You are on page 1of 6

Dakwah di Indonesia dan Tantangannya

Farid Achmad Okbah, M.Ag.


Monday, 20 November 2006

Allah SWT menciptakan manusia dengan dua ketentuan: ketentuan bersifat mutlak sebagai kehendak Allah yang disebut iradah kauniyyah, dan ketentuan yang menghendaki menusia berjalan menuju ke jalan kebenaran, atau disebut iradah syar'iyyah. Dalam iradah kauniyyah, manusia tidak dimintai pertanggungjawaban atas kehendak Allah yang terjadi padanya, mengapa ia menjadi seorang pria atau wanita; mengapa muka kita seperti ini, mengapa berbadan tinggi, dan yang semacamnya. Ketentuan kedua Allah, iradah syariyyah, menghendaki manusia berjalan menuju kebenaran. Untuk tujuan tersebut, Allah memberikan sejumlah perangkat. Pengutusan para Rasul yang ditutup oleh Rasulullah saw. adalah salah satunya. Barang siapa yang menerima dan memegang komitmen dalam hidupnya sesuai dengan kehendak Allah, maka dia selamat dunia maupun akhirat (lihat An-Nahl: 97). Tapi sebaliknya, jika ia menolak dengan berpegang kepada isme-isme buatan jin dan manusia, dia tersesat di dunia dan merugi di akhirat (lihat Taha: 124-126). Atas dasar itu, terjadi tarik-menarik antara kebenaran dan kebatilan. Bendera kebenaran dibawa oleh para nabi, sedang bendera kebatilan dibawa oleh para syaitan, baik dari jenis jin maupun manusia (Al-An'am: 112). Maka, sejak Iblis diusir dari neraka, dia bersumpah untuk menyesatkan seluruh manusia, kecuali hamba Allah yang bersyukur (Al-A'raf: 12-18). Upaya penyesatan itu berlangsung sampai hari kiamat. Maka, sejak itu terjadi dua kelompok yang tarik-menarik, seperti firman Allah SWT (yang artinya), "Orang yang beriman di jalan Allah, sedangkan orang-orang kafir berjuang di jalan thaghut, maka perangilah pembela-pembela syaitan, sesungguhnya tipu daya syaitan itu lemah." (An-Nisa: 76). Upaya perusakan syaitan dilakukan melalui dua arah. Pertama, fitnah syubhat berupa wacana pemikiran dan keyakinan yang berlawanan dengan kebenaran. Fitnah ini diusung oleh non-Muslim (baca: kafir) atau juga lewat orang Muslim yang berpenyakit (baca: munafik). Kedua, fitnah syahwat dalam perilaku seksual. Jika seorang Muslim terkena salah satu fitnah tersebut, atau bahkan keduanya, daya memperjuangkan Islamnya akan lumpuh. Dalam melumpuhkan kekuatan umat Islam, musuh-musuh Islam menggunakan segala macam cara yang terus menerus dikembangkan. Itu dilakukan sepanjang sejarah perjuangan umat Islam, mulai dari negara pimpinan Nabi saw., lalu dinasti Umayyah, Abbasiyyah, dinasti-dinasti lain, dan sampai yang terakhir, Utsmaniyah. Dicatat oleh Dr. Abdul Halim dalam kitabnya Asbaabu Suquuthi Tsalatsiina Daulah Islamiyyah (Sebab-Sebab Kejatuhan 30 Negara Islam), bahwa kejatuhan negara-negara Islam umumnya disebabkan oleh hal-hal di atas, dari penyimpangan ideologi sampai penyimpangan moral. Definisi Dakwah Secara bahasa, dakwah artinya memanggil atau menyeru. Adapun secara istilah, dakwah artinya upaya-upaya yang sistematis dalam rangka mengajak manusia mengimani agama Allah dan beriltizam kepada-Nya. Pensyariatan Berdakwah "Katakanlah: 'Ini jalanku (agamaku), aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang

musyrik'." (Yusuf: 108). "Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk." (An-Nahl: 125). "Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang maruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung." (Ali Imran: 104). Urgensi Dakwah Bahwa dalam rangka mengembangkan dakwah dan mencapai target yang diharapkan serta tersebarnya dakwah Islamiyyah dengan benar, maka diperlukan paling tidak tujuh unsur. 1. Memahami risalah dakwah. 2. Dai yang berkualitas. 3. Memahami objek dakwah (madu). 4. Memahami cara (thariqah) berdakwah. 5. Memahami tujuan (hadaf) berdakwah. 6. Mengetahui tantangan-tantangan (syubuhat) dakwah. 7. Memahami manajemen (idarah) dakwah. Problematika Umat Islam Indonesia Kerja sama zionisme dan salibisme Internasional dalam menghadapi umat Islam dicatat Dr. Umar alFaruk dalam bukunya Segi Tiga: Penjajahan, Orientalisme, dan Kristenisasi sebagai usaha yang memporak-porandakan kekuatan umat Islam di seluruh dunia. Kita melihat bagaimana Portugal, Inggris, dan Belanda ketika menjajah Indonesia. Ketiga hal di atas (penjajahan, orientalisme, dan kristenisasi) menjadi suatu langkah kongkret yang berhasil sebagai usaha mereka dalam mengangkangi umat Islam Indonesia selama berabad-abad. Mereka memperlakukan umat Islam sekehendaknya, dan bagi yang menentang dikenakan tuduhan ektremis, fundamentalis, dan lain-lain. Ketika penjajah sudah hengkang, peranan mereka digantikan oleh kaum intelek kita yang menjadi perpanjangan tangan para orientalis dengan mengampanyekan paham-paham mereka atas nama nasionalisme, modernisme, sekularisasi, desakralisasi, reaktualisasi, pribumisasi, dan semacamnya. Hal tersebut diungkapkan R. William Lidle dalam bukunya Islam, Politik, dan Modernisasi. Di antara wacana-wacana itu, yang kini lumayan naik daun adalah Islam Liberal. Perkembangan Islam Liberal telah mendominasi para intelektual kita. Greg Burton dalam bukunya Islam Liberal di Indonesia menyebutkan, paling tidak, ada tiga nama besar pembawa gagasan paham ini di Indonesia, yaitu Nurcholis Majid, Abdurrahman Wahid, dan Johan Effendi. Ditinjau dari sudut pemerintahan, perjalanan peran umat Islam dipegang oleh tiga elemen. Pertama, elemen nasionalis Muslim, seperti Soekarto, yang dilanjutkan oleh Soeharto, lalu Habibie. Mereka adalah tipe pemimpin sekuler yang mengadopsi paham Islam formalistik. Kepemimpinan model ini telah gagal menciptakan kesejahteraan umat, bahkan keadaannya termarjinalkan. Elemen kedua

adalah kelompok modernis dan Islam Liberal. Di bawah kepemimpinan Gus Dur, model ini terbukti gagal juga. Terakhir, kaum kafirin khawatir akan lahirnya elemen ketiga, yang nantinya membawa kemenangan dan kesejahteraan Islam melalui kekuasaan, secara de facto dan de jure. Elemen ketiga itu mereka sebut fundamentalisme. Roger Garraudy menyebut fundamentalisme sebagai antithesis bagi sekularisme. Sementara mantan presiden Amerika, Richard Nixon, setidaknya menginventarisasi lima pemicu munculnya kaum fundamentalis dalam Islam. Pertama, mereka yang digerakkan kebencian terhadap Barat/anti-Barat. Kedua, mereka yang bersikeras mengembalikan peradaban Islam yang lalu. Ketiga, mereka yang bertujuan mengaplikasikan syariat Islam. Keempat, mereka yang mempropagandakan bahwa Islam adalah agama dan negara. Kelima, mereka yang menjadikan masa lalu itu sebagai penuntun masa depan. Mereka ini bukan orang-orang konservatif namun cukup revolusioner (Adian Husaini, Yusril versus Masyumi, hlm. 49). Fundamentalisme benar-benar dianggap ancaman oleh blok kafir yang dikomandoi oleh Barat. Mata dunia terbuka lebar ketika menyaksikan Sovyet yang kokoh bertekuk lutut di hadapan para mujahidin Afghanistan yang oleh mereka disebut Muslim fundamentalis. Sebuah bukti bahwa kekuatan fisik dan mesin-mesin perang tidak cukup ampuh melawan gelora jihad (mereka menyebutnya fundamentalisme). Maka, tidak heran jika kemudian tesis Samuel Huntington The Class of Civilisation/Benturan Peradaban mereka jadikan kemudi untuk menyudutkan umat Islam di seluruh dunia. Lalu, dibuatlah isu terorisme untuk membungkam gelora jihad umat Islam. Sehingga, ia tidak mempunyai perlawanan lagi. Betul kata Nabi saw. "Tidaklah suatu kaum meninggalkan jihad, kecuali akan hina." Adapun gerakan kristenisasi yang berjalan terus semenjak masa penjajahan hingga kini, imbasnya jelas-jelas dirasakan oleh umat Islam di berbagai pelosok daerah. Grafik statistik kependudukan tentang kuantitas kaum Muslimin yang menurun drastis adalah bukti yang autentik. Padahal, Indonesia mempunyai piranti undang-undang yang melarang pemaksaan agama. Tapi, kenyataannya marilah kita lihat lebih dekat lagi mengenai perkembangan kristenisasi di Indonesia. Dalam wawancara dengan majalah Al-Ummah tahun 1986, Dr. Fuad Fachruddin menyebutkan, "Menurut statistik Dewan Gereja Indonesia (DGI), di Indonesia terdapat 10.000 gereja protestan, 4.000 pendeta protestan, dan 9.000 misioner. Katolik mempunyai 8.000 gereja, 3.000 pendeta, dan 6.000 misioner." Sebagai bahan contoh, berdasarkan pada data Departemen Agama (Depag) tahun 1997, jumlah pendeta Kristen di Provinsi Irian (Papua) sebanyak 9.564 orang, pendeta Katolik 541 orang dan da'i Muslim 2.489 orang. Sementara, jumlah gereja Kristen mencapai 5.128 buah, gereja Katolik 1.280 dan masjid mencapai 1.169 buah. Jika memperhatikan keadaan umat Islam, akan kita dapati berbagai indikasi kemerosotan dalam hampir seluruh aspek kehidupan, baik akidah, ibadah, ataupun moralitas. Fenomena kemusyrikan terjadi di mana-mana. Di antara yang paling menonjol adalah praktik perdukunan. Ditambah lagi dengan pesatnya perkembangan aliran-aliran sesat yang memanfaatkan kebodohan umat. Dalam ibadah ritual, umat Islam masih jauh dari masjid, terutama shalat shubuh. Dari segi moralitas, sudah nyata-nyata bobrok. Sebagai ilustrasi, Jakarta yang penduduknya 80% Muslim, dengan jumlah masjid 2.400, mushalla 5.500, dan majelis taklim 6.750 (data statistik 1997), mencetak rekor

tertinggi dalam peredaran narkoba skala nasional, sekitar 60% . Sedang sisanya, tersebar di wilayahwilayah lainnya. Penyakit yang kini sedang menjangkiti umat adalah budaya munafik, sikap ulama yang tidak berpihak kepada umat dalam bentuk pembodohan atas nama ketaatan, sikap para penguasa Muslim dengan komitmen Islam yang lemah, sikap masa bodoh para pengusaha Muslim dalam mengentaskan kemiskinan, dan tampilnya ulama-ulama kagetan, serta berbagai macam penyakit umat yang sudah sangat kronis. Pengobatannya membutuhkan waktu yang cukup lama. Dan, perlu melibatkan semua elemen umat Islam yang terampil untuk bangkit menyelamatkan umat dari jurang kehancuran. Dari kezaliman menuju keadilan Islam, dari kebodohan menuju kesadaran Islam. Dakwah sebagai Solusi bagi Problematika Umat Islam Indonesia Jika ditinjau lebih jauh, masyarakat Muslim di berbagai pelosok Indonesia terpecah-pecah dalam berbagai kelompok, organisasi, atau model dakwah variatif lainnya. Tiap-tiap kelompok mengklaim kelompoknyalh yang paling benar. Realita itulah yang menyebabkan kekuatan dakwah tercecer. Berbicara tentang dakwah, berarti berbicara risalah Islam. Sudahkah dakwah terimplementasi dengan baik? Seberapa jauh pemahaman da'i kita tentang metode dakwah Rasulullah? Seberapa banyak dai yang diterjunkan ke dalam masyarakat? Setingkat apa kualifikasi mereka? Bagaimana intensitas dakwah mereka? Sejauh mana mereka dapat menghindarkan masyarakat Muslim dari keterperosokan moral? Pertanyaan-pertanyaan ini penting untuk direnungkan, mengingat bahwa kebangkitan umat Islam sangat bergantung pada keberhasilan peranan dakwah. Dalam tataran lokal (Indonesia), kelemahan dakwah telah sampai pada tingkat yang luar biasa. Sehingga, sulit mengharapkan sebuah kebangkitan Islam dalam jangka waktu yang pendek. Indikasi kelemahan tersebut antara lain sebagai berikut.

Masih meratanya tingkat kebodohan tentang Islam. Banyaknya syirik, bidah, khurafat, dan takhayyul. Dekadensi moral yang mengerikan. Permusuhan antar umat yang kerap terjadi hanya karena sebuah perbedaan. Integritas pribadi para dai yang bermasalah. Masjid-masjid banyak yang kosong dan difungsikan hanya untuk shalat. Pendidikan agama di sekolahsekolah mengkhawatirkan. Mayoritas masyarakat Muslim enggan menampakkan penampilan Islamnya. Banyak daerah yang tidak terjamah dakwah, karena kurangnya dai dan diperparah oleh penyebaran aliran sesat yang sangat luas. Fanatisme tiap-tiap kelompok yang sulit dipertemukan. Dan lain-lain. Tanggung Jawab Personal Kita menyadari bahwa tanggung jawab yang akan dipertanyakan kelak di hari akhirat adalah tanggung jawab personal. Artinya, Allah tidak membebankan tanggung jawab pihak lain kepada kita, kecuali kalau kita punya andil dalam persoalan tersebut. Karena itu, banyak ayat yang menekankan

tanggung jawab ini. Allah SWT berfirman (yang artinya), "Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya." (Al-Baqarah: 286). "Tidaklah kamu dibebani melainkan dengan kewajiban kamu sendiri." (An-Nisa: 84). "Hai orang-orang yang beriman, selamatkanlah diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka." (At-Tahrim: 6). Rasulullah saw. bersabda (yang artinya), "Mulailah dengan diri kalian sendiri atau mulailah dengan keluargamu." Dengan demikian, prioritas kita adalah menyelamatkan diri sendiri dari segala kemungkinan penyimpangan terhadap misi utama kehidupan kita. "Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku." (Adz-Dzariyat: 56). Apabila kita sadari hal itu, kita akan memahami arti ibadah seluas-luasnya, yaitu segala sesuatu yang kita lakukan dalam kehidupan kita sesuai dengan apa yang dicintai dan diridhoi Allah SWT. "Segala apa yang dicintai dan diridhai oleh Allah, baik berupa perkataan maupun perbuatan, yang nampak maupun yang tersembunyi." (Ibnu Taimiyah, Al-Ubudiyah, hlm. 1). Ini mengandung pengertian bahwa seluruh aktivitas kita harus sesuai dengan syariat Islam. Jadi, fokusnya adalah syariat Islam. Karena itu, tidak benar seseorang yang belum mengerti ajaran Islam dalam membangun kepribadiannya, tapi sudah sibuk bagaimana menegakkan Islam. Tidak berarti menegakkan Islam tidak penting, tapi prosesnya salah. Sesudah seseorang dalam sekup individu melaksanakan tanggung jawab dirinya sebagai hamba Allah, dia akan melangkah menempati posisi di masyarakatnya sesuai dengan kapasitas masing-masing. Di sinilah terjadi interaksi dan kooperasi antara anggota masyarakat Muslim sesuai dengan firman Allah SWT, "Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran." (Al-Maidah: 2). Dan, tanggung jawabnya semakin luas sesuai dengan kapasitas kemampuannya, sehingga dengan posisi masing-masing itu akan dimintai pertanggungjawabannya seperti sabda Nabi saw., "Ketahuilah bahwa setiap kalian adalah penanggung jawab dan setiap kalian akan ditanyai terhadap apa yang menjadi tanggung jawabnya. Imam yang ada di tengah manusia adalah penanggung jawab dan dia akan ditanyai terhadap apa yang menjadi tanggung jawabnya. Seorang suami bertanggung jawab terhadap keluarganya, dan dia akan ditanyai tentang apa yang menjadi tanggung jawabnya. Dan seorang istri bertanggung jawab terhadap rumah suaminya dan anaknya, dan dia akan ditanya tentang mereka." (HR Bukhari, Muslim, dan selain keduanya). Apabila setiap individu tidak melaksanakan tanggung jawabnya sebagai hamba Allah yang berkewajiban melaksanakan syariat Islam sesuai dengan kemampuannya, berarti dia telah berkhianat. "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui." (Al-Anfal: 27). Dalam istilah fiqih bahwa tanggung jawab personal itu fardhu 'ain, sedangkan tanggung jawab kolektif adalah fardhu kifayah. Adalah salah besar kalau ada orang yang mengutamakan fardhu kifayah (tanggung jawab kolektif) daripada tanggung jawab fardhu 'ain (individu). Tapi, menjadi sangat baik kalau dia melaksanakan fardhu 'ain sekaligus mampu melaksanakan fardhu kifayahnya. Kalau tidak, seluruh umat berdosa.

Teladan Rasulullah Secara ringkas, kita melihat praktik Nabi saw. dalam membangun kekuatan Islam. Nabi saw. ketika berada di Mekah membuat kader yang difokuskan di rumah-rumah dan terutama di rumah Arqam bin Abi Arqam. Di antara kader yang sudah matang ditugasi menyampaikan dakwah, seperti Mushab bin Umair yang dikirim ke Madinah. Nabi saw. mencari tempat yang kondusif untuk mengembangkan dakwah dan kekuatan Islam. Beliau pergi ke Thaif tapi tidak cocok. Kemudian beliau lebih memilih ke Madinah karena di sana mendapat sambutan. Kemudian beliau membangun masjid sebagai pusat kegiatan umat Islam dan penempaan para kader. Langkah berikutnya beliau mempererat hubungan sesama Muslim dengan mempersaudarakan antara Muhajirin (dari Mekah) dan Anshar (dari Madinah). Beliau membuat Piagam Madinah untuk membentengi umat Islam dan memberikan hak-hak non-Muslim. Kemudian, Nabi saw. mempersiapkan kekuatan untuk menghadang segala upaya ofensif kaum kuffar. Tercatat bahwa Nabi saw. berperang sampai 27 kali, baik defensif maupun ofensif, seperti Perang Tabuk. Di sini menjadi jelas bahwa kesatuan visi yaitu membangun akidah yang benar, sampai kesatuan langkah yaitu kepada tegaknya kekuatan jihad sebagai suatu kesatuan yang menyeluruh. (Lihat, DR. Rabi bin Hadi al-Madkhal, Minhajul Anbiya, hlm. 87). Karena itu, Ibnu Qayyim al-Jauziyah menggunakan istilah perjuangan menegakkan Islam dengan cara Islam, yaitu dengan ungkapan jihad. Wallahu alam. Terakhir kali diperbaharui ( Thursday, 21 December 2006 )

You might also like