You are on page 1of 2

Antara Rahwana, Rama dan Indonesia

Ramayana, sebuah epos karangan Walmiki yang demikian dikenal dan kurang lebih ada 300 versi di seluruh
dunia. Dimana dari ke semua versi tersebut, isinya kurang lebih hampir sama. Yakni Rama sebagai ksatria tampan
yang baik, sedangkan Rahuvana (Rahwana) sebagai raja raksasa jahat yang menculik Sinta (Sita) istri Rama. Di
Indonesia epos ini juga demikian dikenal, bahkan anak sekolah dasar pun dapat menyebutkan bahwa Rama
merupakan tokoh baik dan Rahwana (dikenal juga sebagai Dasamuka) merupakan tokoh jahat.
Apakah demikian juga di belahan dunia lainnya memandang tokoh Rama dan Rahwana?. Kenyataannya di Sri
Lanka misalnya, Rahwana merupakan simbol pahlawan yang melawan penjajahan ras Arya yang diintepretasikan
dalam diri Rama terhadap benua Jambhudwipa (India dan sekitarnya). Demikian juga dalam novel Rahuvana Tattwa
karya Agus Sunyoto yang mencoba melihat sosok Rahwana dari sudut pandang yang lain, bukan dari sudut pandang
Walmiki yang juga merupakan keturunan ras Arya. Meskipun sebuah novel, Rahuvana Tattwa setebal 744 halaman
ini tampaknya lebih tepat disebut sebagai sebuah jurnal yang berbentuk novel melihat jumlah daftar pustakanya yang
kurang lebih 40 buku berbobot dan digunakan sebagai bahan perbandingan.
Sejarah mencatat bahwa India memang pernah dijajah oleh bangsa Arya yakni Alexander The Great dari
Macedonia pada sekitar 326 SM. Namun yang menginspirasi Walmiki menuliskan kisah Ramayana nampaknya
penjajahan sebelumnya yakni sekitar 1500 SM oleh bangsa Arya barbar yang hidup nomaden (berpindah). Dimana
mereka menyebut diri mereka kaum Mannu. Dimana dari konsep ini lahirlah sebutan Mannu-sa (keturunan Mannu)
yang juga diartikan sebagai bangsa yang beradab, seiring perkembangan jaman konsep ini menjadi manusia
sebagaimana yang kita kenal saat ini. Dan yang lain di luar mereka, yakni suku-suku asli di India yang terjajah dan
berkulit berwarna (hitam) yakni bangsa Dravida (Danawa, Daitya, Wanara, Raksha, Bhuta, Paksi, Naga) dianggap
bukan manusia. Mereka menyebut Suku Bhuta dengan Buta yang diartikan orang-orang rakus yang bodoh. Kaum
Wanara dianggap kaum yang primitif menyerupai kera. Kaum Raksha disebut sebagai raksasa dan digambarkan
sebagai kaum bengis yang menyukai daging mentah, dan sebagainya.
Di tengah penjajahan inilah, raja lokal dari kerajaan Alengka yang merupakan keturunan kaum Raksha
bernama Rahuvana (Rahwana) hadir menyatukan kaum kulit berwarna untuk melawan penjajah Arya yang dipimpin
oleh Indra yang mendewakan dirinya sendiri. Indra pun bertekuk lutut terhadap bala tentara Rahwana yang
menyerang istananya (Indraloka) dan bangsa-bangsa asli Jambhudwipa (India) memperoleh kemerdekaannya
kembali. Digambarkan kekuasaan Rahwana pada masa itu mencakup Jambhudwipa (India selatan sampai tengah) dan
Salilabhuwana (benua air) yakni Nusantara. Dilukiskan bahwa penduduknya makmur, aman dan seni sangat
dijunjung tinggi. Bahkan Walmiki dalam Ramayana pun mengakui bahwa kerajaan Rahwana adalah kerajaan yang
tapal batasnya merupakan benteng tinggi, memiliki pemerintahan yang teratur, tata kota yang rapi, juga sangat
dicintai oleh rakyatnya. Rahwana juga digambarkan sebagai raja yang sakti mandraguna dan disayang oleh dewa-
dewa karena ketaatannya bersemedi dan melakukan upacara serta sesembahan, juga disayang oleh guru-gurunya dan
dianugrahi bermacam ilmu. Diceritakan hanya dua orang yang pernah mengalahkan Rahwana dalam adu tanding,
yakini Prabu Bali raja dari Kiskindha (kaum Wanara), dan Harjuna Sasrabahu raja Matswapati titisan Wisnu. Dimana
akhirnya mereka menjadi guru bagi Rahwana dan menurunkan ilmu-ilmu sakti padanya. Lalu bagaimana mungkin
sosok yang sedemikian itu digambarkan sebagai raksasa jahat, bengis, kejam dan sebagainya?.
Ras Arya yang telah kalah masih tidak menerima dan menganggap merekalah bangsa yang tertinggi
derajatnya. Ini dimulai dengan dikirimnya Rama, Lhaksmana dan Sinta ke hutan di wilayah kekuasaan Alengka.
Surphanaka, adik Rahwana yang melihat ketampanan Rama di hutan, langsung menyatakannya cintanya pada Rama.
Hal ini dianggap biasa saja oleh Surphanaka, sebab Kerajaan Alengka menganut budaya matriarki dimana wanita
dijunjung tinggi. Namun oleh Rama, Lhaksmana dan Sinta justru Surphanaka dianggap wanita gila karena
mengungkapkan cintanya, sebab bangsa Arya menganut budaya patriarki. Bahkan Rama sampai menebas hidung
Surphanaka dengan pedangnya.
Rahwana yang tidak terima pada perlakuan Rama pada adiknya mencari Rama ke hutan dan memutuskan
untuk menculik Sinta karena kecantikannya dan mempercayai bahwa Sinta merupakan titisan Widyowati yang telah
dijanjikan dewa untuknya. Yang menjadi luar biasa adalah meskipun menjadi seorang tawanan dalam kurun waktu
yang demikian lama, Sinta diperlakukan sangat baik dan sopan oleh Rahwana. Bukannya di tempatkan dalam
kerangkeng, namun Sinta di tempatkan di sebuah taman sari yang indah. Bahkan seujung kuku pun Sinta tak pernah
disentuh oleh Rahwana.
Dalam usahanya mencari Sinta, yang menjadi aneh mengapa Rama tidak menggunakan bala tentara Ayodya,
padahal dia seorang pangeran Ayodya?. Dia justru menggunakan bala tentara kaum Wanara yang oleh bangsanya
justru didiskreditkan sebagai kaum yang menyerupai kera. Ditambah lagi bagaimana kecurangan Rama untuk
mendapatkan bala bantuan dari kerajaan Kiskindha (kaum Wanara) dengan membantu Sugriwa mengambil alih
kerajaan dari kakaknya Subali. Dimana saat pertempuran antara Subali dan Sugriwa, Rama memanah Subali dari
belakang hingga meninggal. Sebelum meninggal Subali mengatakan, Aku menangis bukan karena kesakitan terkena
panah saktimu, wahai Rama. Jika aku ditakdirkan untuk mati, maka memang itulah jalanku untuk kembali. Aku
menangis karena engkau sebagai ksatria, telah melakukan tindakan yang jauh dari sifat ksatria. Bahkan sangat
menjijikan.
Bagian yang paling dramatis adalah Yudhakanda, cerita tentang pertempuran sengit antara pasukan Alengka
dan Rama. Satu per satu pahlawan Alengka gugur. Yang membuat sangat tragis kekalahan Alengka lebih disebabkan
karena pengkhianatan Bibhisana (adik Rahwana) yang membocorkan berbagai rahasia Alengka kepada Rama karena
menginginkan menjadi raja di Alengka. Rahwana pun gugur di tangan Rama dengan cara dikeroyok oleh Rama dan
Bibhisana. Sang pahlawan besar, ksatria pandita, maharaja agung itu wafat akibat pengkhianatan adiknya sendiri.
Juga bagaimana setelah mendapatkan Sinta kembali, Rama justru tidak percaya pada Sinta yang demikian
mencintainya, membiarkan Sinta melakukan upacara Obong (membakar diri) untuk membuktikan cintanya. Saat
Sinta tidak terbakar, Rama bukannya menjadi percaya pada Sinta, justru mengasingkan Sinta ke hutan dalam keadaan
hamil sampai matinya Sinta.
Bila demikian manakah yang sesungguhnya pahlawan?. Pada akhirnya sejarah selalu mendiskreditkan orang-
orang yang kalah. Lantas bagaimanakah dengan Indonesia?. Apakah ada diantara pemimpin-pemimpinnya yang
seberani Rahwana mengusir penjajahan dan campur tangan bangsa lain layaknya Bung Karno dulu?. Ataukah justru
meminta bantuan bangsa lain untuk memperoleh kekuasaan dan pada akhirnya tetap dijajah layaknya Bibhisana
memperoleh kuasa di Alengka?. Ataukah justru budaya-budaya pencitraan layaknya pahlawan serta budaya
menusuk musuh-musuh politiknya dari belakang sebagaimana Rama sudah dianggap sebagai hal yang biasa di
Indonesia?.

You might also like