You are on page 1of 13

DEBBY ELVIRA (1102012051)

TUGAS MANDIRI BLOK MPT


RONA MERAH DI PIPI

LI.1. Mempelajari dan memahami penyakit autoimun
LO.1.1 Memahami dan menjelaskan tentang definisi autoimun
Autoimun ditujukan untuk melakukan jaringan tubuh sendiri; lihat pada disease dan
response. (Dorland, 2008)
Penyakit autoimun merupakan penyakit system imun baik secara humoral (antibodi)
maupun imunitas sel perantara, yang menghasilkan kerusakan jaringan oleh reaksi terhadap
antigen sendiri. Perbedaan pengenalan antigen dalam system imun sangat besar sehingga
mampu mengenal antigen sendiri dan mengadakan reaksi melawan antigen tsb. Pada individu
normal, walaupun pengenalan antigen sendiri oleh klon limfosit tidak terjadi, suatu respons
autoimun yang merugikan tetap diawasi oleh mekanisme control yang aktif dalam system
imun. Penyakit autoimun terjadi ketika mekanisme control ini mengalami kerusakan.
(Underwood, 1994)
Penyakit autoimun adalah keadaan penyakit yang ditandai dengan antibodi spesifik
atau respon kekebalan yang dimediasi sel terhadap jaringan tubuh sendiri (autoantigens).
Mekanisme imunologi tubuh tergantung pada dua faktor utama: (1) inaktivasi dan penolakan
terhadap zat asing dan (2) kemampuan untuk membedakan antara antigen tubuh sendiri ('diri')
dan asing ('bukan dirinya'). Hal ini belum diketahui secara pasti apa yang menyebabkan tubuh
gagal untuk mengenali protein sebagai dirinya sendiri dan bereaksi terhadap mereka seolah-
olah mereka asing. Contoh penyakit autoimun antara lain anemia hemolitik autoimun dan
trombositopenia, lupus eritematosus sistemik, rheumatoid arthritis, glomerulonefritis,
lymphocyticthyroiditis dan berbagai gangguan dermatologis dalam kelompok pemfigus
penyakit.
http://medical-dictionary.thefreedictionary.com/autoimmune

LO.1.2 Memahami dan menjelaskan tentang klasifikasi penyakit autoimun
Penyakit autoimun menurut organ :
a. Penyakit autoimun organ spesifik
Terbentuknya antibodi yang melawan antigen yang hanya ada dalam satu organ sehingga
terjadinya penyakit yang spesifik untuk organ tsb. Contoh alat tubuh yang menjadi sasaran
yaitu kelenjar tiroid, kelenjar adrenal, lambung dan pankreas.
Yang termasuk penyakit autoimun spesifik :
Tiroiditis Hashimoto
Tirotoksikosis
Anemia pernisiosa
Gastritis atrofi autoimun
Penyakit addison
b. Penyakit autoimun non-organ spesifik
Penyakit autoimun yang non-organ spesifik terjadi karena dibentuknya antibodi terhadap
autoantigen yang tersebar luas di dalam tubuh, misalnya DNA. Pada penyakit autoimun yang
non-organ spesifik sering juga dibentuk kompleks imun yang di endapkan pada dinding
pembuluh darah, kulit, sendi dan ginjal serta menimbulkan kerusakan.


Perbedaan antara penyakit imun organ spesifik dan non-spesifik



P
enyak
it
autoi
mun
menu
rut mekanisme :
a. Penyakit autoimun melalui antibodi
Anemia hemolitik autoimun
Salah satu penyebab menurunnya jumlah sel darah merah dalam sirkulasi ialah destruksi
oleh antibodi terhadap antigen pada permukaan sel tersebut. Destruksi sel dapat
terjadi akibat aktivasi komplemen dan opsonisasi oleh antibodi dan komponen
komplemen. Antibodi yang dapat menimbulkan anemia hemolitik autoimun dibagi
dalam 2 golongan berdasarkan sifat fisiknya yaitu antibodi panas dan dingin.
Miastenia gravis
Timbulnya miastenia gravis berhubungan dengan timus. Pada umumnya penderita
menunjukkan timoma atau hipertrofi timus dan bila kelenjar timus di angkat, penyakit
kadang-kadang dapat menghilang.
Tirotoksikosis
Pada tirotokosis, autoantibodi dibentuk terhadap reseptor hormon. Disini dibentuk
antibodi terhadap reseptor thyroid stimulating hormon (TSH).
b. Penyakit autoimun melalui kompleks imun
Lupus erimatosus sistemik
Agrerat kompleks imun akan disaring di ginjal dan mengendap di membran basal
glomerulus. Kompleks lainnya mungkin mengendap di dinding arteri dan sendi dan
membentuk endapan lumpy-bumpy. Kompleks tersebut mengaktifkan komplemen
dan menarik granulosit dan menimbulkan refleks inflamasi sebagai glomerulonefritis.
Derajat gejala penyakit dapat berubah-ubah sesuai dengan kadar kompleks imun.
Artritis reumatoid
Pada penyakit ini dibentuk imunoglobin yang berupa IgM (disebut reumatoid factor),
yang spesifik terhadap fraksi Fc dari molekul IgG. Kompleks RF dan IgG ditimbun di
sinovia sendi dan mengaktifkan komplemen yang melepas mediator dengan sifat
kemotaktik terhadap granulosit. Respon inflamasi dan peningkatan permeabilitas
vaskuler menimbulkan pembengkakan sendi.
c. Penyakit autoimun melalui sel T
Hashimoto thyroiditis
Tiroiditis Hashimoto merupakan penyakit autoimun, gangguan di mana sistem
kekebalan tubuh berbalik menyerang jaringan tubuh sendiri. Pada orang dengan
Hashimoto, sistem kekebalan tubuh menyerang tiroid. Hal ini dapat menyebabkan
hipotiroidisme, suatu kondisi di mana tiroid tidak menghasilkan cukup hormon untuk
kebutuhan tubuh.

d. Penyakit autoimun melalui komplemen



Organ-spesifik Non-organ-spesifik
Antigen Terdapat didalam alat tubuh
tertentu
Tersebar diseluruh tubuh
Kerusakan Antigen dalam tubuh Penimbunan kompleks
sistemik dalam ginjal, sendi,
dan kulit
Tumpang tindih Dengan antibodi organ
spesifik dan penyakit lain
Dengan antibodi non organ-
spesifik dan penyakit lain.
Penyakit autoimun menurut mekanisme
a. Penyakit autoimun yang terjadi
melalui antibodi
Anemia hemolitik
autoimun
Limfopeni
Sindrom goodpasture
Penyakit grave
Granulomatosis
wegener
Miastenia gravis
b. Penyakit autoimun yang
terjadi melalui antibodi dan sel
T
Sistemik
- Artritis reumatoid
- LES
Organ atau
jaringanspesifik
- Sindrom Sjogren
- Sklerosis multiple
- Sindrom guillain-
bare
c. Penyakit autoimun yang
terjadi melalui komleks Ag-
Ab
Diabetes tipe I
LES
d. Penyakit autoimun yang
terjadi melalui komplemen

Penyakit autoimun menurut sistem
organ
a. Penyakit autoimun hematologi
b. Penyakit saluran cerna
Anemia pernisiosa
Gastritis antral difus
Hepatitis autoimun
c. Penyakit autoimun jantung
Miokarditis
Kardiomiopati
d. Penyakit autoimun ginjal
Glomerulonefritis
Sindrom goodpasture
e. Penyakit autoimun susunan
saraf
Sindrom guillane bare
Vaskulitis saraf
perifer
f. Penyakit autoimun endokrin
Penyakit grave
Tiroiditis primer
g. Penyakit autoimun otot
Miastenia gravis
Polimiositis-
dermatomiositis
h. Penyakit autoimun reproduksi
Granulomatosa
wegener
Sarkoidosis
i. Penyakit autoimun telinga dan
tenggorokan

Penyakit autoimmun nonorgan
spesifik/sistemik
a. Lupus eritematosus sistemik
b. Skleroderma
c. Sindrom sjogren
d. Artritis reumatoid
e. Sistitis anterstisial
f. Sindrom antibodi
antifosfolipid
g. vaskulitis

LO.1.3 Memahami dan menjelaskan tentang patofisiologi autoimun
a. Kegagalan toleransi
- Modifikasi molekul
Jika determinan pembawa ari antigen diri sendiri dimodifikasi, mungkin diperoleh
spesifikasi antigenik baru yang akan dikenali sebagai benda asing oleh klon sel Th
yang tidak toleran
- Reaksi silang
Reaksi ini mungkin terjadi antara suatu antigen manusia dan kuman tertentu bila
Ag dan kuman itu mempunyai spesifikasi haptenik yang tumpang tindih
- Aktivasi sel B poliklonal
Aktivasi sel B poliklonal oleh virus (EBV), LPS dan parasit malaria yang dapat
merangsang sel B secara langsung
- Abnormalitas dalam regulasi respon imun
Karena sel T supresor dianggap penting dalam mengawasi sel B autoreaktif,
hilangnya pengaruh regulasi demikian itu dapat diikuti dengan pembentukan
autoantibodi
- Sequestered antigen
Antigen sendiri yang karena letak anatominya, tidak terpajan dengan sel B atau
sel T. Perubahan anatomik dalam jaringan dapat memajankan sequestered antigen
dengan sistem immun
b. Faktor genetik
Kontribusi genetik pada penyakit autoimun hampir selalu melibatkan gen multiple.
Namun demikian defek sejumlah gen tunggal dapat juga menimbulkan autoimunitas
c.Virus
Virus dapat memodifikasi pembawa diri dan mendorong hilangnya toleransi sel T,
mungkin berfungsi sebagai ajuvan sel B (EBV), atau mungkin menginfeksi dan
menonaktifkan sel T supresor. Sebenarnya suatu genom virus dapat menyatu dalam
DNA sel tuan rumah yang kemudian akn menyebabkan mutasi somatik dan
menyebabkan produksi sel tidak dapat dikenal sebagai diri sendiri

LI.2. Mempelajari dan memahami Sistemic Lupus Eritematosus
LO.2.1 Memahami dan menjelaskan tentang definisi penyakit SLE
Lupus eritematosus sistemik (systemic lupus erythematosus) adalah penyakit
autoimun di mana sistem kekebalan tubuh menyerang sel tubuh sendiri, mengakibatkan
peradangan dan kerusakan jaringan. Lupus dapat mempengaruhi setiap bagian tubuh, tetapi
paling umum mempengaruhi kulit, sendi, ginjal, jantung dan pembuluh darah. Perjalanan
penyakit ini tidak dapat diprediksi, dengan periode suar (flare) dan remisi. Lupus dapat terjadi
pada semua usia dan lebih umum pada perempuan. Manifestasi kulit cukup bervariasi dan
dapat hadir dengan lesi terlokalisasi, rambut rontok menyebar dan kepekaan terhadap
matahari. Nama kondisi ini berasal dari fakta bahwa ruam fotosensitif yang terjadi pada wajah
menyerupai serigala.
http://kamuskesehatan.com/arti/lupus-eritematosus-sistemik/
SLE merupakan prototype kelainan autoimun sistemik yang ditandai oleh sejumlah
autoantibodi, khususnya antibodi antinukleus (ANA). ANA umumnya terdeteksi lewat
imunofluoresensi tak langsung. Pola imunofluoresensi (misalnya bersifat homoden, perifer,
bercak, nukleoler)-walaupun tidak spesifik)-dapat menunjukan tipe antibodi yang beredar.
Adanya antibodi anti ds-DNA dan antibodi antigen anti-smith merupakan petunjuk kuat SLE.
(Mitchell, 2008).
Selain ANA, pasien SLE menghasilkan banyak antibodi lainnya, sebagian bekerja
terhadap unsur-unsur darah (sel darah merah, trombosit, leukosit). Tidak hanya itu pasien
SLE juga memiliki antibodi terhadap protein yang berkaitan dengan fosfolipid (antibodi
antifosfolipid). Sebagian antibodi terikat pada antigen kardiolipin dan memberikan hasil tes
VDRL (Venereal Disease Research Laboratory) yang positif-palsu.
Jenis-jenis lupus :
Cutaneus Lupus : Seringkali disebut discoid yang mempengaruhi kulit.
Systemic Lupus Erythematosus (SLE) yang menyerang organ tubuh seperti kulit,
persendian, paru-paru, darah, pembuluh darah, jantung, ginjal, hati, otak, dan syaraf.
Drug Induced Lupus(DIL), timbul karena menggunakan obat-obatan tertentu. Setelah
pemakaian dihentikan, umumnya gejala akan hilang.
Alwi, I., Setiati, S., Setiyohadi, B., dkk. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Interna
Publishing
Selama perjalanan penyakit lupus tubuh membuat beberapa jenis autoantibodi terhadap
berbagai antigen diri. Di antara berbagai jenis autoantibodi yang paling sering dijumpai pada
penderita lupus adalah antibodi antinuklear (autoantibodi terhadap DNA, RNA,
nukleoprotein, kompleks protein-asam nukleat). Umumnya titer antiDNA mempunyai
korelasi dengan aktivitas penyakit lupus.
Beberapa antibodi antinuklear mempunyai aksi patologis direk, yaitu bersifat sitotoksik
dengan mengaktifkan komplemen, tetapi dapat juga dengan mempermudah destruksi sel
sebagai perantara bagi sel makrofag yang mempunyai reseptor Fc imunoglobulin. Contoh
klinis mekanisme terakhir ini terlihat sebagai sitopenia autoimun. Ada pula autoantibodi
tertentu yang bersifat membahayakan karena dapat berinteraksi dengan substansi
antikoagulasi, diantaranya antiprotrombinase, sehingga dapat terjadi trombosis disertai
perdarahan. Antibodi antinuklear telah dikenal pula sebagai pembentuk kompleks imun
yang sangat berperan sebagai penyebab vaskulitis.
Autoantibodi pada lupus tidak selalu berperan pada patogenesis ataupun bernilai sebagai
petanda imunologik penyakit lupus. Antibodi antinuklear dapat ditemukan pada bukan
penderita lupus, atau juga dalam darah bayi sehat dari seorang ibu penderita lupus. Selain itu
diketahui pula bahwa penyakit lupus ternyata tak dapat ditularkan secara pasif dengan serum
penderita lupus.
LO.2.2 Memahami dan menjelaskan tentang etiologi penyakit SLE
Etiologi SLE belum diketahui secara pasti. Faktor genetik diduga berperanan penting
dalam predisposisi penyakit ini. Interaksi antara sex, status hormonal dan aksis hipotalamus-
hipofise-adrenal (HPA) mempengaruhi kepekaan dan ekspresi klinis SLE.

Adanya gangguan dalam mekanisme pengaturan imun seperti gangguan pembersihan
sel-sel apoptosis dan kompleks imun. Hilangnya toleransi imun, meningkatkan beban
antigenik, bantuan sel T yang berlebihan, gangguan supresi sel B dan peralihan respon imun
dari T helper 1 ke sel T helper 2 yang menyebabkan hiperaktivitas sel B dan memproduksi
autoantibodi patogenik. Respon imun yang terpapar faktor eksternal yaitu lingkungan seperti
radiasi ultraviolet bisa menyebabkan disregulasi sistem imun. (Alwi, 2009)

LO.2.3 Memahami dan menjelaskan tentang patofisiologi SLE












Adanya faktor genetik memegang peranan yang penting dalam kerentanan serrta ekpresi
penyakit. Gen yang terutama berperan yang mengkode unsur-unsur sistem imun. Diantaranya MHC
tertentu terutama HLA-DR
2
dan HLA-DR
3
serta dengan komponen komplemen yang berperan pada
fase awal reaksi ikatan komplemen yaitu ; C
1q
, C
1r,
,C
1s
,C
4
dan C
2
).

Adanya satu atau beberapa faktor pemicu yang tepat pada individu yang mempunyai
predisposisi genetik akan menghasilkan tenaga pendorong yang abnormal terhadap sel T CD
4
+
.
Mengakibatkan hilangnya toleransi sel T autoreaktif yang akan menyebabkan induksi serta ekspansi
sel B, baik yang memproduksi autoantibodi maupun berupa sel memori. Antibodi ini secara bersama-
sama disebut ANA (antinuclear antibodi ).dengan antigennya yang spesifik,ANA membentuk
kompleks imun yang beredar dalam sirkulasi.

Kompleks imun akan mengendap pada berbagai macam organ dengan akibat terjadinya
fiksasi komplemen pada organ tersebut. Hal ini menyebabkan aktifasi komplemen yang menghasilkan
substansi penyebab radang. Reaksi radang inilah yang menyebabkan timbul gejala pada organ yang
bersangkutan seperti ginjal, sendi,pleura, pleksus koroideus , dan kulit.
Isbagio, H. 2006. Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid II edisi IV. Jakarta : Balai penerbit FKUI.

LO.2.4 Memahami dan menjelaskan tentang manifestasi klinis SLE
Gejala konstitusional
a. Kelelahan , gejala sekunder dari anemia ringan
b. Penurunan berat badan
c. Demam
d. Hilangnya nafsu makan
e. Sakit kepala
Manifestasi muskiloskeletal : mialgia (nyeri otot), artralgia (nyeri sendi) paling sering
menyerang sendi proksimal pergelangan tangan, tangan, siku, bahu, lutut, dan pergelangan
kaki.
Manifestasi kulit : seborea kongestifa, herpes esthimones dan lesi muko-kutaneus, ruam
eritematosa (seperti kupu-kupu)
Manifestasi paru : pneumonitis (radang insterstitial parenkim paru), emboli paru, hipertensi
pulmonum, perdarahan paru atau shrinking lung syndrome.
Manifestasi kardiologis : perikarditis, miokarditis, penyakit jantung kororner, gagal jantung
kongesif, bising jantung
Manifestasi renal : proteinuria, glomerulonefritis
Manifestasi gastrointestinal : disfagia, hepatomegali, pankreatitis akut, nyeri abdominal,
dispesia
Manifestasi neuropsikiatrik : sepsis, uremia, dan hipertensi berat, epilepsis, lesi batang otak,
neuropati perifer, myasthenia gravis.
Manifestasi hemik limfatik : splenomegali, anemia

LO.2.5 Memahami dan menjelaskan tentang diagnosis SLE
























Kriteria untuk klasifikasi LES dari American Rheumatism Association (ARA)

a. Artritis
b. ANA di atas titer normal
c. Bercak malar
d. Fotosensitif bercak reaksi sinar matahari
e. Bercak diskoid
f. Salah satu kelainan darah :
Anemia hemolitik
Leukosit < 4.000/mm
3

Limfosit <1.500/mm
3

Trombosit <100.000/mm
3

g. Kelainan ginjal
Proteinuria >0,5g/ 24 jam
Sedimen selular
h. Salah satu serositis
Pleuritis
Perikarditis
i. Salah satu kelainan neurologi
Konvulsi
Psikosis
j. Ulser mulut
k. Salah satu kelainan immunologi
Sel LE positif
Anti dsDNA di atas titer normal
Anti Sm (Smith) di atas titer normal
Tes serologi sifilis positif palsu
Seorang pasien diklasifikasikan menderita LES apabila memenuhi minimal 4 dari 11 butir kriteria
tersebut.
Antibodi antinuklear (ANA) adalah autoantibodi yang mempunyai kemampuan
mengikat struktur tertentu dalam inti sel baik membran inti maupun DNA. Antibodi
antinuklear bukan hanya merupakan satu jenis antibodi, tetapi terdapat berbagai
antibodi yang berbeda yang berkaitan dengan penyakit dan manifestasinya. Target
antigen sangat heterogen dan bervariasi dalam satu penyakit.

Antibodi antinuklear adalah antibodi yang sering ditemukan dalam serum dan
jaringan penderita penyakit Systemic Lupus Erithematosus (SLE). Penyakit SLE
terjadi karena penumpukan kompleks imun dan antibodi terutama pada jaringan
vaskuler. Penderita SLE dapat ditemukan beberapa ANA antara lain anti dsDNA, anti
Smith, anti RNP, anti Ro/SS-A dan La/SS-B yang masing-masing mempunyai sifat
spesifik terhadap antigen determinannya yang berasal dari inti sel jaringan yang
rusak.

Antibodi antinuklear juga ditemukan pada sebagian kasus sindrom sjogren,
scleroderma, mixed connective-tissue disease dan SLE yang diakibatkan oleh obat.
Beberapa penyakit non rheumatik yang juga sering menunjukkan tes yang positif
terhadap ANA adalah penyakit infeksi seperti HIV dan hepatitis virus, penyakit tiroid
karena autoimun seperti graves disease dan hashimoto thyroiditis. Tes ANA
merupakan tes yang paling sensitif untuk mendeteksi penyakit SLE dengan sesitivitas
95%. Tes ANA secara rutin dilakukan pada uji saring, diagnosis dan pemantauan
berbagai penyakit jaringan ikat terutama pada penyakit SLE. Metode tes yang sering
digunakan untuk pemeriksaan ANA adalah imunoflourosens indirek, ELISA dan
imunobloting. Metode imunoflourosesns indirek telah digunakan secara luas untuk
mendeteksi ANA yang dikenal sebagai fluorescent antinuclear antibodi (FANA) test.

Ada beberapa pemeriksaan laboratorium yang dapat membantu dokter untuk membuat diagnosa
SLE , yaitu :
1. Pemeriksaan anti-nuclear antibodi (ANA)
yaitu : pemeriksaan untuk menentukan apakah autoantibodi terhadap inti sel sering
muncul di dalam darah.
2. Pemeriksaan anti ds DNA ( Anti double stranded DNA ).
yaitu : untuk menentukan apakah pasien memiliki antibodi terhadap materi genetik di
dalam sel.
3. Pemeriksaan anti-Sm antibodi
yaitu : untuk menentukan apakah ada antibodi terhadap Sm (proteinyang ditemukan
dalam sel protein inti).
4. Pemeriksaan untuk mendeteksi keberadaan immunecomplexes(kekebalan) di dalam darah
5. Pemeriksaan untuk menguji tingkat total dari serum complement (kelompok protein
yang dapat terjadi pada reaksi kekebalan) dan pemeriksaan untuk menilai tingkat spesifikdari
C3 dan C4 dua jenis protein dari kelompok pemeriksaan ini.
6. Pemeriksaan sel LE (LE cell prep)
Pemeriksaan darah untuk mencari keberadaan jenis sel tertentu yang dipengauhi
membesarnya antibodi terhadap lapisan inti sel lain pemeriksaan ini jarang digunakan
jika dibandingkan dengan pemeriksaan ANA, karena pemeriksaan ANA lebih peka
untuk mendeteksi penyakit Lupus dibandingkan dengan LE cell prep.
7. Pemeriksaan darah lengkap, leukosit, thrombosit
8. Urine Rutin
9. Antibodi Antiphospholipid
10. Biopsy Kulit
11. Biopsy Ginjal
Hasil pemeriksaan ANA negatif merupakan bukti kuat bahwa lupus bukanlah penyebab
sakitnya orang tersebut walaupun sangat jarang terjadi dimana SLE muncul tanpa
ditemukannya ANA.
Hasil pemeriksaan ANA positif pada hampir semua pasien dengan sistemik lupus dan ini
merupakan pemeriksaan diagnosa terbaik yang ada saat ini untuk mengenali sistemik
lupus. Kemungkinan seseorang mempunyai pemeriksaan ANA positif akan meningkat seiring
dengan meningkatnya usia. Pola dari hasil pemeriksaan ANA sangat membantu dalam
menentukan jenispenyakit auto imun yang muncul dan menentukan program pengobatan
seperti apa yang cocok bagi seorang pasien Lupus.
Hasil pemeriksaan ANA bisa positif pada banyak keadaan, oleh karenaitu dalam pemeriksaan
ANA harus di dukung dengan catatan kesehatan pasien serta gejala-gejala
klinis lainnya. Karena itu apabila hasil tes laboratorium ANA positif (hanya ANA saja) tidak c
ukup untuk mendiagnosa lupus.
Lain halnya jika ANA negatif merupakan bantahan terhadap lupus akan
tetapi tidak sepenuhnya mengesampingkan adanya penyakit tersebut.
Bagaimanapun juga jika hasil pemeriksaan ANA positif, bukanlah bukti keberadaan Lupus,
karena hasil pemeriksaan juga bisa positif terhadap :
Orang - orang dengan penyakit jaringan connective lainnya.
Pasien yang sedang diobati dengan obat-
obatan tertentu, misal menggunakan obatprokrainamid, hidralazin, isoniazid
klorpromazin. dan
Orang-orang dengan kondisi selain dari lupusseperti skeloderma, sjogrenssyndrome,
rematik arthritis, penyakit kelenjar gondok (thyroid), penyakit hati (liver).

http://mandumna.webuda.com/1_30_8-Pemeriksaan-Laboratorium.htm

Diagnosis Banding













LO.2.6 Memahami dan menjelaskan tentang penatalaksanaan SLE
Penatalaksanaan non-farmako :
a. Edukasi
Edukasi penderita memegang peranan penting mengingat SLE merupakan penyakit yang kronis.
Penderita perlu dibekali informasi yang cukup tentang berbagai macam manifestasi klinis
yang dapat terjadi, tingkat keparahan penyakit yang berbeda-beda sehingga penderita dapat
memahami dan mengurangi rasa cemas yang berlebihan.
b. Dukungan sosial dan psikologis.
Hal ini bisa berasal dari dokter, keluarga, teman maupun mengikut sertakan peer group atau
support group sesama penderita lupus. Di Indonesia ada 2 organisasi pasien Lupus, yakni care
for Lupus SD di Bandung dan Yayasan Lupus Indonesia di Jakarta. Mereka bekerjasama
melaksanakan kegiatan edukasi pasien dan masyarakat mengenai lupus. Selain itu merekapun
memberikan advokasi dan bantuan finansial untulk pasien yang kurang mampu dalam
pengobatan.
c. Istirahat
Penderita SLE sering mengalami fatigue sehingga perlu istirahat yang cukup.
d. Tabir surya
Pada penderita SLE aktifitas penyakit dapat meningkat setelah terpapar sinar matahari, sehingga
dianjurkan untuk menghindari paparan sinar matahari yang berlebihan dan menggunakan
tabir surya dengan SPF > 30 pada 30-60 menit sebelum terpapar, diulang tiap 4-6 jam.
e. Monitor ketat
Penderita SLE mudah mengalami infeksi sehingga perlu diwaspadai bila terdapat demam yang
tidak jelas penyebabnya. Risiko infeksi juga meningkat sejalan dengan pemberian obat
immunosupresi dan kortikosteroid. Risiko kejadian penyakit kejadian kardiovaskuler,
osteoporosis dan keganasan juga meningkat pada penderita SLE, sehingga perlu
pengendalian faktor risiko seperi merokok, obesitas, dislipidemia dan hipertensi.

Penatalaksanaan secara farmakologis :

a. Siklofosfamid
Merupakan obat utama pada gangguan sistem organ yang berat, terutama nefropati lupus. Dalam
pencegahan sequele ginjal, mempertahankan fungsi ginjal dan menginduksi remisi ginjal
pengobatan
dengan kortikosteroid dan siklofosfamid (bolus iv 0,5-1 gram/m
2
) lebih efektif dibanding hanya
kortikosteroid saja,. Manifestasi non renal yang efektif dengan siklofosfamid adalah sitopenia,
kelainan sistem saraf pusat, perdarahan paru dan vaskulitis.
Pemberian per oral dengan dosis 1-1,5 mg/kgBB dapat ditingkatkan sampai 2,5-3 mg/kgBB
dengan kondisi neutrofil > 1000/mm
3
dan leukosit > 3500/mm
3
. Monitoring jumlah leukosit
dievaluasi tiap 2 minggu dan terapi intravena dengan dosis 0,5-1 gram/m
2
setiap 1-3 bulan.
Efek samping yang sering terjadi adalah mual, muntah, kadang dapat ditemukan rambut
rontok namun hilang bila obat dihentikan. Leukopenia dose-dependent biasanya timbul setelah 12
hari pengobatan sehingga diperlukan penyesuaian dosis dengan leukosit.Risiko terjadi infeksi
bakteri, jamur dan virus terutama Herpes zoster meningkat. Efek samping pada gonad yaitu
menyebabkan kegagalan fungsi ovarium dan azospermia.Pemberian hormon Gonadotropin
releasing hormone atau kontrasepsi oral belum terbukti efektif. Pada penderita SLE dengan
nefropati lupus yang mengalami kehamilan obat golongan ini sebaiknya dihindarkan.


b. Mycophenolate mofetil (MMF)
MMF merupakan inhibitor reversibel inosine monophosphate dehydrogenase, yaitu suatu enzim
yang penting untuk sintesis purin. MMF akan mencegah proliferasi sel B dan T serta mengurangi
ekspresi molekul adhesi. MMF secara efektif mengurangi proteinuria dan memperbaiki kreatinin
serum pada penderita SLE dan nefritis yang resisten terhadap siklofosfamid.
Efek samping yang terjadi umumnya adalah leukopenia, nausea dan diare. Kombinasi MMF
dan Prednison sama efektifnya dengan pemberian siklosfosfamid oral dan prednison yang dilanjutkan
dengan azathioprine dan prednisone. MMF diberikan dengan dosis 500-1000 mg dua kali sehari
sampai adanya respons terapi dan dosis obat disesuaikan dengan respons tersebut. Pada penderita SLE
dengan nefropati lupus yang mengalami kehamilan obat golongan ini sebaiknya dihindarkan.
c. Azathioprine
Azathioprine adalah analog purin yang menghambat sintesis asam nukleat dan mempengaruhi fungsi
imun seluler dan humoral. Pada SLE obat ini digunakan sebagai alternatif siklofosfamid untuk
pengobatan lupus nefritis atau sebagai steroid sparing agent untuk manifestasi non renal seperti
miositis dan sinovitis yang refrakter.
Pemberian mulai dengan dosis 1,5 mg/kgBB/hari, jika perlu dapat dinaikkan dengan interval
waktu 8-12 minggu menjadi 2,5-3 mg/kgBB/hari dengan syarat jumlah leukosit > 3500/mm
3
dan
metrofil > 1000. Jika diberikan bersamaan dengan allopurinol maka dosisnya harus dikurangi menjadi
60-75%.
Efek samping yang terjadi lebih kuat dibanding siklofosfamid, yang biasanya terjadi yaitu
supresi sumsum tulang dan gangguan gastrointestinal. Azathioprine juga sering dihubungkan dengan
hipersensitifitas dengan manifestasi demam, ruam di kulit dan peningkatan serum transaminase.
Keluhan biasanya bersifat reversibel dan menghilang setelah obat dihentikan. Oleh karena
dimetabolisme di hati dan dieksresikan di ginjal maka fungsi hati dan ginjal harus diperiksa secara
periodik.

Obat ini merupakan pilihan imunomodulator pada penderita nefropati lupus yang hamil,
diberikan dengan dosis 1-1,5 mg/kgBB/hari karena relatif aman.
d. Leflunomide (Arava)
Leflunomide merupakan suatu inhibitor de novo sintesis pyrimidin yang disetujui pada
pengobatan rheumatoid arthritis. Beberapa penelitian telah melaporkan keuntungan pada pasien SLE
yang pada mulanya diberikan karena ketergantungan steroid.Pemberian dimulai dengan loading dosis
100 mg/hari untuk 3 hari kemudian diikuti dengan 20 mg/hari.
e. Methotrexate
Methotrexate diberikan dengan dosis 15-20 mg peroral satu kali seminggu, dan terbukti efektif
terutama untuk keluhan kulit dan sendi. Efek samping yang biasa terjadi adalah peningkatan serum
transaminase, gangguan gastrointestinal, infeksi dan oral ulcer, sehingga perlu dimonitor ketat fungsi
hati dan ginjal. Pada penderita SLE dengan nefropati lupus yang mengalami kehamilan obat
golongan ini sebaiknya dihindarkan.

f. Siklosporin
Pemberian siklosporin dosis 2,5-5 mg/kgBB/hari pada umumnya dapat ditoleransi dan
menimbulkan perbaikan yang nyata terhadap proteinuria, sitopenia, parameter imunologi (C3, C4,
anti-ds DNA) dan aktifitas penyakit.
Jika kreatinin meningkat lebih dari 30% atau timbul hipertensi maka dosisnya harus disesuaikan
efek samping yang sering terjadi adalah hipertensi, hiperplasia gusi, hipertrikhosis, dan peningkatan
kreatinin serum. Siklosporin terutama bermanfaat untuk nefritis membranosa dan untuk sindroma
nefrotik yang refrakter, sehingga monitoring tekanan darah dan fungsi ginjal harus dilakukan secara
rutin. Siklosporin A dapat diberikan pada penderita nefropati lupus yang hamil, diberikan dengan
dosis 2 mg/kgBB/hari karena relatif aman.

Hormon Seks
Bromokriptin yang secara selektif menghambat hipofise anterior untuk mensekresi prolaktin terbukti
bermanfaat mengurangi aktifitas penyakit SLE. Dehidroepiandrosteron (DHEA) bermanfaat untuk
SLE dengan aktifitas ringan sampai sedang. Danazole (sintetik steroid) dengan dosis 400-1200
mg/hari bermanfaatuntuk mengontrol sitopenia autoimun terutama trombositopeni dan anemia
hemolitik. Estrogen replacement therapy (ERT) dapat dipertimbangkan pada pasien-pasien SLE yang
mengalami menopause, namun masih terdapat perdebatan mengenai kemampuan kontraseptif oral
atau ERT dalam menimbulkan flare SLE. Untuk itu terapi ini harus ditunda pada pasien dengan
riwayat trombosis.

Kortikosteroid
Kortikosteroid efektif untuk menangani berbagai macam manifestasi klinis SLE. Sediaan topikal atau
intralesi digunakan untuk lesi kulit, sediaan intra artikular digunakan untuk artritis, sedangkan sediaan
oral atau parenteral untuk kelainan sistemik. Pemberian per oral dosisnya bervariasi dari 5-30 mg
prednison (metilprednisolon) per hari secara tunggal atau dosis terbagi, efektif untuk mengobati
keluhan konstitusional, kelainan kulit, arthritis dan serositis. Seringkali kortikosteroid diberikan
bersamaan dengan antimalaria atau imunomodulator dengan tujuan untuk mendapatkan induksi yang
cepat kemudian diturunkan dosisnya. Adanya keterlibatan organ penting seperti nefritis, cerebritis,
kelainan hematologi atau vaskulitis sistemik, umumnya memerlukan prednison dosis tinggi (1-2
mg/kgBB/hari). Kortikosteroid parenteral juga dapat digunakan pada keadaan yang sangat berat,
mengancam jiwa, dengan dosis metilprednisolon bolus 1000 mg selama 3 hari berturut-turut.
Efek yang tidak dikehendaki pada pemberian glukokortikoid lama antara lain habitus
cushingoid, peningkatan berat badan, hipertensi, infeksi, fragilitas kapiler, akne, hirsutism, percepatan
osteoporosis, nekrosis iskemi tulang, katarak, glaucoma, diabetes mellitus, myopati, hipokalemia,
menstruasi yang tidak teratur, iritabilitas, insomnia, dan psikosa. Oleh karenanya setelah aktifitas
penyakit terkontrol, dosis kortikosteroid harus segera diturunkan atau kalau mungkin dihentikan atau
diberikan dalam dosis terkecil selang sehari.
Untuk meminimalisasi osteoporosis, dapat diberikan suplemen kalsium 1000 mg/ hari pada pasien
dengan eksresi kalsium urin 24 jam lebih dari 120 mg. Diberikan pula vitamin D 50.000 unit 1-3 kali
seminggu (monitor hiperkalsemia). Dalam mencegah osteoporosis dapat pula diberikan kalsitonin dan
bifosfonat (alendronat, didronel atau actonel). Kortikosteroid pada umumnya dapat ditoleransi dengan
baik selama kehamilan meskipun dapat menimbulkan eksaserbasi diabetes dan hipertensi. Tidak
terdapat bukti bahwa kortikosteroid menyebabkan defek kongenital tetapi mungkin dapat
menyebabkan berat badan bayi lahir rendah dan ketuban pecah dini.



NSAI D (Non Steroid Anti I nflammatory Drug)
NSAID digunakan untuk mengatasi keluhan nyeri muskuloskeletal, pleuritis, perikarditis dan
sakit kepala. Efek samping NSAID pada ginjal, hati, sistem saraf pusat harus dibedakan dengan
aktifitas lupus yang menghebat. Adanya proteinuria yang baru timbul atau perburukan fungsi ginjal
dapat disebabkan oleh aktifitas SLE atau efek NSAID. NSAID juga dapat menyebabkan meningitis
aseptik, sakit kepala, psikosis dan gangguan kognitif, meningkatkan serum transaminase secara
reversibel. Gangguan gastrointestinal merupakan efek samping paling sering ditimbulkan oleh
inhibitor COX non-selektif. Inhibitor COX-2 selektif lebih sedikit efek sampingnya pada
gastrointestinal.

Pada penderita SLE dengan nefropati lupus yang mengalami kehamilan obat
golongan ini sebaiknya dihindarkan karena dapat mengakibatkan kelainan kongenital dan
dieksresikan dalam air susu.

Plasmaferesis
Peranan plasmaferesis pada nefropati lupus masih kontroversi. Indikasinya adalah kasus lupus
disertai krioglobulinemia, sindroma hiperviskositas dan TTP (Thrombotyc Thrombocytopenic
Purpura).

Immunoglobulin I ntravena
Immunoglobulin intravena (IV Ig) adalah imunomodulator dengan mekanisme kerja yang luas,
meliputi blokade reseptor Fc, regulasi komplemen dan sel T. Tidak seperti immunosupresan, IV Ig
tidak mempunyai efek meningkatkan risiko terjadinya infeksi. Dosis 400 mg/kgBB/hari selama 5 hari
berturut-turut memberikan perbaikan pada trombositopeni, artritis, nefritis, demam, manifestasi kulit
dan parameter immunologis. Efek samping yang terjadi adalah demam, mialgia, sakit kepala dan
artralgia, serta kadang meningitis aseptik. Kontraindikasi diberikan pada penderita SLE dengan
defisiensi IgA.
http://internershs.com. Diagnosis dan Penatalaksanaan Lupus Eritematosus Sistemik

LO.2.7 Memahami dan menjelaskan tentang prognosis SLE
Beberapa tahun terakhir ini prognosis lupus semakin membaik, banyak penderita yang
menunjukkan penyakit yang ringan. Wanita hamil penderita lupus dapat bertahan sampai melahirkan
bayi yang normal. Angka harapan hidup 10 tahun meningkat sampai 85%. Prognosis yang paling
buruk ditemukan pada penderita yang mengalami kelainan otak, paru-paru, jantung dan penyakit
jantung yang berat.

LI.3 Mempelajari dan memahami pandangan islam dalam menghadapi cobaan hidup
Ash-Shabr (sabar) secara bahasa artinya al-habsu (menahan), dan diantara yang menunjukkan
pengertiannya secara bahasa adalah ucapan: qutila shabran yaitu dia terbunuh dalam keadaan
ditahan dan ditawan. Sedangkan secara syariat adalah menahan diri atas tiga perkara: yang pertama:
(sabar) dalam mentaati Allah, yang kedua: (sabar) dari hal-hal yang Allah haramkan, dan yang ketiga:
(sabar) terhadap taqdir Allah yang menyakitkan.

Ayat Al-Quran :


Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kalian dan kuatkanlah kesabaran kalian dan tetaplah
bersiap siaga (di perbatasan negeri kalian) dan bertakwalah kepada Allah supaya kalian beruntung.
(Aali Imraan:200)


Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.
(Az-Zumar:10)

Hadist :
Sabar yang sebenarnya ialah sabar pada saat bermula (pertama kali) tertimpa musibah. (H.R. Bukhari)
Dari Suhaib ra, bahwa Rasulullah SAW bersabda, Sungguh menakjubkan perkaranya orang yang
beriman, karena segala urusannya adalah baik baginya. Dan hal yang demikian itu tidak akan terdapat
kecuali hanya pada orang mumin: yaitu jika ia mendapatkan kebahagiaan, ia bersyukur karena (ia
mengetahui) bahwa hal tersebut merupakan yang terbaik untuknya. Dan jika ia tertimpa musibah, ia
bersabar, karena (ia mengetahui) bahwa hal tersebut merupakan hal terbaik bagi dirinya. (H.R.
Muslim)

You might also like