You are on page 1of 11

Van Vallenhoven membagi-bagi bangsa Indonesia ke dalam 19 lingkungan hukum adat.

Bentuk dan susunan hukum adat itu, para anggotanya terikat oleh factor yang bersifat
territorial dan geneologis. Selain itu Ter Har mengemukakan adanya kelompok-kelompok
masyarakat lingkungan raja-raja dan kaum bangsawan dan lingkungan pedagang. Tetapi pada
perkembangannya kelompok-kelompok itu hanya tinggal nama, sedangkan masyarakat
hukum adat yang berdasrkan ikatan territorial dan geneologis sebagaian besar masih tetap
hidup. Tetapi terhadap masyarakat huku tersebut, telah mengalami pergeseran dan perubahan
dikarenakan perubahan kehidupan masyarakat, terutama di daerah yang dijadikan objek
pembangunan.
Macam-Macam Masyarakat Hukum Adat :
1. Masyarakat Hukum Territorial
Yang dimaksud dengan Masyarakat Hukum Territorial adalah masyarakat yang tetap dan
teratur, yang angota-anggota masyarakatnya terikat pada suatu daerah kediaman tertentu,
baik dalam kaitan duniawi sebagai tempat kehidupan maupun dalam kegiatan rohani
sebagai tempat pemujaan terhadap roh-roh leluhur. Keterikatan itu bersifat ke dalam
maupun ke luar. Jadi jika ada anggota masyarakat yang merantau ke luar daerah masih
tetap menjadi anggota kesatuan territorial itu. Begitu juga orang yang dari luar dapat pula
menjadi anggota kesatuan dengan syarat-syarat tertentu. Masyarakat hukum territorial
dapat dibedakan menjadi 3 macam yaitu :
a. Persekutuan desa, yaitu seperti desa di Jawa, yang merupakan suatu tempat kediaman
bersama didalam daerahnya sendiri termasuk beberapa pedukuhan yang terletak di
sekitarnya yang tunduk pada perangkat desa yang berada di pusat desa.
b. Persekutuan daerah, yaitu merupakan suatu daerah kediaman bersama dan menguasai
tanah hak ulayat bersama yang terdiri dari beberapa dusun atau kampong dengan satu
pusat pemerintahan adat bersama. Misalnya persekutuan masyarakat Nagari di
Minagkabau
c. Perserikatan desa, yaitu apabila diantara beberapa desa atau marga yang terletak
berdampingan yang masing-masing berdiri sendiri mengadakan perjanjian kerjasama
untuk mengatur kepentingan bersama. Misalnya di daerah Lampung ialah
Perserikatan Marga Empat Tulangbawang.
Dengan diberlakukannya Undang-Undang Pemerintahan Desa No.5 Tahun 1979, ketiga
bentuk desa tersebut sudah tidak lagi bersifat formal melainkan menjadi desa-desa adat
informal. Berdasarkan UU tersebut yang dimaksud sebagai masyarakat desa adalah
semua penduduk (semua golongan) termasuk masyarakat adat yang menempati suatu
wialayah desa yang berhak menyelenggarakan urusan rumah tangganya sendiri
berdasarkan UU dan hukum adat. Sedangkan dusun merupakan bagian dari desa yang
tidak berdiri sendiri.
2. Masyarakat Hukum Genealogis
Yaitu suatu kesatuan masyarakat yang teratur, yang para anggotanya terikat pada suatu
garis keturunan yang sama dari satu leluhur, baik langsung karena hubungan darah atau
secara tidak langsung karena pertalian perkawinan atau pertalian adat. Masyarakat yang
Geneologis ini dibedakan menjadi 3 macam yaitu :
a. Masyarakat yang patrilineal, yaitu yang susunan masyarakatnya ditarik menurut garis
keturunan bapak. Ikatan kekerabatan masyarakat yang patrilineal cenderung
dikaitkan dengan pertalian darah. Misalnya marga Geneologis orang batak.
b. Masyarakat yang matrilineal, adalah yang susunan masyarakatnya ditarik menurut
garis keturunan Ibu. Sama halnya dengan Masyarakat yang patrilineal, ikatan
kekerabatannya cenderung dikaitkan dengan pertalian darah. Misalnya di
Minangkabau dan Kerinci
c. Masyarakat yang bilateral atau parental adalah yang susunan masyarakatnya ditarik
dari garis keturunan orang tua (Bapak dan Ibu). Misalnya dikalangan masyarakat
Aceh dan Jawa. Pada kenyataannya ikatan kekerabatan dari masyarakat yang parental
cenderung dikaitkan dengan pertalian ketetanggaan dari tempat asal.
3. Masyarakat Territorial-Geneologis
Yang dimaksud dengan Masyarakat Territorial-Geneologis ialah kesatuan masyarakat
yang tetap dan teratur dimana para anggotanya bukan saja terikat pada tempat kediaman
pada suatu daerah tertentu, tetapi juga terikat pada hubungan keturunan dalam ikatan
pertalian darah dan atau kekerabatan. Masyarakat Territorial-Geneologis dapat
dibedakan menjadi 2, yaitu masyarakat Territorial-Geneologis dalam bentuknya yang
asli dan dalam bentuknya yang baru. Dalam bentuknya yang asli misalanya masyarakat
Kuria dangan Huta-Hutanya dilingkungan masyarakat tapanuli. Dimana para anggota
kesatuan masyarakatnya terikat pada suatu daerah Kuria dan terikat pula pada suatu
marga keturunan (Batak). Dalam bentuknya yang baru misalnya suatu daerah kecamatan
atau pedesaan di Lampung setelah masuknya Transmigrasi. Tidak hanya ada kampong-
kampung penduduk asli Lampung yang sifatnya Geneologis tetapi ada juga pedesaan
atau pedukuhan orang jawa,Bali yang sifatnya territorial. Sehingga di masyarakat ini
akan berlaku dualisme hukum, yaitu hukum administrasi pemerintahan dan hukum adat
yang baru, bagi seluruh penduduk. Dan hukum adat tradisional bagi masing-masing
kesatuan masyarakat hukum tertentu menurut daerah asal nya masing-masing.
4. Masyarakat Adat-keagamaan
Terdapat masyarakat adat yang khusus bersifat keagamaan di daerah tertentu. Ada
kesatuan masyarakat yang khusus beragama Hindu, Islam, Kristen/Katolik dana ada yang
sifatnya campuran. Para anggotanya selain merupakan warga kesatuan desa menurut
perundang-undangan, juga merupakan warga adat yang tradisional dan warga keagamaan
yang dianutnya masing-masing. Tetapi ada juga di suatu daerah kecamatan atau desa
yang tidak terdiri dari satu kesatuan masyarakat agama tertentu. Sehingga karena adanya
perbedaan tersebut, maka diantara masyarakat itu disamping sebagai anggota
kemasyarakatan desa yang resmi, mereka juga membentuk kesatuan masyarakat adat-
keagamaan yang khusus. Misalnya didaerah Lampung Tengah, tepatnya di Kecamatan
Sukadana. Kecamatan ini terdiri dari desa orang lampung, jawa, bali. Diantara desa-desa
tersebut terdapat empat desa tempat kediaman orang bali. Pada tahun 1987 masyarakat
bali dari keempat desa tersebut membentuk desa adat yang disebut Sadwirama.
5. Masyarakat Adat di Perantauan
Masyarakat adat jawa dapat dikatakan tidak pernah membentuk masyarakat desa adat
sendiri di daerah perantauan. Karena masyarakat adat jawa yang bersifat ketetanggaan itu
mudah membaur dengan penduduk daerah setempat . Berbeda dengan masyarakat adat
melayu misalnya. Mereka yang berada di daerah perantauan cenderung membentuk
kelompok-kelompok kekeluargaan atau bahkan sebagai kesatuan masyarakat adat yang
berfungsi sebagai kerapatan adat di kampong asalnya dan juga seringkali bertindak
mewakili angota-anggotanya dalam penyelesaian perselisihan antar masyarakat adat.
Hukum adat yang diterapkan di dalam masyarakat adat di perantauan tidak sempurna lagi
seperti didaerah asalnya.
6. Masyarakat Adat lainnya
Di dalam Masyarakat Adat ini, ikatan anggota-anggotanya didasarkan pada ikatan
kekaryaan sejenis yang tidak berdasarkan hukum adat yang sama atau daerah asal yang
sama. Melainkan pada rasa kekeluargaan yang sama dan terdiri dari bebagai suku bangsa
dan berbeda agama. Kesatuan masyarakat adatnya tidak lagi terikat pada hukum adat
yang lama tetapi terikat pada hukum adat nasional. Bentuk masyarakat ini dapat
diketemukan di berbagai instansi pemerintah atau swasta.


Kepengurusan Masyarakat Adat
Setiap kelompok masyarakat hukum adat mempunyai susunan pengurus yang menyatu
dengan kepengurusan resmi ataupun terpisah berdiri sendiri.
1. Kepengurusan Masyarakat Adat Territorial
Susunan kepengurusan Masyarakat Adat ini bersifat kekeluargaan dalam ketetanggan,
yang dapat dilihat di daerah-daerah sebagai berikut:
a. Di daerah Aceh
Kecuali daerah Gayo, terdapat kediaman yang disebut Mukim yang dipimpin oleh
Uluebalang. Mukim terdiri dari beberapa Gampong (kampong) dan mennasah
(lembaga agam). Setiap gampong dipimpin oleh Keuciq (kepala kampong) dan
Teungku Meunasah. Kepengurusan suatu Gampong dilaksanakan oleh Keuciq dan
Teungku Meunasah yang didampingi oleh Ureung Tuha (Majelis tua-tua kampong).
Hukum yang digunakan adalah hukum adat dan hukum islam (Bertingkat).
b. Di daerah Sumatera Selatan
Dikenal adanya Marga yang merupakan suatu desa yang terdiri dari orang Palembang,
Ogah, Pasemah, Semendo dan Komering. Marga merupakan satu kesatuan dari
beberapa dusun, setiap dusun dikepalai oleh Krio atau Mangku atau Prowitan. Kepala
Marga disebut Pasirah dengan gelar Pangeran atau Depati. Para staf pembantu disebut
punggawa, Kepala suku (Tuwo Suku). Susunan ini sama dengan yang ada di pulau
Bangka dan Belitung (Bertingkat).
c. Di daerah Jawa
Di Jawa dan Madura desa merupakan suatu kediaman yang terdiri dari beberapa
dukuh. Setiap Desa dikepalai oleh Lurah (Kuwu,Bekel,Petinggi) yang dijabat secara
turun temurun. Lurah dibantu oleh stafnya yaitu Carik (juru tulis desa), Kami Tuwa
(kepala pedukuhan), Bahu, Kebayan, Modin (urusan agam), jogoboyo (keamanan).
Susunan kepengurusan ini berlaku juga di daerah Banten dan Periangan (Bertingkat).
d. Di daerah-daerah Melayu
Dapat dilihat di Masyarakat dusun di Bolang Mongondow (Sulawesi Utara) yang
dipimpin oleh kepala dusunnya yang disebut Kimelaha. Dalam melaksanakan tugasnya
Kimelaha dibantu oleh para petugas yang disebut Probis (Tunggal).
2. Kepengurusan Masyarakat Territorial Geneologis.
Kepengurusan ini dapat dilihat di daerah-daerah seperti :
a. Di Daerah Gayo-Alas
Masyarakat adat Gayo bersifat Geneologis Patrilineal. Daerah pedesaan orang Gayo
terdiri dari beberapa saudereu yang menjadi tempat tinggal orang-orang yang memiliki
kekerabatan yang sama. Sadereu dipimpin oleh kepala kerabat yang disebut Reujeu
yang dibantu oleh Peteu untuk urusan duniawi dan Imeum untuk urusan keagamaan.
Daerah pedesaan orang gayo tersebut dipimpin oleh Keujruen (bertingkat). Di daerah
Alas masyarakat nya terdiri dari beberapa suku yang tinggal di suatu perkampungan.
Masing-masing suku dipimpin oleh Penghulu Suku sebagai Kepala Kampung
(berserikat).
b. Di Daerah Batak
Masyarakat adat Batak bersifat Geneologis patrilineal, yang terdiri dari masyarakat
Toba, Karo, Simalungun, Pak-Pak, Angkola dan Mandailing. Setiap dari kesatuan
masyarakat tersebut mendiami wilayahnya sendiri-sendiri. Perkampungan orang Batak
Toba yang merupakan kediaman keluarga-keluarga yang berasal dari satu keturunan
Poyang disebut Huta. Sedangkan pedesaan yang didiami oleh keluarga-keluarga yang
satu keturunan disebut Lumban, masyarakat Batak Karo menyebutnya Kesain. Kuta,
bagi orang Batak Karo adalah kediaman dari beberapa keturunan yang berbeda.
Perkampungan yang didirikan karena Huta sudah penuh disebut Sosor, sedangkan
orang Batak Karo menyebutnya Barung-Barung. Suatu daerah yang terdiri dari
beberapa Huta atau Kuta disebut Bius, Portahian, Urung atau Pertumpukan.
Kepengurusan dalam pemerintahn adat di lingkungan masyarakat batak dapat
dibedakan menjadi 3 yaitu, bidang pemerintahan umum, urusan adat dan urusan
keagamaan yang masing-masih dilaksanakan oleh pejabat adat. Jabatan pemerintahan
adat bersifat turun temurun dan biasanya dipegang oleh anak tertua laki-laki atau anak
bungsu laki-laki, apabila keduanya tidak mampu maka pemangku adat akan digantikan
dengan anak tengah. Kepengurusan yang berkaitan dengan keagamaan dilaksanakan
oleh guru sibaso untuk kepercayaan pada yang gaib, Pendeta untuk yang beragama
Kristen. Sedangkan untuk yang beragama Islam di urus oleh para Ulama.
c. Di daerah Minangkabau
Umumnya masyarakat minangkabau beragama islam dan masyarakat adatnya bersifat
geneologis-matrilineal. Yang merupakan kesatuan-kesatuan keluarga kecilyang disebut
Paruik sebagai bagian dari kesatuan Suku atau Kampuang. Kesatuan yang formal
adalah Suku yang dipimpin oleh Penghulu Suku dan Kampuang yang dipimpin oleh
seoran Penghulu Andiko. Kepengurusan pemerintahannya dibedakan menjadi dua
yaitu laras Bodicaniago yang bercorak pemerintahan demokrasi terbuka dan laras
Kotopiliang yang bercorak otokrasi atau demokrasi yang terkendali. Pada laras
Kotopiliang, penghulu tidak dipilih melainkan turun temurun menurut sub-klennya
masing-masing, para penghulu itu tunduk pada Penghulu Suku dan Penghulu Suku
tunduk pada Penghulu Pucuk (Pucuk Nagari). Masyarakat adat Minangkabau di
pesisir, golongan penghulunya mempunyai kedudukan yang tinggi di dalam
masyarakat.
d. Di daerah Lampung
Masyarakat adat Lampung bersifat geneologis patrilineal. Kepengurusan pemerintahan
adat kekerabatannya dipimpin oleh keluarga-keluarga dari kebuwayan menurut garis
laki-laki. Kesatuan-kesatuan keluarga (menyanak) itu berpusat di suatu bangunan
rumah tua Nuwow Balak atau Lamban Balak di suatu kampung (tiyuh) yang satu
buway (turunan) atau berlainan buway, dan tergabung dalam beberapa suku (bagian
kampong). Marga merupakan gabungan dari beberapa tiyuh. Marga-marga tersebut
diberi nama sesuai dengan Poyang asal kebuwayan. Apabila tidak menggunakan nama
Poyang asal berarti marga itu didirikan oleh beberapa kebuwayan yang bergabung.
Kesatuan masyarakat adat dari tingkat menyanak, sampai tingkat suku, tiyuh dan
marga dipimpin oleh anak sulung lelaki dari keturunan yang tertua yang berkedudukan
sebagai punyimbang. Para punyimbang dalam menjalankan tugasnya di bantu oleh
beberapa anggota menyanak wari (sanak kerabat), yang berkedudukan sebagai
pembarap (wakil), pepang penyambut (dahan pengganti, tungkok (tongkat), penglaku
(petugas) dan kepala meranai (kepala bujang). Berdasarkan Regment tahun 1939,
Kepala Marga melaksanakan pemerintahan marganya didampingi Dewan Marga, yang
anggotanya terdiri dari para Punyimbang. Masing-masing Marga merupakan kesatuan
kampong (Tiyuh) dan bagian kampong (Suku) termasuk umbalan yang ada disaerah
peladangan dalam lingkungan hak ulayat tanah marga bersangkutan.
e. Di daerah Dayak Kalimantan
Para warga adat dayak tergabung dalam kesatuan suku atau bagian-bagian suku yang
menguasai suatu wilayah suku masing-masing. Dimana ada yang bertempat tinggal
menetap dan ada yang masih mengembara. Setiap suku dayak dipimpin oleh Kepala
Suku. Pemerintahan adatnya dilaksanakan dengan musyawarah antara Kepala Suku
bersama para warga adat suku yang merdeka. Setiap kampong terdiri dari beberapa
keluarga kecil dengan mendiami bangunan rumah yang disebut lewu. Pemerintahan
desa di Kalimantan Tengah dipegang oleh Pembekal sebagai kepala Administrasi desa
yang didampingi oleh Pangulu sebagai kepala adat yang berada di bawah Demang
selaku kepala adat kecamatan. Sedangkan Mantir adalah penasihat urusan hukum dan
peradilan adat.
f. Di daerah Sulawesi
Masyarakat adat Sulawesi terdiri dari suku Bugis, Makasar, Toraja, dan Mandar. Pada
masa umumnya masyarakat adat tersebut terdiri dari kelompok-kelompok keluarga
yang mendiami sebuah kampong. Kesatuan dari beberapa kampong disebut Wanua
(bugis) atau Parasangan (makasar), Buah (Toraja), Walak (Minahasa). Masyarakat
adatnya dapat dibedakan menjadi 3, yaitu Anakarung (golongan raj-raj), To-maradeka
(golongan orang merdeka) dan Ata (golongan budak). Kampung-kampung tersebut
terikat pada pusat kampung yang terdapat tempat keramatnya. Setiap kampung
dipimpin oleh Matowa atau Jannang atau lompo yang dibantu oleh beberapa
pembantu. Di masa sekarang kesatuan dari sejumlah kampung itu oleh pemerintah
disamakan dengan daerah kecamatan, kampung-kampung lama dijadikan desa
berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Sulawesi Selatan tanggal 20 Desember 1965
no. 450/XII/1965.
g. Di daerah Nusatenggara
Daerah ini terdiri dari tiga pulau besar, yaitu Flores, Sumba, Timot dan beberapa pulau
kecil yang masyarakat adatnya berbeda-beda. Masyarakat adat di daerah ini pada
umumnya berbentuk kerajaan kecil, (swapraja). Dimana, setiap kerajaan terdiri dari
beberapa daerah. Di pulau Flores ada 3 kesatuan suku masyarakat adat yang besar
yaitu, suku manggarai, suku-suku ruing, Ngada, Nage, Keo, Ende, Lio, Sikka dan suku
Larantuka. Masyarakat manggarai terdiri dari beberapa Dalu (kecamatan). Setiap dalu
terdiri dari beberapa Galarang dan di setiap Galarang terbagi dalam beberapa Beo.
Dalu dipimpin oleh Kepala Dalu yang bergelar Kraeng. Kepala dalu yang dituakan
disebut Sangaji. Kepala Dalu dan Galarang dalam menjalankan pemerintahannya
dibantu oleh beberapa pejabat. Di daerah Timur terbagi menjadi 4 kerajaan yaitu
Kerajaan Kupang, Timur tengah Selatan, Timur Tengah Utara dan Belu. Masing-
masing kerajaan tersebut terdiri dari beberapa Kefettoran (kecamatan) yang dikepalai
oleh Fettor. Setiap Kefettoran terdiri dari beberapa Ketemukungan (desa) yang
dikepalai oleh Temukung. Suatu Ketemukungan terdiri dari desa induk dan beberapa
perkampungan kecil-kecil. Temukung dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh
beberapa pejabat yang semuanya betanggung jawab kepada Fettor. Di daerah Sumba
Timur, tepatnya di Kecamatan Paberiwai, pemerintah adat disebut Huni Kalaratu yang
dipimpin oleh Ratu. Dalam menjalankan tugasnya, Ratu dibantu oleh golongan
bangsawan yang disebut Maramba. Masyarakat adatnya mendiami pedesaan yang
disebut paraingu yang dikepalai oleh Kabihu. Selain sebagai kepala desa, Kabihu juga
menjabat sebagai Mangu Tanangu yang mengatur dan menguasai hak ulayat dan
sebagai imamat dalam melaksanakan upacara keagamaan di paraingunya.
h. Di Daerah Maluku dan Irian Jaya.
Didaerah Maluku terutama di pulau-pulau kecil ambon dan Uliaser, dikenal adanya
Negorij. Negorij merupakan kesatuan dari beberapa Aman yang dikepalai oleh Raja
dan Aman dipimpin oleh seorang Ama. Aman sendiri terdiri dari beberapa Soa yang
dipimpin oleh Kepala soa, dan setiap soa terdiri dari beberapa mata rumah (keluarga).
Para petugas pemerintahan itu dalam melaksanak tugas nya berdasarkan keputusan
Badan Saniri Negeri atau Saniri. Di daerah Irian Jaya, masyarakat adatnya berbeda-
beda. Di masyarakat pantai utara di desa Muremarew, terdiri dari kelompok-kelompok
kerabat yang dulu disebut auwet dan kelompok-kelompok kerabat yang lain.
Kelompok-kelompok kerabat itu dipimpin oleh seorang dari warga mereka yang
dituakan. Untuk melaksanakan pemerintahan, pemerintah mengangkat Kepala Desa
yang disebut Korano yang didampingi oleh ondoafi. Selain mereka terdapat pula
seorang penulis, beberapa mandor, guru agama dan wakilnya (pine tua).
3. Kepengurusan Masyarakat Adat-Keagamaan
a. Di lingkungan masyarakat kepercayaan lama
Kepengurusan masyarakat adat ini dapat dilihat salah satunya di tanah Batak. Ditanah
Batak bagian utara ada suatu cabang Marga yang disebut Horja yang merupakan
persekutuan pemujaan. Upacara pemujaan dilakukan dengan upacara dalam suatu bius
(persekutuan keagamaan). Suatu bius merupakan suatu daerah geografis kecil yang
meliputi beberapa ribu warga. Namaun bius-bius kecil itu cenderung bersatu untuk
melakukan upacara keagamaan yang besar. Upacara tersebut dipimpin oleh datu atau
perbangin (pendeta bius) atau dipimpin oleh tua-tua Marga yang dihormati.
Kepengurusan seperti itu juga terdapat di daerah-daerah lain dengan istilah adat yang
berbeda-beda.
b. Di lingkungan masyarakat Hindu-Bali
Masyarakat Bali debedakan menjadi Bali Aga dan Bali Majapahit. Masyarakat di Bali,
selain sebagai kesatuan territorial dan kekerabatan yang patrilineal juga meruapakan
kesatuan adat dan keagamaan hindu. Kesatuan Banjar tersebut dikepalai oleh Klian
Banjar yang salah satu tugasnya adalah mengenai urusan keagamaan. Klian Banjar
bertanggung jawab kepada Klian Desa. Keluarga-keluarga banjar mendiami suatu
komplek bangunan yang terdiri dari beberapa bangunan yang merupakan satu kesatuan
disebut Uma. Rumah tangga orang Bali biasanya terdiri dari keluarga batih senior dan
yunior. Secara umum upacara adat keagamaan Hindu Bali adal lima macam yang
disebut panca yadnya, yaitu Manusia Yadnya, Pira Yadnya, Dewa Yadnya, Resi
Yadnya dan Buta Yadnya. Dalam melaksanakan upacara tersebut dipimpin oleh para
sulinggih, yaitu para pendeta atau petugas keagamaan yang telah ditetapkan untuk itu.
Selain itu terdapat petugas yang mengurus bangunan pura-pura di banjar atau di subak
yang disebut pemangku. Apabila sulinggih berhalangan, pemangku dapat
menggantikan sulinggih untuk memimpin pelaksanaan upacara adat. Saat ini para
petugas agama tersebut tergabung dalam Majelis Parisada Hindu Dharma.
c. Di lingkungan masyarakat Kristen
Masyarakat adat penganut agama Kristen di Indonesia dibedakan dalam 2 golongan
yaitu golongan Kristen Katolik dan Kristen Protestan. Bagi umat Kristen
keanggotaannya terikat pada gereja tertentu, umat Katolik terikat pada gereja Katolik,
dan umat Protestan terikat pada gereja protestan. Kepengurusan dan keanggotaan umat
Katolik tersusun menurut jenjang hierarkisnya yang diatur dalam Kitab Hukum
Kanonik, yaitu Sri Paus (berkedudukan di Vatikan), Kardinal (pembesar tertinggi yang
membantu tugas Paus), Uskup Agung (mengepalai gereja di Ibukota Negara), Uskup
diosesan (Uskup yang mengepalai gereja di tingkat propinsi), Pastor sebagai kepala
paroki (yang mengepalai gereja di tingkat kecamatan). Pembinaan umat Katolik
dilakukan oleh pastor gereja suatu paroki dan para Kapelan (pembantu rohaniawan)
yang semuanya penggembala tanpa pasangan hidup. Sedagkan pada Kristen Protestan
dilakukan oleh pendeta (domine) dan guru-guru Injil yang berkeluarga di lingkungan
gerejanya masing-masing.
d. Di lingkungan masyarakat Islam
Di masyarakat adat Indonesia Hukum Islam dan Hukum adat saling berdampingan.
Pengaruh hukum Islam terlihat dalam pelaksanaan ibadah, muamalah yaitu hukum
perkawinan tentang akad nikah dengan ijab Kabul dan perceraian, sedangkan yang
lainnya masih berpegang pada hukum adat. Dalam pelaksanaan memenuhi ajaran
agama dan perkawinan atau perceraian dilaksanakan oleh para petugas agama dengan
berbagai sebutan petugas yang berbeda-beda, seperti penghulu, modin, alim, malim,
lebe, ketib, kaum, kiyai, kadi, tuanku dan sebagainya. Selain itu para penganut agama
islam dalam melaksanakan Ibadah atau upacara keagamaan tidak tergantung pada
masjid atau surau tertentu. Perkawinan dapat dilakukan dirumah dan sholat dapat
dilakukan dimana saja asal tempatnya baik dan bersih.
4. Kepengurusan Masyarakat Adat lainnya
a. Masyarakat adat di perantauan
Perkumpulan-perkumpulan kekeluargaan yang dibentuk oleh masyarakat adat dari
suatu daerah di tempat perantaua, kebanyakan tidak lagi berdasarkan susunan
kemsyarakatan di daerah asalnya, melainkan terjadi perubahan adat. Perkumpulan
tersebut bertujuan untuk memperkuat tali persaudaraan sekampung dalam ikatan adat
budaya yang sama. Oraganisai-organisasi itu berperan mengurus dan menyelesaikan
hal-hal yang berkaitan dengan kekeluargaan dan seni budaya sedaerah asal dari para
anggotanya dan juga berperan dalam menghadapi perkumpulan kekeluargaan dari
masyarakat adat yang lain. Perkumpulan perkumpulan masyarakat adat tersebut
dalam melaksanakan jalannya Organisasi tidak lagi berdasarkan pada hukum adat di
daerah asalnya melainkan berdasarkan anggaran dasar organisasi masing-masing
b. Masyarakat keorganisasian umum
Sejak sebelum perang dunia pertama, rakyat Indonesia sudah mengenal organisasi
modern dengan anggaran dasar dan susunan pengurus yang teratur, seperti Budi
Utomo, Sarekat Dagang Islam, Muhammadiyah dan sebagainya. Organisasi tersebut
menjalankan tugasnya berdasarkan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga dengan
susunan pengurus (Ketua, Sekretaris, Bendahara dan para pembantu) dan para
anggotanya. Pengurus organisasi umum yang berperan sebagai pemuka, penengah dan
penyelesai kepentingan para anggota organisasinya berdasarkan adat kebiasaan yang
berlaku di organisasinya adalah sama saja sebagi Penghulu/Raja adat atau Hakim Adat
dalam kesatuan masyarakat adat yang tradisional.
c. Masyarakat keturunan Cina
Masyarakat adat keturunan Cina di zaman Hindia Belanda digolongkan
kependudukannya dalam golongan timur asing dan orang-orang bangsa lain yang
disahkan oleh peraturan perundang-undangan sebagai warga negara. Sifat kekerabatab
masyarakat Cina bersifat patrilineal dan virilokal, yang terdiri dari keluarga orang tua
dengan anak lelaki sulung yang telah berkeluarga, atau juga bersama, adik-adiknya
pria dan wanita yang belum berkeluarga, atau juga yang sudah berkeluarga. Karena
pengaruh perkembangan zaman, ada juga keluarga Cina yang terdiri dari satu batih
saja. Kepengurusan masyarakat adat cina disuatu daerah di zaman hindia belanda
dipimpin oleh sesorang yang dipilih dari salah satu mereka. Jabatan kepala tersebut
oleh Belanda diberi pangkat sebagai Wijkmeester setingkat kepala kampung,
kemudian diatasnya diberi pangkat Luitenant dan Kapitein. Orang cina menyebut
jabatan itu Kongkoan. Tugas mereka adalah menjadi penghubung dengan pemerintah
belanda yang menyangkut perpajakan sedangkan tugas Kongkoan ialah menjaga
keamanan dan ketertiban warganya dan mengurus urusan adat, keagamaan,
perkawinan, perceraian dan menyelesaikan perselisihan secara damai.

You might also like