You are on page 1of 4

Konferensi Denpasar

Konferensi Denpasar adalah lanjutan dari Konferensi Malino dan Konferensi Pangkal Pinang yang bertempat di Bali Hotel, Denpasar, Bali dari tanggal 7 sampai 24 Desember 1946. Karena adanya perbedaan pendapat dan konflik politik antara Kalimantan Barat dan Selatan untuk bekerja di bawah satu unit pemerintahan, maka peserta konferensi Denpasar hanya terdiri atas perwakilan daerah-daerah Indonesia timur, menurut perbandingan jumlah penduduk yakni: Sulawesi Selatan 16 orang Minahasa 3 orang Sulawesi Utara 2 orang Sulawesi Tengah (Donggala) 2 orang Sulawesi Tengah (Poso) 2 orang Sangihe dan Talaud 2 orang Maluku Utara 2 orang Maluku Selatan 3 orang Bali 7 orang Lombok 5 orang Timor dan pulau-pulau sekitarnya 3 orang Flores 3 orang Sumbawa 3 orang Sumba 2 orang Ditambah 15 orang perwakilan golongan minoritas (Belanda, Cina dan Timur Asing lain) yang diangkat oleh Van Mook, maka seluruh peserta adalah 70 orang. Konferensi diawali dengan pertemuan tidak resmi sejak 7 Desember dipimpin oleh Komisaris Pemerintah untuk Kalimantan dan Timur Besar (Regeeringscommissaris voor Borneo en de Groote Oost) Dr. W.Hoven. Pembukaan resmi dilakukan oleh Letnan Gubernur Jenderal Van Mook pada tanggal 18 Desember dan ditutup pada 24 Desember 1946. Dalam waktu yang sangat cepat, konferensi menghasilkan dokumen yang membahas pembentukan Komisi Mahkota (perantara dengan Kerajaan Belanda), dewan perwakilan rakyat sementara (DPRS), pembagian kekuasaan, keuangan dan pendirian daerah otonomi, kepala negara bagian, kabinet dan menteri Negara Indonesia Timur. Terpilih sebagai Kepala Negara Indonesia Timur pertama pada tanggal 24 Desember 1946 adalah Cokorda Gde Raka Sukawati, bekas anggota Volksraad dari partai PEB dan sebagai Perdana Menteri adalah Nadjamoedin Daeng Malewa yang merangkap sebagai Menteri Perekonomian, yang adalah

penasehat perdagangan di Makassar. Sebagai ketua DPRS terpilih Mr. Tadjoeddin Noer, seorang pengacara dan bekas anggota Volksraad dari partai PNI di Makassar. Beberapa peristiwa seputar konferensi ini adalah perang habis-habisan oleh Letkol I Gusti Ngurah Rai di desa Marga, Bali, Pembantaian Westerling di Makassar dan Perundingan Linggarjati di Jawa Barat.

Konferensi Malino
Konferensi Malino adalah sebuah konferensi yang berlangsung pada tanggal 15 Juli - 25 Juli 1946 di Kota Malino, Sulawesi Selatan dengan tujuan membahas rencana pembentukan negara-negara bagian yang berbentuk federasi di Indonesia serta rencana pembentukan negara yang meliputi daerah-daerah di Indonesia bagian Timur. Konferensi ini dihadiri oleh 39 orang dari 15 daerah dari Kalimantan (Borneo) dan Timur Besar (De Groote Oost). Dalam konferensi yang dipimpin Gubernur Jenderal Hindia Belanda Van Mook tersebut dibentuk Komisariat Umum Pemerintah (Algemeene Regeeringscommissaris) untuk Kalimantan dan Timur Besar yang dikepalai Dr. W. Hoven. Diangkat pula menjadi anggota luar biasa Dewan Kepala-kepala Departemen (Raad van Departementshooden) untuk urusan kenegaraan adalah Sukawati (Bali), Najamuddin (Sulawesi Selatan), Dengah (Minahasa), Tahya (Maluku Selatan), Dr. Liem Tjae Le (Bangka, Belitung, Riau), Ibrahim Sedar (Kalimantan Selatan) dan Oeray Saleh (Kalimantan Barat), yang disebut pula "Komisi Tujuh". Peraturan pembentukan negara-negara bagian diputuskan dalam konferensi berikutnya di Denpasar, Bali. Sebelum itu akan dilangsungkan konferensi dengan wakil golongan minoritas di Pangkal Pinang, Pulau Bangka.

Mosi Integral
Mosi Integral adalah sebuah keputusan parlemen mengenai kesatuan sebuah negara. Sedangkan Mosi Intergral Natsir merupakan sebuah hasil keputusan parlemen mengenai bersatunya kembalinya sistem pemerintahan Indonesia dalam sebuah kesatuan yang digagas oleh Mohammad Natsir. Mosi ini tidak lahir begitu saja. Terjadinya perdebatan di Parlemen Sementara Republik Indonesia Serikat (RIS) adalah merupakan titik kulminasi aspirasi masyarakat Indonesia yang kecewa terhadap hasil Konferensi Meja Bundar (KMB) yang berlangsung di Den Haag, Belanda, 23 Agustus - 2 November 1949. Dalam pengajuannya ke parlemn banyak yang menolak. Pihak yang termasuk menolak hasil KMB adalah Natsir yang waktu itu Menteri Penerangan (Menpen) dan Menteri Luar Negeri Haji Agus Salim. Natsir menolak jabatan Menpen dan memilih berkonsentrasi memimpin Fraksi Masyumi di DPR-RIS. Salah satu alasan Natsir menolak jabatan itu adalah karena ia tak setuju Irian Barat tak dimasukkan ke dalam RIS. Perdana Menteri (PM) RIS Mohammad Hatta menugaskan Natsir dan Sri Sultan Hamengkubuwono IX melakukan lobi untuk menyelesaikan berbagai krisis di daerah. Pengalaman keliling daerah menambah jaringan Natsir. Selain itu, kecakapannya berunding dengan para pemimpin fraksi di Parlemen RIS, seperti IJ Kasimo dari Fraksi Partai Katolik dan AM Tambunan dari Partai Kristen, telah mendorong Natsir ke satu kesimpulan, negaranegara bagian itu mau membubarkan diri untuk bersatu dengan Yogyamaksudnya RIasal jangan disuruh bubar sendiri. Lobi Natsir ke pimpinan fraksi di Parlemen Sementara RIS dan pendekatannya ke daerah- daerah lalu ia formulasikan dalam dua kata Mosi Integral dan disampaikan ke Parlemen 3 April 1950. Mosi diterima baik oleh pemerintah dan PM Mohammad Hatta menegaskan akan menggunakan mosi integral sebagai pedoman dalam memecahkan persoalan.

You might also like