You are on page 1of 7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Spektrofotometri Ultraviolet-Visibel (UV-Vis)
Spektrofotometri UV-Vis merupakan salah satu teknik analisis spektroskopi yang
memakai sumber radiasi eleltromagnetik ultraviolet dekat (190-380) dan sinar tampak
(380-780) dengan memakai instrumen spektrofotometer (Mulja dan Suharman, 1995:26).
Spektrofotometri UV-Vis melibatkan energi elektronik yang cukup besar pada molekul
yang dianalisis, sehingga spektrofotometri UV-Vis lebih banyak dipakai untuk analisis
kuantitatif ketimbang kualitatif (Mulja dan Suharman, 1995: 26).
Spektrofotometer terdiri atas spektrometer dan fotometer. Spektrofotometer
menghasilkan sinar dari spektrum dengan panjang gelombang tertentu dan fotometer
adalah alat pengukur intensitas cahaya yang ditranmisikan atau yang diabsorpsi.
Spektrofotometer tersusun atas sumber spektrum yang kontinyu, monokromator, sel
pengabsorpsi untuk larutan sampel atau blangko dan suatu alat untuk mengukur pebedaan
absorpsi antara sampel dan blangko ataupun pembanding (Khopkar, 1990: 216).
Spektrofotometer UV-Vis dapat melakukan penentuan terhadap sampel yang
berupa larutan, gas, atau uap. Untuk sampel yang berupa larutan perlu diperhatikan
pelarut yang dipakai antara lain:
1. Pelarut yang dipakai tidak mengandung sistem ikatan rangkap terkonjugasi pada
struktur molekulnya dan tidak berwarna.
2. Tidak terjadi interaksi dengan molekul senyawa yang dianalisis.
3. Kemurniannya harus tinggi atau derajat untuk analisis.
(Mulja dan Suharman, 1995: 28).



Komponen-komponen pokok dari spektrofotometer meliputi:
1. Sumber tenaga radiasi yang stabil, sumber yang biasa digunakan adalah lampu
wolfram.
2. Monokromator untuk memperoleh sumber sinar yang monokromatis.
3. Sel absorpsi, pada pengukuran di daerah visibel menggunakan kuvet kaca atau kuvet
kaca corex, tetapi untuk pengukuran pada UV menggunakan sel kuarsa karena gelas
tidak tembus cahaya pada daerah ini.
4. Detektor radiasi yang dihubungkan dengan sistem meter atau pencatat. Peranan
detektor penerima adalah memberikan respon terhadap cahaya pada berbagai panjang
gelombang (Khopkar, 1990: 216).
Serapan cahaya oleh molekul dalam daerah spektrum ultraviolet dan visibel
tergantung pada struktur elektronik dari molekul. Serapan ultraviolet dan visibel dari
senyawa-senyawa organik berkaitan erat transisi-transisi diantara tingkatan-tingkatan
tenaga elektronik. Disebabkan karena hal ini, maka serapan radiasi ultraviolet atau
terlihat sering dikenal sebagai spektroskopi elektronik. Transisi-transisi tersebut biasanya
antara orbital ikatan antara orbital ikatan atau orbital pasangan bebas dan orbital non
ikatan tak jenuh atau orbital anti ikatan. Panjang gelombang serapan merupakan ukuran
dari pemisahan tingkatan-tingkatan tenaga dari orbital yang bersangkutan. Spektrum
ultraviolet adalah gambar antara panjang gelombang atau frekuensi serapan lawan
intensitas serapan (transmitasi atau absorbansi). Sering juga data ditunjukkan sebagai
gambar grafik atau tabel yang menyatakan panjang gelombang lawan serapan molar atau
log dari serapan molar, E
max
atau log E
max
(Sastrohamidjojo, 2001: 11).
Sumber tenaga radiasi terdiri dari benda yang tereksitasi menuju ke tingkat yang
lebih tinggi oleh sumber listrik bertegangan tinggi atau oleh pemanasan listrik.
Monokromator adalah suatu piranti optis untuk memencilkan radiasi dari sumber
berkesinambungan. Digunakan untuk memperoleh sumber sinar monokromatis. Alat
dapat berupa prisma atau grating (Khopkar, 1990). Pengukuran pada daerah UV harus
menggunakan sel kuarsa karena gelas tidak tembus cahaya pada daerah ini. Sel yang
biasa digunakan berbentuk persegi maupun berbentuk silinder dengan ketebalan 10 mm.
Sel tersebut adalah sel pengabsorpsi, merupakan sel untuk meletakkan cairan ke dalam
berkas cahaya spektrofotometer. Sel haruslah meneruskan energi cahaya dalam daerah
spektral yang diminati. Sebelum sel dipakai dibersihkan dengan air atau dapat dicuci
dengan larutan detergen atau asam nitrat panas apabila dikehendaki (Sastrohamidjojo,
2001: 39-41).

B. Kromatografi Lapis Tipis
Kromatografi adalah suatu teknik pemisahan, yang pertama kali dipakai untuk
memisahkan zat-zat warna tanaman. Hal ini tersimpulkan dari istilah yang dipakai, kroma
adalah zat warna. Pemisahan dengan teknik ini dijalankan dengan mengadakan
mannipulasi atas dasar perbedaan sifat-sifat fisik dari zat-zat yang menyusun suatu
campuran. Sifat-sifat fisik tersebut khususnya ialah :
1. Adanya tendensi molekul dari suatu zat untuk larut dalam suatucairan.
2. Adanya tendensi molekul dari suatu zat untuk dapat teradsorbsi pada butir-butir zat
padat yang halus dengan permukaan yang halus.
3. Adanya tendensi molekul dari suatu zat untuk masuk ke fase uap atau menguap.
Karena perbedaan satu atau lebih dari sifat-sifat fisik tadi, campuran berbagai zat dapat
dipisahkan dalam suatu system yang bergerak secara kontinyu (Adnan, 1997).
Cara pemisahan dengan adsorpsi pada lapisan tipis adsorben yang dikenal dengan
kromatografi lapis tipis (thin layer chromatography atau TLC) telah meluas
penggunannya dan diakui merupakan cara pemisahan yang baik, khususnya untuk
kegunaan analisis kualitatif. Kini TLC dapat digunakan untuk memisahkan berbagai
senyawa seperti ion-ion organik, kompleks senyawa-senyawa organik dengan anorganik,
dan senyawa-senyawa organik baik yang terdapat di alam dan senyawa-senyawa organik
sintetik (Adnan, 1997).
Kelebihan penggunaan kromatografi lapis tipis dibandingkan dengan
kromatografi kertas ialah karena dihasilkannya pemisahan yang lebih sempurna,
kepekaan yang lebih tinggi, dan dapat dilaksanakan dengan lebih cepat. Banyak
pemisahan yang memakan waktu berjam-jam bila dikerjakan dengan kromatografi kertas,
tetapi dapat dilaksanakan hanya beberapa menit saja bila dikerjakan dengan TLC (Adnan,
1997).
Teknik standar dalam melaksanakan pemisahan dengan KLT adalah sebagai
berikut. Pertama kali lapisan tipis adsorben dibuat pada permukaan plat kaca atau plat
lain, misalnya berukuran 5x20 cm atau 20x20 cm. Tebal lapisan adsorben tersebut dapat
bervariasi tergantung penggunaannya, tetapi yang sering digunakan adalah ketebalan
250. Larutan campuran senyawa yang akan dipisahkan diteteskan pada kira-kira 1,5 cm
dari bagian bawah plat tersebut dengan menggunakan pipet mikro atau syringe. Zat
pelarut yang terdapat pada sampel yang diteteskan tersebut kemudian diuapkan lebih
dahulu. Selanjutnya plat tersebut dikembangkan dengan mencelupkannya pada tangki
yang berisi campuran zat pelarut (solvent system). Tinggi permukaan zat pelarut dalam
tangki harus lebuh rendah dari letak tetesan sampel pada plat kromatografi (kurang dari
1,5 cm). Dengan pengembangan tersebut masing-masing komponen senyawa dalam
sampel akan bergerak ke atas dengan kecepatan yang berbeda. Perbedaan kecepatan
gerakan ini merupakan akibat dari terjadinya pengaruh proses dengan KLT, mulai
pemilihan adsorben sampai identifikasi masing-masing komponen yang telah terpisah
(Adnan, 1997).

C. Kosmetika
Kosmetika berasal dari kata kosmein (Yunani) yang berarti berhias. Bahan yang
dipakai dalam usaha untuk mempercantik diri ini, Dahulu diramu dari bahan-bahan alami
yang terdapat disekitarnya. Sekarang kosmetik dibuat manusia tidak hanya dari bahan
alami tetapi juga bahan buatan untuk maksud meningkatkan kecantikan (Wasitaatmadja,
1997).
Definisi kosmetika dalam Peraturan Menteri Kesehatan RINo.
445/Menkes/Pemenkes/1998 tentang Bahan, Zat Warna, Substratum, Zat Pengawet dan
Tabir Surya pada Kosmetik menyatakan bahwa: Kosmetika adalah sediaan atau paduan
bahan yang siap untuk digunakan pada bagian luar badan (epidermis, rambut, kuku, bibir
dan organ kelamin bagian luar), gigi dan rongga mulut untuk membersihkan, menambah
daya tarik, mengubah penampakan, melindungi supaya tetap dalam keadaan baik,
memperbaiki bau badan tetapi tidak dimaksudkan untuk mengobati atau menyembuhkan
suatu penyakit (Rostamailisdkk., 2008).
Definisi tersebut jelas menunjukkan bahwa kosmetika bukan satu obat yang
dipakai untuk diagnosis, pengobatan maupun pencegahan penyakit. Obat bekerja lebih
kuat dan dalam, sehingga dapat mempengaruhi struktur faal tubuh (Wasitaatmadja,
1997).
Ilmu yang mempelajari tentang kosmetika disebut dengan kosmetology, yaitu
ilmu yang berhubungan dengan pembuatan, penyimpanan, aplikasi penggunaan, efek dan
efek samping kosmetika. Dalam kosmetologi berperan berbagai disiplin ilmu terkait
yaitu: teknik kimia, farmakologi, farmasi, biokimia, mikrobiologi, ahli kecantikan, dan
dermatologi. Dalam disiplin ilmu dermatologi yang menangani khusus peranan
kosmetika disebut dermatologi kosmetik (cosmetic dermatology) (Wasitaatmadja,
1997).
Kosmetika adalah bahan atau campuran bahan yang dikenakan pada kulit manusia
untuk membersihkan, memelihara, menambah daya tarik serta mengubah rupa. Karena
terjadi kontak antara kosmetika dengan kulit, maka ada kemungkinan kosmetika diserap
oleh kulit dan masuk ke bagian yang lebih dalam dari tubuh. Jumlah kosmetika yang
terserap kulit bergantung pada beberapa faktor, yaitu keadaan kulit pemakai, keadaan
kosmetika yang dipakai, dan kondisi kulit pemakai. Kontak kosmetika dengan kulit
menimbulkan akibat positif berupa manfaat kosmetika, dan akibat negatif atau merugikan
berupa efek samping kosmetika (Wasitaatmadja, 1997).

D. Hidrokuinon
Hidrokuinon memiliki nama IUPAC yaitu 1,4-benzendiol, yang memiliki rumus
molekul C
6
H
6
O
2
dengan berat molekul 110,11 g/mol. Struktur kimia dari hidrokuinon
adalah sebagai berikut:

Gambar 1 Stuktur Hidrokuinon ( Departemen Kesehatan RI, 1995).
Hidrokuinon disebut juga dengan hidrokuinol, kuinol, atau p-dihidroksibenzen
(Stephan, 1970). Hidrokuinon mengandung tidak kurang dari 99,0 % dan tidak lebih dari
100,5 % C
6
H
6
O
2
, dihitung terhadap zat yang telah dikeringkan. Pemerian dari
hidrokuinon yaitu berbentuk jarum halus dan berwarna putih. Warna hidrokuinon
menjadi gelap oleh pengaruh cahaya dan udara. Bahan ini mudah larut dalam air, dalam
etanol, dan dalam eter (Departemen Kesehatan RI, 1980).
Hidrokuinon termasuk golongan obat keras yang hanya dapat digunakan
berdasarkan resep dokter. Bahaya pemakaian hidrokuinon tanpa pengawasan dokter dapat
menyebabkan iritasi kulit, kulit menjadi merah dan rasa terbakar juga dapat menyebabkan
kelainan pada ginjal (nephropathy), kanker darah (leukemia), dan kanker sel hati
(hepatocelluler adenoma) (Badan Pengawas Obat dan Makanan, 2007).
Hidrokuinon telah dikenal sebagai bahan aktif dalam sediaan kosmetik pemutih
(bleaching). Bahan ini tidak hanya bekerja dengan menghambat pembentukan melanin
baru, tetapi bahan ini juga merusak melanin yang telah terbentuk. Hal inilah yang
menyebabkan hidrokuinon efektif sebagai agen pemutih (bleaching) (Stephan, 1970 ).
Sel pembentuk pigmen kulit (melanosit) terletak di lapisan basal epidermis.
Jumlah melanosit serta jumlah dan besarnya melanin yang terbentuk menentukan warna
kulit. Melanin dibuat dari sejenis protein, tirosin, dengan bantuan enzim tirosinase, ion
Cu dan oksigen oleh sel melanosit di dalam melanosom dalam badan sel melanosit.
Pejanan sinar matahari mempengaruhi produksi melanin. Bila pejanan bertambah, maka
produksi melanin akan meningkat (Wasitaatmadja, 1997).
Berdasarkan dari hasil penelitian yang telah dilakukan, hidrokuinon dapat
menyebabkan toksisitas akut dan kronik. Hidrokuinon juga dilaporkan dapat
menyebabkan kelainan pada ginjal (nephropathy), proliferasi sel, dan berpotensi sebagai
karsinogenik dan teratogenik (Wester et al., 1999 ).
Hidrokuinon merupakan golongan senyawa fenol. Fenol yang dibiarkan di udara
terbuka cepat berubah warna karena pembentukan hasil-hasil oksidasi. Hidrokuinon (1,4-
dihidroksibenzena) sendiri teroksidasi menjadi kuinon (1,4-benzokuinon). Kuinon
termasuk dalam golongan senyawa karbonil. Strukturnya siklik dan merupakan diketon
yang berkonjugasi. Semua kuinon berwarna (Hart, 1983).


Gambar 2 Struktur 1,4-benzokuinon (Hart, 1983).

E. Floroglusinol
Turunan floroglusinol sebagian besar berupa kristal tanwarna. Senyawa yang
mempunyai gugus hidroksil fenol bebas menunjukkan reaksi khas fenol misalnya
memberikan warna dengan besi (III) klorida. Pemanasan dengan natrium hidroksida dan
serbuk seng menghilangkan gugus asil-2 secara reduksi, dan senyawa turunan yang
terjadi memberikan warna merah dengan vanillin-asam klorida pekat (Robinson, 1995).


Gambar 3 Struktur Floroglusinol (Robinson, 1995).
Floroglusinol dengan adanya asam klorida memberikan warna merah terhadap
aldehid, jaringan lignin, produk viridin dan hidrokuinon teroksidasi serta dengan
komponen yang mengandung gugus allil. Reaksitersebut telah diinvestigasi. Reaksi
terjadi pada aldehid dan hidrokuinon teroksidasi namun pada komponen allil murni tidak
terjadi reaksi (Ismay, 1950).
Sebelum diuji dengan floroglusinol dan asam klorida, hidrokuinon dan kuinon
dioksidasi dengan gelembung oksigen melalui larutan basa kuat. Hidrokuinon setelah
dioksidasi, kemudian diuji dengan floroglusinol dan asam klorida dan memberikan warna
merah muda. Warna tersebut mungkin terjadi karena adanya komponen
3(C
6
H
4
O
2
).2(C
6
H
3
(OH
3
)
3
) yang terbentuk dari kuinon dan floroglusinol (Ismay, 1950).
Warna tersebut dapat terbentuk jika floroglusinol dan asam klorida ditambahkan.
Namun jika asam ditambahkan sebelum atau dengan floroglusinol maka warna yang
dihasilkan akan lama terbentuk. Asam klorida dapat digantikan dengan 50 % asam sulfat.
Warna dapat dihilangkan melalui reduksi dan dapat dikembalikan dengan gelembung
oksigen melalui larutan (Ismay, 1950).

You might also like