You are on page 1of 18

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
DA adalah kelainan kulit kronis yang sangat gatal, umum dijumpai, ditandai oleh kulit
yang kering, inflamasi dan eksudasi, yang kambuh-kambuhan. Kelainan biasanya bersifat
familial, dengan riwayat atopi pada diri sendiri ataupun keluarganya. Atopi ialah kelainan
dengan dasar genetik yang ditandai oleh kecenderungan individu untukmembentuk antibodi
berupa imunoglobulin E (IgE) spesifik bila berhadapan dengan alergen yang umum dijumpai,
serta kecenderungan untuk mendapatkan penyakit-penyakit asma, rhinitis alergika dan DA,
serta beberapa bentuk urtikaria (Fauzi N., dkk.,2009).
Istilah atopi berasal dari kata atopos (out of place). Berbagai faktor dapat memicu DA,
antara lain allergen makanan, alergen hirup, berbagai bahan iritan, dan stres. Tetapi, seberapa
besar peran alergen makanan dan alergen hirup ini masih kontroversial. Meski pada pasien
DA kerap dijumpai peningkatan IgE spesifik terhadap kedua jenis alergen ini, tetapi tidak
selalu dijumpai korelasi dengan kondisi klinisnya.
Hasil tes positif terhadap suatu alergen, tidak selalu menyatakan alergen tersebut
sebagai pemicu DA, tetapi lebih menggambarkan bahwa pasien telah tersensitasi
terhadapnya. Secara umum, alergen makanan lebih berperan pada DA usia dini. Seiring
dengan penambahan usia, maka peran alergen makanan akan digantikan oleh alergen hirup.
Selain itu, memang terdapat sekitar 20% penderita DA tanpa peningkatan IgE spesifik, yang
dikenal sebagai DA tipe intrinsik.
Pada penderita DA 30 % akan berkembang menjadi asma, dan 35% berkembang
menjadi rhinitis alergi. Berdasarkan International Study of Ashma, and Alergies in Children
prevalensi gejala dermatitis atopik pada anak usia enam atau tujuh tahun sejak periode tahun
pertama bervariasi yakni kurang dari dua persen di Iran dan Cina sampai kira-kira 20 persen
di Australia, Inggris dan Skandinavia. Prevalensi yang tinggi juga ditemukan di Amerika. Di
Inggris, pada survei populasi pada 1760 anak-anak yang menderita DA dari usia satu sampai
lima tahun ditemukan kira-kira 84 persen kasus ringan, 14 persen kasus sedang, 2 persen
kasus berat (William H.C., 2005).
Diagnosis DA ditegakkan berdasarkan gambaran klinis dan adanya riwayat atopik
(dalam keluarga maupunsendiri). Secara klinis, terdapat 3 fase/bentuk yang lokasi dan
morfologinya berubah sesuai dengan pertambahan usia. Pada fase bayi lesi terutama pada
wajah, sehingga dikenal sebagai eksim susu. Pada tipe anak, terutama pada daerah lipatan
kulit, khususnya lipat siku dan lutut. Sedangkan pada tipe dewasa lebih sering dijumpai pada
tangan, kelopak mata dan areola mammae. Penyebab pasti kekhususan pada distribusi
anatomi ini belum diketahui. Terdapat beberapa kriteria untuk menegakkan diagnosis DA,
misalnya kriteria Hanifin dan Rajka, kriteria Williams, kriteria UK Working Party, SCORAD
(the scoring of atopic dermatitis) dan EASI (the eczema area and severity index).
1.2 Rumusan masalah
1.3 Tujuan




















BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Dermatitis atopik (DA) ialah keadaan peradangan kulit kronis dan residif, disertai
gatal yang umumnya sering terjadi selama masa bayi dan anak-anak, sering berhubungan
dengan peningkatan IgE dalam serum dan riwayat atopi keluarga atau penderita (DA,
rhinitis alergi, dan atau asma bronchial) (Sularsito S.A., & Djuanda A., 2005).
Istilah lain adalah ekzema atopik, ekzema konstitusional, ekzema fleksural,
neurodermatitis diseminata, prurigo Besnier.
Dermatitis Atopik adalah sautu peradangan menahun pada lapisan atas kulit yang
menyebabkan rasa gatal; seringkali terjadi pada penderita rinitis alergika atau penderita
asma dan pada orang-orang yang anggota keluarganya ada yang menderita rinitis alergika
atau asma.
Didapatkan dua tipe DA, bentuk alergik yang merupakan bentuk utama (70-80%
pasien) terjadi akibat sensitisasi terhadap alergen lingkungan disertai dengan peningkatan
kadar IgE serum. Bentuk lain adalah bentuk intrinsik atau non alergik, terdapat pada 20-30%
pasien, dengan kadar IgE rendah dan tanpa sensitisasi terhadap alergen lingkungan. Dapat
disimpulkan bahwa peningkatan kadar IgE bukan merupakan prasyarat pada patogenesis
dermatitis atopik. Terdapat pula konsep bentuk murni (Pure Type), tanpa berkaitan dengan
penyakit saluran nafas dan bentuk campuran (Mixed Type) yang terkait dengan sensitisasi
terhadap alergen hirup atau alergen makanan disertai dengan peningkatan kadar IgE
(Soebaryo R.W., 2009).
2.2 Etiologi
Penyebab dermatitis atopik tidak diketahui dengan pasti, diduga disebabkan oleh
berbagai faktor yang saling berkaitan (multifaktorial). Faktor intrinsik berupa predisposisi
genetik, kelainan fisiologi dan biokimia kulit, disfungsi imunologis, interaksi psikosomatik
dan disregulasi/ ketidakseimbangan sistem saraf otonom, sedangkan faktor ekstrinsik
meliputi bahan yang bersifat iritan dan kontaktan, alergen hirup, makanan, mikroorganisme,
perubahan temperatur, dan trauma (Fauzi N., dkk., 2009).

Faktor psikologis dan psikosomatis dapat menjadi faktor pencetus (Mansjoer A.,dkk.,
2001).
faktor pencetus lain diantaranya yaitu :
Makanan
Berdasarkan hasil Double Blind Placebo Controlled Food Challenge (DBPCFC),
hampir 40% bayi dan anak dengan DA sedang dan berat mempunyai riwayat alergi
terhadap makanan. Bayi dan anak dengan alergi makanan umumnya disertai uji kulit
(skin prick test) dan kadar IgE spesifik positif terhadap pelbagai macam makanan.
Walaupun demikian uji kulit positif terhadap suatu makanan tertentu, tidak berarti bahwa
penderita tersebut alergi terhadap makanan tersebut, oleh karena itu masih diperlukan
suatu uji eliminasi dan provokasi terhadap makanan tersebut untuk menentukan
kepastiannya (Judarwanto W., 2009). Prevalensi reaksi alergi makanan lebih banyak pada
anak dengan dermatitis atopik berat. Makanan yang sering mengakibatkan alergi antara
lain susu, telur, gandum, kacang-kacangan kedelai dan makanan laut (Roesyanto I.D., &
Mahadi., 2009).
Alergen hirup
Alergen hirup sebagai penyebab DA dapat lewat kontak, yang dapat dibuktikan
dengan uji tempel, positif pada 30-50% penderita DA, atau lewat inhalasi. Reaksi positif
dapat terlihat pada alergi tungau debu rumah (TDR) bulu binatang rumah tangga, jamur
atau ragweed di negara-negara dengan 4 musim (Judarwanto W., 2009).
Infeksi kulit
Mikroorganisme telah diketahui sebagai salah satu faktor ekstrinsik yang berperan
memberi kontribusi sebagai pencetus kambuhnya dermatitis atopik. Mikroorganisme
utamanya adalah Staphylococcus aureus (SA). Pada penderita DA didapatkan perbedaan
yang nyata pada jumlah koloni Staphylococcus aureus dibandingkan orang tanpa atopik.
Adanya kolonisasi Staphylococcus aureus pada kulit dengan lesi ataupun non lesi pada
penderita dermatitis atopik, merupakan salah satu faktor pencetus yang penting pada
terjadinya eksaserbasi, dan merupakan faktor yang dikatakan mempengaruhi beratnya
penyakit. Faktor lain dari mikroorganisme yang dapat menimbulkan kekambuhan dari DA
adalah adanya toksin yang dihasilkan oleh Staphylococcus aureus. Enterotoksin yang
dihasilkan Staphylococcus aureus ini dapat menembus fungsi sawar kulit, sehingga dapat
mencetuskan terjadinya inflamasi. Enterotoksin tersebut bersifat sebagai superantigen,
yang secara kuat dapat menstimulasi aktifasi sel T dan makrofag yang selanjutnya
melepaskan histamin. Enterotoxin Staphylococcus aureus menginduksi inflamasi pada
dermatitis atopik dan memprovokasi pengeluaran antibodi IgE spesifik terhadap
enterotoksin Staphylococcus aureus, tetapi menurut penelitian dari Fauzi nurul, dkk, 2009.,
tidak didapatkan korelasi antara jumlah kolonisasi Staphylococcus aureus dan kadar IgE
spesifik terhadap enterotoksin Staphylococcus aureus.
2.3 Patogenesis
Berbagai faktor turut berperan pada pathogenesis DA, antara lain faktor genetik terkait
dengan kelainan intrinsik sawar kulit, kelainan imunologik, dan faktor lingkungan (Soebaryo
R.W., 2009).
a. Genetik
Genetik Pengaruh gen maternal sangat kuat. Ada peran kromosom 5q31-33,
kromosom 3q21, serta kromosom 1q21 and 17q25. Juga melibatkan gen yang
independen dari mekanisme alergi. Ada peningkatan prevalensi HLA-A3 dan HLA-A9.
Pada umumnya berjalan bersama penyakit atopi lainnya, seperti asma dan rhinitis.
Risiko seorang kembar monosigotik yang saudara kembarnya menderita DA adalah
86% (Judarwanto W., 2009).

Lebih dari seperempat anak dari seorang ibu yang menderita atopi keluarga akan
mengalami DA pada masa 3 bulan pertama kehidupan, bila salah satu orang tua
menderita atopi, lebih dari separuh jumlah anak akan mengalami gejala alergi sampai
usia 2 tahun, dan meningkat sampai 79% bila kedua orangtua menderita atopi. Risiko
mewarisi DA lebih tinggi bila ibu yang menderita DA dibandingkan dengan ayah.
Tetapi bila DA yang dialami berlanjut hingga masa dewasa maka risiko untuk
mewariskan kepada anaknya sama saja yaitu kira-kira 50%.
b. Sawar kulit
Hilangnya Ceramide dikulit, yang berfungsi sebagai molekul utama pengikat air
diruang ekstraseluler stratum korneum, dianggap sebagai penyebab kelainan fungsi
sawar kulit. Variasi ph kulit dapat menyebabkan kelainan metabolisme lipid di kulit.
Kelainan fungsi sawar mengakibatkan peningkatan transepidermal water loss, kulit
akan semakin kering dan merupakan port dentry untuk terjadinya penetrasi alergen,
iritan, bakteri dan virus. Bakteri pada pasien DA mensekresi ceramide sehingga
menyebabkan kulit makin kering (Soebaryo R.W., 2009).
Respon imun kulit Sel-sel T baik subset CD4+ maupun subset CD8+ yang
diisolasi dari kulit (CLA+ CD45RO+ T cells) maupun dari darah perifer, terbukti
mensekresi sejumlah besar IL-5 dan IL-13, sehingga dengan kondisi ini lifespan dari
eosinofil memanjang dan terjadi induksi pada produksi IgE. Lesi akut didominasi oleh
ekspresi IL-4 dan IL-13, sedangkan lesi kronik didominasi oleh ekspresi IL-5, GM-CSF,
IL-12, dan IFN-g serta infiltrasi makrofag dan eosinofil (Judarwanto W., 2009).
Imunopatologi Kulit Pada DA, sel T yang infiltrasi ke kulit adalah CD45RO+.
Sel T ini menggunakan CLA maupun reseptor lainnya untuk mengenali dan
menyeberangi endotelium pembuluh darah. Di pembuluh darah perifer pasien DA, sel T
subset CD4+ maupun subset CD8+ dari sel T dengan petanda CLA+CD45RO+ dalam
status teraktivasi (CD25+, CD40L+, HLADR+). Sel yang teraktivasi ini
mengekspresikan Fas dan Fas ligand yang menjadi penyebab apoptosis. Sel-sel itu
sendiri tidak menunjukkan apoptosis karena mereka diproteksi oleh sitokin dan protein
extracellular matrix (ECM). Sel-sel T tersebut mensekresi IFN g yang melakukan
upregulation Fas pada keratinocytes dan menjadikannya peka terhadap proses apoptosis
di kulit. Apoptosis keratinosit diinduksi oleh Fas ligand yang diekspresi di permukaan
sel-sel T atau yang berada di microenvironment (Judarwanto W., 2009).
c. Lingkungan
Sebagai tambahan selain alergen hirup, alergen makanan, eksaserbasi pada DA
dapat dipicu oleh berbagai macam infeksi, antara lain jamur, bakteri dan virus, juga
pajanan tungau debu rumah dan binatang peliharaan. Hal tersebut mendukung teori
Hygiene Hypothesis (Roesyanto I.D., & Mahadi., 2009).

Hygiene Hypothesis menyatakan bahwa berkurangnya stimulasi sistem imun
oleh pajanan antigen mikroba dinegara barat mengakibatkan meningkatnya kerentanan
terhadap penyakit atopik (Sugito T.L., 2009).
Sampai saat ini etiologi maupun mekanisme yang pasti DA belum semuanya
diketahui, demikian pula pruritus pada DA. Rasa gatal dan rasa nyeri sama-sama
memiliki reseptor di taut dermoepidermal, yang disalurkan lewat saraf C tidak bermielin
ke saraf spinal sensorik yang selanjutnya diteruskan ke talamus kontralateral dan
korteks untuk diartikan. Rangsangan yang ringan, superfisial dengan intensitas rendah
menyebabkan rasa gatal, sedangkan yang dalam dan berintensitas tinggi menyebabkan
rasa nyeri. Sebagian patogenesis DA dapat dijelaskan secara imunologik dan
nonimunologik (Judarwanto W., 2009).
d. Imnopatogenesis DA
Histamin dianggap sebagai zat penting yang memberi reaksi dan menyebabkan
pruritus. Histamin menghambat kemotaksis dan menekan produksi sel T. Sel mast
meningkat pada lesi dermatitis atopik kronis. Sel ini mempunyai kemampuan
melepaskan histamin. Histamin sendiri tidak dapat menyebabkan lesi ekzematosa.
kemungkinan zat tersebut menyebabkan pruritus dan eritema, mungkin akibat garukan
karena gatal menimbulkan lesi ekzematosa. Pada pasien dermatitis atopik kapasitas
untuk menghasilkan IgE secara berlebihan diturunkan secara genetik. Demikian pula
defisiensi sel T penekan (suppressor). Defisiensi sel ini menyebabkan produksi
berlebih igE (Mansjoer A.,dkk., 2001).
Respon Imun Sistemik Terdapat IFN-g yang menurun. Interleukin spesifik
alergen yang diproduksi sel T pada darah perifer (interleukin IL-4, IL-5 dan IL-13)
meningkat. Juga terjadi Eosinophilia dan peningkatan IgE (Judarwanto W., 2009).
Reaksi imunologis DA
Sekitar 70% anak dengan DA mempunyai riwayat atopi dalam keluarganya seperti asma
bronkial, rinitis alergi, atau dermatitis atopik. Sebagian besar anak dengan DA (sekitar
80%), terdapat peningkatan kadar IgE total dan eosinofil di dalam darah. Anak dengan
DA terutama yang moderat dan berat akan berlanjut dengan asma dan/atau rinitis alergika
di kemudian hari (allergic march), dan semuanya ini memberikan dugaan bahwa dasar
DA adalah suatu penyakit atopi.
Ekspresi sitokin
Keseimbangan sitokin yang berasal dari Th1 dan Th2 sangat berperan pada reaksi
inflamasi penderita Dermatitis Atopik (DA). Pada lesi yang akut ditandai dengan kadar
Il-4, Il-5, dan Il-13 yang tinggi sedangkan pada DA yang kronis disertai kadar Il-4 dan Il-
13 yang lebih rendah, tetapi kadar Il-5, GM-CSF (granulocyte-macrophage colony-
stimulating factor), Il-12 dan INFg lebih tinggi dibandingkan pada DA akut.
Anak dengan bawaan atopi lebih mudah bereaksi terhadap antigen lingkungan
(makanan dan inhalan), dan menimbulkan sensitisasi terhadap reaksi hipersentivitas tipe
I. Imunitas seluler dan respons terhadap reaksi hipersensitivitas tipe lambat akan
menurun pada 80% penderita dengan DA, akibat menurunnya jumlah limfosit T sitolitik
(CD8+), sehingga rasio limfosit T sitolitik (CD 8+) terhadap limfosit T helper (CD4+)
menurun dengan akibat kepekaan terhadap infeksi virus, bakteri, dan jamur meningkat.
Di antara mediator yang dilepaskan oleh sel mast, yang berperan pada pruritus adalah
vasoaktif amin, seperti histamin, kinin, bradikinin, leukotrien, prostaglandin dan
sebagainya, sehingga dapat dipahami bahwa dalam penatalaksanaan DA, walaupun
antihistamin sering digunakan, namun hasilnya tidak terlalu menggembirakan dan
sampai saat ini masih banyak silang pendapat para ahli mengenai manfaat antihistamin
pada DA (Soebaryo R.W., 2009).

Trauma mekanik (garukan) akan melepaskan TNF-a
dan sitokin pro inflammatory lainnya diepidermis, yang selanjutnya akan meningkatkan
kronisitas DA dan bertambah beratnya eksema (Judarwanto W., 2009).
e. Antigen Presenting Cells
Kulit penderita DA mengandung sel Langerhans (LC) yang mempunyai afinitas
tinggi untuk mengikat antigen asing (Ag) dan IgE lewat reseptor FceRI pada
permukaannya, dan beperan untuk mempresentasikan alergen ke limfosit Th2,
mengaktifkan sel memori Th2 di kulit dan yang juga berperan mengaktifkan Th0
menjadi Th2 di dalam sirkulasi (Judarwanto W., 2009).
f. Faktor non imunologis
Faktor non imunologis yang menyebabkan rasa gatal pada DA antara lain
adanya faktor genetik, yaitu kulit DA yang kering (xerosis). Kulit yang kering akan
menyebabkan nilai ambang rasa gatal menurun, sehingga dengan rangsangan yang
ringan seperti iritasi wol, rangsangan mekanik, dan termal akan mengakibatkan rasa
gatal (Judarwanto W., 2009).
g. Autoalergen
Sebagian besar serum pasien dermatitis atopik mengandung antibody IgE
terhadap protein manusia.Autoalergen tersebut merupakan protein intraseluler,yang
dapat dikeluarkan karena kerusakan keratinosit akibat garukan dan dapat memicu
respon IgE atau sel T. pada dermatitis atopik berat, inflamasi tersebut dapat
dipertahankan oleh adanya antigen endogen manusia sehingga dermatitis atopik dapat
digolongkan sebagai penyakit terkait dengan alergi dan autoimunitas
(Soebaryo R.W., 2009).

Gambar 1 Patogenesis DA (Judarwanto W., 2009).
2.4 Manifestasi Klinik
Manifestasi klinis DA berbeda pada setiap tahapan atau fase perkembangan
kehidupan, mulai dari saat bayi hingga dewasa. Pada setiap anak didapatkan tingkat
keparahan yang berbeda, tetapi secara umum mereka mengalami pola distribusi lesi yang
serupa (Zulkarnain I., 2009).
Kulit penderita DA umumnya kering, pucat/redup, kadar lipid diepidermis berkurang
dan kehilangan air lewat epidermis meningkat. Penderita DA cenderung tipe astenik,
dengan intelegensia diatas rata-rata,sering merasa cemas, egois, frustasi, agresif, atau merasa
tertekan (Sularsito S.A., & Djuanda A., 2005).
Subyektif selalu terdapat pruritus.Terdiri atas 3 bentuk, yaitu:
1. Bentuk infantil ( 0 - 2 tahun).
Lesi awal dermatitis atopik muncul pada bulan pertama kelahiran, biasanya
bersifat akut, sub akut, rekuren, simetris dikedua pipi (Zulkarnain I., 2009). Karena
letaknya didaerah pipi yang berkontak dengan payudara, sering disebut eksema susu.
Terdapat eritem berbatas tegas, dapat disertai papul-papul dan vesikel-vesikel miliar,
yang menjadi erosif, eksudatif, dan berkrusta. Tempat predileksi dikedua pipi,
ekstremitas bagian fleksor, dan ekstensor (Mansjoer A.,dkk., 2001).
Rasa gatal

yang timbul sangat mengganggu sehingga anak gelisah, susah tidur,
dan sering menangis. Pada umumnya lesi DA infantil eksudatif, banyak eksudat, erosi,
krusta dan dapat mengalami infeksi. Lesi dapat meluas generalisata bahkan walaupun
jarang, dapat terjadi eritroderma. Sekitar usia 18 bulan mulai tampak likenifikasi.
(Sularsito S.A., & Djuanda A., 2005).






Gambar 2 Dermatitis Atopik Infantil
2. Bentuk anak (2 - 12 tahun)
Awitan lesi muncul sebelum umur 5 tahun. Sebagian merupakan kelanjutan fase
bayi. Pada kondisi kronis tampak lesi hiperkeratosis, hiperpigmentasi, dan likenifikasi.
Akibat adanya gatal dan garukan, akan tampak erosi, eksoriasi linear yang disebut
starch marks. Tempat predileksi tengkuk, fleksor kubital, dan fleksor popliteal. Sangat
jarang diwajah. lesi DA pada anak juga bisa terjadi dipaha dan bokong (Zulkarnain I.,
2009).

Eksim pada kelompok ini sering terjadi pada daerah ekstensor(luar) daerah
persendian, (sendi pergelangan tangan, siku, dan lutut), pada daerah genital juga dapat
terjadi (Simpson E.L., & Hanifin J.M., 2005).






Gambar 3 Dermatitis Atopik pada Anak-anak
3. Bentuk dewasa (> 12 tahun)
Bentuk lesi pada fase dewasa hampir serupa dengan lesi kulit fase akhir anak-
anak. Lesi selalu kering dan dapat disertai likenifikasi dan hiperpigmentasi. Tempat
predileksi tengkuk serta daerah fleksor kubital dan fleksor popliteal.
Manifestasi lain berupa kulit kering dan sukar berkeringat, gatal-gatal terutama
jika berkeringat. Berbagai kelainan yang dapat menyertainya ialah xerosis kutis,
iktiosis, hiperlinearis Palmaris et plantaris, pomfoliks, ptiriasis alba, keratosis pilaris
(berupa papul-papul miliar, ditengahnya terdapat lekukan), dll. (Mansjoer A.,dkk.,
2001).

Pada orang dewasa sering mengeluh bahwa penyakitnya kambuh apabila
mengalami stress, mungkin karena stress menurunkan ambang rangsang gatal. DA
remaja cenderung berlangsung lama kemudian menurun dan membaik (sembuh)
satelah usia 30 tahun, jarang sampai usia pertengahan, hanya sebagian kecil
berlangsung sampai tua (Sularsito S.A., & Djuanda A., 2005).




Gambar 4 Dermatitis Atopik Dewasa





Gambar 5 tempat predileksi DA bentuk infantil






Gambar 6 Tempat predileksi DA bentuk anak-anak
2.5 Komplikasi
Pada anak penderita DA, 75% akan disertai penyakit alergi lain di kemudian hari.
Penderita DA mempunyai kecenderungan untuk mudah mendapat infeksi virus maupun
bakteri (impetigo, folikulitis, abses, vaksinia. Molluscum contagiosum dan herpes). Infeksi
virus umumnya disebabkan oleh Herpes simplex atau vaksinia dan disebut eksema
herpetikum atau eksema vaksinatum.
Eksema vaksinatum ini sudah jarang dijumpai, biasanya terjadi pada pemberian
vaksin varisela, baik pada keluarga maupun penderita. lnfeksi Herpes simplex terjadi akibat
tertular oleh salah seorang anggota keluarga. Terjadi vesikel pada daerah dermatitis, mudah
pecah dan membentuk krusta, kemudian terjadi penyebaran ke daerah kulit normal.
Penderita DA juga mempunyai kecenderungan meningkatnya jumlah koloni Staphylococcus
aureus.
2.6 Penatalaksanaan
Pada umumnya dermatitis atopik tidak dapat disembuhkan, tetapi dapat dikontrol.
Pengobatan DA tidak bersifat menghilangkan penyakit tapi untuk menghilangkan gejala dan
mencegah kekambuhan. Sebagian penderita mengalami perbaikan sesuai dengan
bertambahnya usia. Penatalaksanaan dasar diberikan untuk semua kasus baik yang ringan,
sedang maupun berat, berupa perawatan kulit, hidrasi, kortikosteroid topikal, antihistamin,
tars, antibiotik bila perlu, identifikasi dan eliminasi faktor-faktor pencetus kekambuhan.
Adapun penatalaksanaan Dermatitis Atopik dibagi menjadi medika mentosa dan non-medika
mentosa.
Non Medika Mentosa
1. Edukasi kepada orang tua pasien. Perlu dijelaskan secara rinci perjalanan penyakit,
dampak psikologis, prognosis dan prinsip penatalaksanaan. Langkah pertama yaitu
edukasi kepada orang tua pasien untuk menghindari atau mengurangi faktor penyebab
misalnya dengan eliminasi makanan, faktor inhalan, atau faktor pencetus.
2. Menghindari faktor alergen pada bayi berumur kurang dari satu tahun akan mengurangi
beratnya gejala dermatitis atopik. Maka dianjurkan agar bayi dengan riwayat keluarga
alergi memperoleh ASI sedikitnya 3 bulan, jika memungkinkan 6 bulan pertama dan ibu
yang menyusui dianjurkan untuk tidak makan telur, kacang tanah, terigu, dan susu sapi.
Karena susu sapi diduga alergen kuat pada bayi dan anak. Maka bagi mereka yang jelas
alergi terhadap susu dapat menggantinya dengan susu kedelai, walaupun kemungkinan
alergi terhadap susu kedelai masih ada. Sekitar 60% penderita DA di bawah usia 2
tahun memberikan reaksi positif pada uji kulit terhadap telur, susu, ayam, dan gandum.
Reaksi positif ini akan menghilang dengan bertambahnya usia. Walaupun pada uji kulit
positif terhadap antigen makanan tersebut di atas, belum tentu mencerminkan gejala
klinisnya. Demikian pula hasil uji provokasi, sehingga membatasi makanan anak tidak
selalu berhasil untuk mengatasi penyakitnya.
3. Mengganti popok, pakaian bayi agar kebersihan bayi tetap terjaga.
4. Perawatan Kulit Hidrasi adalah terapi DA yang esensial. Dasar hidrasi yang adekuat
adalah peningkatan kandungan air pada kulit dengan cara mandi dan menerapkan sawar
hidrofobik. untuk mencegah evaporasi. Mandi selama 15-20 menit 2 kali sehari tidak
menggunakan air panas dan tidak menambahkan oil (minyak) karena mempengaruhi
penetrasi air. Sabun dengan moisturizers disarankan Setelah mandi memberihkan sisa
air dengan handuk yang lembut. Bila perlu pengobatan topikal paling baik setelah
mandi karena penetrasi obat jauh lebih baik. Pada pasien kronik diberikan 3-4 kali
sehari dengan water-in-oil moisturizers sediaan lactic acid.
Medika Mentosa : Secara medika mentosa pasien ini perlu diberi obat secara topikal dan
sistemik.
Secara topikal : Dengan pengobatan topikal yang baik dapat dicegah penggunaan
pengobatan sistemik. Bila dengan pengobatan topikal ini tetap tidak adekuat, maka
dapat dipertimbangkan pemberian pengobatan sistemik. Pengobatan topikal adalah
untuk mengatasi kekeringan kulit dan peradangan. Mengatasi kekeringan kulit atau
memelihara hidrasi kulit dapat dilakukan dengan :
1 Mandi memakai sabun lunak tanpa pewangi. Jangan menggunakan sabun yang
bersifat alkalis dan sebaliknya pakailah sabun atau pembersih yang mempunyai pH
7,0.
2 Pemberian pelembab kulit, antara lain dengan dasar lanolin, krim air dalam minyak,
atau urea 10% dalam krim.
3 Krim kortikosteroid dapat diberikan untuk mengatasi peradangan. Kortikosteroid
topikal mempunyai efek antiinflamasi, antipruritus, dan efek vasokonstriktor.
Penggunaan kortikosteroid topikal golongan kuat sebaiknya berhati-hati dan tidak
digunakan di daerah muka. Apabila dermatitis telah teratasi maka secepatnya
pengobatan dialihkan pada penggunaan kortikosteroid golongan lemah atau krim
pelembab. Untuk daerah muka sebaiknya digunakan krim hidrokortison 1%. Bila
dengan kortikosteroid topikal tidak adekuat untuk menghilangkan rasa gatal dapat
ditambahkan krim yang mengandung mental, fenol, lidokain, atau asam salisilat.
Bila dengan pengobatan topikal ini tetap tidak adekuat, maka dapat
dipertimbangkan pemberian pengobatan sistemik. Efek samping dari penggunaan
kortikosteroid yang harus diperhatikan adalah: atropi, depigmentasi, steroid acne
dan kadang-kadang terjadi absorbsi sistemik dengan supresi dari hypothalamic-
pituitary-adrenal axis. Bila kasus membaik, frekuensi pemakaian diturunkan dan
diganti dengan yang potensinya lebih rendah; bila kasus sudah terkontrol maka
hentikan penggunaan.
Secara sistemik: Digunakan apabila tidak berhasil dengan pengobatan secara topikal.
1. Antihistamin. Digunakan untuk mengurangi rasa gatal. Merupakan terapi standar,
tetapi belum tentu efektif karena rasa gatal pada DA bisa tak terkait dengan
histamin. Dapat diberikan antihistamin seperti difenhidramin atau terfenadin, atau
antihistamin nonklasik lain. Pada bayi usia muda, pemberian sedasi dengan
kloralhidrat dapat pula menolong. Penggunaan obat lain seperti sodium kromoglikat
untuk menstabilkan dinding sel mast dapat memberikan hasil yang memuaskan
pada 50% penderita.
2. Kortikosteroid oral : Pemakaian sangat terbatas, hanya pada kasus sangat berat dan
diberikan dalam waktu singkat, misalnya prednison 0,5-1,0 mg/kgBB/hari dalam
waktu 4 hari. Dengan kortikosteroid sistemik, efek perbaikannya cepat, tetapi flare
yang parah sering terjadi pada steroid withdrawal. Bila tetap harus diberikan,
tapering dan perawatan intensif kulit harus dijalankan.
3. Tars : Mempunyai efek anti-inflamasi dan sangat berguna untuk mengganti
kortikosteroid topikal pada manajemen penyakit kronik. Efek samping dari tar
adalah folikulitis, fotosensitisasi dan dermatitis kontak.
4. Antibiotik sistemik : Dapat dipertimbangkan untuk mengatasi DA yang luas dengan
infeksi sekunder. Antibiotik yang dianjurkan adalah eritromisin, sefalosporin,
kloksasilin, dan terkadang ampisilin Infeksi di curigai bila ada krusta yang luas,
folikulits, pioderma dan furunkulosis. S. aureus yang resisten penisilin merupakan
penyebab tersering dari flare akut. Bila diduga ada resistensi penisilin, dicloxacillin
atau sefalexin dapat digunakan sebagai terapi oral lini pertama. Bila alergi penisilin,
eritromisin adalah terapi pilihan utama, dengan perhatian pada pasien asma karena
bersama eritromisin, teofilin akan menurunkan metabolismenya. Pilihan lain bila
eritomisin resisten adalah klindamisin.. Dari hasil pembiakan dan uji kepekaan
terhadap Staphylococcus aureus 60% resisten terhadap penisilin, 20% terhadap
eritromisin, 14% terhadap tetrasiklin, dan tidak ada yang resisten terhadap
sefalosporin Imunoterapi dengan ekstrak inhalan umumnya tidak menolong untuk
mengatasi DA pada anak.
Secara konvensional pengobatan DA pada umumnya menurut Boguniewicz &
Leung tahun 1996 (cit.Kariosentono, 2006) adalah sebagai berikut :
1. Menghindari bahan iritan : Bahan seperti sabun, detergen, bahan kimiawi karena
penderita DA mempunyai nilai ambang rendah dalam merespon berbagai iritan.
2. Mengeliminasi alergen yang telah terbukti : Pemicu kekambuhan yang telah terbukti
misalnya makanan, debu rumah, bulu binatang dan sebagainya harus disingkirkan.
3. Mengurangi stress : Stress pada penderita DA merupakan pemicu kekambuhan, bukan
sebagai penyebab.
4. Pemberian pelembab kulit dan menghilangkan pengeringan kulit : Dapat memperbaiki
barier stratum korneum.
5. Kortikosteroid topikal : Sebagai anti inflamasi dann anti pruritus. Dipilih yang potensinya
paling lemah untuk menghindari efek samping berupa atrofi, teleangiektasi, striae dan
takifilaksi.
6. Antibiotik : Ditujukan pada DA dengan infeksi sekunder.
7. Antihistamin : Digunakan sebagai antipruritus yang cukup memuaskan dan banyak
digunakan untuk terapi DA.
2.7 Pencegahan
Salah satu faktor perlindungan utama DA adalah ASI. ASI yang diberikan secara
eksklusif selama 6 bulan kehidupan akan memberikan keuntungan nutrisional dan
melindungi anak dari penyakit alergi. ASI eksklusif selama 6 bulan dimaksudkan untuk
menghindarkan bayi dari pemberian makanan yang dapat menimbulkan dan sebagai faktor
presipitasi alergi. ASI kaya akan immunoglobulin A (IgA) yang dapat membantu
melindungi saluran cerna dengan mengikat protein asing yang berpotensi sebagai alergen
dan menghambat absorbsinya. Kandungan ASI akan menstimulasi pematangan saluran
cerna, sehingga akan lebih siap untuk menerima antigen, mengatur flora normal saluran
cerna dan faktor imunomodulator. Bayi dengan risiko tinggi atopik yang tidak mendapat
ASI eksklusif mempunyai risiko lebih tinggi untuk menderita dermatitis atopik (Budiastuti
M., 2007).













BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Berdasarkan makalah tersebut dapat disimpulkan bahwa Dermatitis Atropik
(DA) adalah keadaan dimana peradangan kulit kronis dan residif, disertai gatal yang
umumnya sering terjadi selama masa bayi dan anak-anak, sering berhubungan
dengan peningkatan IgE dalam serum dan riwayat atopi keluarga atau penderita (DA,
rhinitis alergi, dan atau asma bronchial).
Faktor intrinsik berupa predisposisi genetik, kelainan fisiologi dan biokimia
kulit, disfungsi imunologis, interaksi psikosomatik dan disregulasi/
ketidakseimbangan sistem saraf otonom, sedangkan faktor ekstrinsik meliputi bahan
yang bersifat iritan dan kontaktan, alergen hirup, makanan, mikroorganisme,
perubahan temperatur, dan trauma.
Dan terapi pada penyakit Dermatitis Atopik yaitu dibagi menjadi dua :
medika mentosa dan non-medika mentosa.
3.2 Saran
Dengan mengetahui tentang penyakit Dermatitis Atropik (DA) maka
diharapkan penulis ataupun pembaca mampu memahami isi dari makalah di atas dan
mampu mencegah terjadinya penyakit tersebut.









DAFTAR PUSTAKA
Budiastuti M., Wandita S., Sumandiono., 2007 . Exclusive breastfeeding and risk of atopic
dermatitis in high risk infant. Berkala Ilmu Kedokteran, Volume 39, No. 4, Hal. 192-
198.
Fauzi N., Sawitri, Pohan S.S., 2009. Korelasi antara Jumlah Koloni Staphylococcus Aureus &
IgE spesifik terhadap Enterotoksin Staphylococcus Aureus pada Dermatitis Atopik.
Departemen / SMF Kesehatan Kulit dan Kelamin FK UNAIR / RSU Dr. Soetomo.
Surabaya.
Judarwanto W., 2009. Dermatitis Atopik. Children Allergy Clinic Information;
www.Childrenallergicclinic.wordpress.com.
Mansjoer A., Kuspuji T., Rakhmi S., Wahyu I.W., Wiwiek S.,(Ed). 2001. Dermatitis Atopik
dalam Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga Jilid II. Jakarta. Penerbit Media
Aesculapius FKUI. Hal.
Roesyanto I.D., & Mahadi., 2009. Peran Alergi Makanan pada Dermatitis Atopik. dalam
Boediarja S.A., Sugito T.L., Indriatmi W., Devita M., Prihanti S., (Ed). Dermatitis
Atopik. Balai Penerbit FK UI. Jakarta. Hal.12-20.
Simpson E.L., & Hanifin J.M., 2005. Atopic dermatitis. Periodic synopsis. J Am Acad Dermatol.
53(1): 115-28
Sularsito S.A., & Djuanda A., 2005. Dermatitis. dalam Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin.
(Ed).IV.Jakarta; Balai Penerbit FK UI; Hal.129-47.
Sugito T.L., 2009. Penatalaksanaan Terbaru Dermatitis Atopik. dalam Boediarja S.A., Sugito
T.L., Indriatmi W., Devita M., Prihanti S., (Ed). Dermatitis Atopik. Balai Penerbit FK
UI. Jakarta. Hal. 39-55
Soebaryo R.W., 2009. Imunopatogenesis. Dalam Boediarja S.A., Sugito T.L., Indriatmi W.,
Devita M., Prihanti S., (Ed). Dermatitis Atopik. Balai Penerbit FK UI. Jakarta. Hal. 39-
51.
William H.C., 2005. Atopic Dermatitis. N Engl J Med;; 352: 2314-24.
Zulkarnain I., 2009. Manifestasi Klinis dan Diagnosis Dermatitis Atopik. dalam Boediarja S.A.,
Sugito T.L., Indriatmi W., Devita M., Prihanti S., (Ed). Dermatitis Atopik. Balai
Penerbit FK UI. Jakarta. Hal. 39-51

You might also like