Professional Documents
Culture Documents
Prakata iii
Daftar Isi v
BAB I PENDAHULUAN 1
Definisi Keuangan Publik 1
Alasan Mempelajari Keuangan Publik 1
Pentingnya Sektor Publik 2
Karakteristik Kebijakan Publik 4
Ruang Lingkup Keuangan Publik 5
Pendekatan Analisis 6
Kriteria yang Digunakan untuk Mengevaluasi kebijakan
Politik 7
v
Penyediaan Barang Publik 34
Efisiensi Penyediaan Barang Publik oleh Pemerintah 39
vi
Pajak Tanah 97
Pajak Kekayaan dan Pajak atas Bumi dan Bangunan 97
Pajak dan Bea atas Komoditas 98
Insentif Perpajakan 98
Insentif Domestik 99
Insentif bagi Modal vs Insentif bagi Tenaga Kerja 100
Insentif bagi Modal Asing 101
Insentif Ekspor 102
Kebijakan Pengeluaran 102
Bantuan Internasional dan Redistribusi 103
vii
BAB XVI PAJAK PENGHASILAN WAJIB PAJAK PRIBADI 147
Aturan Utama 147
Penentuan Penghasilan Kena Pajak 148
Penerapan Tarif Pajak 148
Prosedur Pembayaran 149
Prinsip-Prinsip Definisi Penghasilan 150
Praktek Definisi Penghasilan : Pengecualian 153
Praktek Definisi Penghasilan : Pengurangan atas Penghasilan
Neto 157
Preferensi Pajak 158
Permasalahan-Permasalahan Wajib Pajak Berpenghasilan
Tinggi 159
Perlakuan Pajak Bagi Wajib Pajak Berpenghasilan Rendah 159
Pola Progresivitas Tarif Pajak 161
Penyesuaian Terhadap Inflasi 163
Pilihan Unit Kena Pajak 163
viii
Pajak atas Kekayaan Bersih 206
Pengalaman Berbagai Negara yang Menerapkan Pajak atas
Kekayaan Bersih 206
Struktur dan Basis Pajak 206
Peranan Harta tak Berwujud (Intangibles) 207
Bea atas Modal 209
ix
BAB XXVI TRANSFER PUSAT KE DAERAH : TEORI DAN PRAKTIK 247
Pendahuluan 247
Tujuan Transfer 249
Kriteria Desain Transfer Pusat ke Daerah 255
Jenis-Jenis Transfer 256
x
1
B A B I
PENDAHULUAN
Akan tetapi, fungsi sektor publik berbeda dengan fungsi rumah tangga
dan perusahaan dalam perekonomian. Peran tersebut dapat dilihat dalam aliran
sirkuler seperti dibawah ini.
Gambar 1.1
Dari gambar terlihat bahwa akan terdapat hubungan yang erat antara arus
sektor swasta (rumah tangga dan perusahaan) dan sektor pemerintah. Sektor
publik (anggaran pemerintah) memberi kontribusi pada pasar faktor produksi dan
pasar produk sehingga merupakan bagian integral dari sistem pembentukan
harga. Itulah sebabnya dalam merancang suatu kebijakan fiskal, perlu
diperhatikan bagaimana sektor swasta akan bereaksi. Arus barang pribadi dan
barang publik tidak dibiayai oleh penjualan tapi melalui perpajakan atau melalui
pinjaman. Barang dan jasa yang disediakan oleh pemerintah dapat saja diproduksi
oleh pemerintah, atau diproduksi oleh swasta untuk dijual kepada pemerintah.
Peranan sektor publik dalam perhitungan GNP (Gross National Product) atau
pendapatan nasional adalah bahwa pemerintah memberi kontribusi terhadap GNP
melalui pembelian barang dan jasa.
Fokus buku ini akan meliputi kegiatan penerimaan dan pengeluaran dari
anggaran pemerintah dan hal-hal yang berkaitan dengan anggaran pendapatan
dan belanja negara, termasuk kebijakan publik.
Pendekatan Analisis
Dalam melakukan analisis kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan anggaran
pemerintah, dapat dipakai beberapa pendekatan analisis sebagai berikut:
Pendekatan Normatif.
Pendekatan ini mencakup kriteria yang perlu ditetapkan untuk menilai
kebijakan anggaran, bagaimana kualitas kebijakan fiskal, dan bagaimana agar
Pendekatan Positif.
Pendekatan ini dilakukan dengan membahas hal-hal yang berhubungan
dengan estimasi, berdasar bukti empiris. Analisis ini menilai mengapa kebijakan
fiskal pemerintah mencakup aspek ekonomi, historis, politik dan sosial; bagaimana
tekanan pihak-pihak yang berkepentingan dan bagaimana preferensi fiskal, dan
bagaimana proses politik. Jadi, pendekatan positif ini akan mengarah pada
kebijakan publik apa yang harus diambil.
5. Stabilization (Stabilisasi)
Kebijakan publik dapat dianalisis dengan menilai apakah kebijakan yang
diambil pemerintah mampu meningkatkan pengeluaran agregat? Atau
apakah ekonomi sektor swasta - yang dapat memberi pekerjaan pada
setiap orang - perlu diintervensi pemerintah?
6. Trade Off
Secara umum, ekonom menekankan efisiensi dan keadilan sebagai kriteria
melakukan evaluasi atas kebijakan publik. Akan tetapi, mungkin ada
konflik yang substansial antara beberapa kriteria tersebut. Contoh,
kebijakan upah minimum mungkin mendorong keadilan, tetapi hal ini
mungkin tidak efisien. Kemudian, welfare economics telah dipertimbangkan
sebagai cara pemberian insentif untuk mengoreksi kebijakan berdasar
keadilan sosial. Suatu kebijakan publik dapat dievaluasi dengan
pertanyaan apakah pilihan kebijakan tidak akan mengorbankan tujuan
lainnya atau apakah manfaat agregat dapat melampaui beban agregat.
B A B II
Rivalry rendah
Sifat lain dari barang publik yang lain adalah bahwa barang publik tidak
disediakan secara eksklusif oleh pihak swasta. Penyediaan barang publik yang
dilakukan oleh pemerintah tidak berarti bahwa produksinya harus dilakukan oleh
sektor publik, tapi mungkin disediakan oleh swasta kemudian pemerintah
melakukan pembelian atas barang tersebut.
dapat mengkonsumsi dua unit. Para konsumen tidak dapat menyesuaikan jumlah
yang dibeli sampai harga barang publik sama dengan manfaat marjinalnya atau
sampai dengan transaksi pengadaan barang publik tersebut terjadi (kondisi
equilibrium). Sayangnya, barang publik tidak dapat dihargai seperti itu, karena
sifatnya yang non exclusion.
Eksternalitas
Eksternalitas didefinisikan sebagai biaya atau manfaat dari transaksi pasar
yang tidak tercermin dalam harga. Eksternalitas muncul pada saat pihak ketiga,
selain pembeli dan penjual, mempengaruhi produksi atau konsumsi suatu barang.
Manfaat yang dinikmati atau biaya yang menjadi beban pihak ketiga ini tidak
dipertimbangkan oleh baik pembeli maupun penjual dari barang atau jasa yang
bersangkutan. Eksternalitas ini muncul, biasanya, dalam transaksi penyediaan dan
atau pertukuaran barang publik, karena karakteristik dasarnya.
Eksternalitas Positif
Beberapa kasus eksternalitas positif dicontoh berikut ini. Pendidikan
untuk anak, misalnya, tidak hanya memberi manfaat bagi anak-anak dan
keluarganya, akan tetapi juga bagi masyarakat. Orang-orang yang berpendidikan
akan lebih produktif, lebih berperilaku positif, dan akan memiliki selera yang lebih
mapan dalam barang dan jasa, yang merupakan ciri-ciri masayarakat terdidik.
Dengan cara yang sama, ketika sampah lingkungan kita diangkut secara teratur,
risiko kesehatan kita akan berkurang, dan nilai properti kita akan mengalami
peningkatan. Ketika lampu penerangan jalan ada di seberang blok rumah kita,
yang dibayar oleh para warga dalam kompleks tersebut, kita dapat berjalan dalam
kondisi aman di malam hari. Ketika sebuah keluarga memperbaiki rumah dan
lingkungan sekitar dengan indah, manfaat tidak hanya dinikmati oleh warga
sekitar, akan tetapi juga dinikmati oleh orang-orang yang lewat di perumahan
tersebut. Masih banyak kasus lain yang dapat dijadikan contoh untuk eksternalitas
postif.
Eksternalitas Negatif
Beberapa kasus eksternalitas negatif dapat dijadikan contoh berikut ini.
Perokok pasif – orang yang ikut menghirup asap rokok meskipun dia tidak
merokok – merupakan contoh eksternalitas konsumsi, sementara polusi air yang
diakibatkan oleh limbah pabrik merupakan contoh eksternalitas produksi.
Keduanya merupakan eksternalitas negatif. Ketika barang diproduksi dan dijual
atau dikonsumsi, kurva biaya marjinal hanya menggambarkan biaya yang nyata
timbul untuk memproduksi barang tersebut. Apabila biaya-biaya kepada pihak
lain timbul karena proses produksi menimbulkan kebisingan, polusi, dan bahaya
lain – termasuk biaya sosial – pasar tidak akan memperhitungkan biaya tersebut
dalam menentukan harga equilibrium. Tanpa intervensi pihak lain, produsen dan
konsumen akan mempertimbangkan harga yang terlalu rendah, karena mereka
tidak mempertimbangkan biaya-biaya sosial.
B A B III
Akan tetapi, situasi penyediaan public utilities tersebut diatas tidak berlaku
untuk seluruh barang dan jasa yang disediakan oleh pemerintah. Perusahaan yang
mengelola public utilities yang harus menjual produksinya tanpa memperoleh
keuntungan sama sekali akan menghadapi permasalahan dalam ekspansi atau
melakukan perluasan usaha. Maka, pemerintah akan mengarahkan perusahaan
pada kondisi bahwa, selain menghasilkan barang dan jasa sebanyak mungkin
untuk mencukupi kebutuhan rakyat banyak, perusahaan juga diijinkan
memperoleh keuntungan dalam jumlah tertentu. Pemerintah akan menetapkan
jumlah keuntungan maksimum, kemudian konsumen akan membayar jumlah
diatas nilai yang ditetapkan sebelumnya pada saat zero profit. Pada kondisi ini,
konsumen tidak terlalu dibebankan tingkat harga yang terlalu tinggi, tetapi
produsen masih dapat melakukan perluasan usaha untuk menambah investasinya.
peningkatan produksi, atau kebijakan harga negatif yang berarti kebijakan harga
yang ditujukan untuk mengurang peningkatan produksi.
Q a = f ( P a, S, F, X, T )
Dimana:
Qa = jumlah barang A yang ditawarkan
Pa = harga barang A
S = jumlah input yang tersedia
F = keadaan alam
X = pajak atau subsidi atau keduanya
T = tingkat teknologi.
Gambar 3.1
D merupakan kurva permintaan dan S kurva penawaran. Apabila pada
periode tertentu harga pasar setinggi P a1, petani akan terdorong menanam atas
dasar harga tersebut dan akan menghasilkan Q a1 pada akhir periode tanam.
Karena terjadi peningkatan produksi di periode 2, maka harga pasar akan turun
menjadi P a2. Pada tingkat harga tersebut, produsen akan terdorong untuk
mengurangi produksinya dan harga akan meningkat menjadi P a3. Dengan tingkat
harga itu, petani akan terdorong memproduksi sebesar Q a3 di akhir periode
tanam berikutnya. Tetapi, harga akan terkoreksi menjadi P a4, karena fungdi
permintaan tetap. Akan terjadi pergerakan sepanjang waktu ke arah titik
perpotongan antara kurva D dan kurva S. Hubungan tersebut mengakibatkan
tingkat harga akan cenderung mencapai equlibrium pada perpotongan kurva
penawaran dan kurva permintaan.
Dari uraian diatas, jelas terdapat suatu konflik antara program bantuan
harga dan program subsidi input. Di satu pihak, program bantuan harga membuat
harga pangan dan produk pertanian mahal dan hasilnya dinikmati para petani,
tetapi akan menghambat perkembangan ekonomi secara keseluruhan. Di lain
pihak, program subsidi input lewat harga faktor produksi pertanian yang murah
akan mendorong produksi pertanian sehingga harga pangan akan murah dan
dapat mendorong perkembangan ekonomi lebih lanjut. Cara subsidi yang terakhir
ini menyebabkan pemerintah harus menyisihkan sebagian anggarannya untuk
membiayai subsidi. Meskipun dengan menyisihkan anggaran ini mengakibatkan
investasi di bidang lain, seperti jalan, jembatan, pelabuhan dan lainnya, menjadi
berkurang, kebijakan ini juga diarahkan agar swasta dapat berkembang dengan
sendirinya akibat dukungan harga pangan yang murah. Cara ini, secara politis,
juga merupakan alternatif yang menjamin ketenangan masyarakat.
Gambar 3.2
B A B IV
Fungsi Utama
emerintah sangat diperlukan dalam perekonomian dan berfungsi dalam
1. Fungsi Alokasi.
Yang dimaksud fungsi alokasi dalam kebijakan publik adalah fungsi
penyediaan barang publik atau proses alokasi sumber daya untuk
digunakan sebagai barang pribadi atau barang publik dan bagaimana
komposisi barang publik ditetapkan.
2. Fungsi Distribusi.
Yang dimaksud dengan fungsi distribusi dalam kebijakan publik adalah
penyesuaian atas distribusi pendapatan dan kekayaan untuk menjamin
pemerataan dan keadilan.
3. Fungsi stabilisasi.
Yang dimaksud dengan fungsi stabilisasi dalam kebijakan publik adalah
penggunaan kebijakan anggaran sebagai alat untuk mempertahankan
tingkat kesempatan kerja, stabilitas ekonomi dan laju pertumbuhan
ekonomi, dengan memperhitungkan akibat kebijakan pada perdagangan
dan neraca pembayaran.
berbeda-beda tersebut dapat dicapai secara lebih terpadu. Dalam the Wealth of
Nations, Adam Smith mencatat empat fungsi ‘pengoreksi’ dari pemerintah:
Kegagalan pasar.
1. Ada beberapa barang publik yang bersifat non-rival dan non-excludable,
seperti pertahanan nasional dan penerangan jalan, yang membuat tidak
mungkin membebankan biaya penyediannya kepada para pengguna. Hal
ini menyebabkan kegagalan pasar dimana negara dapat saja mencoba
turut campur mengatasi permasalahan ini.
2. Konsumsi atau produksi barang/jasa publik mungkin menghasilkan suatu
akibat eksternal positif atau negatif kepada masyarakat yang tidak
Aspek keadilan
1. Kepedulian secara luas atas kebutuhan mengatasi kemiskinan secara lebih
serius harus menjadi perhatian oleh pemerintah.
2. Data empiris di seluruh dunia secara umum menyarankan bahwa
peningkatan keadilan memberikan kontribusi pada pertumbuhan
ekonomi yang tinggi, pembangunan lebih cepat, dan kurangnya
kemiskinan.
3. Ketidakadilan sering menghasilkan ketidakamanan dan kejahatan,
eksternalitas negatif yang mempengaruhi pertumbuhan dan keadilan
sosial, secara nasional dan global.
4. Peranan sektor swasta dan kebutuhan kemitraan dalam kesempatan,
pemberdayaan dan proteksiperlu difasilitasi oleh pemerintah.
5. Penekanan pada aspek keadilan bukan berarti bahwa hanya negara yang
harus atau dapat memberikan kontribusi menekan kemiskinan. Tugas ini
berhubungan dengan penyediaan kesempatan, pemberdayaan dan
proteksi. Tiga dimensi pokok dari kemiskinan yang tidak dimiliki secara
eksklusif oleh sektor publik.
6. Sektor swasta dapat berperan aktif dalam menciptakan kesempatan
ekonomi (penciptaan lapangan kerja, kredit), mempromosikan tambahan
kepada anggota masyarakat (erat hubungannya kepada produsen dan
pekerja swasta), dan memberikan kontribusi untuk mengurangi
ketidakadilan melalui aktivitas yang berhubungan dengan pemerintah
dan partisipasinya dalam sektor swasta (rumah sakit umum dan sekolah
yang dananya dari swasta)
Fungsi Alokasi.
Dilihat dari fungsi alokasi, suatu barang publik – yang berbeda sifatnya dengan
barang pribadi – tidak dapat disediakan melalui sistem pasar yang melalui
transaksi antara konsumen dan produsen secara individu. Sering, mekanisme
pasar berfungsi, namun tidak efisien. Alasan-alasan adalah seperti diuraikan
dibawah ini.
Barang pribadi dapat diproduksi dan dijual kepada pembeli swasta baik
oleh swasta maupun oleh perusahaan pemerintah. Sedangkan, barang publik
dengan cara yang sama dapat diproduksi oleh perusahaan swasta dan dijual
kepada pemerintah atau dapat juga diproduksi secara langsung oleh pemerintah,
seperti misalnya pelayanan yang diberikan oleh pemerintah. Masalah-masalah
yang timbul dalam fungsi alokasi adalah berapa banyak barang publik yang harus
disediakan oleh pemerintah dan jenis maupun kualitas barang yang perlu
disediakan oleh pemerintah.
Fungsi Distribusi
Dilihat dari fungsi distribusi, fungsi distribusi mempunyai sifat yang lebih
sulit dipecahkan dibanding fungsi alokasi dan merupakan permasalahan utama
dalam penentuan kebijakan publik. Lebih khusus, fungsi distribusi memainkan
peranan penting dalam kebijakan pajak dan transfer.
Distribusi Optimal.
Dalam ilmu ekonomi kesejahteraan modern berlaku prinsip bahwa suatu kondisi
ekonomi disebut efisien jika, dan hanya jika, peningkatan kesejahteraan seseorang
tidak akan merugikan orang lain. (Pareto Optimum). Kriteria ini tidak sama
artinya dengan suatu tindakan pendistribusian kembali atas sumber daya yang
ada kepada konsumen, tetapi kriteria ini digunakan untuk menilai tingkat efisiensi
pasar.
Instrumen Fiskal
Alternatif peralatan fiskal dalam fungsi distribusi adalah:
Fungsi Stabilisasi
Akhirnya dilihat dari fungsi stabilisasi, fungsi stabilisasi dirancang untuk
mencapai tingkat kesempatan kerja, tingkat stabilitas harga, neraca pembayaran
yang sehat, dan pertumbuhan ekonomi.
B A B V
FUNGSI ALOKASI
Berbeda halnya dengan barang publik, akan sangat tidak efisien untuk
menghalangi seorang konsumen (yang tidak membayar) untuk ikut
memanfaatkan barang publik. Karena pemanfaatan barang publik oleh seseorang
tidak akan mengurangi manfaat yang dirasakan oleh orang lain. Dalam keadaan
demikian mekanisme pasar tentunya tidak berfungsi secara sempurna.
Bila semua kondisi tersebut telah terpenuhi, sistem ekonomi pasar dapat
menjamin penggunaan sumber daya secara efisien dalam penyediaan barang
pribadi. Tentu saja, pandangan ini merupakan gambaran paling ekstrim dari
sistem pasar. Dalam kenyataannya banyak kesulitan yang terjadi, sehingga pasar
dapat menjadi ajang persaingan yang tidak sempurna. Distorsi yang disebabkan
oleh iklan, misalnya, akan mengakibatkan konsumen kekurangan informasi atau
dapat tersesatkan, dan hal ini berarti bahwa informasi yang dimiliki oleh kosumen
dan produsen tidaklah sama.
Selain itu, masih banyak permasalahan lain yang tidak dapat dipecahkan
oleh mekanisme pasar, sehubungan dengan pemenuhan kriteria efisien. Di sinilah
kemudian terjadi alasan perlunya aturan pemerintah guna menjamin efisiensi
dalam sistem ekonomi pasar. Alasan pertama adalah bahwa pemerintah
diharapkan dapat menjamin pasar agar dapat beroperasi secara efisien, terutama
dalam hal persaingan. Alasan kedua, pemerintah sendiri seharusnya bekerja keras
untuk mencapai tingkat efisiensi yang sama dengan pihak swasta, terutama dalam
hal biaya produk dan kualitas produk yang dihasilkannya. Alasan ketiga terletak
pada hubungan rasional dari produksi pemerintah atas barang-barang publik,
misalnya terhadap sejumlah barang tertentu yang menjadi preferensi konsumen,
Barang publik.
Istilah barang publik digunakan untuk menggambarkan barang atau jasa
apapun yang disediakan oleh pemerintah, mulai lampu jalan sampai dengan
keamanan nasional. Para ekonom secara lebih spesifik menjabarkan istilah barang
publik sebagai barang-barang yang mempunyai sifat tidak bersaing (non rivalry)
dan tanpa pengecualian (non excludability). Kedua sifat tersebutlah yang kemudian
akan mengakibatkan kegagalan pasar dalam memproduksi secara efisien.
Rendah Tinggi
Jalan Lokal Pendidikan Pelayanan Kesehatan Udara bersih Keamanan Lampu Jalan
Gambar 5.1
Untuk barang publik seperti, jalan lokal, pelayanan kesehatan dan pendidikan,
terdapat sifat tidak bersaing yang rendah dalam konsumsinya. Semakin banyak
orang dalam suatu wilayah, akan ada kemungkinan sifat bersaing dalam
penggunaan barang publik tersebut. Sebaliknya, barang publik seperti lampu jalan
dan keamanan, sifat tidak bersaingnya tinggi.
kontribusi konsumen tidak lebih besar dari manfaatnya. Misalnya untuk tempat
rekreasi, pemerintah mungkin saja menarik bayaran dari para pengunjung, selama
biaya yang dikeluarkan untuk membayar staf penjaga tempat rekreasi tersebut
tidak lebih besar dari pendapatan yang diterima. Oleh karena itu, sama halnya
dengan sifat tidak bersaing, terdapat garis spektrum yang menggambarkan tinggi
rendahnya sifat tanpa pengecualian
Rendah Tinggi
Tempat Parkir Tempat Rekreasi Perpustakaan Udara bersih Pendidikan Jalan Lokal
Gambar 5.2
MC
P1
Da Dt
Db
Qa Qb Qt Q Gambar 5.3.
Gambar 5.4 memperlihatkan pola yang sama namun untuk barang publik.
Situasi yang berbeda terjadi di sini, karena barang publik mempunyai sifat tidak
bersaing dan tanpa pengecualian, sehingga barang yang dikonsumsi oleh A sama
jumlahnya dengan barang yang dikonsumsi B, baik manfaat yang diterima A lebih
besar maupun lebih kecil. Misalnya A sebagai warga kota Jakarta dapat
menggunakan seluruh jalan kota maka demikian juga halnya dengan B, meskipun
A memiliki mobil sedangkan B tidak. Oleh karena itu, dalam hal ini perbedaan
terjadi bukan pada kuantitas yang dikonsumsi oleh masing-masing orang, tapi
lebih kepada perbedaan dari manfaat marjinal dari setiap konsumen atau harga
yang dibayarkan oleh masing-masing konsumen.
MC
P1
Pa Dt
Db
Pb
Da
Qb Qt Q
Gambar 5.4.
G2
A
G1
O X2 X1 M
Gambar 5.5
terima, namun karena manfaat yang diterima dari barang publik dirasakan oleh
banyak orang, maka orang tidak bersedia untuk membayar manfaat barang. Akan
timbul masalah tentang jenis dan kualitas barang seperti apa yang harus
disediakan oleh pemerintah. Masalah lain yang timbul, ketika pemerintah akan
menetapkan jumlah uang yang harus disumbangkan untuk memperoleh barang
publik.
Akan sangat mudah bagi pemerintah lokal untuk menarik kontribusi dari
para pengguna barang publik yang disediakan seperti tiket masuk tempat rekreasi,
karcis parkir, tol, atau retribusi pasar, dengan biaya tarip yang rendah. Bagi
pengguna juga tidak akan merasa keberatan membayar untuk dapat
menggunakan barang publik karena akan lebih jelas manfaat yang dapat mereka
peroleh bila dibandingkan dengan biaya yang mereka keluarkan. Sebaliknya, bagi
yang sedikit atau tidak memberikan berkontribusi, maka akan sedikit atau bahkan
tidak ada sama sekali manfaat yang mereka dapatkan.
Dari sini dapat terlihat bahwa biaya marginal dari setiap tambahan
penggunaan atas barang publik ini sama dengan atau paling tidak mendekati nol.
Artinya para pengguna seharusnya akan lebih termotivasi untuk menggunakan
barang-barang ini sampai pada titik dimana manfaat marjinal yang mereka
peroleh sama dengan atau mendekati nol. Mereka akan terus menambah konsumsi
mereka atas barang publik ini sampai manfaat yang mereka dapatkan maksimal,
selama tidak ada tambahan biaya yang harus mereka keluarkan. Sebagai contoh,
seorang pengguna jalan tol dalam kota akan masuk dari pintu terdekat dengan
tempat dia berangkat dan keluar dari pintu terjauh, tapi paling dekat dengan
tempat tujuanya, karena dari manapun dia masuk dan dimanapun dia keluar
biaya yang harus dikeluarkan adalah sama. Berbeda dengan pengguna jalan tol
luar kota, dia akan berfikir dari pintu tol mana dia harus masuk dan di pintu tol
mana dia harus keluar, dengan mempertimbangkan kondisi kemacetan (biaya
oportunitas) di luar jalan tol. Hal ini disebabkan, untuk setiap tambahan pintu tol
yang dia lewati, harus ada tambahan biaya yang dikeluarkan.
pengguna barang publik ini, maka biaya marjinalnya bisa akan lebih mahal dari
manfaat marjinalnya. Apabila dimungkinkan, pemerintah lokal tidak perlu
menarik kontribusi dari pengguna barang publik ini.
MC
P1
O D1 D2 Q1 Q
D3
Gambar 5.6.
Selanjutnya, jika kita perhatikan dalam gambar 5.7 dibawah ini, kita akan
melihat bahwa kurva kemungkinan produksi pada sumbu XY paling atas sekali
lagi mencatat kombinasi barang pribadi dan barang publik yang dapat diproduksi
dengan menggunakan seluruh sumber daya yang tersedia. Sumbu XY pada
gambar bagian tengah memperlihatkan jumlah barang pribadi dan publik yang
dikonsumsi oleh individu A, dan sumbu XY pada gambar bagian bawah
memperlihatkan jumlah barang pribadi dan publik yang dikonsumsi oleh individu
B. Karena sifat barang publik yang tidak bersaing dan tanpa pengecualian, maka
dapat diasumsikan bahwa jumlah barang yang dikonsumsi dari setiap individu
adalah sama, sehingga kedua individu tersebut (A dan B) akan berada pada titik
yang sama pada sumbu horizontal, tetapi mereka dapat mengkonsumsi barang
pribadi dengan jumlah yang berbeda, sehingga keduanya akan berada pada titik
yang berbeda pada sumbu vertikal.
Jika utilitas A berubah lagi, misalnya ke kurva ia3, maka kita dapat
mengulangi prosedur yang sama untuk B. Dalam setiap kasus, kita akan
menemukan posisi baru bagi B pada gambar di bagian bawah (dihubungkan
dengan ULK) dan satu hasil optimal baru (dihubungkan kepada L). Dengan cara
ini, kita akan memperoleh serangkaian pemecahan yang berkaitan dengan
berbagai tingkat kesejahteraan untuk A dan B. Semua ini adalah efisien menurut
pemikiran Pareto dan memenuhi kondisi kesamaan di antara tingkat substitusi
marjinal di dalam konsumsi dan tingkat transformasi marjinal di alam produksi.
M
E
O N F Q
Jumlah Total Barang publik
Konsumsi A
atas barang
pribadi
J
T ia3
P G W
ia2
R ia1
N F U
Konsumsi A atas barang publik
Konsumsi B
atas barang
pribadi
ZL
K ib3
ib2
ib1
N F U
Gambar 5.7 Konsumsi B atas barang publik
B A B VI
FUNGSI DISTRIBUSI
S
eperti telah dibahas dalam bab sebelumnya, terdapat dua masalah pokok
dalam penggunaan sumber daya yang optimal yaitu masalah penggunaan
sumber daya yang efisien dan masalah pendistribusian sumber daya
tersebut dengan adil. Dalam pembahasan terdahulu penekanan lebih pada
efisiensi, yaitu tentang bagaimana pengalokasian sumber daya diantara berbagai
kebutuhan produksi yang saling bersaing guna mencapai suatu tingkat hasil
(utilitas atau kepuasan) tertentu. Pertanyaannya kemudian adalah apakah ada
distribusi yang adil atau merata? Bagaimana keadaan distribusi yang adil dan
merata itu yang dimaksud diatas?.
Ketika istilah efisiensi berada dalam suatu area yang dapat dikatakan
mendekati nilai obyektif, istilah keadilan berada dalam suatu area yang sangat
berlawanan. Istilah keadilan lebih dekat pada nilai normatif daripada obyektif.
Walaupun demikian, teori efisiensi alokasi faktor produksi ini bukan teori
fungsi distribusi. Sebagai contoh, alokasi faktor produksi dapat dikatakan efisien
apabila dasar penetapan harga faktor produksi juga efisien, tanpa memperhatikan
masalah distribusi akhir dari hasil penjualan produksi tersebut di pasar.
Sedangkan, penekanan utama dari teori fungsi distribusi adalah pada bagaimana
pendistribusian hasil produksi kepada individu-individu atau keluarga-keluarga.
Oleh karenanya, masalah distribusi pendapatan terhadap individu maupun
keluarga harus dibahas lebih lanjut.
Konsep Keadilan
Idealnya, sistem perpajakan dan belanja publik harus dapat menjamin
terciptanya suatu pengorbanan yang adil dari setiap warga negara, bukan dalam
ukuran rupiahnya namun lebih pada utilitasnya. Sehingga apabila ada dua
kelompok ekstrim dalam masyarakat, si miskin dan si kaya, akan terasa sangat
logis jika standar adil dalam pengorbanan dipenuhi melalui sistem yang menjamin
bahwa kontribusi si miskin harus lebih kecil dari kontribusi si kaya.
setiap orang tidaklah sama, namun disesuaikan dengan kondisi mereka. Tarif
pajak progresif - yang akan dibahas lebih lanjut di bagian mendatang -
merupakan salah satu contoh konkrit dari konsep keadilan vertikal. Konsep
keadilan vertikal juga tercermin dalam metode pengujian rata-rata yang
digunakan bagi banyak program pemerintah, seperti pembebasan atau
pengurangan biaya sekolah, dan subsidi perumahan dan kesehatan bagi rakyat
miskin. Kategori rakyat miskin adalah mereka yang memiliki pendapatan rata-rata
– berdasarkan uji rata-rata – di bawah tingkat pendapatan tertentu yang
ditetapkan oleh pemerintah.
Prinsip Kompensasi
Terakhir, konsep ketiga dalam upaya menginterpretasikan keadilan jatuh pada
konsep prinsip kompensasi. Keadilan diterjemahkan sebagai optimalisasi pareto
yang menyatakan bahwa tidak mungkin merubah kondisi seseorang menjadi lebih
baik, tanpa menyebabkan kondisi orang lain sebaliknya (lebih buruk). Jadi dalam
konsep ini akan tercipta peraturan atau kebijakan yang mau tidak mau akan
terdapat pihak yang menang dan kalah.
kebijakan ini tetap diinginkan karena secara total, kesejahteraan publik ini akan
lebih menguntungkan. Seandainya hambatan perdagangan tetap dipertahankan
sehingga tetap ada dinding yang membatasi suatu negara dalam bertransaksi
dengan negara lain, maka tetap saja akan ada pihak-pihak yang diuntungkan
sebagai pemenang dan pihak-pihak yang dirugikan sebagai yang kalah.
namun secara tidak langsung akan mempengaruhi pendapatan modal dan tenaga
kerja pada industri yang terkait dengan kebijakan tersebut. Selain itu, pendapatan
riil dari konsumen yang menggunakan produk tersebut juga akan ikut
terpengaruh. Contoh lain adalah kebijakan program investasi pemerintah - seperti
pembangunan jalan yang tujuannya untuk menyediakan barang publik kepada
masyarakat - akan mempengaruhi kesejahteraan berbagai kelompok masyarakat
dari segi ekonomi dan tentunya pola distribusi.
Redistribusi
Sebelumnya pembahasan lebih berfokus pada pertanyaan dasar mengenai
apa yang merupakan distribusi yang adil dan merata. Pertanyaannya sekarang
adalah perlu tidaknya untuk mempertimbangkan atau bahkan menanggulangi
masalah redistribusi, yaitu sampai sejauh mana dan dengan cara bagaimana
mengubah keadaan distribusi yang ditentukan oleh pasar dan lembaga publik
yang ada saat ini. Hal ini bisa dicapai melalui kebijakan redistribusi yang
ditetapkan melalui proses anggaran. Selanjutnya, hasil dari kebijakan ini dapat
dilihat melalui respon dari setiap pihak yang dirugikan atau diuntungkan dari
proses tersebut . Pada gilirannya, hal ini bisa mempengaruhi bagian dari
pendapatan nasional yang tersedia untuk redistribusi dan juga bisa menimbulkan
biaya yang tentunya harus dipikul.
Isu kedua yang seringkali dipandang berbeda dari pihak pembayar dan
penerima pajak adalah bentuk redistribusi. Para penerima akan lebih memilih
untuk menerima uang tunai, karena akan lebih memberikan fleksibilitas kepada
mereka untuk menggunakan dana tersebut. Di sisi lain pembayar pajak lebih
memilih memberikan dananya dalam bentuk barang seperti, pakaian, dan
makanan. Seandainya diberikan dalam bentuk uang, pihak pendana akan
memasukkan preferensi mereka kepada pihak penerima, sehingga membatasi
fleksibilitas penggunaan dana tersebut. Bagi pemerintah, cara yang termudah
adalah dengan memberikan jasa pelayanan langsung seperti pelayanan kesehatan
dan program pendidikan.
A1
A2
X1
X2
A3
X3
Y2 Y1 Y3
Grafik 6.1 Waktu Senggang
B A B VII
FUNGSI STABILISASI
Kebijakan Stabilisasi
i era globalisasi ekonomi yang semakin luas, fungsi pemerintah sebagai
Kebijakan Moneter
Jika berfungsi dengan baik, suatu mekanisme pasar dijamin dapat diandalkan
untuk menentukan alokasi sumber daya yang efisien di antara barang pribadi.
Namun, para ekonom setuju bahwa mekanisme pasar tidak dapat dengan
sendirinya mengatur jumlah uang yang beredar secara tepat. Sistem perbankan,
jika tidak diawasi, akan berjalan tidak teratur, sehingga tidak hanya akan
menghasilkan jumlah uang beredar yang tidak sesuai, tetapi juga menimbulkan
reaksi dalam permintaan kredit di pasar yang akan cenderung menimbulkan
fluktuasi. Oleh karena itu, keberadaan Bank Sentral sebagai pengawas jumlah
uang beredar perlu menyesuaikan jumlah uang beredar dengan kebutuhan
ekonomi, baik dalam hal stabilisasi jangka pendek maupun pertumbuhan jangka
panjang. Komponen kebijakan moneter antara lain meliputi ketetapan mengenai
cadangan wajib bank, tingkat diskonto, kebijakan pengendalian kredit dan
kebijakan pasar terbuka. Perluasan moneter berupa kebijakan untuk menambah
jumlah uang beredar akan cenderung memperbesar likuiditas, menurunkan suku
bunga dan karena itu akan menaikkan tingkat permintaan, sementara pembatasan
moneter akan berakibat sebaliknya.
Kebijakan Fiskal
Sementara itu, suatu kebijakan fiskal mempengaruhi secara langsung tingkat
permintaan barang dan jasa. Kebijakan menurunkan pajak dapat dilakukan dalam
upaya pemerintah untuk memperbesar total belanja pemerintah, karena para wajib
pajak akan mempunyai disposible income yang lebih besar sehingga diharapkan
akan membelanjakan jumlah pendapatan yang lebih besar pula. Sejalan dengan
itu, suatu kebijakan menambah pengeluaran publik jelas merupakan jenis
kebijakan yang bersifat ekspansi, karena akan meningkatkan total permintaan
agregat. Kebijakan ini, pada awalnya, akan menaikkan tingkat permintaan sektor
pemerintah dan kemudian akan diikuti oleh sektor swasta.
Stabilisasi Anggaran
Kebijakan anggaran semestinya melibatkan beberapa tujuan yang berbeda,
tetapi dalam prakteknya hal ini saling tumpang tindih sehingga mempersulit
penyusunan kebijakan yang efisien, yaitu kebijakan yang benar-benar adil dalam
rangka mencapai tujuan yang beraneka ragam tersebut.
B A B VIII
Pada kondisi dimana barang dan jasa publik di supply oleh pemerintah
dengan dana dari pajak, masyarakat yang tidak setuju dengan kebijakan tersebut
harus tunduk dengan keputusan yang sudah dibuat. Kondisinya akan berbeda jika
barang dan jasa publik tersebut sebagian atau seluruhnya dibiayai dari sumbangan
atau retribusi dari masyarakat. Pada kasus ini, masyarakat dapat mengajukan
keberatan bila kebijakan tersebut bertentangan dengan kehendak masyarakat.
Keputusan rasional yang paling diinginkan dari suatu proses politik untuk
menentukan jumlah barang publik yang disediakan akan tercapai pada titik
dimana porsi pajak per individu sama persis dengan manfaat marginal dari barang
publik tersebut. Pada titik ini, jumlah barang yang disediakan memberikan
kepuasan maksimal bagi setiap individu. Kenaikan maupun penurunan diluar titik
ini akan menurunkan tingkat kepuasan individu.
Pada Gambar 8.1, keputusan yang paling diinginkan tersebut terletak pada
titik Z, dimana jumlah barang publik yang diproduksi adalah sebesar Q* dan porsi
pajak sebesar ti. Pada titik Z ini, marginal benefit bagi individu i sama dengan
porsi pajaknya. Setiap penambahan output barang publik dari titik 0 sampai
dengan titik Q* akan membuat kondisi individu i lebih baik. Namun, penambahan
yang dilakukan diatas titik Q* akan membuat kondisi i lebih buruk karena pajak
yang ia bayar melebihi marginal benefit yang ia terima. Setiap individu akan
bertindak seolah-olah barang publik tersebut bisa dibeli di pasar bebas dengan
harga ti dan akan mendukung kebijakan yang berkaitan dengannya sepanjang
manfaat yang mereka terima melebihi biaya (pajak) yang harus mereka keluarkan.
Pajak per
unit output
Z
Pajak
ti
MBi
0 Q*
Pada kondisi dimana aturan main pilihan umum sudah ada, penentuan
hasil pemilihan umum akan tergantung pada besarnya alokasi pajak yang
dibebankan pada setiap pemilih. Usulan untuk meningkatkan output yang ditolak
pada tingkat pajak tertentu, masih mungkin untuk diajukan kembali bila
menerapkan tingkat pajak yang berbeda dari yang sebelumnya karena perubahan
tingkat pajak akan mempengaruhi titik Z, yaitu keputusan yang paling diinginkan.
Titik equilibrium juga dapat dipengaruhi oleh distribusi manfaat (benefit). Suatu
usulan yang pernah ditolak masih mungkin akan diterima bila distribusi
manfaatnya dirubah sehingga sesuai dengan yang dikehendaki oleh pemilih. Jadi,
untuk mencapai titik keseimbangan politis, Z, ada dua hal yang perlu
dipertimbangkan yaitu porsi pajak (ti) dan distribusi benefit (MBi).
Ada juga orang yang percaya bahwa suara mereka terlalu kecil dan tidak
mungkin akan mempengaruhi hasil pemilihan. Mereka beranggapan bahwa
probabilitas suaranya akan mempengaruhi hasil pemilihan sangat kecil (bahkan
mendekati nol) bila jumlah peserta pemilunya sedemikian besar. Karena
pengorbanan yang harus dikeluarkan untuk ikut pemilihan sudah jelas, sedangkan
manfaatnya belum jelas, hal ini juga menjadi alasan seseorang untuk tidak ikut
memberikan suaranya. Kenyataannya, hasil suatu pemilihan tidak tergantung
pada orang-orang yang tidak memilih (di Indonesia biasa disebut golongan putih
atau golput). Dampaknya, orang-orang yang ”golput” ini akan mengikuti saja arus
keinginan (free riders) dari orang-orang yang ikut pemilihan.
salah, maka sangat mungkin hasil yang ia capai tidak berbeda dibandingkan jika ia
menjadi ”golput”. Untuk dapat menetapkan pilihan dengan benar, seseorang
harus mempunyai informasi yang lengkap mengenai konsekuensi dari setiap
pilihan yang diambilnya.
1. Aturan main dari pemilu itu sendiri, yaitu bagaimana kriteria untuk menerima
atau menolak kebijakan publik.
2. Biaya marjinal dan biaya rata-rata dari barang publik
3. Informasi yang tersedia mengenai untung rugi yang terkait dengan kebijakan
tersebut
4. Distribusi pajak ke setiap pemilih.
5. Distribusi manfaat ke setiap pemilih
Jika salah satu dari kelima faktor diatas berubah, maka titik equilibriumnya pun
akan berubah sesuai dengan faktor perubahannya.
E MB = AC
Marginal Benfit, Cost, dan Pajak (rupiah)
350
Σ MB
t
50
MBA MBB MBC MBM MBF MBG
0 1 2 3 4 5 6 7
Jumlah satpam per minggu
Berikut ini akan penulis berikan contoh penerapan simple majority rule
dalam keuangan publik. Asumsikan ada n orang yang tinggal dalam satu
komunitas dimana Average Cost (AC) dan beban pajak untuk setiap barang publik
sudah ditetapkan. Setiap orang akan mendapat beban pajak yang sama besarnya
yaitu sebesar AC/n untuk setiap unit barang publik yang dikonsumsi.
Misalkan sekarang ada tujuh orang warga yang sedang berembuk untuk
menentukan berapa orang satpam yang diperlukan untuk mengawasi wilayah
tempat tinggal mereka. Diantara mereka telah ada kesepakatan bahwa keamanan
lingkungan adalah barang publik yang harus disediakan dan didanai oleh mereka
sendiri. Namun demikian, marginal benefit ketujuh orang tersebut berbeda-beda
seperti yang ditunjukkan pada kurva A, B, C, M, F, G, dan H dalam Gambar 8.2. A
menghendaki hanya seorang satpam saja yang dibutuhkan, B menghendaki 2
orang, dan seterusnya hingga H yang menghendaki 7 orang. Umpamakan gaji
seorang satpam adalah Rp350 ribu per minggu sehingga average cost dan
marginal cost dari barang publik ini adalah sama, yaitu Rp350 ribu. Dengan
demikian pajak (t dalam hal ini adalah iuran) yang harus ditanggung oleh masing-
masing warga untuk membiayai seorang satpam adalah Rp50 ribu per minggu
(Rp350 ribu/7). Hal ini telah sesuai dengan rumus AC/n = Rp50 ribu.
Sekarang, ketujuh warga tersebut akan melakukan voting untuk persetujuan atas
setiap penambahan satu orang satpam yang akan mereka pekerjakan.
Ketentuannya, bila penambahan seorang satpam disetujui oleh lebih dari setengah
warga yang ikut memilih maka penambahan tersebut akan dilaksanakan, namun
jika disetujui kurang dari setengah maka akan dibatalkan. Asumsikan dalam setiap
pemungutan suara tidak ada yang abstain. Hasil dari pemungutan suara mereka
tercantum dalam Tabel 10.1.
M Setuju setuju Setuju Setuju tdk setuju tdk setuju tdk setuju
F Setuju setuju Setuju Setuju Setuju tdk setuju tdk setuju
G Setuju setuju Setuju Setuju Setuju setuju tdk setuju
H Setuju setuju Setuju Setuju Setuju setuju Setuju
Keputusan Setuju setuju Setuju Setuju Tolak tolak Tolak
Jika marginal benefit dari barang publik bagi seluruh warga didalam contoh
berubah, keputusan ideal bagi pemilih menengah akan selalu sama dengan titik
keseimbangan politis bila aturan mayoritas diterapkan. Hal yang sama juga akan
terjadi bila masing-masing warga kenakan jumlah iuran yang tidak sama. Warga
yang keputusan idealnya berbeda dengan keputusan ideal pemilih menengah akan
mengkonsumi lebih banyak ataupun lebih sedikit dari yang sesungguhnya mereka
inginkan jika mereka dapat menyewa tenaga satpam sendiri-sendiri.
Dengan demikian, jika ada lebih dari dua kemungkinan keputusan yang
dihasilkan dalam suatu pemungutan suara, maka hanya pemilih menengah saja
yang keputusan idealnya sama dengan keputusan hasil voting dengan
menggunakan Aturan Mayoritas. Pihak-pihak lain selain pemilih menengah akan
tetap menerima hasil keputusan voting tersebut meskipun diantara mereka ada
yang kecewa. Kekecewaan paling tinggi dialami oleh orang yang keputusan ideal
bagi dirinya terletak paling jauh dari keputusan ideal si pemilih menengah.
Pada contoh kita di atas, political equilibrium yang dihasilkan adalah unik, artinya
hanya ada satu yaitu 4 orang satpam per minggu. Bila jumlah 4 orang satpam
dibandingkan dengan jumlah yang lain, kemudian dilakukan voting, maka warga
yang memilih 4 satpam akan selalu menjadi mayoritas. Pada kasus tertentu,
political equilibrium dengan menggunakan aturan mayoritas dapat lebih dari satu.
Jika ini terjadi maka penentuan keputusan yang menang dipengaruhi oleh faktor
lain diluar dari manfaat dan biaya yang sudah dihitung sebelumnya. Faktor yang
dapat mempengaruhi antara lain adalah urutan dalam melakukan pemungutan
suara.
Agar lebih jelas, penulis coba memberikan contoh kasus dimana tidak
terdapat political equilibrium yang unik. Misalkan, ada tiga warga (A, B, dan C)
yang hendak menentukan banyaknya penyelenggaraan festival dalam setahun.
Setiap penyelenggaraan festival memakan biaya sebesar 200 ribu rupiah. Warga A
dikenakan iuran Rp100 ribu per festival, warga B dikenakan Rp75 ribu per festival,
dan C dikenakan Rp25 ribu per festival. Ada tiga alternatif yang diajukan oleh
warga, yaitu: 1 kali festival per tahun, 2 kali festival per tahun, dan 3 kali festival
per tahun. Pemenang voting ditentukan dengan aturan mayoritas sederhana,
sehingga yang meraih 2 suara itulah yang menang.
Tabel 8.2. memuat informasi mengenai urutan preferensi setiap warga atas
alternatif yang diajukan. A adalah orang yang suka pesta, maka pilihan utamanya
jatuh pada 3-festival. Semakin jarang festival dilakukan, semakin kecil ia menerima
net benefit. Pilihan utama B jatuh pada 1 kali festival, sedangkan pilihan keduanya
adalah 3-festival. B adalah orang yang ekstrem. Jika tidak mendapatkan yang
paling sedikit, maka ia lebih memilih yang paling banyak daripada yang moderat.
C adalah orang moderat yang pilihan utamanya jatuh pada 2-festival. Setiap
penambahan maupun pengurangan frekuensi festival akan membuat net benefit
yang diterimanya semakin kecil.
Single peak
*
*
Net benefit A
Festival
1 2 3
Multiple peaks
Single peak
* ** *
Net benefit B
* Net benefit B
*
*
Festival Festival
1 2 3 1 2 3
Single peak
*
Net benefit C
*
*
Festival
1 2 3
festival. Jika tidak mendapatkan titik optimal tersebut, maka net benefit mereka
akan semakin rendah.
Fenomena Cycling
Pemilihan berpasangan (pair-wise elections) adalah pemilihan yang
membandingkan 2 alternatif diantara 3 atau lebih alternatif yang tersedia. Berikut
ini akan kita lakukan pair-wise elections untuk setiap alternatif yang tersedia yaitu 1
kali, 2 kali, dan 3 kali festival. Karena hanya ada 3 warga yang mengikuti
pemilihan (A, B, dan C), maka alternatif yang meraih 2 suara akan menang, Hasil
dari pair-wise elections tercantum dalam tabel 10.3.
Dengan cara seperti ini, voting dengan aturan mayoritas sederhana akan
menemui jalan buntu karena setiap alternatif mempunyai kesempatan untuk
menang. Dalam 3 kali pemilihan, 2-festival mengalahkan 1-festival; kemudian 1-
festival mengalahkan 3-festival; tetapi akhirnya 3-festival dapat mengalahkan 2-
festival. Setiap alternatif mempunyai kesempatan untuk menang tergantung
dengan siapa ia dibandingkan. Fenomena ini disebut dengan cycling.
Pemilihan I
1-festival 2-festival
A X
B X
C X
Total suara 1 suara 2 suara
Hasil : 2-festival menang
Pemilihan II
3-festival 1-festival
A X
B X
C X
Total suara 1 suara 2 suara
Hasil : 1-festival menang
Pemilihan III
2-festival 3-festival
A X
B X
C X
Total suara 1 suara 2 suara
Hasil: 3-festival menang
Penyebab Cycling
Cycling dan tidak adanya political equilibrium dengan menggunakan pair-
wise election dalam aturan mayoritas, disebabkan oleh adanya preferensi jamak
(multiple-peaked preferences). Jika semua voter memiliki preferensi tunggal, maka
aturan mayoritas akan mampu menghasilkan political equilibrium untuk setiap isu
yang dibahas. Titik equilibrium tersebut akan terletak pada median dari semua
voter.
titik puncak
voter C
titik puncak titik puncak
voter B’ * voter C
* *
*
Net benefit
*
*
*
*
0 1 2 3
Jumlah festival per tahun
Pada Gambar 8.4 di atas, A dan C masih memiliki preferensi yang sama
seperti yang sebelumnya, sedangkan B’ kali ini memiliki preferensi tunggal. B
akan menerima net benefit tertinggi jika festival diselenggarakan hanya satu kali
saja per tahun. Dengan kondisi ini, kini semua warga memiliki preferensi tunggal
dan setiap ada perubahan keputusan diluar preferensi utama akan mengakibatkan
menurunnya net benefit yang mereka terima. Median puncak terletak pada 2-
festival per tahun dan karena C memiliki preferensi utama pada titik ini maka ia
adalah pemilih median.
Minority Rule
Dengan metode Minority Rule, kandidat atau suatu keputusan dapat dimenangkan
walaupun hanya didukung kurang dari setengah peserta yang melakukan voting.
Dengan metode ini, risiko munculnya ketidakpuasan akan lebih tinggi dibanding
dengan menggunakan majority rule. Ketika setiap keputusan selalu dibuat oleh
kelompok minoritas maka hal ini disebut oligarki.
Hal yang paling ekstrem dari minority rule adalah ketika suatu keputusan
dibuat oleh satu orang saja. Sistem ini dilakukan pada negara yang berbentuk
kerajaan atau pada negara yang dipimpin oleh seorang diktator. Pada kasus ini,
Plurality Voting
Metode Plurality Rule umum dilakukan bila sekurang-kurangnya ada 3 alternatif
yang hendak diputuskan. Salah satu kelemahan dari Majority Rule adalah bila lebih
dari 2 alternatif untuk diputuskan maka terdapat kemungkinan dimana tidak ada
alternatif yang memperoleh suara mayoritas. Contoh, ada tiga alternatif (1, 2, dan
3) yang hendak dipilih salah satunya melalui voting. Bila 32% suara memilih 1, 32%
suara memilih 2, dan 36% suara memilih 3 maka tidak ada alternatif yang
memperoleh suara diatas 50%. Dengan metode majority rule maka tidak ada
pemenangnya. Akibatnya, perlu dilakukan pemilihan ulang yang tentunya akan
menambah biaya dan memakan waktu.
Point Voting
Pada metode point voting, pemilih diberikan sejumlah point (misalkan 10) untuk
kemudian dibagi-bagikan ke masing-masing alternatif menurut tingkat
kepentingan yang mereka rasakan.Sebagai contoh, perhatikan tabel berikut ini.
berdasarkan peringkat 2 yang mereka masukkan. Hasil runoff pertama bisa dilihat
pada tabel berikut ini.
B A B IX
KONSEP ANGGARAN
ika proses pilihan publik telah selesai, maka pemerintahan yang baru akan
Balance budget
Seluruh rencana pengeluaran dan penerimaan pemerintah biasanya
melalui prosedur pembahasan oleh lembaga legislatif untuk disahkan setiap
tahun, on-budget. Namun ada sebagian kecil anggaran yang dibiayai dengan
dedicated fund tidak dibahas oleh lembaga legislatif setiap tahunnya, dikenal
sebagai off-budget. Contoh dari off-budget adalah alokasi dana yang diperuntukkan
bagi program pensiun dan tunjangan hari tua.
Jika rencana pengeluaran melebihi anggaran penerimaan, maka timbul
budget deficit sebaliknya jika penerimaan diproyeksikan dapat lebiih tinggi dari
rencana pengeluaraan maka disebut budget surplus. Pada umumnya on-budget
mengalami deficit, sedangkan off-budget mengalami surplus. Apabila anggaran
disusun dengan mengkonsolidasikan antara on-budget dan off-budget, maka
anggaran yang dihasilkan disebut unified-budget.
Jenis-jenis Anggaran
Jenis-jenis anggaran meliputi:
a. Anggaran belanja line-item (line-item budgeting)
Jenis anggaran belanja yang hanya membuat daftar barang-barang atau obyek-
obyek, disebut anggaran oyek pengeluaran atau anggaran belanja line-item.
Bila obyek yang ada dalam line-item budget cukup banyak, maka perlu dibuat
pengelompokan ataupun penggolongan. Pengolongan barang tersebut
misalnya: jasa-jasa kontrak, perlengkapan dan material serta peralatan,
tergantung pada kriteria unit atau organisasi yang bersangkutan. Dari
pengelompokan barang-barang inilah maka digunakan istilah obyek atau line-
items. Contoh line-item budget adalah sebagai berikut.
• Pengeluaran Rutin
I. Belanja Pegawai Rp XXX
II. Belanja Barang Rp XXX
III. Subsidi Daerah Otonom Rp XXX
IV. Pembayaran Bunga & Rp XXX
cicilan Hutang
• Pengeluaran Pembangunan
I. Pembiayaan Rupiah Rp XXX
1. Bunga Kredit Program Rp XXX
2. Bunga Obl. Rp XXX
Restrukturisasi Perbankan
II. Pembiayaan Proyek Rp XXX
Salah satu cara untuk mengatasi kelemahan anggaran berprogram dalam segi
pengawasan dan tingkat keluwesan (flexibility) adalah dengan cara
mengkombinasikan sifat anggaran berprogram dengan sifat anggaran
berdasarkan anggaran line-item. Dengan demikian anggaran berprogram yang
mempunyai perincian line-item dikaitkan dengan tujuan dari pada program.
Sekalipun demikian dapat disebut anggaran berprogram, disebabkan tidak
hanya sekedar mendaftar barang-barang dan jasa-jasa yang akan dibelanjakan,
tetapi penyusunan dana itu disesuaikan dengan program-programnya.
Ada dua hal yang harus dilakukan dalam menyusun anggaran belanja berbasis
kinerja, yaitu, pertama, harus tersedia ukuran hasil kerja (output) yang
realistis, artinya berapa banyak suatu hasil yang dapat dibuat dengan biaya
itu. Jelasnya unit ukuran yang digunakan harus menguraikan secara nyata
(konkrit) apa yang akan dikerjakan. Kedua, langkah selanjutnya adalah
menetapkan dan mengukur suatu tingkat pelayanan yang wajar.
d. Zero-based budgeting
Tidak seperti kebanyakan proses pengganggaran yang jumlah dan rincian
kegiatannya didasarkan atas anggaran tahun sebelumnya seperti dinaikkan
atau sama, zero-based budgeting menggunakan paket-paket anggaran. Seluruh
program kegiatan pemerintah harus dijustifikasi setiap tahun dengan tidak
mendasarkan atas kemiripan kegiatan yang telah selenggarakan tahun
sebelumnya. Konsep ini banyak didukung oleh para pemerhati anggaran yang
tidak menginginkan adanya pengeluaran-pengeluaran yang tidak perlu oleh
pemerintah. Namun dalam prakteknya, konsep penganggaran ini sulit
dilaksanakan sehingga tidak banyak digunakan.
Tujuan
Sebagaimana telah diuraikan bahwa suatu anggaran belanja yang berencana
(planning budget) disusun dengan penentuan tujuan-tujuan. Konsep tujuan sangat
penting dalam sistem ini, karena orang ingin mengetahui mengapa suatu kegiatan
dilaksanakan, yang merupakan landasan untuk penilaian kegiatan. Disamping itu
dalam sistem anggaran belanja, ditunjukkan hubungan antara cita-cita atau tujuan
pemerintah dengan kegiatan pemerintah, yang dikelompokkan menurut
tujuannya.
Output.
Sekalipun belum ada kesepakatan mengenai definisi hasil (output), akan tetapi
yang dimaksud disini ialah setiap penyelesaian kerja yang nyata dari seorang
karyawan pemerintah adalah hasil (output) pemerintah. Hal ini dapat juga berupa
sejumlah formulir pajak yang diproses sampai kepada pembangkit listrik yang
menghasilkan sejumlah kilowatt listrik bagi kepentingan masyarakat,
Pandangan yang paling umum mengenai hasil dari suatu institusi ialah
konsep output yang universal. Konsep output yang universal beranggapan bahwa
setiap penyelesaian kerja yang nyata dari suatu karyawan pemerintah dapat
dipandang sebagai output. Akan tetapi ada juga yang berpendapat bahwa yang
dimaksud dengan hasil ialah barang-barang dan jasa-jasa yang dihasilkan untuk
disalurkan keluar pemerintah.
biaya. Jika perbandingan itu lebih besar dari satu (>1) maka simpulannya adalah
bahwa proyek tersebut layak, karena manfaatnya melebihi biayanya.
Sebaliknya seandainya rasio itu adalah kurang dari satu (<1), maka
simpulannya adalah bahwa proyek itu tidak layak, karena biayanya lebih besar
dari pada manfaatnya.
Analisis yang terbuka dan jelas merupakan asumsi yang merupakan unsur-unsur
kunci dan merupakan prasyarat pokok bagi keberhasilan PPBS. PPBS
menitikberatkan pada pertimbangan rasional yang didasarkan atas data dan
informasi. Hal ini berarti bahwa semua asumsi yang dipergunakan sebagai dasar
pertimbangan harus dibuat dan didukung oleh data atau informasi yang tepat dan
dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Mekanisme analisis data dan
informasi harus jelas, sehingga asumsi itu bersifat rasional dan objektif.
Objektivitas yang selengkap-lengkapnya barang kali tidak mungkin diperoleh,
akan tetapi kecenderungan untuk menutupi atau menyembunyikan data kunci
harus dapat dihindarkan. Hal ini disebabkan karena hasil analisis itu mungkin
diuji oleh analis-analis lain dan mungkin diulangi lagi dengan menggunakan
susunan asumsi yang berbeda.
Siklus Anggaran
Kebijakan fiskal pemerintah suatu negara secara ringkas tercermin dalam
anggarannya, yang di Indonesia disebut APBN. Istilah APBN yang dipakai di
Indonesia secara formal mengacu pada anggaran pendapatan dan belanja
pemerintah pusat, tidak termasuk anggaran pendapatan dan pelanja pemerintah
daerah dan perusahaan-perusahaan milik negara. Penyusunan anggaran negara
merupakan rangkaian aktifitas yang melibatkan banyak pihak, termasuk lembaga
legislatif. Peran lembaga legislatif dalam proses penyusunan anggaran
menyebabkan proses penyusunan menjadi lebih demokratis, transparan, obyektif,
dan lebih dapat dipertanggungjawabkan.
Penyusunan Anggaran
Pada umumnya proses formulasi anggaran dilakukan oleh eksekutif yang
khusus menangani anggaran negara. Lembaga tersebut biasanya dibawah
naungan Departmen Keuangan yang bertugas mengkoordinasikan dan
mengorganisasikan usulan anggaran pembiayaan dan pengeluaran dari instansi-
instansi terkait, serta mendistribusikannya sesuai urutan prioritas kegiatan dan
tersedianya dana. Proses penyusunan dapat memakan waktu hingga beberapa
bulan, tergantung kompleksitas struktur pemerintahan yang dilayani.
Pengesahan Anggaran
Proses ini dimulai ditandai dengan pengajuan usulan anggaran oleh
eksekutif untuk dibahas di lembaga legislatif. Anggota dewan dapat mengundang
pihak esksekutif pada waktu pembahasannya, atau memilih untuk mendengarkan
opini publik untuk kemudian diambil keputusan. Hal ini biasa terjadi dikarenakan
adanya kemungkinan anggota legislatif yang ditunjuk dalam komisi pembahasan
anggaran tidak menguasai kerangka kerja anggaran. Faktor politik juga dapat ikut
berperan dalam proses pembahasannya. Kesemua itu tidak mempengaruhi
dibutuhkannya legalisasi usulan anggaran oleh dewan legislatif.
Anggota dewan berhak menolak usulan anggaran yang diajukan
pemerintah. Dalam hal tersebut, beberapa negara memungkinkan anggota dewan
menyusun anggarannya sendiri atau memutuskan untuk menggunakan anggaran
tahun sebelumnya. Proses pembahasan selesai setelah usulan anggaran
diundangkan atau diamandemen.
B A B X
KEBIJAKAN STABILISASI
T opik ini membicarakan lebih jauh mengenai fungsi utama ketiga dari
kebijakan anggaran yang, seperti telah dibahas pada Bab VII, stabilisasi
ekonomi. Anggaran, khususnya pengeluaran publik, mempengaruhi
tingkat permintaan agregat. Perubahan tingkat permintaan agregat pada akhirnya
menentukan kesempatan kerja dan tingkat harga. Mau tidak mau, anggaran akan
sangat dikaitkan dengan perilaku perekonomian secara makro dan, pada
gilirannya, akan menjadi alat yang cukup efektif untuk mempengaruhi perilaku
tersebut. Lebih jauh lagi, kebijakan anggaran juga mempengaruhi tingkat
distribusi output total dengan membaginya di antara konsumsi dan tabungan
(yang membentuk modal) yang selanjutnya mempengaruhi tingkat pertumbuhan
ekonomi. Saling keterkaitan inilah yang akan kita simak pada bab ini.
Pajak Lump-Sum
Selanjutnya mari kita perhatikan peranan pengenaan pajak dalam bentuk
lumpsum, yakni pajak dalam suatu jumlah yang tetap, tanpa memperdulikan
pendapatan. Dengan menambahkan I dan C, kita mendapatkan C+I dan tingkat
pendapatan sebesar A. Sekarang apabila terhadap penerimaan dikenakan pajak,
fungsi konsumsi merosot dari C ke C’. Konsumsi menurun sebesar pajak yang
dikenakan. Perpotongan garis pengeluaran yang baru, C'+I, dengan garis 450
menjadi lebih rendah dan pendapatan menurun dari A ke D. Konsumen yang
menerima pendapatan A setelah membayar pajak akan mempunyai pendapatan
Proses ini diperlihatkan pada persamaan (12) sampai (18) dari Tabel 10-1.
Perhatikan bahwa cara memperhitungkan pajak ke dalam fungsi konsumsi pada
persamaan (13) berbeda dengan cara memperhitungkan pajak lump-sum pada
persamaan (9), karena pengenaan pajak penghasilan dalam hal ini menurunkan
kecenderungan marjinal untuk mengkonsumsi pendapatan sebelum pajak.
Dengan kata lain, hal ini memperkecil faktor pengganda. Kiranya hal ini cukup
masuk akal karena T=tY. Dengan naiknya pendapatan, naik pulalah penerimaan
pajak, sehingga memperkecil pendapatan disposabel C. Karena itu bisa
meniadakan seluruh efek ekspansioner yang ditimbulkan oleh kenaikan G. Jadi,
sekiranya c=0,8, tarif pajak t=0,3 akan menurunkan pengganda dari 5 menjadi 2,27.
Penambahan G sebesar $1 milyar hanya akan menaikkan Y sebesar $2,27 milyar.
Karena itu pengaruh pajak penghasilan dapat menghambat keefektifan dari
kenaikan pengeluaran publik.
Tabel 10-1:
Penentuan Pendapatan dan Faktor Pengganda Fiskal (Investasi = Konstan)
Y = C+I (1)
C = a + cY (2)
Y = (a + I) (3)
1–c
Jenis-Jenis lnflasi
Sejauh ini kita mengasumsikan bahwa tingkat harga konstan sehingga
dampak kebijakan angaran terhadap tingkat permintaan agregat tercermin pada
perubahan output dan kesempatan kerja. Tetapi mungkin bukan demikian halnya.
Kenaikan pengeluaran agregat mungkin akan tercermin pada kenaikan harga dan
bukan pada kenaikan output. Pembangunan yang mengatasi pengangguran besar-
besaran dan penggunaan modal yang sangat rendah tidaklah mampu untuk
menyediakan output yang dibutuhkan secara cepat, dan dalam keadaan demikian
kenaikan tingkat pengeluaran cenderung tercermin pada kenaikan harga.
perekonomian. Jika antisipasi itu tidak sempurna atau jika kesenjangan terjadi,
tindakan ekspansioner bisa mendorong kenaikan pemintaan melebihi kenaikan
biaya sehingga memperbesar kesempatan kerja. Karena itu teorema yang
menyatakan ketidakmungkinan di atas akan tergantung pada validitas empiris
dari asumsi (1) dan (2). Karena ketidaksempumaan kita untuk memperkirakan
masa mendatang dan dengan adanya keterpakuan dan ketidakluwesan, maka
teorema ini tidak bisa dianggap sebagai suatu penilaian yang realistis atas
keampuhan dari kebijakan. Dalam dunia nyata, kebijakan stabilisasi, meskipun
sukar, namun bisa efektif. Tentu saja antisipasi mengenai pembahasan kebijakan
serta kredibilitas dari pengumuman mengenai kebijakan yang diambil akan
mempercepat tercapainya hasil yang diharapkan kebijakan tersebut dan
memperbesar keefektifannya.
Dalil kedua mengenai pengharapan yang rasional dilandaskan pada pilihan antara
pembiayaan dengan pajak atau pembiayaan dengan pinjaman. Pada pembahasan
sebelumnya kita telah melihat bahwa kedua kebijakan itu berbeda. Kenaikan
pengeluaran publik lebih ekspansioner jika dibiayai dengan pinjaman daripada
dengan pajak. Efek crowding out terhadap investasi (dengan mengasumsikan
jumlah uang yang beredar konstan) mengurangi efek ekspansioner dari pembiayaan
dengan anggaran defisit, tetapi tetap lebih besar jika dibanding dengan
pembiayaan melalui pajak.
Semua faktor ini menunjukkan bahwa mustahil kiranya setiap orang akan
memberikan reaksi yang sama bagi pembiayaan dengan pajak dan pembiayaan
dengan pinjaman sehingga tidak ada pengenaan efek kebijakan terhadap tingkat
permintaan agregat atau terhadap pembagian output di antara konsumsi dan
investasi. Sebagai contoh nyata, defisit besar-besaran pada tahun 1980-an di AS
justru disertai oleh tingkat tabungan perorangan yang rendah, bukan tingkat
tabungan yang tinggi seperti yang dihipotesiskan oleh pengharapan yang rasional.
B A B XI
PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN
Unsur-Unsur Pembangunan
Persyaratan yang diperlukan untuk pembangunan ekonomi di negara-
negara berpendapatan rendah termasuk dalam rangka kelanjutan pertumbuhan
perekonomiannya sama halnya seperti persyaratan yang diperlukan untuk
mempertahankan pertumbuhan ekonomi di negara yang relatif sudah maju.
Namun di luar itu, masih banyak persyaratan lain yang diperlukan. Untuk
mencapai pertumbuhan, tidak cukup hanya dengan cara penyediaan modal
pembangunan (yang meliputi investasi fisik dan investasi sumber daya manusia)
serta proses teknologi yang diperlukan, tetapi juga diperlukan sejumlah
perubahan sosial dan kelembagaan yang merupakan sebab dan akibat dari tingkat
pembangunan perekonomian yang masih rendah. Dalam hal ini, sektor publik
memegang peranan penting terhadap semua unsur pembangunan ini.
Selanjutnya, tak bisa dipungkiri bahwa salah satu masalah besar adalah
bagaimana mengalihkan sebagian konsumsi periode berjalan untuk digunakan
sebagai sumber daya pembangunan. Pada perekonomian yang dikendalikan
secara terpusat di mana badan usaha milik negara memegang dominasi,
pengalihan ini dapat dilakukan dengan menahan sebagian hasil pengembalian
(returns) yang dibayar kepada faktor produksi sehingga pembayaran lebih kecil
Karena alasan ini dan alasan-alasan lainnya, maka penilaian yang realistis
atas upaya perpajakan (tax effort) harus memperhitungkan penanganan pajak (tax
handles) yang tersedia untuk itu. Dengan demikian, ukuran komparatif atas upaya
perpajakan dapat diperoleh dengan membandingkan rasio aktual dari
penerimaam terhadap GNP pada suatu negara tertentu dengan rasio yang
Selain itu terdapat fenomena menarik yang menyatakan bahwa pajak yang
sering diklasifikasikan sebagai pajak penghasilan di negara miskin sering kali jauh
berbeda dari pajak penghasilan perorangan di negara maju. Sejalan dengan itu,
pajak penghasilan usaha sering kali lebih mirip dengan pajak penjualan daripada
dengan pajak laba sebagaimana kita temukan di negara-negara maju dan
sebagainya.
semacam pajak penjualan. Hal ini terjadi karena kewajiban pajak menjadi fungsi
dari penjualan dan marjin tersebut merupakan taksiran dan bukan aktual.
Lebih jauh lagi, bentuk hukum dari badan-badan usaha sering kali
berbeda. Di negara-negara Amerika Latin, misalnya, hukum Eropa daratan lebih
berperan daripada tradisi common law (hukum Inggris), sedangkan di negara-
negara Asia sistem hukum kebendaan yang sangat berbeda bisa diterapkan; dan
praktek yang cocok bagi suatu negara seperti Amerika Serikat mungkin tidak
dapat diterapkan di Negara sedang berkembang dengan mengingat tradisi dan
tingkat pembangunannya saat ini.
Pajak Tanah
Satu pertanyaan mendasar dalam pajak atas tanah adalah apakah pajak tersebut
harus dikenakan atas nilai tanah, atas pendapatan aktual, atau atas pendapatan
potensial yang bisa dihasilkan tanah tersebut jika dimanfaatkan secara penuh.
Dalam sistem persaingan sempurna, ketiga dasar tersebut akan bisa saling
dipertukarkan karena nilai tanah akan sama dengan nilai pendapatannya yang
dikapitalisasi, dan pendapatan aktual akan sama dengan pendapatan potensial.
Dalam kenyataan, tidak demikian halnya. Tanah sering kali tidak dimanfatkan
secara penuh dan ditahan untuk tujuan spekulatif atau ditahan sesuai dengan adat
istiadat setempat. Pasar atas tanah mungkin tidak tersedia dan nilai jualnya saat
ini tidak bisa diperoleh. Dengan demikian, ketiga dasar tersebut akan memberikan
nilai yang sangat berbeda. Pajak penghasilan jarang diterapkan secara efektif ke
sektor pertanian sehingga pendapatan dari tanah sering kali merupakan gabungan
dari pajak penghasilan dan pajak atas tanah, yang meliputi tidak hanya
penyewaan atas tanah tersebut tetapi juga peningkatan nilai atas tanah.
pada akhirnya akan lebih kecil dari pada pajak bumi dan bangunan, karena
banyaknya harta tak berwujud yang tidak termasuk dalam dasar pengenaan pajak,
namun jenis pajak ini penting guna melengkapi pajak penghasilan.
Aspek kebijakan bea masuk lainnya yang perlu ditinjau secara kritis
adalah praktek pembebasan cukai atas barang modal yang digunakan di dalam
negeri. Dalam situasi di mana, karena berbagai alasan, biaya modal cenderung
dinilai terlalu rendah, praktek ini akan memperburuk distorsi harga.
Insentif Perpajakan
Tujuan pemerintah yang berupa pertumbuhan ekonomi dan pemerataan
paling bisa dicapai dengan berpedoman pada pajak kosumsi progresif. Disamping
itu pendekatan keadilan menuntut agar pendekatan ini dipadukan dengan
penarikan pajak atas pendapatan modal dengan tarif progresif. Karena adanya
kemungkinan timbulnya konflik antara pajak penghasilan progresif dengan
insentif untuk inventasi maka tidak mengherankan bahwa telah diupayakan
berbagai cara untuk meminimumkan pengaruh masalah justifikasi sampai dimana
pemerataan dan pertumbuhan didahulukan terhadap satu sama lain. Kebijakan
perpajakan harus memperhatikan bahwa kenaikan tingkat pertumbuhan ekonomi
Dengan alasan alasan ini insentif pajak bagi investasi pada umumnya
merupakan pemborosan dan tidak adil, sehingga banyak pengamat sampai sampai
terdorong untuk menolak semua bentuk insentif. Namun meskipun demikian,
penolakan total tidak bisa diterima. Tekanan politik agar diberikan insentif pajak
akan tetap ada; dan karena ini tidak bisa dielakkan, maka sebaiknya insentif
dirancang seefisien mungkin. Lebih jauh lagi, beberapa kelonggaran bagi
pertumbuhan mungkin layak asalkan hal itu dilaksanakan dengan cara terbaik.
Insentif Domestik
Dalam menangani masalah insentif, ada baiknya kita membedakan antara insentif
domestik dan masalah insentif yang berkaitan dengan modal asing. Insentif
domestik bisa dikaitkan dengan investasi pada umumnya, atau dibatasi pada
industri atau wilayah tertentu. Insentif bisa dirancang untuk menggalakkan ekspor
dan memperkuat neraca pembayaran.
Insentif Umum
Intensif investasi umum bisa berupa kredit pajak atas investasi atau penyusutan
yang dipercepat seperti lazim digunakan dinegara-negara maju. Selain itu di
beberapa negara sering kali diberikan pembebasan pajak (tax holiday) untuk jangka
waktu tertentu misalnya selama lima atau tujuh tahun, dimana selama jangka
waktu itu pajak atas laba di bebaskan. Metode ini merupakan insentif bagi
investasi yang memberikan laba yang tinggi pada tahap awal dan hal ini
bertentangan dengan kebutuhan akan investasi yang stabil dan bersifat jangka
panjang. Bagi perusahaan lama yang mengadakan investasi lama dan baru,
masalah ini bisa diatasi dengan pendekatan kredit investasi atau bantuan investasi.
Lebih jauh lagi, tidaklah bijaksana jika pemerintah mengadakan komitmen jangka
panjang untuk mensubsidi pajak, teristimewa jika diperkirakan bahwa subsidi
semacam itu tidak akan di perlukan di masa mendatang.
bahwa industri yang akan dipilih adalah industri yang memainkan peranan
strategis dalam pembangunan dan yang tidak akan berkembang jika tidak
mendapat bantuan khusus. Tidak dapat dipungkiri bahwa proses pembangunan
mengandung dampak eksternal (external economies) yang tidak diperhatikan dalam
pengambilan keputusan investasi swasta; dan pasar modal yang tidak sempurna
bisa mengacaukan investasi meskipun tanpa eksternalitas. Karena itu investasi
semacam itu perlu dikoreksi. Tetapi pengalaman menunjukkan bahwa hal itu
sangat sukar untuk dilaksankan. Seiring daftar skala prioritas sedemikian luas
sehingga hampir tidak ada yang patut di pilih. Sedangkan dipihak lain, pemilihan
industri tertentu selalu di barengi dengan teknan politik dari kelompok tertentu;
dan dalam kesempatan lain lagi kita akan melihat bahwa insentif diberikan untuk
mempertahankan pasar bagi perusahaan negara, seperti pabrik baja, yang
seharusnya tidak mendapat prioritas utama. Meskipun pada prinsipnya insentif
yang selektif itu baik, namun penerapannya secara efisien sukar untuk
dilaksanakan.
Insentif Regional
Insentif selektif lainnya dapat kita temukan dalam kebijakan regional. Seperti telah
kita ketengahkan sebelumya, kebijakan pajak bisa mempengaruhi keputusan
lokasi investasi, apakah itu untuk tenaga kerja atau modal dan umumnya
diharapkan agar kebijakan pajak bersifat netral. Namun keadaan negara negara
berkembang bisa menuntut lain. Tenaga kerja mungkin tidak bisa berpindah
secara luwes, atau mungkin juga tenaga kerja ingin dipertahankan di suatu daerah
tertentu karena terlalu banyaknya perpindahan penduduk ke kota atau karena
alasan non ekonomis yang menghendaki pemerataan tingkat pembangunan
daerah. Karena itu, insentif khusus bisa diberikan demi pembangunan daerah
tersebut. Masalahnya adalah apakah insentif itu lebih baik diberikan dengan
mensubsidi investasi atau mensubsidi perusahaan pekerja di wilayah
bersangkutan. Jawabannya tergantung pada tujuan yang hendak dicapai, yaitu
apakah peningkatan produksi atau nilai tambah didaerah tersebut, atau apakah
peningkatan upah atau standar hidup masyarakatnya. Untuk tujuan terakhir ini,
subsidi upah akan lebih efektif, khususnya jika terdapat banyak penganggur atau
penganggur tak kentara di sektor pertanian yang dapat di tarik kesektor industri
apabila biaya upah berkurang.
Cara lain untuk membuat insentif menjadi efektif bagi investor asing yang
akan mengirimkan labanya ke negara asal adalah apa yang disebut sebagai
kesepakatan pajak bersama (tax-sparing arrangement). Dengan pendekatan ini,
negara asal modal akan memberikan kredit atas laba yang direpatriasi sebesar
pajak yang dikenakan di negara tujuan meskipun tidak ada pajak yang dibayar
menurut kesepakatan insentif tersebut. Akan tetapi, pendekatan ini tidak
menggairahkan reinvestasi; dan karena tekanan politik akan menuntut agar
insentif tersebut diberlakukan secara umum bagi investasi domestik, maka
penarikan pajak atas laba secara umum bagi investasi domestik harus
dipertimbangkan.
suatu negara mengalahkan yang lain dengan menawarkan insentif yang lebih
besar, maka negara sedang berkembang sebagai suatu kelompok akan dirugikan.
Untuk mengatasi hal semacam itu diperlukan semacam kerja sama antar negara
sedang berkembang. Salah satu peran utama pasar bersama antar negara sedang
berkembang adalah untuk menghindarkan hal semacam itu.
Insentif Ekspor
Insentif pajak untuk ekspor merupakan kebijakan umum guna membantu
pengembangan pasar luar negeri dan memperkuat neraca pembayaran. Agar
efektif, insentif semacam itu tidak harus dikaitkan dengan total penjualan di luar
negeri atau laba yang dihasilkannya, seperti lazimnya kita hadapi, tetapi dengan
nilai tambah domestik. Hanya nilai tambah domestiklah yang menambah hasil
perdagangan luar negeri bagi suatu negara. Pengeksporan kembali atas barang
yang diimpor atau barang dalam transito tidak memberikan nilai tambah
domestik.
Kebijakan Pengeluaran
Peranan kebijakan pengeluaran dalam pembangunan ekonomi kurang
disorot bila dibandingkan dengan kebijakan perpajakan, dan data pembanding
lebih sukar diperoleh. Negara-negara berpendapatan rendah menghabiskan
banyak pengeluaran untuk pendidikan dan kesehatan sementara tunjangan sosial
kurang diperhatikan. Dalam kadar tertentu, banyak pengeluaran untuk
pendidikan juga mencerminkan tingginya biaya pendidikan di negara-negara ini.
Besarnya tunjangan sosial di negara-negara kaya mencerminkan sistem jaminan
sosial yang lebih baik.
Bantuan Pembangunan
Dari penjelasan terdahulu terlihat dengan jelas bahwa kebijakan redistribusi
tidaklah sederhana dan pengaruhnya pertumbuhan ekonomi, harus ditelaah
dengan seksama. Jika sudut pandang ini mengena pada redistribusi yang bersifat
nasional, maka akan lebih mengena lagi pada tingkat internasional di mana skala
penyesuaian potensial yang harus dicapai melalui distribusi sangat besar. Tak ada
manfaatnya jika kontribusi negara-negara maju terlalu dipaksakan sehingga
kemampuan ekonominya untuk mempertahankan kesinambungan bantuan
menjadi terganggu.
B A B XII
HUTANG PUBLIK
P sejak lama menjadi isu perdebatan yang hangat, khususnya dalam keadaan
meningkatnya defisit dewasa ini. Pertumbuhan hutang publik sudah lama
menjadi isu yang hangat dalam perdebatan mengenai kebijakan fiskal. Kritik-kritik
terhadap pembiayaan defisit tidak hanya ditujukan pada pengaruh inflasionernya,
tetapi juga terhadap konsekuensi akumulasi hutang di masa depan dan bebannya
terhadap gcnerasi mendatang.
Beberapa faktor akan menentukan tingkat bunga yang harus dibayar oleh
pemerintah atas obligasi yang diterbitkannya. Tetapi pertimbangan utama adalah
evaluasi dari penyedia jasa rating obligasi yang menilai potensi pemerintah untuk
membayar pokok dan bunganya pada tanggal jatuh temponya. Rating ini dibuat
berdasarkan pada catatan kinerja pelunasan hutang masa lalu, praktek kebijakan
fiskal, cadangannya, taxbase-nya, dan semua hal yang terkait dengan kemampuan
untuk membayarnya. Sebagai tambahan, tingkat bunga adalah berbeda antara dua
jenis dasar hutang pemerintah: obligasi umum pemerintah dan obligasi
penerimaan.
Pada saat yang sama, investor merasa tak yakin mengenai masa depan (inflasi
dapat memburuk) dan lebih suka untuk mencegah komitmen jangka panjang. Jadi,
lebih cepat mendapatkan pengembalian pada surat berharga jangka pendek,
namun dengan demikian likuiditas struktur klaim meningkat.
Pembatasan Hutang
Pertumbuhan hutang ditentukan oleh peraturan pajak dan pengeluaran yang
mendasarinya serta tingkat surplus dan defisit yang dihasilkannya. Sesudah
menentukan defisit atau surplus dan perubahan tingkat bunga dengan cara ini,
lembaga legislatif dapat menetapkan batas hutang eksplisit yang tak boleh
dilewati oleh Departemen Keuangan. Apabila operasi masa berjalan memerlukan
kenaikan pinjaman pemerintah di atas pagunya, Menteri Keuangan meminta
kenaikan pagu pinjaman. Pagu hutang, seperti yang disepakati oleh kebanyakan
pengamat, merupakan suatu anakhronisme karena setiap saat legislatif, bisa
menentukan penambahan hutang melalui peraturan pajak dan pengelurannya.
Pagu Bunga
Menjelang akhir Perang Dunia I, legislatif di USA memberlakukan pagu bunga 4
1/4 persen pada surat berharga yang lebih lama dari lima tahun, tidak temasuk
yang diterbitkan kepada instansi pemerintah. Pagu sebagian besar tetap tidak
efektif sampai paruh kedua tahun 1960-an ketika limit jangka panjang di pasar
naik di atas tingkat ini. Meskipun pagu ini dapat dielakkan dengan penjualan
obligasi bertarif kupon 4 1/4, persen pada bunga di bawah pari, Departemen
Keuangan memilih tidak melakukan hal itu, karena ini akan mengganggu
ketentuan legislatif. Jadi tidak ada obligasi jangka panjang yang dapat dijual
sesudah tahun 1965 manakala hasil pasar melebihi pagu. Sesudah Departemen
Keuangan meminta berkali-kali, Konggres mengesahkan penerbitan terbatas
obligasi Tresury di atas hasil pagu. Batas ini diperluas oleh Legislatif empat kali,
dan 1988 adalah sebesar $150.000 milyar. Jadi ini bukan merupakan faktor yang
berarti dalam membatasi penggunaan surat berharga jangka panjang.
pinjaman karena alasan kebijakan publik. Jadi hal itu digunakan umum sebagai
alat untuk alokasi, bukan sebagai kebijakan stabilisasi. Dengan demikian, masalah
ini penting dalam konteks negara berkembang di mana investasi yang ditunjang
pemerintah merupakan segi yang penting dari kebijakan pembangunan.
tahun dalam tabun 1970. Hasil pada saat itu adalah 7 persen, sehingga obligasi itu
dapat ditebus pada $100 dalam tahun 1982 dan peneriman per tahun sampai
terjual $100 adalah $7. Kemudian bila diasumsikan tingkat pengembalian modal
yang sebenarnya adalah 3 persen, sehingga investor kita mengharapkan tingkat
inflasi sebesar 4 persen. Pada tingkat inflasi ini hasil nominal 7 persen akan
menghasilkan tingkat pengembalian 3 persen. Tetapi ternyata tingkat inflasi
selama tiga tahun adalah 8 persen. Jika si investor telah mengetahui hal ini, ia akan
meminta hasil sebesar 11 persen, yakni suatu obligasi yang terjual pada nilai pari
yang seharusnya mempunyai pembayaran kupon sebesar $11 per tahun. Tingkat
inflasi yang lebih tinggi dari yang diantisipasikan memberikan tingkat
pengembalian riil (real rate of return) kepada investor sebesar -1 persen (7 persen
dikurangi 8 persen). Kerugian investor ini dicerminkan oleh keuntungan yang
diterima pembayar pajak, yang beruntung dalam melunasi hutang (bunga dan
pembayaran kembali pada jatuh tempo) dengan dollar yang lebih murah. Pada
tahun 1982, hasil (yields) telah meningkat menjadi 13 persen dan disusul dengan
meningkatnya perkiraan inflasi. Sejak itu jumlahnya menurun menjadi sekitar 8
persen, bersama dengan penurunan dalam tingkat inflasi menjadi di bawah 4
persen.
Lebih lanjut, pengandalan pada sumber daya luar tidak harus melibatkan
penyerapan hutang luar negeri, tetapi dapat mengambil bentuk arus modal masuk
dan surplus impor yang berkaitan. Menimbang bahwa ketakutan terhadap
kebangkrutan fiskal adalah tidak realistik, timbul pertanyaan apakah
pembelanjaan dengan hutang tidak akan membebani generasi mendatang?
Bagaimana pengalihan (transfer) beban itu terjadi dan apa pengaruhnya pada
ekuitas fiskal?
Mengikuti prinsip bahwa jasa publik harus dibiayai atas dasar manfaat,
sifat pengeluaran, yang harus dibiayai menjadi sangat panting. Dalam hal
pengeluaran modal, manfaat akan terbawa ke masa depan sehingga pengalihan
beban diperlukan sebagai suatu keseimbangan antar generasi. Seperti yang
dinyatakan sebelumnya, ini merupakan penalaran untuk membagi anggaran
menjadi komponen masa berjalan dan komponen modal, dengan yang pertama
dibiayai oleh pajak dan yang terakhir oleh pinjaman.
Manajemen Hutang
Struktur jangka waktu dari suku bunga dan kriteria untuk bauran jatuh
tempo hutang yang optimal perlu ditelaah. Apakah suku bunga jangka panjang
berada di atas atau di bawah suku bunga jangka pendek, tergantung pada apakah
suku bunga itu diperkirakan akan naik atau turun. Pilihan terhadap struktur jatuh
tempo dapat dipandang sebagai suatu cara untuk membeli likuiditas pada biaya
yang paling rendah.
Jika demikian halnya, pedoman dasar apa yang dipakai untuk memilih
jatuh tempo yang akan ditawarkan Departemen Keuangan? Salah satu jawaban
yang mungkin adalah memilih struktur jangka waktu dari hutang untuk
meminimalkan biaya bunga. Karena biaya untuk meminjam cenderung berbeda
sesuai dengan jatuh tempo hutang, maka surat berharga yang harus dipilih adalah
surat berharga yang menyerap biaya paling rendah bagi investor. Prinsip ekonomi
yang mengatakan bahwa pemerintah akan membeli pensil dari pemasok yang
paling murah, juga berlaku terhadap pinjaman, yakni mereka akan meminjam dari
pemberi pinjaman yang berbiaya paling rendah. Bila dipertimbangkan lebih
cermat, ini tampaknya suatu aturan yang terlalu sederhana, tetapi marilah kita
lihat bagaimana penerapannya.
bunga jangka panjang. Selama periode perang, tingkat ymg rendah ini
dipertahankan, sehingga memungkinkan pembiayaan hutang perang pada biaya
yang lebih rendah. Hal ini mengharuskan penyempurnaan jumlah besar hutang
oleh bank-bank komersial dan kenaikan yang sepadan dalam jumlah uang
beredar. Kebijakan masa perang ini berlanjut sampai awal tahun lima puluhan.
Metode yang dipertahankan oleh Departemen Keuangan ini diserang oleh Sistem
Bank Sentral. Kebijakan ini terbukti tidak sesuai dengan penerapan pembatasan
moneter, karena Bank Sentral harus selalu siap membeli obligasi di pasar terbuka,
apabila diperlukan untuk menjaga harga obligasi agar tidak turun dan menjaga
hasil obligasi agar tidak naik. Kebijakan Bank Sentral dengan demikian
menggunakan ketentuan tagihan saja di mana semua kegiatan pasar terbuka dan
dijalankan dalam Treasury Bills. Sesudah transisi secara bertahap, pasaran surat
berharga kembali ke pola suku bunga yang lebih tinggi, dengan tingkat jangka
pendek dan jangka panjang bergerak mendekat satu sama lain dan tingkat jangka
pendek kadang-kadang di atas tingkat jangka panjang.
Dampak lnflasi
Akhimya, bagaimanakah mekanisme masuknya inflasi ke dalam struktur suku
bunga? Dampak inflasi terhadap suku bunga umum mudah kita lihat. Inflasi akan
menaikkan suku bunga karena pemberi pinjaman ingin melindungi diri mereka
terhadap kerugian nilai riil klaim mereka, akibat naiknya harga-harga. Jadi, jika
suku bunga atau pengembalian riil dalam keadaan tanpa inflasi adalah 3 persen,
sedangkan laju inflasi yang diperkirakan adalah 6 persen, maka suku bunga
nominal akan cenderung menjadi 3+6, atau 9 persen. Tambahan 6 persen
diperlukan untuk mempertahankm daya beli obligasi sekalipun keuntungan
bersih dalam bentuk neto hanyalah 3 persen. Penyesuaian inflasioner ini
diperhitungkan untuk kenaikan tajam dalam suku bunga umum, sama seperti
Hubungan antara inflasi dan jangka waktu suku bunga kurang jelas.
Selama inflasi bergerak pada laju yang konstan, katakanlah 4 persen, dan investor
mengharapkan laju ini dapat dipertahankan, beban tambahan inflasi juga akan
tetap pada 4 persen, sehingga struktur jangka waktu tidak akan dipengaruhi.
Hanya jika laju inflasi yang diperkirakan berubah, maka struktur jangka waktu
akan dipengaruhi. Jadi, suatu harapan bahwa inflasi akan menurun akan
ccnderung menurunkan suku bunga nominal masa depan, sehingga menyebabkan
penurunan dalam tingkat jangka panjang relatif terhadap tingkat jangka pendek.
Demikian pula sebaliknya untuk kenaikan yang diperkirakan dalam tingkat
inflasi. Telah beberapa kali diusulkan agar Departemen Keuangan dan wajib pajak
dapat dilindungi terhadap perubahan yang tak terduga dalam laju inflasi, dengan
menerbitkan obligasi yang berjangka lebih panjang dan nilai pelunasan dari surat
berharga tersebut diindeks pada tingkat harga. Atau terhadap obligasi tersebut
ditetapkan nilai pari yang tetap, tetapi dengan pembayaran kupon tahunan yang
bervariasi mengikuti tingkat inflasi.
Yang menjadi masalah pokok adalah arah perubahan suku bunga yang
diharapkan oleh Departemen Keuangan. Jika para pengelola hutang berharap
suku bunga akan naik, pilihan yang tepat adalah meminjam untuk jangka panjang;
jika mereka memperkirakan suku bunga akan turun, pilihannya adalah pada
jangka pendek. Hal yang penting adalah sekali suatu komitmen telah dibuat, tidak
ada lagi jalan keluar lain. Biaya bunga hutang yang telah dibuat harus dibayar
untuk periode penuh meskipun tingkatnya bisa turun; dan keuntungan dari suku
bunga yang rendah akan terus diakrualkan sekalipun tingkatnya mungkin naik.
Dengan demikian manajemen hutang merupakan suatu seni yang tinggi, yang
membutuhkan penaksiran tajam terhadap prospek pasar untuk jangka waktu yang
cukup panjang.
pengendaliannya atas penciptaan uang dapat mengatur laju suku bunga di pasar.
Mereka selalu dapat mengganti hutang publik dengan uang, baik langsung
melalui pencetakan uang ataupun dengan meminjam dari bank sentral.
Penggantian hutang dengan uang jelas merupakan cara yang paling murah untuk
menangani masalah tersebut, karena sama sekali tidak akan melibatkan biaya
bunga. Namun itu bukanlah pemecahan yang memuaskan, karena mengganti
hutang dengan uang akan menaikkan likuiditas dalam jumlah besar, yang
menimbulkan kenaikan tingkat pemintaan agregat dan inflasi yang berlebihan.
Dipandang dari sudut ini, tujuan menerbitkan surat hutang dan bukan
uang (atau mengganti hutang jatuh tempo yang beredar dengan hutang baru dan
bukan menguangkannya) adalah membeli likuiditas. Para investor harus
diyakinkan untuk memiliki surat hutang dan bukan uang, dan cara melakukan hal
ini adalah dengan membayar mereka. Timbul pertanyaan apakah satu dollar dari
hutang jangka pendek bermanfaat mengurangi likuiditas seperti satu dollar dari
hutang jangka panjamg. Jika hutang jangka panjang membuat penanamnya
kurang likuid, mungkin beralasan bagi Departemen Keuangan untuk menerbitkan
surat berharga seperti itu, sekalipun biaya bunga agak lebih tinggi. Jadi prinsip
meminimisasikan biaya bunga harus dinilai kembali karena adanya pembelian
likuiditas pada jangka yang lebih murah, yang tidak selaras dengan tujuan
kebijakan stabilisasi.
Hutang pemerintah lokal sekarang melebihi $500 milyar dan telah naik
dengan jumlah tahunan rata-rata sekitar $15 milyar selama dekade lalu. Persentase
kenaikannya agak di bawah hutang pemerintah dan GNP. Hutang ini sebagian
besar berjangka panjang dan mengmbil berbagai bentuk, temasuk obligasi umum
dan obligasi pendapatan khusus. Yang terakhir dikeluarkan oleh instansi tertentu
atau perusahaan umum, seperti perusaahaan listrik dan air minum yang dikelola
oleh negara bagian, kotapraja, atau subdivisi lain, dan laba perusahaan itu
digadaikan untuk membiayai pelunasan hutang. Biaya penyediaan dana bagi
berbagai juridiksi peminjamaman merupakan faktor penting bagi ketentuan
pelayanan lokal dan negara bagian yang melibatkan pengeluaran modal yang
besar, misalnya jalan raya dan bangunan sekolah. Pengeluaran seperti itu sangat
penting baik dari sudut pandang nasional, negara bagian maupun lokal. Dengan
demikian, peminjaman ncgara bagian dan lokal merupakan aspek tambahan dari
federalisme fiskal.
Dukungan terhadap pinjaman negara bagian dan lokal atas dasar lebih
selektif, seperti halnya hibah menurut kategori tertentu, mungkin lebih dapat
B A B XIII
DASAR-DASAR PERPAJAKAN
Penerimaan Pajak
Pajak adalah pungutan yang ditarik dari masyarakat tanpa mengakibatkan
timbulnya kewajiban bagi pemerintah terhadap pihak pembayar. Menurut
sifatnya, pajak adalah wajib. Kewajiban pajak menurut undang-undang dapat
dipaksakan. Sedangkan terhadap pelanggar peraturan perpajakan dapat dikenai
hukuman yang berlaku. Di Indonesia, sumber penerimaan pajak adalah yang
terbesar.
1. Debt Finance
2. Government Induced Inflation
3. Donations
4. User Charges
5. Government Enterprise
6. Lottery
Prinsip-Prinsip Pajak
Pada awal bab digambarkan bahwa pajak tidak hanya berfungsi sebagai
penggalangan dana masyarakat untuk membiayai pengeluaran publik, tetapi juga
dapat difungsikan sebagai regulator (pengatur). Untuk mengoptimalkan
pelaksanaan kedua fungsi tersebut, kebijakan perpajakan harus berlandaskan pada
prinsip-prinsip yang relevan. Teori Adam Smith yang terkenal mengenai prinsip-
prinsip pengenaan pajak mengacu pada empat hal yaitu:
1. Prinsip keadilan (equity)
2. Prinsip kepastian (certainty)
3. Prinsip kenyamanan (convenience)
4. Prinsip ekonomi (economy)
Gambar 11.1
Tarif Pajak
Titik-titik pembebanan dalam siklus pajak adalah segala sesuatu yang
dapat dikenakan pajak atau biasa disebut objek pajak. Sedangkan jumlah pajak
yang dipungut dihitung dengan mempergunakan tarif pajak. Jika dilihat dari
sudut pandangan dasar penentuan tarif pajak, secara umum terbagi atas tiga
bentuk yaitu:
1. Proportional (flat) tax rate
2. Progressive tax rate
3. Regressive tax rate
Proportional (flat) tax rate adalah pengenaan pajak dengan tarif dalam
persentase tertentu dengan tidak melihat perubahan pendapatan individu. Dengan
kata lain, berapapun jumlah kemampuan membayar seorang wajib pajak, jumlah
pengenaan tarif pajaknya sama. Sebagai ilustrasi, jika pendapatan yang diterima
oleh wajib pajak naik sebesar 100%, maka secara otomatis jumlah pajak yang
terhutang menjadi naik sebesar 100%. Tabel dibawah ini akan menggambarkan
bagaimana pajak proportional diterapkan.
Progressive tax rate adalah pengenaan pajak dengan tarif meningkat seiring
dengan peningkatan pendapatan individu. Dengan kata lain, jumlah pendapatan
yang lebih besar yang diterima oleh wajib pajak, akan dikenakan tarif yang lebih
besar pula. Sebagai ilustrasi, jika kemampuan membayar seorang wajib pajak naik
sebesar 100%, jumlah pajak yang terhutang menjadi naik melebihi 100%. Tabel
dibawah ini akan menggambarkan bagaimana pajak progessive diterapkan.
Regressive tax rate adalah pengenaan pajak dengan tarif menurun dengan
makin meningkatnya pendapatan wajib pajak. Dengan kata lain, peningkatan
jumlah kemampuan membayar seorang wajib pajak, semakin menurun tarif yang
dikenakan. Sebagai ilustrasi, jika seorang wajib pajak mendapat kenaikan
pendapatan sebesar 100%, maka jumlah kenaikan pajaknya kurang dari 100%.
Tabel dibawah ini menggambarkan bagaimana tarif pajak regressive diterapkan.
Pajak perseorangan adalah pajak yang dikenakan kepada orang per orang
yang memperoleh penghasilan dimana besarnya jumlah yang terhutang
disesuaikan dengan kemampuan untuk membayar pajak. Pajak perseorangan
dikenakan atas transaksi rumah tangga berupa pendapatan dan konsumsi. Untuk
menentukan kemampuan seseorang dalam membayar pajak atas pendapatan
(personal income tax), maka seluruh sumber pendapatan perseorangan harus
digabung sebagai basis pembayar pajak. Sedangkan jika konsumsi juga akan
dikenai pajak, maka pajak perseorangan diterapkan dalam bentuk pajak
pengeluaran perseorangan (personal expenditure tax)
Pajak in Rem adalah pajak atas aktivitas atau obyek tertentu misalnya
pembelian, penjualan, atau pemilikan harta kekayaan. Aktivitas atau objek yang
dikenakan pajak tidak terkait dengan karakteristik pihak-pihak yang melakukan
transaksi atau pemiliknya. Siapapun yang melakukan aktivitas-aktivitas tertentu
atau memiliki objek-objek pajak tertentu, wajib membayar pajaknya. Pajak in Rem
dapat dikenakan atas rumah tangga atau badan usaha. Pajak atas transaksi jual beli
yang dikenakan terhadap perusahaan akan dapat diperlakukan juga terhadap
semua rumah tangga yang melakukan transaksi. Hal yang sama juga berlaku
ketika mengenakan pajak terhadap harta kekayaan, yang berkaitan dengan nilai
kekayaan dari perseorangan atau perusahaan.
Pajak tidak langsung adalah pajak yang tidak dipungut secara berkala dan
dapat beralih sampai dengan penanggung akhir beban tersebut. Sifat pemungutan
pajak ini cukup sederhana dan biasanya dikaitkan dengan adanya kejadian
tertentu. Maka hampir semua pajak in Rem. Pajak pertambahan nilai dan cukai
merupakan pajak tidak langsung. Pengertian dari pajak cukai adalah pajak tidak
langsung yang diterapkan atas penjualan barang-barang manufaktur tertentu.
Beberapa kebaikan dan kekurangan dari pajak tidak langsung, menurut
Suparmoko adalah sebagai berikut:
Kebaikan:
1. Pajak tidak langsung cenderung lebih stabil digunakan sebagai sarana
penerimaan negara dibanding pajak langsung. Jumlah nilai yang diperoleh
melalui pajak tidak langsung cenderung lebih mudah diprediksi.
2. Pengenaan pajak dapat mengikutsertakan seluruh lapisan masyarakat
tanpa memandang besar kecilnya penghasilan yang diperoleh. Tanpa
pandang bulu, semua yang melakukan transaksi atau kejadian tertentu,
diwajibkan melunasi pajak yang tertenggung.
3. Biaya-biaya yang ditimbulkan akibat adanya penerapan pajak tidak
langsung relatif lebih murah dibanding pajak langsung. Dikarenakan
kesederhanaan landasan aturan yang dipakai, tidak diperlukan banyak
perangkat yang bertujuan untuk mensosialisasikan aturan tersebut.
Kekurangan:
1. Kurangnya rasa berkeadilan antara golongan masyarakat yang
berpenghasilan tinggi dengan masyarakat berpenghasilan rendah. Hal ini
dikarenakan kedua golongan tersebut dibebani tarif pajak yang sama
untuk setiap transaski atau kejadian tertentu.
2. Karena dimungkinkannya terjadi penggeseran beban pajak kepada
golongan wajib pajak lainnya, penanggung akhir dari beban pajak tidak
langsung belum tentu sesuai dengan target awal. Hal ini tergantung dari
tingkat elastisitas kurva permintaan dan penawaran untuk barang-barang
terkena pajak tidak langsung. Sebagai contoh, apabila kurva permintaan
suatu barang adalah elastis sempurna maka seluruh beban pajak tidak
langsung akan menjadi tanggungan produsen. Dengan kata lain, dalam
kondisi seperti itu beban pajak tidak langsung tidak dapat dialihkan
kepada konsumen.
Menurut studi yang pernah dilakukan, pajak yang diterima sebagian besar
negara-negara berkembang lebih banyak dari kategori pajak tidak langsung. Hal
ini terutama diakibatkan sulitnya melakukan administrasi yang baik dan teliti
untuk menerapkan pajak langsung. Sedangkan untuk negara-negara maju,
peranan kebijakan fiskal adalah sangat penting. Akibatnya, pajak langsung lebih
banyak digunakan dalam instrumen fiskal di negara-negara tersebut.
B A B XIV
P yang memenuhi seluruh aspek keadilan. Tidak ada suatu kebijakan yang
bisa memuaskan seluruh pelaku ekonomi. Suatu kebijakan dianggap adil
jika dilihat dari satu sisi, tetapi kurang adil dari sisi yang lain. Untuk itu perlu
dibandingkan prinsip-prinsip yang menerangkan bagaimana konsep keadilan
dapat dibakukan. Lebih lanjut pembahasan keadilan perpajakan dikaitkan dengan
beberapa jenis pajak.
Prinsip Manfaat
Setiap orang setuju bahwa sistem perpajakan harus adil, dimana setiap
wajib pajak harus memberikan kontribusinya yang layak untuk membiayai
kegiatan pemerintah. Pendekatan pertama adalah prinsip manfaat (benefit
principle). Suatu sistem pajak dikatakan adil bila kontribusi yang diberikan oleh
setiap wajib pajak sesuai dengan manfaat yang diperoleh dari jasa-jasa
pemerintah. Berdasarkan prinsip ini, sistem pajak yang adil akan tergantung dari
struktur pengeluaran publik. Oleh karena itu, prinsip manfaat memandang
perekonomian sektor publik sebagai sektor yang melibatkan pengeluaran maupun
penerimaan yang berkesinambungan. Agar prinsip manfaat dapat dilaksanakan,
maka manfaat yang diperoleh wajib pajak atas terjadinya pengeluaran publik
harus diketahui terlebih dahulu. Prinsip manfaat cenderung mengalokasikan
penerimaan pajak untuk membiayai jasa-jasa publik, tetapi tidak terlalu
mempertimbangkan pembiayaan transfer serta tujuan redistributif. Agar sistem
perpajakan dengan prinsip manfaat bisa adil, maka harus diasumsikan bahwa
ketika sistem tersebut mulai diberlakukan, sudah terdapat distribusi yang tepat
dalam perekonomian.
Prinsip keadilan pajak dapat juga dilihat dari sisi yakni penerimaan dan
pengeluaran. Beberapa argumen menyimpulkan keadilan pajak jika misalnya
kenaikan pajak dikompensasikan dengan penyediaan pendidikan dan transportasi
umum yang murah. Juga dapat dikatakan tidak adil jika sumber pendapatan
tertentu dikenakan pajak tinggi, sementara sumber tersebut memiliki kontribusi
yang besar terhadap perekonomian nasional.
I = C + ΔNW
Jika dari sisi pengeluaran, ada item-item pengeluaran yang erat kaitannya
dengan kegiatan memperoleh pendapatan seperti peralatan kerja, pakaian kerja,
iuran serikat pekerja, biaya penitipan anak, dan transportasi dari/menuju tempat
kerja. Pengeluaran-pengeluaran tersebut diperlukan untuk mendapatkan
penghasilan dan tidak menambah kekayaan wajib pajak sehingga layak
dikeluarkan dari jumlah pendapatan kena pajak. Biaya pelatihan juga
diperdebatkan sebagai pengeluaran yang dapat mengurangi pendapatan kena
pajak.
sejumlah uang. Kegiatan tersebut jelas menambah kekayaan bersih wajib pajak,
tapi biasanya luput dari pengenaan pajak.
Contoh lain adalah fringe benefit, dimana seorang wajib pajak misalnya
menerima pinjaman kendaraan yang dapat digunakan untuk keperluan pribadi
atau tunjangan makan yang diberikan tidak dalam bentuk uang. Kesemua itu
dapat dikategorikan sebagai pendapatan yang tidak tercermin dalam gaji yang
tertera (nonpecuniary returns).
akumulasi pendapatan yang tidak kena pajak akibat wajib pajak meninggal dunia,
warisan dikenai pajak seketika setelah wajib pajak diumumkan meninggal dunia.
Pajak penjualan sama sekali tidak dipengaruhi inflasi. Hal ini disebabkan,
hanya porsi penghasilan yang dibelanjakan lah yang kena pajak. Dibandingkan
dengan pajak penghasilan, capital gain harus memperhitungkan tingkat inflasi
sebelum menentukan jumlah kena pajak. Pada pajak penjualan, selisih lebih
kekayaan wajib pajak secara moneter akibat adanya inflasi tidak membuat
kemampuan membayarnya meningkat sebagai akibat wajib pajak tersebut harus
membelanjakan penghasilannya dengan harga yang telah terinflasi.
Banyak pendapat yang setuju jika pajak kekayaan diterapkan. Hal ini
dikarenakan banyak wajib pajak yang berpenghasilan rendah memiliki sejumlah
kekayaan yang mana mereka memungut sewa atas pemanfaatan kekayaan
tersebut oleh orang lain. Jika hal ini terjadi, sulit sekali mengukur berapa jumlah
tambahan pendapatan dari kegiatan sewa tersebut.
B A B XV
Efficiency Effect
Excess Burden adalah tambahan biaya yang membebani masyarakat diatas jumlah
pajak yang seharusnya dibayar. Hal ini mengakibatkan adanya keuntungan yang
hilang akibat terdistorsinya keseimbangan harga pada kurva permintaan dan
penawaran. Excess burden disebabkan adanya kelebihan biaya pajak yang bersedia
dibayar pembeli dibanding jumlah yang diterima oleh penjual. Dengan kata lain,
penurunan pendapatan penjual tidak diikuti dengan peningkatan kuantitas yang
tersedia untuk dibeli. Berkaitan dengan penerimaan negara, terkadang total excess
burden tidak sama dengan total penerimaan negara. Untuk mengukurnya
digunakan efficiency-loss ratio dengan persamaan sebagai berikut:
W = Excess Burden
R = Tax Revenue
pemerintah belum tentu menggunakan dana pribadi atau dengan kata lain dapat
membebankan pajaknya kepada pelaku ekonomi yang lain. Berkenaan dengan
dimungkinkannya memindahkan beban pajak kepada pelaku ekonomi lain secara
keseluruhan atau sebagian (distribusi pembebanan) maka pembahasan tax
incidence dapat dibagi dalam dua konsep yakni statutory incidence dan economic
incidence. Statutory Incidence merujuk pada pelaku-pelaku ekonomi yang secara
hukum terlibat dalam pendistribusian pembebanan pajak. Sedangkan Economic
Incidence lebih mengarah pada pengaruh pendistribusian pembebanan pajak pada
tingkat ekulibrium harga.
Dampak Pajak
Terhadap Sistem Ekonomi Keseluruhan
Secara umum, struktur perekonomian nasional (tanpa pajak) terdiri dari
Pendapatan Nasional (Y), jumlah Konsumsi (C) dan Tabungan (S). Hubungan dari
ketiga unsur tersebut adalah Pendapatan Nasional sama dengan jumlah Konsumsi
ditambah jumlah Tabungan (Y = C + S). Apabila seluruh Tabungan (S) digunakan
sebagai Investasi (S = I), maka tidak akan pernah terjadi inflasi atau deflasi.
Kadang-kadang yang muncul adalah jumlah Tabungan (S) lebih besar dari jumlah
Investasi (I) atau dengan kata lain, tidak semua tabungan digunakan untuk
investasi (S > I) maka akan terjadi kelesuan ekonomi, penurunan harga (deflasi),
dan pengangguran. Yang sering terjadi justru jumlah Tabungan lebih rendah dari
jumlah Investasi (S < I). Kondisi ini menyebabkan kegairahan ekonomi dan
kenaikan harga (inflasi).
Gambar 13.1
Inti dari sembilan petunjuk diatas adalah segala upaya kebijakan pajak
seharusnya difokuskan pada pertumbuhan ekonomi nasional dengan memberikan
insentif pada aktivitas-aktivitas produktif nasional. Walaupun dibeberapa negara
penurunan tarif pajak justru dapat meningkatkan penerimaan negara dan
pertumbuhan ekonomi, penurunan tarif bukanlah satu-satunya cara yang dapat
diambil pemerintah.
Ekonomi yang terus tumbuh dan pasar yang efisien harus terus dijaga
agar kemakmuran masyarakat tidak rusak akibat adanya penerapan kebijakan
perpajakan. Kemungkinan pergeseran titik equilibrium kurva permintaan dan
penawaran harus terus diantisipasi dan terus diawasi dengan memasukkan unsur-
unsur spesifik para pelaku ekonomi setempat.
B A B XVI
PAJAK PENGHASILAN
WAJIB P AJAK PRIBADI
Selama masa revolusi, tidak ada pungutan pajak yang berarti yang dapat
dikumpulkan. Yang ada hanyalah kantor iuran negara yang menerima
pembayaran pajak dari beberapa pedagang. Setelah kedaulatan diserahkan kepada
Pemerintah Indonesia, peraturan perpajakan Belanda dipergunakan kembali
dengan melakukan penataan dan perluasan seperlunya, sehingga sampai dengan
sebelum reformasi perpajakan tahun 1983, pajak-pajak yang berlaku di Indonesia
yang dapat dikelompokkan sebagai pajak penghasilan adalah Pajak penghasilan
(PPd), Pajak Perseroan (PPs) serta Pajak atas Bunga, Dividen dan Royalti (PBDR).
Aturan Utama
Prinsip dasar Pajak Penghasilan adalah bahwa penghasilan wajib pajak
dari semua sumber harus digabungkan menjadi satu angka tunggal ukuran
penghasilannya. Penghasilan total ini kemudian dikurangi dengan pengecualian-
pengecualian dan pengurangan-pengurangan tertentu untuk mendapatkan
penghasilan yang akan dikenakan pajak. Inilah dasar pengenaan pajak yang akan
dikalikan dengan tarip pajak untuk mendapatkan pajak yang menjadi beban bagi
wajib pajak.
Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Penghasilan neto yang telah dihitung
kemudian dikurangkan dengan PTKP. PTKP yang berlaku saat penulisan buku ini
adalah wajib pajak dan pasangannya (masing-masing Rp2.880.000, kecuali bila
pasangannya tidak berpenghasilan maka PTKP-nya Rp1.440.000) ditambah tiga
orang tanggungan (masing-masing Rp1.440.000).
dengan 1994, tarip pajak yang ditetapkan antara 15% sampai dengan 35%, sejak
tahun 1995 tarip pajak diturunkan antara 10% sampai dengan 30%.
Prosedur Pembayaran
Beberapa hal penting berkenaan dengan aspek prosedural utama pajak
penghasilan
Pada saat yang sama, sistem pemotongan pajak juga menimbulkan biaya
tersendiri. Jika tarip pajak yang dipotong ditetapkan cukup tinggi untuk
mendapatkan penerimaan pajak setinggi-tingginya, kelebihan pemotongan pajak
akan dialami oleh para wajib pajak tertentu sehingga para wajib pajak ini yang
secara riil memberikan pinjaman bebas bunga kepada Pemerintah. Pemerintah,
dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak, harus mengembalikan kelebihan
pemotongan ini kepada para wajib pajak tertentu tersebut.
Audit. Sistem dasar yang melandasi Pajak Penghasilan Indonesia adalah self
assessment. Setiap wajib pajak bertanggung jawab untuk menyatakan penghasilan
mereka dan menghitung besarnya pajak penghasilan yang terhutang. Walaupun
Direktorat Jenderal Pajak memeriksa aritmetika perhitungan pajaknya, dalam hal
ini sangat dibantu oleh fasilitas komputer yang dimilikinya, DJP tidak dapat
mengaudit semua SPT yang diterima. Biaya untuk mengaudit semua SPT tersebut
akan sangat besar. Oleh karena itu, pemeriksaan sampel secara acak digunakan
untuk membuat wajib pajak tetap patuh pada peraturan perpajakan. SPT yang
melaporkan hal-hal yang tidak biasa (misalnya biaya yang mengurangi
penghasilan yang sangat besar atau sumber penghasilan yang tidak biasa dapat
diaudit), pada waktu-waktu tertentu kelompok wajib pajak tertentu akan
Imputed Income
Beberapa orang memiliki aset yang memberikan penghasilan kas; yang lainnya
memiliki barang-barang konsumsi jangka panjang yang memberikan imputed
income, contohnya adalah rumah yang ditinggali pemiliknya. Pemilik
mendapatkan imputed rent yang sama dengan penghasilan yang ia dapatkan
apabila ia menyewakan rumahnya. Karena kenaikan kemampuan (accretion)
didefinisikan sebagai peningkatan kekayaan bersih dan konsumsi, nilai dari
konsumsi yang imputed tersebut harus dimasukkan ke dalam basis pajak.
Penghasilan neto, yang condong pada konsep penghasilan kas, tidak
memperhitungkan imputed income. Pengabaian ini menyebabkan ketidakadilan
perlakuan pajak bagi pemilik rumah dan penyewa.
Jika hal ini dilakukan, apakah transfer seperti ini harus dikurangkan dari
basis penghasilan pajak pemberi? Tidak selalu, karena konsep penghasilan
berdasarkan tambahan kemampuan ekonomis, bukannya penggunaan. Juga, tidak
ada keharusan bahwa basis pajak agregat sama dengan penghasilan total yang
didefinisikan dalam pendapatan nasional.
Capital gain
Berkenaan dengan perlakuan pajak terhadap capital gain, debat yang terjadi
berkisar (1) apakah laba yang direalisasikan harus diperlakukan sebagai
penghasilan biasa, dan (2) apakah laba yang tidak direalisasikan harus juga
dipajaki.
Iuran Pensiun. Iuran yang tidak dikenakan pajak penghasilan adalah iuran
pensiun yang dibayarkan kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan
oleh Menteri Keuangan. Hal ini berlaku baik iuran pensiun itu dipotong dari
penghasilan para pegawai maupun dibayarkan atau ditanggung oleh perusahaan.
Pengenaan pajaknya ditunda sampai uang pensiun diterima oleh para pegawai
selama masa pensiun.
Aspek Keadilan. Penghasilan yang sama tidak berarti kemampuan yang sama
untuk membayar jika para wajib pajak berada pada posisi yang berbeda-beda. Hal
ini tidak saja disebabkan oleh ukuran rumah tangga tetapi juga oleh beberapa hal
lainnya. Para wajib pajak dengan tagihan-tagihan darurat yang berat, seperti
tagihan biaya pengobatan yang besar, dapat dikatakan memiliki kemampuan
untuk membayar yang lebih kecil dibandingkan dengan para wajib pajak lainnya
yang tidak menghadapi tagihan-tagihan darurat tersebut. Oleh karena itu, situasi
seperti ini menjadi sangat penting terutama bagi wajib pajak yang berpenghasilan
rendah. Prinsip ini dapat dinyatakan dengan memberikan pengurangan atas
penghasilan untuk biaya pengobatan. Jika dirancang dengan baik, pengurangan
ini tidak saja mendapat dukungan tetapi juga mampu mendorong terciptanya
basis pajak yang lebih adil. Pertimbangan yang sama juga dapat diberlakukan bagi
para wajib pajak yang cacat karena mereka membutuhkan biaya hidup yang lebih
banyak.
Preferensi Pajak
Kita telah mempelajari bagaimana definisi perundang-undangan dari
penghasilan kena pajak, setelah pengecualian-pengecualian dan pengurangan-
pengurangan, yang seharusnya identik dengan konsep teoritis tentang tambahan
kemampuan ekonomis. Perbedaan-perbedaan yang substansial timbul yang
seringkali menyebabkan penghasilan kena pajak jumlahnya di bawah dari yang
ditentukan oleh konsep tambahan kemampuan. Walaupun penentuan kerugian
basis pajak karena suatu hal tertentu masih diperdebatkan, banyak bukti
menunjukkan bahwa kerugian atau penyusutan pendapatan atau pengeluaran
pajak yang telah terjadi jumlahnya cukup besar. Istilah penyusutan pengeluaran
pajak digunakan karena kegagalan memperoleh penerimaan pajak karena lubang-
lubang dalam basis penghasilan kena pajak pada dasarnya adalah sama dengan
memperoleh penerimaan pajak sepenuhnya kemudian melakukan pengeluaran
sehingga wajib pajak tetap pada posisi yang sama. Misalnya, aturan yang
membebaskan pajak atas bunga pinjaman rumah sama dengan mengenakan pajak
sepenuh pada pemilik rumah dan kemudian secara bersamaan melakukan
pengeluaran subsidi kepada mereka.
wajib pajak rata-rata pada berbagai tingkatan penghasilan maupun wajib pajak
tertentu pada satu tingkatan pajak penghasilan, sehingga menimbulkan adanya
ketidakadilan secara vertikal dan horizontal.
Titik awal beban pajak bergantung pada berbagai faktor. Pertama, adanya
PTKP sebesar Rp1.440.000 per wajib pajak, pasangannya dan setiap tanggungan
(maksimal tiga tanggungan). PTKP memperhitungkan ukuran keluarga dengan
asumsi implisit bahwa tambahan tanggungan tidak menciptakan skala ekonomis.
Berdasarkan faktor ini, jumlah PTKP maksimal adalah Rp7.200.000. Di Indonesia,
jumlah maksimal tanggungan adalah tiga orang karena adanya tujuan tambahan
untuk mendukung program keluarga kecil. Hal ini menimbulkan permasalahan
ketidakadilan pajak karena aturan pajak telah terdistorsi untuk memenuhi tujuan-
tujuan nonfiskal. Ketidakadilan didapatkan oleh wajib pajak yang karena sesuatu
dan lain hal harus memiliki jumlah tanggungan lebih dari tiga orang.
Batas bebas pajak tersebut tidak hanya penting dalam menentukan batas
bawah untuk kewajiban pajak, tetapi juga mendominasi kenaikan tarip pajak
efektif atau pola progresivitas pada skala penghasilan menengah ke bawah. Tarip
pajak efektif (yang didefinisikan sebagai rasio pajak terhadap penghasilan neto)
pada tingkat penghasilan neto yang rendah jumlahnya sangat kecil karena porsi
terbesar dari penghasilan neto adalah PTKP. Ketika penghasilan neto naik, jumlah
PTKP turun secara relatif terhadap penghasilan neto, sehingga tarip pajak efektif
naik. Kita dapat mengatakan bahwa PTKP adalah penghasilan yang dikenakan
tarip pajak sebesar nol persen dan merupakan bagian integral dari struktur tarip
pajak. Signifikansi utama dari pemberian PTKP berkaitan erat dengan pola tingkat
pajak efektif pada para wajib pajak dengan penghasilan menengah ke bawah.
keluarga seperti ini, mereka harus menyediakan dana untuk menyewa pengasuh
untuk anak-anak mereka.
Penghasilan Modal
Beberapa permasalahan lanjutan muncul berkenaan dengan perlakuan pajak
terhadap penghasilan modal. Capital gain yang sudah terealisasi, sebagian
dikenakan pajak final dan sebagian lagi dikenakan pajak reguler. Perlakuan yang
sama terhadap capital gain seharusnya hanya akan memajaki laba dalam nilai riil,
bukannya laba dalam nilai nominal. Oleh karena itu, diperlukan penyesuaian
terhadap inflasi.
Aturan 1 tidak perlu penjelasan lebih lanjut karena aturan ini secara
sederhana mewakili persyaratan bahwa hal yang sama harus diperlakukan sama
juga. Ada hal yang perlu dipertegas bahwa aturan ini tidak membedakan
kemampuan untuk membayar dalam konteks unit keluarga apakah penghasilan
diperoleh oleh satu anggota atau lebih. Aturan 2 menunjukkan proposisi bahwa
seorang bujangan dengan penghasilan Rp30 juta memiliki posisi (kemampuan)
lebih baik daripada pasangan dengan total penghasilan keduanya juga sama
dengan Rp30 juta. Walaupun beberapa jenis pengeluaran konsumsi (misalnya
penerangan di ruang tamu) dikonsumsi dalam jumlah yang sama baik oleh satu
orang atau dua orang, pengeluaran-pengeluaran konsumsi lainnya (misalnya kursi
untuk santai) lebih mahal apabila untuk pasangan. Oleh karena itu, perlakuan
yang adil adalah apabila pajak yang dikenakan kepada seorang bujangan tersebut
lebih tinggi daripada pajak yang dikenakan kepada pasangan suami-istri dengan
tingkat penghasilan yang sama. Perbedaan seperti ini (pada jumlah yang layak)
tidak boleh dipandang sebagai pajak yang diskriminatif terhadap seorang
bujangan. Aturan 3 mengikuti secara langsung prinsip progresivitas dan tidak
perlu penjelasan lebih lanjut. Sistem yang mengikuti aturan-aturan keadilan ini
tidak akan mempengaruhi keputusan pernikahan, baik hanya satu orang dari
pasangan yang menikah tersebut yang memiliki penghasilan ataupun kedua-
duanya memiliki penghasilan.
keduanya harus membayar pajak dalam jumlah yang sama, seperti simpulan kita
pada pembahasan tentang imputed income di muka, yang harus dimasukkan
sebagai tambahan kemampuan.
Secara prinsip, imputed income (dalam bentuk gaji yang tidak didapatkan)
dari pasangan yang tidak bekerja harus dimasukkan ke dalam dasar pengenaan
pajak. Selain itu, secara prinsip, prosedur yang sama juga harus diberlakukan
kepada bujangan yang tidak bekerja.
B A B XVII
PAJAK PENGHASILAN
WAJIB P AJAK BADAN
Pandangan Integrasi
Para penganut posisi integrasi memandang permasalahan perpajakan pada
tingkatan perusahaan hanyalah sebagai satu cara memasukkan semua penghasilan
yang bersumber dari perusahaan ke dalam basis pajak penghasilan pribadi.
Proposisi dasarnya adalah pada akhirnya pajak harus menjadi beban pribadi dan
bahwa konsep pajak yang adil hanya dapat dibebankan kepada pribadi. Selain itu,
mereka berpendapat bahwa penghasilan harus dipajaki secara keseluruhan dalam
konsep penghasilan global, tanpa memperdulikan dari mana sumbernya. Bila
mengenakan pajak pada laba, maka laba tersebut ketika didistribusikan dipajaki
dua kali, pertama pada tingkatan perusahaan dalam bentuk pajak penghasilan
badan, dan berikutnya pada tingkatan pribadi sebagai dividen dalam perhitungan
pajak penghasilan pribadi.
diperoleh dari sumber perusahaan) harus dipajaki dengan tarip yang sama. Pada
pajak penghasilan badan, harus ada sumber pungutan pajak penghasilan pribadi
untuk penghasilan yang bersumber dari perusahaan.
Pandangan Absolut
Para penganut pandangan yang berlawanan menyatakan bahwa pendekatan
integrasi memandang perusahaan secara tidak realistis. Perseroan yang dimiliki
publik secara luas – merupakan wajib pajak besar yang menjadi sumber terbesar
penerimaan pajak negara – bukan hanya merupakan instrumen untuk penghasilan
pribadi. Perusahaan adalah entitas legal yang memiliki keberadaan sendiri, pelaku
yang kekuatan besar dalam pengambilan keputusan ekonomi dan sosial,
dioperasikan oleh profesional manajemen yang tidak begitu dikendalikan oleh
pemegang saham secara individu. Oleh karena itu, sebagai entitas yang terpisah,
perusahaan juga mempunyai kapasitas membayar pajak tersendiri, yang dengan
tepat telah dikenakan pajak yang terpisah dan absolut. Apakah laba setelah pajak
yang diperoleh akan dibagikan atau ditahan tidaklah relevan dalam konteks ini.
pajak tambahan pada penghasilan yang bersumber dari perusahaan tetap tidak
tepat. Pajak, dalam kasus ini, menjadi pajak penjualan atau pajak atas upah yang
inferior dan arbiter, tanpa landasan rasional dalam suatu struktur pajak yang adil
(Pajak ini dikatakan inferior karena tarip implisit dari pajak penjualan atau upah
akan bervariasi secara arbiter dengan rasio [marjin] laba atas penjualan atau rasio
laba atas upah dari beberapa perusahaan).
Integrasi Pajak
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, banyak pendapat yang
menyatakan bahwa perusahaan adalah alat untuk mencari penghasilan bagi
pemegang saham dan oleh karenanya sumber penghasilan dari perusahaan
diintegrasikan ke dalam pajak penghasilan pribadi. Apakah penyesuaian-
penyesuaian yang diperlukan dalam struktur pajak untuk mencapai tujuan ini?
Integrasi Penuh
Untuk menjamin integrasi sepenuhnya, penyesuaian harus mengintegrasikan
perlakuan pajak baik untuk laba yang ditahan maupun distribusi dividen. Hal ini
dapat dicapai baik dengan menggunakan metode partnership atau melalui
pengenaan pajak sepenuhnya atas capital gain.
Prosedur ini tampaknya cukup adil, dan cara ini yang diusulkan sebagai
prosedur standar oleh para ahli pajak. Akan tetapi, beberapa kesulitas dengan
metode ini perlu dikemukakan. Ada pendapat bahwa wajib pajak tidak
diharuskan membayar pajak atas penghasilan yang tidak mereka terima. Oleh
karena itu, adalah tidak adil bila memasukkan laba yang ditahan ke dalam
penghasilan kena pajak pribadi. Keberatan ini sama dengan yang dikemukakan
dalam pembahasan pajak atas laba yang belum direalisasikan, tetapi tidak begitu
meyakinkan. Satu hal penting, sebagian besar bagian dari pajak akan dibayar pada
sumber pemotongan, sehingga tidak menimbulkan permasalahan likuiditas pada
pemegang saham. Sisanya, terutang apabila tarip pajak marjinal yang dikenakan
kepada pemegang saham melebihi tarip potongan, dapat dibayar dengan menjual
sebagian saham. Pendekatan ini tidak memungkinkan untuk perusahaan yang
bukan perseroan publik yang sahamnya tidak diperdagangkan, tetapi para
pemegang saham dapat meningkatkan rasio yang dibayarkan sebagai dividen
untuk mendapatkan kas yang dibutuhkan.
Metode Capital gain. Cara lainnya untuk mencapai integrasi sepenuhnya adalah
dengan mengenakan pajak sepenuhnya atas semua capital gain (termasuk yang
belum direalisasikan), dikombinasikan dengan penghapusan pajak atas laba.
Bagian yang didistribusikan akan muncul dalam penghasilan pemegang saham
sebagai dividen, sedangkan bagian yang tidak dibagikan akan muncul sebagai
capital gain. Cara ini tidak memerlukan penentuan laba kena pajak untuk
perusahaan. Dalam pendekatan ini, pengenaan pajak secara periodik dapat
digabungkna dengan pajak atas pemindahan aset. Dengan ketiadaan pajak pada
tingkatan perusahaan, insentif investasi seperti kredit pajak atas investasi harus
diberikan pada tingkatan pemegang saham atau diberikan langsung sebagai
subsidi kepada perusahaan.
Integrasi Parsial
Bila integrasi sepenuhnya telah didiskusikan selama beberapa tahun, cara ini tidak
pernah dipandang sebagai cara yang realistis. Akan tetapi, beberapa praktik di
negara maju telah memunculkan sampai tingkatan tertentu suatu integrasi parsial.
Misalnya, di AS sebelum tahun 1986, pendapatan dividen maksimal sebesar $200
dikecualikan dari penghasilan kena pajak. Perlu diingat, keringanan ini diberikan
dalam bentuk pengecualian dan bukannya kredit pajak. Akibatnya, manfaatnya
bagi penerima dividen akan meningkat sejalan dengan tarip pajak marjinalnya,
sehingga menguntungkan wajib pajak yang berpenghasilan besar. Sejak tahun
1986, pengecualian dividen ini ditiadakan dan tarip pajak atas perusahaan
disesuaikan ke tingkat tarip pajak untuk pajak penghasilan pribadi. Cara ini
dipandang sebagai mendekati perlakuan yang terintegrasi untuk laba yang tidak
dibagi, tetapi pajak berganda tetap berlaku bagi dividen.
Karena pajak perusahaan adalah pajak atas laba bersih, semua biaya usaha
harus dikurangkan dalam menghitung penghasilan kena pajak. Dalam hal
pembayaran gaji dan upah atau pembelian bahan mentah, pengurangan dapat
dilakukan ketika pembayaran terjadi. Dalam hal investasi modal, pengurangan itu
dilakukan selama beberapa periode. Peraturan perundang-undangan harus
menentukan pada tarip berapa para investor diperbolehkan untuk memperoleh
kembali biaya investasi mereka. Kapan waktu perolehan kembali biaya modal
sangat penting karena nilai tunai dari kewajiban pajak berkurang ketika
penyusutan dibebankan. Pengurangan biaya modal memunculkan penghematan
pajak bagi investor, dan akan lebih besar bila biaya modal dikurangkan lebih
cepat. Oleh karena itu, nilai tunai dari pajak dan juga pengurangan atas
penghasilan tidak hanya bergantung pada tarip pajak tetapi juga pada kapan
pengurangan penyusutan diperbolehkan. Faktor-faktor ini melibatkn jangka
waktu penyusutan dibebankan dan kecepatan hasilnya dalam interval ini.
Lama Masa Manfaat. Jangka waktu periode di mana investasi dapat diperoleh
kembali atau penyusutan dibebankan pada umumnya telah ditetapkan sesuai
Seperti yang ditunjukkan pada tabel di bawah ini, nilai tunai dari
penyusutan yang paling tinggi apabila menggunakan metode penyusutan saldo
menurun daripada engan menggunakan metode garis lurus, dan perbedaan
semakin besar dengan semakin lamanya masa manfaat. Simpulan yang sama juga
berlaku apabila kita membandingkan metode jumlah angka tahun dengan metode
garis lurus. Bila kita membandingkan antara metode saldo menurun dengan
metode jumlah angka tahun, metode saldo menurun lebih menguntungkan pada
aset-aset berumur pendek dan metode jumlah angka tahun lebih menguntungkan
pada aset-aset yang berumur panjang.
Jumlah Angka
Masa Manfaat Garis Lurus Saldo Menurun Tahun
(I) (II) (III) (IV)
DISKONTO 6 PERSEN
5 86.750 87.811 87.515
10 75.787 78.716 79.997
20 59.055 64.661 67.680
50 32.460 40.935 44.756
DISKONTO 10 PERSEN
5 79.534 81.100 80.614
10 64.469 68.528 70.099
20 44.663 51.539 54.697
50 20.806 28.829 31.439
Tarif efektif dari pajak bergantung pada tarip nominal (sekarang 30 persen untuk
perusahaan) dan tingkat penyusutan yang diperbolehkan. Semakin cepat tingkat
penyusutannya, semakin rendah tarip efektif pajaknya. Ketika
mempertimbangkan suatu investasi, investor akan menimbang nilai tunai dari
arus laba bersihnya terhadap biaya perolehan dari aset. Nilai tunai ini sama
dengan nilai tunai dari arus laba sebelum pajak dikurangi dengan nilai tunai dari
pembayaran pajaknya. Nilai tunai dari pajak dapat dipandang sama dengan nilai
tunai dari pajak kotor (sebelum dikurangi dengan penyusutan yang
diperbolehkan) dikurangi dengan nilai tunai dari penghematan pajak karena
penyusutan. Jika komponen negatif ini menjadi semakin besar seperti yang
ditunjukkan pada tabel di ataas, pajaknya akan semakin turun, semakin cepat
penyusutan dilakukan. Hasilnya demikian karena nilai tunai dari penghematan
pajak akan semakin tinggi ketika penghematan pajak tersebut semakin cepat
terealisasi. Mempercepat penyusutan (baik dengan cara memperendek periode
penyusutan atau membolehkan menyusutkan jumlah yang besar pada awal-awal
masa guna aset) akan mengurangi tarip efektif pajak dengan menunda tanggal
jatuh tempo dari kewajiban pajak. Dari sudut pandang investor, percepatan ini
ekuivalen dengan pinjaman tanpa bunga, dengan nilai tunai dari penghematan
bunganya sama dengan nilai tunai dari penghematan pajak yang dihasilkan.
Bila hanya melihat satu investasi saja, hal ini tidaklah sulit. Pemerintah
akan mengalami kerugian dari semakin cepatnya penyusutan yang diperoleh oleh
wajib pajak dan oleh karenanya beban yang sama – yang didefinisikan sebagai
nilai tunai dari pajak – dapat diberlakukan dengan berbagai kombinasi tarip pajak
dan tarip penyusutan. Suatu tarip pajak yang lebih rendah dan penyusutan yang
lebih lambat akan memberikan nilai tunai pajak yang sama dengan suatu tarip
pajak yang lebih tinggi dan penyusutan yang lebih cepat. Jika semua investasai
sama, tidak akan menjadi masalah kombinasi mana yang dipilih yang memberikan
kepada pemerintah arus pendapatan yang tertentu. Kesulitan akan muncul karena
investasi berbeda dalam jangka waktu dan keuntungan sehingga menghasilkan
pendapatan yang berbeda dalam berbagai kebijakan, padahal investasi-investasi
ini harus diperlakukan sama, baik dalam hal keadilan (investor dengan
penghasilan yang sama harus membayar pajak yang sama besar), maupun dalam
hal netralitas (pajak tidak boleh mendistorsi pola investasi). Pola penyusutan
seperti apa yang diperlukan untuk memastikan definisi penghasilan yang adil dan
netral?
dengan asumsi bahwa masa guna yang dipercepat merupakan masa guna
sebenarnya dan jejak waktu dari arus penghasilannya.
Pembebanan Sekaligus
Biaya gaji dan pembelian bahan dikurangkan ketika terjadi investasi. Biaya-biaya
ini langsung dibebankan pada biaya investasi. Apa yang akan terjadi bila hal yang
sama juga dilakukan terhadap pengeluaran modal, yaitu bila percepatan
dilakukan sampai titik ekstrem dan biaya investasi dibebankan ketika terjadi?
Seorang investor yang melakukan investasi tunggal mungkin tidak akan dapat
memanfaatkan penghapusan segera tersebut. Investor tersebut mungkin tidak
dapat merealisasikan penghematan pajak (tax savings) sampai diperoleh
pendapatan (laba) yang cukup di mana penyusutan akan dibebankan. Misalkan
suatu perusahaan memiliki penghasilan dari investasi lain yang dapat digunakan
untuk pembebanan tersebut, investor tidak perlu membayar pajak dan pemerintah
tidak memperoleh pendapatan pajak.
Hasilnya bergantung pada struktur dan tingkah laku pasar yang ada.
Beberapa struktur industri sering terjadi apa yang disebut administered pricing,
yaitu penentuan harga bukan berdasarkan mekanisme pasar. Pemindahan beban
dengan cara penyesuaian administered pricing (dibedakan dengan pemindahan
beban karena perpindahan faktor dan perubahan pasokan faktor dalam pasar yang
kompetitif) tidak dapat dianggap tidak ada. Hal yang sama juga berlaku pada
pasar tenaga kerja yang terorganisir.
inipun tidak dapat menghasilkan pandangan yang cukup jelas karena perubahan
tarip pajak tidak berlangsung secara sering.
Jika tarip pajak akan ditetapkan progresif maka harus didasarkan pada
alasan-alasan lain, seperti menahan ukuran bisnis sehingga tidak terlalu besar atau
mendukung usaha-usaha kecil. Jika tujuan menahan ukuran bisnis yang
Tarip awal yang rendah. Pemerintah dapat pula memberikan bantuan kepada
UKM dengan mengenakan tarip awal pajak yang rendah. Penggunaan tarip awal
yang rendah tidak banyak manfaatnya bagi usaha-usaha besar. Walaupun tarip
awal yang rendah ini dapat digunakan oleh wajib pajak pribadi untuk mengurangi
pajaknya. Hal ini dapat dihindari dengan membuat aturan pajak berbeda untuk
wajib pajak pribadi. Permasalahan lain yang dapat muncul adalah aturan ini dapat
dimanfaatkan oleh perusahaan besar dengan memecahnya menjadi unit-unit kecil
dengan melakukan spin off. Permasalahan ini dapat diatasi dengan memberikan
penalti kepada suatu perusahaan holding yang memiliki banyak anak perusahaan.
B A B XVIII
Hal yang paling penting adalah pajak penjualan berbeda dari pajak
penghasilan dalam hal pajak ini merupakan pajak in rem bukannya pajak pribadi.
Oleh karenanya, dalam pajak penjualan tidak membolehkan situasi-situasi pribadi
konsumen sebagaimana halnya dalam pajak penghasilan individu dengan aturan-
aturan pengecualian, pengurangan, dan tarip progresif. Oleh karena itu, pajak
penjualan inferior baik dalam hal keadilan vertikal maupun keadilan horizontal.
Pajak Pertambahan Nilai atas Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas
Barang Mewah diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 1984, yang telah
Tidak semua konsumsi barang dan jasa dikenakan pajak. Jenis barang
yang tidak dikenakan PPN adalah:
- Barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung
dari sumbernya.
- Barang-barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat
banyak.
- Makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan,
warung dan sejenisnya.
- Uang, emas batangan, dan surat-surat berharga.
Jasa-jasa yang tidak dikenakan PPN cukup banyak, seperti jasa pelayanan
kesehatan, jasa pelayanan sosial, jasa pengiriman surat dengan perangko, jasa
keuangan, jasa keagamaan, jasa pendidikan dan lain-lain.
Cukai
Cukai adalah pungutan atau pajak yang dikenakan terhadap konsumsi barang-
barang tertentu. Pada prinsipnya, cukai adalah pajak atas konsumsi, seperti pajak
penjualan, tetapi hanya dikenakan pada barang-barang tertentu seperti tembakau,
gula, bensin dan minuman keras. Cukai merupakan hak atas pemerintah pusat.
ad valorem lebih berarti daripada bentuk per unit, seperti yang telah dibahas dalam
bab-bab sebelumnya.
sama dengan yang dipakai dalam pajak atas penghasilan kotor, dalam hal ini
penghasilan sebelum perhitungan penyusutan. Pajak jenis ini memiliki kelemahan
dalam hal keadilan dan efisiensi. Dalam hal keadilan, pajak ini akan melanggar
prinsip dasar pajak penghasilan yang menyatakan bahwa penghasilan dari semua
sumber harus dikenakan pajak sepenuhnya, tetapi dalam jumlah netonya. Dalam
hal efisiensi, pajak ini akan memberikan perlakuan diskriminatif yang
mengecualikan penghasilan yang ditabung (tidak dikonsumsikan) yang dalam
pajak penghasilan tidak dikecualikan.
Kelemahan ini akan hilang bila pajak hanya dikenakan pada basis yang
sama dengan Pendapatan Nasional atau GNP dikurangi dengan pajak-pajak tidak
langsung dan penyusutan. Pajak seperti ini akan memiliki basis yang sama dengan
pajak penghasilan dan dapat diselenggarakan dengan menggunakan pajak
pertambahan nilai jenis penghasilan. Karena basis penghasilan telah digunakan
dalam pajak pribadi dengan pengenaan pajak penghasilan, satu-satunya basis
yang tersisa sebagai kandidat basis pajak adalah basis konsumsi. Basis inilah yang
paling banyak digunakan dalam pajak penjualan.
Tahap Pengenaan
Keputusan mengenai tahap pengenaan melibatkan pilihan tahapan mana yang
terbaik bagi pengenaan pajak satu kali dan pilihan mengenakan pajak satu kali
atau beberapa kali. Bilamana penetapan cakupan pajak merupakan hal yang
substantif dalam menentukan jenis pajak yang akan diberlakukan, pemilihan
tahap pengenaan lebih merupakan masalah administratif dalam rangka efisiensi
penerapan pajak atas basis yang dipilih.
Saat Produksi versus Saat Penjualan Eceran. Bila menggunakan pajak yang
dikenakan satu kali, pilihan pengenaan pajak biasanya antara saat selesai produksi
atau saat dijual secara eceran kepada konsumen.
Jika pajaknya bersifat umum, pengenaan pada saat penjualan eceran lebih
baik karena memungkinkan pengenaap tarip ad valorem yang seragam. Pengenaan
pajak ad valorem dengan tarip yang sama pada tingkatan produksi menghasilkan
tarip ekuivalen yang tidak sama dengan pengenaan pada tingkatan penjualan
eceran, karena rasio harga eceran terhadap harga produksi berbeda-beda untuk
berbagai produk. Pengenaan tarip yang berbeda untuk menghilangkan perbedaan
ini akan sangat sulit dan merupakan cara yang tidak seefisien dan seefektif
pengenaan pajak pada tingkatan penjualan eceran.
Saat Penjualan Eceran versus Pertambahan Nilai. Pertanyaan lebih lanjut adalah
apakah pajak harus dikumpulkan dalam satu kali pengenaan dan pada titik
penjualan final atau apakah dikumpulkan secara bertahap dengan menggunakan
prosedur nilai tambah. Dengan cara kedua, nilai produk dibagi dalam potongan-
potongan (nilai tambah pada setiap tahapan) di mana pajak dikenakan pada
tahapan-tahapan sepanjang proses produksi. Walaupun ada perbedaan dalam
teknik, basis nilai tambah dari pajak penjualan jenis konsumsi sama dengan basis
penjualan eceran, hanya cara penagihannya yang berbeda. Pemilihan keduanya
lebih didasarkan pada kemudahan administrasi. Penggunaan pendekatan
beberapa tahapan dalam konteks pertambahan nilai harus dibedakan dengan yang
sebelumnya dibahas dalam diskusi tentang pajak atas perputaran
Jenis Penghasilan. Pendekatan nilai tambah ini, seperti yang telah dibahas
sebelumnya, juga dapat digunakan untuk menyelenggarakan pajak penjualan
pada produk neto. Anggaplah tujuannya adalah mengenakan pajak pada NNP,
yang sama dengan GNP dikurangi cadangan untuk konsumsi modal atau
penyusutan. Pajak seperti ini dapat dikenakan dalam bentuk beberapa tahapan
dengan mengenakan pajak pada nilai bersih yang ditambahkan oleh setiap
perusahaan, dengan nilai bersih didefinisikan sebagai penerimaan kotor dikurangi
nilai bersih dari barang setengah jadi dan penyusutan. (Catatan: Pajak ini tidak
dapat dikenakan sebagai pajak atas total nilai bersih dari barang pada saat
penjualan terakhir dilakukan karena prosedur ini mengharuskan pencatatan biaya-
biaya penyusutan yang dibebankan oleh semua produsen sepanjang lini produksi.
Jadi, hanya pendekatan nilai tambah yang layak digunakan apabila pajak
penjualan akan dikenakan pada produk neto). Hasil yang sama dapat diperoleh
dengan menerapkan pajak penghasilan umum karena basis suatu pajak produk
neto dan pajak penghasilan pada dasarnya sama. Pajak pertambahan nilai jenis
penghasilan berbeda dari jenis konsumsi dalam hal jenis penghasilan
Jenis Konsumsi. Basis untuk pajak pertambahan nilai jenis ini didefinisikan
sebagai pendapatan bruto perusahaan dikurang nilai dari seluruh pembelian
produk-produk setengah jadi (bahan mentah dan barang dalam proses) dan juga
pengeluaran modalnya atas pabrik dan peralatan-perakatan. Dengan
membolehkan setiap perusahaan untuk mengurangkan pengeluaran modalnya,
yang tersisa hanyalah nilai dari output barang konsumsi saja. Pajak seperti ini
akan sama dengan pajak penjualan eceran umum atas barang konsumsi, dengan
perbedaan hanya pada prosedur administrasi saja.
PERUSAHAAN
A B C Ekonomi
Pendapatan
01. Penjualan barang konsumsi - 70 151 221
02. Penjualan produk setengah jadi 120 145 - 265
03. Penjualan barang modal - 100 - 100
Biaya
05. Upah, bunga, laba, dsb. 100 80 90 270
06. Pembelian produk setengah jadi - 120 45 165
07. Penyusutan 20 15 16 51
Biaya Modal
09. Pembelian barang-barang modal - - 100 100
Basis-basis pajak
10. Basis konsumsi (baris 04 dikurangi baris 06 dikurangi baris 09) 120 195 6 321
11. Basis penghasilan (baris 04 dikurangi baris 06 dikurangi baris 07) 100 180 90 370
12. Basis GNP 120 95 106 321
Basis konsumsi, seperti yang ditunjukkan pada baris 10, dihitung untuk
setiap perusahaan dengan mendapatkan angka penjualannya dan dikurangi
dengan pembelian barang-barang setengah jadi dan barang-barang modal (baris 06
dan 09). Basis penghasilan, seperti yang ditunjukkan pada baris 11, dihitung untuk
setiap perusahaan dengan cara penjualan dikurangi dengan biaya barang-barang
setengah jadi dan penyusutan (baris 06 dan 07). Basis GNP, seperti yang
ditunjukkan pada baris 12, akan sama dengan penjualan total (baris 04) dikurangi
pembelian barang-barang setengah jadi (baris 06). Penjumlahan basis-basis pada
setiap perusahaan ini menghasilkan basis-basis untuk seluruh ekonomi, seperti
yang ditunjukkan pada kolom terakhir. Jumlah total basis-basis ini sama dengan
nilai dari konsumsi, pendapatan nasional, dan GNP yang ditentukan dalam
perhitungan pendapatan nasional.
Metode Penagihan
Bila kita melihat jenis konsumsi dari pajak pertambahan nilai, kita akan
menghitung basis pajak untuk setiap perusahaan adalah penjualan dikurangi
dengan pembelian-pembelian barang-barang setengah jadi dan barang modal. Bila
perhitungan pajak telah selesai, ada dua cara untuk menagihnya. Pertama, dikenal
dengan nama metode perhitungan, yaitu metode yang meminta perusahaan
membayar pajak atas basis yang telah dihitung tersebut. Kedua, metode faktur,
yaitu metode yang mengharuskan perusahaan menghitung pajak brutonya dengan
mengalikan tarip pajak terhadap total penjualan dan mengkreditkan atas pajak
bruto ini jumlah yang sama dengan pajak yang telah dibayarkan oleh para
pemasok yang barang-barang setengah jadi dan barang-barang modalnya dibeli
oleh perusahaan. Dengan membuat aturan bahwa kredit pajaknya bergantung
pada penyajian bukti setor pajak yang dilakukan oleh para pemasok, metode
faktur memiliki elemen ketaatan karena setiap pembeli akan meminta salinan dari
bukti setor tersebut. Metode ini cocok di negara yang ketaatan pajaknya rendah.
Simpulan
Kita telah melihat bahwa pajak pertambahan nilai jenis konsumsi memiliki basis
yang sama dengan pajak penjualan eceran dengan cakupan yang sama. Bila
demikian, mengapa harus ada perbedaan pendapat yang cukup tajam mengenai
mana di antara kedua pajak ini yang lebih baik?
Satu perbedaan berkaitan dengan persoalan politik dari kedua pajak ini.
Pendukung pajak pertambahan nilai merasa bahwa pajak ini tampak berbeda
sehingga tidak terkontaminasi reputasi buruk dari pajak penjualan eceran, yang
mungkin saja menjadi atau tidak menjadi masalah. Jika pajak bruto pengecer
disajikan sebagai bagian terpisah dari harga-harga bagi para konsumen, konsumen
akan menyadari adanya pajak pada kedua pendekatan ini. Selain pertimbangan
politis, ada beberapa perbedaan teknis dalam implementasi yang cukup penting.
Cukai
Pada diskusi kita sebelumnya tentang tax incidence dari pajak penjualan, kita
menyimpulkan bahwa distribusi beban pajak berdasarkan kelompok penghasilan
didominasi dari sisi penggunaan, yaitu berdasarkan pola pengeluaran konsumsi
atas produk yang dipajaki. Beban dari pajak atas barang-barang kebutuhan sehari-
hari cenderung regresif, sedangkan beban dari pajak atas barang-barang mewah
cenderung progresif. Karena sebagian besar cukai dikenakan atas barang-barang
konsumsi masal, seperti minuman beralkohol dan rokok, bebannya cenderung
regresif. Selain itu, cukai bersifat diskriminatif di antara konsumen dengan
penghasilan yang sama tetapi dengan preferensi yang berbeda. Oleh karena itu,
cukai memiliki peringkat yang rendah dalam hal keadilan horizontal dan vertikal.
Dan juga, karena hanya dikenakan pada barang-barang tertentu, cukai akan
menimbulkan biaya efisiensi yang lebih besar daripada pajak yang lebih umum.
memiliki tingkat konsumsi (menabung) yang berbeda karena faktor usia atau
faktor-faktor lainnya. Keluarga-keluarga seperti itu akan membayar jumlah pajak
yang berbeda, sehingga melanggar keadilan horizontal dalam bentuk penghasilan.
Bila dipandang dari keadilan vertikal, suatu pajak penjualan umum akan
proporsional berkenaan dengan tingkat konsumsi tetapi akan regresif berkenaan
dengan tingkat penghasilan, karena konsumsi dalam persentase atas penghasilan
menurun (menabung dalam persentase atas penghasilan naik) sejalan dengan
kenaikan penghasilan. Pola ini kurang regresif bila dihitung dalam jangka waktu
seumur hidup dan bukannya tahunan. Bila dihitung dalam jangka waktu seumur
hidup, penghindaran atas pajak penjualan hanya dapat dilakukan dengan melalui
warisan. Perlu dicatat pula bahwa sifat regresif dari pajak penjualan telah
dimodifikasi dengan mengecualikan beberapa produk konsumsi massal, seperti
makanan.
Akan tetapi, tidak ada dasar logika yang tepat pada kedua basis pajak
yang mengharuskan keduanya sama. Perbedaan progresivitas di antara kedua
jenis pajak ini muncul karena pajak penghasilan telah dikembangkan dalam
kerangka pajak pribadi, sedangkan pajak konsumsi telah ditetapkan sebagai
kerangka dalam pendekatan nonpribadi atau in rem dari pajak penjualan.
Penggunaan suatu jenis pajak pribadi dari pajak pengeluaran akan menghilangkan
perbedaan ini dan membuat pemajakan atas konsumsi menjadi bersifat pribadi
dan progresif. Pajak seperti ini pernah dicobakan di India dan Sri Lanka, tetapi
pengenaan pajak ini dalam situasi modern belum pernah ada. Pajak ini merupakan
ide yang baru dan menarik dan telah banyak mendapatkan dukungan dari para
akademisi di dunia perpajakan. Berikut ini pembahasan teknis apabila pajak ini
diterapkan.
diperbolehkan, dan menerapkan tarip pajak progresif kepada jumlah sisanya yang
merupakan konsumsi kena pajak.
Konsumsi dalam cara ini akan diperoleh dari perubahan dalam saldo bank
dan uang dan arus penerimaan dan pembayaran-pembayaran nonkonsumsi
selama tahun berjalan. SPT harus digunakan untuk membuat wajib pajak
menyatakan jumlah-jumlah tersebut (dengan dirinci) seperti pelaporan
penghasilan dalam pajak penghasilan.
Evaluasi
Penggunaan pajak pengeluaran wajib pajak pribadi akan meningkatkan kualitas
perpajakan konsumsi karena memungkinkan penerapan prinsip kemampuan
untuk membayar dan menghilangkan sifat regresif yang melekat pada pajak
penjualan umum. Walaupun pajak pengeluaran berbasis konsumsi merupakan
cara yang lebih baik, akan tetapi ada dua pertanyaan yang harus dijawab yaitu
basis mana yang lebih baik (penghasilan atau konsumsi) dan bagaimana
memperlakukan warisan/hibah. Dalam hal kegiatan menabung berupaya
didukung dengan sistem pajak yang ada, pendekatan pajak pengeluaran lebih
disukai daripada pemberlakuan pengecualian secara sepotong-potong dalam
sistem pajak penghasilan.
B A B XIX
A dan kemampuan untuk membayar, akan tetapi kedua alasan ini tidak
pernah dapat menjelaskan mengapa hanya pajak atas bumi dan bangunan
saja yang diberlakukan. Pertimbangan manfaat mengarah pada
pemberlakuan pajak bumi dan bangunan jenis in-rem sedangkan pertimbangan
kemampuan untuk membayar mengarah pada pemberlakuan pajak kekayaan
wajib pajak pribadi.
Struktur Dan Basis Pajak Atas Kekayaan Di Indonesia (Pajak Bumi Dan Bangunan)
Jenis pajak atas kekayaan yang berlaku di Indonesia adalah pajak atas bumi
(tanah) dan bangunan. Sebelum reformasi perpajakan tahun 1983, peraturan yang
berkaitan dengan pajak atas tanah dan bangunan ini adalah Undang-Undang
Nomor 11 PRp1959 untuk pajak atas tanah yang tunduk pada hukum adat,
Ordonansi Verponding Indonesia 1923 dan Ordonansi Verponding 1928 untuk
pajak atas tanah yang tunduk pada hukum Belanda (Barat), dan Ordonansi Pajak
Rumah Tangga 1908 untuk pungutan-pungutan lain daerah atas tanah dan
bangunan.
Setelah reformasi pajak, dasar hukum yang mengatur pajak atas bumi dan
bangunan adalah Undang-Undang Nomor 12 tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan
Bangunan (PBB), yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 tahun
1994.
Basis pajak untuk objek-objek pajak ini adalah harga pasar wajar atau
harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar.
Karena harga ini sulit didapat, yang sering dilakukan adalah menggunakan harga
objek lain yang sejenis atau nilai perolehan baru atau nilai pengganti. Pada
praktiknya, basis pajak ini ditetapkan oleh Menteri Keuangan setiap tiga tahun
sekali, kecuali untuk daerah yang mengalami perkembangan pembangunan yang
cepat, penetapannya dilakukan setiap tahun.
Dari basis pajak ini tidak seluruhnya akan diterapkan PBB. Basis yang
akan diterapkan pajak serendah-rendahnya 20% dan setinggi-tingginya 100%,
bergantung pada jenis objek pajaknya. Berdasarkan Pasal 1 Peraturan Pemerintah
No. 74 tahun 1998, hanya 40% dan 20% dari basis pajak saja yang akan dikenakan.
Pada umumnya, pengenaan tarip pajak hanya akan dikenakan sebesar 20% dari
basis pajak kecuali untuk objek-objek pajak tertentu, yaitu:
- Objek pajak perumahan yang WP-nya perseorangan dengan basis pajak sama
dengan atau di atas Rp1 milyar, tidak berlaku untuk PNS, ABRI, Pensiunan
Janda/Duda yang semata-mata dari gaji/uang pensiun.
- Objek pajak perkebunan yang luasnya sama dengan atau lebih dari 25 Ha yang
dikuasai BUMN dan Badan Usaha Swasta.
- Objek pajak kehutanan, termasuk areal blok tebangan dalam kegiatan
Pemegang HPH, Hak Pemungutan Hasil Hutan dan Pemegang Ijin
Pemanfaatan Kayu.
Tarip pajak yang dikenakan atas objek pajak adalah 0,5 persen yang
merupakan tarip tunggal. Dengan demikian, tarip efektif PBB yang berlaku
sekarang ini secara nasional adalah 1 persen dan 2 persen.
tingkat bunga yang berbeda karena adanya premi risiko yang harus dibebankan
pada kekayaan yang pertama. Kasus-kasus ini dapat terjadi dalam kondisi
ekonomi yang melesu pada daerah-daerah bisnis yang menyebabkan kekayaan-
kekayaan pada daerah ini memiliki tingkat hasil yang tinggi atas penghasilan bila
dibandingkan secara relatif terhadap nilai pasarnya. Basis pengenaan pajak yang
paling baik pada kondisi seperti ini adalah pendekatan nilai pasar karena
memperhitungkan perbedaan tingkat risiko atas kekayaan-kekayaan tersebut.
Karena penawaran atas tanah jumlahnya tetap, pengenaan pajak atas rente
tanah atau mengenakan pajak atas nilai tanah (yang menunjukkan nilai kapitalisasi
dari rentenya) telah lama diakui sebagai suatu bentuk pemajakan yang paling kecil
kemungkinannya menghambat insentif untuk menginvestasikan pada
penyempurnaan tanah (bangunan). Selain itu, keuntungan yang timbul dari
kenaikan nilai tanah karena pertumbuhan populasi dan pendapatan dapat
dipandang sebagai laba yang tidak diinginkan secara sosial.
Dalam praktiknya, pengenaan pajak terjadi sebaliknya. Pada kota-kota
besar negara maju, pengenaan pajak atas penyempurnaan tanah telah
menghambat investasi seperti itu, terutama investasi untuk rumah-rumah murah.
Circuit Breaker
Pajak kekayaan atas rumah tinggal dipandang sebagai beban bagi penduduk yang
berusia tua. Sejumlah besar pemilik rumah yang berpenghasilan rendah adalah
orang-orang tua. Beberapa aturan telah dikembangkan di berbagai negara untuk
menyediakan pengurangan beban pajak kepada penduduk berusia tua dan
keluarga dengan penghasilan rendah, yang disebut juga dengan circuit breaker.
Bila PBB dikenakan secara Lokal. Jika daerah dibebaskan untuk menentukan
tarip atas pajak kekayaan, seperti yang berlaku di Amerika Serikat, maka kejadian
pajak akan terjadi dalam jangka pendek dan jangka panjang. Dalam jangka
pendek, modal yang diinvestasikan pada daerah-daerah bertarip tinggi tidak
dapat bergerak dan pemiliknya harus menanggung beban pajak yang tinggi.
Beban dari pajak atas penghasilan modal ini akan dikapitalisasi dan mengurangi
nilai dari kekayaan. Hal ini juga berlaku pada bangunan dan tanah. Penerima
beban pajak dalam jangka pendek adalah pemilik dari kekayaan lokal yang
dikenai beban pajak yang lebih tinggi. Beban pajak diterima oleh pemilik yang
memiliki kekayaan pada saat pajak tersebut dinaikkan. Mereka tidak dapat
mengurangi beban pajak dengan menjual aset yang dipajaki.
Dalam jangka panjang, bagian pajak yang menyatakan nilai dari tanah
tidak berubah. Tanah tidak dapat dipindahkan, sehingga pemilik asli dari tanah
pada daerah-daerah berpajak tinggi akan menderita kerugian permanen yang
besarnya sama dengan bagiannya dalam pajak. Tidak ada perbedaan dalam jangka
pendek dan jangka panjang. Karena kepemilikan tanah lebih banyak pada wajib
pajak berpenghasilan tinggi, beban pajaknya bersifat progresif.
dipandang dari perspektif suatu daerah khusus, walaupun secara nasional tidak
berpengaruh terhadap distribusi beban pajak.
Beban di Dalam versus Beban di Luar. Pajak nasional dan lokal yang akan
menjadi perhatian suatu daerah lokal hanya bagian yang akan terbeban bagi
penduduknya dan bukan bagian yang menjadi beban penduduk daerah lain.
Jadi misalkan suatu kekayaan yang berada pada daerah A dimiliki oleh
penduduk daerah B. Akibatnya, beban jangka pendek akan berada pada individu
luar tersebut sedangkan penduduk lokal menikmati free ride. Akan tetapi,
penduduk lokal tidak akan menikmati hal ini dalam jangka panjang ketika modal
dapat berpindah ke luar. Sekarang, penduduk lokal merasakan bahwa sewa
meningkat dan upah turun sedangkan pihak luar mengalami keuntungan.
Semakin besar perpindahan modal, semakin kecil pendapatan yang diperoleh dan
semakin besar juga kenaikan sewa dan penurunan penghasilan yang dialami oleh
penduduk yang berpajak tinggi. Tidak hanya penduduk lokal tidak mampu
mengekspor beban pajak tersebut ketika ditagihkan, tetapi mereka juga mengalami
kerugian terhadap pihak luar karena modal makin sedikit tersedia untuk mereka.
Kebijakan pajak lokal akan melibatkan suatu pilihan yang sulit antara (1)
laba yang diperoleh dari pemindahan beban pajak kepada pihak luar melalui
pemajakan atas modal yang dimiliki oleh orang asing dan (2) bahaya kerugian
pada ekonomi lokal dari berpindahnya modal asing. Hal ini juga terjadi pada
tingkatan internasional dalam hal perbedaan pajak antar negara.
Keadilan pengenaan PBB dan Pajak Penghasilan. Karena keberatan utama atas
pajak kekayaan berasal dari pemilik rumah, mari kita bandingkan posisi mereka
sebagai investor dalam jasa perumahan dengan posisi investor saham perusahaan,
dengan mempertimbangkan tidak hanya pajak kekayaan, tetapi juga pajak
penghasilan wajib pajak pribadi dan pajak penghasilan wajib pajak badan.
Walaupun investor pada jasa-jasa perumahan akan membayar pajak lebih tinggi
dalam kerangka pajak kekayaan, keseluruhan beban pajaknya masih lebih rendah
daripada kombinasi ketiga pajak ini. Hasil ini menunjukkan tambahan beban yang
harus ditanggung oleh pemegang saham karena pajak penghasilan wajib pajak
badan dan juga perlakuan yang lebih baik kepada pemilik rumah dalam kerangka
pajak penghasilan wajib pajak pribadi.
Pola-Pola Alternatif
Bagian pajak yang dikenakan kepada tanah dapat segera dibebankan kepada
pemilik tanah. Karena penawaran atas tanah bersifat tidak elastis dan tanah tidak
dapat dipindahkan, tidak ada penghindaran atas pajak. Distribusi pembebanannya
cenderung progresif.
pajak pada tarip yang lebih tinggi di tengah-tengah kota pada lingkungan
berpenghasilan rendah. Tambahan beban pajak ini akan ditanggung pula oleh
penyewa.
aset maupun sisi kewajiban pada neraca. Semua aset berwujud dan tak berwujud,
aset berpenghasilan dan yang tidak berpenghasilan semuanya dimasukkan.
Demikian juga, semua kewajiban hutang juga dikurangkan.
menggunakan pajak atas kekayaan bersih, A akan membayar sebesar Rp9.000 dan
B akan membayar sebesar Rp6.000. Pada awalnya, hal ini menyarankan bahwa A
akan lebih menyukai pajak atas kekayaan bersih sedangkan B akan lebih menyukai
pajak kekayaan. Akan tetapi, pasar akan menyesuaikan seperlunya. Ketika pajak
atas kekayaan dikenakan, peminjam tidak akan bersedia membayar pada tingkat
bunga yang sama seperti yang mereka lakukan sebelumnya karena penghasilan
neto mereka dari investasi pada kekayaan akan menurun. Pemberi pinjaman harus
puas dengan suatu tingkat bunga yang lebih rendah, sehingga sebagian beban
dipindahkan dari A ke B. Pada akhirnya, distribusi beban akan sama dengan yang
terjadi berdasarkan pajak atas kekayaan bersih, yaitu sejalan dengan distribusi
kekayaan. Jika suatu tarip proposional dikenakan, pilihan diantara keduanya tidak
ada permasalahan.
Klaim terhadap Pemerintah. Perbedaan lebih lanjut dapat terjadi jika kita
mengasumsikan adanya klaim terhadap pemerintah, apakah klaim itu dalam
bentuk hutang publik atau uang yang didukung oleh kredit Bank Sentral. Klaim
seperti ini akan menambah kekayaan dari seseorang tanpa mengurangi kekayaan
dari orang lainnya. Klaim-klaim seperti ini dapat menjadi tambahan pada basis
kekayaan bersih bagi seluruh kelompok secara keseluruhan. Misalnya tabel di atas
dimodifikasi sebagai berikut:
B A B XX
ajak atas warisan adalah salah satu jenis pajak kekayaan yang tidak
Oleh karena itu, pilihan antara pendekatan pajak atas warisan atau pajak
kepada ahli waris bergantung pada tujuan-tujuan yang akan dicapai dengan
merancang pajak tersebut. Hanya jika tarip pajaknya proporsional tidak ada
perbedaan di antara keduanya. Walaupun tujuannya berbeda, keduanya tidak
harus mutually exclusice. Dalam mencapai tujuan 1 dan 3 di atas, masyarakat dapat
menerapkan pajak atas warisan (yang mengurangi hak pewaris membagikan
hartanya) dan pajak kepada ahli waris yang dirancang untuk membatasi hak ahli
waris untuk menerima dan/atau mengkompensasikan ketidaktercakupan warisan
ke dalam penghasilan kena pajak. Pilihan di antara tujuan-tujuan ini dan
pemilihan pajak yang tepat merupakan permasalahan yang harus dibedakan
dengan pertanyaan bagaimana transaksi-transaksi pada saat kematian
Permasalahan-Permasalahan Khusus
Capital gain. Di Amerika Serikat, aset untuk tujuan pajak warisan dinilai
berdasarkan harga pasarnya pada saat pemiliknya meninggal, bukannya sebesar
harga perolehan aslinya. Basis yang baru ini kemudian digunakan untuk tujuan
pemajakan atas penghasilan modal pada saat penjualan aset tersebut oleh ahli
waris. Jadi, hanya peningkatan harga dari saat kematian saja yang diperhitungkan,
membuat peningkatan harga sebelum kematian tidak dipajaki.
Kontribusi bagi Lembaga Sosial. Sumbangan sosial juga penting dalam pajak atas
warisan/hibah. Pada umumnya tidak ada batasan pengurangan atas sumbangan
sosial dalam kerangka pajak atas warisan. Peranan dari sumbangan sosial dalam
pajak warisan, sebagaimana juga dalam pajak penghasilan, melibatkan persoalan-
persoalan budaya, sosial dan politik yang sudah di luar pembahasan kebijakan
pajak. Organisasi-organisasi yang didukung oleh sumbangan-sumbangan tidak
kena pajak telah mencapai tujuan-tujuan yang berguna yang tidak dapat dicapai
oleh anggaran negara, akan tetapi pembebasan pajak ini mendorong timbulnya
kendali privat yang tinggi dalam penggunaan dana yang sebenarnya dana publik.
Bisnis Keluarga. Para kritikus dari pajak atas warisan menyatakan bahwa pajak
ini mengancam kelangsungan institusi perusahaan yang dimiliki keluarga. Salah
satu keberatan yang dimunculkan adalah pajak atas warisan dapat membuat ahli
waris harus melikuidasi perusahaan dengan persyaratan-persyaratan yang tidak
menguntungkan dalam rangka membayar pajak tersebut. Keberatan ini
sebenarnya bukan masalah besar karena dapat diatasi dengan aturan-aturan yang
liberal untuk pembayaran yang dicicil atau ditunda. Walaupun demikian,
pembayaran pajak akan mengharuskan suatu likuidasi, yang tidak harus
melibatkan pemecahan unit usaha. Unit tersebut dapat dijual secara keseluruhan
atau sebagian dari ekuitas dapat dipindahkan kepada pihak luar. Konsekuensi
yang mungkin sulit dicegah adalah gangguan atau pengurangan terhadap kendali
keluarga atas bisnis sebagai akibat dari pengenaan pajak apabila kekayaan yang
diwariskan dalam bentuk bisnis keluarga.
B A B XXI
nalisis manfaat dan biaya (cost benefit analysis) adalah suatu cara untuk
A menentukan bobot dari berbagai alternatif proyek pemerintah. Tujuan
analisis ini adalah untuk meyakinkan pengambil keputusan bahwa proyek
yang akan dilaksanakan adalah yang paling efisien dan memiliki marginal benefit
yang lebih besar dari marginal cost nya. Analisis ini akan menyajikan informasi
yang berguna bagi pengambil keputusan dalam menentukan proyek yang akan
dilaksanakan dari berbagai alternatif proyek yang diajukan.
Ada tiga langkah pokok dalam melakukan analisis manfaat dan biaya
yaitu:
1. Mengidentifikasi manfaat dan biaya dari setiap proyek yang diusulkan,
2. Mengevaluasi dan mengkonversi manfaat dan biaya tersebut kedalam
suatu nilai uang, dan
3. Mendiskontokan manfaat yang akan datang.
Manfaat dapat dibagi kedalam dua kategori yaitu, manfaat langsung dan
manfaat tidak langsung. Manfaat langsung adalah manfaat yang diterima oleh
pihak-pihak yang terkait langsung dengan output dari proyek yang bersangkutan.
Contoh, dalam suatu proyek irigasi yang bertujuan untuk meningkatkan areal
persawahan maka yang menjadi manfaat langsung adalah seluruh hasil bersih
yang diperoleh petani yang tinggal di areal yang dilalui oleh jaringan irigasi
tersebut. Manfaat tidak langsung adalah manfaat yang diterima oleh pihak-pihak
yang tidak terkait langsung dengan output proyek yang bersangkutan. Dalam
contoh irigasi diatas, yang menjadi manfaat tidak langsung adalah meningkatnya
kesuburan tanah di daerah yang tidak dilewati jaringan irigasi secara langsung.
output yang bersangkutan. Misalnya, dalam proyek yang akan menghasilkan padi,
kita memerlukan estimasi permintaan dan surplus konsumen terhadap komoditi
padi untuk menghitung manfaat dari proyek tersebut.
Kesulitan baru timbul bila hasil proyek tidak bisa dijual atau merupakan
benda yang tidak berwujud. Misalnya, dalam proyek peningkatan kesehatan
masyarakat, kita sulit menentukan secara langsung manfaat proyek tersebut
mengingat outputnya dinikmati oleh masyarakat secara kolektif. Alternatifnya,
manfaat proyek dapat diestimasi dengan cara menghitung besarnya kenaikan
penghasilan yang dinikmati oleh masyarakat yang menjadi obyek proyek
kesehatan tersebut. Cara yang sama juga dapat diterapkan untuk menghitung
manfaat proyek pendidikan.
Kesulitan lain dapat pula timbul apabila input maupun output suatu
proyek merupakan barang yang dapat dipasarkan namun harganya tidak sesuai
dengan kondisi yang sesungguhnya. Sebagai contoh, listrik merupakan output
proyek pembangkit listrik yang dapat dipasarkan, namun karena pasokannya
dimonopoli oleh PLN maka harga listrik yang diterapkan adalah harga
monopolistik yang lebih tinggi dibanding dengan harga pasar persaingan
sempurna. Oleh karena itu, dalam menghitung manfaat proyek kita harus
menurunkan harga output agar sesuai dengan kondisi harga pasar yang
sebenarnya. Demikian pula dengan faktor input. Bila harga input yang digunakan
terlalu rendah karena input tersebut menerima subsidi, misalnya bahan bakar, kita
harus menaikkan harga bahan bakar tersebut dalam menghitung biaya yang
dibutuhkan suatu proyek.
Secara umum, present value (PV) dapat dihitung dengan rumus sbb:
X
PV =
(1 + r )n
akan datang. Bila suatu proyek menghasilkan penerimaan sebesar Xi per tahun
selama beberapa tahun mendatang, maka present value dari seluruh penerimaan
tersebut dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:
n
Xi
PV = ∑
i =1 (1 + i )
i
X1 X2
PV = +
(1 + r ) (1 + r ) 2
1
Tingkat return yang diharapkan oleh penabung dan investor tidak selalu
sama karena adanya distorsi dalam perekonomian (misalnya pajak). Sebagai
contoh, jika perusahaan dikenakan pajak penghasilan sebesar 50 persen, maka
keuntungan bersih perusahaan dari hasil investasinya hanya setengah dari
keuntungan aktual yang diperoleh. Bila dalam investasinya tersebut perusahaan
harus membayar bunga sebesar 10 persen atas dana yang dipinjamnya, maka dana
tersebut harus dapat menghasilkan keuntungan lebih dari 20 persen supaya dapat
menutup biaya bunga, pajak, beserta keuntungan yang diharapkan. Hal ini dapat
dilihat pada Gambar 21.1
S
20 = rg
Return (persen)
16 E
i = 10 = rn E’
D = keuntungan
D’ = keuntungan
setelah pajak
0 F2 F1
Dana tabungan dan investasi per tahun
tingkat diskonto yang digunakan adalah 20 persen. Namun, bila dana tersebut
digunakan untuk konsumsi, opportunity cost nya hanya 10 persen.
Hal lain yang dapat mempengaruhi tingkat diskonto selain pajak adalah
tingkat risiko. Dalam contoh diatas, jika faktor risiko tidak diperhitungkan maka
titik keseimbangan pasar akan terletak pada rate sebesar 10 persen. Jika
memasukkan faktor risiko dan inflasi dalam menghitung penghasilan neto, maka
investor akan menginginkan gross return yang lebih tinggi lagi, dalam contoh
diatas bisa lebih tinggi dari 20 persen. Semakin tinggi faktor risiko suatu proyek,
semakin tinggi pula gross return yang diharapkan dari proyek tersebut.
Pengaruh Inflasi
Inflasi dapat menjadi masalah dalam analisis manfaat dan biaya karena ia
mempengarungi net present value dari manfaat bersih suatu proyek. Ada dua
alternatif cara untuk mengatasi masalah inflasi ini. Pertama, manfaat dan biaya
suatu proyek diperhitungkan dahulu, kemudian tingkat inflasinya disesuaikan.
Dan, NPV manfaat dan biaya yang sudah memasukkan unsur inflasi tersebut
didiskonto dengan menggunakan nilai nominal tingkat bunga. Nominal tingkat
bunga adalah tingkat bunga murni ditambah dengan tingkat inflasi.
Contoh: Ada 2 proyek yang diajukan, A dan B, yang mempunyai jangka waktu
selama 1 dan 2 tahun. Manfaat bersih (net benefit) kedua proyek tersebut adalah
sebagai berikut.
Tingkat Inflasi pertahun adalah 5%. Nominal Tingkat Bunga adalah 15%
Setelah itu, NPV proyek A dan B dihitung dengan menggunakan nominal tingkat
bunga sebagai tingkat diskonto nya. Perhitungannya adalah sebagai berikut:
− 1.000.000 1.575.000
NPV ( A) = + = 369.565
(1 + 15%)0 (1 + 15%)1
− 1.000.000 525.000 1.102.500
NPV ( B) = + + = 290.170
(1 + 15%)0 (1 + 15%)1 (1 + 15%)2
− 1.000.000 1.500.000
NPV ( A) = + = 363.636
(1 + 10%)0 (1 + 10%)1
− 1.000.000 500.000 1.000.000
NPV ( B) = + + = 280.991
(1 + 10%)0 (1 + 10%)1 (1 + 10%)2
n
( Bi − Ci )
Net _ Benefit _ Criterion :B − C = ∑
i =1 (1 + r )
i
dimana:
Bi = manfaat tahun ke-i
Ci = biaya tahun ke-I
r = tingkat diskonto
Jika ada beberapa proyek yang menghasilkan manfaat bersih positif, maka proyek
yang dipilih adalah proyek yang menghasilkan manfaat bersih yang paling besar.
2. Benefit-Cost ratio
Benefit-Cost ratio merupakan modifikasi dari Net Benefit Criterion. Rumus yang
digunakan untuk menghitung adalah
B ∑ B (1 + r )
i
i
Benefit − Cost _ Ratio : = i =1
n
∑ C (1 + r )
C i
i
i =1
dimana:
Bi = manfaat tahun ke-i
Ci = biaya tahun ke-I
r = tingkat diskonto
Pada kriteria Benefit-Cost Ratio, proyek yang dipilih adalah yang menghasilkan
rasio lebih dari 1 (satu). Bila ada beberapa proyek menghasilkan rasio diatas 1,
maka yang dipilih adalah proyek dengan rasio paling besar.
Contoh:
Anggota DPRD suatu daerah sedang mempertimbangkan usulan pemda setempat
untuk mengucurkan dana guna membiayai proyek pemanfaatan lahan kosong.
Ada dua usulan yang diajukan yaitu Proyek A dan Proyek B. Proyeksi penerimaan
dan pengeluaran dari masing-masing proyek tersebut adalah sebagai berikut.
Bila tingkat suku bunga yang berlaku adalah 5% per tahun, peringkat proyek
tersebut dapat ditentukan sebagai berikut.
Analisis masing-masing proyek adalah sebagai berikut:
Proyek A
Net Benefit Criterion:
(100.000) (200.000) 750.000 750.000 1.900.000 1.900.000
NBC = + + + + +
(1 + 5%) 0
(1 + 5%)1
(1 + 5%) 2
(1 + 5%)3 (1 + 5%)4 (1 + 5%)5
= 6.119.490
Benefit-Cost Ratio:
0 + 50.000 + ... + 1.900.000
(1,05)0 (1,05)1 (1,05)5
B / C _ Ratio =
100.000 + 250.000 + ... + 100.000
(1,05)0 (1,05)1 (1,05)5
7.296.200
= = 6,2
1.176.710
Proyek B
Net Benefit Criterion:
(200.000) (200.000) 1.350.000 1.350.000 1.350.000 1.350.000
NBC = + + + + +
(1 + 5%)0 (1 + 5%)1 (1 + 5%)2 (1 + 5%)3 (1 + 5%)4 (1 + 5%)5
= 6.005.082
Benefit-Cost Ratio:
0 + 0 + ... + 1.550.000
(1,05)0 (1,05)1 (1,05)5
B / C _ Ratio =
200.000 + 200.000 + ... + 200.000
(1,05)0 (1,05)1 (1,05)5
7.365.464
= = 5,414
1.360.382
Berdasarkan analisis Net Benefit Criterion dan Benefit-Cost Ratio, Proyek A memiliki
peringkat diatas Proyek B, sehingga DPRD sebaiknya memilih Proyek A untuk
dilaksanakan.
n
( Bi − C i )
IRR = ∑ =0
i =1 (1 + r ) i
IRR adalah tingkat suku bunga ( r ) yang diperlukan untuk menghasilkan NPV = 0.
Bila IRR lebih besar dari tingkat suku bunga pasar maka proyek layak
dilaksanakan, dan bila IRR lebih kecil dari tingkat suku bunga pasar maka proyek
tersebut tidak layak dilaksanakan. Jika ada dua atau lebih proyek yang memiliki
IRR diatas suku bunga pasar, maka proyek dengan IRR yang tertinggilah yang
akan dilaksanakan.
Ketiga metode analisis tersebut di atas hanya merupakan salah satu ukuran untuk
dapat menolak atau menerima pelaksanaan proyek. Di negara berkembang seperti
di Indonesia, pemilihan proyek tidak hanya diukur dari manfaat dan biaya semata,
B A B XXII
Perubahan Teknologi
Perubahan teknologi mempunyai pengaruh penting dalam pertumbuhan porsi
belanja publik. Jika teknologi berubah, maka proses produksi juga berubah.
Perubahan teknologi dapat meningkatkan atau menurunkan kepentingan
penyediaan barang publik yang mempunyai manfaat eskternal besar sehingga
harus disediakan oleh pemerintah.
Perubahan Populasi
Perubahan populasi terutama akan meningkatkan belanja pendidikan dan
kesehatan, karena terjadi perubahan komposisi umur. Kebutuhan pendidikan juga
akan mendorong peningkatan permintaan perumahan, dan penyediaan jaminan
hari tua. Peningkatan populasi yang disertai dengan mobilitas populasi juga
mendorong pertumbuhan kota baru yang tentunya menyebabkan kebutuhan
peningkatan pelayanan umum, yang pada akhirnya menyebabkan pertumbuhan
anggaran.
Biaya Relatif
Selain perubahan-perubahan kuantitas seperti diuraikan diatas, tak kalah
pentingnya adanya pengaruh perubahan biaya jasa publik terhadap pengeluaran
publik. Hal ini terutama disebabkan oleh adanya inflasi harga faktor produksi
yang dibeli pemerintah lebih cepat dibanding dengan rasio deflasi dalam
pendapatan nasional. Menurut Musgrave, perbedaan respon terhadap inflasi
bukanlah merupakan faktor utama. Dalam jangka panjang, sifat penyediaan
barang dan jasa publik yang dapat mengubah komponen pendapatan nasional
menjadi kurang apabila dibandingkan dengan perubahan teknologi.
Meski pun biaya jasa publik menjadi lebih mahal, bukan berarti porsi
belanja publik dalam pendapatan nasional harus meningkat. Sebuah barang publik
dapat disubstitusi dengan barang pribadi, karena sifatnya yang elastis, kecuali bila
permintaan barang publik bersifat inelastis, maka bisa diestimasikan bahwa porsi
belanja publik akan meningkat.
Urbanisasi
Proses urbanisasi dapat menimbulkan permasalahan bagi pemerintah. Sebagai
contoh, kemacetan di perkotaan mengakibatkan meningkatnya kebutuhan akan
infrastruktur dan pelayanan umum. Hal ini mendorong meningkatnya kebutuhan
barang-barang yang perlu disediakan oleh pemerintah.
peningkatan asuransi hari tua. Program ini lebih merupakan alat untuk
menyediakan jaminan hari tua dengan dasar pembiayaan swadaya. Sistem ini
ditujukan untuk menyeimbangkan besarnya distribusi pendapatan melalui
transfer dari anggaran pengeluaran ke program pembelian pemerintah yang
ditujukan bagi penyediaan barang dan jasa untuk kelompok berpenghasilan
rendah.
pihak lain ( C ) dan dipandang masih lebih baik dibandingkan dengan tidak ada
proyek. Berdasarkan kriteria ini, jumlah agregat manfaat bersih senilai $30,000
dapat disahkan dan proyek dikatakan efisien. Tetapi dalam kenyataan, pihak C
tidak menerima manfaat dan kerugiannya belum tentu akan diganti. Perlu
diadakan persyaratan tambahan agar proyek tetap dikatakan efisien yaitu bahwa
penggantian kerugian harus benar-benar dilaksanakan, dalam bentuk transfer dari
A dan B kepada C. Efisiensi proyek tergantung pada bagaimana mendefinisikan
efisiensi tersebut.
Aspek Keadilan
Dalam meninjau aspek keadilan dalam belanja publik, pertimbangan mengenai
distribusi dan fungsi obyektif dapat dipertimbangkan dalam menentukan
kebijakan proyek.
Jika kondisi yang berlaku adalah distribusi optimal, penilaian proyek yang
didasarkan pada permintaan konsumen juga akan optimal dipandang dari segi
sosial. Akan tetapi, jika distribusi yang berlaku tidak optimal, evaluasi sosial yang
tercermin dari kesejahteraan sosial akan menyimpang dari evaluasi swasta dan
proyek II akan dipandang lebih layak. Hal ini menunjukkan kecocokan dengan
konsep efisiensi yang lebih luas.
Kondisi yang sama juga muncul jika ada dua proyek yang menghasilkan
jasa yang sama, tetapi dengan biaya yang berbeda. Dimisalkan akan dibangun
sebuah kapal laut. Alternatif I akan memilih lokasi konstruksi di daerah yang
upahnya tinggi, sementara alternatif II memilih lokasi yang tingkat upahnya
rendah. Misalkan juga biaya modal, bahan baku dan transportasi di lokasi I lebih
rendah, sehingga total biaya di lokasi I akan lebih rendah. Tanpa
mempertimbangkan aspek distribusi, lokasi I dianggap lebih layak, karena nilai
manfaat bersih lebih tinggi. Tetapi, bila bobot distribusi pendapatan
diperhitungkan, proyek II akan lebih diutamakan, karena memberikan manfaat
kepada mereka yang berpenghasilan rendah.
Belanja-belanja dalam kategori ini antara lain adalah belanja pertahanan militer
dan sipil, bantuan militer untuk asing, riset pertahanan dan sebagainya.
3. Belanja perlindungan umum.
Belanja dalam kategori ini dibedakan dengan belanja pertahanan, dan
dianatara contohnya adalah belanja jasa kepolisian, jasa pemadam kebakaran,
jasa pengadilan, jasa rumah tahanan dan penjara, dan juga riset untuk
perlindungan publik.
4. Belanja urusan ekonomi
Belanja yang termasuk dalam kategori ini diantaranya belanja urusan
ketenagakerjaan, belanja komersial dan ekonomi, belanja kehutanan dan
pertanian, belanja energi dan bahan bakar, pertambangan, transportasi,
komunikasi dan belanja untuk perindustrian lainnya, termasuk risetnya.
5. Belanja perlindungan lingkungan.
Belanja yang termasuk disini diantaranya adalah belanja pengelolaan limbah
dan polusi, proteksi keragaman hewani maupun tata kota.
6. Belanja perumahan dan public utilities.
Belanja dalam kategori ini diantaranya adalah pengembangan perumahan dan
pemukiman, sistem penyediaan air bersih, belanja penerangan jalan, dan
pekerjaan-pekerjaan umum lainnya.
7. Belanja kesehatan.
Belanja kesehatan meliputi perlengkapan dan peralatan kesehatan, jasa kepada
pasien, jasa rumah sakit umum, dan risetnya.
8. Belanja rekreasi, budaya dan agama.
Diantara belanja yang termasuk dalam kategori ini adalah belanja jasa olahraga
dan rekreasi, belanja jasa kebudayaan, jasa penyiaran, jasa urusan keagamaan
dan komunitas, dan lain-lain.
9. Belanja Pendidikan.
Pendidikan mencakup belanja pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan
pendidikan tinggi, termasuk belanja pendukung pendidikan lainnya.
10. Belanja perlindungan sosial.
Belanja-belanja yang termasuk dalam kategori ini diantaranya belanja
perlindungan terhadap manusia lanjut usia (manula), belanja perlindungan
anak dan keluarga, belanja untuk mengatasi pengangguran, dan belanja sosial
lainnya.
B A B XXIII
D alam bab ini akan dibahas lebih rinci berbagai jenis belanja serta masalah-
masalah yang ditimbulkannya. Pembahasan akan dimulai dari jenis
belanja pertahanan nasional, pembangunan jalan raya, belanja pendidikan
dan perlindungan lingkungan berupa pembangunan taman rekreasi.
Ada beberapa cara atau metode yang dapat digunakan dalam analisis
sektor.
1. Melengkapi cakupan ekonomi makro dengan menganalisis pengaruh
terhadap sektor, sub sektor dan proyek, variabel-variabel kebijakan
umum seperti nilai tukar, struktur pajak, kebijakan upah dan tingkat
bunga.
2. Analisis sektor memberikan perkiraan potensi hasil, lapangan kerja,
dan kebutuhan investasi untuk sektor secara keseluruhan sebagai
masukan bagi keputusan badan perencana mengenai program dan
prioritas investasi nasional.
3. Analisis sektor membantu menjamin bahwa proyek-proyek individu
terpilih didasarkan pada perencanaan dasar kebutuhan dan prioritas
sektor, dan perubahan kebijakan dan kelembagaan perlu berprestasi
baik pada tingkat proyek atau tingkat ekonomi mikro.
Pertahanan Nasional.
Di Amerika Serikat, selama tahun 80-an, belanja pertahanan nasional
merupakan kontributor utama terhadap pertumbuhan anggaran, meskipun
akhirnya dilampaui oleh pertumbuhan program sosial. Dalam dekade tersebut,
belanja pertahanan menjadi faktor utama anggaran pemerintah dalam pembelian
barang dan jasa dari swasta. Belanja pertahanan dibagi menjadi belanja personil,
operasi dan pemeliharaan, pembelian barang dan jasa, penelitian dan
pengembangan.
Jalan Raya
Keunikan sistem jalan raya sebagai barang publik menyangkut tiga hal
yaitu:
1. Kerjasama yang rapi antara pemerintah federal, pemerintah negara bagian
dan pemerintah lokal lainnya.
2. Jalan raya membutuhkan pembiayaan yang sangat besar.
Pendidikan
Anggaran pendidikan, di Amerika Serikat, terutama dibiayai oleh
pemerintah lokal dan negara bagian, meskipun pengendalian sistem pendidikan
tetap berada di bawah pemerintah lokal. Dana negara bagian yang disalurkan
kepada pemerintah lokal dalam bentuk bantuan dan subsidi, terutama untuk
mendanai pendidikan tingkat tinggi. Pemerintah federal juga ikut membiayai
pembangunan pendidikan, meskipun tidak terlalu besar, karena pendidikan pada
dasarnya tetap merupakan jasa publik yang harus disediakan oleh pemerintah.
Swasta ikut memberikan andil membiayai pendidikan juga, meskipun
kontribusinya tidak sebesar pemerintah.
Fasilitas Rekreasi
Pembangunan fasilitas rekreasi memberi manfaat ganda yakni manfaat
bagi pemakai, manfaat bagi masyarakat di sekitarnya dan manfaat lain - seperti
keindahan alam. Fasilitas rekreasi merupakan barang publik yang bersifat barang
akhir atau barang konsumsi, tidak seperti jalan raya yang bersifat barang antara.
Problem utama dalam penyediaan fasilitas rekreasi adalah seberapa besar manfaat
barang tersebut dapat dinikmati oleh publik. Pengukuran manfaat atas barang ini
dapat dilakukan dengan berbagai cara.
Kemudian, ada cara ketiga dengan analogi fasilitas swasta yang menarik
iuran dari para anggotanya sebagai dasar penghitungan manfaat. Cara lain adalah
dengan penghitungan manfaat yang dapat dilakukan dengan menghitung biaya
yang dikeluarkan oleh pemakai dalam melakukan rekreasi keluar rumah. Sebagai
alternatif, dapat dilakukan pembobotan dalam menilai waktu para pemakai
fasilitas ini dengan membandingkan efisiensi dari setiap alternatif penggunaan
dana.
air dapat mempunyai manfaat ganda, selain untuk rekreasi juga dapat digunakan
untuk konservasi sumber daya air. Contoh lain adalah sebuah bendungan dapat
dinilai manfaatnya sebagai pembangkit tenaga listrik, pengendalian banjir, irigasi,
selain ditujukan untuk rekreasi.
B A B XXIV
Medicaid.
Program ini ditujukan bagi semua orang yang memenuhi kriteria AFDC (Aid to
Fammilies with Dependent Children) yang sering disebut sebagai program
kesejahteraan. Kriteria-kriteria tersebut antara lain adalah orang yang mempunyai
pendapatan terbatas menurut kriteria SSA (Supplementary Security Income), serta
semua orang yang berumur diatas 65 tahun. Bantuan diberikan dalam bentuk
Medicare yaitu asuransi kesehatan yang preminya dibayar oleh pemerintah suatu
negara. Program ini biasanya dirancang dan dikelola oleh negara bagian dengan
berpedoman pada standar ketentuan yang ditetapkan oleh pemerintah federal.
Kupon Makanan.
Rumah tangga (tidak terbatas umur) berhak memperoleh kupon makanan jika
mempunyai aktiva atau berpenghasilan kotor yang kurang dari nilai yang
ditetapkan oleh pemerintah federal. Meskipun demikian, program ini diberikan
melalui pemerintah lokal.
Perumahan Murah.
Program ini merupakan program pemerintah federal dimana subsidi perumahan
diberikan dalam bentuk hipotik berbunga rendah bagi petani berpenghasilan
rendah.
Tunjangan Kesejahteraan.
Program AFDC menetapkan bahwa pemerintah federal memberikan bantuan
kepada setiap negara bagian – baik uang tunai maupun dalam bentuk lain – yang
kemudian dipakai untuk menunjang keluarga yang mempunyai anak dibawah 18
tahun yang belum mandiri. Standar yang digunakan dapat berbeda antara satu
negara bagian dengan negara bagian lain.
Asuransi Sosial
Komponen-komponen utama dari asuransi sosial ini di Amerika Serikat
meliputi sistem asuransi sosial OASI (Old Age and Survivors Insurance), HI (Health
Insurance), dan DI (Disability Insurance).
Asuransi Kesehatan.
Setiap individu berhak atas jaminan sosial pensiun dan juga berhak atas Medicare
pada usia 65 tahun. Tunjangan ini untuk memberikan perlindungan dasar
terhadap biaya jasa rumah sakit, biaya rawat jalan, dan jasa perawatan kesehatan
rumah. Perdebatan sekitar asuransi kesehatan ini menyangkut apakah asuransi
hanya mencakup orang yang berusia lanjut atau harus diperluas kepada seluruh
penduduk, dan kalau diperluas bagaimana bentuknya. Perdebatan muncul karena
menyangkut pembiayaan yang sangat besar, pengaruhnya terhadap jasa medis
yang diberikan, kebebasan memilih dokter, dan peranan asuransi swasta.
Asuransi Pengangguran.
Program ini dibiayai dari pajak upah dan gaji federal dan pajak tambahan dari
negara bagian yang dibayarkan oleh pemberi kerja. Semua kontribusi dari
pemerintah federal dan negara bagian dibayarkan kepada dan dikelola oleh Federal
Unemployment Trust Fund.
B A B XXV
1 Indonesia di sini maksudnya adalah sebelum keluarnya Undang-undang Nomor 22/1999 tentang
Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan
Pemerintah Pusat dan Daerah.
2 Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang dari Pemerintah Pusat kepada Gubernur sebagai
wakil pemerintah dan atau perangkat pusat di Daerah.
3 Delegasi adalah pelimpahan wewenang untuk tugas tertentu kepada organisasi yang berada di luar
struktur birokrasi reguler yang dikontrol secara tidak langsung oleh Pemerintah Pusat.
Pendelegasian wewenang ini biasanya diatur dengan ketentuan perundang-undangan. Pihak yang
menerima wewenang mempunyai keleluasaan (discretion) dalam penyelenggaraan pendelegasian
tersebut, walaupun wewenang terakhir tetap pada pihak pemberi wewenang (sovereign-authority).
4 Menurut teori ini, principal (Pemerintah Pusat) dapat secara sepihak menentukan dan mengubah
baik tanggung jawab pengeluaran maupun pendapatan Pemerintah Daerah dan pengaturan
hubungan keuangan antar pemerintahan dalam upaya mengatasi permasalahan-permasalahan
informasi yang tidak simetri, serta perbedaan-perbedaan tujuan antara principal dan agent
(Pemerintah Daerah).
5 Di Amerika Serikat (yang berbentuk negara federal), state dibagi ke dalam counties (wilayah
kabupaten), parishes (suatu wilayah pemerintahan gereja, yaitu Lousiana), atau townships (Kota).
Namun, di Amerika Serikat, counties merupakan agen utama pemerintahan regional dari
pemerintahan propinsi dan memiliki memiliki kewenangan (authority) independensi yang
signifikan.
Efisiensi
Teori desentralisasi didasarkan pada asumsi bahwa Pemerintah Pusat hanya
dapatmenyediakan barang dan jasa secara lintas wilayah secara konsisten. Oleh
karenanya, sesuai dengan argumen ini, terdapat keuntungan efisiensi potensial
dari desentralisasi fiskal, yaitu:
Keadilan (Equity)
Apek keadilan dari sebuah kebijakan keuangan publik berkaitan dengan
redistribusi pendapatan untuk mencapai keadilan sosial. Dalam definisi klasik,
redistribusi biasanya berupa suatu transfer dana kepada rumah tangga
berpendapatan rendah untuk mencapai keseimbangan dalam distribusi
pendapatan.
B A B XXVI
Pendahuluan
alam konteks desentralisasi fiskal, transfer dana dari Pemerintah Pusat
Negara Federal*
Australia 85.73% 83.28% 81.92% 81.80%
Austria 82.74% 85.31% 87.28% 83.89%
Bolivia 85.64% 85.93% 85.85% 85.76%
México 97.37% 97.72% 99.98% N/A
Switzerland 81.35% 81.91% 81.96% 82.02%
United States 62.43% 63.51% 64.32% 64.51%
Tujuan Transfer
Pada dasarnya, transfer Pusat ke Daerah dapat dibedakan atas bagi hasil
pendapatan (revenue sharing) dan bantuan (grants). Adapun tujuan dari transfer ini
bermacam-macam yaitu pemerataan vertikal (vertical equalization), pemerataan
horisontal (horizontal equalization), mengatasi persoalan efek pelayanan publik
(correcting spatial externalities), mengarahkan prioritas (redirecting priorities),
melakukan eksperimen dengan ide-ide baru (experimenting with new ideas),
stabilisasi, dan kewajiban untuk menjaga tercapainya standar pelayanan minimum
di setiap daerah.
Dengan demikian, tujuan dari vertical equalization transfer ini adalah untuk
mengkoreksi kesenjangan pendapatan yang diperoleh setiap level pemerintahan.
Dana Alokasi Umum (DAU) merupakan contoh yang paling tepat sebagai bentuk
horizontal equalizataion di Indonesia. Secara faktual, peran DAU dapat dijadikan
counter atas pembagian dana bagian daerah yang didasarkan atas dasar penghasil
daerah (by origin atau vertical equalization) yang cenderung menimbulkan
ketimpangan antardaerah, karena daerah yang mempunyai potensi pajak dan SDA yang
terbatas pada daerah-daerah tertentu.
Sebagai horizontal equalization, DAU dirancang dengan sebuah formula yang
digunakan untuk menghitung potensi penerimaan daerah atau kapasitas fiskal (fiscal
capacity) dan kebutuhan fiskal daerah (fiscal needs). Sehingga, melalui suatu formula
ini, maka dapat dihitung celah fiskal (fiscal gap) yang akan ditutup dengan transfer
DAU dari Pusat.
Rumus Umum DAU 2001 adalah sebagai berikut:
1. DAU akan dialokasikan kepada Daerah dengan menggunakan bobot daerah.
Bobot daerah harus dirumuskan dengan menggunakan suatu formula yang
didasarkan atas pertimbangan kebutuhan dan potensi potensi penerimaan.
2. Besarnya DAU setelah formula paling tidak sama dengan besarnya bantuan
Subsidi Daerah Otonom (SDO) dan Inpres tahun 2000. Oleh karenanya, dalam
alokasi DAU 2001 terdapat faktor penyeimbang dan faktor lumsum.
Faktor Penyeimbang adalah suatu mekanisme untuk mencegah penurunan
kapasitas Pemerintah Daerah dalam membiayai kewajiban-kewajiban mereka.
Faktor penyeimbang juga diarahkan untuk mengatasi permasalahan pendanaan
akibat terjadinya transfer pegawai dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah
yang tentunya membawa konsekuensi pada gaji dan biaya-biaya terkait
lainnya.
Faktor lumpsum intinya adalah suatu mekanisme untuk membagi habis total
DAU yang sudah dianggarkan dalam APBN 925% dari penerimaan bersih
domestik). Dalam prakteknya, terjadi selisih hitung antara total DAU yang
dianggarkan dengan total faktor penyeimbang dan faktor formula.
3. Faktor formula. Formula DAU terdiri dari dua, yaitu potensi penerimaan dan
kebutuhan fiskal.
Variabel-variabel yang digunakan untuk menentukan potensi penerimaan
adalah (a) PDRB sektor sumber daya alam (primer); (b) PDRB sektor industri
dan jasa lainnya (non-primer); dan besarnya angkatan kreja (SDM).
Variabel-variabel yang digunakan untuk menentukan kebutuhan daerah adalah
(a) jumlah penduduk; (b) luas wilayah; (3) indeks harga bangunan; dan (4)
jumlah penduduk miskin.
4. Penentuan Bobot dan Alokasi Daerah.
Sumber: Brodjonegoro dan Pakpahan (2002)
MC
P1
PB DT
PA
DA DB
QB QT Q
Redirecting Priorities
Setiap level pemerintahan memiliki prioritas masing-masing di dalam penyediaan
pelayanan publik kepada masyarakatnya. Dan seringkali prioritas yang
dikembangkan oleh setiap level pemerintahan tersebut, akhirnya bertentangan
dengan prioritas yang sedang dibangun oleh level pemerintahan lainya.
Stabilisasi
Transfer dana dapat ditingkatkann oleh Pemerintah ketika aktivitas perekonomian
sedang lesu. Di saat lain, bisa saja dana transfer ke daerah dikurangi manakala
perekonomian sedang booming. Transfer untuk dana-dana pembangunan (capital
grants) adalah merupakan instrumen yang cocok untuk tujuan ini. Namun
kecermatan dalam mengkalkulasi amat diperlukan agar tindakan
menaikkan/menurunkan dana transfer itu berakibat merusak atau bertentangan
dengan tujuan stabilisasi.
di setiap daerah pun akan lebih bisa dijamin pelaksanaannya oleh Pemerintah
Pusat.
3. Keadilan (equity).
Besarnya dana transfer dari Pusat ke daerah seyogyanya berhubungan
positif dengan kebutuhan fiskal daerah dan, sebaliknya, berkebalikan
dengan besarnya kapasitas fiskal daerah yang bersangkutan.
5. Sederhana (simplicity).
Alokasi dana kepada Pemeirntah Daerah semestinya didasarkan pada
faktor-faktor obyektif dimana unit-unit individual tidak memiliki kontrol
atau dapat mempengaruhinya. Di samping itu juga formula yang dipakai
seyogyanya relatif mudah untuk dipahami.
6. Insentif.
Desain dari transfer ini harus sedemikian sehingga memberikan semacam
insentif bagi daerah dengan manajemen fiskal yang baik, baik sebaliknya
menangkal praktik-praktik yang tidak efisien. Dengan demikian, tidak
Jenis-Jenis Transfer
Pengalaman empiris dari berbagai negara menunjukkan bahwa pemberian
transfer oleh Pemerintah Pusat kepada Daerah dapat disertai dengan syarat-syarat
tertentu atau tidak bersyarat sama sekali. Dengan demikian, pada dasarnya jenis-
jenis transfer dapat dikelompokkan menjadi dua kategori besar, yaitu (1) transfer
tanpa syarat (unconditional grant, general purpose grant, block grant dan (2) transfer
dengan syarat (conditional grant, categorial grant, spesific purpose grant).
Ciri utama dari transfer ini adalah Daerah memiliki keleluasaan (diskresi)
penuh dalam memanfaatkan dana transfer ini sesuai dengan pertimbangan-
pertimbangannya sendiri atau sesuai dengan aturan apa yang menjadi prioritas
daerahnya.
6 Garis anggaran (budget line) adalah kurva yang menunjukkan kombinasi konsumsi dua macam
barang yang membutuhkan biaya (anggaran) yang sama besar.
barang yang tersedia, dalam kasus ini adalah barang A dan barang B. Kurva i1i1,
i2i2, dan seterusnya adalah kurva indiferensi (indifference curve)7.
Other
Public i2
F Goods
i1
A
E1
H
i2
E
C
i1 G
O D K B Assested Public Goods
7 Kurva indiferensi (indifference curve) adalah kurva yang menunjukkan berbagai kombinasi
konsumsi dua macam barang yang memberikan tingkat kepuasan sama bagi seorang konsumen.
i1
E1
N
i2
E
C
Q
M
i1
O D B P Assested Public Goods
Efek negatif dari open-ended matching grants adalah grant yang diberikan
oleh Pemerintah Pusat justru akan menyebabkan ketidakmerataan antardaerah,
karena sifat grant ini yang tidak terbatas. Akibatnya, daerah yang kaya akan
mampu membuat proyek yang kaya pula dan menjadi semakin kaya, sementara
Daerah yang miskin akan tetap miskin karena mereka tidak dapat membuat
proyek kaya, yang pembiayaannya bisa sebagian besar dari Pemerintah Pusat.
Other
Public i2
A Goods
i1
E1
N
i2
E
C
Q
T M
O D B P i1 Assested Public Goods
Pada kondisi sebelum ada transfer, posisi permintaan (demand) barang A adalah
OC dan barang B adalah OD sehingga titik keseimbangan awal adalah E, dimana
posisi E ini merupakan posisi tinggi dalam hal kepuasan tertinggi pada anggaran
yang tersedia. Dengan adanya transfer dari Pusat ke Daerah untuk keperluan
khusus tanpa diperlukannya dana pendamping, maka budget line dari barang
publik yang dibantu (assested public goods) mengalami pergeseran (shifting), namun
tidak mengubah batas maksimum fasilitas publik lainnya (other public goods).
Other
Public i2
Goods
i1
A
F E1
H
i2
E
C
i1 G
O D K B Assested Public Goods
B A B XXVII
PERPAJAKAN DAERAH
Pendahuluan
emerintah Daerah dapat memperoleh pendapatan dari dari perpajakan
tambahan atas pajak yang sebenarnya dibayarkan kepada Pemerintah Pusat atau
negara bagian.
Bagian ini hanya akan mendiskusikan mengenai pajak yang diperoleh oleh
Pemerintah Daerah sendiri. Alasan pembatasan ini, adalah (i) tax revenue sharing
telah dibahas pada bagian sebelumnya, dan (ii) pembahasan mengenai opsen,
kurang relevan dengan sistem perpajakan di Indonesia, karena Indonesia tidak
menerapkan sistem opsen.
Kriteria kedua, adalah keadilan. Prinsip keadilan ini adalah bahwa beban
pengeluaran Pemerintah haruslah dipikul oleh semua golongan dalam masyarakat
sesuai dengan kekayaan dan kesanggupan masing-masing golongan. Keadilan
memiliki tiga dimensi. Pertama, pemerataan secara vertikal, yaitu dalam
hubungan pembebanan pajak atas tingkat pendapatan yang berbeda-beda. Dalam
konteks ini, pajak dapat dikatakan baik kalau pajak tersebut bersifat progresif,
yakni prosentase pendapatan seseorang yang dibayarkan untuk pajak bertambah
sesuai dengan tingkat pendapatannya. Sedangkan, pajak dikatakan tidak baik, jika
4. Pajak daerah seharusnya “visible”, dalam arti bahwa pajak seharusnya jelas
bagi pembayar pajak daerah, objek dan subjek pajak dan besarnya pajak
terutang dapat dengan mudah dihitung sehingga dapat mendorong
akuntabilitas daerah.
5. Pajak daerah seharusnya tidak dapat dibebankan kepada penduduk daerah
lain, karena akan memperlemah hubungan antar pembayar pajak dengan
pelayanan yang diterima (pajak adalah fungsi dari pelayanan).
6. Pajak daerah seharusnya dapat menjadi sumber penerimaan yang memadai
untuk menghindari ketimpangan fiskal vertikal yang besar. Hasil penerimaan,
idealnya, harus elastis sepanjang waktu dan seharusnya tidak terlalu
berfluktuasi.
7. Pajak yang diserahkan kepada daerah seharusnya relatif mudah
diadministrasikan atau dengan kata lain perlu pertimbangan efisiensi secara
ekonomi berkaitan dengan kebutuhan data, seperti identifikasi jumlah
pembayar pajak, penegakkan hukum (law-enforcement) dan komputerisasi.
8. Pajak dan retribusi berdasarkan prinsip manfaat dapat digunakan secukupnya
pada semua tingkat pemerintahan, namun penyerahan kewenangan
pemungutannya kepada daerah akan tepat sepanjang manfaatnya dapat
dilokalisir bagi pembayar pajak lokal.
Model Leviathan
Penggalian sumber-sumber keuangan daerah khususnya yang berasal dari
pajak daerah pada dasarnya perlu memperhatikan 2 (dua) hal, yaitu : (i) dasar
pengenaan pajak dan (ii) tarif pajak. Pemerintah Daerah cenderung untuk
menggunakan tarif yang tinggi agar diperoleh total penerimaan pajak daerah yang
maksimal. Pengenaan tarif pajak yang lebih tinggi, secara teoritis tidak selalu
menghasilkan total penerimaan maksimum. Hal ini tergantung pada respons wajib
pajak, permintaan dan penawaran barang yang dikenakan tarif pajak lebih tinggi.
Formulasi model ini dikenal sebagai Model Leviathan.
dan kuantitas barang terhadap pengenaan pajak sedemikian rupa, maka akan
dicapai Total Penerimaan Maksimum. Model Leviathan ini dapat dikembangkan
untuk menganalisis hubungan lebih lanjut antara tarif dan dasar pengenaan pajak
untuk mencapai Total Penerimaan Pajak Maksimal.
Kurva Laffer
t*
Total Penerimaan
Pajak Daerah
T*
Daerah menjelaskan perbedaan antara jenis pajak daerah yang dipungut oleh
Propinsi dan jenis pajak yang dipungut oleh Kabupaten/Kota.
d. Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan
20% (dua puluh persen);
e. Pajak Hotel 10% (sepuluh persen);
f. Pajak Restoran 10% (sepuluh persen);
g. Pajak Hiburan 35% (tiga puluh lima persen);
h. Pajak Reklame 25 % (dua puluh lima persen);
i. Pajak Penerangan Jalan 10% (sepuluh persen);
j. Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C 20% (dua puluh persen);
k. Pajak Parkir 20% (dua puluh persen).
8 Laporan Studi Dampak Krisis Ekonomi Terhadap Keuangan Daerah di Indonesia, LPEM
Universitas Indonsia bekerjasama dengan Clean Urban Project, RTI, Jakarta, 1999.
9 Buoyancy adalah perbandingan persentase perubahan penerimaan pajak terhadap persentase
perubahan pendapatan nasional. Dengan kata lain, buoyancy adalah elastisitas penerimaan
Tidak signifikannya peran PAD dalam anggaran daerah tidak lepas dari
‘sistem tax assignment’ di Indonesia yang masih memberikan kewenangan penuh
kepada Pemerintah Pusat untuk mengumpulkan pajak-pajak potensial (yang
tentunya dilakukan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu), seperti:
pajak penghasilan, pajak pertambahan nilai dan bea masuk. Kenyataan selama ini
menunjukkan bahwa distribusi kewenangan perpajakan antara daerah dan pusat
sangat timpang, yaitu jumlah penerimaan pajak yang dipungut oleh daerah hanya
sebesar 3,39% dari total penerimaan pajak (Pajak Pusat dan Pajak Daerah).11
Ketimpangan dalam penguasaaan sumbersumber penerimaan pajak tersebut
memberikan petunjuk bahwa perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat
dan Daerah di Indonesia dari sisi revenue assignment masih terlalu ”sentralistis”.
perpajakan terhadap PDB yang menunjukkan berapa persen perubahan penerimaan perpajakan
apabila PDB berubah 1%.
10 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun Anggaran 2001.
11 Machfud Sidik. 2002. op.cit. hal. 8.
B A B XXVIII
PINJAMAN DAERAH
Pendahuluan
injaman merupakan alternatif lain yang bisa dipilih untuk membiayai
Pada bagian ini akan dibahas mengenai tujuan dan batas-batas pinjaman,
metode dan sumber-sumber pinjaman, persyaratan-persyaratan pinjaman, dan
kemampuan meminjam (ability to borrowing). Dan agar pembahasan ini lebih riil di
lapangan, dalam subbagian selanjutnya akan disajikan praktek pinjaman daerah di
Indonesia.
melakukan pinjaman adalah seperti yang dituliskan oleh Davey (1983), bahwa
berbagai pinjaman dilakukan dengan tujuan sebagai berikut:
1. untuk menutup kebutuhan dana (cash) jangka pendek;
2. untuk membiayai kekurangan dana anggaran tahunan berupa biaya rutin dan
beban hutang;
3. untuk membeli pabrik dan peralatan dengan unsur jangka menengah;
4. untuk membiayai investasi yang diharapkan dapat menghasilkan penerimaan
bagi daerah;
5. untuk membiayai pembangunan modal jangka panjang (prasarana atau
penyediaan pelayanan umum).
Kekurangan dana dari anggaran tahunan adalah hal yang umum terjadi
untuk Pemerintah Pusat. Tetapi jarang diperkenankan bagi Pemerintah Daerah.
Pada tahun 1975, Pemerintah Daerah di Italia meminjam 61% dari penerimaan
kotor mereka untuk membiayai pengeluaran modal, membayar hutang dan
membiayai sebagaian besar dari biaya-biaya rutin (operating cost). Pemerintahan
New York juga pernah melakukan pinjaman untuk membayar gaji pegawai dan
uang pensiunan dan membayar hutang yang telah jatuh tempo.
Praktek dan konsep yang secara luas dapat diterima adalah dana pinjaman
untuk membiayai kegiatan investasi yang dapat “membiayai sendiri”. Maksudnya
adalah, proyek yang dibiayai tersebut dapat menghasilkan penerimaan (revenue)
yang dapat digunakan untuk membayar kembali dana pinjaman. Praktek-praktek
seperti ini antara lain sering diterapkan di negara-negara maju. Sebagai contoh,
pembangunan British New Town Corporation dibiayai oleh Pemeirntah Pusat
Inggris. Pengembalian pinjaman tersebut dari hasil penjualan rumah-rumah dan
toko-toko yang dibangun oleh British. Pemerintah negara bagian di Amerika
Serikat juga mengadakan pinjaman melalui industrial aid bonds untuk menyediakan
dana investasi perusahaan manufaktur perorangan. Manfaat dari pinjaman seperti
ini adalah, selain mendapatkan sumber penerimaan bagi daerah, Pemerintah
Daerah juga mampu menyediakan pelayanan publik secara lebih baik.
manfaat sosial dan ekonomi bagi masyarakat dibandingkan dengan revenue yang
dihasilkan. Oleh karenanya, sumber pinjaman untuk pembiayaan jenis ini
biasanya berasal dari negara-negara donor dengan tingkat bunga yang relatif lebih
rendah dibandingkan dengan bunga komersial.
Di antara sistem pinjaman tersebut di atas, ada tiga cara yang paling sering
digunakan oleh Pemerintah Daerah di berbagai negara. Pertama, adalah
Pemerintah Pusat memberikan pinjaman kepada Pemerintah Daerah. Praktek ini
diterapkan oleh India, dimana 71,6% pinjaman daerah berasal dari Pemerintah
Pusat pada tahun 1979. Bahkan, di Indonesia, hampir 100% pinjaman jangka
panjang Pemerintah Daerah berasal dari Pemerintah Pusat, karena ada larangan
dari Pemerintah Pusat bagi Pemerintah Daerah untuk meminjam di luar skema
Pemerintah Pusat. Pembahasan lebih lanjut untuk kasus di Indonesia ini akan di
bahas secara khusus di subbagian berikutnya. Kedua, sumber dana yang berasal
12 Mekanisme pinjaman two step loan dan subsidiary loan aggreement adalah pinjaman dari luar negeri ke
Pemerintah Pusat, kemudian oleh Pemerintah Pusat, pinjaman tersebut diteruskan ke Pemerintah
Daerah.
Persyaratan-Persyaratan Pinjaman
Beberapa persyaratan yang harus dipenuhi dalam ketentuan pinjaman
adalah (i) jangka waktu pinjaman; (ii) cara pembayaran kembali; (iii) tingkat
bunga; (iv) keamanan pinjaman; dan (v) persetujuan dan penyidikan.
Legal Foundation
UU No. 5/1974 UU No. 25/1999
PP 107/2000
Institutional Setting
Persetujuan (Approval) Persetujuan (Approval)
• Menteri Dalam Negeri, berkenaan • Menteri Keuangan
dengan persetujuan batas • DPRD
maksimum pinjaman dan
persetujuan pemberian.
• Menteri Keuangan, sebagai
pengawas RPD dan persetujuannya
Batasan Pinjaman (Persyaratan) Batasan Pinjaman (Persyaratan)
• 1982: Debt Service Coverage Ratio • Jumlah kumulatif pokok pinjaman
(DSCR) < 15% yang wajib dibayar tidak melebihi
• Kepmendagri Nomor 96 Tahun 75% dari jumlah Penerimaan
1994: Umum APBD tahun sebelumnya.
§ Minimum DSCR = 1 • DSCR minimal 2,5 berdasarkan
§ Average DSCR > 1,5 proyeksi penerimaan dan
pengeluaran selama jangka waktu
pinjaman.
• Jumlah maksimum pinjaman
jangka pendek adalah 1/6 jumlah
belanja APBD tahun anggaran
berjalan.
Sumber-Sumber Pinjaman
• Pinjaman Luar Negeri Pemerintah • Sumber Dalam Negeri:
Pusat § Pemerintah Pusat
• Pinjaman Pemerintah Pusat melalui § Perbankan
RDI § Lembaga keuangan non-
• INPRES untuk pembangunan pasar bank
• IPEDA § Sumber-sumber lain
• Sumber-sumber lain (BPD dan • Sumber Luar Negeri
sektor swasta) § Bilateral
• Pemerintah Pusat melalui RPD § Multilateral
Sumber: Alm & Mulyani, 2000
Persyaratan Keterangan
Jangka Panjang (Long Term) • Jumlah kumulatif pokok Pinjaman
Daerah yang wajib dibayar tidak
melebihi 75% (tujuh puluh lima
persen) dari jumlah Penerimaan
Umum APBD tahun sebelumnya;
dan
• Berdasarkan proyeksi penerimaan
dan pengeluaran Daerah tahunan
selama jangka waktu pinjaman, Debt
Service Coverage Ratio (DSCR) paling
sedikit 2,5 (dua setengah).
Jangka Pendek (Short Term) • Jumlah maksimum Pinjaman Jangka
Pendek adalah 1/6 (satu per enam)
dari jumlah belanja APBD tahun
anggaran yang berjalan.
Sumber: Pasal 6 & 7 PP 107/2000
Larangan Penjaminan
• Daerah dilarang melakukan perjanjian yang bersifat penjaminan terhadap
pinjaman pihak lain yang mengakibatkan beban atas keuangan Daerah.
• Barang milik Daerah yang digunakan untuk melayani kepentingan umum
tidak dapat dijadikan jaminan dalam memperoleh Pinjaman Daerah.
Sumber: Pasal 10 PP 107/2000
B A B XXIX
Pendahuluan
ransaksi internasional bukan merupakan hal yang baru. Transaksi tersebut
T sudah dilakukan sejak jauh sebelum abad Masehi. Ekonom klasik menaruh
perhatian terhadap perdagangan internasional. Adam Smith atau David
Ricardo berpendapat bahwa negara akan lebih baik apabila melakukan spesialisasi
produksi barang berdasarkan keuntungan komparatifnya, mengekspor barang
tersebut dan mengimpor barang dari negara lain yang bisa memproduksi barang
lain dengan lebih efisien. Sebagai contoh, negara dengan tenaga kerja murah akan
lebih baik memproduksi barang bercirikan padat karya, seperti tekstil dan sepatu.
Negara dengan kemampuan teknologi tinggi sebaiknya memproduksi barang
seperti computer atau perangkat lunak. Kemudian kedua negara tersebut akan
melakukan pertukaran: negara yang satu mengeksport tekstil dan mengimpor
computer, sedangkan yang lainnya mengekspor computer dan mengimpor tekstil.
Dengan cara semacam itu kemakmuran dunia akan semakin meningkat. Teori
tersebut kemudian dikenal sebagai doktrin keunggulan komparatif. Asumsi dalam
teori tersebut adalah bahwa faktor produksi seperti tenaga kerja, modal, tanah dan
mesin tidak mudah berpindah (tidak mobil), sedangkan barang yang dihasilkan
bisa dipindahkan dengan mudah. Juga teori tersebut mengasumsikan pertukaran
barang komoditi, bukannya barang yang terdiferensiasi. Daya saing suatu negara
sudah ditentukan (given), tergantung sumberdaya yang dipunyai. Faktor lain
seperti ketidakpastian, skala ekonomi, teknologi tidak dipertimbangkan dalam
teori tersebut.
Efisiensi
Perbedaan tarif pajak tentunya akan mempengaruhi lokasi dari kegiatan
perekonomian dan cenderung menghambat penggunaan sumber daya yang paling
efisien. Jika Mr.C, seorang investor merasakan bahwa pajaknya akan lebih rendah
apabila dia menanamkan modal di Vietnam dari pada di Indonesia, maka Mr C
akan menanamkan lebih banyak modalnya di Vietnam. Dengan demikian,
permasalahannya adalah bagaimana mengelola pengenaan pajak atas pendapatan
Nn. D yang bekerja selama enam bulan di Inggris dan kemudian kembali
ke Amerika Serikat, akan membayar pajak Inggris Raya atas pendapatan yang
diperolehnya di Inggris. Guna menentukan pajak yang akan di bayarnya di
Amerika Serikat, pendapatan di Inggris juga akan diperhitungkan, tetapi pajak
yang telah dibayar di Inggris akan dikreditkan terhadap kewajiban pajaknya di
Amerika Serikat, karena hal itu merupakan pajak seharusnya akan dibayarnya
seandainya pendapatan tersebut diperoleh di Amerika Serikat. Paling tidak itulah
prosedurnya seandainya pajak yang dikenakan Inggris tidak melebihi pajak yang
akan dikenakan Amerika Serikat atas pendapatan yang diperoleh di Inggris
tersebut.
Penangguhan Pajak
Ketentuan mengenai penangguhan pajak didasarkan pada asumsi bahwa
perusahaan anak diluar negeri benar-benar merupakan satuan usaha yang tepisah.
Jadi, kelihatannya hal ini akan bertentangan dengan ketentuan mengenai
pengkreditan yang mengganggap pajak perusahaan anak pada kenyataannya
merupakan pajak perusahaan induk. Penangguhan pajak hampir tidak
menimbulkan perbedaan apa pun bagi perusahaan induk jika pajak luar negeri
tidak lebih kecil dari pajak yang akan dikenakan di dalam negeri. Jika kondisi ini
terjadi (biasanya pada negara–negara yang sedang berkembang, dimana mungkin
tarif pajak sangat rendah), perusahaan anak akan lebih condong untuk
menginvestasikannya kembali labanya dinegara yang menerapkan tarif pajak yang
rendah (yang disebut sebagai surga pajak).
dalam menghitung laba yang terpisah bagi satuan satuan usaha yang terkait, maka
pernah disarankan suatu cara yang berbeda sama sekali. Laba sebagai dasar
pengenaan pajak (profits base) dari perusahaan multinasional dapat dialokasikan di
antara negara negara tidak berdasarkan lokasi dari perusahaan anak tetapi
berdasarkan negara asal laba yang diperoleh oleh group usaha tersebut secara
keseluruhan. Negara asal tersebut bisa diperkirakan dengan suatu rumus yang
memperhitungkan lokasi nilai tambah dan penjualan. Meskipun cukup menarik,
namun pelaksanaan pendekatan ini memerlukan pengaturan pajak internasional
dan karena itu masih merupakan alternatif yang tak terjangkau.
Pajak Konsumsi.
Pajak konsumsi atau pajak tujuan produk (destination taxes) tidak mempengaruhi
lokasi kecuali jika terdapat diskriminasi antara barang produksi dalam negeri dan
barang impor, yaitu jika pajak tersebut dalam bentuk bea masuk dan cukai.
Misalkan negara A mengenakan pajak terhadap konsumsi atas semua X dan Y,
yang diproduksi di dalam negeri maupun yang diimpor. Ini tidak akan
mempengaruhi perdagangan karena harga relatif antara produksi dalam negeri
dan impor tidak berubah. Jika pajak itu hanya dikenakan terhadap Y, baik
produksi domestik maupun impor, akibatnya konsumen akan menambah
konsumsi X dan mengurangi konsumsi Y. Penyesuaian ini bisa mempengaruhi
tingkat perdagangan, tetapi lokasi untuk kedua produk itu (pada tingkat produksi
yang baru) masih akan tetap sejalan dengan keunggulan komparatif.
Pajak Produksi
Dalam mempermasalahkan pajak produksi atau pajak asal produk (origin taxes),
kita bisa melihat bahwa distorsi atau penyimpangan bisa saja terjadi meskipun
tidak ada upaya untuk mendiskriminasikan produk luar negeri. Pertama-tama
anggaplah bahwa harga negara B mengenakan pajak produksi umum misalnya
cukai sebesar 10 persen terhadap barang X dan barang Y. Akibatnya, harga barang
di negara B akan naik sejalan dengan pajak tersebut. Karena merasa bahwa harga
produk dalam negeri telah naik jika dibandingkan dengan harga produk impor,
konsumen negara B akan memperbesar impor. Konsumen negara A akan
merasakan hal sebaliknya. Eksportir B akan menambahkan pajak tersebut ke biaya
(harga) produknya sehingga harga barang impor bagi konsumen A menjadi lebih
tinggi sehingga impor akan dikurangi. Jika kurs valuta asing bersifat fleksibel,
kenaikan permintaan atas mata uang A dan penurunan permintaan atas mata
uang B akan menyebabkan naiknya nilai mata uang A terhadap B. Ini akan
menghambat keinginan konsumen B untuk menambah impor dan keinginan
konsumen A untuk mengurangi impor. Perbandingan harga antara ekspor dan
impor tidak akan berubah dan nilai riil perdagangan tidak terpengaruh.
penjualan eceran atas produk Y di negara B yang seperti telah kita lihat, tidak
mendistorsikan lokasi produksi sejauh dikenakan terhadap produk impor dan
produk dalam negeri.
Ceritanya juga akan sama jika B memajaki X. Konsumen B dalam hal ini
akan melakukan subtitusi dengan X impor, dan penyesuain selanjutnya akan
terjadi. Pada akhirnya, tingkat perdagangan riil akan naik, tetapi lagi-lagi lokasi
produksi akan mengalami distorsi. Makin banyak X diproduksi di A dan makin
banyak Y diproduksi di B dari pada sebelumnya. Distorsi dalam hal ini bisa
dihindarkan jika B mengenakan bea masuk atas X untuk mengkompensasi pajak
produksi X. Disini juga pajak berubah menjadi pajak konsumsi (yaitu pajak atas
semua X yang di konsumsi di B) tanpa adanya distorsi atas lokasi produksi.
Koordinasi Pengeluaran
Diantara sejumlah negara, sebagaimana halnya dengan pemerintah
daerah, terdapat kepentingan bersama yang mendorong mereka untuk bekerja
sama dalam proyek patungan. Ini bisa saja menyangkut pembangunan jalan di
perbatasan dua negara, usaha pertahanan bersama seperti NATO, usaha bersama
dalam memerangi penyakit, jaringan narkotik, dan pasar bersama. Semua ini
menyebabkan perlunya pembagian beban biaya yang harus dipikul. Jika jumlah
anggota kelompok atau pesertanya kecil, pembagian beban biaya bisa
dirundingkan dengan membandingkan manfaat yang akan diperoleh setiap pihak.
Khusus mengenai pertahanan, kerja sama akan lebih menguntungkan sekutu yang
kecil karena peningkatan pertahanan yang kecil sekalipun oleh sekutu yang besar
akan merupakan tambahan perlindungan yang sangat besar bagi sekutu tersebut.
Jika anggotanya sangat banyak, maka masalahnya akan mirip dengan masalah
penentuan anggaran antar perorangan. Jika tarif perkiraan (assesment rate) yang
proposional digunakan, setiap negara mungkin akan diharuskan untuk membayar
dalam presentase GNP atau presentase pendapatan nasional yang sama. Jika
perhitungan progresif digunakan, akan timbul pertanyaan apakah kelompok tarif
tersebut hanya dikaitkan dengan pendapatan perkapita dari penduduk di berbagai
negara (dimana penduduk dianggap sebagai patokan dasar).
kira sama diikuti dalam pemesanan modal saham Internasional Bank for
Reconstruction and Development (IBRD). Harus dicatat bahwa semua kontribusi
ini relatif kecil jumlahnya sehingga pengecualian atau penyimpanan bagi negara
tertentu tidak begitu berpengaruh. Kontribusi untuk NATO, yang melibatkan
jumlah yang besar, tidak ditentukan dengan suatu dasar perumusan yang
tetapkan tetapi pada hakikatnya tergantung pada negosiasi. Amerika Serikat
merupakan penanggung terbesar atas biaya NATO, dengan kontribusi yang
mungkin melebihi bagian yang seharusnya ditanggungnya seandainya hal itu
ditentukan berdasarkan presentase GNP.
Hal yang sama berlaku juga untuk keadaan inflasi, dengan kurs yang
tetap, kebijakan inflasioner negara akan memperlemah (mendefisitkan) neraca
perdagangannya dan menimbulkan besarnya permintaan ke negara B. Dengan
kurs yang fleksibel, pengalihan permintaan ke Negara B ini tidak akan terjadi
karena adanya penurunan nilai mata uang A. Sekali lagi, kurs yang fleksibel akan
mengurangi gejolak perdagangan. Akan tetapi gambaran ini telalu
disederhanakan. Penyesuaian kurs tidak berlangsung dalam sekejap dan
perubahan kurs secara diskresioner dapat menjadi faktor pengganggu
pengendalian atas kurs itu sendiri merupakan alat kebijakan yang memerlukan
kerja sama lebih lanjut.
Aliran Modal
Pengaruh kebijakan yang ekspansioner atau restriktif terhadap perdagangan bisa
dikatakan sama, entah itu kebijakan fiskal atau moneter. Akan tetapi, bauran
kebijakan stabilisasi akan menjadi masalah besar jika dikaitkan dengan aliran
modal. Aliran modal dipengaruhi oleh tingkat pengembalian yang dihasilkan di
berbagai negara. Perpaduan kebijakan fiskal yang longgar dengan kebijakan
moneter yang ketat akan menghasilkan suku bunga yang tinggi sehingga
mengundang masuknya modal asing, dan begitu juga sebaliknya.
Setiap tax treaty mempunyai prinsip prinsip dasar yang kurang lebih sama,
sebagai bagian dari konvensi internasional di mana setiap negara yang terlibat
dalam suatu tax treaty menyusun perjanjiannya masing masing berdasarkan
model-model perjanjian yang diakui secara internasional. Pada dasarnya terdapat
dua model treaty yang sering dijadikan acuan dalam menyusun suatu treaty yaitu
model OECD dan Model PBB.
bagian tentang pencegahan penghindaran pajak dan bagian yang mencakup hal-
hal lainnya.
Tax Covered
Klausul ini mengatur tentang jenis-jenis pajak yang perlakuannya menggunakan
ketentuan tax treaty yang bersangkutan. Jenis pajak yang diatur disini akan
mengikuti ketentuan sesuai dengan tax treaty dan mengabaikan ketentuan internal
yang berlaku di masing-masing negara. Dalam beberapa hal, ketentuan suatu tax
treaty memiliki suatu kekuatan yang berada di atas sistem perundang undangan
yang berlaku secara internal di dalam suatu negara. Aturan dalam tax treaty hanya
diberlakukan untuk jenis pajak langsung seperti Pajak Penghasilan (PPh). Atas
pajak tidak langsung seperti Pajak Pertambahan Nilai atau pajak yang dipungut
oleh pemerintah daerah tidak diatur dalam tax treaty. Dalam ketentuan umumnya
(general definitions), diatur tentang definisi istilah-istilah umum yang berkaitan
dengan definisi persons (orang atau badan), national (negara atau
kewarganegaraan), international traffic (lalu lintas internasional), enterprise (badan
usaha) dan lain lain.
Residence
Dalam kriteria ini akan diatur tentang dua hal yakni definisi penduduk (berkaitan
dengan personal scope) serta tie breaker rule, yaitu tentang ketentuan yang
menentukan tidak berlakunya status residence atas suatu pihak dengan
karakteristik tertentu. Definisi penduduk adalah setiap orang pribadi atau badan
yang berdasarkan ketentuan internal suatu negara – seperti keberadaan, domisili,
tempat kedudukan manajemen atau sebab-sebab lain yang mempunyai
karakteristik yang sama – dapat dikenai pajak di negara tersebut. Dengan kata lain,
penduduk adalah Subjek Pajak dalam negeri suatu negara yang dikenai pajak
sesuai dengan ketentuan perundang-undangan lokal yang berlaku dinegara
tersebut. Undang-undang nasional dari banyak negara umumnya mengenakan
Permanent Establishment
Klausul ini mengatur tentang seberapa jauh jangkauan suatu negara dalam
mengenakan pajak atas penghasilan yang bersumber dari negara tersebut. Pada
jaman sekarang, suatu usaha tidak hanya dilakukan di negara sendiri. Di negara
lainpun suatu pihak melakukan usaha. Apabila usaha di negara lain itu ternyata
berhasil, adalah hal yang logis jika otoritas pajak di negara tersebut ingin
mengenakan pajak atas penghasilan yang diterima. Namun berkaitan dengan
keinginan tersebut, tentunya harus ada batasan-batasan ataupun aturan yang jelas
hingga bisnis yang dilakukan yang sekaligus merupakan investasi di negara
tersebut tetap saja berjalan dengan baik. Cerminan dari batas atau aturan tersebut
adalah ketentuan tentang permanent establishment atau bentuk usaha tetap (BUT).
Contoh contoh dari BUT dapat dikatagorikan menjadi empat macam yaitu:
• BUT Fasilitas Fisik. BUT tipe ini merupakan tipe yang paling mudah
diketahui keberadaannya. BUT timbul karena adanya fasilitas fisik seperti
gedung, kantor perwakilan, pabrik, bengkel dan lain lain.
• BUT Aktivitas. Timbulnya BUT tipe ini ditandai dengan adanya aktivitas
yang melebihi batas waktu tertentu (time test) yang dilakukan di negara
lain. Aktivitas tersebut bisa berupa pelaksanaan berbagai macam jasa
(seperti jasa konstruksi dan jasa jasa lainnnya). Lamanya time test yang
digunakan dapat berbeda beda antara satu tax treaty dengan tax treaty
yang lain. Time test ini disesuaikan dengan kesepakatan dari kedua negara.
Klausul ini menjelaskan tentang saat berlakunya sebuah tax treaty. Saat berlakunya
tax treaty sangat bergantung dari selesainya tahap-tahap pembentukannya.
Pembentukan sebuah tax treaty yang dimulai dengan penandatanganan oleh kedua
otoritas yang berwenang dan dilanjutkan dengan ratifikasi di kedua negara.
Setelah kedua negara selesai meratifikasi, selanjutnya dilakukan pertukaran
dokumen-dokumen ratifikasi. Setelah pertukaran dokumen ratifikasi ini selesai
dilakukan maka tax treaty pun dapat diberlakukan.
Termination
Klausul ini menjelaskan tentang saat berakhirnya sebuah tax treaty. Tax treaty
dapat berakhir setelah periode tertentu yang telah disepakati oleh kedua negara.
Salah satu negara dapat mengakhiri sebuah tax treaty dengan cara mengadakan
pemberitahuan terlebih dahulu yang harus dilakukan dalam jangka waktu tertentu
sesuai dengan yang telah disepakati.
Business Profits
Klausul ini merupakan perluasan dari klausul permanent establishment yang
mangatur tentang pengenaan pajak atas laba usaha milik penduduk suatu negara
yang bersumber dari negara treaty partner (negara pasangan dalam tax treaty).
Penentuan dapat atau tidaknya negara treaty partner mengenakan pajak, sangat
tergantung pada ada atau tidaknya BUT di suatu negara. Laba usaha milik
penduduk suatu negara pada dasarnya hanya dapat dikenakan pajak di negara
tersebut. Namun apabila penduduk suatu negara mendapatkan penghasilan di
negara treaty partner melalui BUT-nya, maka negara treaty partner tersebut berhak
mengenakan pajak atas penghasilan yang diterima melalui BUT itu. Bila kegiatan
usaha yang dilakukan penduduk negara domisili di negara sumber tidak melalui
BUT, maka laba usaha dari kegiatan itu hanya dikenai pajak di negara domisili
(Rachmanto Surachmat, 2001)
Dividends
Dividen merupakan penghasilan yang diterima oleh pemegang saham dari suatu
perusahaan. Tak sedikit negara yang mengenakan pajak atas penghasilan berupa
dividen ini. Indonesia pun mengenakan pajak atas dividen baik yang diterima oleh
wajib pajak dalam negeri maupun wajib pajak luar negeri. Klausul dividen,
sebagaimana namanya, memang merupakan aturan mengenai pengenaan pajak
atas penghasilan yang berupa dividen. Dalam klausul ini dinyatakan bahwa
negara tempat dividen berasal juga berhak mengenakan pajak atas dividen
tersebut. Dalam artikel ini juga menyatakan tentang tarif pajak maksimal yang
dapat dikenakan di negara asal dividen tersebut yang dibedakan menjadi dua
yaitu tarif untuk dividen portofolio (saham dengan kepentingan semata mata
investasi) dan untuk dividen dari penyertaan langsung ( saham dengan
kepentingan control)
Interets
Klausul ini mengatur tentang pemajakan atas penghasilan bunga yang diterima
dari negara treaty partner. Selain memberikan definisi tentang bunga, klausul ini
juga mengatur bahwa negara tempat bunga berasal (treaty partner) juga dapat
mengenakan pajak atas bunga tersebut. Tak berbeda dengan artikel dividen,
artikel bunga pun mengatur tentang tarif maksimal pemotongan pajak untuk
negara tempat dividen berasal.
Royalties
Klausul ini mengatur tentang pemajakan atas penghasilan royalti yang diterima
dari negara treaty partner. Tak berbeda dengan artikel dividend dan bunga, artikel
royalti ini juga memberikan definisi royalti disamping mengatur bahwa negara
tempat di mana royalti berasal dapat mengenakan pajak sesuai dengan tarif
maksimal yang disepakati.
Capital Gains
Klausul ini mengatur tentang penghasilan berupa keuntungan pemindahtanganan
harta. Ketentuan dalam tax treaty pada umumnya mengatur bahwa negara tempat
harta tersebut terletak sebelum dipindahkan juga berhak untuk mengenakan
pajak. Termasuk dalam pengertian harta dalam artikel ini adalah harta berupa
perumahan dalam suatu kawasan real estate. Dalam bukunya, Rachmanto
Surachmat (2001) memaparkan bahwa hak mengenakan pajak atas keuntungan
karena pemindahtanganan harta yang digunakan untuk berusaha harus diberikan
kepada negara yang sama, yaitu negara yang berhak mengenakan pajak atas
business profit (negara tempat perusahaan berdomisili), tanpa membedakan apakah
keuntungan itu diperlakukan sebagai gain dari usaha. Karena itu, persetujuan
penghindaran pajak berganda tidak memerlukan aturan khusus yang
membedakan capital gain dari business profit. Hal ini diserahkan kepada undang
undang pajak domestik masing-masing negara.
Director’s Fees
Klausul ini mengatur tentang pemajakan atas penghasilan yang diterima oleh
direktur yang bekerja pada perusahaan yang berada di negara lain (merupakan
penduduk di negara tersebut). Dalam klausul ini dinyatakan bahwa penghasilan
yang diterima oleh direktur dalam kapasitasnya yang murni sebagai seorang
direktur dapat dikenai pajak di negara domisili perusahaanya tanpa memandang
jangka waktu keberadannya di sana. Bila diperhatikan, prinsip ini berbeda dengan
prinsip pemajakan atas penghasilan orang pribadi yang lain sebagaimana diatur
dalam klausul dependent dan independent personal services yang menggunakan syarat
jangka waktu keberadaan sebagai alat menentukan aspek pemajakan. Menurut
Rachmanto Surachmat (2001), hal ini untuk menyederhanakan pengenaan
pajaknya, sebab seringkali penentuan di mana kegiatan pekerjaan dilakukan –
dalam kedudukannya sebagai anggota dewan direksi – adalah sulit. Fungsi
sebagai direktur bisa saja dilakukan di negara dimana ia berdomisili, karena itu
yang diberikan hak pemajakan adalah negara di mana pihak yang membayarkan
gaji berkedudukan. Namun demikian, apabila pekerjaan yang dilakukan tidak lagi
murni sebagai seorang direktur maka pemajakan atas penghasilan tersebut tidak
lagi mengikuti ketentuan dalam klausul ini. Penentuan aspek pemajakannya
disesuaikan dengan jenis kegiatan (pekerjaan) yang dilakukan oleh direktur
tersebut. Jika direktur tersebut melakukan tugas tugas manajerial misalnya, maka
aspek pemajakannya mengacu pada klausul dependent personal services. Namun
apabila direktur tersebut bekerja sebagai konsultan pada perusahaan, maka aspek
pemajakannya dalam hal ini akan mengacu pada klausul independent personal
services.
Pensions
Klausul ini mengatur tentang penghasilan yang diterima oleh pensiunan swasta.
Pada umumnya, penghasilan berupa pensiun dikenai pajak di negara tempat di
mana pekerjaan itu dahulunya dilakukan. Namun sebagian besar tax treaty
mengatur bahwa penghasilan tersebut dikenai pajak di negara di mana yang
bersangkutan menjadi penduduk pada saat pensiun
Government Services
Exchange of Information
Klausul ini mengatur tentang pertukaran informasi antar otoritas pajak di kedua
negara yang terkait dalam suatu tax treaty. Dengan adanya pertukaran informasi,
dapat dikatakan bahwa klausul ini merupakan salah satu senjata dalam
menanggulangi praktek-praktek penyelundupan atau penggelapan pajak.
Pertukaran informasi dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu pertukaran
informasi secara rutin dan pertukaran informasi berdasarkan permintaan.
Undang yang berlaku di negara masing masing. Sebagai contoh, jika Wajib Pajak
luar negeri yang berkedudukan di Inggris, maka Wajib Pajak luar negeri tersebut
hanya dapat menerapkan ketentuan tax treaty Indonesia – Inggris apabila memiliki
SKD/CRT dari competent authority yang ditunjuk negara Inggris. Jika tidak, maka
penghasilan Wajib Pajak Luar Negeri yang bersumber dari Indonesia langsung
dikenakan PPh Pasal 26 dengan tarif 26% dari penghasilan bruto.
DAFTAR PUSTAKA
Alisjahbana, Armida S. 2001. “Tinjauan Permasalahan serta Prakondisi yang
Diperlukan Bagi Pengembangan Penggunaan Pinjaman Daerah di Indonesia”.
Makalah pada sidang ISEI, Batam, Indonesia, 14 April.
Aronson, J. Richard. 1985. Public Finance, McGraw Hill, Inc.
Arsjad, Nurjaman, dkk. 1992. Keuangan Negara. Intermedia, Jakarta.
Bennet, Robert J., editor. 1990. Decentralisation, Local Governments and Markets.
Oxford: Clarendon Press.
Bird, Richard M dan Chen, Duanjie. 1996. “Federal Finance and Fiscal Federalism:
The Two Worlds of Canadian Public Finance”. Discussion Paper No. 6,
International Centre for Tax Studies. University of Toronto (July).
Bird, Richard M. 1994b. “A Comparative Perspective on Federal Finance” dalam
K.G. Banting, D.M. Brown, dan T.J. Courchence, editor. The Future of Fiscal
Federalism. Kingston, Ont.: Queen’s University School of Public Policy.
Bird, Richard M. dan Francois Vaillancourt. 1998. Fiscal Decentralization in
Developing Countries. United Kingdom: Cambridge University Press.
Brennan, Geoffrey dan Buchanan, James. 1981. “Tax Limits and The Logic of
Constitutional Restriction, dalam “Democratic Choice and Taxation: A
Theoritical and Empirical Analysis”, Hettich,Walter dan Winer, Stanley, L.
Cambridge University Press.
Brodjonegoro, Bambang dan Arlen T. Pakpahan. 2002. ”Evaluasi atas Alokasi DAU
2001 dan Permasalahannya” dalam Machfud Sidik, dkk. 2002. Dana Alokasi
Umum. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Cnossen, Sijbren & Hans-Werner Sinn. 2003. Public Finance and Public Policy in the
New Century, MIT Press, Cambridge, London.
Davey, K.J. 1983. Financing Regional Government: International Practices and Their
Relevance to the Third World. University of Birmingham: Institute of Local
Government Studies.
Feldstein, Martin, (1984), Debt and Taxes in The Theory of Public Finance, NBER,
Massachusetts Avenue Cambridge, MA, USA.
Fullerton, Don dan Metcalf, Gilbert. 2002. Tax Incidence- Working Paper 8829.
National Bereau of Economics Reserach. Cambridge (Maret).
Gunadi, (1999), Pajak Internasional, Lembaga Penerbit FE UI, Jakarta
Hanafi, M, Mamduh, (2003), Manajemen Keuangan Internasional, BPFE, Jogyakarta
Hyman, David N. 2002. Public Finance, A Contemporary Application of Theory to
Policy. Edisi Ketujuh. United States: South-Western, Thompson Learning.
Kadjatmiko. 2004. “Transfer Antar Tingkat Pemerintahan (Intergovernmental
Transfer)” dalam Machfud Sidik, dkk. 2004. Bunga Rampai Desentralisasi
BIOGRAFI PENYUSUN
Beberapa penugasan yang pernah diterima antara lain, sebagai Ketua Grup Kerja Tim
Subsidi Impor Bulog, Anggota Tim Penyusunan Nota Keuangan dan RAPBN Departemen
Keuangan, Ketua Tim Koordinasi dan Monitoring Perhitungan APBN, Penasehat Tim
Penyempurnaan Sistem Akuntansi, Anggota Dewan Komisaris PT Telkom dan Anggota
Redaksi Jurnal Keuangan dan Moneter, Departemen Keuangan. Selain itu, saat ini beliau
masih aktif sebagai Anggota Dewan Penasehat ISEI Cabang Jakarta, Anggota Dewan
Komisaris PT Pelindo III dan Ketua Dewan Pengawas Rumah Sakit Persahabatan, Jakarta.
Pengalaman mengajar yang pernah dilaksanakan antara lain, sebagai dosen Sekolah Tinggi
Akuntansi Negara, dosen luar biasa pada Universitas Trisakti, dan STIE Indonesia, Jakarta.
Sedangkan beberapa hasil karya penulisan atau papernya, yaitu ” Energy Comsumption in
USA, Cross Section Analysis” (1980), ”Pengaruh Eksternal Shock Negara Industri
terhadap Negara Berkembang” (terjemahan, 1984), ”Services Account Balance of
Payment” (1985), ”Pokok-pokok Pengembangan Pendidikan dan latihan Jarak Jauh di
Departemen Keuangan (1994), dan ” The Impact of Institutional Environment on Public
Official Permormance: Does Instititional Environment Affect The Rate Of Corruption?”
(bersama Andie Megantara, Jurnal Keuangan Publik, BPPK Vol.1 No.1, September 2003).
Buku hasil karyanya yang lain berjudul “Manual Statistik Keuangan Pemerintah”.
Beberapa hasil tulisan atau paper yang pernah dibuat antara lain; ”An Overview of the
Indonesian Automotive Industry” (Journal of Economics and Business Administration No.
29, March 2002), ”The Impact of Institutional Environment on Public Official Corruption”
(Journal of Economics and Business Administration No. 30, March 2003), dan ”The Impact
of Institutional Environment on Public Official Performance: Does Institutional
Environment Affect the Rate of Corruption?” (bersama Noor Fuad, Jurnal Keuangan Publik
Vol.1 No.1, September 2003). Buku hasil karyanya yang lain berjudul “Manual Statistik
Keuangan Pemerintah”.