You are on page 1of 15

I.

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Nata adalah bahan menyerupai gel (agar-agar) yang terapung pada medium
yang mengandung gula dan asam hasil bentukan mikroorganisme Acetobacter
xylinum. Nata pada dasarnya merupakan selulosa. Apabila dilihat dibawah
mikroskop akan tampak sebagai suatu massa fibril tidak beraturan yang menyerupai
benang atau kapas (Sutarminingsih, 2004).
Nata berasal dari bahasa Spanyol yang apabila diterjemahkan ke dalam
bahasa latin menjadi natare yang berarti terapung-apung (Susanti, 2005). Nata
termasuk produk fermentasi, seperti halnya yoghurt. Starter yang digunakan adalah
bakteri Acetobacter xylinum, jika ditumbuhkan di media cair yang mengandung gula,
bakteri ini akan menghasilkan asam asetat dan lapisan putih yang terapung-apung di
permukaan media cair tersebut. Lapisan putih itulah yang dikenal sebagai nata
(Sumiyati, 2009). Nata dikembangkan pertama kali di negara Filipina. Percobaan
pengembangan di Indonesia dilakukan di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan
Industri Hasil Pertanian Bogor tahun 1975 (Warisno, 2004).
Kandungan terbesar dalam nata adalah air 98% (Susanti, 2005). Nata sangat
baik dikonsumsi terutama oleh mereka yang diet rendah kalori atau diet tinggi serat,
kandungan air yang tinggi berfungsi untuk memperlancar proses metabolisme tubuh.
Serat nata di dalam tubuh manusia akan mengikat semua unsur sisa hasil pembakaran
yang tidak diserap oleh tubuh, kemudian dibuang melalui anus berupa tinja atau
bolus (Kusharto, 2006).
Nata de seaweed adalah produk nata yang dibuat dari rumput laut. Rumput
laut yang biasanya digunakan dalam pembuatan nata de seaweed ini adalah
jenis Eucheuma atau Glacilaria. Proses pembuatan dilakukan dengan cara fermentasi
menggunakan bakteri (Acetobacter xylinum). Tidak seperti nata de coco yang terbuat
dari air kelapa, nata de seaweed umumnya memerlukan waktu fermentasi yang lebih
lama daripada nata de coco. Lama fermentasi nata de seaweed bisa mencapai dua
kali lipat dari nata de coco (Isti 2005).
Seperti halnya industri nata de coco, nata de seaweed bisa diterapkan untuk
skala usaha mikro-menengah maupun industri. Nata de seaweed mempunyai
kandungan nutrisi yang lebih baik dari nata de coco karena memiliki kandungan
lemak, serat, dan protein yang lebih tinggi daripada nata de coco. Kandungan lemak
nata de seaweed mencapai 0.23%, protein 0.57%, dan serat makanan mencapai 4,5%
(Isti 2005).
Sebagian besar kandungan nata de seaweed adalah air dan serat berupa
selulosa. Serat tersebut diperoleh dari hasil fermentasi bakteri Acetobacter xylinum.
Serat yang dihasilkan oleh bakteri pada umumnya sama dengan serat yang terbentuk
di dalam dinding sel tanaman, hanya terbentuknya tidak di dalam dinding sel bakteri,
tetapi di luar sel tersebut (Sri 1992). Serat tersebut membentuk massa yang
bergumpal pada permukaan medium terlihat putih transparan. Gumpalan serat itulah
yang kemudian kita kenal dengan sebutan nata de seaweed (Isti 2005).

B. Tujuan
Praktikum ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana cara membuat nata de
seaweed serta karakteristik mutu dan sensoris dari nata de seaweed.




II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Rumput Laut
Rumput laut adalah bahan pangan berkhasiat, kandungan serat (dietary fiber)
pada rumput laut sangat tinggi. Serat dalam makanan atau disebut juga serat
makanan umumnya berasal dari serat buah dan sayuran atau sedikit yang berasal dari
biji-bijian dan serealia. Serat makanan terdiri dari serat kasar (crude fiber) dan serat
makanan (dietary fiber). Serat kasar adalah serat yang secara laboratorium dapat
menahan asam kuat (acid) atau basa kuat (alkali), sedangkan serat makanan adalah
bagian dari makanan yang tidak dapat dicerna oleh enzim-enzim pencernaan. Ada 2
macam golongan serat yaitu yang tidak dapat larut dalam air dan yang dapat larut air.
Serat yang tidak dapat larut air adalah selulosa, hemiselulosa, dan lignin. Serat yang
dapat larut dalam air adalah pektin, gum, mucilage, glikan dan alga. Serat yang
terdapat pada karaginan merupakan bagian dari serat gum yaitu jenis serat yang larut
dalam air (Wisnu, 2010).
Serat mempunyai peran yang penting bagi kesehatan tubuh dan juga dalam
proses pencernaan makanan dalam tubuh. Kekurangan Serat dapat menyebabkan
konstipasi, apenaistis, alverculity, hemoroid, diabetes melitus, penyakit jantung
koroner dan batu ginjal. Menambahkan kebutuhan serat untuk pangan manusia
sangatlah bervariasi menurut pola makan dan tidak ada anjuran kebutuhan sehari
secara khusus untuk serat makanan. Konsumsi Serat rata-rata 25 g/hari dapat
dianggap cukup untuk memelihara kesehatan tubuh (Almatsier, 2009).
Serat ini bersifat mengenyangkan dan memperlancar proses metabolisme
tubuh sehingga sangat baik dikonsumsi penderita obesitas. Karbohidratnya juga
sukar dicerna sehingga rasa kenyang lebih bertahan lama tanpa takut kegemukan.
Rumpul laut juga diketahui kaya akan nutrisi esensial, seperti enzim, asam nukleat,
asam amino, mineral, trace elements khususnya yodium, dan vitamin A, B, C, D, E
dan K. Selain itu, rumput laut juga bisa meningkatkan fungsi pertahanan tubuh,
memperbaiki sistem peredaran darah dan sistem pencernaan (Adhistiana, 2008).
B. Bakteri Pembentuk Nata
Starter nata atau disebut biang adalah Acetobacter xylinum. Penggunaan
starter merupakan syarat yang sangat penting, yang bertujuan untuk memperbanyak
jumlah bakteri Acetobacter xylinum yang menghasilkan enzim pembentuk nata, di
samping itu starter juga berguna sebagai media adaptasi bakteri dari media padat
(agar) ke media cair. Starter merupakan populasi mikroba dalam jumlah yang
memadai dan kondisi fisiologis yang siap diinokulasikan pada media fermentasi.
Media starter biasanya identik dengan media dalam fermentasi nata (Saragih, 2004).
Pembentukan nata memerlukan starter sebanyak 10-20% dari volume media
sebagai starter mikroba. Dengan adanya jumlah stater yang sesuai, maka bakteri
dapat mencapai pertumbuhan secara optimum. Umur kultur Acetobacter xylinum
yang digunakan dalam fermentasi berpengaruh terhadap pembentukan nata. Bakteri
asam asetat termasuk mikroorganisme penghasil nata yang dapat membentuk asam
asetat melalui proses oksidasi metil alkohol menjadi asam asetat dan mampu
mengoksidasi komponen-komponen organik lain, termasuk asam asetat sendiri
(Warisno, 2004).
Sutarminingsih (2004), menyebutkan bahwa bakteri Acetobacter xylinum
dapat diklasiflkasikan dalam golongan:
Divisio : Protophyta
Kelas : Schizornycetes
Ordo : Pseudomonnales
Famili : Paseudomonas
Genus : Acetobacter
Spesies : Acetobacter xylinum

1. Sifat Bakteri
Sifat-sifat bakteri Acetobacter xylinum dapat diketahui dari sifat morfologi,
sifat fisiologi dan pertumbuhan selnya.


1. Sifat morfologi
Acetobacter xylinum merupakan bakteri berbentuk batang pendek yang
mempunyai panjang 2 dan lebar 0,2 , dengan permukaan dinding yang berlendir.
Bakteri ini bisa membentuk rantai pendek dengan satuan 6-8 sel. Bersifat nonmotil
dan dengan pewarnaan Grain menunjukkan gram negatif. Bakteri ini tidak
membentuk endospora maupun pigmen. Pada kultur sel yang masih muda, individu
sel berada sendiri-sendiri dan transparan. Koloni yang sudah tua membentuk lapisan
yang menyerupai gelatin yang kokoh menutupi sel dan koloninya. Pertumbuhan
koloni pada medium cair setelah 48 jam inokulasi akan membentuk lapisan pelikel
dan dapat dengan mudah diambil dengan jarum ose.
2. Sifat fisiologi
Bakteri ini dapat membentuk asam dari glukosa, etil dan propil alkohol, tidak
membentuk senyawa busuk yang beracun dari hasil peruraian protein (indol) dan
mempunyai kemampuan mengoksidasi asam asetat menjadi CO2 dan H2O. Sifat
yang paling menonjol dari bakteri ini adalah memiliki kemampuan untuk
mempolimerisasi glukosa sehingga menjadi selulosa. Selanjutnya, selulosa tersebut
membentuk matrik yang dikenal sebagai nata.
3. Pertumbuhan sel
Pertumbuhan sel bakteri didefinisikan sebagai pertumbuhan secara teratur
semua komponen didalam sel hidup. Umur sel ditentukan segera setelah proses
pembelahan sel selesai, sedangkan umur kultur ditentukan dari lamanya inkubasi.
Dalam satu waktu generasi, bakteri akan melewati beberapa fase pertumbuhan
sebagai berikut :
a. Fase Adaptasi
Bakteri Acetobacter xylinum tidak akan langsung tumbuh dan berkembang
saat dipindahkan ke media baru. Bakteri akan menyesuaikan diri dengan substrat
dan kondisi lingkungan barunya atau disebut dengan fase adaptasi. Meskipun
tidak mengalami perbanyakan sel, pada fase ini terjadi aktivitas metabolisme dan
pembesaran sel. Lama fase ni ditentukan oleh medium dan lingkungan
pertumbuhan serta jumlah inokulum. Fase adaptasi bagi Acetobacter xylinum
dicapai antara 0-24 jam atau 1 hari sejak inokulasi. Makin cepat fase ini dilalui,
makin efisien proses pembentukan nata yang terjadi.
b. Fase Pertumbuhan awal
Pada fase ini, sel mulai membelah dengan kecepatan rendah. Fase ini
menandai diawalinya fase pertumbuhan eksponensial. Fase ini dilalui dalam
beberapa jam.
c. Fase pertumbuhan eksponensial
Fase ini disebut juga sebagai fase pertumbuhan logaritmik, yang ditandai
dengan pertumbuhan yang sangat cepat. Untuk bakteri Acetobacter xylinum fase
ini dicapai dalam waktu antara 1-5 hari tergantung pada kondisi lingkungan.
Bakteri Acetobacter xylinum mengeluarkan enzim ekstraseluler polimerase
sebanyak-banyaknya untuk menyusun polimer glukosa menjadi selulosa. fase ini
sangat menentukan tingkat kecepatan suatu strain Acetobacter xylinum dalam
membentuk nata.
d. Fase pertumbuhan Lambat
Pada fase ini, terjadi pertumbuhan yang diperlambat karena ketersediaan
nutrisi telah berkurang, terdapatnya metabolik yang bersifat toksit yang dapat
menghambat pertumbuhan bakteri dan umur sel telah tua. Pada fase ini,
pertumbuhan tidak lagi stabil tetapi jumlah sel yang tumbuh masih lebih banyak
diproduksi pada fase ini.
e. Fase Pertumbuhan
Pada fase ini, jumlah sel yang tumbuh relatif sama dengan jumlah sel yang
mati. Penyebabnya adalah di dalam media terjadi kekurangan nutrisi, pengaruh
metabolit toksit lebih besar dan umur sel semakin tua. Namun, pada fase ini, sel
akan lebih tahan terhadap kondisi lingkungan yang ekstrim jika dibandingkan
dengan ketahanannya pada fase yang lain. Matrik nata lebih banyak diproduksi
pada fase ini.
f. Fase menuju kematian
Pada fase ini, bakteri mulai mengalami kematian karena nutrisi telah habis
dan sel kehilangan banyak energi cadangannya.
g. Fase kematian
Pada fase ini, sel dengan cepat mengalami kematian, dan hampir merupakan
kebalikan dari fase logaritmik. Sel mengalami lisis dan melepaskan komponen
yang terdapat didalamnya. Kecepatan kematian dipengaruhi oleh nutrisi,
lingkungan dan jenis bakteri. Untuk A xylinum, fase ini dicapai setelah hari
kedelapan hingga kelima belas. Pada fase ini, A xylinum tidak baik apabila
digunakan sebagai bibit nata.

2. Aktivitas Pembentukan Nata
Bakteri Acetobacter xylinum akan merubah gula pada medium menjadi
selulosa. Acetobacter xylinum dapat merubah 19% gula menjadi selulosa. Selulosa
yang terbentuk dalam media tersebut berupa benang-benang yang bersama-sama
polisakarida membentuk jalinan yang terus menerus menebal menjadi lapisan nata.
Sintesa polisakarida oleh bakteri sangat dipengaruhi oleh tersedianya nutrisi dan ion-
ion tertentu yang dapat mengkatalisasi aktivitas bakteri. Peningkatan konsentrasi
nitrogen dalam substrat dapat meningkatkan jumlah polisakarida yang terbentuk,
sedangkan ion-ion bivalen seperti Mg
2+
dan Ca
2+
diperlukan untuk mengontrol kerja
enzim ekstraseluler dan membentuk ikatan dengan polisakarida (Riyadi, 1987).
Pada proses metabolismenya, selaput selulosa ini terbentuk oleh aktivitas
Acetobacter xylinum terhadap glukosa. Karbohidrat pada medium dipecah menjadi
glukosa yang kemudian berikatan dengan asam lemak (Guanosin trifosfat)
membentuk prekursor penciri selulosa oleh enzim selulosa sintetase, kemudian
dikeluarkan ke lingkungan membentuk jalinan selulosa pada permukaan medium.
Selama metabolisme karbohidrat oleh Acetobacter xylinum terjadi proses glikolisis
yang dimulai dengan perubahan glukosa menjadi glukosa 6-posfat yang kemudian
diakhiri dengan terbentuknya asam piruvat. Glukosa 6-P yang terbentuk pada proses
glikolisis inilah yang digunakan oleh Acetobacter xylinum untuk menghasilkan
selulosa. Selulosa yang terbentuk mernpunyai ikatan 1,4-glikosida dan tersusun
dan komponen glukosa mannosa, rhamnosa dan asam glukoronat dengan
perbandingan 3:1:1:1 (Riyadi, 1987).
Aktivitas pembuatan nata hanya terjadi pada kisaran pH antara 3,5-7,5
dengan pH optimum untuk pembentukan nata adalah 4. Suhu yang memungkinkan
untuk pembentukan nata adalah pada suhu kamar antara 28-32C dengan bantuan
bakteri Acetobacter xylinum, maka komponen gula yang terdapat di dalamnya dapat
dirubah menjadi suatu subtansi yang menyerupai gel yang tumbuh di permukaan
media (Wahyudi, 2003).
Selama fermentasi terjadi penurun pH dari 4 menjadi 3. Derajat keasaman
medium yang tinggi ini merupakan syarat tumbuh bagi Acetobacter xylinum.
Acetobacter xylinum dapat tumbuh pada kisaran pH 3-6. Pada medium yang asam
sampai kondisi tertentu akan menyebabkan reproduksi dan metabolisme sel menjadi
lebih baik, sehingga metabolitnya pun banyak (Wahyudi, 2003).

C. Mutu dan Produksi Nata
Adapun proses pembuatan nata menurut Warisno (2004) adalah sebagai
berikut:
1. Persiapan Starter
Air kelapa disaring menggunakan kain kasa. Air kelapa direbus sampai
mendidih, ditambahkan urea, gula pasir dan asam cuka, kemudian sampai larutan
memikiki pH 4. Larutan yang masih panas dituang ke dalam botol yang sudah
disterilkan sebanyak dua pertiga bagian botol. Botol ditutup dengan kertas koran dan
diikat kuat, disimpan diruang inkubasi selama satu minggu. Setelah satu minggu,
terbentuk lapisan berwarna putih, starter siap digunakan.

2. Proses Fermentasi
Bahan dasar nata didiamkan sampai kotoranya mengendap, disaring dengan
kain kasa, kemudian direbus sampai mendidih selama 15 menit. Pupuk ZA, gula
pasir, dan asam cuka dimasukan, diaduk sampai tercampur rata. 1 liter larutan yang
masih panas tersebut dimasukan ke dalam loyang plastik atau baki. Loyang ditutup
kertas koran dan diikat kuat, kemudian dibiarkan dingin. 100 ml starter dimasukan ke
dalam loyang, kemudian fermentasi selama satu minggu.

3. Pemanenan Nata
Nata siap dipanen setelah diinkubasi selama 8-14 hari. Kertas koran penutup
dibuka, nata diambil dan dikumpulkan dalam satu wadah. Saat memanen nata, ada
bagian yang tidak bisa dipanen yaitu cairan atau padatan. Cairan merupakan sisa
media nata, sedangkan padatan berupa nata yang busuk, rusak, berjamur, atau nata
yang bentuknya tidak teratur. Nata yang telah disortir selanjutnya dicuci bersih dan
dipotong-potong sesuai selera. Aroma masam dihilangkan dengan cara mencuci dan
merendam nata dengan air bersih minimal dua kali setelah itu direbus selama 5
menit.
Nata adalah biomassa yang sebagian besar terdiri dari selulosa berbentuk agar
dengan lapisan berwarna putih. Lapisan ini adalah massa mikroba berkapsul dari
selulosa. Pemberian nama nata tergantung dari bahan baku yang digunakan. Nata de
coco misalnya, terbuat dari air kelapa. Nata de Soya (dari limbah perebusan kedelai),
nata de cassava (dari limbah perendaman pati), Nata de Seaweed (dari rumput laut),
dan lain sebagainya. Adapun kriteria-kriteria mutu produk minuman nata dalam
kemasan diatur dalam SNI tahun 2006 sebagai berikut:
Tabel Standar Mutu Produk Nata dalam Kemasan (SNI 01-4317-1996)

No Jenis Uji Satuan Persyaratan
1 Keadaan:
- Bau
- Rasa
- Warna

-
-
-

Normal
Normal
Normal
2 Benda Asing - Tidak boleh ada
3 Bobot Tuntas % Min 50
4 Jumlah Sukrosa % Min 15
5 Serat Makanan % Maks 4.5
6 Pemanis Buatan:
- Sakarin
- Siklamat

-
-

Tidak boleh ada
Tidak boleh ada
7 Pewarna Tambahan Sesuai SNI 01-
0222-1995
8 Pengawet Sesuai SNI 01-
0222-1995
9 Cemaran Logam
- Timbal (Pb)
- Tembaga (Cu)
- Seng (Zn)
-
Timah (Sn)
- Arsen (As)

mg/kg
mg/kg
mg/kg
mg/kg
mg/kg

Maks 0.2
Maks 2
Maks 5.0
Maks 4.0
Maks 0.1
10 Cemaran Mikroba:
- Angka Lempeng Total
- Coliform
- Kapang
- Khamir

Koloni/g
APM/g
Koloni/g
Koloni/g

Maks 2.0 x 10
2

<3
Maks 50
Maks 50

























III. METODE PRAKTIKUM
A. Waktu dan Tempat
Praktikum Teknologi Industri Tanaman Laut pembuatan dodol rumput laut ini
dilaksanakan pada hari Kamis, tanggal 3 April 2014, pukul 13.00 WIB sampai
dengan selesai, yang dilaksanakan di Laboratorium Teknologi Hasil Perikanan
Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya.

B. Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam praktikum ini antara lain blender, loyang,
baskom, neraca analitik, sendok pengaduk, kain blacu, saringan, kompor dan panci.
Sedangkan bahan yang digunakan antara lain rumput laut Eucheuma cottonii,
Acetobacter xylinum, ragi, pupuk ZA, gula aren dan jeruk nipis.

C. Prosedur Kerja
Adapun cara kerja dari pembuatan dodol rumput laut ini adalah sebagai
berikut:
Cara kerja pada pembuatan surimi dan kamaboko adalah sebagai berikut:
Rumput laut

Dicuci dan ditiriskan

Diblender kasar

Filtrat yang dihasilkan ditambah air 1L

Dimasak 10 menit

15 menit setelah dimasak masukkan gula aren dan ditambahkan sari jeruk nipis

Dimasukkan ke dalam wadah/cetakan

Wadah ditutup dengan kain blacu

Diamkan 1 malam lalu ditambahkan Acetobacter xylinum 10%

Ditutup lagi dengan kain blacu

Fermentasi selama 10 hari dalam suhu ruangan
Gambar 1. Diagram alir proses pembuatan nata de seaweed


















IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil
Adapun hasil yang diperoleh dari praktikum nata de seaweed dapat dilihat
pada gambar berikut ini:


B. Pembahasan
Aktivitas pembuatan nata hanya terjadi pada kisaran pH antara 3,5-7,5
dengan pH optimum untuk pembentukan nata adalah 4. Suhu yang memungkinkan
untuk pembentukan nata adalah pada suhu kamar antara 28-32C dengan bantuan
bakteri Acetobacter xylinum, maka komponen gula yang terdapat di dalamnya dapat
dirubah menjadi suatu subtansi yang menyerupai gel yang tumbuh di permukaan
media. Dalam pertumbuhan, bakteri pembentuk nata dipengaruhi oleh beberapa
faktor antara lain tingkat keasaman medium, suhu fermentasi, lama fermentasi,
sumber nitrogen, sumber karbon, dan konsentrasi starter (Wahyudi, 2003).
Nata merupakan produk fermentasi dari bakteri Acetobacter xylinum yang
berupa lembaran selulosa dari pengubahan gula yang terdapat pada substrat menjadi
pelikel selulosa. Kandungan utama nata adalah air dan serat sehingga cocok sebagai
makanan diet.
Praktikum pembuatan nata de seaweed ini gagal. Kegagalan ini ditandai
dengan tumbuhnya jamur di atas permukaan nata dalam loyang fermentasi. Nata
memiliki kandungan a
w
yang cukup tinggi yang menjadikan nata ini sebagai media
yang cocok untuk pertumbuhan bakteri maupun jamur yang tidak diinginkan.
Rumput laut yang merupakan bahan baku dalam pembuatan nata de seaweed ini juga
mengandung selulosa yang menjadi sumber nutrisi bagi jamur. Selain aktivitas air
yang tinggi, serat ataupun selulosa, suhu dan pH yang tidak terkontrol tempat
penyimpanan atau tempat dilakukannya fermentasi nata de seaweed juga menjadi
faktor pendukung pertumbuhan jamur tersebut.
Tumbuhnya jamur ini menjadi penghambat terbentuknya nata selama proses
fermentasi karena sumber nutrisi yang dibutuhkan bakteri dalam pembentukan nata
diambil oleh jamur tersebut.












V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang diperoleh dari praktikum pembuatan nata de
seaweed adalah sebagai berikut:
1. Kandungan utama nata terdiri dari air dan serat.
2. Aktivitas pembuatan nata hanya terjadi pada kisaran pH antara 3,5-7,5 dengan
pH optimum adalah 4 dan suhu yang memungkinkan untuk pembentukan nata
adalah pada suhu kamar antara 28-32C.
3. Kegagalan pembuatan nata de seaweed ditandai dengan tumbuhnya jamur di atas
permukaan nata dalam loyang fermentasi.
4. Selain aktivitas air yang tinggi, serat ataupun selulosa, suhu dan pH yang tidak
terkontrol tempat penyimpanan atau tempat dilakukannya fermentasi nata de
seaweed juga menjadi faktor pendukung pertumbuhan jamur tersebut.
5. Tumbuhnya jamur ini menjadi penghambat terbentuknya nata selama proses
fermentasi karena sumber nutrisi yang dibutuhkan bakteri dalam pembentukan
nata diambil oleh jamur tersebut.

B. Saran
Untuk menghindari terjadinya kegagalan dalam pembuatan nata de sea weed
pada praktikum selanjutnya sebaiknya asisten maupun praktikan terus mengontrol
suhu maupun pH selama proses fermentasi berlangsung.

You might also like