You are on page 1of 10

Wheezing, adalah bunyi musical terdengar ngiii.ik atau pendek ngiik.

Yang bisa didapat pada


fase inspirasi dan atau ekspirasi, bahkan biasanya lebih jelas pada ekspirasi. Wheezing terjadi
karena adanya exsudat lengket tertiup aliran udara dan bergetar nyaring.
5. Sopor adalah keadaan kesadaran pasien yang mirip koma, berbaring dengan mata tertutup, tidak
menunjukkan reaksi jika dibangunkan, kecuali dengan rangsang nyeri. Refleks kornea meski lunak masih bisa
dibangkitkan, reaksi pupil utuh. Istilah lain stupor.
Histamin
Histamin adalah senyawa normal yang ada dalam jaringan tubuh, yaitu pada jaringan sel mast dan peredaran
basofil, yang berperan terhadap berbagai proses fisiologis yang penting. Histamin dikeluarkan dari tempat
pengikatan ion pada kompleks heparin-heparin dalam sel mast sebagai hasil reaksi antigen-antibodi bila ada
rangsangan senyawa allergen. Senyawa allergen dapat berupa spora, debu rumah, sinar UV, cuaca, racun,
tripsin, dan enzim proteolitik lain, deterjen, zat warna, obat makanan dan beberapa turunan amina.
Histamin merupakan produk dekarboksilasi dari asam amino histidin.
Pelepasan histamine terjadi akibat :
Rusaknya sel
Histamine banyak dibentuk di jaringan yang sedang berkembang dengan cepat atau sedang dalam proses
perbaikan, misalnya luka
Senyawa kimia
Banyak obat atau zat kimia bersifat antigenic,sehingga akan melepaskan histamine dari sel mast dan basofil.
Contohnya adalah enzim kemotripsin, fosfolipase, dan tripsin.
Reaksi hipersensitivitas
Pada orang normal, histamine yang keluar dirusak oleh enzim histamin dan diamin oksidase sehingga
histamine tidak mencapai reseptor Histamin. Sedangkan pada penderita yang sensitif terhadap histamine
atau mudah terkena alergi jumlah enzim-enzim tersebut lebih rendah daripada keadaan normal.
Sebab lain
Proses fisik seperti mekanik, thermal, atau radiasi cukup untuk merusak sel terutama sel mast yang akan
melepaskan histamin.
Histamin berinteraksi dengan reseptor yang spesifik pada berbagai jaringan target. Reseptor histamine
dibagi menjadi histamine 1 (H-1) dan histamine 2 (H-2). Pengaruh histamin terhadap sel pada berbagai
jaringan tergantung pada fungsi sel dan rasio reseptor H-1 : H-2. stimulasi reseptor H-1 menimbulkan :
Vasokonstriksi pembuluh-pembuluh yang lebih besar
Kontraksi oto bronkus, otot usus dan otot uterus
Kontraksi sel-sel otot polos
Kenaikan aliran limfe
Stimulasi reseptor H-2 menimbulkan :
Dilatasi pembuluh paru-paru
Meningkatkan frekuensi jantung dan kenaikan kontraktilitas jantung
Kenaikan sekresi kelenjar terutama dalam mukosa lambung
ANTIHISTAMIN
Antihistamin adalah obat yang dapat mengurangi atau menghilangkan kerja histamin dalam tubuh melalui
mekanisme penghambatan bersaing pada reseptor H-1, H-2 dan H-3. Efek antihistamin bukan suatu reaksi
antigen antibodi karena tidak dapat menetralkan atau mengubah efek histamin yang sudah terjadi.
Antihistamin pada umumnya tidak dapat mencegah produksi histamin. Antihistamin bekerja terutama
dengan menghambat secara bersaing interaksi histamin dengan reseptor khas.
Antihistamin sebagai penghambat dapat mengurangi degranulasi sel mast yang dihasilkan dari pemicuan
imunologis oleh interaksi antigen IgE. Cromolyn dan Nedocromil diduga mempunyai efek tersebut dan
digunakan pada pengobatan asma, walaupun mekanisme molekuler yang mendasari efek tersebut belum
diketahui hingga saat ini.
Berdasarkan hambatan pada reseptor khas antihistamin dibagi menjadi tiga kelompok yaitu :
v Antagonis H-1, terutama digunakan untuk pengobatan gejala-gejalal akibat reaksi alergi
v Antagonis H-2, digunakan untuk mengurangi sekresi asam lambung pada pengobatan penderita pada
tukak lambung
v Antagonis H-3, sampai sekarang belum digunakan untuk pengobatan, masih dalam penelitian lebih
lanjut dan kemungkinan berguna dalam pengaturan kardiovaskuler, pengobatan alergi dan kelainan mental
Antagonis Reseptos H-1
Antagonis reseptor H-1 adalah senyawa yang secara kompetitif menghambat histamin pada reseptor H-1
dan telah digunakan secara klinis dalam beberapa tahun. Beberapa tersedia untuk dijual bebas, baik sebagai
tunggal maupun di dalam formulasi kombinasi seperti pil flu dan pil untuk membantu tidur.
Antagonis H-1 sering disebut antihistamin klasik atau antihistamin H-1. antagonis H-1 menghambat
efek histamin dengan cara antagonisme kompetitif yang reversibel pada reseptor H-1. Mereka mempunyai
kemampuan yang diabaikan pada reseptor H-2 dan kecil pada reseptor H-3, contohnya : induksi kontraksi
yang disebabkan histamin pada otot polos bronkioler ataupun saluran cerna dapat dihambat secara lengkap
oleh agen-agen tersebut, tetapi efek pada sekresi asam lambung dan jantung tidak termodifikasi. Antagonis
H-1 dibagi menjadi agen generasi pertama dan generasi kedua.
Antagonis H-1 generasi pertama mempunyai efek sedatif yang relatif kuat, karena agen generasi pertama
lebih mempunyai sifat menghambat reseptor autonom. Sedangkan antagonis H-1 generasi kedua kurang
bersifat sedatif disebabkan distribusinya yang tidak lengkap dalam sistem saraf pusat.
Antagonis H-1 generasi pertama mempunyai banyak efek yang tidak berhubungan dengan penghambatan
terhadap efek histamin. Sejumlah besar efek tersebut diduga dihasilkan dari kesamaan struktur umumnya
dengan struktur obat yang mempunyai efek pada kolinoseptor muskarinik, adrenoreseptor-, serotonin dan
situs reseptor anestetika lokal. Beberapa dari efek tersebut mempunyai nilai terapeutik dan beberapa
lainnya tidak dikehendaki.
Efek yang tidak disebabkan oleh penghambatan reseptor histamin :
1. Efek sedasi
Efek umum dari antagonis H-1 generasi pertama adalah efek sedasi. Tetapi intensitas efek tersebut
bervariasi. Efeknya cukup besar pada beberapa agen membuatnya sebagai bantuan tidur dan tidak cocok
digunakan di siang hari. Efek tersebut menyerupai beberapa obat antimuskarinik.
1. Efek antimual dan antimuntah
Beberapa antagonis H-1 generasi pertama mempunyai aktivitas mampu mencegah terjadinya motion
sickness. Contoh obatnya : Doxylamine.
1. Kerja antikolinoreseptor
Banyak agen dari generasi pertama mempunyai efek seperti atropin yang bermakna pada muskarinik perifer.
1. Kerja penghambatan adrenoreseptor
Efek penghambatan reseptor alfa dapat dibuktikan pada beberapa antagonis H-1, namun penghambatan
terhadap reseptor beta tidak terjadi. Penghambatan terhadap reseptor alfa tersebut dapat menyebabkan
hipotensi ortostatik. Contoh obatnya adalah Promethazine.
1. Kerja penghambatan serotonin
Efek penghambatan terhadap reseptor serotonin dapat dibuktikan pada agen antagonis H-1 generasi
pertama. Contoh obat : Cyproheptadine.
1. Efek parkinsonisme
Hal ini karena kemampuan agen antagonis H-1 generasi pertama mempunyai efek antikolinergik.
Contoh obat antagonis H-1 generasi pertama dan mekanismenya adalah :
1. Doxylamine
Doxylamine berkompetisi dengan histamin untuk menempati reseptor histamin 1, mengeblok kemoreseptor,
mengurangi stimulasi vestibular dan menekan fungsi labyrinthine melalui aktivitas kolinergik pusatnya.
1. Clemastine
Clemastine berkompetisi dengan histamin untuk menempati reseptor histamin 1 pada efektor di saluran
pencernaan, pembuluh darah, dan saluran pernapasan.
Antagonis histamin 1 generasi 2
Pada reaksi alergi, alergen (semacam antigen) berinteraksi dan membentuk ikatan silang dengan permukaan
dari antibodi IgE pada sel mast dan basofil. Ketika terjadi kompleks sel mast antibodi-antigen, akan memacu
terjadinya degranulasi dan pelepasan histamin (dan mediator lainnya) dari dalam sel mast maupun basofil.
Setelah dilepaskan,histamin dapat bereaksi (menimbulkan efek) pada jaringan yang terdapat reseptor
histamin.
Proses release histamin tidak terjadi secara langsung, melainkan diawali dengan transduksi signal. Proses
transduksi signal adalah proses masuknya signal ke dalam sel sehingga membuat sel bereaksi dan
menimbulkan efek. Ketika alergen masuk pertama kali ke dalam tubuh, T
H
-2 limfosit akan mengeluarkan IL-4,
IL-4 menghasilkan signal yang merangsang B-sel (suatu sel limfosit) untuk menghasilkan antibodi IgE. Ketika
alergen menyerang untuk yang kedua kalinya, IgE berikatan dengan alergen dan dibawa menuju sel mast.
Pada sel mast kompleks IgE-alergen akan terikat pada reseptor F
c
(Epsilon-C reseptor). Ikatan ini akan
menghasilkan signal ke dalam sel yang akan mengaktifkan enzim fosfolipase. Fosfolipase akan mengubah
phosphatidylinositol 4,5-bisphosphate (PIP
2
) menjadi inositol 1,4,5-triphosphate (IP3) yang akan
memobilisasi Ca
2+
dari organel penyimpan dalam sel mast. Ca
2+
merupakan second messenger bagi terjadinya
kontraksi otot atau sel. Second messenger inilah yang memacu proses degranulasi sel mast sehingga
histamin akan terlepas.
Histamin bereaksi pada reseptor H-1, dapat menyebabkan pruritus (gatal-gatal), vasodilatasi, hipotensi,
wajah memerah, pusing, takikardia, bronkokonstriksi, menaikkan permeabilitas vaskular, rasa sakit dan lain-
lain. Histamin merupakan produk dekarboksilasi dari asan amino histidin. Histamin terdapat dalam sel mast
dan leukosit basofil dalam bentuk tidak aktif secara biologik dan disimpan terikat dalam heparin dan protein
basa. Histamin akan dibebaskan pada reaksi hipersensitivitas pada rusaknya sel dan akibat senyawa kimia.
Antihistamin adalah obat yang mampu mengusir histamin secara kompetitif dari reseptornya sehingga
mampu meniadakan histamin.
Reseptor H-1 disebut juga metabotropik G-protein coupled reseptor. G-protein yang terdapat dalam
reseptor H-1 menghasilkan fosfolipase dan fosfatidylinositol. Kedua senyawa inilah yang bertindak sebagai
penunjuk jalan histamine sampai ke reseptor H-1. Pelepasan histamin dapat diinduksi oleh produksi enzim
prostaglandin sintase. Sebagai akibatnya terjadi pelepasan histamine yang berlebihan sehingga
menyebabkan vasodilatasi karena histamine menginduksi endotel vaskuler yang menghasilkan cGMP di otot
polos. cGMP inilah yang menyebabkan vasodilatasi. Efek ini dapat dihilangkan dengan adanya antagonis
histamin H-1 dimana mekanisme kerjanya bersifat inhibitor kompetitif terhadap reseptor-reseptor histamin.
Antagonis histamin H-1 terdiri dari 3 generasi : generasi 1,generasi 2 dan generasi 3. Perbedaan antara
generasi 1 dan generasi 2 terletak pada efek samping yang ditimbulkan, generasi 1 menimbulkan efek sedatif
sedangkan generasi 2 pada umumnya non sedatif karena generasi 2 pada umumnya tidak dapat
menembus blood brain barrier(bersifat lipofobik dan bulky), sehingga tidak mempengaruhi sistem saraf
pusat. Selain itu, antihistamin H-1 generasi 2 bersifat spesifik karena hanya terikat pada reseptor H-1.
Beberapa obat generasi 2 dapat menghambat pelepasan mediator histamin oleh sel mast.
Obat antihistamin H-1 generasi 2 tidak bisa digolongkan berdasarkan struktur kimianya karena meskipun
memiliki struktur kimia dasar yang sama, obat tersebut masih memiliki gugus fungsional tambahan yang
berbeda. Contoh : sterfenadine, aztemizole, nuratadine, ketotifen, levokaloastin, mempunyai cincin
piperidin tetapi tidak dapat dimasukkan dalam satu golongan karena mempunyai gugus fungsional
tambahan yang berbeda.
Efek samping antagonis histamin H-1 G2 :
- Allergic photosensitivity, anaphylactic shock, drug rash, dermatitis
- Central nervous system* somnolence / drowsiness, headache fatigue, sedation
- Respiratory** dry mouth, nose and throat (cetirizine, loratadine)
- Gastrointestinal** nausea, vomiting, abdominal distress (cetirizine, fexofenadine
Obat-obat antagonis histamin H-1 G2 :
Cetirizine (Zyrtex)
Cetirizine HCl merupakan antagonis reseptor H-1. Nama kimianya adalah () [2-[4-[(4-
chlorophenyl)phenylmethyl]-1-piperazinyl]ethoxy]acetic acid. Rumus empirisnya adalah C
12
H
25
C
4
N
2
O
3
.2HCl
dan Bmnya 461,82.
Cetirizine dapat menurunkan jumlah histamin dengan mengurangi jumlah produksi prostaglandin dan
menghambat migrasi basofil yang diinduksi oleh antigen. Indikasi : seasonal allergic rhinitis (karena pollen,
rumput). Perennial allergic rhinitis (karena debu, bulu binatang, dan jamur). Chronic urticaria. Efek samping :
anoreksia, tachycardia, migraine, konstipasi, dehidrasi.
Fexofenadine
Fexofenadine HCl (paten: Allegra dan Telfast) adalah suatu obat antihistamin yang digunakan untuk
pengobatan demam dan gejala alergi yang mirip lainnya. Obat ini merupakan obat alternatif dari terfenadine
yang memiliki kontra indikasi yang serius. Fexofenadine seperti antagonis H1 generasi 2 dan 3 lainnya, tidak
dapat melewati blood brain barrier dan kurang menyebabkan efek sedative dibandingkan dengan obat
generasi 1. kerja dari obat ini adalah sebagai antagonis dari reseptor H1.
Indikasi : seasonal allergic rhinitis, chronic idiopathic urticaria.
Efek samping : dizziness, back pain, cough, stomach discomfort, pain in extremity.
Kontraindikasi : pada pasien dengan hipersensitifitas dengan fexofenadine dan beberapa aksus lainnya yang
jarang terjadi menyebabkan angiodema, sesak nafas, kemerahan pada kulit dan anafilaksis.
Terdapat obat-obat generasi dua yang dapat mengakibatkan cardiotoxic seperti astemizole. Obat astemizole
dapat berikatan dengan potassium (K) channel, yang merupakan reglator potensial membrane sel. Ikatan ini
dapat menyebabkan terganggunya fungsi potassium channel menyebabkan Long QT Syndrome. Long DT
Syndrome merupakan perpanjangan dari QT interval. Apabila QT interval panjang, secara otomatis ritme
jantung akan menurun, disebut juga dengan bradycardia. Bradycardia akan menyebabkan kurngnya supply
oksigen dalam tubuh dan juga penyumbatan aliran darah (heart block).

PENGGUNAAN ADRENALIN DALAM PENGOBATAN ANAFILAKSIS
(Anastasia Aprilistyawati 06-026; Maria Laksmi Parahita 06-027)
Apa itu anafilaksis?
Reaksi anafilaksis adalah suatu sindroma yang terjadi karena adanya peningkatan permeabilitas dinding
pembuluh darah dan penyempitan bronkus yang mendadak. Reaksi ini dicetuskan oleh beberapa mediator
kimiawi endogen seperti : histamin, serotonin atau lainnya yang segera terbentuk.
Reaksi anafilaksis atau hipersensitivitas jenis cepat adalah reaksi imonopatologik tipe I, yaitu reaksi jaringan
yang terjadi beberapa menit setelah obat manifestasi kontak antigen dan antibodi. Sebagai antigen
adalah IgE.yangdisebut homositotropik.. Anafilaksis dapat menyebabkan syok, gagal nafas, henti jantung dan
kematian mendadak..
Apa Saja Alergen Penyebab Anafilaksis ?
Allergen penyebab Anafilaksis adalah :
Krustasea: Lobster, udang dan kepiting
Obat Hormon : Insulin, PTH, ACTH, Vaso-presin, Relaxin
Enzim : Tripsin,Chymotripsin, Penicillinase, As-paraginase Vaksin dan Darah
Toxoid : ATS, ADS, SABU Ekstrak alergen untuk uji kulit Dextran
Antibiotika: Penicillin, Streptomisin, Cephalosporin, Tetrasiklin, Ciprofloxacin, Amphotericin B,
Nitrofurantoin.
Agent diagnostik-kontras: Vitamin B1, Asam folat Agent anestesi: Lidocain, Procain,
Lain-lain: Barbiturat, Diazepam, Phenitoin, Protamine, Aminopyrine, Acetil cystein , Codein, Morfin, Asam
salisilat dan HCT Bisa serangga Lebah Madu, Jaket kuning, Semut api Tawon (Wasp). Lain-lain Lateks, Karet,
Glikoprotein seminal fluid
Apa Saja Gejala-Gejala Reaksi Anafilaksis ?
Anafilaksis merupakan reaksi sistemik, gejala yang timbul juga menyeluruh. Gejala-gejala syok anafilaksis
sering disertai gejala reaksi hipersensitif lainnya Manifestasinya bergantung cara masuk antigen atau benda
asing, jumlah yang diabsorpsi dan tingkat hipersensitifitas.
Gejala permulaannya adalah sakit kepala, pusing, gatal dan perasaan panas sistem organ gejala kulit eritema,
urticaria, angoedema, conjunctivitis, pallor dan kadang cyanosis respirasi bronkospasme, rhinitis, edema
paru dan batuk, nafas cepatdan pendek, terasa tercekik karena edema epiglotis, stridor, serak, suara hilang,
wheezing, dan obstruksi komplit. cardiovaskular hipotensi, diaphoresis, kabur pandangan, sincope, aritmia
dan hipoksia gastrintestinal mual, muntah, cramp perut, diare, disfagia, inkontinensia urin SSP, Parestesia,
konvulsi dan kom Sendi Arthralgia Haematologi darah, trombositopenia, DIC
Bagaimana Mekanisme Anafilaksis?
Mekanisme anafilaksis terdiri dari dua fase, yaitu :
1. Fase Sensitisasi
Yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan Ig E sampai diikatnya oleh reseptor spesifik pada
permukaan mastosit dan basofil. Alergen yang masuk lewat kulit, mukosa, saluran nafas atau saluran makan
di tangkap oleh Makrofag. Makrofag segera mempresen-tasikan antigen tersebut kepada Limfosit T, dimana
ia akan mensekresikan sitokin (IL-4, IL-13) yang menginduksi Limfosit B berproliferasi menjadi sel Plasma
(Plasmosit). Sel plasma memproduksi Immunoglobulin E (Ig E) spesifik untuk antigen tersebut. Ig E ini
kemudian terikat pada receptor permukaan sel Mast (Mastosit) dan basofil.
2. Fase Aktivasi
Yaitu waktu selama terjadinya pemaparan ulang dengan antigen yang sama. Mastosit dan Basofil
melepaskan isinya yang berupa granula yang menimbulkan reaksi pada paparan ulang . Pada kesempatan
lain masuk alergen yang sama ke dalam tubuh. Alergen yang sama tadi akan diikat oleh Ig E spesifik dan
memicu terjadinya reaksi segera yaitu pelepasan mediator vasoaktif antara lain histamin, serotonin,
bradikinin dan beberapa bahan vasoaktif lain dari granula yang di sebut dengan istilah Preformed mediators.
Bagaimana Pengobatan Anafilaksis ?
Pertimbangan penggunaan obat-obatan untuk mengatasi syok anafilaksis adalah adrenalin, aminofuin,
antihistamin, kortikosteroid.
Adrenalin
Sampai sekarang adrenalin masih merupakan obat pilihan pertama untuk mengobati syok anafilaksis. Obat
ini berpengaruh untuk meningkatkan tekanan darah, menyempitkan pembuluh darah, melebarkan bronkus
dan meningkatkan aktivitas otot jantung.
Adrenalin bekerja sebagai penghambat pelepasan histamine dan mediator lain yang poten. Mekanismenya
adalah adrenalin meningkatkan siklik AMP dalam sel mast dan basofil sehingga menghambat terjadinya
degranulasi serta pelepasan histamine dan mediator lainnya. Selain itu adrenalin mempunyai kemampuan
memperbaiki kontraktilitas otot jantung, tonus pembuluh darah perifer dan otot polos bronkus.
Adrenalin selalu akan dapat menimbulkan vasokonstriksi pembuluh darah arteri dan memicu denyut dan
kontraksi jantung sehingga menimbulkan tekanan darah naik seketika dan berakhir dalam waktu pendek.
Betabloker akan selalu juga menghambat frekuensi dan konduksi jantung pada dosis terapi dan morfin juga
selalu akan mengurangi rasa sakit dan menghambat pernapasan dalam dosis lebih besar. Semua reaksi ini
merupakan dose-dependent reactions yang nyata. Dengan demikian banyak obat lain bisa kita golongkan
kedalamnya seperti kontaseptif oral, insulin, dsb. Obat sejenis ini termasuk daftar Obat Esensial.
Bagaimana Cara Pemberian Adrenalin ?
1. Adrenalin Intramuskular
Pemberian secara intramuskuler merupakan pilihan pertama dari cara pemberian adrenalin pada
penatalaksanaan syok anafilaktik. Adrenalin memiliki onset yang cepat setelah pemberian intramuskuler dan
pada pasien dalam keadaan syok, absorbsi intramuskuler lebihg cepat dan lebih baik dari pada pemberian
subkutan. Pasien dengan alergi berat dianjurkan untuk pemberian sendiri injeksi intramuskuler adrenalin.
Volume injeksi adrenalin 1:1000 (1mg/ml) untuk injeksi intramuskuler pada syok anafilaksis.
Umur Volume adrenalim 1:1000
Dibawah 1 tahun 0,05 ml
1 tahun 0,1 ml
2 tahun 0,2 ml
3-4 tahun 0,3 ml
5 tahun 0,4 ml
6-12 tahun 0,5 ml
Dewasa 0,5 1 ml
Dosis diatas dapat diulang tiap 10 menit, menurut tekanan darah dan nadi sampai perbaikan terjadi
(mungkin diulangi beberapa kali)
2. Adrenalin Intravena
Pada saat pasien tampak sangat kesakitan dan benar-benar diragukan kemampuan sirkulasi dan absorbsi
injeksi intramuskuler, adrenalin mungkin diberikan dalam injeksi intravena lambat dengan dosis 500mcg
(5ml dari pengenceran injeksi adrenalin 1:10000) diberikan dengan kecepatan 100 mcg/menit dan
dihentikan jika respon dapat dipertahankan. Pada anak-anak dapat diberi dosis 10mcg/kgBB (0,1ml/kgBB
dari pengenceran injeksi adrenalin 1:10000 dengan injeksi intravena lambat selama beberapa menit.
3. Pemberian Sendiri Adrenalin
Individu yang mempunyai resiko tinggi untuk mengalami syok anafilaksis perlu membawa adrenalin setiap
waktu dan selanjutnya perlu diajarkan bagaimana menyuntikkannya. Pada kemasan perlu diberi label pada
kasus kolaps yang cepat orang lain dapat memberikan adrenalin tersebut. Penting untuk memastikan bahwa
suplay yang memadai telah terbukti mengatasi gejala anafilaksis sampai pertolongan medis tersedia.
Daftar Pustaka
Alirifan,2007,Penatalaksanaan Syok Anafilaksis, http://alirifan.blogspot.com/2007/11, diakses tanggal 10
Maret 2009
Anonim, 2000, Informatorium Obat Nasional Indonesia,91, Depkes RI, Jakarta
Anonim, 2008, Syok Anafilaktik, http://fkunair99.blog.friendster.com/2008/11/syok-anafilaktik/, diakses
tanggal 10 Maret 2009
Matsum,2001,Reaksi Atropin dan Adrenalin, http://matsum.blogspot.com/2008/05/reaksi-atropin-dan-
adrenalin.html, diakses tanggal 10 Maret 2009
Supri, 2009, Syok Anafilaksis, http://supri89.blogspot.com/2009/01/syok-anafilaksis.html, diakses tanggal 10
Maret 2009

Pemberian obat subkutan adalah pemberian obat melalui suntikan ke area bawah kulit yaitu pada jaringan
konektif atau lemak di bawah dermis (Aziz,2006).

Manifestasi Klinis Alergi Obat
Manifestasi klinis alergi obat dapat diklasifikasikan menurut organ yang terkena atau menurut
mekanisme kerusakan jaringan akibat reaksi imunologis Gell dan Coombs (tipe I sampai dengan IV) (Djauzi et
al., 2007):
1. Tipe I (Hipersensitivitas Tipe Cepat)
Manifestasi klinis yang terjadi merupakan efek mediator kimia akibat reaksi antigen dengan IgE
yang telah terbentuk, yang menyebabkan kontraksi otot polos, meningkatnya permeabilitas kapiler, serta
hipersekresi kelenjar mukus. 1) Kejang bronkus gejalanya berupa sesak, kadang disertai juga kejang laring.
Bila disertai edema laring menjadi keadaan gawat karena pasien tidak dapat atau sulit bernapas, 2) Urtikaria,
3) Angiodema, 4) Pingsan dan hipotensi. Renjatan anafilaktik dapat terjadi beberapa menit setelah suntikan
seperti penisilin (Djauzi et al., 2007).
Manifestasi klinis renjatan anafilaktik dapat terjadi dalam waktu 30 menit setelah pemberian obat.
Reaksi mengenai beberapa organ dan bersifat membahayakan, dengan penyebab yang tersering adalah
penisilin (Djauzi et al., 2007).
Pada tipe I ini terjadi beberapa fase, yaitu: a) Fase sensitisasi, yaitu waktu yang dibutuhkan untuk
pembentukan IgE. b) Fase aktivasi, yang terjadi karena paparan ulang antigen spesifik. Akibat aktivasi ini sel
mast/basofil mengeluarkan kandungan yang berbentuk granul yang dapat menimbulkan reaksi. c) Fase
efektor, yaitu fase terjadinya respon imun yang kompleks akibat penglepasan mediator (Djauzi et al., 2007).
2. Tipe II
Reaksi hipersensitivitas tipe II atau reaksi sitotoksik terjadi akibat pembentukan IgM/IgG oleh
pajanan antigen, yang kemudian dapat mengaktifkan sel-sel yang memiliki reseptornya (FcgR). Ikatan
antigen-antibodi juga dapat mengaktivasi komplemen melalui reseptor komplemen (Djauzi et al., 2007).
Manifestasi klinis reaksi tipe II umumnya berupa kelainan darah seperti anemia hemolitik,
trombositopenia, eosinofilia, dan granulositopenia. Nefritis interstisial dapat juga merupakan reaksi alergi
tipe ini (Djauzi et al., 2007).
3. Tipe III
Reaksi tipe III disebut juga reaksi kompleks imun, terjadi bilaa kompleks ini mengendap pada
jaringan. Antibodi yang berperan adalah IgM dan IgG. Kompleks ini mengaktifkan pertahanan tubuh dengan
penglepasan komplemen (Djauzi et al., 2007).
Manifestasi klinis reaksi tipe III dapat berupa: 1) Urtikaria, angiodema, eritema, makulopapula,
eritema multiforme, dan lain-lain. Gejala tersebut sering disertai dengan pruritus. 2) Demam, 3) Kelainan
sendi, artralgia, dan efusi sendi, 4) Limfadenopati, 5) Lain-lain (Djauzi et al., 2007):
- Kejang perut, mual
- Neuritis optik
- Glomerulonefritis
- Sindrom lupus eritematosus sistemik
- Gejala vaskulitis lain
Gejala timbul 5-20 hari setelah pemberian obat, tetapi bila sebelumnya pernah mendapat obat
tersebut, gejala dapat timbul dalam 1-5 hari (Djauzi et al., 2007).
4. Tipe IV
Reaksi tipe IV atau disebut Delayed Type Hypersensitivity (DTH) juga dikenal sebagai Cell Mediated
Immunity (reaksi imun seluler). Pada reaksi ini tidak ada peranan antibodi, yang berperan adalah respon sel
T yang telah disensitisasi oleh antigen tertentu (Djauzi et al., 2007).
Berbagai jenis DTH (Delayed Type Hypersensitivity): 1) Cutaneous Basophil Hypersensitivity, 2)
Hipersensitivitas kontak, 3) Reaksi tuberculin, 4) Reaksi granuloma (Djauzi et al., 2007).
Manifestasi klinis reaksi tipe IV dapat berupa reaksi paru akut seperti demam, sesak, batuk,
infiltrate paru, dan efusi pleura. Obat yang tersering menyebabkan reaksi ini yaitu nitrofurantoin, Nefritis
interstisial, ensefalomyelitis, dan hepatitis juga dapat merupakan manifestasi reaksi obat. Kadang gejala baru
timbul bertahun-tahun setelah sensitisasi. Contohnya pemakaian obat topikal. Bila pasien telah sensitif,
gejala dapat timbul 18-24 jam setelah obat dioleskan (Djauzi et al., 2007).
Diagnosis
Diagnosis anafilaksis ditegakkan berdasarkan gejala klinik yang timbul, dapat ringan seperti pruritus,
urtikaria, sampai gagal napas atau syok anafilaktik yang mematikan. Terkadang gejala anafilaksis yang berat
seperti syok atau gagal napas dapat langsung muncul tanpa tanda-tanda awal (Rengganis et al., 2007).
Gejala dan tanda anafilaksis berdasarkan organ sasaran dikelompokkan sebagai berikut (Rengganis et
al., 2007):
Sistem Gejala dan Tanda
Umum
Prodromal
Lesu, lemah, rasa tak enak, rasa tak enak di dada dan perut, rasa gatal di hidung dan
palatum.
Pernapasan
Hidung
Laring
Lidah
Bronkus

Hidung gatal, bersin, dan tersumbat.
Rasa tercekik, suara serak, sesak napas, stridor, edema, spasme.
Edema
Batuk, sesak, mengi, spasme
Kardiovaskuler Pingsan, sinkop, palpitasi, takikardi, hipotensi sampai syok, aritmia. Kelainan EKG:
gelombang T datar, terbalik, atau tanda-tanda infark miokard.
Gastrointestinal Disfagia, mual, muntah, kolik, diare yang kadang disertai darah, peristaltik usus meninggi.
Kulit Urtika, angiodema, di bibir, muka, atau ekstremitas.
Mata Gatal, lakrimasi
Susunan saraf pusat Gelisah, kejang

You might also like