You are on page 1of 13

1.

Hemodialisa

Definisi

Hemodialisa adalah prosedur pembersihan darah melalui suatu ginjal buatan dan
dibantu pelaksanaannya oleh semacam mesin (Lumenta, 1992). Hemodialisa
sebagai terapi yang dapat meningkatkan kualitas hidup dan memperpanjang usia.
Hemodialisa merupakan metode pengobatan yang sudah dipakai secara luas dan
rutin dalam program penanggulangan gagal ginjal akut maupun gagal ginjal
kronik (Smeltzer, 2001). Hemodialisa merupakan suatu proses yang digunakan
pada pasien dalam keadaan sakit akut dan memerlukan terapi dialisis jangka
pendek (beberapa hari hingga beberapa minggu) atau pasien dengan penyakit
ginjal stadium terminal yang membutuhkan terapi jangka panjang atau terapi
permanen. Sehelai membran sintetik yang semipermiable menggantikan
glomerulus serta tubulus renal dan bekerja sebagai filter bagi ginjal yang
terganggu fungsinya itu bagi penderita gagal ginjal kronis, hemodialisa akan
mencegah kematian. Namun demikian, hemodialisa tidak menyembuhkan atau
memulihkan penyakit ginjal (Smeltzer, 2001).

Prinsip yang Mendasari Hemodialisa

Tujuan hemodialisa adalah untuk mengambil zat-zat nitrogen yang toksik dari
dalam darah dan mengeluarkan air yang berlebihan. Ada tiga prinsip yang
mendasari kerja hemodialisa yaitu difusi, osmosis dan ultrafiltrasi. Toksin dan zat
limbah di dalam darah dikeluarkan melalui proses difusi dengan cara bergerak
dari darah, yang memiliki konsentrasi lebih tinggi ke cairan dialisat yang
konsentrasinya rendah.
Air yang berlebihan dikeluarkan dari dalam tubuh melalui proses osmosis.
Pengeluaran air dapat dikendalikan dengan menciptakan gradien tekanan: dengan
kata lain, air bergerak dari daerah dengan tekanan yang lebih tinggi (tubuh pasien)
ke tekanan yang lebih rendah (cairan dialisat). Gradien ini dapar ditingkatkan
melalui penambahan tekanan negatif yang dikenal dengan ultrafiltrasi pada mesin
dialisis. Tekanan negatif diterapkan pada alat ini sebagai kekuatan pengisap pada
membran dan memfasilitasi pengeluaran air. Karena pasien tidak dapat
mengekskresikan air, kekuatan ini diperlukan untuk mengeluarkan cairan hingga
tercapai isovolemia (keseimbangan cairan ) (Smeltzer, 2001).

Penatalaksanaan Jangka Panjang Pasien yang Menjalani Hemodialisa Diet


Diet merupakan faktor penting bagi pasien yang menjalani hemodialisa mengingat
adanya efek uremia. Apabila ginjal tidak mampu mengekskresikan produk akhir
metabolisme, substansi yang bersifat asam ini akan menumpuk dalam serum
pasien dan bekerja sebagai racun. Gejala yang terjadi akibat penumpukan tersebut
secara kolektif dikenal dengan gejala uremik dan akan mempengaruhi setiap
sistem tubuh. Lebih banyak toksin yang menumpuk, lebih berat gejala yang
timbul.
Diet rendah protein akan mengurangi penumpukan limbah nitrogen dan dengan
demikian meminimalkan gejala. Penumpukan cairan juga dapat terjadi dan dapat
mengakibatkan gagal jantung kongestif serta edema paru. Dengan demikian
pembatasan cairan juga merupakan bagian dari resep diet untuk pasien ini.
Dengan penggunaan hemodialisa yang efektif, asupan makanan pasien dapat
diperbaiki meskipun biasanya memerlukan beberapa penyesuaian atau
pembatasan pada asupan protein, natrium, kalium dan cairan.

Masalah Cairan

Pembatasan asupan cairan sampai 1 liter perhari sangat penting karena
meminimalkan resiko kelebihan cairan antar sesi hemodialisa. Jumlah cairan yang
tidak seimbang dapat menyebabkan terjadinya edema paru ataupun hipertensi
pada 2-3 orang pasien hemodialisa. Ketidakseimbangan cairan juga dapat
menyebabkan terjadinya hipertropi pada ventrikel kiri. Beberapa laporan
menyatakan bahwa pembatasan cairan pada pasien hemodialisa sangat
dipengaruhi oleh perubahan musim dan masa-masa tertentu dalam hidupnya.
Seperti penelitian Argiles (2004) menyatakan bahwa asupan cairan pasien akan
sangat tidak terkontrol pada musim panas dan pada masa liburan Natal dan Tahun
Baru karena pada musim panas merangsang rasa haus dan pada masa libuuran
natal dan tahun baru banyak mengonsumsi makanan ringan yang kering dan
mengandung garam sehingga memacu keinginan untuk minum (Welch, 2006).

Jumlah asupan cairan pasien baik cairan yang diminum langsung ataupun yang
dikandung oleh makanan dapat dikaji secara langsung dengan mengukur kenaikan
berat badan antar sesi hemodialisa (Interdialytic weight gain/IDWG) (Welch,
2006). IDWG adalah peningkatan berat badan antar hemodialisa yang paling
utama dihasilkan oleh asupan garam dan cairan. Secara teori, konsekuensi dari
asupan tersebut terdiri atas dua bagian yaitu on the one hand yang artinya asupan
air dan salin dapat bekerja sama dengan kalori dan protein dalam makanan, yang
akan disatukan untuk memperoleh status nutrisi yang lebih baik. Tetapi on the
other hand, asupan air dan garam dapat menimbulkan peningkatan cairan tubuh.
Yang menjadi kunci untuk kejadian hipertensi dan hipertropi ventrikel kiri
(Villaverde, 2005). IDWG yang dapat ditoleransi oleh tubuh adalah tidak lebih
dari 1,0-1,5 kg (Lewis et al., 1998) atau tidak lebih dari 3 % dari berat kering
(Fisher, 2006).
Berat kering adalah berat tubuh tanpa adanya kelebihan cairan yang menumpuk
diantara dua terapi hemodialisa. Berat kering ini dapat disamakan dengan berat
badan orang dengan ginjal sehat setelah buang air kecil. Berat kering adalah berat
terendah yang dapat ditoleransi oleh pasien sesaat setelah terapi dialysis tanpa
menyebabkan timbulnya gejala turunnya tekanan darah, kram atau gejala lainnya
yang merupakan indikasi terlalu banyak cairan dibuang. Berat kering ditentukan
oleh dokter dengan mempertimbangkan masukan dari pasien. Dokter akan
menentukan berat kering dengan mempertimbangkan kondisi pasien sebagai
berikut : tekanan darah normal, tidak adanya edema atau pembengkakan, tidak
adanya indikasi kelebihan cairan saat pemeriksaan paru paru, tidak ada indikasi
sesak nafas. Dengan demikian pembatasan cairan juga merupakan bagian dari
resep diet untuk pasien ini. Cairan dibatasi, yaitu dengan menjumlahkan
urin/24jam ditambah 500-750 ml (Almatsier, 2004). Urin 24 jam ditambah 500-
700 ml adalah jumlah cairan yang dapat dikonsumsi pasien dan masih dapat
ditoleransi oleh ginjal pasien.

Pertimbangan medikasi

Banyak obat yang diekskresikan seluruhnya atau sebagian melalui ginjal. Apabila
seseorang pasien menjalani dialisis, semua jenis obat dan dosisnya harus
dievaluasi dengan cermat. Terapi antihipertensi yang sering merupakan bagian
dari susunan terapi dialisis, merupakan salah satu contoh dimana komunikasi,
pendidikan dan evaluasi dapat memberikan hasil yang berbeda.

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kepatuhan Penderita Gagal Ginjal
Kronik yang Menjalani Hemodialisis dalam Mengurangi Asupan Cairan

a. Faktor usia
Pendapat Dunbar & Waszak (1990) yang menunjukkan bahwa ketaatan terhadap
aturan pengobatan pada anak-anak dan remaja merupakan persoalan yang sama
dengan ketaatan pada pasien dewasa. Pada penelitian ini didapat penderita yang
patuh rata-rara usia 52 tahun dan penderita yang tidak patuh rata-rata usia 46
tahun, ini bukan berarti usia lebih tua cenderung patuh dan sebaliknya usia lebih
muda cenderung tidak patuh. Pendidikan penderita yang patuh 74,3% untuk
pendidikan SMA keatas ternyata lebih tinggi dibandingkan dengan pendidikan
pada penderita yang tidak patuh.
b. Faktor lama menjalani HD
Semakin lama pasien menjalani HD adaptasi pasien semakin baik karena pasien
telah mendapat pendidikan kesehatan atau informasi yang diperlukan semakin
banyak dari petugas kesehatan. Hal ini didukung oleh pernyataan bahwa semakin
lama pasien menjalani HD, semakin patuh dan pasien yang tidak patuh cenderung
merupakan pasien yang belum lama menjalani HD, karena pasien sudah mencapai
tahap accepted (menerima) dengan adanya pendidikan kesehatan dari petugas
kesehatan.
c. Faktor Keterlibatan tenaga kesehatan.
Pada penderita yang patuh keterlibatan tenaga kesehatan dalam kategori baik 82,9
% sedangkan pada penderita yang tidak patuh dalam kategori sedang 58,2%.
Didapat hasil uji analisis Mann Whitney U- test antara keterlibatan tenaga
kesehatan pada penderita yang patuh dengan penderita yang tidak patuh
berdasarkan kategori diatas dengan nilai ( sig) atau = 0,002 lebih kecil dari 0,05
yang berarti ada pengaruh antara keterlibatan tenaga kesehatan dengan kepatuhan
pasien dalam mengurangi asupan cairan. Keterlibatan tenaga kesehatan sangat
diperlukan oleh pasien dalam hal sebagai pemberi pelayanan kesehatan,
penerimaan informasi bagi pasien dan keluarga, serta rencana pengobatan
selanjutnya.
d. Faktor keterlibatan keluarga pasien
Pada penderita yang patuh lebih mempunyai kepercayaan pada kemampuannya
sendiri untuk mengendalikan aspek permasalahan yang sedang dialami, ini
dikarenakan individu memiliki faktor internal yang lebih dominan seperti tingkat
pendidikan yang tinggi, pengalaman yang pernah dialami, dan konsep diri yang
baik akan membuat individu lebih dapat mengambil keputusan yang tepat dalam
mengambil mengambil tindakan, sementara keterlibatan keluarga dapat diartikan
sebagai suatu bentuk hubungan sosial yang bersifat menolong dengan melibatkan
aspek perhatian, bantuan dan penilaian dari keluarga. Schwarzt and Griffin
(1995), mengatakan perilaku kepatuhan tergantung pada situasi klinis spesifik,
sifat alam penyakit, dan program pengobatan. Berbeda dengan pernyataan
Baekeland & Luddwall (1975) bahwa keluarga juga merupakan faktor yang
berpengaruh dalam menentukan program pengobatan pada pasien, derajat dimana
seseorang terisolasi dari pendampingan orang lain, isolasi sosial secara negatif
berhubungan dengan kepatuhan.

Komplikasi

Komplikasi terapi dialisisi sendiri dapat mencakup hal-hal berikut;
a. Hipotensi dapat terjadi selama terapi dialisis ketika cairan dikeluarkan
b. Emboli udara merupakan komplikasi yang jarang tetapi dapat saja terjadi jika
udara memasuki sistem vaskuler pasien.
c. Nyeri dada dapat terjadi karena pCO2 menurun bersamaan dengan terjadinya
sirkulasi darah diluar tubuh.
d. Pruritus dapat terjadi selama terapi dialisis ketika produk akhir metabolisme
meninggalkan kulit.
e. Gangguan keseimbangan dialisis terjadi karena perpindahan cairan serebral
dan muncul sebagai serangan kejang. Komplikasi ini kemungkinan terjadi
lebih besar jika terdapat gejala uremia yang berat.
f. Kram otot yang nyeri terjadi ketika cairan dan elektrolit dengan cepat
meninggalkan ruang ekstrasel.
g. Mual dan muntah merupakan peristiwa yang sering terjadi.

Pendidikan Pasien

Tujuan untuk mempersiapkan pemulangan pasien dialisis dari rumah sakit sering
menjadi tantangan yang menarik. Penyakit tersebut dan terapi yang dilakukannya
akan mempengaruhi setiap aspek dalam kehidupan klien. Biasanya pasien tidak
memahami sepenuhnya dampak dialisis dan kebutuhan untuk mempelajarinya
mungkin baru disadari lama sesudah pasien dipulangkan dari rumah sakit. Pasien
hemodialisa yang akan memulai terapi memerlukan pengajaran tentang topik-
topik berikut: Rasional dan tujuan terapi dialisis, hubungan antara obat-obat yang
diresepkan dengan dialisis, efek samping obat dan pedoman kapan diberikan,
perawatan akses vaskuler; pencegahan, pendeteksian dan penatalaksanaan
komplikasi yang berkaitan dengan akses vaskuler, dasar pemikiran untuk diet dan
pembatasan cairan; konsekuensi akibat kegagalan dalam mematuhi pembatasan
ini, pedoman pencegahan dan pendeteksian kelebihan cairan, strategi untuk
pendeteksian, penatalaksanaan dan pengurangan gejala pruritus, neuropati serta
gejala-gejala lainnya, penatalaksanaan komplikasi dialisis yang lain dan efek
samping terapi, strategi untuk menangani dan mengurangi kecemasan serta
ketergantungan pasien sendiri dan anggota keluarga mereka, pilihan lain yang
tersedia buat pasien, pengaturan finansial untuk dialisis, strategi untuk
mempertahankan kemandirian dan mengatasi kecemasan anggota keluarga.

2. Terapi Perilaku Kognitif

Defenisi
Terapi perilaku kognitif adalah terapi yang menganggap kesulitan-kesulitan
emosional berasal dari pikiran dan keyakinan yang salah yang menyebabkan
perilaku yang tidak produktif. Terapi ini berusaha untuk mengintegrasikan teknik-
teknik terapeutik yang berfokus untuk membantu individu melakukan perubahan-
perubahan, tidak hanya pada perilaku nyata tetapi juga dalam pemikiran,
keyakinan dan sikap yang mendasarinya. Terapi ini memiliki asumsi bahwa pola
berpikir dan keyakinan mempengaruhi perilaku, dan perubahan pada kognitif ini
dapat menghasilkan perubahan perilaku yang diharapkan (Nevid, 2003).
Teknik modifikasi perilaku-kognitif merupakan teknik yang sedang berkembang
pesat sejak dekade yang lalu. Mchenbaum (dalam Ivey, 1993) menggabungkan
antara modifikasi perilaku dan terapi kognitif. Modifikasi perilaku kognitif
didasarkan pada asumsi bahwa perilaku manusia secara resiprok dipengaruhi oleh
pemikiran, perasaan, proses fisiologis, serta konsekuensinya pada perilaku. Jadi
bila ingin mengubah perilaku yang maladaptif dari manusia, maka tidak hanya
sekedar mengubah perilakunya saja, namun juga menyangkut aspek kognitifnya.
Terapi perilaku-kognitif merupakan gabungan terapi perilaku dan terapi kognitif.
Dalam pelaksanaannya, modifikasi perilaku-kognitif menekankan pada
pemahaman terhadap aspek pengalaman kognisi yang berbeda-beda misalnya
kepercayaan, harapan, imaji, pemecahan masalah, disamping mempelajari
ketrampilan teknik perilaku (Kanfer dan Goldstein, 1986).
Ellis menggunakan terapi perilaku kognitif mengubah gagasan klien agar emosi
klien terobati atau tidak sekedar perubahan perilaku mereka saja (Corey, 1990).
Menurut Beck (1976 dalam Corey, 1990) rute yang langsung ke berubahnya
emosi dan perilaku yang tidak berfungsi adalah dengan memodifikasi jalan
pikiran yang tidak tepat dan tidak berfungsi. Menurut Marshall & Turnbull (1996
dalam Sagawa, 2001) Terapi perilaku kognitif adalah sebuah pendekatan untuk
membantu menanggulangi masalah dengan lebih efektif dengan menyediakan
suatu kerangka berpikir dan berperilaku, yang memungkinkan mereka untuk
memimpin diri sendiri untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.
Penelitian yang dilakukan Griffin & Humfleet (1998) menyatakan bahwa terapi
perilaku kognitif juga efektif dalam membantu pasien penyalahgunaan obat-
obatan. Terapi ini efektif dalam mengurangi ketergantungan terhadap obat-obat
terlarang yang salah satunya adalah kokain (NIDA, 2008). Didukung juga oleh
penelitian Brown & Matthew (1997) menemukan bahwa pasien pecandu alkohol
yang diberikan terapi perilaku kognitif lebih efektif dibanding pasien yang
diberikan latihan relaksasi. Pasien dengan terapi perilaku kognitif menunjukkan
hasil yang signifikan dalam menghilangkan penggunaan alkohol secara total
setelah 3 tahun intervensi (NIDA, 2008) .

Prinsip - prinsip Terapi Perilaku- Kognitif

Prinsip dasar dari terapi perilaku kognitif adalah mengajarkan kepada pasien
bahwa kepercayaan dan pemikiran tidak rasional adalah penyebab dari gangguan
emosional dan tingkah laku (Hoffman, 1984). Sebelum proses terapi dimulai,
terapis perlu terlebih dahulu menjelaskan susunan terapi kepada subjek, yang
meliputi penjelasan tentang sudut pandang teori modifikasi perilaku dan teori
terapi kognitif terhadap perilaku yang tidak adaptif, prinsip yang melandasi
prosedur modifikasi perilaku kognitif, dan tentang langkah-langkah di dalam
terapi. Penjelasan ini penting perannya untuk meningkatkan motivasi individu dan
menjalin kerjasama yang baik. Perlu pula dijelaskan bahwa fungsi terapis
hanyalah sebagai fasilitator timbulnya perilaku yang dikehendaki, dan individu
yang berperan aktif dalam proses terapi (Ivey, 1993). Oleh karena itu individu
harus benar-benar terampil menggunakan prinsip-prinsip terapi kognitif dan
modifikasi perilaku dengan masalah yang dialaminya, dan peran terapis penting
dalam mengajak individu memahami perasaannya dan teknik terapi yang efektif
untuk terjadinya perubahan perilaku yang dikehendaki.
Terkait dengan perlunya pemahaman tentang prinsip-prinsip modifikasi perilaku-
kognitif, Meichenbaum (dalam Ivey, 1993) mengemukakan 10 hal yang harus
diperhatikan seorang terapis dalam penggunaan modifikasi perilaku-kognitif,
yaitu:
1. Terapis perlu memahami bahwa perilaku klien ditentukan oleh pikiran,
perasaan, proses fisiologis, dan akibat yang dialaminya. Terapis dapat
memasuki sistem interaksi dengan memfokuskan pada pikiran, perasaan,
proses fisiologis, dan perilaku yang dihasilkan klien.
2. Proses kognitif sebenarnya tidak menyebabkan kesulitan emosional, namun
yang menyebabkan kesulitan emosional adalah karena proses kognitif itu
sendiri merupakan proses interaksi yang kompleks. Bagian penting dari proses
kognisi adalah meta-kognisi yaitu klien berusaha untuk memberi komentar
secara internal pada pola pemikiran dan perilakunya saat itu. Struktur kognisi
yang dibuat individu untuk mengorganisasi pengalaman adalah personal
schema. Terapis perlu memahami personal schema yang digunakan oleh klien
untuk lebih mamahami masalah yang dialami klien. Perubahan personal
skema yang tidak efektif adalah bagian yang penting dari terapi
3. Tugas penting dari seorang terapis adalah menolong klien untuk memahami
cara klien membentuk dan menafsirkan realitas.
4. Modifikasi perilaku-kognitif memahami persoalan dengan pendekatan
psikoterapi yang diambil dari sisi rasional atau objektif.
5. Modifikasi perilaku-kognitif ditekankan pada penjabaran serta penemuan
proses pemahaman pengalaman klien.
6. Dimensi yang cukup penting adalah untuk mencegah kekambuhan kembali.
7. Modifikasi perilaku-kognitif melihat bahwa hubungan baik yang dibangun
antara klien dan terapis merupakan sesuatu yang penting dalam proses
perubahan klien.
8. Emosi memainkan peran yang penting dalam terapi, untuk itu klien perlu
dibawa ke dalam suasana terapi yang mengungkap pengalaman emosi.
9. Terapis perlu menjalin kerjasama dengan pihak keluarga ataupun pasangan
klien.
10. Modifikasi perilaku-kognitif dapat diperluas sebagai proses pencegahan
timbulnya perilaku maladaptif.

Tujuan Pendekatan Terapi Perilaku Kognitif

Pendekatan terapi perilaku kognitif adalah pendekatan pemberian bantuan yang
bertujuan mengubah suasana hati dan perilaku individu dengan mempengaruhi
pola berfikirnya (Beck, 1985; Burns, 1986). Pada dasarnya pendekatan terapi
perilaku kognitif bertujuan untuk mengenali kejadian yang memberi tekanan,
mengenali dan memantau gangguan-gangguan kognitif yang muncul dalam
menanggapi kejadian atau peristiwa, dan mengubah cara berfikir dalam
menginterpretasikan dan menilai kejadian dengan cara-cara yang lebih sehat.
Menurut Oermarjoedi (2004), tujuan terapi perilaku kognitif adalah mengajak
klien untuk menentang pikiran yang salah dengan menampilkan bukti-bukti yang
bertentangan dengan keyakinan mereka tentang masalah yang dihadapi. Terapis
diharapkan mampu menolong klien untuk mencari keyakinan yang sifatnya
dogmatis dalam diri klien dan secara kuat mencoba menguranginya. Terapis harus
hati-hati terhadap munculnya pemikiran yang tiba-tiba yang mungkin dapat
dipergunakan untuk merubah klien.

Teknik pemantauan dan kontrol diri

Pemantauan dan kontrol diri merupakan langkah awal untuk merubah perilaku
target. Seseorang itu harus mengetahui terlebih dahulu perilaku yang mana yang
menjadi target terapi perilaku kognitif. Kedua teknik tersebut mengkaji seberapa
sering perilaku target itu timbul dan resiko yang apa yang muncul kalau tidak
segera ditangani. Pada tehnik ini, klien sangat berperan penting (Taylor, 1983).
Teknik ini berfungsi sebagai alat pengumpul data sekaligus berfungsi terapeutik.
Dasar pemikiran teknik ini adalah pemantauan diri terkait dengan evaluasi diri dan
pengukuhan diri (Kanfer, 1975). Subjek memantau dan mencatat perilakunya
sendiri, sehingga lebih menyadari perilakunya setiap saat. Beberapa langkah
dalam teknik pemantauan diri adalah sebagai berikut: mendiskusikan dengan
subjek tentang pentingnya subjek memantau dan mencatat perilakunya secara
teliti, subjek dan terapis secara bersama-sama menentukan jenis perilaku yang
hendak dipantau, mendiskusikan saat-saat pemantauan dilaksanakan, terapis
menunjukkan pada subjek cara mencatat data perilakunya.. Pemantauan diri
hendaknya dilakukan untuk satu jenis perilaku dan relatif merupakan respon yang
sederhana (Kanfer, 1975).
Kontrol diri dapat diterapkan dalam teknik terapi apapun. Satu-satunya syarat
adalah orang tersebut harus menginplementasikan prosedurnya sendiri setelah
menerima instruksi dari terapis. Ada tiga kriteria yang terkandung dalam semua
konsep kontrol diri yaitu:
a) Hanya ada sedikit kontrol eksternal yang dapat menjelaskan perilaku (tidak
ada pengawasan atau pemaksaan dari luar atau orang lain)
b) Kontrol adalah suatu hal yang cukup sulit sehingga orang yang bersangkutan
harus berupaya cukup keras (melakukan suatu kegiatan yang sangat tidak
diinginkan dan merasa gembira dan bebas setelah kegiatan itu selesai)
c) Perilaku dilakukan dengan pertimbangan dan pilihan secara sadar
Individu secara aktif memutuskan untuk melakukan kontrol diri baik dengan
melakukan suatu tindakan atau dengan menahan dirinya untuk tidak melakukan
sesuatu. Orang yang bersangkutan tidak melakukan ini secara otomatis dan tidak
dipaksa oleh orang lain untuk melakukan suatu tindakan.

Reinforcement (Penguatan diri)

Penguatan diri adalah teknik yang paling menarik apabila kita belajar teori terapi
perilaku kognitif. Penguatan diri meliputi pemberian pujian atau hukuman pada
diri sendiri untuk meningkatkan atau meminimalkan beberapa kejadian perilaku
target. Pujian itu terbagi atas dua bagian yaitu pujian positif dan pujian negatif.
Pujian positif yaitu memberikan pujian yang sepantasnya pada diri sendiri karena
telah berhasil merubah atau memodifikasi perilaku target. Pujian negatif adalah
pujian melalui modifikasi faktor pencetus perilaku target di linkungan klien.
Seperti pemberian pujian pada diri sendiri, hukuman juga dibagi dua bagian yaitu
hukuman yang positif dan hukuman yang negatif. Akan tetapi jarang digunakan
dalam memanajemen atau memodifikasi perilaku (Taylor, 1983). Reinforcement
dihubungkan dengan hemodialisa adalah hal yang sangat tepat untuk mencapai
berat badan yang idel untuk pasien, dan pada umumnya merupakan intervensi
yang paling sering diberikan para medis ke pasiennya (Sagawa, 2001).

Distraksi (pengalihan perhatian)

Distraksi mengalihkan perhatian klien ke hal yang lain yang lebih menyenangkan
sehingga klien mampu mengabaikan pemikiran yang tidak menyenangkan yang
sedang dialami. Distraksi bekerja memberi pengaruh paling baik untuk jangka
waktu yang singkat. Perawat dapat mengkaji aktivitas-aktivitas yang dinikmati
klien sehingga dapat dimanfaatkan sebagai distraksi. Aktivitas tersebut dapat
meliputi kegiatan menyanyi, berdoa, mendengarkan musik, menonton TV,
membaca, bercerita, dan lain-lain. Sebagian besar distraksi dapat digunakan di
rumah sakit, di rumah , atau pada fasilitas perawatan jangka panjang (Potter,
2005).
Distraksi dapat berkisar dari hanya pencegahan monoton sampai menggunakan
aktivitas fisik dan mental yang sangat kompleks. Ada orang tertentu yang akan
mampu mengalihkan perhatiannya hanya dengan memainkan suatu permainan
yang butuh konsentrasi penuh sperti main catur. Keefektifan distraksi tergantung
pada kemampuan pasien untuk menerima dan membangkitkan input sensori selain
sensori yang sedang dialami ( Smeltzer, 2001).
Distraksi visual Melihat pertandingan, menonton televisi, membaca koran,
melihat pemandangan dan gambar termasuk distraksi visual. Distraksi
pendengaran Diantaranya mendengarkan musik yang disukai atau suara burung
serta gemercik air, individu dianjurkan untuk memilih musik yang disukai dan
musik tenang seperti musik klasik, dan diminta untuk berkosentrasi pada lirik dan
irama lagu. Klien juga diperbolehkan untuk menggerakkan tubuh mengikuti irama
lagu seperti bergoyang, mengetukkan jari atau kaki (Tamsuri, 2007). Musik klasik
salah satunya adalah musik Mozart. Dari sekian banyak karya musik klasik,
sebetulnya ciptaan milik Wolfgang Amadeus Mozart (1756-1791) yang paling
dianjurkan. Beberapa penelitian sudah membuktikan, Mengurangi tingkat
ketegangan emosi atau nyeri fisik. Penelitian itu di antaranya dilakukan oleh Dr.
Alfred Tomatis dan Don Campbell. Mereka mengistilahkan sebagai Efek
Mozart. Dibanding musik klasik lainnya, melodi dan frekuensi yang tinggi pada
karya-karya Mozart mampu merangsang dan memberdayakan daerah kreatif dan
motivatif di otak. Yang tak kalah penting adalah kemurnian dan kesederhaan
musik Mozart itu sendiri. Namun, tidak berarti karya komposer klasik lainnya
tidak dapat digunakan (Andreana, 2006)
Distraksi pernafasan yaitu bernafas ritmik, anjurkan klien untuk memandang
fokus pada satu objek atau memejamkan mata dan melakukan inhalasi perlahan
melalui hidung dengan hitungan satu sampai empat dan kemudian
menghembuskan nafas melalui mulut secara perlahan dengan menghitung satu
sampai empat (dalam hati). Anjurkan klien untuk berkosentrasi pada sensasi
pernafasan dan terhadap gambar yang memberi ketenangan, lanjutkan tehnik ini
hingga terbentuk pola pernafasan ritmik. Distraksi intelektual, antara lain dengan
mengisi teka-teki silang, bermain kartu, melakukan kegemaran (di tempat tidur)
seperti mengumpulkan perangko, menulis cerita. Tehnik pernafasan, seperti
bermain, menyanyi, menggambar atau sembayang. Imajinasi terbimbing adalah
kegiatan klien dengan membuat suatu bayangan yang menyenangkan dan
mengonsentrasikan diri pada bayangan tersebut serta berangsur-angsur
membebaskan diri dari dari perhatian terhadap stimulus yang kurang
menyenangkan (Tamsuri, 2007).

You might also like