You are on page 1of 47

HIPERTENSI

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Indonesia Cinta Sehat merupakan cermin sikap dan perilaku segenap bangsa
Indonesia yang mencintai kesehatan dirinya, keluarganya, dan lingkungannya. Hal itu
adalah kunci keberhasilan bagi terwujudnya masyarakat sehat yang mandiri. Itu adalah
salah satu program jaminan kesehatan semesta pada tahun 2019, seluruh penduduk
Indonesia mempunyai jaminan kesehatan. Ini berarti bahwa masyarakat Indonesia
diharapkan dapat memperoleh pelayanan kesehatan yang komprehensif dan bermutu
(Profil Kemenkes RI, 2012).
Perubahan dari negara agraris ke negara industri membawa kecenderungan baru
dalam pola penyakit didalam masyarakat di indonesia yaitu perubahan penyakit menular
menjadi tidak menular atau sering disebut dengan transisi epidemologi. Penyakit tidak
menular dapat muncul melalui gaya hidup (life style), hal ini merupakan faktor pemicu
munculnya penyakit degeneratif (Bustan, 1995).
Hasil Sensus Penduduk tahun 2010, indonesia saat ini termasuk ke dalam lima besar
negara dengan jumlah penduduk lanjut usia terbanyak di dunia yakni 18,1 juta jiwa atau
9,6% dari jumlah penduduk. Berdasarkan proyeksi Bappenas, jumlah penduduk lansia 60
tahun atau lebih diperkirakan akan meningkat dari 18,1 juta (2010) menjadi 29,1 juta
(2020) dan 36 juta (2025). Dengan meningkatnya jumlah lanjut usia, tentunya akan
diikuti dengan meningkatnya permasalahan kesehatan pada lanjut usia (Profile Kemenkes
RI, 2012).
Salah satu yang harus diperhatikan dengan serius yaitu pada lanjut usia adalah proses
degeneratif, yang dapat menimbulkan berbagai macam masalah kesehatan diantaranya
hipertensi, ini terjadi karena adanya perubahan elastisitas pembuluh darah, dan keadaan
ini diperberat dengan terjadinya penimbunan lemak pada dinding pembulu darah. Hal ini
didukung dengan prevalensi hipertensi secara nasional mencapai 31,7% yang pada
umumnya terjadi pada usia pertengahan dan lanjut usia baik karena gaya hidup maupun
proses degeneratif (Ridwan, 2009; Dewi & Familia, 2010; Riskesnas, 2007).
Pada lanjut usia didapatkan beberapa faktor-faktor yang dapat menyebabkan
hipertensi diantaranya faktor genetik (keturunan), umur, zat toksin, Jenis kelamin, Etnis,
Stres, obesitas, nutrisi, merokok, narkoba, alkohol, kafein, kurangnya olahraga, kolesterol
tinggi, kelainan ginjal, konsumsi natrium yang tinggi yang masuk kedalam tubuh (Susilo
& Wulandari, 2011)
Hal ini didukung dengan adanya penelitian tentang hipertensi pada lanjut usia di
poliklinik geriatri RSCM menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara kebiasaan
olahraga dengan hipertensi dengan P value sebesar 0,004 dan odds ratio sebesar 3,98 kali.
Dan ada hubungan yang bermakna antara merokok dengan hipertensi yang P valuenya
sebesar 0,03 dan odds rasio sebesar 3,47. Lanjut usia yang hipertensi lebih banyak
didapatkan dengan kebiasaan merokok yakni sebesar 84,4% dibandingkan dengan yang
tidak merokok yakni sebesar 60,9% (Sanusi, 2002).
Data penelitian tentang pola makan pada lansia hipertensi di RS dr. Kariandri
Semarang, tentang kebiasaan mengkonsumsi lemak jenuh yaitu 3 kali dalam seminggu
terbukti sebagai faktor yang berpengaruh terhadap kejadian hipertensi (p = 0,02, OR =
7,72 dan 95% Cl = 2,45 24,38). Hal ini menunjukkan bahwa orang yang mempunyai
kebiasaan mengkonsumsi lemak jenuh akan berisiko terserang hipertensi sebesar 7,72
kali dibandingkan orang yang tidak biasa mengkonsumsi lemak jenuh (Margaret, 2005).
Berdasarkan hasil penelitian fauziyah rahma (2011) memaparkan tentang kebiasaan
mengkonsumsi natrium Menyatakan bahwa secara umum tingkat konsumsi asin
(konsumsi natrium) dalam jumlah yang cukup tinggi berisiko mengalami hipertensi (p =
0,0001, OR = 3,95 dan 95% Cl 1,87 8,36).
Penelitian pada lansia di Kota Depok didapatkan adanya hubungan yang bermakna
antara stres dan hipertensi. Lansia yang mengalami stres tinggi sebesar 70,9%, stres
sedang sebesar 65,2% dan stress rendah sebesar 38,5% terhadap hipertensi. Stres tinggi
berpeluang 3,89 kali dan stres sedang berpeluang 2,99 kali terhadap hipertensi
dibandingkan dengan stress rendah (Hasirungun, 2002).
Berdasarkan data di DINKES Provinsi Lampung bahwa, penyakit hipertensi di setiap
tahunnya selalu masuk ke dalam 10 (sepuluh) besar penyakit yang diderita masyarakat
dimana pada tahun 2004 menduduki peringkat VIII sebanya 89.204 kasus atau 6,58 % ,
tahun 2005 peringkat ke VI sebanyak 110.622 kasus atau 7,33 % dan pada tahun 2006
peringkat ke III sebanyak 52.147 kasus atau 9,87 %, dan pada tahun 2008 urutan 7 yang
mana mengalami penurunan 4,21% atau 65.282, sedangkan pada tahun 2011 mengalami
peningkatan yang sepesifik yaitu 77.521 menjadi peringkat ke 4 dengan demikin hiertensi
merupakan maslah kesehatan yang ada di 10 (sepuluh) besar penyakit yang diderita
masyarakat tiap tahunnya ( DINKES Provinsi Lampung, 2004, 2005, 2006, 2008, 2011).
Penyakit hiertensi di kabupaten Mesuji pada tahun 2011 mencapai 14.746 kasus,
dengan data ini penyakit hipertensi masuk kedalam 10 penyakit terbesar yang menjadi
perhatian khusus Dinas kesehatan Mesuji ( DINKES Mesuji, 2011).
Menurut data yang di peroleh dari puskesmas simpang pematang, penyakit
hipertensi pada lanjut usia cenderung mengalami peningkatan dengan data presentasinya
pada tahun 2008 dari 410 kasus hipertensi, 40% atau 167 kasus terjadi pada lansia. Hal
ini cenderung meningkat pada tahun 2012 terdapat peningkatan cukup tinggi dari 494
kasus, 47,36% atau 234 kasus yang terjadi pada lansia. Data tersebut dapat di buat
diagram pertahunnya sebagai berikut :
Table 1,1. distribusi penyakit hipertensi berdasarkan presentasi lanjut usia
pertahunya yang mengalami hipertensi di wilayah kerja puskesmas simpang pematang
priode 2008-2012.







Sumber : LB 1 puskesmas simpang pematang kabupaten Mesuji 2008-2012
hasil pra survey pada usia lanjut yang dilakukan peneliti wilayah kerja puskesmas
simpang pematang dari 10 orang lanjut usia, didapatkan 6 orang (60%) mengalami
hipertensi dan 4 orang (40%) tidak mengalami hipertensi, 5 orang (50%) pola makan
tinggi garam dan 5 orang (50%) rendah garam, 4 orang (40%) merokok dan 6 orang
(60%) tidak merokok , 5 orang (50%) tidak berolah raga dan 5 orang (50%) berolah raga,
7 orang (70%) stres dan 3 orang (30%) tidak stres.
Dari data diatas dapat diketahui bahwa sebagian besar penyakit hipertensi di
wilayah kerja Puskesmas simpang pematang kabupaten mesuji presentasi tertinggi terjadi
pada lanjut usia. Berdasarkan latar belakang tersebut peneliti tertarik untuk melakukan
penelitian dengan judul: Hubungan Gaya Hidup Dengan Kejadian Penyakit
Hipertensi Pada Usia Lanjut di Wilayah Kerja Puskesmas simpang pematang
Kabupaten Mesuji provinsi lampung tahun 2013.
1.2 Perumusan Masalah
Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah : Apakah ada hubungan antara
gaya hidup dengan kejadian penyakit hipertensi pada usia lanjut di wilayah kerja
Puskesmas simpang pematang Kabupaten mesuji provinsi lampung.
1.3 Tujuan Penelitian
a. Tujuan Umum
Untuk mengetahui hubungan gaya hidup dengan kejadian penyakit hipertensi pada Lanjut
usia di wilayah kerja Puskesmas simpang pematang Kabupaten mesuji provinsi lampung.
b. Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui distribusi frekuensi penyakit hipertensi pada lanjut usia.
2. Untuk mengetahui distribusi frekuensi konsumsi Natrim (Na) pada usia lanjut.
3. Untuk mengetahui distribusi frekuensi olahraga pada usia lanjut.
4. Untuk mengetahui distribusi frekuensi kebiasaan merokok pada usia laanjut.
5. Untuk mengetahui distribusi frekuensi stres pada usia lanjut.
6. Untuk mengetahui hubungan konsumsi natrium (Na) terhadap kejadian penyakit
hipertensi pada usia lanjut.
7. Untuk mengetahui hubungan olahraga terhadap kejadian penyakit hipertensi pada usia
lanjut.
8. Untuk mengetahui hubungan merokok terhadap kejadian penyakit hipertensi pada usia
lanjut.
9. Untuk mengetahui hubungan stres terhadap kejadian penyakit hipertensi pada usia lanjut.

1.4 Manfaat Penelitian
1. Bagi Praktis atau aplikatif
Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk masukan dalam rangka meningkatkan
upaya-upaya pencegahan Hipertensi kususnya pada lansia di wilayah kerja puskesmas
Simpang Pematang Kab. Mesuji.
2. Bagi Teoritis atau Akademis
1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan peneliti khususnya tentang
penyakit hipertensi sehingga dapat menerapkan ilmu yang didapat selama perkuliahan
kedalam masyarakat sehingga dapat membantu meningkatkan wawasan masyarakat.


2. Bagi Institusi Pendidikan
Menambah khasanah kepustakaan yang dapat dijadikan salah satu rujukan dalam
pembuatan tugas-tugas kemahasiswaan terkait dengan pengembangan ilmu keperawatan
di universitas malahayati.
3. Bagi objek penelitian
Sebagai bahan masukan untuk mnejadi dasar petimbangan resonden untuk pentingnya
mengontrol kesehatanya.
4. Bagi peneliti selanjutnya
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan bahan penelitiandan menambah
wawasan ilmu pengetahuan khususnya tentang penyakit hipertensi.

1.5 Ruang lingkup
Dalam penelitian ini penulis membatasi ruang lingkup penelitian sebagai berikut : jenis
penelitian kuantitatif, desain penelitian ini analitik pendekatan cross sectional, objek
dalam penelitian ini sebagai variabel independent yaitu gaya hidup (konsumsi tinggi
natrium, olahraga, merokok dan stres) dan sebagai variabel dependent adalah kejadian
penyakit hipertensi pada lanjut usia, sabjek penelitian ini adalah lanjut usia di wilayah
kerja Puskesmas Simpang Pematang Kab. Mesuji Provinsi lampung, dan waktu penelitian
bulan Maret Mei 2013.



BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Hipertensi
2.1.1 Definisi Hipertensi
Hipertensi adalah penyakit kelainan jantung dan pembulu darah yang ditandai dengan
peningkatan tekanan darah, yaitu peningkatan tekanan darah yang menetap di atas batas
normal yaitu sistolik 140 mmHg dan diastolik 90 mmHg ((Dewi & Familia 2010; Wilson,
2006).
Hipertensi adalah keadaan peningkatan tekanan darah yang memberikan gejala yang
akan berlanjut untuk suatu target organ seperti stroke (untuk otak), penyakit jantung
koroner (untuk pembuluh darah), dan left ventricle hypertrophy (untuk otot jantung).
Dengan target di otak yang berupa stroke, hipertensi adalah penyebab utama stroke yang
membawa kematian yang tinggi (Bustan, 2000).
Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah sistolik dan diastolik yang menetap.
Pada waktu anda membaca tekanan darah bagian atas adalah tekanan darah sistolik,
sedangkan bagian bawah adalah tekanan diastolik. Tekanan sistolik (bagian atas) adalah
tekanan puncak yang tercapai pada waktu jantung berkontraksi dan memompakan darah
melalui arteri. Sedangkan tekanan diastolik (angka bawah) adalah tekanan pada waktu
jatuh ke titik terendah dalam arteri. Secara sederhana seseorang disebut hipertensi apabila
tekanan darah sistolik di atas 140 mmHg dan tekanan diastolik lebih besar dari 90
mmHg. Tekanan darah yang ideal adalah 120/80 mmHg (Sunardi, 2000).
Jadi dapat disimpulkan menurut peneliti Hipertensi adalah keadaan peningkatan
tekanan darah dengan hasil pengukuran tekanan darah diatas batas normal yaitu 140/90
mmHg, yang dilakukan dua kali dengan selisih waktu 5 10 menit dengan hasil diatas
batas normal dan yang menjadi landasanya adalah hasil pengukuran yang paling tinggi.
.
2.1.2 Klasifikasi Hipertensi
1. Klasifikasi berdasarkan Etiologi
a. Hipertensi Esensial atau Primer
Tidak jelas penyebabnya dan merupakan sebagian besar 90% dari seluruh
kejadian hipertensi. Hipertensi esensial adalah penyakit multifaktoral yang timbul
terutama karena interaksi antara faktor-faktor risiko tertentu. Hipertensi primer ini tidak
dapat disembuhkan tetapi dapat dikontrol (Ditjen Bina Kefarmasian, 2006;Yogiantoro,
2006).
Penyebab pertama hipertensi yaitu gaya hidup modern, sebab dalam gaya hidup
modern situasi penuh tekanan dan stres. Dalam kondisi tertekan, adrenalin dan kortisol
dilepaskan ke aliran darah sehingga menyebabkan peningkatan tekanan darah. Gaya
hidup yang penuh kesibukan juga membuat orang kurang berolah raga dan berusaha
mengatasi stresnya dengan merokok, minum alkohol atau kopi sehingga risiko terkena
hipertensi menjadi lebih tinggi. Kedua yaitu pola makan yang salah dan yang ketiga
adalah berat badan berlebih (Gunawan, 2004).
b. Hipertensi sekunder
Hipertensi sekunder adalah hipertensi yang penyebabnya dapat diketahui, sering
berhubungan dengan beberapa penyakit misalnya ginjal, jantung koroner, diabetes,
kelainan sistem syaraf pusat. Jumlah kejadiannya mencapai 10% (Sunardi, 2000).
Hipertensi sekunder adalah hipertensi yang disebabkan sebagai akibat dari adanya
penyakit lain. Jika penyebabnya diketahui, maka disebut hipertensi sekunder. Pada
sekitar 5 - 10 % penderita hipertensi, penyebabnya adalah penyakit ginjal. Pada sekitar 1
2 % penyebabnya adalah kelainan hormon atau pemakaian obat tertentu misalnya pil
KB (Nugroho, 1995).
2. Klasifikasi berdasarkan derajat Hipertensi
Berikut ini adalah klasifikasi tekanan darah pada orang dewasa berdasarkan JNC-VII
(The Joint National Committee On Prevention, Detection Evaluation, and Treatment Of
High Blood Pressure (JNC, 7)
Kategori Tekanan darah sistolik
mmHg
Tekanan darah diastolic
mmHg
Normal 120 < 80
Pre hipertensi 120 139 80 89
Stadium 1
Hipertensi ringan
(mild hypertension)
140 159 90 99
Stadium 2
Hipertensi sedang
(moderate Hypertension)
160 159 100 109
Stadim 3
Hiertensi berat
(severe Hypertension)
180 209 110 119
Stadium 4
Hipertension maligna
(very severe Hypertension)
210 atau lebih 120 atau lebih
Sumber : Gray, 2005
2.1.3 Cara Pengukuran Tekanan Darah
1. Atur posisi klien yang nyaman
2. Letakkan lengan yang hendak diukur dalam posisi terlentang.
3. Jika klien menggunakan lengan baju sebaiknya dibuka.
4. Pasang manset pada lengan kanan/kiri atas sekitar 3 cm diatas fossa cubiti (jangan terlalu
ketat maupun terlalu longgar).
5. Tentukan denyut nadi arteri radialis dekstra/sinistra.
6. Pompa balon udara manset sampai denyut nadi arteri radialis tidak teraba.
7. Pompa terus sampai manometer setinggi 200 mmHg dari titik radialis tidak teraba.
8. Letakkan diaragma stetoskop diatas brangkialis dan dengarkan.
9. Kempeskan balon udara manset secara perlahan dan berkesinambungan dengan memutar
sekrup pada pompa udara berlawanan arah jarum jam.
10. Catat air raksa manometer saat pertama kali terdengar kembali denyut.
11. Catat tinggi air raksa pada manometer yaitu suara korotkoff 1 menunjukan besarnya
tekanan sistolik dan suara korotkoff 5 menunjukkan besarnya diastolik ( Hidayat, 2012).
2.1.4 Faktor-faktor yang berhubungan dengan Hipertensi
Faktor risiko hipertensi bukanlah penyebab dari timbulnya penyakit hipertensi. Faktor
risiko hanyalah pemicu munculnya suatu pernyakit, berikut ini beberapa faktor risiko
timbulnya hipertensi adalah sebagai berikut :
1. Umur
Dengan bertambahnya umur, risiko terkena hipertensi menjadi lebih besar sehingga
prevalensi hipertensi dikalangan usia lanjut cukup tinggi, yaitu sekitar 40%, dengan
kematian sekitar diatas usia 65 tahun (Depkes, 2006).
Hipertensi berdasarkan gender ini dapat dipengaruhi oleh faktor psikologis. Wanita
seringkali mengadopsi perilaku tidak sehat seperti merokok dan pola makan yang tidak
seimbang sehingga menyebabkan kelebihan berat badan, depresi dan rendahnya status
pekerjaan. Sedangkan kaum pria lebih berkaitan erat dengan pekerjaan seperti perasaan
kurang nyaman terhadap pekerjaan dan pengangguran (Sutanto, 2010).
Menurut Krummel (2004) memaparkan bahwa tekanan sistolik terus meningkat
sampai usia 80 tahun dan tekanan diastolik terus meningkat sampai usia 55-60 tahun,
kemudian berkurang secara perlahan atau bahkan menurun drastis.
Penyakit hipertensi umumnya berkembang pada saat umur seseorang mencapai paruh
baya yakni cenderung meningkat khususnya yang berusia lebih dari 40 tahun bahkan
pada usia lebih dari 60 tahun keatas. Setelah usia 45 tahun terjadi peningkatan resistensi
perifer dan aktivitas simpatik. Dinding arteri akan mengalami penebalan oleh karena
adanya penumpukan zat kolagen pada lapisan otot, sehingga pembuluh darah akan
berangsur-angsur menyempit dan menjadi kaku. Disamping itu, pada lanjut usia
sensitivitas pengaturan tekanan darah yaitu refleks baroreseptor mulai berkurang,
demikian juga halnya dengan peran ginjal, dimana aliran darah ginjal dan laju filtrasi
glomerulus menurun (Kumar, et all, 2005 ).

2. Jenis kelamin
Faktor gender berpengaruh pada terjadinya hipertensi, dimana pria lebih banyak
dibandingkan wanita. Pria diduga memiliki gaya hidup yang cenderung dapat
meningkatkan tekanan darah dibanding wanita. Namun setelah memasuki menopouse,
prevalensi hipertensi pada wanita meningkat (Depkes, 2006).
Wanita yang belum mengalami menopause dilindungi oleh hormone estrogen yang
berperan dalam meningkatkan kadar High Density Lipoprotein (HDL). Kadar kolesterol
HDL yang tinggi merupakan faktor pelindung dalam mencegah terjadinya proses
arterosklerosis. Efek perlindungan estrogen dianggap sebagai penjelasan adanya imunitas
wanita pada usia premenopause. Pada premenopause wanita mulai kehilangan sedikit
demi sedikit hormon estrogen yang selama ini melindungi pembuluh darah dari
kerusakan. Proses ini terus berlanjut dimana hormon estrogen tersebut berubah
kuantitasnya sesuai dengan umur wanita secara alami, yang umumnya mulai terjadi pada
wanita umur 45-55 tahun (Kumar, 2005).

3. Riwayat keluarga
Riwayat keluarga mempertinggi risiko terkena penyakit hipertensi, terutama pada
hipertensi primer (esensial). Tentunya faktor genetik ini juga dipengaruhi faktor-faktor
lingkungan lain. Faktor genetik juga berkaitan dengan metabolisme pengaturan garam
dan renin membran sel (Depkes, 2006).
Hipertensi cenderung merupakan penyakit keturunan. Jika seorang dari orang tua kita
mempunyai hipertensi maka sepanjang hidup kita mempunyai 25% kemungkinan terkena
hiertensi juga. Jika kedua orang tua kita mempunyai hipertensi, kemungkinan kita
mendapatkan penyakit tersebut 60% (Sheps, 2005).
Peran faktor genetik terhadap timbulnya hipertensi terbukti dengan ditemukannya
kejadian bahwa hipertensi lebih banyak pada kembar monozigot (satu sel telur) daripada
heterozigot (berbeda sel telur). Seorang penderita yang mempunyai sifat genetik
hipertensi primer (esensial) apabila dibiarkan secara alamiah tanpa intervensi terapi,
bersama lingkungannya akan menyebabkan hipertensinya berkembang dan dalam waktu
sekitar 30-50 tahun akan timbul tanda dan gejala (Sutanto, 2010).


4. Etnis
Hipertensi lebih banyak terjadi pada orang berkulit hitam daripada yang berkulit
putih, serta lebih besar tingkat morbiditas maupun mortalitasnya. Sampai saat ini, belum
diketahui secara pasti penyebabnya. Beberapa peneliti menyebutkan bahwa terdapat
kelainan pada gen angiotensinogen tetapi mekanismenya mungkin bersifak poligenik
(Gray, 2005).
Berbagai golongan etnik dapat berbeda dalam kebiasaan makan, susunan genetika,
dan sebagainya yang dapat mengakibatkan angka kesakitan dan kematian. Salah satu
contoh dari pengaruh pola makan yaitu angka tertinggi hipertensi di Indonesia tahun 2000
adalah suku Minang. Hal ini dikarenakan suku Minang atau orang yang tinggal di pantai,
biasanya mengkonsumsi garam lebih banyak dan menyukai makanan asin (Cahyono,
2008).

5. Obesitas
Obesitas juga erat kaitannya dengan kegemaran mengkonsumsi makanan yang
mengandung tinggi lemak. Obesitas meningkatkan risiko terjadinya hipertensi karena
beberapa sebab. Makin besar masa tubuh, makin banyak darah yang dibutuhkan untuk
memasok oksigen dan makanan ke jaringan tubuh. Ini berarti volume darah yang beredar
melalui pembuluh darah menjadi meningkat sehingga memberi tekanan lebih besar pada
dinding arteri, yang akan meimbulkan terjadinya kenaikan tekanan darah. Selain itu,
kelebihan berat badan juga meningkatkan frekuensi denyut jantung (Sheps, 2005).
Sedangkan hipertensi pada seseorang yang kurus atau normal bisa juga disebabkan
oleh sistem saraf simpatis dan sistem renin angiotensin (Suhardjono, 2006).
Aktivitas dari saraf simpatis adalah mengatur fungsi saraf dan hormon, sehingga
dapat meningkatkan denyut jantung, menyempitkan pembuluh darah, dan meningkatkan
retensi air dan garam (Syaifudin, 2006).
Dan pada sistem renin-angiotensin, rennin memicu produksi aldosteron yang akan
mempengaruhi ginjal untuk menahan air dan natrium sedangkan angiotensin akan
mengecilkan diameter pembuluh darah sehingga tekanan darah akan naik (Gray, 2005)

6. Konsumsi natrium (Na)
Konsumsi natrium yang berlebih menyebabkan peningkatan jumlah natrium
didalam cairan ekstraseluler meningkat. Untuk menormalkannya kembali, cairan
intraseluler harus ditarik keluar sehingga volume cairan ekstraseluler meningkat.
Meningkatnya volume cairan ekstraseluler tersebut menyebabkan meningkatanya volume
darah, sehingga berdampak pada timbulnya hipertensi (Sutanto, 2010).
Disamping itu, diet tinggi garam dapat mengecilkan diameter dari arteri. Sehingga
jantung harus memompa lebih keras untuk mendorong volume darah yang meningkat
melalui ruang yang makin sempit. Maka terjadilah penyakit hipertensi. Diet yang
mengandung 500 mg Na dapat mempertahankan kadar Na yang normal dalam tubuh.
Asupan yang melebihi jumlah ini didasarkan atas rasa bukan kebutuhan. Makanan yang
sudah diproses biasanya mengandung Na yang tinggi. Pada umumnya, makin diproses
suatu makanan maka makin tinggi kandungan garamnya (Hull, 1996).

7. Konsumsi lemak
Diet tinggi lemak berkaitan dengan kenaikan tekanan darah. Penurunan konsumsi
lemak jenuh, terutama lemak dalam makanan yang bersumber dari hewan dan
peningkatan konsumsi lemak tidak jenuh polivalen secukupnya yang berasal dari minyak
sayuran, biji-bijian, dan makanan lain yang bersumber dari tanaman dapat menurunkan
tekanan darah (Hull, 1996).
Komponen lemak polivalen tidak jenuh, yang disebut asam lemak esensial,
merupakan rintangan untuk zat-zat yang mirip hormon didalam darah yang disebut
prostaglandin. Beberapa jenis prostaglandin membantu mengatur tekanan darah dengan
melebarkan pembuluh darah dan meningkatkan diameter dari arteri dan mengurangi
jumlah darah yang harus dipompa oleh jantung. Tekanan darah berkurang bila asupan
asam lemak esensisal dalam diet ditingkatkan. Lemak merupakan 42% dari kalori total
yang dikonsumsi dalam diet rata-rata orang Amerika. Tekanan darah menurun bila lemak
dikurangi sampai 25% dari total kalori (Hull, 1996).
8. Konsumsi Alkohol
Alkohol dapat menaikkan tekanan darah, memperlemah jantung, mengentalkan
darah dan menyebabkan kejang arteri (Sutanto, 2010).
Beberapa studi menunjukkan hubungan langsung antara tekanan darah dan asupan
alkohol, diantaranya bahwa efek terhadap tekanan darah baru nampak apabila
mengkonsumsi alkohol sekitar dua sampai tiga gelas ukuran standar setiap harinya. Di
negara barat seperti Amerika, konsumsi alkohol yang berlebihan berpengaruh terhadap
terjadinya hipertensi. Sekitar 10% hipertensi di Amerika disebabkan oleh asupan alkohol
yang berlebihan dikalangan pria usia 40 tahun keatas (Depkes, 2006).
Konsumsi alkohol seharusnya kurang dari dua kali per hari pada lakilaki untuk
pencegahan peningkatan tekanan darah. Bagi perempuan dan orang yang memiliki berat
badan berlebih, direkomendasikan tidak lebih dari 1 kali minum per hari (Krummel,
2004).

9. Kelainan Ginjal
Penurunan fungsi ginjal dalam penyaringan darah, menyebabkan sisa metabolisme
yang seharusnya dibuang ikut beredar kembali ke bagian tubuh yang lain, Akibatnya
volume darah total meningkat sehingga darah yang dikeluarkan jantung juga miningkat.
Hal ini mengakibatkan darah yang beredar melalui kapiler jaringan meningkat sehingga
terjadi penyempitan kapiler dan menyebabkan tekanan darah meningkat (Dewi &
Femilia, 2010).
10. Merokok
Rokok mengandung ribuan zat kimia bebahaya bagi kesehatan tubuh, zat kimia
tersebut yang berbahaya antara lain Nikotin, Tar dan Karbon monoksida. Nikotin adalah
senyawa alkaloid yang merupakan zat racun yang mampu membuat pembuluh arteri
mengeras, serta menimbulkan penumpukan lemak di saluran arteri pada jantung,
akibatnya darah tidak terpompa secara baik melalui jantung. Tar meruakan zat yang dapat
menyebabkan kekentalan darah, sehingga jantung harus memompa darah lebih kuat lagi.
Nikotin juga dapat memacu pengeluaran zat catecolamine tubuh seperti hormon
adrenalin, hormone tersebut dapat memacu jantung untuk berdetak lebih kencang,
Akibatnya tekanan darah dan volume darah menjadi meningkat serta jantung menjadi
lebih cepat lelah. Karbon monoksida (CO) dapat meningkatkan keasaman sel darah,
akibatanya darah menjadi lebih kental dan menempel kedalam pembulu darah sehingga
memaksa jantung bekerja lebih kuat lagi dan akibatnya tekanan daarah meningkat (Dewi
& Femilia, 2010).
Hasil DEPKES RI bahwa dalam satu batang rokok terkandung 4000 racun kimia
berbahaya termasuk 43 senyawa yang data membahayakan tubuh. Bahan utama rokok
terdiri dari 3 zat, yaitu 1) Nikotin, merupakan salah satu jenis obat perangsang yang dapat
merusak jantung dan sirkulasi darah dengan adanya penyempitan pembuluh darah,
peningkatan denyut jantung, pengerasan pembuluh darah dan pengumpalan darah. 2) Tar,
dapat mengakibatkan kerusakan sel paru-paru dan menyebabkan kanker. 3) Karbon
Monoksida (CO), merupakan gas beracun yang dapat mengakibatkan berkurangnya
kemampuan darah membawa oksigen. Gas CO yang dihisap dapat menurunkan kapasitas
sel darah merah untuk mengangkut oksigen, sehingga sel-sel tubuh akan mati. Di tubuh
perokok, tempat untuk O2 ditempati oleh CO, karena kemampuan darah 200 kali lebih
besar untuk mengikat CO ketimbang O2. Akibatnya otak, jantung dan organ vital tubuh
lainnya akan kekurangan oksigen. Jika jaringan yang kekurangan oksigen adalah otak,
maka akan terjadi stroke (kelumpuhan). Bila yang kekurangan oksigen adalah jantung,
maka akan terjadi serangan jantung. Zat kimia dalam tembakau dapat merusak lapisan
dalam dinding arteri sehingga arteri rentan terhadap penumpukan plak (Depkes, 2008).

11. Olahraga
Olahraga sering dihubungkan dengan pengobatan hipertensi, hal ini dikarenakan
olahraga yang teratur dapat melancarkan peredaran darah sehingga dapat menurunkan
tekanan darah, menurunkan obesita dan dapat mengurangi asupan garam ke dalam tubuh
(Dewi & Familia, 2010).
Olahraga dapat menurunkan risiko penyakit jantung koroner melalui mekanisme;
penurunan denyut jantung dan tekanan darah, penurunan tonus saraf simpatik,
meningkatkan diameter arteri koroner, dan sistem kolateralisasi pembuluh darah,
meningkatkan HDL dan menurunkan LDL darah. Melalui kegiatan olahraga, jantung
dapat bekerja secara lebih efisien ( Lee, 2002).
Frekuensi denyut nadi berkurang, namun kekuatan memompa jantung semakin
kuat, penurunan kebutuhan oksigen jantung pada intensitas tertentu, penurunan lemak
dan berat badan serta menurunkan tekanan darah (Cahyono, 2008).
Berbagai penelitian menyebutkan bahwa berolahraga secara teratur merupakan
intervensi pertama untuk mengendalikan berbagai penyakit degeneratif (tidak menular).
Hasilnya secara teratur terbukti bermanfaat untuk menurunkan tekanan darah,
mengurangi risiko stroke, serangan jantung, dan lain-lain. Pengaruh olahraga dalam
jangka panjang sekitar 4-6 bulan dapat menurunkan tekanan darah sebesar 7,4/5,8 mmHg
tanpa bantuan obat hipertensi. Pengaruh penurunan tekanan darah ini dapat berlangsung
sampai sekitar 20 jam setelah berolahraga (Sutanto, 2010).

12. Stres
Stres adalah respon fisiologi, psikologi, dan perilaku seseorang individu dalam
menghadapi penyesuaian diri terhadap tekanan yang bersifat internal maupun eksternal
(Cahyono, 2008).
Stres adalah respon tubuh yang sifatnya non spesifik terhadap setiap tuntutan
beban (stresor psikososial) yang berdampak pada sistem kardiovaskuler. Stresor
Psikososial itu sendiri terdiri dari: perkawinan, orangtua, antar pribadi, pekerjaan,
lingkungan, keuangan, hukum, perkembangan, penyakit fisik, faktor keluarga, dan
trauma (Hawari, 2001).
stres atau ketegangan jiwa (rasa murung, tertekan, marah, dendam, takut dan
bersalah). Ketika otak menerima sinyal bahwa seseorang sedang stres, perintah untuk
meningkatkan sistem saraf simpatik berjalan dan mengakibatkan hormon stress dan
adrenalin meningkat. Hati melepaskan gula dan lemak dalam darah untuk menambah
bahan bakar. Nafas menjadi lebih cepat sehingga jumlah oksigen bertambah. Sehingga
menyebabkan kerja jantung menjadi semakin cepat (Depkes RI, 2006).

2.1.5 Diagnosis Hipertensi
Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah yang menetap di atas batas normal
yaitu sistolik 140 mmHg dan diastolik 90 mmHg, dengan cara pengukuran darah minimal
2 kali dan pastikan tidak ada perbedaan antara kedua lengan. Jika terdapat perbedaan,
lengan yang mempunyai angka lebih tinggi digunakan sebagai patokan pengukuran
berikutnya. Dalam setiap kesempatan pengukuran tekanan darah harus di usahakan 2 kali
dengan jarak cukup lama (paling sedikit 5-10 menit)(Wilson, 2006; Gray.,et al.,2005).
Menurut Depkes (2006), upaya deteksi faktor risiko penyakit hipertensi dilakukan
dalam beberapa tahapan sebagai berikut :
1. Wawancara dengan menggunakan kuesioner yang meliputi identitas diri, riwayat
penyakit, riwayat anggota keluarga, perubahan aktifitas atau kebiasaan (seperti merokok,
konsumsi makanan, riwayat dan faktor psikososial lingkungan keluarga, dan lain-lain)
2. Pengukuran tekanan darah.
3. Pengukuran indeks antropometri, seperti pengukuran berat badan dan tinggi badan.
4. Pemeriksaan penunjang. Menurut Mansjoer, dkk (2001) dalam Sugihartono (2007),
pemeriksaan penunjang meliputi pemeriksaan laboratorium rutin yang dilakukan sebelum
memulai terapi bertujuan menentukan adanya kerusakan organ dan faktor risiko lain atau
mencari penyebab hipertensi. Biasanya diperiksa urinalisa, darah perifer lengkap, kimia
darah (kalium, natrium, kreatinin, gula darah puasa, kolesterol total, kolesterol HDL).

2.1.6 Gejala Klinis Hipertensi
Gejala-gejala penyakit yang biasa terjadi baik pada penderita hipertensi yaitu sakit
kepala, pusing, gelisah, jantung berdebar, perdarahan hidung, sukar tidur, sesak nafas,
cepat marah, telinga berdenging, tekuk terasa berat, berdebar dan sering kencing di
malam hari. Gejala akibat komplikasi hipertensi yang pernah dijumpai meliputi
gangguan; penglihatan, saraf, jantung, fungsi ginjal dan gangguan serebral (otak) yang
mengakibatkan kejang dan perdarahan pembuluh darah otak yang mengakibatkan
kelumpuhan, ganguan kesadaran hingga koma (Cahyono, 2008).

2.1.7 Patofisiologi Hipertensi
pada kondisi asupan garam yang berlebihan tubuh tidak dapat menahan terlalu
banyak air sehingga volume cairan darah akan meningkat tampa disertai penambahan
ruang pada pembulu darah, selain itu berbagai faktor kecemasan, ketakutan, rokok,
kurangnya berolahraga dan penyakit ginjal dll, ini dapat mempengaruhi respon pembulu
darah. Hal ini dapat merespon sistem syaraf simpatis merangsang pembulu darah..
Medulla adrenal (kelenjar enghasil hormone yang berada diatas ginjal) mengeluarkan
efinefrin (adrenalin) yang menyebabkan vasokontraksi (penyempitan) pembulu darah.
Vasokontraksi menyebabkan aliran darah ke ginjal berkurang sehingga menyebabkan
pelepasan rennin oleh ginjal. Mekanisme terjadinya hipertensi diawali dengan
pembentukan angiotensin II dari angiotensi I oleh Angiotensin converting enzyme (ACE).
ACE memegang peranan fisiologis penting dalam mengatur tekanan darah. Darah
mengandung angiotenigen yang diproduksi oleh hati. Selanjutnya oleh hormon renin
(diproduksi oleh ginjal) akan diubah menjadi angiotensin I, oleh ACE oleh paru-paru,
angiotensi I diubah menjadi angiotensin II. Angiotensin II inilah yang memiliki peran
kunci dalam menaikan tekanan darah. Angiotensi II adalah zat yang terjadi secara alami
yang menyebabkan terjadinya kenaikan tekanan darah melalui vasokontriksi pembulu
darah dan retensi (penyimpangan) garam dan air. Mekanisme kerja angiotensi II adalah
sebagai berikut : pertama adalah meningkatkan skresi hormon antidiuretik (ADH) dan
rasa haus. ADH diprodusi oleh hipotalamus (klenjar pituitary) dan bekerja pada ginjal
untuk mengatur osmolalitas dan volume urine. Dengan meningkatnya ADH, sangat
sedikit urin yang dieksekresikan ke luar tubuh, sehingga menjadi tinggi osmolalitasnya
(pekat). Untuk mengencerkanya, volume ekstraseluler akan ditingkatkan dengan cara
menarik cairan dari bagian intraseluler. Akibatnya, volume darah meningkat, yang pada
akhirnya akan meningkatkan tekanan darah. Kedua adalah menstimulasi aldosteron dari
kortek adrenal. Aldosteron meruakan hormon streroid yang memiliki peranan penting
dalam ginjal. Untuk mengatur volume cairan ekstraseluler, Aldosteron akan mengurangi
ekskresi NaCl dengan cara mereabsobsi dari tubulus ginjal. Naiknya konsentrasi NaCl
akan diencerkan kembali dengan cara meningkatkan volume cairan ekstraseluler yang
pada giliranya akan meningkatkan volume dan tekanan darah (Sylvia, 2005).

2.1.8 Komplikasi Hipertensi
Tekanan darah tinggi dalam jangka waktu lama akan merusak endothel arteri dan
mempercepat artherosklerosis. Bila penderita memiliki faktor-faktor risiko
kardiovaskular lain, maka akan meningkatkan mortalitas dan morbiditas akibat gangguan
kardiovaskularnya tersebut. Menurut Studi Farmingham, pasien dengan hipertensi
mempunyai peningkatan risiko terkena penyakit koroner, stroke, penyakit arteri perifer,
dan gagal jantung (Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, 2006).
Dalam Gray (2005) dan Suhardjono (2006), hipertensi yang tidak diobati akan
mempengaruhi semua sistem organ dan akhirnya akan memperpendek harapan hidup
sebesar 10-20 tahun. Selain itu penurunan tekanan darah dapat mencegah demensia dan
penurunan kognitif pada usia lanjut. Kemunduran kognitif ditandai dengan lupa pada hal-
hal yang baru, akan tetapi masih dapat melakukan aktifitas sehari-hari. Kerusakan organ
yang terjadi berkaitan dengan derajat keparahan hipertensi. Perubahanperubahan utama
organ yang terjadi akibat hipertensi dapat dilihat dibawah ini:
1. Jantung menyebabkan Komplikasi berupa infark miokard, angina pectoris, gagal jantung.
2. Ginjal menyebabkan terjadinya gagal ginjal karena kerusakan progresif akibat tekanan
tinggi pada kapiler-kapiler ginjal, glomerolus. Dengan rusaknya glomerolus, darah akan
mengalir ke unit-unit fungsional ginjal, nefron akan terganggu dan dapat berlanjut
menjadi hipoksik dan kematian. Dengan rusaknya membran glomerous, protein akan
keluar melalui urin sehingga tekanan osmotik koloid plasma berkurang, menyebabkan
edema yang sering dijumpai pada hipertensi kronik.
3. Otak menyebabkan komplikasi berupa stroke dan serangan iskemik. Stroke dapat timbul
akibat pendarahan tekanan tinggi di otak, atau akibat embulus yang terlepas dari
pembuluh non-otak yang terpajan tekanan tinggi. Stroke dapat terjadi pada hipertensi
kronik apabila arteri-arteri yang memperdarahi otak mengalami hipertrofi dan menebal,
sehingga aliran darah ke daerah-daerah yang diperdarahi berkurang. Arteri-arteri otak
yang mengalami arterosklerosis dapat melemah sehingga meningkatkan kemungkinan
terbentuknya anurisma.
4. Mata menyebabkan komplikasi berupa perdarahan retina, gangguan penglihatan sampai
dengan kebutaan.
5. Pembuluh perifer Penelitian meta-analisis yang melibatkan lebih dari 420.000 pasien
telah menunjukkan hubungan yang kontinyu dan independen antara tekanan darah
dengan stroke dan penyakit jantung koroner. Peningkatan tekanan diatolik >10 mmHg
dalam jangka panjang akan meningkatkan risiko stroke sebesar 56% dan penyakit jantung
koroner sebesar 37% (Gray, 2005).
6. Diabetes melitus atau yang sering dikenal dengan penyakit kencing manis merupakan
gangguan pengolahan gula (glukosa) oleh tubuh karena kekurangan insulin.

2.1.9 Penatalaksaan Hipertensi
Diketahui bahwa tingginya pendidikan dan pendapat pada masyarakat memiliki
kemampuan yang lebih dalam memanfaatkan pelayanan kesehatan untuk melakukan
pengobatan sedangkan dengan pendapatan yang rendah kurang memanfaatkan pelayanan
kesehatan yang ada, mungkin oleh karena tidak mempunyai uang yang cukup untuk
membeli obat atau keperluan yang lain, hal itu dapat mengakibatkan penyakit yang
diderita bertambah parah (Baliwati, 2004).
a. Penatalaksanaan Non Farmakologis atau Perubahan Gaya Hidup
Terapi nonfarmakologis harus dilaksanakan oleh semua pasien hipertensi dengan
tujuan menurunkan tekanan darah dan mengendalikan faktor-faktor resiko serta penyakit
lain. Terapi nonfarmakologis meliputi : menghentikan merokok, menurunkan berat badan
berlebih, menurunkan konsumsi alkohol berlebih, latihan fisik serta menurunkan asupan
garam (Yogiantoro, 2006).
Meningkatkan konsumsi asupan buah dan sayur serta menurunkan asupan lemak.
Menerapkan gaya hidup sehat bagi setiap orang sangat penting untuk mencegah tekanan
darah tinggi dan merupakan bagian yang penting dalam penanganan hipertensi (Ditjen
Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, 2006).
b. Penatalaksanaan Farmakologis
1. Diuretik yaitu Hidroklorotiazid untuk Hipertensi ringan untuk retensi cairan.
2. Sipatolitik yaitu pengahambat resetor beta
3. Vasodilator arteriol
4. Antagonis angiotensin (ACE inhibitor)
5. Bloker kalsium antagonis.

2.2 Lanjut usia
Lansia merupakan kelompok umur dimana terjadi penurunan kondisi fisik/biologis,
kondisi psikologis, serta perubahan kondisi sosial. Menurut UU No.13 Tahun 1998
dinyatakan bahwa usia 60 tahun ke atas adalah yang paling layak disebut lanjut usia.
Menurut Smith (1999), menggolongkan usia lanjut menjadi tiga yaitu: young old (65-74
tahun); middle old (75-84 tahun) dan old-old (lebih dari 85 tahun).
Sedangkan menurut WHO, lansia dapat diklasifikasikan menjadi usia pertengahan
(middle age) 45-59 tahun, lansia (elderly) 60-74 tahun, lansia tua (old) 75-90 tahun,
lansia sangat tua (very old) diatas 90 tahun.
Menjadi lansia secara alami akan dialami oleh setiap orang. Prosesnya tidak dapat
dihindari. Kekuatan fisik dan daya tahan tubuh pada lansia telah menurun, serta
mekanisme kerja organ tubuh mulai terganggu. Berikut ini merupakan kedaan fisiologis
lansia, yaitu:
1. Proses menjadi tua merupakan proses alami secara fisiologis dan biologis yang terjadi
pada seluruh organ dan sel tubuh.
2. Berkurangnya kemampuan sensitifitas indera penciuman dan perasa pada lansia
mengakibatkan selera makan menurun. Hal itu sering menyebabkan kurangnya asupan
atau penggunaan bumbu, seperti kecap atau garam. Pada lansia cenderung berlebihan
dalam penggunaannya dan hal ini akan berdampak pada menurunnya kesehatan lansia.
3. Kekuatan, ketahanan dan kelenturan otot rangka berkurang, mengakibatkan kepala dan
leher terfleksi ke depan, ruas tulang belakang mengalami kifosis, panggul dan lutut juga
terfleksi sedikit. Keadaan tersebut menyebabkan postur tubuh terganggu (Sari, 2006).
Penyakit atau gangguan yang menonjol pada kelomok lansia adalah gangguan pembuluh
darah yaitu hipertensi (Bustan, 2006).

2.3 Hipertensi pada Lanjut usia
Hipertensi dicirikan dengan peningkatan tekanan darah sistolik dan diastolic yang
intermiten atau menetap. Pengukuran tekanan darah serial 150/95 mmHg atau lebih tinggi
pada orang yang berusia diatas 50 tahun memastikan hipertensi. Insiden hipertensi
meningkat seiring bertambahnya usia (Stockslager , 2008).
Hipertensi lanjut usia dibedakan menjadi dua hipertensi dengan peningkatan sistolik
dan diastolik dijumpai pada usia pertengahan hipertensi sistolik pada usia diatas 65 tahun.
Tekanan diastolik meningkat usia sebelum 60 tahun dan menurun sesudah usia 60 tahun
tekanan sistolik meningkat dengan bertambahnya usia (Temu Ilmiah Geriatri Semarang,
2008).
Hipertensi menjadi masalah pada lanjut usia karena sering ditemukan menjadi faktor
utama pernyakit jantung dan penyakit koroner. Lebih dari separuh kematian diatas usia
60 tahun disebabkan oleh penyakit jantung dan serebrovaskuler. Hipertensi pada lanjut
usia dibedakan atas:
a. Hipertensi pada tekanan sistolik sama atau lebih besar dari 140 mmHg dan atau tekanan
sistolik sama atau lebih 90 mmHg.
b. Hipertensi sistolik terisolasi tekanan sistolik lebih besar dari 160 mmHg dan tekanan
diastolik lebih rendah dari 90 mmHg (Nugroho, 2008).

2.4 Hubungan konsumsi Natrium (Na) dengan Hipertensi pada lanjut usia
Natrium adalah kation utama dalam cairan ekstraseluler. Pengaturan keseimbangan
natrium dalam darah diatur oleh ginjal. Sumber utama natrium adalah garam dapur atau
NaCl, selain itu garam lainnya bisa dalam bentuk soda kue (NaHCO3), baking powder,
natrium benzoat, dan vetsin (monosodium glutamat). Kelebihan natrium akan
menyebabkan keracunan yang dalam keadaan akut menyebabkan edema dan hipertensi
(Almatsier, 2006).
Konsumsi natrium yang berlebih menyebabkan peningkatan tekanan cairan
ekstraseluler. Untuk menormalkannya kembali, cairan intraseluler harus ditarik keluar
sehingga volume cairan ekstraseluler meningkat. Meningkatnya volume cairan
ekstraseluler tersebut menyebabkan meningkatanya volume darah, sehingga berdampak
pada timbulnya hipertensi (Sutanto, 2010).
Makanan sehari-hari biasanya cukup mengandung natrium yang dibutuhkan sehingga
tidak ada penetapan kebutuhan natrium sehari. WHO (1990) menganjurkan pembatasan
konsumsi garam dapur hingga 3 gram sehari atau sama dengan 2400 mg natrium, sebagai
perbandingan satu sendok teh mengandung sekitar 2,4 gram garam (Sunita, 2005).
Hasil penelitian yulina suheni (2011) tentang Kebiasaan mengkonsumsi asin
bukan merupakan faktor risiko terjadinya hipertensi dengan nilai p = 1,00; OR = 1,04 dan
95% Cl = 0,20 5,34, tetapi penelitian gunawan (2011) tentang kebiasaan mengkonsumsi
natrium merupakan resiko dengan hasil Setelah dilakukan uji chi square dengan derajat
kepercayaan (CI) 95 % dengan nilai = 0,05 ternyata nilai P value (0,000) < 0,05 dengan
OR 4,655 kali dengan confidence Interval 95 % berkisar antara 2,678 8,089.

2.5 Hubungan olahraga dengan Hipertensi pada lanjut usia
Olahraga secara teratur idealnya dilakukan tiga hingga lima kali dalam seminggu dan
minimal 30 menit setiap sesinya (Sutanto, 2010).
Adapun macam-macam aktivitas fisik yang baik dilakukan oleh lansia untuk
memulihkan kesegaran fisiknya menurut Depkes Ri (1997) antara lain :
1. Pekerjaan rumah dan berkebun
2. Berjalan-jalan
3. Latihan aerobik dan senam
4. Jogging
Hasil penelitian Sanusi (2002) di poli klinik geriatri RS Cipto Mangunkusumo
diketahui bahwa ada hubungan yang signifikan antara aktifitas fisik dengan hipertensi.
Sedangkan penelitian Sugihartono (2007) menyatakan bahwa tidak bisa melakukan
olahraga mempunyai risiko menderita hipertensi sebesar 4,73 kali dan olah raga tidak
ideal mempunyai risiko sebesar 3,46 kali dibandingkan orang yang mempunyai kebiasaan
olah raga ideal.

2.6 Hubungan merokok dengan Hipertensi pada lanjut usia
Merokok sebatang setiap hari akan meningkatkan tekanan sistolik 1025 mmHg dan
menambah detak jantung lima sampai 20 kali per menit (Suheni, 2007).
Asap rokok bukan saja memberikan dampak buruk bagi perokok, melainkan juga
bagi orang lain yang menghisap asap rokok tersebut tanpa dirinya sendriri merokok
(disebut perokok pasif). Para ilmuwan membuktikan bahwa zat-zat kimia yang
dikandung asap rokok dapat mempengaruhi kesehatan orang-orang disekitar perokok
yang tidak merokok. Dampak bahaya merokok tidak langsung bisa dirasakan dalam
jangka pendek tetapi terakumulasi beberapa tahun kemudian, terasa setelah 10-20 tahun
pasca digunakan. Dengan demikian secara nyata dampak rokok berupa kejadian
hipertensi akan muncul kurang lebih setelah berusia lebih dari 40 tahun, sebab dipastikan
setiap perokok yang menginjak usia 40 tahun ke atas telah menghisap rokok lebih dari 20
tahun. Jika merokok dimulai usia muda, berisiko mendapat serangan jantung menjadi dua
kali lebih sering dibanding tidak merokok. Serangan sering terjadi sebelum usia 50 tahun
(Depkes , 2008).
Jumlah rokok yang dihisap dapat dalam satuan batang, bungkus per hari, terbagi atas
3 kelompok yaitu :
a. Perokok Ringan, apabila seseorang menghisap kurang dari 10 batang rokok per hari.
b. Perokok Sedang, apabila seseorang menghisap 10 20 batang rokok per hari.
c. Perokok Berat, apabila seseorang menghisap lebih dari 20 batang rokok per hari (Bustan,
1997).
Hasil penelitian gunawan (2011), pada hasil uji kai kuadrat dapat disimpulkan bahwa
ada perbedaan proporsi kejadian penyakit hipertensi antara responden yang merokok di
bandingkan responden yang tidak merokok (p = 0,013). Adapun besar bedanya dapat
dilihat dari nilai OR yang besarnya 1,979 ( 95 % CI : 1,183 3,311), artinya responden
yang merokok mempunyai risiko mengalami hipertensi 1,979 kali dibandingkan
responden yang tidak merokok.

2.7 Hubungan Stres dengan Hipertesi pada lanjut usia
Hubungan antara stres dengan hipertensi diduga melalui aktivitas saraf simpatis,
peningkatan saraf dapat menaikan tekanan darah secara intermiten (tidak menentu). Stres
yang berkepanjangan dapat mengakibatkan tekanan darah menetap tinggi (Rohaendi,
2003).
Gangguan stres biasanya timbul secara lamban, tidak jelas kapan mulainya dan sering
kali kita tidak menyaddari. Namunmeskipun demikian dari pengalaman praktik psikiatri,
para ahli membagi stres tersebut dalam enam tahapan. Setiap tahapan memperlihatkan
sejumlah gejala-gejala yang dirasakan oleh orang yang bersangkutan, hal ini berguna
bagi seseorang dalam rangka mengenali gejala stress sebelum memeriksakanya ke dokter.
Petunjuk-petunjuk tahaan stres tersebut ditemukan oleh Robert J. Van Amberg
(psikiater) sebagai berikut :
1. Stres tingkat I
Tahapan ini merupakan tingkat stres yang paling ringan, dan biasanya disertai dengan
perasaan- perasaan sebagai berikut :

1. Semangat besar
2. Penglihatan tajam tidak sebagaimana biasanya.
3. Energi dan gugup berlebihan, kemampuan menyelesaikan pekerjaan lebih dari biasanya.
2. Stres tingkat II
Dalam tahapan ini dampak stres yang menyenangkan mulai menghilang dan timbul
keluhan-keluhan dikarenakan cadangan energi tidak lagi cukup sepanjang hari. Keluhan
keluhan yang sering dikemukakan sebagai berikut:
a. Merasa letih saat bangun pagi.
b. Merasa lelah sesudah bangun siang.
c. Merasa lelah menjelang sore hari.
d. Terkadang gangguan dalam system pencernaan (ganguan usus, perut kembung) kadang-
kadang jantung berdebar debar.
e. Perasaan tegang pada otot-otot unggung dan tekuk(belakang leher)
f. Perasaan tidak bisa santai.
3. Stres tingkat III
Pada tahap ini keluhan keletihan semakin nampak disertai semakin nampak :
a. Gangguan usus lebih terasa (sakit perut, mulas, sering ingin ke belakang).
b. Otot-otot lebih terasa lebih tegang.
c. Perasaan tegang yang semakin meningkat.
d. Gangguan tidur (sukar tidur, sering terbangun malam dan sukar tidur kembali atau
bangun terlalu pagi).
e. Badan terassa oyong, rasa-rasa mau pingsan (tidak sampai jatuh pingsan). Pada tahap ini
penderita sudah harus berkomunikasi pada dokter, kecuali kalau bebas stres atau
tuntutan-tuntutan dikurangi, dan tubuh mendapatkan kesempatan untuk beristirahat atau
relaksasi, guna memulihkan suplai energy.
4. Stres tingkat IV
Tahap ini sudah menunjukkan keadaan yang lebih buruk yang ditandai dengan cirri-ciri
sebagai berikut :
a. Untuk bisa bertahan sepanjang hari terasa sangat sulit.
b. Kegiatankegiatan yang semula menyenagkan menjadi sangat sulit.
c. Kehilangan kemampuan untuk menggapai situasi, pergaulan social, dan kegiatan-
kegiatan rutin terasa berat.
d. Tidur semakin sukar, mimpi-mimpi menegangkan, dan sering terbangun dini hari.
e. Perasaan negativistik.
f. Kemampuan berkonsentrasi menurun tajam.
g. Perasaan takut yang tidak dapat dijelaskan, tidak mengerti kenapa.
5. Stres tingkat V
Keadaan ini meruakan keadaan yang lebih mendalam dari tahap IV diatas, yaitu :
a. Keletihan yang mendalam ( hysical and psychological axhaustion).
b. Untuk pekerjaan-pekerjaan sederha saja terasa kurang mampu.
c. Gangguan system pencernaan ( sakit maag dan usus) lebih sering, sukar buang air besar
atau sebaliknya feses cair dan sering kebelakang.
d. Perasaan takut yang semakin menjadi, mirip panik.
6. Stres tingkat VI
Tahapan ini merupakan tahap puncak yang merupakan keadaan gawat darurat. Tidak
jarang penderita pada tahap ini dibawa ke ICCU. Gejal-gejala pada tahap ini sangat
mengerikan, yaitu :
a. Debar jantung terasa sangat keras, hal ini disebabkan zat adrenalin yang dikeluarkan,
karena stress tersebut cukup tinggi dalam peredaran darah.
b. Nafas sesak, megap-megap.
c. Badan gematar, tubuh dingin,keringat bercucuran.
d. Tenaga untuk hal-hal yang ringan sekalipun tidak kuasa lagi, pingsan atau collaps
(Yosep iyus, 2005)
Salah satu cara untuk mengetahui responden mengalami stres atau tidak stres, dapat
digunakan skala ukur DASS ( Depression ansiety and stress scale) dengan perhitungan
nilai skor kuesioner yaitu sebagai berikut :
1. Normal, dengan nilai skor 0 14
2. Stres ringan, dengan nilai skor 15 18
3. Stres sedang, dengan nilai skor 19 25
4. Stres berat, dengan nilai skor 26 33
5. Stres sangat berat, dengan nilai skor 34+ (Lovibond, S.H. & Loviband, P.F. (1995)
Hasil penelitian didapatkan bahwa responden yang mengalami stres terhadap jenis
hipertensi, didapatkan bahwa responden pre hipertensi yang mengaku tidak mengalami
stress (6,86%), sementara yang menderita hipertensi grade I yaitu 37,25%, dan yang
menderita hipertensi grade II yaitu 22,57% (Sigarlaki, 2006).
Hal ini didukung dengan hasil penelitian tentang Hubungan keadaan jiwa yang stres
dapat meningkatkan risiko kejadian penyakit hipertensi pada usia lanjut 2,926 kali (OR =
2,926; 95 % CI = 1,696 5,049) dibandingkan dengan responden yang keadaan jiwanya
tidak stres dan bermakna secara statistik (Dewi, 2008).



2.8 Kerangka teori
Gambar 2.1. Kerangka teori Hubungan Gaya hidup dengan kejadian penyakit
hipertensi pada lanjut usia :

Obesitas

Olahraga

Riwayat keluarga

Konsumsi Tinggi Natrium







Merokok

Konsumsi Alkohol

Etnis

Umur

Stres

Jenis kelamin

Konsumsi lemak

Kelainan ginjal

Kafein

Kolesterol tinggi

Nutrisi

Zat Toksin

Narkoba

HIPERTENSI













Sumber : Susilo & Wulandari, 2011
2.9 Kerangka konsep
Kerangka konsep penelitian pada dasarnya adalah kerangka hubungan konsep
konsep yang diamati atau di ukur melalui penelitian yang akan dilakukan (Notoatmodjo,
2010).





Gambar 2.2 Kerangka konsepnya penelitian ini adalah sebagai berikut :
Variabel Independen Variabel Dependen

GAYA HIDUP

GAYA
HIDUP


Kejadian penyakit Hipertensi pada lanjut usia


Konsumsi Natrium (Na)

Olahraga

Merokok

Stres








Sumber : Notoatmodjo, 2010

2.10 Hipotesis
Hipotesis adalah jawaban atau pernyataan sementara yang perlu diuji kebenarannya.
Berdasarkan kerangka konsep diatas, maka dapat disimpulkan hipotesis sebagai berikut :
1. Ha = ada hubungan antara kejadian penyakit hipertensi dengaan
lanjut usia.
Ho = tidak ada hubungan antara kejadian penyakit hiertensi
dengan lanjut usia

2. Ha = ada hubungan antara konsumsi natrium dengan kejadian
penyakit hipertensi pada lanjut usia.
Ho = Tidak ada hubungan antara konsumsi natrium dengan
kejadian penyakit hipertensi pada lanjut usia.

3. Ha = ada hubungan antara olahraga dengan kejadian penyakit
hipertensi pada lanjut usia.
Ho = Tidak ada hubungan antara olah raga dengan kejadian
penyakit hipertensi pada lanjut usia.

4. Ha = ada hubungan antara kebiasaan merokok dengan kejadian
penyakit hipertensi pada lanjut usia.
Ho = Tidak ada hubungan antara kebiasaan merokok dengan
kejadian Penyakit hipertensi pada lanjut usia.

5. Ha = ada hubungan antara stres dengan kejadian penyakit
hipertensi pada lanjut usia.
Ho = Tidak ada hubungan antara stres dengan kejadian
Penyakit hipertensi pada lanjut. Usia.

















BAB III
METODELOGI PENELITIAN
3.1 Populasi dan sampel Penelitian
3.1.1 Populasi Penelitian
Populasi dalam penelitian ini adalah semua penduduk usia lanjut ( usia 60 tahun
keatas ) di wilayah kerja Puskesmas Simpang Pematang kabupaten Mesuji dengan jumlah
populasi 1726 orang usia lanjut.
3.1.2 Sample Penelitian
1. kreteria Sampel
6. usia Lanjut berusia 60 tahun
7. usia Lanjut tercatat penduduk dan tinggal didaerah wilayah kerja puskesmas simpang
pematang
8. Jenis kelamin laki-laki dan perempuan
9. Bersedia menjadi objek penelitian atau responden

2. Perhitungan dan jumlah sampel
Sampel yang diambil dalam penelitian ini adalah sebanyak 187 usia lanjut, dalam
menentukan jumlah sampel ini dugunakan rumus estimasi proporsi pada sampel acak
sederhana dengan presisi mutlak (Hoster & Klar) dengan rumus sebagai berikut :




n = Z
1

2
-

/
2
* P * ( 1 P ) N


d
2
(N1) + Z
1
2

/
2
x P (1P)



KET :
n = Besarnya sampel
N = Besarnya poulasi
P = Proporsi sifat populasi misalnya
Prevalensi, Bila tidak diketahui gunakan 0,5 (50%)
Z
1

2
-

/
2
= Standar deviasi normal pada derajat kepercayaan
(kemaknaan 95% adalah 1.96)
d = Tingkat penyimpangan yang diinginkan 0.05 atau 0.01

Jadi :
n : 1,96 * 0,5 (1-0,5) 1726
(0,05)
2
*(1726 1) + 1,96 * 0,5 (1- 0,5)
: 169

Faktor Drop Out :
N* : n * 1/1-f
Ket :

N* : jumlah sampel total
n : Besar sampel perhitungan
f : perkiraan proporsi drop out sebesar 10% (f=0,1)

jadi : 169 * 1/ 1-0,1
: 187

Teknik sampling dalam penelitian ini adalah Systematic Random Sampling yaitu
pengambilan sampel berdasarkan areal wilayah yaitu di wilayah kerja puskesmas
Simpang Pematang yang terdiri dari 9 desa dengan jumlah usia lanjut yang ada pada
masing-masing desa adalah sebagai berikut :
1. Desa Simpang Pematang sebanyak 414 Usia lanjut
2. Desa Margo Rahayu sebanyak 245 Usia lanjut
3. Desa Wira Bangun sebanyak 232 Usia lanjut
4. Desa Agung Batin sebanyak 205 Usia lanjut
5. Desa Budi Aji sebanyak 187 Usia lanjut
6. Desa Jaya Sakti sebanyak 139 Usia lanjut
7. Desa Bangun Mulya sebanyak 138 Usia lanjut
8. Desa Rejo Binangun sebanyak 91 Usialanjut
9. Desa Harapan Jaya sebanyak 75 Usia lanjut
Jadi jumlah sampel dari setiap Desa adaalah sebagai berikut :
1. Desa Simpang Pematang = 414/1726 *187 = 45
2. Desa Margo Rahayu = 245/1726 * 187 = 27
3. Desa Wira Bangun = 232/1726 * 187 = 25
4. Desa Agung Batin = 205/1726 * 187 = 22
5. Desa Budi Aji = 187/1726 * 187 = 20
6. Desa Jaya Sakti = 139/1726 * 187 = 15
7. Desa Bangun Mulya = 138/1726 * 187 = 15
8. Desa Rejo Binangun = 91/1726 * 187 = 10
9. Desa Harapan Jaya = 75/1726 * 187 = 8
Jadi jumlah total keseluruhan 187 responden dari seluruh desa di wilayah kerja
Puskesmas Simpang Pematang Kab. Mesuji Provinsi Lampung.

3.2 Metodelogi penelitian
3.2.1 Rencana penelitian
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kuantitatif dengan desain analitik pendekatan
cross sectional (potong lintang) dimana variabel bebas (Independent variable) yaitu gaya
hidup serta variabel terikat (dependent variable) yaitu kejadian penyakit hipertensi pada
usia lanjut yang terjadi pada objek penelitian diukur atau dikumpulkan dalam waktu
yang bersamaan pada saat penelitian dengan menggunakan kuesioner, tensimeter dan
stetoskop (Notoadmodjo, 2010).

3.2.2 Tempat dan waktu penelitian
1. Lokasi penelitian dilakukan di Wilayah kerja Puskesmas Simpang Pematang kabupaten
Mesuji provinsi Lampung.
2. Waktu penelitian ini dilakukan pada bulan Maret Mei 2013

3.2.3 Variabel dan Definisi Oprasional Variabel
Variable Definisi
Oprasional
Cara
Ukur
Alat
Ukur
Hasil
Ukur
Skala
Kejadian
penyakit
Hipertensi
pada Lanjut
Usia
Suatu gangguan pada
system peredarah darah
yang ditandai dengan
peningkatan tekanan
darah yang terjadi pada
usia 60 tahun.
Mengukur
tekanan
darah 2 x
dalam
waktu 5-10
menit.
Tensi
darah dan
stetoscop
0 = <140 /
<90 =
Normal

1= 140 /
90 =
Hipertensi

Ordinal
Konsumsi
Natrium






Suatu kebiasan
mengkonsumsi
makanan yang
mengandung garam 3
gram per hari atau
setara dengan 2400 mg
natrium (1 sdt/hari)

Wawancar
a terhadap
responden
dengan
mengguna
kan
quesioner
Quesioner 0 : rendah
natrium
1 : Tinggi
natrium
Ordinal
Olahraga Kegiatan sehari-hari
yang dilakukan melalui
gerakan tubuh yang
teratur yang
menyehatkan dan
menyegarkan badan
Wawancar
a terhadap
responden
dengan
mengguna
kan
quesioner
Quesioner 0: Aktif :
jika > nilai
median
1 : Tidak
aktif : jika
nilai median
Ordinal
Kebiasaan
Merokok
Kebiasaan menghisap
tembakau yang
dilakuka setiap hari
Wawancar
a terhadap
responden
dengan
mengguna
kan
quesioner
Quesioner 0 : Tidak :
jika tidak
merokok
1:Ya : jika
merokok

Ordinal
Stres suatu tekanan fisik
maupun psikis atau
kejadian yang tidak
menyenangkan yang
terjadi pada diri dan
lingkungan di sekitar
yang berlangsung terus
menerus sehingga kita
tidak dapat
mengatasinya secara
efektif
Wawancar
a terhadap
responden
dengan
mengguna
kan
quesioner
Quesioner 0 : tidak :
jika nilai
median
1 : ya : jika
> nilai
median
Ordinal

3.3.4 Jenis dan Sumber Data
1. Jenis Data
1. Data Primer
Yaitu data yang diperoleh dari mengukur tekanan darah dengan tensi
meter,stetoscop dan hasil wawancara dengan menggunakan quesioner kepada responden
yang meliputi kebiasaan mengkonsumsi garam(Na), olahraga, kebiasaan merokok, dan
stress.
2. Data sekunder
Yaitu data yang diperoleh dari literatur yang berasal dari Puskesmas Simpang
pematang berkaitan dengan angka kejadian penyakit hipertensi pada Lanjut Usia dan
Kecamatan Simpang Pematang tentang jumlah Lanjut usia.
2. Sumber Data
1) Sumber data diperoleh dari pengukuran tekanan darah dan wawancara langsung kepada
responden dengan menggunakan questioner yang meliputi kebiasaan mengkonsumsi
garam, olahraga, kebiasaan merokok, dan stres.
2) Literatur yang berkaitan dengan angka kejadian penyakit hipertensi yang berasal dari :
Profil Kesehatan Simpang pematang, Profil Kesehatan Dinas Kesehatan Kab. Mesuji,
Profil Kesehatan Provinsi Lampung dan Data kecamatan Simpang Pematang mengenai
jumlah penduduk.

3.2.5 Alat dan Teknik Pengumpulan Data
Pada penelitian hubungan gaya hidup dengan kejadian penyakit hipertensi pada usia
lanjut di wilayah kerja Simpang Pematang, dilakukan peneliti dan dibantu oleh beberapa
tenaga kesehatan puskesmas dan instansi kecamatan yang terkait. Alat pengumpul data
menggunakan instrumen berupa tensimeter, stetoscop dan lembar quesioner yang dibuat
oleh peneliti, terdiri dari 5 bagian yaitu :
a. Identitas responden (karakteristik umum) dan tekanan darah pada saat diteliti
b. Tentang konsumsi natrium
c. Tentang Olahraga
d. Tentang kebiasaan merokok
e. Tentang stress

3.2.6 Pengolahan dan Analisa Data
1. Pengolahan Data
Data yang telah didapatkan dari responden dikumpulkan kemudian dikoreksi
apakah jawaban telah diisi semua. Bila telah terisi semua selanjutnya dilakukan
pengolahan data melalui langkah-langkah sebagai berikut :
1. Editing Data
Yaitu kegiatan dengan pengecekan isian formulir quesioner yang telah diisi oleh peneliti
hasil dari intervie kepada responden berkaitan dengan kemungkinan adanya kesalahan
dan melihat kelengkapan, kejelasan dan konsistensi kebenaran datanya.
2. Coding Data
Yaitu mengubah data bentuk kalimat atau huruf menjadi data angka atau bilangan dan
dapat juga diartikan memberikan kode pada setiap jawaban yang terdapat pada lembar
observasi untuk memudahkan pengolahan data.
3. Entry Data
Data tersebut kemudian diolah menggunakan SPSS. Data yang diambil bersifat
kuantitatif dengan memberikan nilai pada setiap jawaban di masing-masing pertanyaan.
Skor tersebut diolah dengan membuat pengelompokan berdasarkan variabel-variabel
yang hendak diukur.
4. Cleaning Data
Pengecekan kembali data untuk melihat ketidak lengkapan data sehingga kesalahan
dalam proses selanjutnya dapat dihindari.



3.2.7 Analisis Data
1. Analisis Univariat
Analisa univariat digunakan untuk menjelaskan karakteristik masing-masing variabel
yang diteliti. Data yang diperoleh dinyatakan dalam bentuk frekuwensi dan proporsi serta
disajikan dalam bentuk tabel.
2. Analisis Bivariat
Analisa bivariat digunakan untuk menjelaskan hubungan antara satu variabel bebas
dengan satu variabel terikat. Pada penelitian ini uji yang digunakan adalah :
a. Chi-Square (X
2
) adalah jumlah selisih antara frekwensi yang diperoleh dari hasil
pengamatan berbanding terbalik dengan frekwensi yang diharapkan dalam sampel
sebagai pencerminan dari frekwensi yang diharapkan dari populasi.
X
2
=
( O E )

E
Keterangan :
X
2
= Chi Square
= Penjumlahan
O = Frekwensi yang diperoleh dari sampel atau hasil
pengamatan
E = Frekwensi yang diharapkan dalam sampel sebagai pencerminan dari frekwensi yang
diharapkan dari populasi

b. OR (Odds Ratio) adalah hubungan antara suatu kejadian dengan faktor yang
menyebabkan, dapat dinyatakan dan dibandingkan dengan Odss Ratio. Odds Ratio dalam
desain Cross Sectional digunakan sebagai prediksi.
Tabel 3.1. Tentang perhitungan OR
Variabel Kasus Total
Hipertensi Tidak
Hipertensi
Buruk a c a + c
Baik b d b + d
Total a + b c + d T


Interprestasi OR = ad
bc
Bila OR = 1 estimasi bahwa tidak ada asosiasi antara gaya hidup dengan kejadian penyakit hipertensi
pada usia lanjut.
Bila OR > 1 estimasi bahwa ada asosiasi positif antara gaya hidup dengan kejadian penyakit
hipertensi pada usia lanjut.

Bila OR < 1 estimasi bahwa ada asosiasi negatif antara gaya hidup dengan kejadian penyakit
hipertensi pada usia lanjut.

You might also like