruang untuk pemanfaatan, yang sangat terkait dengan pola pengelolaan kawasan di sebelah hulu. 2. Meminimumkan korban jiwa dan harta benda, apabila terjadi bencana longsor. Sedangkan sasaran yang diharapkan adalah tersedianya acuan bagi pemerintah daerah dalam pengendalian pemanfaatan ruang pada kawasan yang mempunyai potensi atau rawan terhadap longsor. Ketidaksesuaian antara RTRW dan pembangunan (pemanfaatan ruang), mempunyai kontribusi tinggi sebagai pemicu terjadinya longsor di suatu kawasan. Disamping itu ketetapan kawasan rawan bencana longsor sebagai kawasan lindung, tidak sepenuhnya dapat diterapkan di lapangan, mengingat adanya beberapa wilayah yang memanfaatkannya sebagai kawasan budi daya, sehingga terjadi ketidaksesuaian dalam pemanfaatan. Dalam rangka pengendalian pemanfaatan ruang kawasan rawan bencana longsor, diperlukan langkah-langkah sebagai berikut: 3 - 4Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang di Kawasan Rawan Bencana Longsor (1) (2) (3) (4) (5) (6) Penetapan tipologi kawasan; Penetapan zona tingkat kerawanan kawasan pada setiap tipologi; Mekanisme perijinan; Sosialisasi; Insentif dan Disinsentif; Penyusunan aspek pendukung untuk mengoptimalkan pengendalian panjir, terdapat 2 (dua) pendekatan pengendalian yang dilakukan, yaitu: 1. Pengendalian Struktural (Pengendalian Terhadap Longsor) Pelaksanaan pengendalian ini dilakukan melalui kegiatan rekayasa teknis, terutama dalam penyediaan prasarana dan sarana serta penanggulangan longsor (salah satu literatur adalah Keputusan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 378/KPTS/1987 Lampiran Nomor 1 tentang Petunjuk Perencanaan Penanggulangan Longsoran); 2. Pengendalian Non Struktural (Pengendalian Terhadap Pemanfaatan Ruang) Kegiatan ini dilakukan untuk meminimalkan kerugian yang terjadi akibat bencana banjir, baik korban jiwa maupun materi, yang dilakukan melalui pengelolaan daerah pengaliran, pengelolaan

kawasan banjir, flood proofing, penataan sistem permukiman, sistem peringatan dini, mekanisme perijinan, serta kegiatan lain yang berkaitan dengan upaya pembatasan (limitasi) pemanfaatan lahan dalam rangka mempertahankan keseimbangan ekosistem. Pedoman yang disusun merupakan bentuk pengendalian pemanfaatan ruang kawasan rawan bencana banjir, yang perlu dilakukan sebagai suatu upaya untuk menjaga kesesuaian pemanfaatan ruang dengan fungsi ruang yang telah ditetapkan dalam rencana tata ruang wilayah. 3.2 Pembagian Ruang Yang Mempunyai Potensi Rawan Bencana Longsor dan Banjir Pada Gambar 3.1 disajikan konsep pembagian ruang untuk kawasan yang mempunyai potensi rawan bencana banjir dan longsor, yaitu: 1. Kawasan Rawan Bencana Longsor Meliputi Kawasan Perbukitan yang berfungsi sebagati Kawasan Lindung; 2. Kawasan Rawan Bencana Banjir 3 - 1Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang di Kawasan Rawan Bencana Longsor Meliputi Kawasan Dataran dan Pesisir yang berfungsi sebagai Kawasan Budidaya. Pegunungan/Perbukitan Dataran Tinggi Dataran Rendah Rawan Longsor Rawan Banjir Gambar 3.1 Pembagian Ruang Kawasan Potensi Rawan Bencana Banjir dan Longsor Berdasarkan gambaran tersebut terlihat adanya keterkaitan antara pola penanganan kawasan rawan longsor dan rawan banjir, karena pola pengelolaan kawasan rawan longsor di bagian hulu, mempunyai dampak besar terhadap kawasan rawan banjir yang ada di bagian hilir. 3.3 Kebijakan Pokok Pemanfaatan Ruang Rencana tata ruang berisi kebijakan pokok pemanfaatan ruang berupa struktur dan pola pemanfaatan ruang dalam kurun waktu tertentu. Pola pemanfaatan ruang disusun untuk mewujudkan keserasian dan keselarasan pemanfaatan ruang bagi kegiatan budidaya dan non budidaya (lindung). Sedangkan struktur ruang dibentuk untuk mewujudkan susunan dan tatanan pusat-pusat permukiman yang secara hirarkis dan fungsional saling berhubungan. Pemanfaatan ruang diwujudkan melalui program pembangunan, dan pola pemanfaatan ruang yang mengacu pada rencana tata ruang akan menciptakan terwujudnya kelestarian lingkungan. Pengendalian pemanfaatan ruang kawasan rawan bencana longsor dilakukan dengan mencermati konsistensi (kesesuaian dan keselarasan) antara rencana tata ruang dengan pemanfaatan ruang. 3 - 2Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang di Kawasan Rawan Bencana Longsor Secara normatif dalam Keputusan Presiden (Keppres) RI Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung, pasal 33 menyatakan bahwa kawasan rawan bencana, sebagai salah satu kawasan lindung, diidentifikasi sering berpotensi tinggi mengalami bencana alam seperti letusan gunung berapi, gempa bumi, dan tanah longsor. Dengan demikian, pengelolaan kawasan rawan bencana longsor sama dengan pengelolaan kawasan lindung. Pada pasal 37 Keppres RI Nomor 32 Tahun 1990, pengendalian kawasan lindung, terutama dikaitkan dengan kawasan rawan longsor, meliputi: (1) (2) (3) Di dalam kawasan lindung dilarang dilakukan kegiatan budidaya, kecuali yang tidak mengganggu fungsi lindung; Kegiatan budidaya yang sudah ada di kawasan lindung yang mempunyai dampak penting terhadap lingkungan hidup, dikenakan ketentuan-ketentuan yang berlaku sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1986 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan; Apabila menurut Analisis Mengenai Dampak Lingkungan kegiatan budi daya mengganggu fungsi lindung, harus dicegah perkembangannya, dan fungsi sebagai kawasan lindung dikembalikan secara bertahap.

Berdasarkan hal tersebut, pengelolaan kawasan rawan bencana longsor harus memperhatikan prinsip perlindungan terhadap keseimbangan ekosistem dan jaminan terhadap kesejahteraan masyarakat, yang penerapannya harus dilakukan secara seimbang atau harmonis. Sehubungan dengan kedudukannya

sebagai bagian dari rencana tata ruang, maka konsep dasar pengelolaan kawasan rawan bencana longsor mengacu pada : 1. Kawasan rawan bencana longsor yang mutlak harus dilindungi, kebijakan harus secara ketat mempertahankan fungsi kawasan tersebut sebagai kawasan lindung; 2. Kawasan rawan bencana longsor yang tidak mengganggu fungsi lindung dan masih dapat dibudidayakan dengan kriteria dan persyaratan tertentu, kebijakan harus memberi peluang bagi masyarakat untuk memanfaatkan kawasan tersebut untuk kegiatan budidaya, dengan tetap memperhatikan ketentuan-ketentuan yang berlaku dan tetap mempertahankan kawasan tersebut sebagai kawasan yang mempunyai fungsi lindung. 3. - 3Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang di Kawasan Rawan Bencana Longsor 3.4 Permasalahan Pemanfaatan Ruang Kawasan Rawan Bencana Longsor Permasalahan banjir dan longsor yang terjadi selama ini, sangat terkait dengan adanya fenomena alam dan perilaku manusia dalam penyelenggaraan/ pengelolaan alam. Konsep dasar yang harus dipahami dalam penyelenggaraan/ pengelolaan longsor adalah: 1. 2. 3. Perlu adanya pemahaman dasar terkait dengan pengertian dan ruang lingkup keseimbangan ekosistem, yang mempunyai limitasi pemanfaatan; Diperlukan pola pengelolaan ruang kawasan rawan bencana longsor, sebagai langkah nyata dalam mendukung upaya pengendalian; Terjadinya penyimpangan terhadap konsistensi, terkait dengan kesesuaian dan keselarasan, antara rencana tata ruang dengan pemanfaatannya, baik pada kawasan hulu maupun hilir.

3.5 Pemanfaatan Ruang Kawasan Rawan Bencana Longsor Pola pemanfaatan ruang kawasan lindung sangat mendukung pemanfaatan ruang di kawasan rawan bencana longsor. Bentuk pengendalian pemanfaatan ruang, baik pada bagian kawasan hulu maupun hilir, harus bersinergi satu sama lain, sebagai kesatuan paket kebijakan. Tujuan kebijakan pemanfaatan ruang di kawasan rawan bencana longsor adalah: 1. Pengendalian ruang untuk pemanfaatan, yang sangat terkait dengan pola pengelolaan kawasan di sebelah hulu. 2. Meminimumkan korban jiwa dan harta benda, apabila terjadi bencana longsor. Sedangkan sasaran yang diharapkan adalah tersedianya acuan bagi pemerintah daerah dalam pengendalian pemanfaatan ruang pada kawasan yang mempunyai potensi atau rawan terhadap longsor. Ketidaksesuaian antara RTRW dan pembangunan (pemanfaatan ruang), mempunyai kontribusi tinggi sebagai pemicu terjadinya longsor di suatu kawasan. Disamping itu ketetapan kawasan rawan bencana longsor sebagai kawasan lindung, tidak sepenuhnya dapat diterapkan di lapangan, mengingat adanya beberapa wilayah yang memanfaatkannya sebagai kawasan budi daya, sehingga terjadi ketidaksesuaian dalam pemanfaatan. Dalam rangka pengendalian pemanfaatan ruang kawasan rawan bencana longsor, diperlukan langkahlangkah sebagai berikut: 3 - 4Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang di Kawasan Rawan Bencana Longsor (1) (2) (3) (4) (5) (6) Penetapan tipologi kawasan; Penetapan zona tingkat kerawanan kawasan pada setiap tipologi; Mekanisme perijinan; Sosialisasi; Insentif dan Disinsentif; Penyusunan aspek pendukung untuk mengoptimalkan pengendalian

You might also like