You are on page 1of 26

18

BAB II
KONSEP TENTANG MUHASABAH
DAN KESEHATAN MENTAL ISLAMI

A. Konsep Tentang Muhasabah
1. Pengertian Muhasabah
Secara etimologis muhasabah adalah bentuk mashdar (bentuk
dasar) dari kata hasaba-yuhasibu yang kata dasarnya hasaba-yahsibu atau
yahsubu yang berarti menghitung.
1
Sedangkan dalam kamus Arab-
Indonesia muhasabah ialah perhitungan,
2
atau introspeksi.
3

Konsep Muhasabah, dalam al-Quran terdapat dalam QS. al-Hasyr:
18-19.
_ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _
_ _ _ _ ) 18 ( _ _ _ _ __ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _
) . : 18 - 19 (

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan
hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya
untuk esok (hari akhirat) dan bertakwalah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah,
lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri.
Mereka itulah orang-orang yang fasik. (QS. al-Hasyr: 18-19)
4


Muhasabah juga disebutkan dalam banyak hadits, salah satu sabda
Rasulullah:

1
Asad M. Al kali, Kamus Indonesia-Arab, (Jakarta: Bulan Bintang, 1989), hlm. 183.
2
Ahmad Warson Munawir, Al- Munawir Kamus Arab-Indonesia, (Yogyakarta: Pondok
Pesantren Al-Munawir, 1984), hlm. 283.
3
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi kedua,
(Jakarta: Balai Pustaka, 1994), hlm. 668.
4
Soenarjo, dkk, al-Quran dan Terjemahnya, (Semarang: Alwaah, 1993), hlm. 919.


19


: , _
, _ _
_ ) . _ (
5


Diriwayatkan dari Umar bin Khattab, Nabi bersabda: Hisablah
dirimu sebelum kamu dihisab, dan hiasilah dirimu sekalian
(dengan amal shaleh), karena adanya sesuatu yang lebih luas dan
besar, dan sesuatu yang meringankan hisab di hari kiamat yaitu
orang-orang yang bermuhasabah atas dirinya ketika didunia. (H.R
Tirmidzi)

Sedangkan menurut Toto Tasmara menyebut muhasabah sebagai
salah satu senjata para pejuang yang melakukan perhitungan, membaca
seluruh peta perbuatan yang telah dilakukan sepanjang hidup. Melakukan
kalkulasi dari hubungan aku dengan Allah dan alam (manusia). Berupa
hitungan kelemahan dan kekuatan dirinya selama melaksanakan tata
pergaulan dengan manusia. Atau lebih tegasnya melakukan perhitungan
atas hubungan aku dengan dunia luar, membuat pertimbangan dan
pengadilan atas perbuatannya dalam posisinya sebagai manusia (basyar).
6

Dalam konsep Islam Muhasabah nafs menurut Husein-Husein
Syahatah, dalam bukunya yang berjudul Membersihkan Jiwa dengan
Muhasabah, adalah seseorang yang dari dorongan dirinya sendiri
melakukan perhitungan terhadap dirinya selangkah demi selangkah,
tentang amal-amalnya, kondisi-kondisinya, tingkah laku dan perbuatannya,
baik yang nampak maupun yang tidak nampak, sehingga menjadi sadar
perihal urusan dirinya sendiri dalam kerangka yang disyaratkan, dan

5
Abi Isa Muhammad Ibn Isa Ibn Saurat, Jamiush Shohih Sunan at-Tarmidzi, Juz IV,
(Beirut: Dar Al-Fikr, t.t.), hlm. 550.
6
Toto Tasmara, Kecerdasan Ruhaniah (Transcendental Intellegence) Membentuk
Kepribadian yang Bertanggung Jawab, Profesional, dan Berakhlak, (Jakarta: Gema Insani Press,
1422 H/2001 M), hlm. 76.


20


dengan kemauan sendiri meluruskan nafsnya apabila didapatkan
penyimpangan.
7

Begitu juga al-Ghazali, secara praktis dan analogis memberikan
pengertian muhasabah ini sebagai mitra usaha dengan maksud menjual
modal, keuntungan dan kerugian, untuk mencari kejelasan apakah
bertambah atau berkurang. Jika didapatinya bertambah maka akan
mensyukurinya, tetapi jika didapatinya merugi maka akan mencarinya
dengan menjaminnya dan berusaha mendapatkan di masa mendatang.
Demikian pula modal hamba dalam agamanya adalah berbagai kewajiban,
keuntungannya adalah berbagai amal sunnah dan keutamaan, sedangkan
kerugiannya adalah berbagai kemaksiatan. Musim perdagangan ini adalah
sepanjang siang, sedangkan muamalah dengan nafsunya adalah
memerintahkan keburukan. Kemudian menghisabnya dengan berbagai
kewajibannya terlebih dahulu, jika dilakukannya secara benar maka
bersyukur kepada Allah dan mendorongnya untuk melakukan hal yang
sama, jika luput sama sekali maka ia menuntutnya dengan mengqadha,
dan jika ditunaikan secara kurang sempurna maka ia menutupinya dengan
berbagai amalan sunnah, jika melakukan kemaksiatan maka ia sibuk
memberikan sanksi; hukuman dan celaan terhadapnya untuk menyusuli
apa yang terluput dari dirinya, sebagaimana dilakukan pedagang terhadap
mitranya.
8

Al-Ghazali juga menambahkan, bahwa orang yang memiliki
bashirah akan mengetahui bahwa, Allah mengawasi mereka, mereka akan
ditanyai dalam proses hisab, dan akan dituntut dengan berbagai tuntutan
yang sedetail-detailnya. Dan tidak ada sesuatu yang dapat menyelamatkan
mereka dari bahaya ini kecuali luzumul muhasabah (muhasabah secara
menerus), shidqul muraqabah (muraqabah yang benar), muthalabatun
nafsi (menuntut jiwa) dalam semua nafas dan gerak, dan muhasabah

7
Husein Husein Syahatah, Membersihkan Jiwa dengan Muhasabah, (Yogyakarta: Mitra
Pustaka, 2003), hlm. 134.
8
Al-Ghazali, Ihya Ulumiddin, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), hlm. 132-133.


21


terhadap jiwa dalam semua hal dan keadaan. Sebab barangsiapa
menghisab dirinya sebelum dihisab maka akan ringan hisabnya di hari
kiamat, bisa menjawab pertanyaan yang diajukan dan mendapatkan
kembali yang baik. Tetapi barang siapa yang tidak menghisab dirinya
maka akan menyesal untuk selamanya.
9

Muhasabah dalam psikologi dikenal dengan istilah introspeksi
diri, kata tersebut biasa digunakan untuk menyelidiki dan mengamati
penghayatan diri sendiri.
10

Pada introspeksi ini seseorang mengalami sesuatu dan dapat pula
mengamati, mempelajari apa yang dihayati itu, walaupun demikian
pengamatan itu boleh dikatakan selalu terjadi setelah penghayatan. Dengan
kata lain, setelah penghayatan terjadi kita melihat kembali kepada
penghayatan itu. Itulah sebabnya sering juga disebut retrospeksi.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa muhasabah secara
subtansial merupakan salah satu alat perhitungan amal perbuatan manusia
di dunia.Yang mempunyai peran dapat membantu manusia dalam
menghindari ekses yang ditimbulkan dari kekhilafan manusia, dengan
menilai diri, mengakuntansi perbuatan yang telah dikerjakan, juga
mengevaluasi diri secara jujur setiap kesalahan yang telah diperbuat.
Sehingga bisa memperbaiki diri dengan cara bertaubat, meninggalkan
perbuatan dosa, menyesali perbuatannya, dan bertekad tidak akan
melakukannya kembali. Muhasabah dapat menjaga amaliah yang sifatnya
tidak bernilai, sehingga diperlukan pengawasan, pemeriksaan, dan
perhitungan, untuk mengetahui berbagai kekurangan demi perbaikan yang
dilanjutkan dengan evaluasi kerja secara komprehensif dan terus-menerus.



9
Al-Ghazali, op.cit., hlm. 96.
10
A. Gazali, Ilmu Jiwa, (Jakarta, Ganeco NV, 1980), Cet. XII, hlm. 7.


22


2. Bentuk-bentuk Muhasabah
Muhasabah itu ada dua macam, yaitu sebelum melakukan suatu
perbuatan dan muhasabah setelah melakukan suatu perbuatan
11
.
Bentuk muhasabah menurut Ibnul Qayyim al-Jauziyah
12
juga ada
dua yaitu satu sebelum berbuat dan satu lagi setelahnya. Muhasabah
sebelum berbuat adalah hendaklah seseorang berhenti dulu ketika pertama
kali berkeinginan, tidak langsung melaksanakan perbuatan kecuali setelah
yakin bahwa melaksanakannya lebih baik dari pada meninggalkannya.
Muhasabah kedua adalah evaluasi setelah beramal. Ini terbagi menjadi
tiga macam: pertama, evaluasi terhadap ketaatan yang di dalamnya
seseorang mengurangi hak Allah, dalam artian ia tidak melaksanakan
sesuai dengan cara yang semestinya. Sebagaimana diketahui bahwa, Allah
taala memiliki enam hak dalam ketaatan, yaitu keikhlasan dalam amal,
kecintaan kepada Allah, peneladanan kepada sunnah Rasul, kesadaran
akan kebaikan di dalamnya, kesadaran akan karunia Allah terhadapnya,
dan kesadaran akan kekurangannya di dalam semua itu. Karena itu, ia
melakukan evaluasi diri, apakah semua hak itu telah terpenuhinya dan
apakah ia telah mewujudkan semua itu dalam amal ketaatan yang
dilaksanakannya ?
Kedua, hendaklah ia melakukan evaluasi terhadap berbuatan
menyelamatkan hati dari tipu daya setan yang lebih baik ditinggalkan
daripada dilaksanakan. Ketiga, hendaklah ia melakukan evaluasi terhadap
perbuatan yang mubah dan telah biasa dilaksanakan: mengapa ia
melakukannya ? apakah ia menghendaki ridha Allah dan pahala diakhirat,
sehingga ia akan beruntung ? apakah ia menghendaki dunia, sehingga ia
tidak akan memperoleh keberuntungan.

11
Husein-Husein Syahatah, op.cit., , hlm. 134.
12
Ibnul Qayyim al-Jauziyah, IghatsatulLahfan Min Mashayidisy Syaithan, (Beirut: Dar
al-Kitab al-Araby, 1417 H), hlm. 160-162.


23


Menurut al-Ghazali
13
untuk melakukan muhasabah atau
perhitungan amal perbuatan, mempersiap-siagakan dirinya dengan enam
syarat, syarat pertama, musyarathah (penetapan syarat). Dalam
perhitungan ini akal dibantu oleh jiwa, bila dipergunakan dan dikerahkan
untuk hal yang dapat menyucikan, sebagaimana pedagang dibantu oleh
sekutu dan pembantunya yang memperdagangkan hartanya. Sebagaimana
sekutu bisa menjadi musuh dan pesaing yang memanipulasi keuntungan
sehingga perlu terlebih dahulu diberi syarat (musyarathah), kemudian
diawasi (muraqabah), diaudit (muhasabah) dan diberi sanksi
(muaqabah), atau dicela (muatabah).
Demikian pula akal memerlukan musyarathah (penetapan syarat)
kepada jiwa, lalu memberikan berbagai tugas, menetapkan beberapa
syarat, mengarahkan ke jalan kemenangan, dan mewajibkannya agar
menempuh jalan tersebut. Kemudian tidak pernah lupa mengawasinya,
sebab seandainya ia mengabaikan niscaya akan terjadi pengkhianatan dan
penyia-nyiaan modal. Setelah itu ia harus menghisabnya dan menuntutnya
agar memenuhi syarat yang telah ditetapkan.
Oleh karena itu, memperketat hisab (perhitungan) terhadap jiwa
dalam hal ini jauh lebih penting daripada memperketat perhitungan
keuntungan dunia, karena keuntungan dunia sangat hina dina
dibandingkan dengan kenikmatan akhirat, di samping kenikmatan dunia
pasti lenyap.
Kedua muraqabah, apabila manusia telah mewasiati jiwanya dan
menetapkan syarat kepadanya dengan apa yang telah disebutkan di atas
maka langkah selanjutnya yang harus dilakukan adalah mengawasi
(muraqabah) ketika melakukan berbagai amal perbuatan dan
memperhatikanya dengan mata yang tajam, karena jika dibiarkan pasti

13
Al-Ghazali, op.cit., hlm. 97-139.


24


akan melampaui batas dan rusak.
14
Sebab manusia dalam segala ihwal
keadaannya, tidak terlepas dari gerak dan diam.
Dzun Nun al-Mishry
15
menyebutkan Tanda mawas diri
(muraqabah) adalah memilih apa yang dipilih oleh Allah SWT,
menganggap besar apa yang dipandang besar oleh Nya dan menganggap
remeh apa yang dipandang-Nya remeh.
Mawas diri oleh an-Nasrabadhi dianggapnya akan dapat
mengantarkan kepada jalan kebenaran hakiki sebagaimana ditegaskan
bahwa : Harapan mendorongmu untuk patuh, takut menghindarkanmu
dari maksiat, dan mawas diri membawamu kepada jalan kebenaran
hakiki.
Lebih lanjut Abu al-Abas al-Baqhdadi
16
menuturkan, Ketika aku
bertanya kepada Jafar bin Nasir mengenai mawas diri, dia berkata
kepadaku, mawas diri adalah kewaspadaan terhadap batin sendiri
dikarenakan adanya kesadaran akan pengawasan Allah SWT terhadap
setiap pemikiran. Sementara itu al-Jurayri menjelaskan, Jalan kita
dilandasi oleh dua bagian yaitu hendaknya engkau memaksa jiwamu untuk
mawas diri terhadap Allah SWT dan hendaknya pengetahuan ini nampak
dalam perilaku lahiriah. Sedangkan al-Murtaisy berkomentar, Mawas
diri adalah kewaspadaan atas batin sendiri dikarenakan kesadaran akan
yang ghaib dalam setiap pandangan mata dan ucapan. Abu Utsman al-
Maghribi menyatakan, Hal terbaik yang dipaksakan seseorang terhadap
jiwanya sendiri di jalan ini adalah membuat perhitungan (muhasabah)
dengan diri sendiri, mawas diri dan mengatur prilaku sendiri dengan
ilmu.
17


14
Ibid., hlm. 105.
15
Abi al-Qasim Abdi al-karim bin Hawazin al-Qusyayri al-Naysaburi, Al-Rilasalatu al-
Qusyairiyah FiIlmu al-Tashawwufi, (Mesir: Dar al-Khair, t.t.), hlm. 191-192.
16
Ibid.
17
Ibid., hlm. 158.


25


Ketiga muhasabah, seorang manusia sebagaimana punya waktu di
pagi hari untuk menetapkan syarat terhadap dirinya berupa wasiat dalam
menepati kebenaran, maka demikian pula hendaknya ia punya waktu
sejenak di sore hari untuk menuntut dirinya dan menghisabnya atas segala
semua gerak dan diamnya, seperti halnya para pedagang di dunia berbuat
terhadap para mitra usahanya di setiap akhir tahun atau setiap bulan atau
setiap minggu atau setiap hari, karena antusias meraka terhadap dunia dan
kekhawatiran meraka tidak mendapatkannya. Seandainya hal itu terjadi
pada mereka niscaya tidak tersisa kecuali beberapa hari saja. Orang yang
berakal tidak menghisab dirinya menyangkut hal yang menentukan
kesengsaraan atau kebahagiaan selama-lamanya.
18

Keempat, muaqabah (menghitung diri atas segala kekurangan).
Setelah manusia menghisab dirinya tetapi ia tidak terbebas sama sekali
dari kemaksiatan dan melakukan kekurangan berkaitan dengan hak Allah
sehingga ia tidak pantas mengabaikannya; jika ia mengabaikannya maka ia
akan mudah terjatuh melakukan kemaksiatan, jiwanya menjadi senang
kepada kemaksiatan, sehingga harus diberi sanksi. Apabila ia memakan
sesuap syubhat dengan nafsu syahwat maka seharusnya perut dihukum
dengan rasa lapar. Apabila ia melihat orang yang bukan muhrimnya maka
seharusnya mata dihukum dengan larangan melihat. Demikian pula setiap
anggota tubuhnya dihukum dengan melarangnya dari syahwat.
19
Sekiranya
kita berfikir mendalam niscaya menyadari bahwa kehidupan yang
sebenarnya adalah kehidupan akhirat, karena di dalamnya terdapat
kenikmatan abadi yang tiada ujungnya. Tetapi nafsu itulah yang
mengeruhkan kehidupan akhirat anda sehingga dia lebih pantas
mendapatkan sanksi (muaqabah) ketimbang yang lainnya.
Kelima mujahadah (bersungguh-sungguh). Apabila manusia telah
menghisab dirinya lalu terlihat telah melakukan maksiat, mereka
seharusnya menghukumnya dengan berbagai hukuman yang telah disebut

18
Al-Ghazali, op.cit., hlm. 141-142.
19
Ibid., hlm. 134.


26


di atas, dan jika terlihat malas melakukan berbagai keutamaan atau
membaca wirid maka seharusnya diberi pelajaran dengan memperberat
wirid dan mewajibkan beberapa tugas untuk menutupi dan menyusuli apa
yang tertinggal. Demikianlah para pekerja Allah bisa bekerja. Seperti
Umar bin Khattab menghukum dirinya ketika tertinggal shalat Ashar
berjamaah dengan menshadaqahkan tanah miliknya yang senilai duaratus
ribu dirham. Dan Ibnu Umar, apabila tertinggal shalat berjamaah ia
menghukum dirinya dengan menghidupkan malam tersebut. Semua itu
adalah murabatah (siap siaga) dan pemberian sanksi terhadap jiwa yang
akan membawa keselamatannya.
20

Keenam, muatabah (mencela diri) musuh bebuyutan jiwa di dalam
diri manusia, diciptakan dengan karakter suka memerintah keburukan,
cenderung kepada kejahatan, dan lari dari kebaikan. Diperintahkan agar
mensucikan, meluruskan dan menuntunya dengan rantai paksaan untuk
beribadah kepada Allah Tuhan dan Penciptanya, dan mencegahnya dari
berbagai syahwatnya dan menyapihnya dari berbagai kelezatannya. Jika
mengabaikan maka pasti akan merajalela dan liar, sehingga tidak dapat
mengendalikannya setelah itu. Jika senantiasa mencela dan menegurnya
kadang-kadang tunduk dan menjadi nafsu lawwamah (yang amat
menyesali dirinya) yang dipergunakan Allah untuk bersumpah, dan
berharap menjadi nafsu muthmainnah (yang tenang) yang mengajak
untuk masuk ke dalam rombongan hamba-hamba Allah yang ridha dan
diridhai. Sehingga tidak lupa sekalipun sesaat untuk memperingatkan dan
mencelanya, dan janganlah sibuk menasehati orang lain jika tidak sibuk
terlebih dahulu menasehati diri sendiri.
21
Demikian pula cara-cara ahli
ibadah dalam bermunajat kepada penolong mereka dan dalam mencela
jiwa mereka. Tujuan munajat mereka adalah mencari ridha-Nya dan
maksud celaan mereka adalah memperingatkan dan meminta perhatian.
Siapa yang mengabaikan muatabah (celaan terhadap diri) dan munajat

20
Ibid., hlm. 139.
21
Ibid., hlm. 164.


27


berarti tidak menjaga jiwanya, dan bisa jadi tidak mendapatkan ridha
Allah.
22

Jadi bentuk muhasabah dalam praktek. Tidak bisa lepas dari
syarat-syarat sebagaimana yang disebutkan oleh Imam al-Ghazali. Tanpa
syarat itu, muhasabah tidak bisa dilaksanakan sebagai akuntansi amal-
amal perbuatan manusia, karena antara yang satu dengan lainnya saling
terkait.
3. Manfaat Muhasabah
Adapun manfaat muhasabah diantaranya adalah jalan untuk
mengetahui aib sendiri. Seseorang melakukan muhasabah berusaha
memperbaiki dirinya hingga kesalahan ataupun aib yang telah dilakukan
tidak berulang pada hari-hari selanjutnya.
Hal tersebut tentu saja menuntut kemampuan dari masing-masing
individu untuk mengetahui kesalahan ataupun aib yang telah terlanjur
diperbuatnya untuk diperbaiki di masa selanjutnya.
Said Hawwa
23
mengemukakan, bahwa jalan untuk mengetahui aib
diri sendiri antara lain: pertama, hendaklah ia duduk di hadapan seseorang
syaikh yang mengetahui berbagai aib jiwa, dan jeli terhadap berbagai cacat
yang tersembunyi kemudian guru dan syaikh tersebut memberitahukan
berbagai aib dirinya dan jalan terapinya. Tetapi keberadaan orang ini di
zaman sekarang sulit ditemukan.
Kedua, hendaknya seseorang meminta kepada kawannya yang
jujur, beragama dan tajam penglihatan menjadi pengawas dirinya untuk
memperhatikan berbagai keadaan dan perbuatannya, kemudian
menunjukkan kepadanya berbagai akhlak tercela, perbuatan yang tidak
baik dan aibnya, baik yang batin maupun yang zhahir.

22
Ibid., hlm. 180.
23
Said Hawwa, Mensucikan Jiwa (Konsep tazkiyatun-nafs Terpadu: Intisari Ihya
Ulumuddin, (Jakarta, Robbani Press, 1998), hlm. 167-168.


28


Ketiga hendaklah ia memanfaatkan lisan para musuhnya untuk
mengetahui aib dirinya, karena mata kebencian mengungkapkan segala
keburukan. Mungkin seseorang bisa lebih banyak mengambil manfaat
dari musuh bebuyutan yang menyebutkan aib-aibnya ketimbang manfaaat
yang diperoleh dari kawan-kawan yang berbasa-basi dengan berbagai
pujian tetapi menyembunyikan aib-aibnya.
Keempat, hendaknya ia bergaul dengan masyarakat, lalu setiap hal
yang dilihatnya tercela di tengah kehidupan masyarakat maka hendaklah ia
menuntut dirinya dengan hal tersebut dan menisbatkannya kepada dirinya.
Kemudian ia melihat aib orang lain sebagai aibnya sendiri, dan
mengetahui bahwa tabiat manusia berbeda-beda tingkatan dalam
mengikuti hawa nafsu.
Ibnu al-Qayyim al-Jauziyah, menyebutkan manfaat muhasabah,
pertama, mengetahui cacat-cacat diri sendiri. Sebab barangsiapa yang
tidak mengetahui cacat dirinya, tidak mungkin akan menghilangkan.
Dengan mengetahui cacat dirinya, ia akan membenci nafsunya karena
Allah. Kedua, dengan muhasabah seseorang bisa mengetahui hak Allah
terhadapnya. Sebab orang yang tidak mengetahui hak Allah terhadapnya,
maka ibadahnya hampir-hampir tidak berguna sama sekali, sedikit sekali
manfaatnya.
24

B. Konsep Tentang Kesehatan Mental Islami
1. Pengertian Kesehatan Mental Islami
Dahulu orang mengatakan bahwa mental yang sehat terletak dalam
badan yang sehat, namun sekarang terbukti sebaliknya, yaitu mental yang
sehat sangat menentukan pada jasmani dan ruhani yang sehat.
Mental yang terganggu, berpengaruh buruk terhadap kesejahteraan
dan kebahagiaan hidup setiap individu dalam masyarakat, ini
menunjukkan bahwa kesehatan mental merupakan kebutuhan psikologis

24
Ibnul Qayyim al- Jauziyah, op.cit., hlm. 165-170.


29


setiap manusia untuk dipenuhi demi tercapainya kehidupan yang maksimal
baik di dunia maupun akhirat.
Ditinjau dari segi etimologi, kata mental berasal dari kata latin,
yaitu mens atau mentis artinya roh, sukma, jiwa, atau nyawa. Di
dalam bahasa Yunani, kesehatan terkandung dalam kata hygiene, yang
berarti ilmu kesehatan. Maka kesehatan mental merupakan bagian dari
hygiene mental (ilmu kesehatan mental).
25

Secara terminologi pengertian kesehatan mental dapat ditinjau dari
berbagai sudut pandangan teoritis yakni:
1). Sudut pandang psikologis
2). Sudut pandang budaya
3). Sudut pandang agama Islam
a. Pengertian Kesehatan Mental dalam Sudut Pandang Psikologi
Menurut pandangan psikoanalisa, kesehatan mental ialah
adanya kesanggupan Aku Yang Agung (super-ego) untuk membuat
sintesis antara berbagai alat-alat diri dan tuntutan masyarakat, atau
untuk sampai kepada penyelesaian pertarungan yang timbul antara
alat-alat diri dengan realitas.
26

Sedangkan aliran behaviorisme, mengartikan kesehatan mental
adalah kesanggupan seseorang memperoleh kebiasaan yang sesuai dan
dinamik yang dapat mendorongnya berinteraksi dengan orang lain,
menghadapi suasana yang memerlukan pengambilan keputusan.
27

Menurut aliran/madzhab eksistensialisme, bahwa kesehatan
mental adalah bilamana manusia itu menikmati wujudnya, yang berarti

25
Yusak Burhanuddin, Kesehatan Mental, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), hlm. 9.
26
Hasan Langgulung, Teori-teori Kesehatan Mental, (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1986),
hlm. 18.
27
Ibid., hlm. 24.


30


ia mengetahui arti wujud ini, menyadari potensi-potensinya, dan bebas
untuk mencapai apa yang dikehendaki dengan cara yang dipilihnya.
28

Adapun aliran/madzhab humanistik, mengatakan bahwa orang
yang memiliki mental yang sehat adalah orang yang memiliki
kesempurnaan jiwanya, yakni orang yang dapat memilih apa yang
benar dan dapat mengerjakan apa yang dipandangnya benar itu.
Pandangan psikologis ini lebih bersifat subyektif dalam
membatasi apa yang disebut dengan sehat mental, sebab hanya
menerapkan kriteria intern yang bermuara kepada keserasian-
keharmonisan- dan kesesuaian antara dorongan psikologis kaitannya
dengan tuntutan hidup dan kebutuhannya yang bersifat indifidual.
b. Pengertian Kesehatan Mental dari Sudut Sosial Budaya
Pandangan ini sudah memasukkan kriteria sehat menurut nilai
yang diyakininya, serta nilai-nilai sosial kemasyarakatan, sehingga
kesehatan mental diartikan sebagai kemampuan untuk menyesuaikan
diri sendiri, dengan orang lain dan masyarakat serta lingkungan hidup
dimana ia hidup.
29

c. Pengertian Kesehatan Mental dari Sudut Pandang Agama
Dalam hal ini orang yang sehat mentalnya tidak hanya orang
yang memenuhi kriteria sehat fisik dan psikisnya, serta mampu
menyesuaikan diri terhadap lingkungan sosial, tetapi juga orang yang
mampu hidup sesuai dengan aturan agama dan meyesuaikan diri
dengan nilai-nilai agama yang bisa jadi bertentangan dengan nilai-nilai
individual maupun lingkungan sosialnya.
Sehingga sehat menurut pandangan Islam, bukan sekedar
selamat dari penyakit kejiwaan yang hanya memiliki dimensi duniawi,
melainkan juga mencakup dimensi ukhrawi, sehingga sehat tidak

28
Ibid., hlm. 30.
29
Zakiah Daradjat, Kesehatan Mental, (Jakarta: Gunung Agung, 1975), Cet. 5, hlm. 11.


31


hanya berarti wajar, melainkan saadah, bahagia dunia dan bahagia di
akherat.
30

Orang yang sehat mentalnya adalah orang yang dalam
hidupnya dapat merasakan ketenangan dan denganya pula ia tidak
bersifat tamak, sombong dan tidak berkeluh kesah ketika ditimpa
musibah serta ia akan senantiasa menunaikan kewajibannya dan tidak
melanggar syariat-syariat-Nya.
Dalam hal ini, orang yang sehat jiwa atau mentalnya adalah
seseorang yang lega terhadap dirinya, senang terhadap orang lain dan
dapat menghadapi tantangan hidup dengan bijaksana.
31
Jadi orang
yang perbuatannya selalu suka membuka aib orang lain, melukai hati
orang lain dikatakan sebagai orang yang tidak sehat mentalnya.
Dari pengertian-pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa
Kesehatan Mental Islami dapat diartikan sebagai suatu kesanggupan
mental seseorang untuk mengerti dan menerima dirinya sebagai
makhluk individu dan sosial yang diciptakan oleh Allah SWT. Dan
memiliki kemampuan untuk mewujudkan dirinya secara harmonis
sebagai makhluk pribadi dan sosial yang berbakti kepada Tuhan Yang
Maha Kuasa, sehingga ia dapat menikmati kebahagiaan hidup di dunia
dan akherat.
2. Ciri-ciri Mental yang Sehat Menurut Islam
Kartini Kartono mengemukakan bahwa orang yang memiliki
mental sehat ditandai dengan sifat-sifat khas antara lain: mempunyai
kemampuan untuk bertindak efisien, memiliki tujuan-tujuan hidup yang
jelas, punya konsep diri yang sehat, ada koordinasi antara segenap potensi
dengan usahanya, memiliki regulasi diri dan integrasi kepribadian dan
batinnya tenang.
32


30
Soedadi, Akhlaqul Karimah,, (Solo, Ramadlani, 1985), hlm. 49.
31
Tarmizi, Kesehatan Jiwa, (Jakarta, Bulan Bintang, 1982), hlm. 14.
32
Kartini Kartono dan Jenny Andari, Hygiene Mental dan Kesehatan Mental dalam
Islam, (Bandung, Mandar Maju, 1989), hlm. 5-6.


32


Sebagaimana dikatakan Yahya Jaya orang yang sehat mentalnya
pun memiliki karakteristik utama, yaitu:
33

a. Memiliki sikap kepribadian terhadap dirinya sendiri dalam arti
mengenal dirinya dengan sebaik-baiknya.
b. Memiliki pertumbuhan, perkembangan, dan perwujudan diri.
c. Memiliki integritas diri yang meliputi keseimbangan jiwa, kesatuan
pandangan dan tahan terhadap tekanan yang terjadi.
d. Memiliki otonomi individu yang meliputi unsur-unsur pengatur
kelakuan dari dalam maupun kelakuan-kelakuan yang bebas.
e. Memiliki persepsi tentang realitas, bebas dari penyimpangan
kebutuhan dan penciptaan empati serta kepekaan sosial.
f. Memiliki kemampuan untuk menguasai lingkungan dan berintegrasi
dengannya secara baik.
Ciri-ciri tersebut tampaknya tidak jauh berbeda dengan apa yang
dirumuskan Organisasi Kesehatan Sedunia (WHO) yang memberikan
kriteria jiwa atau mental sehat sebagai berikut : (a) Dapat menyesuaikan
diri secara konstruktif pada kenyataan meskipun kenyataan itu buruk
baginya; (b) Memperoleh kepuasan dari hasil jerih payahnya; (c) Merasa
lebih puas memberi dari pada menerima; (d) Secara relatif bebas dari rasa
cemas dan tegang; (e) Berhubungan dengan orang lain secara tolong-
menolong dan saling memuaskan; (f) Menerima kekecewaan untuk
dipakainya sebagai pelajaran untuk di kemudian hari; (g) Menjuruskan
rasa permusuhan kepada penyelesaian yang kreatif dan konstruktif; (h)
Mempunyai rasa kasih sayang yang besar.
Kemudian pada tahun 1984, oleh WHO batasan tentang kesehatan
mental atau mental yang sehat disempurnakan dengan menambahkan satu
elemen spiritual (keagamaan), sehingga sekarang yang dimaksud sehat
tidak hanya sehat dalam arti fisik, psikologi (jiwa) dan sosial, tetapi juga

33
Yahya Jaya, Spiritualisasi Islam dalam Menumbuhkembangkan Kepribadian dan
Kesehatan Mental, (Jakarta: Ruhama, 1994), hlm. 76.


33


sehat dalam arti spiritual atau agama. Empat dimensi sehat itu, kemudian
dikenal dengan istilah bio-psiko-sosio-spiritual.
34

Menurut Hanna Djumhana Bastaman bahwa tolok ukur kesehatan
jiwa atau kondisi jiwa yang sehat yakni :
a. Bebas dari gangguan dan penyakit-penyakit kejiwaan.
b. Mampu secara luwes, menyesuaikan diri dan menciptakan hubungan
antar pribadi yang bermanfaat dan menyenangkan.
c. Mengembangkan potensi-potensi pribadi (bakat, kemampuan, sikap,
sifat, dan sebagainya) yang baik dan bermanfaat bagi diri sendiri dan
lingkungan
d. Beriman dan bertaqwa kepada Tuhan, dan berupaya menerapkan
tuntunan agama dalam kehidupan sehari-hari.
35

Jadi manusia yang bermental sehat menurut Islam tidak hanya
secara fisik dan psikis dan sosial, tapi juga harus sehat menurut norma-
norma agama, artinya ia beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT. Yang
merupakan wujud penghambaan manusia kepada-Nya, serta mampu
berperan sebagai khalifah Allah di muka bumi.
Dalam ciri ajarannya yang khusus Islam menekankan
keseimbangan antara persoalan duniawi dan ukhrawi antara kehidupan
materiil dan spirituil serta ritual dan sosial, ini menunjukkan bahwa Islam
merupakan petunjuk bagi semua manusia untuk mencapai kebahagiaan
dan kesejahteraan hidup di dunia dan akhirat.
3. Aspek-Aspek yang Mempengaruhi Kesehatan Mental Islami
Untuk lebih memahami tentang sebab-sebab ketidaksehatan
mental, berikut ini akan diuraikan beberapa pendapat pokok mengenai hal
tersebut.

34
Dadang Hawari, Al-Quran Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa, (Yogyakarta:
(PT. Dana Bhakti Prima Yasa, 1996), hlm. 12.
35
Hanna Djumhana Bastaman, Integrasi Psikologi dengan Islam Menuju Psikologi
Islami, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hlm. 134-135.


34


Kartini Kartono menjelaskan bahwa konflik-konflik batin yang
serius dan kekalutan mental (mental disorder) biasanya terjadi oleh aspek-
aspek berikut:
a. Terbentur pada Standar-Standar dan Norma-Norma Tertentu.
Sebagian orang-orang dan kelompok sosial tertentu, peraturan,
larangan dan norma-norma sudah dibakukan secara sah itu dirasakan
mengikat dan membelenggu dirinya. Karena dengan adanya norma-
norma tersebut kebutuhan biologis kadang terkekang, kesenangan
pribadi kadang dikurangi demi kebahagiaan manusia. Inilah yang
menyebabkan tekanan batin dan lambat laun kejadian tersebut
berkembang menjadi gangguan penyakit mental.
b. Adanya Konflik Pribadi.
Kebudayaan yang beraneka ragam, baik yang berasal dari
negara luar atau kebudayaan suatu bangsa sendiri yang penuh dengan
konflik. Sehingga sering muncul orang menjadi ketakutan dan
mengalami ketegangan batin yang tidak bisa diintegrasikan dengan
kebudayaan batiniahnya.
c. Masa Transisi.
Pada masa transisi terjadi perubahan dari satu ke periode lain,
ditandai dengan kegoncangan-kegoncangan sebagai akibat dari tidak
berlakunya norma-norma sosial yang lama, belum diakuinya norma-
norma sosial yang baru dan bahkan belum ada norma-norma sosial
yang baru. Inilah penyebab salah satu pemicu gangguan mental.
d. Menanjaknya Tingkat Aspirasi terhadap Kemewahan Materiil.
Pada masa sekarang ini orang berusaha meningkatkan standar
kehidupan dan kebutuhan-kebutuhan hidup modern yang bersifat
materiil dengan kualitas super, tanpa ditopang dengan penghasilan
tinggi, kebutuhan dan keinginan pun tidak akan tercapai sehingga
muncul ketegangan, konflik batin, kecemasan, ketakutan dan gangguan


35


mental lainnya. Timbul pula masalah atau gejala cros boyisme, gank-
gank, banditisme, pemberontakan-pemberontakan, immoralitas seks,
penghianatan, kriminalitas, korupsi dan gangguan sosial patologis
lainnya di tengah masyarakat.
36

Menurut Daniel Goleman; Sustained stress arausel leads to
pathology: anxiety states or psychosomatic disorders such as
hypertension
37
. Rangsangan stress (ketegangan jiwa) secara terus-menerus
dapat menimbulkan penyakit: keadaan gelisah, atau penyakit psikosomatik
seperti hipertensi.
Menurut Maslow, apabila manusia tidak bisa memenuhi kebutuhan
hidupnya, maka ia akan mengalami gangguan jiwa (ketidaksehatan
mental) ada lima jenis dan kebutuhan-kebutuhan tersebut dari tingkat yang
paling dasar sampai pada tingkat yang paling tinggi adalah sebagai
berikut:
38

Pertama, kebutuhan fisiologi, kebutuhan ini adalah kebutuhan
dasar yang harus dipenuhi oleh setiap manusia untuk kelangsungan
hidupnya. Makan minum dan istirahat adalah contoh-contoh dari
kebutuhan dasar ini.
Kedua, kebutuhan akan rasa aman (safety). Bebas dari rasa takut,
dan kecemasan. Bentuk nyata dari kebutuhan ini adalah perlunya tempat
tinggal yang permanen.
Ketiga, kebutuhan akan rasa kasih sayang. Adanya saling
perhatian, saling kunjung-mengunjungi antara sesama anggota masyarakat
adalah sesuatu yang menyuburkan terpenuhinya kebutuhan ini.

36
Kartini Kartono dan Jenny Andari, op.cit., hlm. 30-34.
37
Daniel Goleman, Vital Lies Simple Truths, (New York: International Universities Press,
Inc, 1985), hlm. 43.
38
Djamaluddin Ancok dan Fuad Nashori, Psikologi Islami, (Jogyakarta: Pustaka Pelajar,
1995), Cet. 2, hlm. 92-93.


36


Keempat, kebutuhan akan harga diri. Pada tingkat ini orang ingin
dirinya dihargai sebagai manusia, sebagai warga negara, dalam artian ia
diakui oleh lingkungannya.
Kelima, kebutuhan akan aktualisasi diri. Kebutuhan pada tingkat
ini ialah kebutuhan yang paling tinggi. Mernurut Maslow, pada tingkat ini
manusia ingin berbuat sesuai keinginan dari dalam dirinya. Tidak lagi
menuntut penghargaan dari orang lain atas apa yang telah diperbuatnya.
Sesuatu yang ingin dikejar dalam kebutuhan tingkat ini antara lain;
keindahan, kesempurnaan, keadilan, dan kebermaknaan.
Faktor-faktor yang mempengaruhi kesehatan mental ada dua, yaitu
faktor intern dan faktor ekstern.
39

a. Faktor Intern
Faktor intern adalah faktor dari dalam diri seseorang, seperti:
keimanan, ketaqwaan, sikap dalam menghadapi problema hidup,
kondisi kejiwaan seseorang dan sebagainya.
Seseorang yang memiliki keimanan dan ketaqwaan yang
mantap, ia akan memperoleh ketenangan dan ketentraman batin dalam
hidupnya. Bila ia menghadapi problematika hidup, ia menghadapinya
dengan sabar dan tidak putus asa. Karena sebenarnya dalam diri
manusia tauhid (beriman) tidak terjadi rasa putus asa, reaksi-reaksi
kompensasi dan mekanisme pertahanan diri yang sifatnya
merugikan.
40

Dengan demikian keimanan dan ketaqwaan seorang merupakan
faktor penting yang dapat mempengaruhi kesehatan mental seseorang.
b. Faktor Ekstern

39
Dadang Hawari, op.cit., hlm. 47.
40
Kartini Kartono dan Jenny Andari, op.cit., hlm. 305.


37


Faktor ekstern adalah faktor yang berasal dari luar diri
seseorang, seperti: kondisi lingkungan, keluarga, masyarakat,
pendidikan, sosial, ekonomi dan sebagainya.
Dari kedua faktor di atas, sebenarnya faktor intern lebih
dominan pengaruhnya dibandingkan faktor ekstern. Hal ini sesuai
pendapat Zakiah Daradjat: Sesungguhnya ketenangan hidup,
ketentraman jiwa atau kebahagiaan batin tidak banyak tergantung
pada faktor-faktor luar seperti keadaan sosial, ekonomi, politik, adat
kebiasaan, dan sebagainya; akan tetapi lebih bergantung kepada cara
dan sikap menghadapi faktor-faktor tersebut.
41

4. Macam-macam Gangguan Mental Islami
Masalah gangguan-gangguan mental banyak dibicarakan dalam
agama Islam, baik dalam al-Quran-sunnah, maupun para ahli tasawuf,
gangguan yang dimaksud di sini adalah kumpulan dari kesadaran yang
tidak normal, baik yang berhubungan dengan kejiwaan maupun
kejasmaniahan. Normal menurut Henry Clay Lindgren dan Leonard W.
Fisk, Jr adalah Normal is a term that is often used to signify absence of
pathology
42
. Normal merupakan sebuah istilah yang sering digunakan
untuk menandai ketiadaan penyakit. Mengingat besarnya pengaruh buruk
dan keadaan mental yang terganggu terhadap ketenangan dan kebahagiaan
hidup, maka di sini akan dikemukakan beberapa macam gangguan yang
sewaktu-waktu dapat menyerang pada siapa saja, terutama pada orang-
orang kafir, orang-orang munafik dan orang-orang yang kurang beriman.
Adapun gangguan-gangguan tersebut meliputi, Bakhil, Aniaya,
Dengki, Ujub, Nifak, Ghadhab yang disingkat dalam akronim BADUNG.



41
Zakiah Daradjat, op.cit., hlm. 15.
42
Henry Clay Lindgren dan Leonard W. Fisk, Jr, Psychology of Personal Development,
(New York: John Wiley and Sons, Inc, 1976), hlm. 8.


38


a. Bakhil
Bakhil artinya kikir yaitu keengganan atau ketidaksediaan
untuk memberikan sebagian hartanya kepada pihak-pihak lain yang
membutuhkan, seperti fakir miskin, kepentingan umum, kegiatan-
kegiatan sosial dan agama. Di lain pihak orang bakhil biasanya tidak
pernah puas-puasnya untuk mengumpulkan harta benda, sekalipun
hartanya itu menurut ukuran normal telah cukup banyak.
43

Jadi kikir merupakan jenis penyakit mental yang merusak,
karena meniadakan kasih sayang dan menimbulkan ketidaktentraman
dan kebencian.
Dalam Q.S. Al Lail, dijelaskan bahwa orang yang bakhil akan
mengalami kesulitan. Firman Allah :
_ _ _ _ _ _ _ _ _ _ ) 8 ( _ _ _ _ _ ) 9 ( _ _ ____ __ _ ) 10 (
) : 8 - 10 (

Dan adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya
cukup, dan mendustakan pahala yang terbaik, maka kelak
Kami akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar. (Q.S. Al
Lail: 8-10)
44

b. Aniaya
Aniaya adalah perbuatan yang melanggar hukum dan keadilan
serta menimbulkan kerugian pada diri sendiri dan orang lain serta
menimbulkan kerusakan terhadap lingkungannya.
45

Sedangkan manusia yang menganiaya diri sendiri diterangkan
dalam Q.S. Yunus: 44
_ _ _ _ _ _ _ _ _ _ __ _ _ _ _ ) : 44 (


43
Hanna Djumhana Bastaman, op.cit., hlm. 136.
44
Soenarjo, op.cit., hlm. 1067.
45
Hanna djumhana Bastaman, loc.cit.


39


Sesungguhnya Allah tidak berbuat zalim (menganiaya)
manusia sedikitpun, tetapi manusia itu yang berbuat zalim
(menganiaya) dirinya sendiri. (QS. Yunus: 44)
46


Perbuatan aniaya biasanya disebabkan tidak adanya terima
kasih atau menerima adanya dari apa-apa yang diberikan oleh Allah
SWT, sehingga manusia berbuat semaunya meskipun melanggar
hukum, menyakiti diri sendiri maupun orang lain serta masyarakat
pada umumnya.
c. Dengki
Dengki atau hasad atau iri hati merupakan sikap mental yang
melahirkan rasa sakit hati apabila orang lain mendapat kesenangan dan
kemuliaan dan ingin agar kesenangan dan kemuliaan hilang dari orang
tersebut atau jatuh kepada si pendengki itu sendiri.
Dalam Hadits Nabi:
,
, , ,
" : ,
) ." (
47


Hadits dari Utsman bin Shalih al Baghdady, dari Abu Amir
yaitu Adul Malik bin Amr dari Sulaiman bin Bilal, dari
Ibrahim bin Abi Usaid, dari Kakeknya, dari Abu Hurairah,
Nabi SAW bersabda: Takutlah (kalian) akan hasud, sebab
sesungguhnya hasud itu memakan kebaikan-kebaikan, seperti
api memakan kayu bakar. (HR. Abu Dawud).

d. Ujub
Ujub artinya membesar-besarkan perbuatan baik diri sendiri
dan perasaan puas karenanya, dengan perasaan bahwa dirinya telah
bebas dari seluruh keburukan dan kesalahan. Ujub sering diidentikan

46
Soenarjo, op.cit., hlm. 313.
47
Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, Juz 3, (Libanon: Dar al-Fikr, t.t.), hlm. 463.


40


dengan riya, yaitu beribadah dan berbuat kebajikan bukan untuk
menunaikan perintah Allah, melainkan agar diketahui dan dikagumi
serta mendapat pujian orang lain.
48

Ujub biasanya disertai dengan sombong (takabur) ialah seorang
yang menganggap dirinya lebih tinggi ketika ia melihat orang lain,
baik derajatnya `maupun kedudukanya. Tegasnya adalah bahwa
takabur adalah hasil dari ujub, karena itu seseorang telah terjangkit
sifat-sifat ujub maka akan timbul dengan suburnya sifat-sifat takabur
dalam hatinya.
Firman Allah; QS. al-Anfal: 47
_ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ __ _ _ _ _ _
_ _ _ _ _ _ _ ) : 47 (

Dan janganlah kamu menjadi seperti orang-orang yang keluar
dari kampungnya dengan rasa angkuh dan dengan maksud riya
kepada manusia serta menghalangi (orang) dari jalan Allah.
Dan (ilmu) Allah meliputi apa yang mereka kerjakan. (QS. al-
Anfal: 47)
49


Menurut Hasan Langgulung, penyakit riya itu mengandung
tipuan, siapa yang berbuat riya berarti ia telah menipu dirinya sendiri
sebab menampakkan sesuatu yang tidak sebenarnya.
50

Penyakit riya ini memasuki jiwa manusia dengan sangat halus
dan tidak terasa sehingga hampir-hampir tidak ada orang yang selamat
darinya kecuali orang arif, ikhlas, dan taat. Sebab makhluk yang
mencapai martabat yang setinggi-tingginya di dalam hatinya terdapat
cahaya keyakinan. Oleh karena itu kita harus berhati-hati dengan sifat
ujub/ riya ini, karena ujub/riya merupakan salah satu penyakit mental
yang berbahaya.


48
Hanna Djumhana Bastaman, op.cit., hlm. 138.
49
Soenarjo, op.cit., hlm. 269.
50
Hasan Langgulung, op.cit., hlm. 328.


41


e. Nifak
Nifak artinya bermuka dua atau berpura-pura yang menjadi
karakteristik orang munafik.
51

Allah berfirman dalam QS. al-Baqarah: 8
_ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ ) : 8 (

Di antara manusia ada yang mengatakan: kami beriman
kepada Allah dan hari kemudian, padahal mereka itu
sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman. (QS. al-
Baqarah: 8)
52
.

Sifat munafik adalah wabah berbahaya (penyakit) yang
mengancam kemuliaan dan martabat manusia, ia mengarahkan sikap
yang tidak bertanggung jawab dan rendah serta menggantikan diri
dengan pesimisme, prasangka dan gelisah yang akhirnya dapat
merugikan diri sendiri dan orang lain.
f. Ghadhab
Ghadhab diartikan secara khusus sebagai marah atau
kemarahan dalam konotasi negatif dan berlebihan, sedangkan secara
umum diarikan sebagai al-nafsu al-ammarah bissu yang selalu
mendorong perbuatan jahat, sehingga mengakibatkan kerugian pada
diri sendiri dan orang lain. Perlu dijelaskan pula bahwa marahpun
mengandung konotasi positif sebagai dorongan mempertahankan diri
dan sikap keras terhadap mereka yang bersalah (kafir).
53

Firman Allah QS. Yusuf: 53
_ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ __ _ _
_ _ ) : 53 (

51
Hanna Djumhana Bastaman, loc.cit.
52
Soenarjo, op.cit., hlm. 9.
53
Hanna Djumhana Bastaman, op.cit., hlm. 139.


42


Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena
sesunguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan
(ammarah bissu), kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku.
Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun, lagi Maha Penyayang.
(QS. Yusuf: 53)
54

C. Hubungan Muhasabah terhadap Kesehatan Mental Islami
Muhasabah (perhitungan, kritik diri) dalam spiritualisasi Islam,
bertujuan untuk memperkukuh diri. Dan menyempurnakan amal. Dalam
muhasabah orang mengadakan perhitungan dan kritik diri terhadap amal yang
sudah, sedang, dan akan dilakukannya, agar bersesuaian dengan kehendak
agama. Keadaan yang demikian dapat mendorong orang berlaku taat dan
mendekatkan diri kepada Allah dalam setiap amalnya.
55
Hal ini sesuai dengan
tujuan pendidikan Agama Islam; untuk meningkatkan keimanan, pemahaman,
penghayatan dan pengalaman peserta didik terhadap ajaran agama Islam
sehingga menjadi manusia muslim yang bertaqwa kepada Allah SWT serta
berakhlak mulia dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara.
56
Hal ini sesuai pula dengan UU RI Nomor 20 tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional Bab II Pasal 3 yang berbunyi:
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta beradaban bangsa yang bermartabat dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertaqwa kepada tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demogratis serta bertanggung jawab.
57

Apabila ditinjau dari kesehatan mental muhasabah berfungsi dalam
pengobatan, pencegahan, dan pembinaan
58
. Perawatan kejiwaan menghendaki
agar orang dapat mengadakan kontrol dan kritik yang sehat terhadap dirinya,

54
Soenarjo, op.cit., hlm. 357.
55
Yahya jaya, op. cit., hlm. 132
56
Tim Direktorat jendral Pembinaan kelembagaan Agama Islam / Direktorat Pembinaan
Pendidikan Agama Islam pada Sekolah Umum, Pedoman Pendidikan Agama Islam untuk Sekolah
Umum, (Jakarta: Direktorat jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam / Direktorat Pembinaan
Pedidikan Agama Islam pada Sekolah Umum, 2001. hlm. 4
57
Undang-Undang SISDIKNAS No. 20 Tahun 2003, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hlm.
6.
58
Yahya Jaya, op.cit., hlm. 133.


43


karena hal demikian merupakan prinsip dari kesehatan mental. Orang yang
tidak mampu mengadakan kontrol terhadap tingkah lakunya dan kritik
terhadap kekurangan dirinya, merupakan salah satu gejala dari gangguan
kejiwaan. Orang yang tidak memiliki pengawasan dan perhitungan diri dalam
hidupnya, akan mengalami penyesalan dan penderitaan batin, karena ia tidak
memikirkan dan memperhitungkan diri dan tingkah laku yang diwujudkannya.
Dengan mengadakan kontrol dan kritik diri dalam hidup, orang dapat
memperoleh kesehatan mental.
Apabila muhasabah merupakan perhitungan diri, maka orang yang
menderita dapat mengadakan kontrol dan kritik terhadap dirinya dalam hidup.
Dengan demikian, dengan muhasabah orang memperoleh perhitungan diri
dalam beramal, karena ia merasa dirinya dekat, dilihat, diperhatikan ,dan
dinilai oleh Allah. Dengan demikian pula, orang memperoleh keteguhan jiwa
dan kesempurnaan amal. Apabila orang dapat mengadakan muhasabah dengan
benar dan jujur serta dapat merasakan bahwa Allah dekat, melihat,
memperhatikan, dan menilai amalnya, maka ia dapat menjadikan muhasabah
sebagai pengobatan (perbaikan dan penyempurnaan) diri. Apabila dengan
muhasabah dapat diperoleh kontrol dan kritik diri, maka setiap kali orang
mengadakannya berarti setiap kali itu pula ia mengukuhkan dan
menyempurnakan amalnya. Bila orang sering mengadakan muhsabah dalam
hidupnya, maka ia berkemungkinan jauh dari sikap dan perasaan yang
menekan, seperti penyesalan, kekurangan, dan penderitaan batin. Dengan
demikian, orang dapat dihindarkan dari penyebab gangguan kejiwaan.
Dalam fungsi pembinaan, setiap kali orang mengadakan muhasabah,
berarti setiap kali itu pula ia berusaha membina dan memperkukuh diri dan
menyempurnkan amalnya. Semakin orang sering mengadakannya, semakin
terkendalilah dirinya, dan semakin mampulah ia merasakan keselamatan,
kesucian, kemenangan, dan kebahagiaan dalam hidupnya. Dengan demikian
tujuan pendidikan Agama Islampun tercapai.

You might also like