Professional Documents
Culture Documents
x
Sumber
Cahaya
Renggang
Rapat
N
x
Sumber
Cahaya
Rapat
Renggang
N
Gambar Pembiasan Cahaya
x
Sumber
Cahaya
N
x
Sudut
datang
Sudut
pantul
Gambar Pemantulan Sempurna
4
Kapita Selekta Fisika Fenomena Pelangi
Pembuktian Hukum Snellius
Akan dibuktikan bahwa jarak terpendek antara matahari dan pengamat pada saat berlaku
sin() = sin()
Bukti:
Misalkan
: sudut datang
: sudut bias
Medium A : medium yang kerapatannya renggang, misalkan udara.
Medium B : medium yang kerapatannya lebih rapat dari medium A, misalkan air.
V
1
: kecepatan cahaya dalam medium A
V
2
: kecepatan cahaya dalam medium B
1
: jarak yang ditempuh saat cahaya berada di medium A
2
: jarak yang ditempuh saat cahaya berada di medium B
Perhatikan gambar berikut.
Dari gambar diperoleh:
1
=
2
+( )
2
(1)
=
1
(2)
2
=
2
+
2
(3)
=
2
(4)
Kita ambil (
1
+
2
) untuk mendapatkan jarak terpendek antara matahari dan
pengamat.
Gambar Cahaya yang Dibiaskan Mendekati Garis Normal
Sumber
Cahaya
d
a
Medium A
cx
cx
N
d - x
b
x
2
Medium B
d
Pengamat
5
Kapita Selekta Fisika Fenomena Pelangi
Karena cahaya matahari memiliki kecepatan yang berbeda saat berada di medium yang
berbeda, maka jarak terpendek antara matahari dan pengamat dapat dinyatakan sebagai:
1
+
2
Untuk mendapatkan sudut deviasi yang minimum pada sinar datang, maka kita konstruksikan
1
+
2
= 0 (5)
Selanjutnya, kita menurunkan
1
dan
2
terhadap x, sehingga didapat:
=
1
2
(
2
+( )
2
)
1
2
(2 +2)
=
( )
2
+( )
2
=
1
2
(
2
+
2
)
1
2
(2)
=
2
+
2
Subtitusikan nilai
1
dan
2
2
+()
2
1
+
2
+
2
2
= 0 (6)
Dari persamaan (1) dan (2), diperoleh:
2
+( )
2
= , dan ditulis sebagai
2
+( )
2
= (7)
Dari persamaan (3) dan (4), diperoleh:
2
+
2
= (8)
Subtitusikan persamaan (7) dan (8) ke persamaan (6), diperoleh:
1
+
2
= 0
1
=
2
=
2
= dengan =
2
Jadi, terbukti benar bahwa =
6
Kapita Selekta Fisika Fenomena Pelangi
Besar ukuran sudut bias dan sudut pelangi masing-masing warna pelangi dipengaruhi
oleh panjang gelombang dan indeks bias masing-masing gelombang warna. Berikut ini
merupakan data panjang gelombang dan indeks bias warna pelangi. Tabel Data Panjang
Gelombang dan Indeks Bias Warna Pelangi
Warna
Panjang
Gelombang
()
Indeks
Bias
(k)
400 nm 1, 34451
425 nm 1, 34235
450 nm 1, 34055
475 nm 1, 33903
500 nm 1, 33772
525 nm 1, 33659
550 nm 1, 3356
575 nm 1, 33462
600 nm 1, 33393
625 nm 1, 33322
650 nm 1, 33257
675 nm 1, 33197
700 nm 1, 33141
Proses Terjadinya Pelangi
Pelangi merupakan satu-satunya gelombang elektromagnetik yang dapat kita lihat.
Pelangi adalah gejala optik dan meteorologi yang terjadi sacara alamiah dalam atmosfir bumi
serta melibatkan cahaya matahari, pengamat dan tetesan air hujan. Jika ada cahaya matahari
yang bersinar setelah hujan berhenti, maka cahaya tersebut akan menembus tetesan air hujan
di udara. Udara dan tetesan air hujan memiliki kerapatan yang berbeda, sehingga ketika cahaya
matahari merambat dari udara ke tetesan air hujan akan mengalami pembelokkan arah rambat
cahaya (pembiasan cahaya).
7
Kapita Selekta Fisika Fenomena Pelangi
Cahaya matahari merupakan sinar polikromatik, saat masuk ke dalam tetesan air hujan
akan diuraikan menjadi warna-warna monokromatik yang memiliki panjang gelombang yang
berbeda-beda. Cahaya matahari yang telah terurai menjadi warna monokromatik sebagian
akan mengalami pemantulan saat mengenai dinding tetesan air hujan dan sebagian lainnya
akan menembus ke luar tetesan air hujan. Masing-masing gelombang cahaya monokromatik
tersebut akan mengalami pembiasan cahaya saat keluar dari tetesan air hujan dan arah
pembiasannya akan berbeda-beda, tergantung pada warnanya.
Warna-warna monokromatik yang keluar dari tetesan air hujan mempunyai panjang
gelombang yang berada dalam rentang 400 700 nm. Pada rentang 400 700 nm, gelombang
cahaya yang dapat dilihat oleh mata manusia ialah gelombang yang mempunyai gradasi warna
merah sampai ungu. Gradasi warna tersebut diasumsikan sebagai warna merah, jingga, kuning,
hijau, biru, nila, dan ungu. Susunan gradasi warna tersebut kita namakan sebagai pelangi.
Ketika kita melihat warna-warna ini pada pelangi, kita akan melihatnya tersusun dengan
dengan merah di paling atas dan warna ungu di paling bawah.
Berikut merupakan skema terjadinya pelangi pertama secara keseluruhan.
Saat kita melihat pelangi, daerah di bawah pelangi akan terlihat lebih terang jika
dibandingkan dengan daerah lainnya di sekitar pelangi. Daerah yang terlihat lebih terang
Sinar Matahari
Butiran Air
Pembiasan
Dispersi
Pemantulan
Sinar
Pemantulan Sinar di
dalam butiran air
Pengamat melihat merah di atas dan ungu di
bawah
Gambar Proses Fisis Pelangi Pertama Secara Keseluruhan
16
8
Kapita Selekta Fisika Fenomena Pelangi
tersebut dinamakan daerah terang pelangi. Ada dua hal yang menyebabkan daerah terang
pelangi terlihat lebih terang dibandingkan daerah lainnya, yaitu yang pertama adalah cahaya
matahari yang masuk ke tetesan air hujan yang menimbulkan pelangi pertama mempunyai
intensitas cahaya matahari yang paling besar. Alasan kedua, pada proses pembentukan pelangi
pertama, saat berada dalam tetesan air hujan, cahaya matahari hanya mengalami satu kali
proses pemantulan cahaya, sehingga energi yang terserap oleh tetesan air hujan masih cukup
banyak.
Model Matematis
Rumus Umum yang Digunakan:
A. Hukum Pemantulan: Sudut datang sama dengan sudut pantul.
B. Persamaan Snellius: sin = k sin
Berikut merupakan ilustrasi cahaya yang menembus tetesan air hujan mengalami dua kali
proses pembiasan, satu kali pemantulan dan satu kali dispersi cahaya
T()
Keterangan :
T() : sudut deviasi
: sudut pelangi
Sudut deviasi (T()) adalah sudut yang dibentuk oleh
perpanjangan berkas sinar datang dan berkas sinar yang
keluar dari butiran air
Gambar Ilustrasi Sudut Pelangi
Keterangan :
= sudut datang
= sudut bias
k = perbandingan indeks bias dari dua medium yang
berbeda
9
Kapita Selekta Fisika Fenomena Pelangi
Model Matematika dalam Pembentukan Pelangi Pertama
Perhatikan
( ) +(180
2) + = 180
= 180
180
+ 2 +
= 3
+ = 180
= 180
+ 3
Perhatikan
+ +( ) = 180
Subitusikan nilai , maka didapat:
(180
+ 3) + + = 180
= 180
180
+3 +
=
+T() = 180
)
Sudut Pelangi
Sinar Datang
Menuju Pengamat
Keterangan:
: sudut datang sinar matahari
: sudut bias
() : sudut deviasi
: sudut pelangi
= 4 2
T() = 180
4 + 2
10
Kapita Selekta Fisika Fenomena Pelangi
(4 2) +() = 180
() =
+
Jika T() diturunkan terhadap diperoleh:
= 2 4
(3)
Berdasarkan Hukum Snellius
() = ()
Kedua ruas diturunkan terhadap
() = ()
=
cos ()
cos ()
(4)
Subtitusikan persamaan (4) ke persamaan (3), diperoleh:
= 2 4(
cos
cos
)
Berdasarkan prinsip aproksimasi linear deret Taylor terhadap fungsi,
T() (
0
) +
(
0
)(
0
)
Karena ( -
o
) nilainya kecil (mendekati nol), maka T(
o
) ( -
o
) dapat diabaikan, sehingga
T() T(
o
).
0 =
= 2
4cos (
0
)
cos (
0
)
(5)
Dari persamaan (5), didapat persamaan berikut
(
0
) =
4
2
(
0
)
2
2
(
0
) = 4
2
(
0
) ( Kedua Ruas Dikuadratkan )
2
(1
2
0
) = 4(1
2
0
)
2
0
= 4 4
2
0
Dengan mensubtitusikan
(
0
) = (
0
)
2
(
0
) =
2
2
(
0
)
Diperoleh:
2
0
= 4(1
2
0
)
Sehingga diperoleh rumus untuk sudut datang dan sudut bias
2
(
0
) =
1
3
(4
2
)
11
Kapita Selekta Fisika Fenomena Pelangi
) )
Dari Persamaan Snellius (
0
) = (
0
) didapat:
)
Menentukan Sudut Pelangi
A. Sudut pelangi untuk warna merah
Diketahui indeks bias untuk warna merah () = 1, 33141.
Substitusikan nilai k ke persamaan
0
dan
0
0
=
1
(
1
3
(4
2
) )
Sehingga didapat
0
= 59, 50290393
0
=
1
(
sin
0
)
Sehingga didapat
0
= 40, 3289244
() = 180
+ 2 4
Dengan mensubstitusikan nilai
0
dan
0
diperoleh :
() = 137, 6901103
Karena
= 180
()
Maka:
= 180
137, 6901103
= 42, 30988974
Jadi, sudut pelangi untuk warna merah adalah 42, 30988974
B. Sudut pelangi untuk warna jingga
Diketahui indeks bias untuk warna jingga () = 1,33322.
Substitusikan nilai k ke persamaan
0
dan
0
0
=
1
(
1
3
(4
2
) )
Sehingga didapat
0
= 59, 39768806
0
=
1
(
sin
0
)
Sehingga didapat
0
= 40, 25290214
12
Kapita Selekta Fisika Fenomena Pelangi
Perhatikan,
() = 180
+ 2 4
Dengan mensubstitusikan nilai
0
dan
0
diperoleh :
() = 137, 9538742
Karena
= 180
()
Maka:
= 180
137, 9538742
= 42.04612576
Jadi, sudut pelangi untuk warna jingga adalah 42, 04612576
C. Sudut pelangi untuk warna kuning
Diketahui indeks bias untuk warna kuning () = 1, 33462.
Substitusikan nilai k ke persamaan
0
dan
0
0
=
1
(
1
3
(4
2
) )
Sehingga didapat
0
= 59, 31635351
0
=
1
(
sin
0
)
Sehingga didapat
0
= 40, 11895445
Perhatikan,
() = 180
+ 2 4
Dengan mensubstitusikan nilai
0
dan
0
diperoleh :
() = 138, 1568892
Karena
= 180
()
Maka:
= 180
138, 1568892
= 41, 84311078
Jadi, sudut pelangi untuk warna kuning adalah 41, 84311078
D. Sudut pelangi untuk warna hijau
Diketahui indeks bias untuk warna hijau () = 1, 33659.
Substitusikan nilai k ke persamaan
0
dan
0
0
=
1
(
1
3
(4
2
) )
13
Kapita Selekta Fisika Fenomena Pelangi
Sehingga didapat
0
= 59, 20197269
0
=
1
(
sin
0
)
Sehingga didapat
0
= 39, 99071337
Perhatikan,
() = 180
+ 2 4
Dengan mensubstitusikan nilai
0
dan
0
diperoleh :
() = 138, 4410919
Karena
= 180
()
Maka:
= 180
138, 4410919
= 41, 5589081
Jadi, sudut pelangi untuk warna hijau adalah 41, 5589081
E. Sudut pelangi untuk warna biru
Diketahui indeks bias untuk warna biru () = 1, 34055.
Substitusikan nilai k ke persamaan
0
dan
0
0
=
1
(
1
3
(4
2
) )
Sehingga didapat
0
= 58, 97228442
0
=
1
(
sin
0
)
Sehingga didapat
0
= 39, 73433118
Perhatikan,
() = 180
+ 2 4
Dengan mensubstitusikan nilai
0
dan
0
diperoleh :
() = 139, 0072441
Karena
= 180
()
Maka:
= 180
139, 0072441
= 40, 99275588
Jadi, sudut pelangi untuk warna biru adalah 40, 99275588
F. Sudut pelangi untuk warna nila
Diketahui indeks bias untuk warna nila () = 1, 34235.
14
Kapita Selekta Fisika Fenomena Pelangi
Substitusikan nilai k ke persamaan
0
dan
0
0
=
1
(
1
3
(4
2
) )
Sehingga didapat
0
= 58, 86798023
0
=
1
(
sin
0
)
Sehingga didapat
0
= 39, 61840454
Perhatikan,
() = 180
+ 2 4
Dengan mensubstitusikan nilai
0
dan
0
diperoleh :
() = 139, 2623423
Karena
= 180
()
Maka:
= 180
139, 2623423
= 40, 7376577
Jadi, sudut pelangi untuk warna nila adalah 40, 7376577
G. Sudut pelangi untuk warna ungu
Diketahui indeks bias untuk warna ungu () = 1, 34451.
Substitusikan nilai k ke persamaan berikut
0
=
1
(
1
3
(4
2
) )
Sehingga didapat
0
= 58, 74289375
0
=
1
(
sin
0
)
Sehingga didapat
0
= 39, 4797895
Perhatikan,
() = 180
+ 2 4
Dengan mensubstitusikan
0
dan
0
diperoleh :
() = 139, 5666295
Karena
= 180
()
Maka:
= 180
139, 5666295
= 40, 4333705
15
Kapita Selekta Fisika Fenomena Pelangi
Jadi, sudut pelangi untuk warna ungu adalah 40, 4333705
Sudut pelangi dari masing-masing warna tersebut disajikan dalam tabel berikut
Warna
(nm)
Indeks Bias
(k)
sudut datang (
0
)
(derajat)
Sudut bias
(
0
)
(derajat)
sudut deviasi T()
(derajat)
sudut pelangi ()
(derajat)
400 1, 34451 58, 74289375 39, 4797895 139, 5666295 40, 4333705
425 1, 34235 58, 86798023 39, 61840454 139, 2623423 40, 7376577
450 1, 34055 58, 97228442 39, 73433118 139, 0072441 40, 99275588
475 1, 33903 59, 06041141 39, 83252085 138, 7907394 41, 20926058
500 1, 33772 59, 13639897 39, 91736397 138, 6033421 41, 39665794
525 1, 33659 59, 20197269 39, 99071337 138, 4410919 41, 55890810
550 1, 33560 59, 25944347 40, 05510096 138, 2984831 41, 70151690
575 1, 33462 59, 31635351 40, 11895445 138, 1568892 41, 84311078
600 1, 33393 59, 35643464 40, 16398222 138, 0569404 41, 94305960
625 1, 33322 59, 39768806 40, 21037547 137, 9538742 42, 04612576
650 1, 33257 59, 43546465 40, 25290214 137, 8593207 42, 14067926
675 1, 33197 59, 47034346 40, 29220337 137, 7718734 42, 22812656
700 1, 33141 59, 50290393 40, 3289244 137, 6901103 42, 30988974
Bentuk Pelangi
Sebenarnya, bentuk pelangi adalah lingkaran penuh. Kalau terlihat setengah lingkaran,
atau bagian dari lingkaran, itu terjadi karena pelangi terpotong oleh horison bumi, atau objek
lain yang menghalangi cahaya, misalkan gunung dan bukit.
Gambar Pelangi
16
Kapita Selekta Fisika Fenomena Pelangi
Pelangi terjadi akibat pembiasan cahaya pada sudut 40
42
. Karena sudut
pembiasan tetap, maka letak terjadinya warna pelangi selalu tetap dari pusat cahaya, sehingga
jari-jarinya juga tetap, kalau jari-jari nya tetap konstan dari satu pusat atau titik, kita akan
mendapatkan lingkaran. Kalau lingkarannya kita potong, kita selalu dapat bagian lingkaran
yang melengkung.
Untuk dapat melihat pelangi, kita harus mempunyai sudut deviasi sebesar 138
, ini
menyebabkan kita akan mempunyai sudut pelangi sebesar 42
42
serta posisi
matahari, pengamat dan pelangi terletak pada satu axis dengan posisi matahari berada di
belakang pengamat. Kita tidak dapat melihat pelangi jika posisi matahari tegak lurus dengan
garis horizontal bumi, sehingga kita hanya dapat melihat pelangi pada pagi hari atau sore hari.
Referensi
Thao Dang: The Theory of Rainbow, Vol. 0, No. 0,pp. 01,2006.
Rachel W. Hall and Nigel Higson: The Cakculus of Rainbows, Vol. 0, No.0, pp. 0203,1998.
Raymond L. Lee, Jr: Mie theory, Airy theory, and the natural rainbow, 1998.
H. Moyses Nusseinveg: The The- ory of The Rainbow, Vol. 0, No.0, pp.007,1997.
PEMBUKTIAN MATEMATIS DIBALIK
PERISTIWA PELANGI
Ahmad Zulfakar Rahmadi, Wikky Fawwaz Al Maki
Departemen Matematika STKIP Surya
Abstrak
Jurnal ini membahas bagaimana kita melihat matematika sebagai induk dari segala
ilmu sains melalui kejadian-kejadian yang riil di sekitar. Pelangi, yang sejatinya hanya
terlihat dan jarang ditanggapi secara khusus oleh sebagian orang, disini akan dibuk-
tikan melalui suatu pendekatan konsep matematis dalam hal ini turunan. Dengan
menghitung sudut datang dan sudut pantul dari refraksi cahaya dan reeksinya, kita
dapat menentukan sudut terlihatnya pelangi dari turunan sudut yang ada, dan ke-
mudian menghubungkannya dengan hukum snell tentang cahaya. Selain itu, melalui
pendekatan geometri dapat dijelaskan alasan dari bentuk kurva pelangi itu sendiri.
Penerapan kedua hubungan matematis tersebut diperoleh pemahaman bahwa matem-
atika mempunyai banyak aplikasi kehidupan sesuai asumsinya sebagai induk sains.
Kata Kunci:Sudut datang dan pantul,Refraksi, Reeksi, Hukum Snell, Kurva
Pelangi.
1 PENDAHULUAN
Matematika merupakan salah satu ilmu
yang mendasari berkembangnya ilmu
pengetahuan. Namun,kondisi matematis
yang abstrak terkadang membuat kita sulit
bernalar tentang bagaimana aplikasi nyata
dari matematika itu sendiri. Tidak hanya
itu, relasi antara matematika dan ilmu
lain pun terkadang kurang dikenali baik
secara abstrak maupun fenomena alam
yang nyata.
Pelangi, sebagai salah satu fenom-
ena alam yang indah dan sering terli-
hat serta dikenali khalayak ternyata meny-
impan fakta-fakta unik dibalik peristiwa
terjadinya. Pada pelangi, dapat dite-
mukan model matematika yang alamiah
dan tetap dibuktikan dengan logika yang
tepat. Dalam pembuktian model matem-
atika pelangi, digunakan hubungan an-
tara matematika dan sika yang dalam hal
ini konsep turunan aljabar, geometri, dan
hukum reeksi dan refraksi Snellius.
Dari berbagai teori yang ditelusuri
hubungan dan buktinya, akhirnya akan
digunakan untuk menjelaskan fakta-fakta
yang ada dibalik pelangi. Mulai dari be-
sar sudut pandang terhadap pelangi, proses
terjadinya warna pada pelangi, hingga pen-
jelasan bentuk kurva dari pelangi akan diba-
has secara matematis.
2 METODE
Metode yang digunakan dalam penelitian
jurnal ini berupa studi literatur yang
berhubungan dengan konsep turunan al-
jabar dan geometri serta hukum Snellius
tentang refraksi cahaya diman setiap konsep
memiliki hubungan khusus mengenai tin-
jauan matematis dari pelangi.
1
3 HASIL DAN PEMBA-
HASAN
3.1 Proses Terjadinya Pelangi
Pelangi adalah fenomena alam yang teben-
tuk karena cahaya matahari melalui tetesan
air yang terpancar atau tersebar di udara.
Pada saat sinar menyentuh permukaan air
hujan, sinar tersebut akan dibiaskan karena
cahaya mengalami perubahan indeks media
dari udara ke air. Ketika sinar dihantarkan
kembali ke permukaan belakang tetesan air,
hampir seluruhnya dibiaskan dan keluar
dari tetesan air. Hanya beberapa yang di-
pantulkan dan saat cahaya tersebut menuju
keluar permukaan, setiap warna akan dib-
iaskan kembali seperti saat meninggalkan
tetesan air. Hal itu terjadi pembiasan
langsung dari sumber cahaya ke medium
diteruskan ke air terlalu banyak dan cepat
[1]. Pada dasarnya, kita dapat membuk-
Figure 1: Pembiasan pelangi
tikannya dengan perhitungan ketika:
sin() = k.sin()
dimana dan adalah sudut datang
sinar dan bias, dan k adalah rasio dari
kecepatan perubahan medium sumber ke
medium penerima.
3.2 Hukum Pemantulan
Pemantulan sinar adalah peristiwa ter-
jadinya perubahan arah rambat cahaya ke
sisi yang berbeda. Dengan kata lain,
sudutdatang = sudutpantul
Hal yang menarik dan harus dicatat
bahwa pembiasan dan pemantulan meru-
pakan manifestasi dari satu hukum yang
disebut Fermats Principle, yang meny-
atakan cahaya mencapai yang sampai ke
mata telah diteruskan jauh dari sumbernya
[2].
Figure 2: Reeksi cahaya
Seperti saat kita melihat tangan kita di
kaca atau permukaan air, bayangan yang
terlihat diambil dari pembiasan ke mata.
3.3 Sudut Putar dari Pelangi
Sekarang kita dapat menghitung
hubungan matematis untuk beberapa fakta
umum dari cahaya,mari kembali pada
model gambar tetesan air hujan.Untuk
membuat hal ini menjadi simpel, kita
asumsikan bahwa air hujan is perfectly
spherical,dan hal tersebut memiliki sense
untuk dillihat secara dua dimensi.
Jika sinar datang menuju tetes air
dengan sudut datang , dipantulkan oleh
permukaan belakang dari tetes air,dan
dibiaskan kembali meninggalkan medium
tersebut. Jadi berapa sudut putar dari
cahaya saat keluar dari medium tersebut?
Diketahui adalah sudut datang dan
adalah sudut bias, dimana berhubungan
dengan hukum Snell. Saat cahaya melalui
bagian terjauh dari medium(dalam hal ini
tetesan air), selanjutnya akan dipindahkan
jauh ke dasar dari garis segitiga sama kaki
yang merupakan sisi dari perpanjangan ke-
dua garis radian medium hujan. Setelah
2
Figure 3: Sudut balik pelangi
direeksikan ke bagian dalam dari medium,
sinar akan dibawa kembali melalui tetesan
air dan saling melengkapi bagian yang lain,
segitiga sama kaki.
Seperti yang ditampilkan pada gam-
bar, sudut bias untuk sinar yang mening-
galkan medium dikenali sebagai .Kembali
pada hal awal yang telah kita catat, ca-
haya dibawa dari air ke udara dengan sudut
datang akan memiliki sudut bias .
Kita misalkan T() adalah sudut
putar atau balik yang terbentuk jika kita
teruskan perpanjangan sinar datang(seolah-
olah tidak dibiaskan),besarnya adalah jum-
lah total sudut yang terbentuk dari sinar
yang kembali ke medium air hujan, berben-
tuk searah jarum jam dari garis lurus.
Sudut datang yang terbentuk antara garis
medium,sinar bias, dan perpanjangan sinar
memiliki besar yang sama dengan sudut
bias , sehingga sudut pada perpotongan
sinar bias besarnya sama dengan 2 dan
sudut yang melakukan pemantulan kem-
bali terhadap sinar besarnya dapat diny-
atakan sebagai 180
2. Dari
argumen tersebut, maka T() dapat diny-
atakan sebagai jumlah seluruh sudut yang
terbentuk pada sinar datang dan sinar bias.
Figure 4: sudut bias pelangi
Maka:
(1)
T() = ( ) + (180 2) + ( )
(2)
= 180
+ 2 4
(3)
Jadi,sinar memasuki tetesan air hujan
dengan sudut akan dikembalikan arahnya
oleh sudut 180 + 2 4 yang kemudian
hasil ini dapat kita tentukan sudut pelangi
= 180
T().
3.4 Warna dari Pelangi
Sejauh ini, kita telah dijelaskan proses ter-
jadinya pelangi, pembiasan cahayanya dan
bagaimana proses masuknya cahaya ke tete-
sen air hujan hingga terjadi pembiasan
serta aplikasi dari hukum Snell. Namun
kita belum menjelaskan sedikit pun tentang
apa yang membuat pelangi berwarna.Tabel
berikut menampilkan panjang gelombang
dari warna-warna pelangi dimana hal terse-
but nantinya akan menjelaskan tentang ben-
tuk dari pelangi itu sendiri(akan dibahas di
subbab lain).
Sinar matahari sebenarnya terdiri dari
banyak warna. Meskipun,ketika semua
warna terkombinasi bersama, yang kita li-
hat hanyalah cahaya putih. Saat mata-
hari muncul, sinar matahari akan menerpa
tetesan air hujan. Hal tersebut akan dibi-
askan, denagan panjang gelombang refraksi
berbeda untuk sudut yang berbeda pula,
3
dan warna-warna yang menarik akan tam-
pak. Warna dari pelangi lapis pertama atau
pelangi primer selalu diikuti warna yang
berbeda dan berurutan: merah,jingga, kun-
ing, hijau, biru, nila, dan ungu.
Figure 5: Pembiasan warna pelangi
Efek tersebut terjadi ketika cahaya putih
dibiaskan,setiap komponen warna akan di-
belokkan oleh bagian lain seperti saat
melewati medium transparan ke medium
lainnya. Dispersi ini disebabkan prisma
medium memproduksi spektrum warna dari
cahaya putih. Pada kasus tetesan air,
cahaya ungu akan dibiaskan melalui sisi
dan sudut yang lebih baik dari cahaya
merah. Hal itu menyebabkan cahaya ungu
di pelangi primer selalu terlihat dibawah
cahaya merah(setelah merah).Sisa cahaya
selain merah dan ungu adalah warna
palsu,atau hanya berupa efek dari kedua
warna tersebut. Dari penjelasan pada sub-
bab sebelumnya, kita mendapatkan gam-
baran umum tipe warna pelangi bahwa ca-
haya biru dan ungu dibiaskan lebih dari-
pada cahaya merah. Pembiasan terse-
but tergantung pada indeks pembiasan dari
air hujan, dan perhitungannya dapat men-
galami keselahan dalam ketelitian karena
perbedaaan panjang gelombang antara ca-
haya merah dan ungu yang tidak tentu
pula [3].
Catatan:Ketika hujan, terdapat banyak
tetesan air hujan turun dari langit. Setiap
tetesan hujan dapat membentuk hanya
satu warna yang mata kita bisa lihat.Letak
setiap warna tersebut direeksikan terhadap
bagian belakang air hujan dan menuju mata
No. Warna Pelangi Panjang Spektrum
1. Merah 620 - 750nm
2. Jingga 590 - 620nm
3. Kuning 570 - 590nm
4. Hijau 495 - 570nm
5. Biru 450 - 495nm
6. Nila ......
7. Ungu 380 - 450nm
selalu pada sudut yang terukur dari garis
antara mata dan matahari. Sudutnya berk-
isar 42
terukur dari puncak dari gelom-
bang cahaya merah dan 40
ke bawah dari
cahaya ungu.
Figure 6: Warna dasar pelangi
3.5 Pembentukan Pelangi Per-
tama dan Sudut Pandang
Pelangi
Seperti yang kita ketahui bersama, pelangi
pertama terbentuk dengan sudut kurang
lebih 42 derajat. Bagaimana pembuktian-
nya? Sekarang kita akan membuktikan
bagaimana menentukan sudut pengamat
terhadap pelangi dengan beberapa teori.
Dalam kasus ini, kita tidak hanya menggu-
nakan hukum Snell, tetapi juga hukum ca-
haya, turunan aljabar,trigonometri , dan ge-
ometri. Pada turunan aljabar menggunakan
persamaan dibawah ini untuk menentukan
persamaan turunannya:
f
(x) = lim
xh
f(x + h) f(x)
h
(4)
Dalam hal ini kita gunakan beberapa
istilah di antaranya:
= sudut datang
= sudut bias
4
Figure 7: sudut bias pelangi
k=perbandingan indeks bias dari dua
medium yang berbeda.
Sekarang kita akan menghitung tingkat
perubahan pada sudut balik T() ter-
hadap . Dengan kata lain ,kita akan
menyatakannya dalam bentuk
dT
d
. Setelah
selesai ,kita masukkan ke persamaan
tadi,sehingga
dT()
d
sama dengan nol. Perlu
diingat bahwa seluruh persamaan ini untuk
menghitung konsentrasi cahaya di sudut 42
.
Turunkan kedua sisi persamaan:
T() = 180
+ 2 4 (5)
dengan
dT()
d
= 2 4
d
d
(6)
Namun bagaimana dengan
d
d
? Kita dapat
menurunkan kedua ruas dari hukum refraksi
Snell:
sin() = ksin() (7)
dari persamaan hukum Snell di atas, dida-
patkan
cos() = kcos()
d
d
(8)
Perlu diingat,turunan fungsi diatas digu-
nakan untuk menentukan persamaan lnear
fungsi utama.
Yaitu,
T() T(
0
) + T
(
0
)(
0
) (9)
T() ditaksir memiliki nilai yang hampir
sama karena diketahui
0
bernilai san-
gat kecil sehingga tidak berpengaruh ter-
hadap perubahan nilai sudut. Jika kita da-
pat menemukan nilai
0
dimana T
=0, ke-
mudian T() T(
0
) untuk setiap nilai
mendekati nilai
0
.Hal tersebut berarti
berlaku untuk setiap sinar yang masuk den-
gan sudut datang mendekati nilai dimana
T
0
= 4(1 sin
2
0
) (15)
Dari persamaan-persamaan diatas, kita per-
oleh rumus sudut datang dan bias
sin
2
(
0
) =
1
3
(4 k
2
) (16)
0
= arcsin
1
3
(4 k
2
)
(17)
Kemudian dari persamaan Snellius kita da-
patkan
sin
0
= ksin
0
(18)
0
= arcsin
sin
0
k
(19)
Pada pembentukan pelangi pertama,
akan dicari sudut pelangi untuk warna
merah. Diketahui indeks bias warna merah
(k) = 1, 33. Substitusikan nilai k ke
5
persamaan berikut:
0
= sin
1
1
3
(4 k
2
)
(20)
Sehingga didapat
0
= 59.470343460
0
= sin
1
sin
0
k
(21)
dan diperoleh
0
=40.292203370
Substitusikan nilai
0
dan
0
ke persamaan
T() = 180
+ 2 4.
Sehingga diperoleh T() 138
T() = 180
138
= 42
(22)
Catatan:Perhitungan diatas mengalami
pembulatan yang dianggap perlu, sehingga
sudut pelangi pertama 42
byH. MoyscsMussenzveig
the primary rainbow. Certainly its most
conspicuous feature is its splash of col
ors. These vary a good deal in brightness
and distinctness, but they always follow
the same sequence: violet is innermost.
blending gradually with various shades
of blue. green, yellow and orange, with
red outermost.
Other features of the rainbow are
fainter and indeed are not always pres
ent. Higher in the sky than the primary
bow is the secondary one, in which the
colors appear in reverse order, with red
innermost and violet outermost. Careful
observation reveals that the region be
tween the two bows is considerably
darker than the surrounding sky. Even
when the secondary bow is not discern
ible, the primary bow can be seen to
have a "lighted side" and a "dark side. "
The dark region has been given the
name Alexander's dark band, after the
Greek philosopher Alexander of Aph
rodisias, who frst described it in about
200.
Another feature that is only some
times seen is a series of faint bands, usu
ally pink and green alternately, on the
inner side of the primary bow. (Even
more rarely they may appear on the out
er side of the secondary bow. ) These
"supernumerary arcs" are usually seen
most clearly near the top of the bow.
They are anything but conspicuous. but
they have had a major infuence on the
development of theories of the rainbow.
T
he frst attempt to rationally explain
the appearance of the rainbow was
probably that of Aristotle. He proposed
that the rainbow is actually an unusual
kind of refection of sunlight from
clouds. The light is refected at a fxed
angle. giving rise to a circular cone
of "rainbow rays. " Aristotle thus ex
plained correctly the circular shape of
the bow and perceived that it is not a
material object with a defnite location
in the sky but rather a set of directions
along which light is strongly scattered
into the eyes of the observer.
The angle formed by the rainbow rays
and the incident sunlight was frst mea-
sured in 1266 by Roger Bacon. He mea
sured an angle of about 42 degrees; the
secondary bow is about eight degrees
higher in the sky. Today these angles are
customarily measured from the oppo
site direction, so that we measure the
total change in the direction of the sun's
rays. The angle of the primary bow is
therefore 180 min us 42, or 13 8, degrees;
this is called the rainbow angle. The an
gle of the secondary bow is 130 degrees.
After Aristotle's conjecture some 17
centuries passed before further signif
cant progress was made in the theory of
the rainbow. In 1304 the German monk
Theodoric of Freiberg rejected Aristot
le's hypothesis that the rainbow results
from collective refection by the rain
drops in a cloud. He suggested instead
that each drop is individually capable of
producing a rainbow. Moreover, he test
ed this conjecture in experiments with a
magnifed raindrop: a spherical fask
flled with water. He was able to trace
the path followed by the light rays that
make up the rainbow.
Theodoric's fndings remained largely
unknown for three centuries, until they
were independently rediscovered by
Descartes, who employed the same
method. Both Theodoric and Descartes
showed that the rainbow is made up of
rays that enter a droplet and are refect
ed once from the inner surface. The sec
ondary bow consists of rays that have
undergone two internal refections.
With each refection some light is lost,
which is the main reason the secondary
bow is fainter than the primary one.
Theodoric and Descartes also noted that
along each direction within the angular
DOUBLE RAINBOW was photographed at
Johnstone Strait in British Columbia. The
bright, inner band is the primary bow; it is
separated from the fainter secondary bow by
a region, called Alexander'S dark band, that
is noticeably darker than the surrounding sky.
Below the primary bow are a few faint stripes
of pink and green; they are supernumerary
arcs. The task of theory is to give a quanti
tative explanation for each of these features.
1977 SCIENTIFIC AMERICAN, INC
! -" tiGnILD
..... ..... ...
siDL
t
.. .... ..........sLCONDAnx
nAiNaOw
AtLxANDLns
DAnkaAND
niVAnx
__________
nAiNaOw
suLnNuVLnAnx
AnCs
GEOMETRY OF THE RAINBOW is determited by the scattering angle: the total angle
through which a ray of sunlight is bent by its passage through a raindrop. Rays are strongly
scattered at angle of 138 degrees and 130 degrees, giving rise respectively to the primary and
the secondary rainbows. Between those angles very little light is defected; that is the region of
Alexander's dark band. The optimum angles are slightly diferent for each wavelength of light,
with the result that the colors are dispersed; note that the sequence of colors in the secondary
bow is the revere of that in the primary bow. There is no single plane in which the rainbow lies;
the rainbow is merely the set of directions along which light is scattered toward the observer.
range corresponding to the rainbow
only one color at a time could be seen in
the light scattered by the globe. When
the eye was moved to a new position so
as to explore other scattering angles. the
other spectral colors appeared. one by
one. Theodoric and Descartes conclud-
ed that each of the colors in the rainbow
comes to the eye from a diferent set of
water droplets.
As Theodoric and Descartes realized.
all the main features of the rainbow can
be understood through a consideration
of the light passing through a single
REFLECTION D REFRACTION of light at boundarie between .and water are the
basic events in the creation of a rainbow. In refection the angle of incidence is equal to the
angle of refection. In refraction the angle of the tansmitted ray is determined by the propertie
of the medium, as characterized by it refractive index. Light entering a medium with a higher
index is bent toward the normal. Light of diferent wavelengths is refracted through slightly
diferent angle; this dependence of the refractive index on color is called disperion. Theorie
of the rainbow often deal separately with each monochromatic component of incident light.
. ...
w
I
<
w
w
..
<
Z
<
<
z
<
u
C
RAINBOW RAY
0
C
e
z
u
0 '
w
L
W W
0
w
f
(
w
0
e
tering of sodium atoms by mercury at
oms. The main rainbow peak and two
supernumeraries were detected; in more
recent experiments oscillations on an
even fner scale have been observed. The
rainbows measured in these experi
ments carry information about the inter
atomic forces. Just as the optical rain-
TOTAL INTERNAL REFLECTION
PARALLEL
u
(
L
o
a
U
c
:
:
z
PRIMARY
/RAINBOW
SCATTERING ANGLE (DEGREES)
ATOMIC RAINBOW was detected by E. Hundhausen and H. Pauly of the University of Bonn
in the scattering of sodium atoms by mercury atoms. The oscillations in the number of scattered
atoms detected correspond to a primary rainbow and to two supernumerary peaks. A rainbow
of this kind embodies information about the strength and range of the interatomic forces.
SURFACE
WAVE
COMPLEX-ANGULAR-MOMENTUM theory of the rainbow begins with the ohservation
that a photon, or quantnm of light, incident on a droplet at some impact parameter (which can
not be exactly defned) carries angular momentnm. In the theory, components of that angular
momentnm are extended to complex values, that is, values containing the square root of -1.
The consequences of this procedure can be illustrated by the example of a ray striking a drop
let tangentially. The ray stimulates surface waves, which travel around the droplet and con
tinuously shed radiation. The ray can also penetrate the droplet at the critical angle for total
internal refection, emerging either to form another surface wave or to repeat the shortcut.
u
(
l
o
>
f
w
f
COMPLEX
ANGULAR
MOMENTUM _
THEORY
points in the complex-angular-momen
tum plane. In the shadow region beyond
the rainbow angle the saddle points do
not simply disappear; they become
complex, that is, they develop imagi
nary parts. The difracted light in Alex
ander's dark band arises from a complex
saddle point. It is an example of a "com
plex ray" on the shadow side of a caustic
curve.
It should be noted that the adoption of
the complex-angular-momentum meth
od does not imply that earlier solutions
to the rainbow problem were wrong.
Descartes's explanation of the primary
bow as the ray of minimum defection is
by no means invalid, and the supernu
merary arcs can still be regarded as a
product of interference, as Young pro
posed. The complex-angular-momen
tum method simply gives a more com
prehensive accounting of the paths
available to a photon in the rainbow re
gion of the sky, and it thereby achieves
more accurate results.
In 1 975 Vijay Khare of the University
of Rochester made a detailed compari-
AIRY
THEORY -
read less
kRal mare
20
p
aragrap sie dist Qulk-an newsleer Ina
o ,ltl alcles f 35 let ropl o lust wa
Pbllcatons woI"". yo net knw.",.!a."
SPEClAL
1I2PRlCEDFFER
$l2for l2neeks
A Predicasls PU B L I CATI O N
. g g g g g g g
a w g g g g g
g gg g g g g g g g g
g gg + g q g g g g , g
g g _ g = = e .= g
g e = ~ g
g g g , q gg
g g gg q e g
g gg q g q g g g g , q
g gg g g g g , +
m m e g g . q
m g g q g m =
g g g q g q @
g g g g g _g
g g g g g g g gq
gg g g g g.
gg g g g g
g g m g
g g g _ -
, g q
g g + g
@ g g g g
g g
g g g g
.W
|
rREOCL SPEiOFFRETB1
|
1t
tj
Ittn
I
Li mm O