You are on page 1of 17

UTS PENGENDALIAN VEKTOR

PENGENDALIAN TELUR DAN LARVA Aedes aegypti








Oleh :
Cahya Septia Sardiawan ( 13120706026 )




PROGRAM STUDI S1 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU KESEHATAN, SAINS, DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS DHYANA PURA BALI
2014






BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Demam Berdarah (DB) atau Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit
demam akut yang ditemukan di daerah tropis dengan penyebaran geografis yang mirip
dengan malaria. Demam berdarah disebarkan kepada manusia oleh nyamuk Aedes aegypti
(Kalyanamitra, 2012). Sekitar 2,5 milyar orang (2/5 penduduk) mempunyai resiko untuk
terkena infeksi virus dengue. Lebih dari 100 negara tropis dan subtropis pernah
mengalami letusan dengue dan demam berdarah dengue, lebih kurang 50.000 kasus setiap
tahun dirawat di rumah sakit dengan ribuan orang diantaranya meninggal dunia. Nyamuk
Aedes aegypti yang merupakan vektor yang berperan dalam penularan penyakit DBD ini
hidup di dalam rumah, di kloset, di tempat-tempat yang gelap, dan di luar rumah
(Merliani, 2012).
Data dari seluruh dunia menunjukkan Asia menempati urutan pertama dalam
jumlah penderita DBD setiap tahunnya. Sementara itu, terhitung sejak tahun 1968 hingga
tahun 2009, World Health Organization (WHO) mencatat negara Indonesia sebagai
negara dengan kasus DBD tertinggi di Asia Tenggara (Pusat Data dan Surveilans
Epidemiologi Kemenkes RI, 2010).
Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) masih merupakan salah satu masalah
kesehatan masyarakat yang utama di Indonesia. Jumlah penderita dan luas daerah
penyebarannya semakin bertambah seiring dengan meningkatnya mobilitas dan kepadatan
penduduk. Di Indonesia Demam Berdarah pertama kali ditemukan di kota Surabaya pada
tahun 1968, dimana sebanyak 58 orang terinfeksi dan 24 orang diantaranya meninggal
dunia (Angka Kematian (AK) : 41,3 %). Sejak saat itu, penyakit ini menyebar luas ke
seluruh Indonesia (Pusat Data dan Surveilans Epidemiologi Kemenkes RI, 2010).

B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah tersebut maka rumusan masalah adalah sebagai berikut.
1. Bagaimana siklus hidup nyamuk Aedes aegypti?
2. Bagaimana telur dan larva nyamuk Aedes aegypti?
3. Bagaimana Pengendalian Telur dan larva Aedes aegypti?

C. Tujuan
Dari rumusan masalah tersebut maka tujuannya adalah sebagai berikut.
1. Mengetahui siklus hidup nyamuk Aedes aegypti
2. Mengetahui telur dan larva nyamuk Aedes aegypti
3. Mengetahui pengendalian telur dan larva dari Aedes aegypti







BAB II
PEMBAHASAN

A. Tinjauan Umum Tentang DBD (Demam Berdarah Dengue)
Menurut Kalyanamitra dalam Demam berdarah (DB) atau demam berdarah
dengue (DBD) adalah penyakit demam akut yang ditemukan di daerah tropis, dengan
penyebaran geografis yang mirip dengan malaria. Demam berdarah disebarkan kepada
manusia oleh nyamuk Aedes aegypti (Merliani,2012).
Menurut Suroso dan Umar penyakit demam berdarah dengue (DBD) adalah
penyakit menular yang disebabkan oleh virus dengue dan ditularkan melalui nyamuk
Aedes aegypti. Penyakit ini dapat menyerang semua orang dan dapat mengakibatkan
kematian terutama pada anak, serta sering menimbulkan kejadian luar biasa atau wabah
(Merliani,2012).
Vektor DBD atau penyebar/pembawa penyakit atau pembawa virus penyebab
DBD adalah nyamuk Aedes aegypti, sedangkan penyebab DBD adalah virus dengue.
Mengenai penularan penyakit DBD dapat dijelaskan bahwa penyakit demam berdarah
dengue adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus dengue dan ditularkan
melalui gigitan nyamuk tersebut. Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah
penyakit menular berbahaya yan disebabkan oleh virus Dengue, menyebabkan gangguan
pada pembuluh darah kapiler dan sistem pembekuan darah sehingga mengakibatkan
pendarahan, dapat menimbulkan kematian (Misnadiarly dalam Merliani,2012).
Darah penderita sudah mengandung virus, yaitu sekitar 1-2 hari sebelum
terserang demam. Virus berada dalam darah selama 5-8 hari. Jika daya tahan tubuh tidak
cukup kuat melawan virus, maka orang tersebut mengalami berbagai jenis gejala DBD
(Satari dalam Merliani,2012)..
Demam berdarah dengue/DBD (dengue haemorrhagic fever/DHF) adalah
penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue dengan manifestasi klinis demam,
nyeri otot dan/atau nyeri sendi yang disertai lekopenia, ruam, limfadenopati,
trombositopenia dan diathesis hemoragik. Pada DBD terjadi perembesan plasma yang
ditandai oleh peningkatan hemtokrit atau penumpukan cairan di rongga tubuh. Sindrom
renjatan dengue adalah demam berdarah dengue yang ditandai oleh renjatan/syok
(Sudoyo, et al., dalam Merliani,2012).
Penyakit ini disebabkan oleh virus Dengue dari genus Flavivirus, famili
Flaviviridae. DBD ditularkan ke manusia melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti yang
terinfeksi virus Dengue. Virus Dengue penyebab Demam Dengue (DD), Demam
Berdarah Dengue (DBD) dan Dengue Shock Syndrome (DSS) termasuk dalam kelompok
B Arthropod Virus (Arbovirosis) yang sekarang dikenal sebagai genus Flavivirus, famili
Flaviviride, dan mempunyai 4 jenis serotipe, yaitu: Den-1, Den-2, Den-3, Den-4 (Pusat
Data dan Surveilans Epidemiologi Kemenkes RI, 2010).

B. Nyamuk Aedes aegypti Sebagai Vektor Penyakit
Aedes aegypti (Ae. aegypti) adalah spesies nyamuk yang ditemukan di daerah
tropis dan subtropis. Meski Ae. aegypti telah ditemukan sejauh 45 LU, invasi ini telah
terjadi selama musim hangat, dan nyamuk tidak hidup pada musim dingin. Distribusi Ae.
aegypti juga dibatasi oleh ketinggian. Ini biasanya tidak ditemukan diatas ketinggian
1000 m tetapi telah dilaporkan pada ketinggian 2121 m di India, pada 2200 m di
Kolombia, yang memiliki suhu rerata tahunan 17 C, dan pada ketinggian 2400 m di
Eritrea. Ae. aegypti adalah salah satu vektor nyamuk yang paling efisien untuk arbovirus,
karena nyamuk ini sangat antrofilik dan hidup dekat manusia terutama di dalam rumah.
Nyamuk Ae. aegypti merupakan vektor penyakit Demam Berdarah Dengue (WHO,
1999).
Karakteristik Ae. aegypti dan Ae albopictus sebagai vektor utama virus DBD
adalah kedua spesies tersebut termasuk Genus Aedes dari Famili Culicidae. Secara
morfologis keduanya sangat mirip, namun dapat dibedakan dari strip putih yang terdapat
pada bagian skutumnya. Skutum Ae. aegypti berwarna hitam dengan dua strip putih
sejajar di bagian dorsal tengah yang diapit oleh dua garis lengkung berwarna putih.
Sementara skutum Ae. albopictus yang juga berwarna hitam hanya berisi satu garis putih
tebal di bagian dorsalnya. Ae. aegypti mempunyai dua subspesies yaitu Ae. aegypti
queenslandensis dan Ae. aegypti formosus. Subspesies pertama hidup bebas di Afrika
sementara subspecies kedua hidup di daerah tropis yang dikenal efektif menularkan virus
DBD. Subspesies kedua lebih berbahaya dibandingkan subspecies pertama (Roche,
2002).

C. Siklus Hidup Nyamuk Aedes aegypti
Siklus hidup nyamuk sejak telur hingga menjadi dewasa mengalami tiga
tingkatan yang berbeda. Siklus hidup nyamuk terdapat empat stadium dengan tiga
stadium yaitu stadium telur, jentik dan pupa berkembang biak di air dan satu stadium
hidup bebas di alam. Berikut stadium-stadium dalam siklus hidup nyamuk :
1. Telur Nyamuk
Seekor nyamuk betina dapat meletakkan rata-rata sebanyak 1000 butir telur tiap
kali bertelur. Telurnya berwarna hitam dengan ukuran 0,8 mm. Nyamuk
biasanya meletakkan telurnya di tempat yang berair karena di tempat yang
keberadaannya kering maka telur akan rusak dan mati. Nyamuk Aedes
meletakkan telur dan menempel pada yang terapung di atas air atau menempel
pada permukaan benda yang merupakan tempat air pada batas permukaan air dan
tempatnya. Stadium telur ini memakan waktu kurang dari 1-2 hari.
2. Jentik Nyamuk
Pada perkembangan stadium jentik, nyamuk tumbuh menjadi besar dengan
panjang 0,5 - 1 cm dan melengkapi bulu-bulunya. Jentik selalu bergerak aktif
dalam air. Gerakannya berulang-ulang dari bawah ke atas permukaan air untuk
bernafas, kemudian turun kembali ke bawah. Pada waktu istirahat, posisinya
hampir tegak lurus dengan permukaan air. Biasanya berada di sekitar dinding
tempat penampungan air. Stadium jentik memerlukan waktu satu minggu. Jentik
tidak menyukai genangan air yang langsung dengan tanah. Pertumbuhan jentik
dipengaruhi faktor temperatur, nutrient dan ada tidaknya predator.
3. Kepompong
Merupakan stadium terakhir dari nyamuk yang berada di dalam air. Kepompong
berbentuk seperti koma, gerakan lambat, sering berada di permukaan air. Pada
stadium ini memerlukan makanan dan terjadi pembentukan sayap hingga dapat
terbang. Stadium kepompong memakan waktu kurang lebih 1-2 hari.
4. Nyamuk Dewasa
Nyamuk jantan dan betina dewasa memiliki perbandingan 1:1, nyamuk jantan
keluar terlebih dahulu dari kepompongnya, baru disusul nyamuk betina dan
nyamuk jantan tersebut akan tetap tinggal di dekat sarang nyamuk sampai betina
keluar dari kepompong. Setelah nyamuk betina keluar, maka nyamuk jantan akan
langsung mengawini nyamuk betina sebelum mencari darah. Selama hidupnya,
nyamuk betina hanya kawin sekali saja. Selama perkembangan telur tergantung
kepada beberapa faktor yaitu temperatur, kelembaban dan spesies dari nyamuk.
Sedangkan umur nyamuk betina bisa mencapai 10 hari (Dirjen P2M & PLP 2004,
Hadi 2001 dan Dinkes Prov Jateng 2006).

D. Telur dan Larva Nyamuk Aedes spp

1. Telur
Nyamuk betina bertelur di dalam air yang tergenang di dalam dan sekitar rumah
dan daerah pemukiman lainnya. Telur-telur berkembang menjadi larva dan kemudian
berubah manjadi bentuk dewasa dalam waktu 10 hari. Telur tidak berpelampung. Sekali
bertelur nyamuk betina menghasilkan 100 butir. Telur kering dapat tahan 6 bulan. Telur
akan menjadi jentik setelah sekitar 2 hari (Ditjen P2M & PL Depkes RI, 2004).
Karakteristik telur Aedes adalah berbentuk bulat pancung yang mula-mula berwarna
putih kemudian berubah menjadi hitam. Telur tersebut diletakkan secara terpisah di
permukaan air untuk memudahkannya menyebar dan berkembang menjadi larva di
dalam media air. Media air yang dipilih untuk tempat peneluran itu adalah air bersih
yang stagnan (tidak mengalir) dan tidak berisi spesies lain sebelumnya (Mortimer dalam
Supartha 2008).
Telur Aedes aegypti berwarna hitam seperti sarang tawon, diletakkan satu demi
satu di permukaan atau sedikit di bawah permukaan air dalam jarak 2 cm dari
dinding tempat perindukan. Telur dapat bertahan berbulan-bulan pada suhu 2
0
C sampai
42
0
C. Namun bila kelembaban terlampau rendah, maka telur akan menetas dalam waktu
4 hari. Dalam keadaan optimal, perkembangan telur sampai menjadi nyamuk dewasa
berlangsung selama sekurang-kurangnya 9 hari (Soedarmo, dalam Merliani 2012).




2. Larva/jentik
Larva Aedes aegypti memiliki siphon besar dan pendek dengan satu kumpulan
rambut yang terletak pada ujung bawah abdomen. Toraks larva lebih besar dari kepala
dan memiliki duri yang panjang dengan bentuk kurva. Kepala memiliki antena dan mata
majemuk serta sikat mulut yang menonjol. Abdomen terdiri dari 10 ruas dan hanya 9
ruas yang menonjol serta terdapat comb scale. Pada waktu istirahat membentuk sudut
dengan permukaan air dan 68 hari menjadi pupa (Ditjen P2M & PL Depkes RI, 2004).
Larva nyamuk semuanya hidup di air yang stadianya terdiri atas empat instar.
Keempat instar itu dapat diselesaikan dalam waktu 4 hari2 minggu tergantung keadaan
lingkungan seperti suhu air persediaan makanan. Pada air yang agak dingin
perkembangan larva lebih lambat, demikian juga keterbatasan persediaan makanan juga
menghambat perkembangan larva. Setelah melewati stadium instar keempat larva
berubah menjadi pupa.
Ada empat tingkat (instar) jentik sesuai dengan pertumbuhan larva Aedes aegypti
tersebut, yaitu:
a) Instar I: berukuran paling kecil, yaitu 1-2 mm
b) Instar II: 2,5-3,8 mm
c) Instar III: lebih besar sedikit dari larva instar II
d) Instar IV: berukuran paling besar 5 mm.
Populasi nyamuk diukur dengan cara melakukan pemeriksaan terhadap semua
tempat air di dalam dan di luar rumah akan larva Ades aegypti dengan memeriksa 100
rumah di suatu daerah. Menurut Depkes RI (2005) dalam Merliani, 2012, survey jentik
dilakukan dengan cara sebagai berikut:
a. Semua tempat atau bejana yang dapat menjadi tempat perkembangbiakan nyamuk
Aedes aegypti diperiksa (dengan mata telanjang) untuk mengetahui ada tidaknya
jentik.
b. Untuk memeriksa TPA yang berukuran besar, seperti: bak mandi, tempayan,
drum, dan bak penampungan air lainnya. Jika pada pandangan (penglihatan)
pertama tidak menemukan jentik, tunggu kira-kira 1 menit unutk memastikan
bahwa benar jentik tidak ada.
c. Untuk memeriksa tempat-tempat perkembangbiakan yang kecil, seperti: vas
bunga atau pot tanaman air atau botol yang airnya keruh, seringkali airnya perlu
dipindahkan ke tempat lain.
d. Untuk memeriksa jentik di tempat yang agak gelap, atau airnya keruh, biasanya
digunakan senter.

E. Pengendalian Aedes aegypti

Tujuan utama pengendalian vektor adalah untuk menurunkan kepadatan
populasi nyamuk Aedes aegypti sampai serendah rendahnya sehingga kemampuan
sebagai vektor akan menghilang.
Dalam Penelitian Sayono yang berjudul Pertumbuhan Larva Aedes Aegypti Pada
Air Tercemar tahun 2011 disebutkan bahwa Larva Aedes aegypti dapat bertahan hidup
dan tumbuh normal pada air got yang didiamkan dan menjadi jernih, sedangkan pada
air sumur dan PAM ketahanan hidupnya sangat rendah dan tidak dapat tumbuh
normal. Air limbah sabun mandi tidak memungkinkan untuk hidup larva Aedes
aegypti, sehingga Masyarakat perlu lebih waspada terhadap genangan air got yang
jernih karena dapat menjadi habitat perindukan nyamuk Aedes aegypti.
Menurut Soegijanto S (2003) secara garis besar terdapat empat cara pengendalian
vektor yakni secara kimiawi, biologik, radiasi dan mekanik atau pengelolaan lingkungan.
Pengendalian secara kimiawi dengan menggunakan insektisida dapat ditujukan terhadap
nyamuk dewasa maupun larva. Insektisida untuk nyamuk dewasa Aedes aegypti antara
lain dari golongan organochlorine, organophosphor, carbamate dan pyrethroid.
Insektisida tersebut dapat diaplikasikan dalam bentuk spray terhadap rumah-rumah
penduduk. Sedangkan insektisida untuk larva Aedes aegypti yaitu dari golongan
organophosphor (Temephos) dalam bentuk sand granules yang dilarutkan dalam air di
tempat perindukannya ( tindakan abatisasi). Pengendalian secara radiasi dilakukan
dengan bahan radioaktif dosis tertentu terhadap nyamuk dewsa jantan sehingga menjadi
mandul, meskipun nantinya akan berkopulasi dengan nyamuk betina tetapi tidak akan
menghasilkan telur yang fertile. Pengendalian lingkungan dilakukan dengan cara
mencegah nyamuk kontak dengan manusia misalnya memasang kawat kasa pada lubang
ventilasi rumah serta menggalakkan gerakan 3 M yaitu menguras tempat-tempat
penampungan air dengan menyikat dinding bagian dalam paling sedikit seminggu sekali,
menutup rapat tempat penampungan air sehingga tidak dapat diterobos oleh nyamuk
dewasa, menanam atau menimbun dalam tanah barang-barang bekas yang dapat
menampung air hujan.
Cara lain lagi yang disebut autocidal ovitrap menggunakan suatu tabung silinder
warna gelap dengan diameter 10 cm dengan salah satu ujung tertutup rapat dan ujung
lainnya terbuka. Tabung tersebut diisi air tawar kemudian ditutup dengan kasa nylon.
Secara periodik air dalam tabung ditambah untuk mengganti peguapan yang terjadi.
Nyamuk yang bertelur disini dan telurnya menetas menjadi larva dalam air tadi , maka
akan menjadi nyamuk dewasa yang tetap terperangkap di dalam tabung tadi. Dari cara
pengendalian tersebut diatas tidak ada satupun yang paling unggul. Untuk menghasilkan
cara yang efektif maka perlu dilakukan kombinasi dari beberapa cara - cara tersebut
diatas.
Sedangkan menurut Agoes R (2009) pengendalian nyamuk Aedes aegypti dapat
dilakukan dengan cara perlindungan perseorangan, mencegah nyamuk meletakkan
telurnya, mencegah pertumbuhan jentik dan membunuh telur, pemberian larvisida,
melakukan fogging dan pendidikan kesehatan masyarakat. Perlindungan perseorangan
untuk mencegah terjadinya gigitan nyamuk ini yaitu dengan memasang kawat kasa di
lubang angin; tidur dengan menggunakan kelambu; penyemprotan dinding rumah dengan
insektisida malathion dan penggunaan repellent pada kulit saat berkebun. Mencegah
nyamuk meletakkan telurnya dengan cara membuang, membakar atau mengubur benda-
benda di pekarangan atau di kebun yang dapat menampung air hujan seperti kaleng,
botol, ban mobil dan tempat-tempat lain yang menjadi tempat perindukan Aedes aegypti.
Mencegah pertumbuhan jentik dan membunuh telur dengan cara mengganti air atau
membersihkan tempat-tempat air secara teratur tiap minggu sekali, pot bunga, tempayan
dan bak air mandi. Pemberian larvisida ( abate ) ke dalam tempat penampungan
air/penyimpanan air bersih (abatisasi ). Melakukan fogging dengan malathion untuk
membunuh nyamuk dewasa sekurangnya dua kali dengan jarak waktu sepuluh hari
misalnya di daerah yang terkena wabah dan daerah endemic yang indeks kepadatan
nyamuknya relatif tinggi.
Pendidikan kesehatan masyarakat melalui ceramah agar masyarakat dapat
memelihara kebersihan lingkungan dan turut secara perseorangan memusnahkan tempat
perindukan Aedes aegypti disekitar rumahnya masing-masing. Disamping itu
pemantauan kepadatan populasi nyamuk dapat meningkatkan pengendalian vektor.
Pengukuran kepadatan populasi larva dilakukan dengan cara pemeriksaan tempat
perindukan di dalam dan di luar rumah dari 100 rumah yang terdapat di daerah
pemeriksaan. Ada tiga angka indeks yang perlu diketahui yaitu indeks rumah (house
index) yaitu suatu persentase rumah yang positif dengan larva Aedes aegypti dari 100
rumah yang diperiksa; indeks wadah (container index) yaitu persentase tempat
perindukan yang positif dengan larva Aedes aegypti dari 100 wadah yang diperiksa;
indeks breteau (breteau index) ialah jumlah tempat perindukan yang positif dengan larva
Aedes aegypti dalam tiap 100 rumah.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Andi Merliani di Makasar pada tahun
2012 menemukan bahwa terdapat tiga faktor yang mempengaruhi keberadaan jentik
nyamuk aedes spp. Yaitu karakteristik tempat penampungan air, frekuensi menguras
tempat penampungan air, dan kondisi tempat penampungan air. Dari penelitian tersebut
diperoleh cara untuk mengendalikan jentik aedes dapat dilakukan dengan cara survei
jentik dilakukan sekali dalam 3 bulan secara rutin untuk mengetahui tingkat kepadatan
jentik Aedes aegypti sehingga dapat dilakukan upaya pemberantasan dengan cepat,
mengetahui karakateristik tempat penampungan air yang disenangi oleh jentik Aedes
aegypti sehingga dapat mengurangi tempat perindukan jentik, meningkatkan kedisiplinan
dalam membersihkan tempat penampungan air. Pengurasan TPA harus dilakukan
minimal 1 minggu sekali secara terus-menerus, setiap tempat penampungan air
disediakan penutup untuk dapat meminimalisir jentik, dan mengurangi tempat
peristirahatan nyamuk Aedes aegypti di dalam rumah seperti menghilangkan kebiasaan
menggantung pakaian (bukan dalam almari), pencahayaan kamar mandi sebaiknya > 60
lux, dan memberi kasa pada ventilasi rumah agar nyamuk tidak gampang masuk ke
dalam rumah.







BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diperoleh adalah :
1. Siklus hidup nyamuk aedes sejak telur hingga menjadi dewasa mengalami tiga tingkatan yang
berbeda. Siklus hidup nyamuk terdapat empat stadium dengan tiga stadium yaitu stadium
telur, jentik dan pupa berkembang biak di air dan satu stadium hidup bebas di alam.
2. Nyamuk betina bertelur di dalam air yang tergenang di dalam dan sekitar rumah dan daerah
pemukiman lainnya. Telur-telur berkembang menjadi larva dan kemudian berubah manjadi
bentuk dewasa dalam waktu 10 hari. Sekali bertelur nyamuk betina menghasilkan 100 butir.
Larva nyamuk semuanya hidup di air yang stadianya terdiri atas empat instar. Keempat instar
itu dapat diselesaikan dalam waktu 4 hari2 minggu tergantung keadaan lingkungan seperti
suhu air persediaan makanan.
3. secara garis besar terdapat empat cara pengendalian vektor yakni secara kimiawi,
biologik, radiasi dan mekanik atau pengelolaan lingkungan. Pengendalian secara
kimiawi dilakukan dengan menggunakan insektisida. insektisida untuk larva Aedes
aegypti yaitu dari golongan organophosphor (Temephos) dalam bentuk sand granules
yang dilarutkan dalam air di tempat perindukannya ( tindakan abatisasi).
Pengendalian lingkungan dilakukan dengan menggalakkan gerakan 3 M yaitu
menguras, menutup, dan mengubur sehingga mengurangi jumlah telur dan larva
nyamuk.
4. pengendalian telur dan larva nyamuk Aedes aegypti yaitu dengan mencegah nyamuk
meletakkan telurnya, mencegah pertumbuhan jentik dan membunuh telur, dan
pemberian larvisida,


B. Saran
Saran yang dapat diberikan adalah :
a) Masyarakat perlu lebih waspada terhadap genangan air got yang jernih karena dapat
menjadi habitat perindukan nyamuk Aedes aegypti.
b) Penggunaan insektisida dari golongan organophosphor (Temephos) dalam bentuk
sand granules yang dilarutkan dalam air di tempat perindukannya ( tindakan
abatisasi) untuk mengendalikan larva Aedes aegypti
c) menggalakkan gerakan 3 M yaitu menguras tempat-tempat penampungan air
dengan menyikat dinding bagian dalam paling sedikit seminggu sekali, menutup
rapat tempat penampungan air sehingga tidak dapat diterobos oleh nyamuk dewasa,
menanam atau menimbun dalam tanah barang-barang bekas yang dapat
menampung air hujan untuk mengurangi.
d) survei jentik dilakukan sekali dalam 3 bulan secara rutin untuk mengetahui tingkat
kepadatan jentik Aedes aegypti sehingga dapat dilakukan upaya pemberantasan dengan
cepat,
e) mengurangi tempat peristirahatan nyamuk Aedes aegypti di dalam rumah seperti
menghilangkan kebiasaan menggantung pakaian (bukan dalam almari), pencahayaan
kamar mandi sebaiknya > 60 lux, dan memberi kasa pada ventilasi rumah agar nyamuk
tidak gampang masuk ke dalam rumah.





DAFTAR PUSTAKA
Merliani,2012, Faktor Yang Behubungan dengan Keberadaan Jentik Aedes Aegypti, Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Muslim Indonesia
Sayono dkk, Vol 7 No 1 Tahun 2011, Pertumbuhan Larva Aedes aegypti pada Air Tercemar,
Jurnal Kesehatan Masyarakat Indonesia
Supartha,I Wayan, Jurnal Pertemuan Ilmiah September 2008, Pengendalian Terpadu Vektor
Virus Demam Berdarah Dengue, Aedes Aegypti (Linn.) dan Aedes albopictus
(Skuse)(Diptera: Culicidae), Universitas Udayana

Palgunadi, Bagus Uda, Jurnal AEDES AEGYPTI SEBAGAI VEKTOR PENYAKIT
DEMAM BERDARAH DENGUE, Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma
Surabaya
WHO. 1999. Demam Berdarah Dengue: Diagnosis, Pengobatan, Pencegahan, dan
Pengendalian. Edisi 2. EGC, Jakarta.
Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah. 2006. Prosedur Tetap Penanggulangan KLB dan
Bencana Provinsi Jawa Tengah. Dinkesprov Jateng, Semarang.
Dirjen P2M dan PLP. 2004. Ekologi Vektor dan Beberapa Perilaku. Depkes RI. Jakarta.

Dirjen P2M dan PL. 2002. Pedoman Survey Entomologi Demam Berdarah Dengue. Depkes
RI. Jakarta.

You might also like