You are on page 1of 86

REFERAT Penurunan

Kesadaran
Stase Penyakit Dalam RSIJ Cempaka Putih

Kesadaran ditentukan oleh kondisi pusat kesadaran yang berada di kedua
hemisfer serebri dan Ascending Reticular Activating System (ARAS). Jika
terjadi kelainan pada kedua sistem ini, baik yang melibatkan sistem anatomi
maupun fungsional akan mengakibatkan terjadinya penurunan kesadaran
dengan berbagai tingkatan








Disusun Oleh: Lucky Miftah Saviro (2007730076)
Konsulen Pembimbing: dr. Hj. Ihsanil Husna, Sp. PD

2011
Fakultas Kedokteran Dan Kesehatan
Universitas Muhammadiyah Jakarta
Program Studi Pendidikan Dokter
2007
2

KATA PENGANTAR


Segala puji dan syukur saya panjatkan kepada Allah SWT atas rahmat dan hidayah-Nya,
saya dapat menyelesaikan penulisan referat yang berjudul Penurunan Kesadaran sebagai
salah satu syarat untuk mengikuti ujian di kepaniteraan klinik Penyakit Dalam di Rumah Sakit
Islam Jakarta Cempaka Putih.
Terwujudnya referat ini adalah berkat bantuan dan dorongan berbagai pihak. Dalam
kesempatan ini, saya ingin menyampaikan ucapan terima kasih sebesar-besarnya kepada
pembimbing saya, dr. Ihsanil Husna, Sp. PD yang telah banyak memberikan masukan dan
meluangkan waktu untuk membimbing saya. Terima kasih kepada keluarga atas doa dan
dukungannya, serta teman-teman seperjuangan yang sedang menjalani kepaniteraan klinik di
RSIJ Cempaka Putih.
Penulisan referat ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, saya mengharapkan
kritik dan saran, sehingga penulisan ini dapat lebih baik sesuai dengan hasil yang diharapkan.
Semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi proses pembelajaran di kepaniteraan penyakit dalam.






Jakarta, Desember 2011




Penulis



3

DAFTAR ISI

Kata Pengantar..................................................................................................................2
Daftar Isi...........................................................................................................................3
BAB I Pendahuluan..............................................................................................4
BAB II Tinjauan Pustaka.......................................................................................5
II.1 Definisi penurunan kesadaran...5
II.1.1 Menentukan penurunan kesadaran secara kualitatif.6
II.1.2 Menentukan penurunan kesadaran secara kuantitatif...6
II.2 Klasifikasi penurunan kesadaran...........................................................................6
II.2.1 Gangguan kesadaran tanpa disertai kelainan fokal dan kaku kuduk.........7
II.2.2 Gangguan kesadaran tanpa disertai kelainan fokal disertai kaku kuduk...7
II.2.3 Gangguan kesadaran dengan kelainan fokal..............................................7
II.3 Bahaya penurunan kesadaran.................................................................................7
II.4 Patofisiologi penurunan kesadaran.........................................................................7
II.4.1 Gangguan metabolik toksik8
II.4.2 Gangguan struktural intrakranial.................................................................9
II.5 Diagnosis dan diagnosis banding penurunan kesadaran11
II.5.1 Diagnosis penurunan kesadaran.11
II.5.2 Diagnosis banding penurunan kesadaran metabolik dan struktural...13
II.6 Tatalaksana penurunan kesadaran.16
II.6.1 Umum16
II.6.1 Khusus...16
BAB III Kesimpulan18
BAB IV Daftar Pustaka ...19
4

BAB I
PENDAHULUAN

Kesadaran ditentukan oleh kondisi pusat kesadaran yang berada di kedua hemisfer serebri
dan Ascending Reticular Activating System (ARAS). Jika terjadi kelainan pada kedua sistem ini,
baik yang melibatkan sistem anatomi maupun fungsional akan mengakibatkan terjadinya
penurunan kesadaran dengan berbagai tingkatan. Ascending Reticular Activating System
merupakan suatu rangkaian atau network system yang dari kaudal berasal dari medulla spinalis
menuju rostral yaitu diensefalon melalui brain stem sehingga kelainan yang mengenai lintasan
ARAS tersebut berada diantara medulla, pons, mesencephalon menuju ke subthalamus,
hipothalamus, thalamus dan akan menimbulkan penurunan derajat kesadaran. Neurotransmiter
yang berperan pada ARAS antara lain neurotransmiter kolinergik, monoaminergik dan gamma
aminobutyric acid (GABA).
Respon gangguan kesadaran pada kelainan di ARAS ini merupakan kelainan yang
berpengaruh kepada sistem arousal yaitu respon primitif yang merupakan manifestasi rangkaian
inti-inti di batang otak dan serabut-serabut saraf pada susunan saraf. Korteks serebri merupakan
bagian yang terbesar dari susunan saraf pusat di mana kedua korteks ini berperan dalam
kesadaran akan diri terhadap lingkngan atau input-input rangsangan sensoris, hal ini disebut juga
sebagai awareness.
Pada referat ini akan dibahas mengenai definisi penurunan kesadaran, bahaya penurunan
kesadaran, patofisiologi, serta diagnosis penurunan kesadaran, terutama akibat metabolik, dan
sebagaian kecil penurunan kesadaran akibat kelainan struktural dan tatalaksana penurunan
kesadaran yang terbagi atas tatalaksana baik umum maupun khusus.

5

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
PENURUNAN KESADARAN UMUM


1. Definisi Penurunan Kesadaran
Penurunan kesadaran atau koma merupakan salah satu kegawatan neurologi yang
menjadi petunjuk kegagalan fungsi integritas otak dan sebagai final common pathway
dari gagal organ seperti kegagalan jantung, nafas dan sirkulasi akan mengarah kepada
gagal otak dengan akibat kematian. Artinya, bila terjadi penurunan kesadaran menjadi
pertanda disregulasi dan disfungsi otak dengan kecenderungan kegagalan seluruh fungsi
tubuh. Dalam hal menilai penurunan kesadaran, dikenal beberapa istilah yang digunakan
di klinik yaitu kompos mentis, somnolen, stupor atau sopor, soporokoma dan koma.
Terminologi tersebut bersifat kualitatif. Sementara itu, penurunan kesadaran dapat pula
dinilai secara kuantitatif, dengan menggunakan skala koma Glasgow.

2. Menentukan penurunan kesadaran secara kualitatif
Kompos mentis berarti kesadaran normal, menyadari seluruh asupan panca
indera (aware atau awas) dan bereaksi secara optimal terhadap seluruh rangsangan dari
luar maupun dari dalam (arousal atau waspada), atau dalam keadaaan awas dan waspada.
Somnolen atau drowsiness atau clouding of consciousness, berarti mengantuk,
mata tampak cenderung menutup, masih dapat dibangunkan dengan perintah, masih dapat
menjawab pertanyaan walaupun sedikit bingung, tampak gelisah dan orientasi terhadap
sekitarnya menurun.
Stupor atau sopor lebih rendah daripada somnolen. Mata tertutup dengan
rangsang nyeri atau suara keras baru membuka mata atau bersuara satu-dua kata. Motorik
hanya berupa gerakan mengelak terhadap rangsang nyeri.
Semikoma atau soporokoma, mata tetap tertutup walaupun dirangsang nyeri
secara kuat, hanya dapat mengerang tanpa arti, motorik hanya berupa gerakan primitif.
6

Koma merupakan penurunan kesadaran yang paling rendah. Dengan rangsang
apapun tidak ada reaksi sama sekali, baik dalam hal membuka mata, bicara, maupun
reaksi motorik.

3. Menentukan penurunan kesadaran secara kuantitatif
Secara kuantitatif, kesadaran dapat dinilai dengan menggunakan Glasgow Coma
Scale (GCS) yang meliputi pemeriksaan untuk Penglihatan/Mata (E), Pemeriksaan
Motorik (M) dan Verbal (V). Pemeriksaan ini mempunyai nilai terendah 3 dan nilai
tertinggi 15.
Pemeriksaan derajat kesadaran GCS untuk penglihatan/mata:
E
1
tidak membuka mata dengan rangsang nyeri
E
2
membuka mata dengan rangsang nyeri
E
3
membuka mata dengan rangsang suara
E
4
membuka mata spontan
Motorik:
M
1
tidak melakukan reaksi motorik dengan rangsang nyeri
M
2
reaksi deserebrasi dengan rangsang nyeri
M
3
reaksi dekortikasi dengan rangsang nyeri
M
4
reaksi menghampiri rangsang nyeri tetapi tidak mencapai sasaran
M
5
reaksi menghampiri rangsang nyeri tetapi mencapai sasaran
M
6
reaksi motorik sesuai perintah
Verbal:
V
1
tidak menimbulkan respon verbal dengan rangsang nyeri (none)
V
2
respon mengerang dengan rangsang nyeri (sounds)
V
3
respon kata dengan rangsang nyeri (words)
V
4
bicara dengan kalimat tetapi disorientasi waktu dan tempat (confused)
V
5
bicara dengan kalimat dengan orientasi baik (orientated)

4. Klasifikasi Penurunan Kesadaran
Gangguan kesadaran dibagi 3, yaitu:
7

1) Gangguan kesadaran tanpa disertai kelainan fokal/lateralisasi dan tanpa disertai
kaku kuduk;
2) Gangguan kesadaran tanpa disertai kelainan fokal/lateralisasi disertai dengan kaku
kuduk; dan
3) Gangguan kesadaran disertai dengan kelainan fokal.
a. Gangguan kesadaran tanpa disertai kelainan fokal dan kaku kuduk
1. Gangguan iskemik
2. Gangguan metabolik
3. Intoksikasi
4. Infeksi sistemis
5. Hipertermia
6. Epilepsi
b. Gangguan kesadaran tanpa disertai kelainan fokal tapi disertai kaku
kuduk
1. Perdarahan subarakhnoid
2. Radang selaput otak
3. Radang otak
c. Gangguan kesadaran dengan kelainan fokal
1. Tumor otak
2. Perdarahan otak
3. Infark otak
4. Abses otak

5. Bahaya Penurunan Kesadaran
Adapun kondisi yang segera mengancam kehidupan terdiri atas peninggian
tekanan intrakranial, herniasi dan kompresi otak dan meningoensefalitis/ensefalitis.

6. Patofisiologi Penurunan Kesadaran
Penurunan kesadaran disebabkan oleh gangguan pada korteks secara menyeluruh
misalnya pada gangguan metabolik, dan dapat pula disebabkan oleh gangguan ARAS di
8

batang otak, terhadap formasio retikularis di thalamus, hipotalamus maupun
mesensefalon.
Pada penurunan kesadaran, gangguan terbagi menjadi dua, yakni gangguan
derajat (kuantitas, arousal, wakefulness) kesadaran dan gangguan isi (kualitas,
awareness, alertness) kesadaran. Adanya lesi yang dapat mengganggu interaksi ARAS
dengan korteks serebri, apakah lesi supratentorial, subtentorial dan metabolik akan
mengakibatkan menurunnya kesadaran.







Gambar Patofisiologi penurunan kesadaran

a. Gangguan metabolik toksik
Fungsi dan metabolisme otak sangat bergantung pada tercukupinya
penyediaan oksigen. Adanya penurunan aliran darah otak (ADO), akan
menyebabkan terjadinya kompensasi dengan menaikkan ekstraksi oksigen (O
2
)
dari aliran darah. Apabila ADO turun lebih rendah lagi, maka akan terjadi
penurunan konsumsi oksigen secara proporsional.
Glukosa merupakan satu-satunya substrat yang digunakan otak dan
teroksidasi menjadi karbondioksida (CO
2
) dan air. Untuk memelihara integritas
neuronal, diperlukan penyediaan ATP yang konstan untuk menjaga keseimbangan
elektrolit
.
O
2
dan glukosa memegang peranan penting dalam memelihara keutuhan
kesadaran. Namun, penyediaan O
2
dan glukosa tidak terganggu, kesadaran
9

individu dapat terganggu oleh adanya gangguan asam basa darah, elektrolit,
osmolalitas, ataupun defisiensi vitamin
.
Proses metabolik melibatkan batang otak dan kedua hemisfer serebri.
Koma disebabkan kegagalan difus dari metabolisme saraf.
1. Ensefalopati metabolik primer
Penyakit degenerasi serebri yang menyebabkan terganggunya metabolisme sel
saraf dan glia. Misalnya penyakit Alzheimer.
2. Ensefalopati metabolik sekunder
Koma terjadi bila penyakit ekstraserebral melibatkan metabolisme otak, yang
mengakibatkan kekurangan nutrisi, gangguan keseimbangan elektrolit ataupun
keracunan. Pada koma metabolik ini biasanya ditandai dengan gangguan
sistem motorik simetris dan tetap utuhnya refleks pupil (kecuali pasien
mempergunakan glutethmide atau atropin), juga utuhnya gerakan-gerakan
ekstraokuler (kecuali pasien mempergunakan barbiturat).

Tes darah biasanya abnormal, lesi otak unilateral tidak menyebabkan
stupor dan koma. Jika tidak ada kompresi ke sisi kontralateral batang otak lesi
setempat pada otak menimbulkan koma karena terputusnya ARAS. Sedangkan
koma pada gangguan metabolik terjadi karena pengaruh difus terhadap ARAS dan
korteks serebri.

Tabel Penyebab Metabolik atau Toksik pada Kasus Penurunan Kesadaran
No Penyebab metabolik atau
sistemik
Keterangan
1 Elektrolit imbalans Hipo- atau hipernatremia
2 Endokrin Hipoglikemia, ketoasidosis diabetik
3 Toksik Intoksikasi narkotika
4 Gagal organ Gagal ginjal (ensefalopati uremik), shock, gagal hepar
(ensefalopati hepatik)

b. Gangguan Struktur Intrakranial
10

Penurunan kesadaran akibat gangguan fungsi atau lesi struktural formasio
retikularis di daerah mesensefalon dan diensefalon (pusat penggalak kesadaran)
disebut koma diensefalik. Secara anatomik, koma diensefalik dibagi menjadi dua
bagian utama, ialah koma akibat lesi supratentorial dan lesi infratentorial.
1. Koma supratentorial
1) Lesi mengakibatkan kerusakan difus kedua hemisfer serebri, sedangkan
batang otak tetap normal.
2) Lesi struktural supratentorial (hemisfer).
Adanya massa yang mengambil tempat di dalam kranium (hemisfer
serebri) beserta edema sekitarnya misalnya tumor otak, abses dan
hematom mengakibatkan dorongan dan pergeseran struktur di sekitarnya,
terjadilah herniasi girus singuli, herniasi transtentorial sentral dan herniasi
unkus.
a. Herniasi girus singuli
Herniasi girus singuli di bawah falx serebri ke arah kontralateral
menyebabkan tekanan pada pembuluh darah serta jaringan otak,
mengakibatkan iskemi dan edema.
b. Herniasi transtentorial/ sentral
Herniasi transtentorial atau sentral adalah hasil akhir dari proses desak
ruang rostrokaudal dari kedua hemisfer serebri dan nukli basalis;
secara berurutan menekan disensefalon, mesensefalon, pons dan
medulla oblongata melalui celah tentorium.
c. Herniasi unkus
Herniasi unkus terjadi bila lesi menempati sisi lateral fossa kranii
media atau lobus temporalis; lobus temporalis mendesak unkus dan
girus hipokampus ke arah garis tengah dan ke atas tepi bebas
tentorium yang akhirnya menekan mesensefalon.
2. Koma infratentorial
Ada dua macam lesi infratentorial yang menyebabkan koma.
11

1) Proses di dalam batang otak sendiri yang merusak ARAS atau/ serta merusak
pembuluh darah yang mendarahinya dengan akibat iskemi, perdarahan dan
nekrosis. Misalnya pada stroke, tumor, cedera kepala dan sebagainya.
2) Proses di luar batang otak yang menekan ARAS
a. Langsung menekan pons
b. Herniasi ke atas dari serebelum dan mesensefalon melalui celah tentorium
dan menekan tegmentum mesensefalon.
c. Herniasi ke bawah dari serebelum melalui foramen magnum dan menekan
medulla oblongata.
Dapat disebabkan oleh tumor serebelum, perdarahan serebelum dan sebagainya.
Ditentukan lateralisasi (pupil anisokor, hemiparesis) dan dibantu dengan
pemeriksaan penunjang.

Tabel Penyebab Struktural pada Kasus Penurunan Kesadaran

No Penyebab struktural Keterangan
1 Vaskular Perdarahan subarakhnoid, infark batang kortikal
bilateral
2 Infeksi Abses, ensefalitis, meningitis
3 Neoplasma Primer atau metastasis
4 Trauma Hematoma, edema, kontusi hemoragik
5 Herniasi Herniasi sentral, herniasi unkus, herniasi singuli
6 Peningkatan tekanan
intrakranial
Proses desak ruang

7. Diagnosis dan Diagnosis Banding Penurunan Kesadaran Metabolik dan Struktural
a. Diagnosis penurunan kesadaran
Diagnosis kesadaran menurun didasarkan atas:
- Anamnesis
Dalam melakukan anamnesis perlu dicantumkan dari siapa anamnesis tersebut
didapat, biasanya anamnesis yang terbaik didapat dari orang yang selalu
berada bersama penderita. Untuk itu diperlukan riwayat perjalanan penyakit,
12

riwayat trauma, riwayat penyakit, riwayat penggunaan obat-obatan, riwayat
kelainan kejiwaan. Dari anamnesis ini, seringkali menjadi kunci utama dalam
mendiagnosis penderita dengan kesadaran menurun
1
.
- Pemeriksaan fisik umum
Dalam melakukan pemeriksaan fisik umum harus diamati:
Tanda vital
Pemeriksaan tanda vital: perhatikan jalan nafas, tipe pernafasannya dan
perhatikan tentang sirkulasi yang meliputi: tekanan darah, denyut nadi dan
ada tidaknya aritmia.
Bau nafas
Pemeriksa harus dapat mengidentifikasi foetor breath hepatic yang
disebabkan penyakit hati, urino smell yang disebabkan karena penyakit
ginjal atau fruity smell yang disebabkan karena ketoasidosis.

Pemeriksaan kulit
Pada pemeriksaan kulit, perlu diamati tanda-tanda trauma, stigmata
kelainan hati dan stigmata lainnya termasuk krepitasi dan jejas suntikan.
Pada penderita dengan trauma, kepala pemeriksaan leher itu, harus
dilakukan dengan sangat berhati-hati atau tidak boleh dilakukan jikalau
diduga adanya fraktur servikal. Jika kemungkinan itu tidak ada, maka
lakukan pemeriksaan kaku kuduk dan lakukan auskultasi karotis untuk
mencari ada tidaknya bruit.
Kepala
Perhatikan ada tidaknya hematom, laserasi dan fraktur.
Leher
Perhatikan kaku kuduk dan jangan manipulasi bila dicurigai fraktur
servikal (jejas, kelumpuhan 4 ekstremitas, trauma di daerah muka).
Toraks/ abdomen dan ekstremitas
Perhatikan ada tidaknya fraktur.
- Pemeriksaan fisik neurologis
13

Pemeriksaan fisik neurologis bertujuan menentukan kedalaman koma secara
kualitatif dan kuantitatif serta mengetahui lokasi proses koma. Pemeriksaan
neurologis meliputi derajat kesadaran dan pemeriksaan motorik
2
.
Umum
Buka kelopak mata menentukan dalamnya koma
Deviasi kepala dan lirikan menunjukkan lesi hemisfer ipsilateral
Perhatikan mioklonus (proses metabolik), twitching otot berirama
(aktivitas seizure) atau tetani (spontan, spasmus otot lama).
Level kesadaran
Ditentukan secara kualitatif dan kuantitatif.
Kualitatif (apatis, somnolen, delirium, spoor dan koma)
Kuantitatif (menggunakan GCS)
Pupil
Diperiksa: ukuran, reaktivitas cahaya
Simetris/reaktivitas cahaya normal, petunjuk bahwa integritas
mesensefalon baik. Pupil reaksi normal, reflek kornea dan okulosefalik
(-), dicurigai suatu koma metabolik
Mid posisi (2-5 mm), fixed dan irregular, lesi mesenfalon fokal.
Pupil reaktif pint-point, pada kerusakan pons, intoksikasi opiat
kolinergik.
Dilatasi unilateral dan fixed, terjadi herniasi.
Pupil bilateral fixed dan dilatasi, herniasi sentral, hipoksik-iskemi
global, keracunan barbiturat.
Funduskopi
Refleks okulosefalik (dolls eye manuevre)
Refleks okulo vestibuler
Refleks kornea
Refleks muntah
Respons motorik
Refleks fisiologik dan patologik
- Pemeriksaan penunjang
14

Pemeriksaan gas darah, berguna untuk melihat oksigenasi di dalam darah,
juga untuk melihat gangguan keseimbangan asam basa.
Pemeriksaan darah, meliputi darah perifer lengkap (DPL), keton, faal hati,
faal ginjal dan elektrolit.
Pemeriksaan toksikologi, dari bahan urine darah dan bilasan lambung.
Pemeriksaan khusus meliputi pungsi lumbal, CT scan kepala, EEG, EKG,
foto toraks dan foto kepala.

b. Diagnosis banding penurunan kesadaran karena metabolik dan struktural
Menentukan kelainan neurologi perlu untuk evaluasi dan manajemen
penderita. Pada penderita dengan penurunan kesadaran, dapat ditentukan apakah
akibat kelainan struktur, toksik atau metabolik. Pada koma akibat gangguan
struktur mempengaruhi fungsi ARAS langsung atau tidak langsung. ARAS
merupakan kumpulan neuron polisinaptik yang terletak pada pusat medulla, pons
dan mesensefalon, sedangkan penurunan kesadaran karena kelainan metabolik
terjadi karena memengaruhi energi neuronal atau terputusnya aktivitas membran
neuronal atau multifaktor. Diagnosis banding dapat ditentukan melalui
pemeriksaan pernafasan, pergerakan spontan, evaluasi saraf kranial dan respons
motorik terhadap stimuli.
- Pola pernafasan
Mengetahui pola pernafasan akan membantu letak lesi dan kadang
menentukan jenis gangguan.
Respirasi cheyne stoke
Pernafasan ini makin lama makin dalam kemudian mendangkal dan
diselingi apnoe. Keadaan seperti ini dijumpai pada disfungsi hemisfer
bilateral sedangkan batang otak masih baik. Pernafasan ini dapat
merupakan gejala pertama herniasi transtentorial. Selain itu, pola
pernafasan ini dapat juga disebabkan gangguan metabolik dan gangguan
jantung.
Respirasi hiperventilasi neurogen sentral
15

Pernafasan cepat dan dalam, frekuensi kira-kira 25 per menit. Dalam hal
ini, lesi biasanya pada tegmentum batang otak (antara mesensefalon dan
pons). Ambang respirasi rendah, pada pemeriksaan darah ada alkalosis
respirasi, PCO
2
arterial rendah, pH meningkat dan ada hipoksia ringan.
Pemberian O
2
tidak akan mengubah pola pernafasan. Biasanya didapatkan
pada infark mesensefalon, pontin, anoksia atau hipoglikemia yang
melibatkan daerah ini dan kompresi mesensefalon karena herniasi
transtentorial.
Respirasi apneustik
Terdapat inspirasi memanjang diikuti apnoe pada saat ekspirasi dengan
frekuensi 1-1
1/2
per menit kemudian diikuti oleh pernafasan kluster.
Respirasi kluster
Ditandai respirasi berkelompok diikuti apnoe. Biasanya terjadi pada
kerusakan pons varolii.
Respirasi ataksik (irregular)
Ditandai oleh pola pernafasan yang tidak teratur, baik dalam atau
iramanya. Kerusakan terdapat di pusat pernafasan medulla oblongata dan
merupakan keadaan preterminal.










Gambar Pernapasan abnormal

- Pergerakan spontan
16

Perlu melakukan observasi pasien waktu istirahat. Pergerakan abnormal
seperti twitching, mioklonus, tremor merupakan petunjuk gangguan toksik/
metabolik. Apabila tampak pergerakan spontan dengan asimetrik (tungkai
bawah rotasi keluar menunjukkan defisit fokal motorik).
Komponen brain stem dari ARAS masih baik bila tampak mengunyah,
berkedip dan menguap spontan dan dapat membantu lokalisasi penyebab
koma.
- Pemeriksaan saraf kranial
Jika pada pemeriksaan saraf kranial (saraf okular) tampak asimetrik dicurigai
lesi struktural. Umumnya pasien koma dengan reflek brain stem normal maka
menunjukkan kegagalan kortikal difus dengan penyebab metabolik. Obat-
obatan seperti barbiturat, diphenylhydantion, diazepam, antidepresan trisiklik
dan intoksikasi etanol dapat menekan refleks okular tetapi refleks pupil tetap
baik. Impending herniasi ditandai oleh pola pernafasan tidak teratur, pupil
miosis dan refleks pupil menurun.
- Repons motorik terhadap stimuli
Defisit fokal motorik biasanya menunjukkan kerusakan struktur, sedangkan
dekortikasi/deserebrasi dapat terjadi pada kelainan metabolik toksik atau
kerusakan struktural. Gerakan-gerakan abnormal seperti tremor dan
mioklonus sering terjadi pada gangguan metabolik toksik.

8. Tatalaksana Penurunan Kesadaran
Prinsip pengobatan kesadaran dilakukan dengan cepat, tepat dan akurat,
pengobatan dilakukan bersamaan dalam saat pemeriksaan. Pengobatan meliputi dua
komponen utama yaitu umum dan khusus.
a. Umum
Tidurkan pasien dengan posisi lateral dekubitus dengan leher sedikit ekstensi
bila tidak ada kontraindikasi seperti fraktur servikal dan tekanan intrakranial
yang meningkat.
17

Posisi trendelenburg baik sekali untuk mengeluarkan cairan trakeobronkhial,
pastikan jalan nafas lapang, keluarkan gigi palsu jika ada, lakukan suction di
daerah nasofaring jika diduga ada cairan.
Lakukan imobilisasi jika diduga ada trauma servikal, pasang infus sesuai
dengan kebutuhan bersamaan dengan sampel darah.
Pasang monitoring jantung jika tersedia bersamaan dengan melakukan
elektrokardiogram (EKG).
Pasang nasogastric tube, keluarkan isi cairan lambung untuk mencegah
aspirasi, lakukan bilas lambung jika diduga ada intoksikasi. Berikan tiamin
100 mg iv, berikan destrosan 100 mg/kgbb. Jika dicurigai adanya overdosis
opium/ morfin, berikan nalokson 0,01 mg/kgbb setiap 5-10 menit sampai
kesadaran pulih (maksimal 2 mg).
b. Khusus
- Pada herniasi
Pasang ventilator lakukan hiperventilasi dengan target PCO
2
: 25- 30
mmHg.
Berikan manitol 20% dengan dosis 1-2 gr/ kgbb atau 100 gr iv. Selama 10-
20 menit kemudian dilanjutkan 0,25-0,5 gr/kgbb atau 25 gr setiap 6 jam.
Edema serebri karena tumor atau abses dapat diberikan deksametason 10
mg iv lanjutkan 4-6 mg setiap 6 jam.
Jika pada CT scan kepala ditemukan adanya CT yang operabel seperti
epidural hematom, konsul bedah saraf untuk operasi dekompresi.
- Pengobatan khusus tanpa herniasi
Ulang pemeriksaan neurologi yang lebih teliti.
Jika pada CT scan tak ditemukan kelainan, lanjutkan dengan pemeriksaan
pungsi lumbal (LP). Jika LP positif adanya infeksi berikan antibiotik yang
sesuai. Jika LP positif adanya perdarahan terapi sesuai dengan pengobatan
perdarahan subarakhnoid.


18

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
PENURUNAN KESADARAN PADA KASUS PENYAKIT DALAM


No Penyebab metabolik atau
sistemik
Keterangan
1 Elektrolit imbalans Hipo- atau hipernatremia
2 Endokrin Hipoglikemia, ketoasidosis diabetik
3 Toksik Intoksikasi narkotika
4 Gagal organ Gagal ginjal (ensefalopati uremik), shock, gagal hepar
(ensefalopati hepatik)


1. Elektrolit Imbalans
GANGGUAN KESEIMBANGAN NATRIUM
Natrium berperan dalam menentukan status volume air dalam tubuh.
Keseimbangan natrium yang terjadi dalam tubuh diatur oleh dua mekanisme yaitu
pengatur:
Kadar natrium yang sudah tetap pada batas tertentu.
Keseimbangan antar natrium yang masuk dan yang keluar (steady state).
Perubahan kadar natrium dalam cairan ekstrasel akan mempengaruhi kadar
hormon terkait seperti Anti diuretik (ADH), sistem RAA (renin angiotensin aldosteron),
atrial natriuretic peptide (ANP), brain natriuretic peptide (BNP). Hormon-hormon ini
akan mempengaruhi ekskresi natrium di dalam urin.
Naik turunnya ekskresi natrium dalam urin diatur oleh filtrasi glomerulus dan
reabsorpsi oleh tubulus ginjal. Peningkatan volume cairan (hipervolemia) dan
peningkatan asupan natrium akan meningkatkan laju filtrasi glomerulus; sedangkan pada
deplesi volume intravaskular (hipovolemia) serta asupan natrium yang berkurang anak
mengurangi LFG. Perubahan-perubahan LFG tersebut akan mempengaruhi reabsorpsi
natrium pada tubulus (glomerulotubular balance).
19

Sebanyak 60 65% natrium yang difiltrasi direabsorpsi di tubulus proksimal, 25
30% di loop of henle, 5% di tubulus distal, dan 4% di duktus koligentes.

A. Hiponatremia
Respon fisiologis dari hiponatremia adalah tertekannya pengeluaran ADH
dari hipotalamus sehingga ekskresi urin meningkat oleh karena saluran-air
(AQP2) dibagian duktus koligentes berkurang (osmolaritas urin rendah).
hiponatremia terjadi bila: (a) Jumlah asupan cairan melebihi kemampuan
ekskresi, (b) Ketidakmampuan menekan sekresi ADH misalnya pada kehilangan
cairan melalui saluran cerna atau gagal jantung atau sirosis hati pada SIADH
(Syndorome Inappropriate Anti Diuretic Hormone Secretion). Hiponatremia
(kadar natrium serum <135 mmol/L) menyebabkan perubahan volume ekstrasel:
a) Hiponatremia dengan hipovolemia (Hiponatremia dengan ADH
meningkat)
Hiponatremia tipe ini disebabkan tubuh kehilangan garam
bersamaan dengan hilangnya air. Pada kasus ini, sekresi Anti Diuretik
Hormon (ADH) ditekan (via osmoreseptor hipotalamus); namun ketika
kehilangan cairan, reseptor volume menggantikan osmoreseptor dan
menstimulasi rasa haus dan pelepasan ADH. Hal ini merupakan
mekanisme pertahanan tubuh untuk mempertahankan volume pada
sirkulasi terhadap osmolalitas.

Tabel Penyebab Hiponatremia disertai Kehilangan Cairan (Hipovolemia)
20


Dengan adanya kehilangan natrium ekstra-renal dan dengan
keadaan ginjal yang masih normal, tubuh gagal mengekskresikan natrium
pada urin bersamaan dengan hilangnya air, sehingga urin menjadi
terkonsentrasi (<20 mmol/L). Namun, pada kerusakan ginjal yang
menyebabkan hilangnya natrium, kompensasi ginjal tidak dapat muncul
sehingga satu-satunya jalan adalah merangsang rasa haus.

Gejala Klinis
Dengan hilangnya natrium, gejala klinis yang timbul biasanya di
dominasi oleh gejala hilangnya cairan. Gejalanya bisa bervariasi, mulai
dari haus, kram otot, nauseadan vomitus, dan hilangnya keseimbangan
saat berdiri (postural dizziness). Hilangnya cairan pada sirkulasi
menyebabkan hipotensi dan gangguan perfusi otak, menyebabkan
penurunan kesadaran dan koma.
Sedangkan untuk tanda-tandanya dibagi menjadi dua, yaitu tanda
kehilangan cairan interstitial dan tanda kehilangan volume sirkulasi.
Hilangnya cairan interstitial menyebabkan hilangnya elastisitas kulit
(turgor) kekuatan recoil kulit untuk kembali lagi setelah dilakukan
traksi. Turgor kulit berkurang sesuai dengan usia, terutama pada
bagian perifer. Tugor kulit pada segitiga anterior leher atau pada
bregma dapat dilakukan pada segala jenis umur.
Kehilangan volume sirkulasi menyebabkan penurunan tekanan vena
dan (jika parah) kompartemen atrium. Kehilangan 1 L cairan ekstrasel
pada dewasa dapat dikompensasikan dengan venokonstriksi sehingga
tidak menimbulkan gejala. Hilangnya cairan > 1 L akan menimbulkan:
o Hipotensi Postural
Normalnya, tekanan darah akan meningkat ketika seseorang
berdiri, hal ini disebabkan pengembalian vena karena
venokonstriksi (untuk mempertahankan perfusi otak). Hilangnya
cairan ekstrasel (underfill) mencegah terjadinya venokonstriksi
21

sehingga menyebabkan penurunan tekanan darah. Hipotensi
postural merupakan tanda yang paling baik untuk mengenal gejala
deplesi volume, selama penyebab hipotensi postural lain telah
disingkirkan
.
o Penurunan Tekanan Vena J ugularis
Pada pasien dengan hipovolemia, pulsasi vena jugularis hanya bisa
dilihat pada pasien dengan posisi berbaring sempurna atau bahkan
head-down, karena tekanan atrium kanan kurang dari 5 cmH
2
O.
o Venokonstriksi Perifer
Ini menyebabkan akral yang dingin dan kosongnya vena perifer
sehingga akan sulit untuk melakukan kanulasi vena. Tanda ini
sering tidak terdapat pada pasien sepsis, dimana vasodilatasi
perifer terjadi untuk menyeimbangkan hipovolemia.
o Takikardia
Takikardi tidak selalu menjadi tanda yang dapat dijadikan patokan.
Beta-bloker dan obat anti-aritmia dapat mencegah takikardia dan
hipovolemia dapat mengaktivasi mekanisme vagal dan
menyebabkan bradikardia.

Diagnosis hiponatremia dengan hipovolemia sangat jelas pada
pasien dengan riwayat diare, diabetes mellitus, atau overdosis obat
22

diuretik. Pemeriksaan fisik pasien terkadang lebih utama dibandingkan
dengan pemeriksaan laboratorium (elektrolit plasma dan urin)
Tabel dibawah akan menjelaskan hilangnya cairan dan elektrolit
per hari lewat saluran pencernaan. Terkandungnya natrium pada urin (>20
mmol/L) beserta adanya gejala klinis deplesi cairan, menandakan telah
terjadi kerusakan ginjal.

Penatalaksanaan
Pada pasien yang masih bisa minum:
Beri larutan oralit, 20 gram glukosa + 5 gr NaCl / 1 liter.
Beri tambahan intake garam 60 80 mmol/L.
Pada pasien yang tidak bisa minum:
Berikan cairan intravena dengan tambahan kalium, contoh 1,5 2,5
liter dekstrosa 5% (dengan 20 mmol K
+
) dan 1 L NaCl 0,9% selama 24
jam DITAMBAH banyaknya cairan yang hilang yang dapat dihitung.
Koreksi asam-basa biasanya tidak diperlukan.

b) Hiponatremia dengan volume cairan ekstrasel yang normal
(euvolemia)
Hiponatremia tipe ini diakibatkan jumlah intake air yang masuk
tidak dapat diekskresikan oleh ginjal (hiponatremia dilusional) tanpa
adanya perubahan natrium pada tubuh namun osmolalitas plasma
menurun. Dengan fungsi ginjal yang masiih normal, hiponatremia
dilusional jarang terjadi meskipun dengan pasien yang minum air 1 L per
jam. Penyebab yang paling sering terjadi adalah iatrogenik, yaitu infus
berlebihan glukosa 5% pada pasein post-operasi; pada situasi ini kondisi
diperparah dengan sekresi ADH berlebihan akibat respon terhadap stress.
Untuk mencegah hiponatremia pasca-operasi, gunakan larutan NaCl 0,9%
kecuali jika ada indikasi lain. Serum natrium harus dihitung tiap hari jika
pasien diberikan cairan parenteral terus-menerus.

23


Tabel Penyebab Hiponatremia Euvolemia

Gejala Klinis
Gejala Hiponatremia dilusional umumnya terjadi secara akut (<48
jam post-operasi). Gejala jarang timbul kecuali jika serum natrium sudah
mencapai <120 mmol/L. Gejalanya terutama berupa kelainan neurologis
akibat pergerakan air ke sel otak akibat penurunan osmolalitas ekstrasel.
Hiponatremia ensefalopati memberikan gejala berupa sakit kepala
dan penurunan kesadaran, sehingga pasien akan mngalami rasa
mengantuk, kontraksi mioklonik, kejang general, dan bahkan koma. Pada
MRI otak akan terlihat edema otak dalam konteks kelainan elektrolit dan
gejala neurologis.
Faktor risiko untuk terjadinya hiponatremia ensefalopati. Adaptasi
otak terhadap hiponatremia adalah ektrusi darah dan cairan serebrospinal
(CSF), begitu juga dengan natrum, kalium, dan osmolit organik, agar
terjadi penurunan osmolalitas otak. Beberapa faktor dapat mengurangi
adaptasi otak tersebut.
Anak dibawah 16 tahun mempunyai rasio volume otak-intrakranial
yang lebih besar dibandingkan dengan dewasa.
24

Wanita premenopause lebih sering terjadi ensefelopati daripada wanita
postmenopause akibat efek inhibisi hormon seksual dan efek
vasopressin pada sirkulasi serebral yang menyebabkan vasokonstriksi
dan hipoperfusi otak.
Hipoksemia merupakan faktor risiko terbesar terjadinya ensefalopati
hiponatremia. Pasien hiponatremia yang berkembang menjadi hipoksia
akibat edema non-kardiopulmoner atau kegagalan respirasi
hiperkapnea, mempunyai mortalitas tinggi.

Investigasi
Penyebab hiponatremia dengan volume ekstrasel yang masih normal
memerlukan pemeriksaan:
Elektrolit plasma dan urin serta osmolalitasnya. Konstrasi natrium
plasma, klorida, dan urea yang rendah menandakan adanya osmolalitas
yang rendah. Konsentrasi natrium urin biasanya meningkat sehingga
perbandingan osmolalitas urin melebihi osmolalitas plasma.
Untuk pemeriksaan lebih lanjut dapat dilakukan untuk menyingkirkan
penyakit Addison, hipotiroidisme, Syndrome of Inappropriate Anti
Diuretic Hormone (SIADH), dan obat-obatan penyebab retensi air
(contoh: klorpropramid).
Harus diingat, bahwa penurun magnesium dan kalium dapat mencetus
pelepasan ADH sehingga menjadi penyebab hiponatremia akibat diuretik.

Pengobatan
Penyebab utama hiponatremia ini harus dikoreksi secara cepat.
Kebanyakan kasus dilakukan pembatasan intake air (500 1000 mL
per hari) dengan bersamaan pemberian diuretik. Pada defisiensi
natrium yang moderat, pemberian NaCl 0.9% per 12 jam dapat
membantu mengembalikan kadar natrium tubuh. Defisiensi
magnesium dan kalium juga harus dikoreksi.
25

Pada gejala akut dapat diberikan larutan hipertonik saline (NaCl
0,3%, 513 mmol/L) yaitu hanya diberikan pada pasien yang sudah
menunjukkan gejala-gejala neurologis parah, seperti koma.
Pemberiannya tidak boleh terlalu cepat (70 mmol/jam), tujuan
penatalaksanaanya adalah untuk menaikkan kadar serum natrium 8-10
mmol/L pada 4 jam pertama, dan tidak melebihi 15-20 mmol/L/48
jam. Singkatnya, natrium pada plasma tidak boleh dikoreksi jika
kadarnya 125 130 mmol/L. NaCl 0,3% dapat menaikkan kadar
natrium serum sebanyak 1 mmol/L dengan dosis 1 ml/KgBB, jika
mengasumsikan 50% total berat tubuh adalah cairan. Pada beberapa
kasus, furosemid dapat digunakan agar mencegah edema pulmoner
dan untuk mengkoreksi konsentrasi natrium. Cairan salin hipertonik
tidak boleh diberikan pada penderita yang sudah mengalim kelebihan
cairan agar tidak terjadi acute heart failure; pada siituasi ini, 100 ml
mannitol 20% dapat diberikan untuk meningkatkan eksresi air pada
ginjal.
Pada kasus kronis. Jika hiponatremia berkembang perlahan, maka
tubuh akan beradaptasi dengan mengurangi osmolalitasi intraselular
sehingga hiponatremia dapat dikoreksi.
Peningkatan osmolalitas ekstraseluler secara tiba-tiba dapat
menyebabkan pengecilan sel otak sindroma yang disebut sebagai central
pontine myelinosis.
Antagonis reseptor Vasopressin V
2
dapat menyebabkan free water
diuresis, yaitu diuresis tanpa natriuria atau kaliuria, sehingga cocok
digunakan pada pasien dengan hiponatremia ensefalopati. Tiga agen oral,
lixivaptan, tolvaptan, dan satavaptan, merupakan agen selektif V
2
bloker,
sedangkan konivaptan memblok reseptor V
1A
dan V
2
.
Obat ini menyebabkan diuresis tanpa mengekskresikan natrium dan
kalium; mereka meningkatkan konsentrasi natrium plasma pada pasien
dengan hiponatremia akibat SIADH, gagal jantung, dan sirosis.

26

c) Hiponatremia dengan hipervolemia
Penyebab hiponatremia akibat berlebihnya cairan dapat dilihat pada tabel
dibawah.

Pada seluruh kondisi tersebut umumnya disebabkan penurunan laju filtrasi
glomerulus dengan penurunan reabsorpsi natrium dan kalium pada tubulus
proksimal sehingga urin tidak lagi menjadi dilusi. Keadaan ini dapat diperparah
dengan pemberian diuretik yang memblok reabsorpsi klorida dan diuretik yang
mengganggu dilusi filtrat, baik di lengkung henle (loop diuretics) maupun di
distal (tiazid).
Menurut waktu terjadinya hiponatremia, maka hiponatremia dapat dibagi
dalam:
Hiponatremia akut. Disebut akut bila kejadian hiponatremia berlangsung cepat,
yaitu kurang dari 48 jam. Pada keadaan ini akan menyebabkan kejang atau koma.
Hal ini terjadi akibat adanya edema sel otak karena air dari ekstrasel masuk ke
intrasel yang osmolalitasnya lebih tinggi. Kelompok ini disebut juga sebagai
hiponatremia simptomatik atau hiponatremia berat. Pada keadaan ini, perlu
diberikan larutan natrium hipertonik intravena. Kadar natrium plasma dinaikkan 5
mEq/L dari kadar natrium awal dalam 1 jam. Setelah itu dinaikkan 1 mEq/L/jam
sampai kadar natrium mencapai 130 mEq/L. Rumus yang dipakai untuk
mengetahui jumlah natrium dalam larutan natrium hipertonik yang diberikan
adalah:
0,5 x BB (kg) x (Kadar Na awal Kadar Na yang diinginkan)

Hiponatremia kronik. Disebut kronik bila kejadian hiponatremia melebihi 48
jam. Pada keadaan ini tidak terjadi gejala yang berat seperti penurunan kesadaran
atau kejang, gejala yang terjadi hanya ringan seperti lemas atau mengantuk.
27

Kelompok ini disebut juga sebagai hiponatremia asimptomatik. Pada keadaan ini
koreksi natrium dilakukan secara perlahan, yaitu 0,5 mEq/L/jam, maksimal 10
mEq/L dalam 24 jam. Bila delta Na sebesar 8 mEq/L, dibutuhkan waktu
pemberian selama 16 jam.

B. Hipernatremia
Respon fisiologis hipernatremia adalah meningkatnya pengeluaran ADH
dari hipotalamus sehingga ekskresi urin berkurang oleh karena saluran air (AQP2)
di bagian apikal duktus koligentes bertambah (osmolalitas urin tinggi).
Hipernatremia terjadi bila:
Adanya defisit cairan tubuh akibat ekskresi air melebihi ekskresi natrium atau
asupan air yang kurang. Misalnya pada pengeluaran air tanpa elektrolit
melalui insensible water loss, atau keringat, osmotik diare akibat pemberian
laktulose atau sorbitol; diabetes insipidus sentral maupun nefrogenik; diuresis
osmotik akibat glukosa atau manitol; gangguan pusat rasa haus di hipotalamus
akibat tumor atau gangguan vaskular. Deplesi volume dan defisit cairan
menyebabkan ekskresi Na dalam urin rendah sehingga kadarnya kurang dari
25 mEq/L.
Penambahan natrium yang melebihi jumlah cairan dalam tubuh, misalnya
koreksi bikarbonat berlebihan pada asidosis metabolik. Pada keadaan ini tidak
terjadi deplesi volume sehingga natrium yang berlebihan akan diekskresikan
ke dalam urin menyebabkan kadara natrium dalam urin lebih dari 100 mEq/L.
Masuknya air tanpa mengandung elektrolit ke dalam sel. Misalnya pada
altihan olahraga yang berat, asam laktat dalam sel meningkat sehingga
osmolalitas sel juga meningkat da air dari ekstrasel akan masuk ke intrasel.
Biasanya kadar natrium akan kembali normal dalam waktu 5 15 menit
setelah istirahat.

Manusia dalam keadaan normal tidak akan pernah mengalami
hipernatremia, karena respons haus yang timbul akan dijawab dengan asupan air
yang meningkat sehingga tidak terjadi hipernatremia. Hipernatremia terjadi bila
28

respon kekurangan air tidak diatasi dengan baik, misalnya pada orang dengan usia
lanjut dan penderita diabetes insipidus (volume urin dapat >10 L).
Dalam keadaan hipotalamus yang normal serta fungsi ginjal yang normal,
hipernatremia akan menyebabkan osmolalitas urin menjadi lebih dari 700 800
mosm/kg.
Dalam kaitan dengan hipernatremia, harus membedakan antara deplesi
volume dengan dehidrasi. Deplesi volume adalah keluarnya air tanpa natrium
(cairan hipotonik) dari dalam tubuh yang mengakibatkan timbulnya
hipernatremia. Dengan kata lain, deplesi volume sama dengan hipovolemia
dengan normonatremia. Sedangkan pada dehidrasi terjadi pengurangan air baik
ekstrasel maupun intrasel sedang pada deplesi volume, air yang berkurang
hanyalah air ekstrasel.

Gejala Klinis
Timbul pada peningkatan natrium plasma secara akut hingga 158 mEq/L.
Gejala yang ditimbulkan akibat mengecilnya volume otak oleh karena air keluar
dari dalam sel. Pengecilan volume ini menimbulkan robekan pada vena dan
menyebabkan perdarahan lokal di otak dan subarakhnoid. Gejala dimulai dari
letargia, lemas, twitching, kejang, dan akhirnya koma. Kenaikan akut di atas 180
mEq/L dapat menyebabkan kematian.

Penatalaksanaan Hipernatremia
Langkah pertama yang dilakukan adalah menetapkan etiologi
hipernatremia. Sebagian besar penyebab hipernatremia adalah defisit cairan tanpa
elektrolit akibat koreksi air yang tidak cukup atau kehilangan cairan tanpa
elektrolit melalui saluran cerna, urin, atau saluran nafas.
Setelah etiologi ditetapkan, langkah berikutnya mencoba menurnkan
kadara natrium dalam darah. Pada diabetes insipidus, sasaran pengobatan adalah
mengurangi volume urin (desmopressin pada diabetes insipidus sentral atau
diuretik tiazid, mengurangi asupan garam atau protein pada diabetes insipidus
29

nefrogenik). Bila penyebabnya adalah asupan natrium berlebihan, pemberian
natrium dihentikan.
Penyebab yang tersering adalah defisit cairan tanpa elektrolit
(dehidrasi), pengobatan dilakukan dengan koreksi cairan berdasarkan
penghitungan jumlah defisit cairan.

PENANGGULANGAN GANGGUAN KESEIMBANGAN CAIRAN
Hipovolemia
Ada dua tindakan yang dilakukan dalam mengatasi keadaan ini yaitu
menanggulangi penyakit yang mendasari dan penggantian cairan yang hilang.
Untuk mengetahui jumlah cairan yang akan diberikan perlu diketahui prediksi
cairan yang akan diberikan perlu diketahui prediksi cairan yang hilang dari tubuh.
Pada hipovolemia, cairan yang hilang berasal dari cairan ekstrasel (intravaskuler
dan interstitium) oleh karena cairan yang hilang adalah cairan yang isotonic.
Dalam keadaan normal, osmolaritas cairan interstitium dan intravaskuler adalah
sama (isotonik), maka penghitungan cairan yang hilang didasarkan pada persen
berkurangnya plasma (cairan intravaskular).

Perlu diingat bahwa volume plasma adalah sebesar 6% dari berat bada
orang dewasa. Sebagai contoh, deplesi volume ringan (20%) pada orang dewasa
sebesar 60 kg, volume cairan yang hilang sebesar 20% dari 3,6 liter adalah 0,72
liter (720 mL). Kecepatan pemberian cairan tergantung pada keadaan klinis yang
terjadi. Pada deplesi volume yang berat, kecepatan cairan diberi dalam waktu
yang cepat hingga terjadi perbaikan takikardia dan tekanan darah.
Jenis cairan yang diberikan tergantung dari cairan yang ke luar. Bila
pendarahan sebaiknya diganti dengan darah juga. Bila persediaan darah tidak ada,
dapat diberikan cairan koloid atau cairan kristaloid seperti NaCl isotonik atau
cairan ringer laktat. Cairan koloid tetap tertahan dalam intravaskular, sedangkan
Status Hipovolemia Kadar Volume Plasma Gejala
Hipovolemia Ringan 20% volume plasma Takikardia
Hipovolemia Sedang 20 - 40% volume plasma Takikardia & hipotensi ortostatik
Hipovolemia Berat 40% volume plasma Hipotensi, takikardi, oligouria, agitasi
30

cairan kristaloid akan masuk sebanyak duapertiganya ke cairan interstitium. Bila
cairan keluar dari saluran intestinal (diare atau muntah), jenis cairan pengganti
dapat berupa NaCl isotonis atau ringer laktat. Pada diare, lebih dianjurkan
pemberian ringer laktat oleh karena potensi terjadinya asidosis metabolik pada
diare yang berat.

Dehidrasi
Dehidrasi melibatkan pengurangan cairan intrasel dan ekstrasel secara
bersamaan di mana 40% dari cairan yang hilang berasal dari ekstrasel dan 60%
berasal dari intrasel. Hipernatremia pada pasien dengan hipovolemia, merupakan
tanda klinis dehidrasi. Defisit cairan tubuh total ini dapat dihitung dengan rumus:

Defisit Cairan = 0,4 x berat badan [kg] x (Na Plasma / 140 1)

Untuk koreksi cairan, jenis cairan yang diberikan adalah cairan dekstrosa
isotonik. Volume cairan yang dibutuhkan sesuai dengan perhitungan rumus di
atas ditambah dengan insensible water loss + volume urin 24 jam + volume cairan
yang keluar melalui saluran cerna. Insensible water loss dihitung sebanyak 40
mL/jam. Cairan dapat diberikan intravena atau oral jika pasien sadar. Kecepatan
pemberian cairan harus tidak menimbulkan penurunan kadar natrium plasma >0,5
mEq/jam. Sebagai contoh bila kadar natrium plasma > 0,5 meq/jam. Sebagai
contoh, bila kadar natrium plasma diturunkan sampai 160 menuju 140 mEq, maka
kecepatan pemberian cairan adalah selama 40 jam (20 / 0,5). Bila berat pasien ini
adalah 60 kg, maka defisit cairan adalah sebesar:
0,4 x 60 (160 / 140 1) = 3,43 liter

Bila insensible water loss sebesar 960 mL dan volume urin 1500 mL/24 jam,
maka volume cairan yang dibutuhkan sebesar 3,43 + 0,96 + 1,5 = 5,89 Liter.
Jumlah cairan ini diberikan dalam waktu 40 jam atau 0,15 liter/jam. Tindakan lain
adalah mengatasi penyebab terjadinya dehidrasi.

31

2. Endokrin
A. Hipoglikemia
Hipoglikemia dan Otak
Glukosa merupakan bahan bakar utama otak dalam kondisi fisiologis yaitu
sekitar 50% glukosa digunakan untuk otak. Karena otak tidak bisa
memetabolisme glukosa, glukosa yang ada pada sirkulasi, glikogen yang
disimpan di otot maupun hepar digunakan untuk bahan bakar otak. Hipoglikemia
akan mengakibatkan kegagalan otak, yang nantinya ketika plasma glukosa
meningkat, keadaan tersebut akan berbalik. Pada penderita DM, hipoglikemia
yang paling sering terjadi adalah bersifat iatrogenik, yaitu akibat dari pengobatan
itu sendiri. Obat-obatan yang memberikan efek samping hipoglikemia adalah
insulin injeksi, golongan sulfonylurea, dan glinid. Hipoglikemia dikatakan rendah
jika kadarnya dalam plasma:
< 50 mg/dL pada pria
< 45 mg/dL pada wanita
< 40 mg/dL pada bayi dan anak

Manifestasi Klinis Hipoglikemia
Gejala dan tanda hipoglikemia tidak spesifik. Sehingga, gejala klinis
hipoglikemia biasanya didokumentasikan dengan menggunakan triad Whipple;
gejala yang menunjukkan hipoglikemia, gula darah sewaktu yang rendah; dan
terjadi perbaikan setelah glukosa plasma ditingkatkan.
Gejala neuroglikopenik, yang diakibatkan oleh hipoglikemia, termasuk
gangguan kognitif (glukosa <50 mg/dL), perubahan sikap dan gangguan
psikomotor, dan koma. Gejala neurogenik (atau autonomik), yang umumnya
disebabkan oleh persepsi perubahan fisiologis simpatoadrenalstimulasi
adrenergik (palpitasi, hiperhidrosis, takikardi, midiriasis, parestesi, tremor, dan
ansietas) dan manifestasi glukagon (lapar, nausea, vomitus, rasa tidak nyaman
daerah abdomen, dan sefalgia).
Tanda dari hipoglikemia termasuk diaphoresis dan pallor, akibat dari
vasokonstriksi adrenergik kutaneus dan aktivasi kolinergik dari kelenjar keringat.
32


Gejala dan Tanda Klinis
Stadium parasimpatik ; lapar,mual,tekanan darah turun.
Stadium gangguan otak ringan: lemah lesu ,sulit bicara ,kesulitan menghitung
sementara
Stadium simpatik: keringat dingin pada muka ,bibir atau tangan gemetar
Stadium gangguan otak berat: tidak sadar,dengan atau tanpa kejang

Anamnesa
Penggunan preparat insulin atau obat hipoglemik oral: dosis terakhir, waktu
pemakaian terakhir, perubahan dosis.
Waktu makan terakhir, jumlah asupan gizi
Riwayat jenis pengobatan dan dosis sebelumnya.
Lama menderita DM, komplikasi DM.
Penyakit penyerta: ginjal, hati, dll.
Penggunaan obat sistematik lainnya: penghambat adrenergik Beta, dll

Pemeriksaan Fisik
Pucat
Diaphoresis
Hipotensi
Heart rate menurun
Penurunan kesadaran
Defisit neurologik fokal transient.

Diagnosis Banding
Hipoglikemia karena Obat:
o Sering: insulin, sulfonlurea, alkohol,
o Kadang: kinin, pentamidine
o Jarang: salisilat, sulfonamide.
33

Hiperinsulinisme endogen: insulinoma, kelainan sel B jenis lain, sekretagogue
(sulfonylurea), autoimun, sekresi insulin ektopik
Penyakit kritis: gagal hati ,gagal ginjal, sepsis, starvasi, dan inasasi
Defisiensi endokrin: Kortisol, growth hormone, glukagon, epnefrin
Tumor non-sel B: sarkoma, tumor adrenokortikal, hepatoma, leukemia,
limfoma, melanoma
Pasca prandial; reaktif (setelah operasi gaster), diinduksi alkohol

Pemeriksaan penunjang
Kadar glukosa darah (GD),
Tes fungsi ginjal,
Tes fungsi hati
C- peptide

Terapi
Stadium permulaan (sadar)
Berikan gula murni 30 gram (2 sendok makan) atau sirop/permen atau gula
murni (bukan pemanis pengganti gula atau gula diit/gula diabetes) dan
makanan yang mengandung karbohidrat
Hentikan obat hipoglikemik sementara
Pantau glukosa darah sewaktu tiap 1-2 jam
Pertahankan GD sekitar 200 mg/dL (bila sebelumnya tidak sadar)
Cari penyebab

Stadium lanjut (koma hipoglikemia atau tidak sadar dan curiga hipoglikemia);
1) Diberikan larutan destrosa 40% sebanyak 2 flakon (@50 mL) bolus intra
vena.
2) Diberikan cairan dekstrosa 10 % per infus, 6 jam/kolf
3) Periksa GD sewaktu (GDS), kalau memungkinkan dengan glukometer:
Bila GDs < 50 mg /dL-- + bolus dekstrosa 40% 50 % ml IV
34

Bila GDs < 100 mg /dL --+ bolus dekstrosa 40 % 25 % mL IV
4) Periksa GDs setiap satu jam setelah pemberian dekstrosa 40%
Bila GDs < 50 mg/dL -- + bolus dekstrosa 40 % 50 mL IV
Bila GDs <100 mg/dL -- +bolus dekstrosa 40 % 25 mL IV
Bila GDs 100 200 mg /dL -- tanpa bolus dekstrosa 40 %
Bila GDs > 200 mg/dL pertimbangan menurunkan kecepatam drip
dekstrosa 10%
5) Bila GDs > 100 mg/dL sebanyak 3 berturut turut ,pemantauan GDs setiap 2
jam, dengan protokol sesuai diatas, bila GDs >200 mg/dL pertimbangkan
mengganti infus dengan dekstrosa 5 % atau NaCI 0,9 %.
6) Bila GDs >100 mg/dL sebanyak 3 kali berturut- turut, pemantauan GDS
setiap 4 jam, dengan protokol sesuai diatas. Bila GDs > 200 mg/dL
pertimbangkan mengganti infuse dengan dekstrosa 5 % atau NaCI 0.9 %
7) Bila GDS > 100 mg/dL sebanyak 3 kali berturut-turut, slinding scale setiap 6
jam:
GDS (mg dL) Insulin (Unit, subkutan)
<200 0
200 250 5
250 300 10
300 350 15
>350 20

8) Bila hipoglikemia belum teratasi, dipertimbangkan pemberian antagonis
insulin seperti; adrenalin, kortison dosis tinggi, atau glikagon 0,5-1 mg IV/IM
(bila penyebabnya insulin)
9) Bila pasien belum sadar, GDS sekitar 200 mg/dL. Hidrokortison 100 mg/4
jam selama 12 jam atau deksametason 10 mg IV bolus dilanjutkan 2 mg tiap 6
jam dan manitol 1,5 - 2 g/kgBB IV setiap 6-8 jam, cari penyebab lain
penurunan kesadaran.

Obat Hipoglikemik Oral Penyebab Hipoglikemia
35

Golongan Generik Nama mg/tab Dosis Lama Kerja Frek./Hari Waktu
Dagang Harian (mg) (jam) Pemberian
Glibenclamid Daonil 2,5 - 5 2,5 - 15 24-Dec 1 -- 2
Minidiap 5 -- 10 5 -- 20 10 -- 16 1 -- 2
Glucotrol-XL 5 -- 10 5 -- 20 12 -- 16 1
Glikuidon Glurerorm 30 30-120 10 -- 20 1 -- 2
Amaryl 1-2-3-4 0,5-6 24 1
Gluvas 1-2-3-4 1 -- 6 24 1
Amadiab 1-2-3-4 1 -- 6 24 1
Metrix 1-2-3-4 1 -- 6 24 1
Repaglinid Novonorm 0,5; 1,2 1, 5-6 - 3 Tidak bergantung
Nateglinid Starlix 120 360 - 3 jadwal makan
Glipizid
Glimepiride
Sebelum Makan Sulfonilurea
Glinid

Farmakokinetik Insulin Eksogen Berdasar Waktu Kerja (time course of
action)
Onset of Action Peak Action Effective Duration
Awal Kerja (Puncak Kerja) of Action (Lama Kerja)
Insulin Prandial (Meal Related)
Insulin Short-Acting
Regular (Actrapid; HumulinR) 30 - 60 menit 30 - 90 menit 3 - 5 jam
Insulin Analog rapid-acting
Insulin lispro (Humalog) 5 - 15 menit 30 - 90 menit 3 - 5 jam
Insulin glulisine (Apidra) 5 - 15 menit 30 - 90 menit 3 - 5 jam
Insulin aspart (NovoRapid) 5 - 15 menit 30 - 90 menit 3 - 5 jam
Insulin Intermediet-acting
NPH (Insulatard, HumulinN) 2 - 4 jam 4 - 10 jam 10 - 16 jam
Insulin long-acting
Insulin glargine (Lantus) 2 - 4 jam No Peak
Insulin detemir (Levemir) 2 - 4 jam No Peak
Insulin Campuran
(Short- dan Intermediet-acting)
70% NPH / 30%regular
(Mixtard; Humulin 30 / 70) 30 - 60 menit Dual 10 - 16 jam
70% Insulin aspart protamine / 30%
Insulin aspart (NovoMix30) 10 - 20 menit Dual 15 - 18 jam
75% insulin lispro protamine / 25%
insulin lispro injection
(HumalogMix25) 5 - 15 menit 1 - 2 jam?? 16 - 18 jam
Sediaan Insulin


Hipoglikemia dan cara mengatasinya (PERKENI 2006)
Hipoglikemia ditandai dengan menurunnya kadar glukosa darah <60
mg/dL.
Bila terdapat penurunan kesadaran pada penyandang diabetes harus selalu
dipikirkan kemungkinan terjadinya hipoglikemia. Hipoglikemia paling
36

sering disebabkan oleh penggunaan sulfonilurea dan insulin. Hipoglikemia
akibat sulfonilurea dapat berlangsung lama, sehingga harus diawasi
sampai seluruh obat diekskresi dan waktu kerja obat telah habis.
Terkadang diperlukan waktu yang cukup lama untuk pengawasannya (24-
72 jam atau lebih, terutama pada pasien dengan gagal ginjal kronik).
Hipoglikemia pada usia lanjut merupakan suatu hal yang harus dihindari,
mengingat dampaknya yang fatal atau terjadinya kemunduran mental
bermakna pada pasien. Perbaikan kesadaran pada DM usia lanjut sering
lebih lamban dan memerlukan pengawasan yang lebih lama.
Gejala hipoglikemia terdiri dari gejala adrenergik (berdebar, banyak
keringat, gemetar, rasa lapar) dan gejala neuro-glikopenik (pusing, gelisah,
kesadaran menurun sampai koma).
Hipoglikemia harus segera mendapatkan pengelolaan yang memadai.
Diberikan makanan yang mengandung karbohidrat atau minuman yang
mengandung gula berkalori atau glukosa 15-20 g melalui intra vena. Perlu
dilakukan pemeriksaan ulang glukosa darah 15 menit setelah pemberian
glukosa. Glukagon diberikan pada pasien dengan hipoglikemia berat.
Pada penderita yang dalam keadaan koma segera diberikan suntikan intra vena
dektrosa 40% sebanyak 50ml. Bila masih belum sadar pemberian dekstrosa 40%
dapat diulangi. Dilanjutkan dengan pemberian infuse dektrosa 10%, khusus pada
mereka yang mendapat obat sulfonylurea sebaiknya infuse dektrosa 10%
diteruskan selama 48 jam.

B. Ketoasidosis Diabetik (KAD)
Definisi
Adalah keadaan dekompensasi-kekacauan metabolik yang ditandai oleh
trias hiperglikemia, asidosis dan ketosis, terutama disebabkan oleh defisiensi
insulin absolut atau relatif.

Faktor Pencetus
Infeksi
37

Infark miokard akut
Pankreatitis akut
Penggunaan obat golongan steroid
Menghentikan atau mengurangi dosis insulin

Patofisiologi
KAD adalah suatu keadaan dimana terdapat suatu defisiensi insuli absolut
atau relatif dan peningkatan hormon counter-regulator (glukagon, katekolamin,
kortisol, dan growth hormone); keadaan tersebut menyebabkan produksi glukosa
hepar meningkat dan pemakaian glukosa oleh sel tubuh menurun, dengan hasil
akhir hiperglikemia.



Gejala Klinis
Pernapasan cepat & dalam (kussmaul)
Berbagai derajat dehidrasi (turgor kulit berkurang, lidah & bibir kering)
Kadang disertai hipovolemia sampai syok
38


Kriteria Diagnosis
Kadar glukosa 250 mg%
pH < 7,35
HCO
3
rendah
Anion gap yang tinggi
Keton serum positif

Penatalaksanaan
PRINSIP PENATALAKSANAAN:
1. Penggantian cairan dan garam yang hilang.
2. Menekan lipolisis sel lemak dan menekan glukoneogenesis sel hati dengan
pemberian insulin.
3. Mengatasi stress sebagai pencetus KAD.
4. Mengembalikan keadaan fisiologi normal dan menyadari pentingnya
pemantauan serta penyesuaian pengobatan.
Pengobatan KAD tidak terlalu rumit. Terdapat 6 hal yang harus diberikan, dan 5
di antaranya harus terpenuhi, yaitu cairan, garam, insulin, kalium, dan glukosa.

Cairan:
Dehidrasi larutan garam fisiologis
Berdasarkan perkiraan cairan yang hilang pada KAD mencapai 100ml/kgBB
maka: 1 jam pertama 1-2 liter Jam kedua = 1 liter Jam selanjutnya
sesuai protocol
39

Jika kadar glukosa <200 mg/dL maka perlu diberikan larutan mengandung
glukosa (D5% atau D10%).



Pengobatan umum:
1. Antibiotik yang adekuat
2. Oksigen bila pO
2
< 80 mmHg
3. Heparin bila ada DIC atau bila hiperosmolar (>380 mOsm/l)

Pemantauan
Konsentrasi glukosa darah tiap jam dengan glukometer
Elektrolit setiap 6 jam selama 24 jam, selanjutnya tergantung keadaan
40

Analisis gas darah, bila pH < 7 saat masuk, tiap 6 jam hingga pH > 7,1,
selanjutnya setiap hari sampai stabil
Tekanan darah, nadi, frek nafas dan tempratur setiap jam
Keadaan hidrasi, balans cairan
Waspada terhadap kemungkinan DIC

Komplikasi
Edema paru
Hipertrigliseridemia
Infark miokard akut
Komplikasi iatrogenik:
- hipoglikemia
- hipokalemia
- hiperkloremia
- edema serebri
- hipokalsemia

C. Hiperglikemi Hiperosmolar Non Ketotik (HHNK)
Definisi
Hiperglikemi Hiperosmolar Non Ketotik merupakan komplikasi akut pada
Diabetes Melitus (DM). Sindrom HHNK ditandai dengan hiperglikemia,
hiperosmolar, tanpa disertai adanya ketosis, dengan gejala klinis utama adalah
dehidrasi berat, hiperglikemia berat, dan seringkali disertai dengan gangguan
neurologis atau tanpa adanya ketosis.
Perjalanan klinis HHNK biasanya berlangsung beberapa hari sampai
beberapa minggu, dengan gejala khasnya yaitu sering haus, polidipsi, poliuri, dan
penurunan berat badan, dan kadang sampai koma.
Ditinjau dari segi patofisiologi, HHNK dan KAD merupakan suatu
dekompensasi metabolik pada pasien DM; yang berbeda adalah onset, derajat
dehidrasi, dan beratnya ketosis.
41

Ringan Sedang Berat
Kadar Glukosa Plasma
(mg/dL)
Kadar pH Arteri 7,25 - 7,30 7,00 - 7,24 <7,00 >7,30
Kadar Bikarbonat Serum
(mEq/L)
Keton pada Urin atau
Serum
Osmolaritas Serum
(mOsm/kg)
Anion Gap >10 >12 >12 Bervariasi
Kesadaran Sadar Sadar, Drowsy Stupor, Koma Stupor, Koma
Bervariasi Bervariasi Bervariasi >320
15 - 18 10 - <15 <10 >15
Positif Positif Positif Sedikit/Negatif
Variabel HHNK
KAD
>250 >250 >250 >600

Faktor Pencetus
HHNK sering terjadi pada penderita DM usia tua, yang mempunyai
penyakit penyerta sehingga penurunan asupan makanan. Faktor pencetus dapat
dibagi menjadi enam kategori:
Infeksi (selulitis, karies dentis, ISPA, ISK)
Pengobatan (antagonis kalsium, kemoterapi, klorpromazin, Loop Diuretics,
fenitoin, propranolol, diuretik tiazid)
Noncompliance (ketidakpatuhan minum obat)
DM tidak terdiagnosis
Penyalahgunaan obat (alkohol, kokain)
Penyakit penyerta (infark miokard akut, hipertermia, hipotermia, pankreatitis,
emboli paru, gagal ginjal, tirotoksikosis)

Patofisiologi
42


Patofisiologi HHNK

Faktor yang memulainya HHNK adalah diuresis glikosuria. Glikosuria
mengakibatkan kegagalan kemampuan ginjal dalam mengkonsentrasikan urin,
yang semakin memperberat derajat kehilangan urin. Pada keadaan normal, ginjal
berfungsi mengeleminasi kelebihan glukosa (sifat glukosa yaitu dapat menarik
air) dalam tubuh dalam batas tertentu. Namun, karena adanya penurunan volume
intravaskular yang telah ada sebeblumnya menyebabkan Laju Filtrasi Glomerulus
(LFG) menurun, sehingga konsentrasi glukosa dalam urin meningkat. Hilangnya
air yang lebih banyak dibandingkan dengan natrium menyebabkan keadaan
hiperosmolar. Hal ini diperparah dengan keadaan insulin yang ada dalam tubuh
tidak mencukupi untuk menurunkan kadar glukosa darah.
Pada HHNK, masih belum jelas mengapa tidak terbentuk ketoasidosis.
Faktor yang diduga adalah keterbatasannya ketogenesis akibat keadaan
hiperosmolar, konsentrasi asam lemak bebas yang rendah untuk ketogenesis,
ketersediaan insulin yang cukup untuk mencegah ketogenesis (namun tidak cukup
untuki mencegah hipoglikemia), dan resistensi hepar terhadap glukagon.
Penurunan penggunaan glukosa oleh jaringan perfier (hepatosit dan
miosit), ketidak mampuan stimulasi glukagon untuk menyimpan glukosa pada
43

hepatosit dalam bentuk glikogen, dan stimulasi glukagon untuk pembentukan
glukoneogenesis memperparah keadaan hiperglikemia.
Hiperglikemia menyebabkan dieresis osmotik. Karena tekanan osmotik
glukosa yang tinggi, sehingga air di dalam lumen tubulus ginjal tidak dapat di
reabsorpsi ke dalam pembuluh darah, sehingga akan mningkatkan diuresis.
Hiperglikemia, bersamaan dengan peningkatan konsentrasi protein plasma yang
mengikuti hilangnya cairan intravaskular, menyebabkan keadaan hiperosmolar.
Keadaan hiperosmolar dapat menyebabkan rangsangan hormon ati-diuretik,
sehingga akan meningkatkan rasa haus.
Seluruh patofisiologi di atas (hiperglikemi dan hiperosmolar) nantinya
akan menimbulkan dehidrasi (jika tubuh tidak mampu melakukan dekompensasi)
dan kemudian hipovolemia. Hipovolemia nantinya akan menyebabkan hipotensi
dan akhirnya gangguan perfusi jaringan (syok).

Gejala Klinis
Pasien HHS umumnya berusia lanjut (> 60 thn). Gejala klinis utama:
- Dehidrasi berat
- Hiperglikemia berat
- Sering disertai gangguan. Neurologis (letargi, disorientasi, hemiparesis,
kejang/koma) dengan atau tanpa adanya ketosis

Keluhan pasien:
- Rasa lemah
- Gangguan penglihatan
- Kaki kejang
- Mual dan muntah
- Letargi, disorientasi, hemiparesis, dan kejang
- Koma (jika osmolaritas serum > 350 mOsm/kg = 350 mmol/kg)

Pemeriksaan Fisik:
Tanda dehidrasi berat:
44

- Turgor kulit buruk
- Mukosa bibir kering
- Mata cekung
- Ekstremitas dingin
- Denyut nadi cepat dan lemah
- Peningkatan suhu tubuh yang tidak terlalu tinggi

Secara klinis HHNK sulit dibedakan dengan KAD. Untuk mendiagnosis
HHNK, dapat digunakan pegangan sebagai berikut:
Sering ditumkan pada usia lanjut (> 60 tahun)
Hampir ditemukan pada pasien DM atau DM tidak terdiagnosis/terkontrol
Mempunyai penyakit dasar lain
Sering disebabkan oleh obat-obatan seperti tiazid, furosemid, manitol,
digitalis, reserpin, steroid, klorpromazin, hidralazin, dilantin, simetidin, dan
haloperidol.
Mempunyai faktor pencetus (infeksi, penyakit kardiovaskular, perdarahan,
gangguan keseimbangan cairan, pankreatitis, koma hepatik, dan operasi).

Pemeriksaan Laboratorium
Temuan awal:
Hiperglikemia (> 600 mg/dL)
Hiperosmolaritas serum (> 320 mOsm/kg H
2
0 [normal = 285 295])
pH >7,30
Ketonemia ringan atau negatif
Anion gap 10 12 (asidosis metabolik ringan), atau >12 (kemungkinan
asidosis laktat)
Temuan lain:
Ureum & kreatinin meningkat
Blood urea nitrogen meningkat atau normal
Hematokrit hampir selalu meningkat

45

Konsentrasi natrium harus dikoreksi jika konsentras glukosa darah pasien
sangat meningkat. Jenis cairan yang diberikan tergantung dari konsentrasi natrium
yang sudah dikoreksi, yang dapat dihitung dengan rumus:
Natrium (mEq/L) + 165 x (Glukosa darah [mg/dL]) 100) / 100

Misalkan konsentrasi natrium hasil pemeriksaan = 145 mEq/L (145
mmol/L) dan konsentrasi glukosa darah plasma 1.100 mg/dL (61,1 mmol/L),
maka konsentrasi natrium koreksi:
145 + 165 x (1.100 100) / 100 = 145 + 16,5 = 161,5 mEq/L

Untuk menghitung osmolaritas serum efektif dapat digunakan rumus:
(2 x Natrium [mEq/L]) + Glukosa darah (mg/dL) / 18
Misalkan konsentrasi natrium hasil pemeriksaan = 145 mEq/L (145
mmol/L) dan konsentrasi glukosa darah plasma 1.100 mg/dL (61,1 mmol/L),
maka osmolaritas serum efektifnya:
(2 x 150) + 1.100 / 18 = 300 + 61 = 361 mOsm/kg

Penatalaksanaan
Meliputi 5 pendekatan:
1. Rehidrasi intravena agresifdengan cairan hipotonis
2. Penggantian elektrolit
3. Pemberian insulin intravena
4. Diagnosis dan manajemen faktor pencetus dan penyakit penyerta
5. Pencegahan
Pengobatan utama adalah rehidrasi dengan menggunakan cairan NaCl; bisa
diberikan cairan isotonik atau hipotonik normal, diguyur 1000 ml/jam sampai keadaan
cairan intravaskular dan perfusi jaringan mulai membaik, baru diperhitungkan
kekurangannya dan diberikan dalam 12-48 jam. Pemberian cairan isotonik harus
mendapat pertimbangan untuk pasien dengan kegagalan jantung, penyakit ginjal atau
hipernatremia. Glukosa 5% diberikan pada waktu kadar glukosa darah sekitar 200-
46

250mg%. Pemberian cairan hipotonik dapat menyebabkan overload cairan sehingga
umumnya pada diberikan terlebih dahulu NaCl 0,9% 1L/jam.
Insulin, pada saat ini para ahli menganggap bahwa pasien hiperosmolar
hiperglikemik non ketotik sensitif terhadap insulin. Untuk dosis awal, dapat diberikan
insulin 0,15 U/kgBB bolus IV, dan diikuti dengan drip 0,1 U/kgBB/jam sampai
konsentrasi glukosa plasma turun antara 250 300 mg/dL. Jika glukosa tidak turun
sebanyak 50 70 mg/dL dari kadar awal, maka dosis dapat ditingkatkan. Jika glukosa
sudah <300 mg/dL maka insulin tambahan diberikan subkutan berdasar kadar glukosa
darah setiap 4 jam tersebut (sliding scale):
Glukosa darah: < 150 mg/dl insulin tidak diberikan
Glukosa darah: <150-200 mg/dl insulin diberikan 5 U s.k
Glukosa darah: 200-300 mg/dl Insulin diberikan 10 U s.k
Glukosa darah: 300-400 mg/dl Insulin diberikan 15 U s.k
Glukosa darah: >400 mg/dl insulin diberikan 20 U s.k.
Kehilangan elektrolit (kalium total) sering kali tidak diketahui pasti. Pada
pemberian insulin, maka secara otomatis kalium akan masuk ke dalam sel sehingga kadar
kalium serum akan berkurang. Jika:
Konsentrasi kalium awal <3,3 mEq/L, pemberian insulin ditunda dan diberikan
kalium (2/3 KCl dan 1/3 KPO
4
) sampai tercapai kalium setidaknya 3,3 mEq/L.
Konsentrasi kalium awal >5,0 mEq/L konsentrasinya harus diturunkan sampai
dibawah 5,0 mEq/L dan dimonitor tiap 2 jam.
Konsentrasi kalium awal 3,3 5,0 mEq/L, maka dapat diberikan 20 30 mEq kalium
ke dalam tiap liter cairan intravena yang diberikan (2/3 KCl dan 1/3 KPO
4
) untuk
mempertahankan kalium 4,0 5,0 mEq/L
Komplikasi yang timbul pada penatalaksaanaan dapat berupa edema serebri yang
dapat diatasi dengan pemberian mannitol 1-2 mg/kgBB selama 30 menit dan
deksametason intravena.

3. Toksik
a) Intoksikasi Opiat
Simtomatologi Opiat
47

Berikut ini dimasukkan beberapa obat dengan simptomatologi yang
hampir sama dengan golongan opiate (morfin, petidin, heroin, kodein) dan
sedatif: (1) Narkotika; (2) Barbiturat; (3) Benzodiazepin; (4) Meprebamat; (5)
Etanol.
Tanda dan gejala yang ditemukan: koma, depresi nafas, miosis, hipotensi,
bradikardi, hipotermi, edema paru, bising usus menurun, hiporefleksi, dan kejang
(pada kasus berat).

PRINSIP PENATALAKSANAAN KERACUNAN
Upaya penatalaksanaan harus cepat dan memperhatikan hal-hal berikut:
1. Penatalaksanaan Kegawatan
a) Airways, bebaskan jalan nafas dari sumbatan bahan muntahan, lendir,
gigi palsu. Bila perlu dengan perubahan posisi dan oropharyngeal
airway dan alat penghisap lendir.
b) Breathing, jaga agar pernafasan sebaik mungkin dan bila memang
diperlukan dapat dengan alat respirator.
c) Circulation, tekanan darah dan volume cairan harus dipertahankan
secukupnya dengan pemberian cairan dalam keadaan tertentu dapat
diberikan cairan koloid. Bila terjadi henti jantung lakukan RJP.
2. Penilaian Klinis
Penatalaksanaan keracunan harus segera dilaksanakan tanpa
menunggu hasil toksikologi. Meskipun diagnosis etiologi sulit ditegakkan,
namun beberapa etiologi dapat diidentifikasi secara klinis.
Beberapa keadaan klinis yang perlu mendapat perhatian karena
dapat mengancam nyawa ialah: koma, kejang, henti jantung, henti nafas,
dan syok.
Anamnesis. Beberapa pegangan penting dalam anamnesis dalam upaya
mengatasi keracunan ialah:
Kumpulkan informasi selengkapnya tentang seluruh obat yang
digunakan termasuk obat yang sering dipakai.
48

Kumpulkan informasi dalam anggota keluarga, teman, dan petugas
tentang obat yang digunakan.
Tanyakan dan simpan (untuk pemeriksaan toksikologis) sisa obat,
muntahan yang masih ada.
Tanyakan riwayat alergi obat atau riwayat syok anafilaksis.
Pemeriksaan Fisik. Lakukan pemeriksaan fisik untuk menemukan
tanda/kelainan akibat keracunan yaitu pemeriksaan kesadaran, tekanan
darah, nadi, denyut jantung, ukuran pupil, keringat, air liur, dan lainnya.
Pemeriksaan penunjang diperlukan berdasarkan skala prioritas dan pada
keadaan yang memerlukan observasi pemeriksaan fisik harus dilakukan
berulang.
3. Dekontaminasi Racun
Umumnya, zat atau bahan kimia tertentu dapat diabsorpsi dengan
baik oleh kulit sehingga dekontaminasi permukaan sangat diperlukan. Jika
bahan tersebut tertelan, maka bilas lambung wajib diperlukan. Biasanya
dapat diberikan arang aktif, pencahar, dan pemberian obat perangsang
muntah.
4. Pemberian Antidotum
Tidak semua keracunan ada penawarnya, sehingga prinsip utama
adalah mengatasi sesuai besar masalah. Apalagi antidotum belum tentu
tersedia tiap saat.
5. Terapi Suportif
Terapi suportif harus bersifat holistic dan cost effective disesuaikan
dengan kondisi di masing-masing pelayanan kesehatan.
6. Observasi dan Konsultasi
7. Rehabilitasi

OPIAT
Umumnya, opiat digunakan sebagai analgetik melalui mekanisme efek
depresi pada otak. Golongan opiat yang biasa dipakai adalah morfin, yaitu
49

digunakan untuk nyeri dada, edema paru, dan nyeri yang hebat pada keganasan.
Akan tetapi, penggunaannya akhir-akhir ini mengalami penyalahgunaan.
Pengaruh obat pada SSP bervariasi dari obat ke obat. Sedangkan
penemuan secara patologis post-mortem yang disebabkan overdosis,
gambarannya tidak khas.
Jenis Obat Dosis fatal (gram) Dosis Pengobatan (mg)
Kodein 0,8 60
Dekstrometorfan 0,5 60 - 120 mg/hari
Heroin 0,2 4
Loperamid (immodium) 0,5
Meperidin (petidin) 1 100
Morfin 0,2 10
Nalokson (Narcan)*
Opium (Papaver somniferum)
Pentazocaine (Talwin) 0,3
*Antagonis narkotika. Dosis s/d 5 mg tidak menyebabkan kematian
Jenis Obat Opium, Dosis Fatal, dan Dosis Pengobatan
0,3

Farmakologi Opiat
Setelah pemberian dosis tunggal (putaw) di dalam tubuh akan dihidrolisis
oleh hati (6 10 menit) menjadi 6 monoacetyl morphine dan setelah itu akan
diubah menjadi morfin. Morfin selanjutnya diubah menjadi Mo 3
monoglucoronide dan Mo 6 monoglucoronide yang larut dalam air. Bentuk
metabolit ini yang dapat di tes di dalam urin.
Oleh karena heroin (putaw) larut di dalam lemak maka bahan tersebut (
60%) dapat melalui sawar otak dalam waktu yang cepat.

Mekanisme Toksisitas
Pada umumnya, kelompok opiat mempunyai kemampuan untuk
menstimulasi SSP melalui aktivasi reseptornya yang akan menyebabkan efek
sedasi dan depresi nafas. Kematian umumnya akibat dari apneu atau aspirasi paru
dari cairan lambung, sedangkan reaksi edema pulmoner akut mekanismenya
masih belum jelas.
Reaksi toksisitas bergantung pada obat yang dipakai, rute pemberian, efek
toleransi masing-masing individu, lama kerja, dan masa paruh obat.
50

Dengan ditemukannya tipe reseptor opiat di SSP maka mekanisme
toksisitas dan atidotnya dapat diterangkan melalui reseptor. Beberapa jenis
reseptor opiat pada SSP:
Reseptor Mu1 (1): berefek analgesik, euphoria, dan hipotermia.
Reseptor Mu2 (2): bradikardi, depresi nafas, miosis, euphoria, penurunan
kontraksi usus, dan ketergantungan fisik.
Reseptor Kappa (): spinal analgesik, depresi nafas, dan miosis, hipotermia
Reseptor Delta (): depresi nafas, disporia, halusinasi, vasomotor stimulasi
Reseptro Gamma (): inhibisi otot polos, spinal analgesik

DIAGNOSIS
Bila ditemukan gejala klinis yang khas (pin point, depresi nafas, dan
membaik setelah pemberian nalokson) maka penegakkan secara klinis dapat
ditegakkan secara mudah. Kadang ditemukan bekas suntikan (needle track sign).
Pemeriksaan laboratorium tidak selalu seiring dengan gejala klinis. Pemeriksaan
secara kualitatif dari bahan urin cukup efektif untuk memastikan diagnosis
keracunan opiat dan zat induktif lainnya.
Jenis Obat Lamanya Waktu Untuk Terdeteksi
Amfetamin 2 hari
Barbiturat 1 hari (kerja pendek)
3 minggu (kerja panjang)
Benzodiazepin 3 hari
Kokain 2 - 4 hari
Kodein 2 hari
Heroin 1 - 2 hari
Methadone 3 hari
Morfin 2 - 5 hari
Perkiraan Waktu Deteksi dalam Urin Beberapa Jenis Obat


GAMBARAN KLINIK
Umumnya, gejala yang timbul adalah penurunan kesadaran (koma) dan
gangguan sistem nafas (depresi nafas).
Dosis toksis selalu akan menyebabkan kesadaran yang turun sampai koma,
pupil yang pin point dapat terjadi dilatasi pupil pada anoksia yang berat,
pernafasan yang pelan, sianosis, nadi lemah, hipotensi, spasme dari saluran cerna
51

dan bilier, dapat terjadi edema paru dan kejang. Kematian karena gagal nafas
dapat terjadi 2 4 jam setelah pemberian oral maupun subkutan, lebih cepat
pemberian intravena. Beberapa gejala yang dapat terjadi ialah hipertermi, aritmia,
hipertensi, bronkospasme, Parkinson like syndrome, nekrosis tubular akut akibat
rabdomiolisis, dan mioglobinuria, gagal ginjal. Kulit dapat berwarna kemerahan,
dan dapat terjadi leukositosis dan hipoglikemia.

PENATALAKSANAAN INTOKSIKASI OPIAT

Gejala Klinis
Intoksikasi golongan opiat
Aloanamnesa
Riwayat pemakaian obat
Bekas suntikan
Pemeriksaan Urin
Trias Intoksikasi Opiat:
Depresi Nafas
Pupil pin point
Kesadaran menurun (koma)
Suport sistem pernafasan dan
sirkulasi
Nalokson intravena
Observasi/Pengawasan TTV,
puasakan 6 jam
52

Penurunan kesadaran disertai salah satu dari:
1) RR <12 x/menit
2) Pupil miosis (sering kali pin point)
3) Adanya riwayat pemakaian morfin/heroin/terdapat needle track sign.

Tindakan
Penanganan kegawatan:
1) Bebaskan jalan nafas;
2) Berikan oksigen 100% sesuai kebutuhan
3) Pasang infus dekstrosa 5% emergensi atau NaCl 0,9%; cairan koloid bila
diperlukan
Pemberian antidotum nalokson
1) Tanpa hipoventilasi dosis awal 0,4 mg IV
2) Dengan hipoventilasi dosis awal 1 2 mg IV
3) Bila tidak ada respon dalam 5 menit nalokson 1 2 mg IV hingga
timbul respon perbaikan kesadaran dan hilangnya depresi pernafasan,
dilatasi pupil, atau telah mencapai dosis maksimal 10 mg. Bila tetap tidak
ada respon, lapor ke konsulen tim narkoba.
4) Efek nalokson berkurang 20 40 menit setelah pemberian dan pasien
dapat jatuh ke dalam overdosis kembali. Pantau ketat kesadaran dan TTV
selama 24 jam. Untuk profilaksis, beri nalokson drip 1 ampul dalam 500
cc D5% atau NaCl 0,9% dalam 4 6 jam.
5) Simpan sampel urin untuk pemeriksaan toksikologi dan lakukan roentgen
thoraks.
6) Pertimbangkan pemasangan ETT bila:
a) Pernafasan tidak adekuat
b) Oksigenasi berkurang meski ventilasi cukup.
c) Hipoventilasi menetap setelah pemberian nalokson kedua kalinya.
7) Pasien dipuasakan 6 jam untuk menghindari akibat spasme pilorik.
Pasien dirawat dan dikonsultasikan ke dalam tim Narkoba Penyakit Dalam
untuk penilaian klinis dan rencana rehabilitasi.
53

Dalam menjalankan semua tindakan, harus diperhitungkan prinsip-prinsip
universal precaution karena tingginya prevalensi Hepatitis C dan HIV.
Bila perlu, sebelumnya dipasang NGT untuk mencegah aspirasi.

PENGOBATAN
Nalokson. Nalokson adalah antidotum dari intoksikasi opiat baik kasus
dewasa maupun anak. Dosis dewasa: 0,4 2,0 mg, dosis dapat diulangi pada
kasus berat dengan pemanduan perbaikan gejala klinik. Dapat
dipertimbangkan nalokson drip bila ada kecurigaan pemakaian obat narkotik
yang bersifat jangka panjang. Efek nalokson berkisar 2 -3 jam.
Bila dalam observasi tidak ditemukan efek obat nalokson setelah pemberian
dosis maksimum 10 mg, diagnosis intoksikasi opiat perlu dikaji ulang.
Edema paru diobati sesuai dengan antidotnya, yaitu pemberian nalokson
disamping oksigen dan respirator bila diperlukan.
Hipotensi diberikan cairan IV yang adekuat, dapat dipetimbangkan pemberina
dopamin dengan dosis 2 5 mcg/kgBB/menit dan dapat di titrasi bila
diperlukan.
Pasien jangan dicoba untuk dirangsang refleks muntah (pada kasus intoksikasi
oral).
Kumbah lambung dapat dilakukan segera setelah intoksikasi dengan opiat
oral, awasi jalan nafas dengan baik.
Activated charcoal dapat diberikan pada intoksikasi peroral dengan pemberian
240 mL cairan dengan 30 gr charcoal. Dapat diberikan sampai 100 gram.
Bila kejang, dapat diberikan diazepam IV 5- 10 mg dan dapat diulang bila
diperlukan. Monitor TD dan RR dan bila ada indikasi, dapat dipasang ETT.

4. Gagal Organ
A. Koma Uremia (Ensefalopati Uremik)
Pendahuluan
Uremia merupakan keadaan akhir dari insufisiensi renal yang progresif
dan akibat dari kegagalan multi-organ. Uremia diakibatkan oleh terakumulasinya
54

metabolit protein, asam amino, dan kegagalan katabolisme ginjal, metabolisme,
dan proses endokrinologis. Sampai saat ini masih belum ada metabolit yang
menyebabkan terjadinya uremia. Ensefalopati uremik (EU) merupakan salah satu
dari banyak manifestasi dari gagal ginjal.

Patofisiologi
Penyebab pasti dari EU sampai saat ini masih belum diketahui. Beberapa
zat organik yang terkumpul seperti urea, asam urat, asam hipurat, berbagai macam
asam amino, polipeptida, poliamin, fenol dan konjugasi fenol, asam fenolat dan
asam indolat, asetoin, asam glukoronat, karnitin, myoinositol, sulfat, fosfat, dan
komponen guanidin (asam guanidisuksinat, metilguanidin, guanidin, dan
kreatinin). Akhir-akhir ini telah terbukti bahwa komponen guanidin bersifat
neurotoksik.
Belum ada satupun abnormalitas yang spesifik berhubungan dengan gejala
klinis EU. Meningkatnya kadar glisin, asam organik dan triptofan bebas,
berkurangnya GABA pada Liquor Serebrospinal (LCS) mungkin yang
mengakibatkan fase awal EU. Pada tikus percobaan dengan gagal ginjal,
ditemukan kadar adenosin trrifosfat (ATP) dan glukosa yang meningkat,
sedangkan kadar adenosim monofosfat (AMP) dan difosfat (ADP) jumlahnya
berkurang. Hal ini menunjukkan pada tikus percobaan, otak menggunakan sedikit
ATP dan memproduksi sedikit ADP dan AMP.
Asam guanidisuksinat, metilguanid, guanid, dan kreatinin mencegah
respon GABA dan glisin (asam amino inhibitor) pada neuron tikus percobaan.
Berbagai kombinasi imbalans metabolit tersebut diperkirakan
menyebabkan gangguan keseimbangan inhibisi dan eksitasi pada sistemik tubuh.

MANIFESTASI KLINIS
Anamnesis
Ensefalopati uremik merupakan konsekuensi dari insufisiensi ginjal.
Gejala umumnya di sadari oleh orang-orang disekitar penderita. Pada banyak
55

kasus, umumnya gejala yang timbul adalah gejala neurologis, bisa timbul secara
perlahan-lahan atau secara cepat.
Perubahan pada neurologis seperti hilang ingatan, gangguan konsentrasi,
depresi, delusi, letargia, iritabilitas, kelelahan, insomnia, psikosis, stupor,
katatonia, dan koma.
Pasien juga bisa mengeluh kesulitan berbicara, pruritus, atau twitching.

Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik, dapat ditemukan:
Myoclonic jerks, twitches, atau fasikulasi
Asterixis (tremor pada pergelangan tangan ketika pergelangan tangan
dilakukan gerakan dorsofleksi)
Disarthria
Agitasi
Tetani
kejang, umumnya kejang seluruh tubuh, tonik-klonik
Confusion, stupor, dan berbagai macam bentuk gangguan kesdaran
Koma
Gangguan tidur

Penatalaksanaan
Penatalaksanaan EU termasuk pada koreksi imbalan elektrolit, yang
umumnya dibutuhkan dialisis (hemodialisis atau dialisis peritoneum). Keluhan
menghilang ketika fungsi ginjal membaik.

B. Shock
Hemodinamik
Segala faktor-faktor yang berhubungan dengan hemodinamik dapat
dikumpulkan menjadi satu inti, yaitu cardiac output. Cardiac Output (CO)
adalah jumlah volume darah yang dipompa dari ventrikel kiri dalam satu menit.
Darah tersebut digunakan untuk menyuplai sel tubuh dengan oksigen pada darah.
56

Dua komponen penting yang mengatur CO adalah heart rate dan stroke
volume, dimana:
CO = HR dan SV

Heart Rate dan Stroke Volume akan menghasilkan Cardiac Output yang
baik (4 8 Liter darah per menit) jika kerjanya saling sinkron. Jika salah satunya
meningkat, maka yang lain akan menurun, dan sebaliknya. Hal ini merupakan
konsep dari compensatory heart rate. Bentuk kompensasi yang paling utama
berubah adalah dengan cara meningkatkan HR (takikardia) akibat dari
berkurangnya SV atau meningkatnya kebutuhan oksigen pada jaringan. Penyebab
dari kompensasi takikardi ini akibat oleh:
Hipovolemia akibat dehidrasi, perdarahan, atau kehilangan cairan.
Hipotensi (sistolik < 100 mmHg)
Ansietas, rasa takut, amarah akibat dari stimulasi sistem saraf untuk melepas
katekolamin eksogen maupun endogen.
Demam
Exercise
Pada keadaan lain, HR dapat menurun (bradikardia) untuk
mengkompensasi SV yang meningkat atau hipertensi.
Stoke Volume adalah jumlah darah yang keluar pada satu kali ejeksi
ventrikel. Terdapat tiga faktor yang menentukan SV, yaitu (1) kontraktilitas, (2)
preload, dan (3) afterload.
1) Kontrakatilitas
Kontraktilitas adalah kekuatan dan kecepatan (force and velocity)
dari ejeksi ventrikel. Dapat digambarkan kontraktilitas merupakan sebuah
kekuatan genggaman atau squeeze. Kontraktilitas meningkat seperti pada
keadaan takut, ansietas, stres, takut, hipovolemia, dan exercise.
Hal yang dikhawatirkan pada meningkatnya kontraktilitas adalah
meskipun kontraktilitas juga meningkatkan SV, kontraktilitas juga
meningkatkan kebutuhan oksigen pada miokardium. Hal ini dapat
berbahaya pada pasien dengan penyakit jantung. Berkurangnya
57

kontraktilitas akan mengurangi SV dan kebutuhan oksigen miokardium,
akan terlihat pada:
Hipoksia
Hiperkapnea
Asidosis metabolik
Hiperkalemia
Hipokalsemia
Infark miokardium
Pembedahan jantung
2) Preload
Preload adalah jumlah darah pada ventrikel sebelum kontraksi.
Preload disebut juga sebagai filling pressures. Preload, dipengaruhi oleh:
Total volume darah yang ada pada sirkulasi
Distribusi volume vaskular (letak darah dan cairan. Apakah
intravaskular, ekstrasel, intrasel, atau di kompartemen ketiga)
Sistolik atrium (sinkronisasi kontraksi atrium dengan ventrikel. Jika
tidak sinkron, maka preload berkurang 20%).
3) Afterload
Konsep terakhir pada hemodinamik adalah afterload. Afterload
adalah seberapa keras jantung (baik sebalah kiri maupun kanan) untuk
mendorong darah keluar dari jantung. Afterload ditentukan oleh:
Kemampuan aorta untuk berdistensi atau stretch.
Viskositas darah (kental atau encer)
Resistensi vaskuler
Kadar oksigen (hipoksemia akan menyebakan vasokonstriksi)

Manipulasi Cardiac Output
Untuk memanipulasi CO, apapun caranya (dengan alat maupun dengan
farmakologi), maka prinsip dari manipulasi tersebut adalah:

58

Masukkan darah ke dalam jaringan tanpa membebani kerja
jantung

Untuk memaksimalkan CO, maka komponen-komponen yang
mempengaruhi CO harus di optimalkan, yaitu (1) HR, (2) Preload, (3)
Kontraktilitas, dan (4) Afterload.
1) Heart Rate
Jika pasien mengalami takikardia non-kompensasi (fibrilasi atrium,
atrial flutter, supraventrikuler takikardi, atau paroksismal atrial takikardi),
intervensi awal adah dengan farmakologi:
Beta bloker: atenolol, metoprolol, propranolol, sotalol, atau esmolol.
Calcium channel Blocker: diltiazem dan verapamil
Adenosin
Ventrikel takikardia juga merupakan takikardi non-kompensasi dan
harus ditatalaksan secara cepat. Jika pasien stabil, penggunaan lidokain
atau amiodaron merupakan drugs of choice. Obat lini kedua pada kasus ini
adalah prokainamid.
Sedangkan pada bradikardia, perlu diberi obat yang meningkatkan
HR. Drug of choice pada kasus ini adalah atropine. Epinefrin atau
dopamin juga dapat digunakan.
2) Kontraktilitas
Jika kontraktilitas menurun, intervensinya dapat melalui dua
cara: dengan meningkatkan kekuatan regangan miokardium atau
meningkatkan kekuatan kontraksi miokardium.
Meningkatkan regangan miokardium sesuai dengan hokum Frank-
Starling, semakin meregang otot jantung, maka kekuatan kontraksi
baliknya juga akan semakin kuat. Cairan kristaloid dapat bertahan pada
intravaskular lebih lama sehingga dapat meregangkan miokardium.
Koloid (dekstran, albumin, Hespan, FFP) juga dapat digunakan.
Koloid lebih baik digunakan pada keadaan edema, karena dapat menarik
59

cairan dari kompartemen ketiga (3
rd
compartement) kembali ke dalam
intravaskular.
Meningkatkan kekuatan kontraktilitas dapat dimulai dengan cara
mengidentifikasi mengapa kekuatan kontraktilitas menurun seperti pada
keadaan hipoksia, hiperkapnea, dan gangguan imbalans elektrolit.
Meningkatkan kontraktilitas juga bisa dengan cara menggunakan bersifat
inotropik positif seperti dopamin, dobutamin, epinefrin, atau miliron.
Terkadang, masalahnya adalah kekuatan kontraktilitas yang terlalu
tinggi. Karena meningkatnya kontraktilitas akan meningkatkan konsumsi
oksigen miokardium, infark miokard atau angina dapat terjadi. Obat yang
digunakan untuk menurunkan kontraktilitas:
Beta bloker asebutolol, atenolol, cartenolol, labetalol, metoprolol,
pindolol, dan lain-lain.
Calcium channel blockers bepridil, diltiazem, nikardipin, nifedipin,
verapamil.
3) Preload
Masalah pada preload hanya ada dua macam. Terlalu banyak
volume darah, atau terlalu sedikit. Jika preload terlalu banyak, dapat
diberikan diuretik. Dopamin dosis renal (2 5 mcg/kg/menit) dapat
diberikan. Pada kasus tertentu, dapat digunakan dialisis untuk
mengeluarkan cairan yang berlebih pada tubuh.
Jika preload berkurang, maka tambahkan sesuai penyebab
bekurangnya preload. Jika akibat perdarahan, maka berikan packed
RBCs. Jika akibat diare atau vomitus, maka berikan kristalloid.
4) Afterload
Seperti halnya preload, masalah di afterload juga hanya dua
macam, kurang atau lebih. Jika afterload meningkat (resistensi vaskuler
sistemik >1200), jantung akan bekerja lebih ekstra untuk memompa darah.
Obat yang digunakan untuk menurunkan resistensi vaskuler sistemik
adalah:
Nitrogliserin IV
60

Sodium nitropussida IV
Jika pasien masih stabil, beri calcium channel blocker: diltiazem,
felodipin, isradipin, nikardipin, nifedipin, verapamil.
Jika dengan terapi farmakologi tidak bisa menurunkan resistensi
sistemik, maka dapat digunakan dengan memakai Intra-aortic Balloon
Pump (IABP). IABP dapat menurunkan resistensi vaskuler dengan
mendilatasi pembuluh darah menggunakan balon, tepat saat sebelum
kontraksi ventrikel.
Pada keadaan sebaliknya, resistensi vaskuler sitemik dapat sangat
menurun. Hal ini mengindikasikan adanya pengumpulan vena sehingga
preload berkurang. Obat yang berfungsi sebagai vasokonstriktor kuat
adalah:
Norepinefrin IV (Vascon)
Fenilepinefrin IV

FARMAKOLOGI HEMODINAMIK
Kunci utama hemodinamik adalah cardiac output, sehingga farmakologi
hemodinamik adalah semua obat yang dapat mengoptimalisasi komponen-
komponen pada CO, yaitu heart rate, kontraktilitas, preload, dan afterload. Untuk
memilih terapi farmakologi yang tepat, maka petugas medis harus tahu respon
fisiologis yang dihasilkan oleh masing-masing obat. Berikut adalah beberapa
istilah dalam pengobatan hemodinamik
Inotropik: Mempengaruhi kontraktilitas
Inotropik (+) meningkatkan kontraktilitas
Inotropik (-) mengurangi kontraktilitas

Kronotropik: Mempengaruhi Heart Rate
Kronotropik (+) meningkatkan HR
Inotropik (-) menurunkan HR

Dromotropik: Mempengaruhi konduktivitas
61

Efek hemodinamik obat vasoaktif menghasilkan interaksi terhadap
reseptor-reseptor pada jantung dan sistem vaskular. Reseptor tersebut adalah:
Reseptor Alfa
Terdapat pada pembuluh darah dan menyebabkan vasokonstriksi pada banyak
pembuluh darah, terutama arteriol.
Meningkatkan afterload dengan menyebabkan vasokonstriksi arteriol dan
meningkatkan tekanan darah

Reseptor Beta-1
Terdapat pada jantung
Mempunyai efek inotropik, kronotropik, dan dromotropik.
Karena efek inotropik, kronotropik, dromotropik, stimulasi Beta-1 meningkatkan
kontraktilitas dan heart rate, sehingga meningkatkan cardiac output.

Reseptor Beta-2
Terletak pada bronkus dan otot polos vaskular
Menyebabkan bronkodilatasi dan vasodilatasi
Mengurangi afterload

Reseptor Dopaminergik
Terletak pada arterial bed ginjal dan mesenterik
Mendilatasi arteri ginjal dan mesenterika
Mengurangi preload dengan menginduksi diuresis atau natriuresis

Diuretik: Mengurangi Preload
Preload merupakan salah satu dari faktor yang mempengaruhi cardiac
output. Ketika preload terlalu tinggi, terapi farmakologi digunakan untuk
mengurangi preload. Obat yang digunakan untuk mengurangi preload adalah
diuretik dan vasodilator.

Furosemid (Lasix) dan Bumetanid (Bumex)
62

Furosemid dan bumetanid merupakan diuretik yang bekerja pada lengkung
Henle di ginjal. Obat ini mengurangi preload dengan meningkatkan pengeluaran
urin, sehingga mengurangi beban kerja jantung. Diuretik ini dapat digunakan
untuk edema pulmoner akut, gagal jantung kongestif, edema perifer, dan
hipertensi. Monitor serum elektrolit seperti kalium harus secara ketat karena
kalium terbuang pada pengobatan diuretik

Dopamin (Renal-dose dan Low dose)
Dopamin menyebabkan efek vasoaktif berbeda tergantung pada dosis yang
diberikan. Pada dosis rendah, dopamin menstimulasi reseptor dopaminergik pada
arteri di ginjal, abdomen, jantung, dan otak. Vasodilatasi arteri mesenterika dan
ginjal menyebabkan peningkatan urine output dan mengurangi preload. Hal ini
disebut juga renal dose dopamine. Dopamin dosis ini dapat digunakan pada
pasien yang preload-nya meningkat dan urine output yang rendah, cotohnya pada
pasien dengan Congestive Heart Failure (CHF). Renal dose dopamine biasanya
berkisar antara 2 5 mcg/kg/menit dan dititrasi 1 2 mcg/kg/menit tiap 5 10
menit. Dopamin dosis rendah tidak mempunyai efek pada heart rate maupun
tekanan darah.

Vasodilator: Mengurangi Afterload dan Preload
Vasodilator digunakan untuk mengurangi afterload dan sedikit
mengurangi preload. Berkurangnya afterload mengurangi jumlah kekuatan yang
digunakan untuk memompa darah dari jantung, sehingga menjaga konsumsi
oksigen miokardium. Pengurangan preload berefek untuk membuang kelebihan
cairan pada tubuh. Venodilator mengurangi jumlah darah pada atrium kanan
sebelum berkontraksinya atrium pada siklus kardia. Dua oabt yang digunakan
pada umumnya adalah nitroprusida dan nitrogliserin.

Nitroprusida
Nitroprusida biasanya digunakan pada krisis hipertensi untuk mengurangi
tekanan darah. Nitroprusida merelaksasi otot polos arteri dan vena, menyebabkan
63

vasodilatasi sehingga mengurangi afterload. Efek utamanya adalah dilatasi arteri.
Efek ini sangat poten terhadap tekanan darah karena dapat berkurang sangat
cepat, begitu juga dengan SVR (afterload).
Obat ini mempunyai onset kerja yang cepat dan juga half-life yang rendah
sehingga ketika obat ini diberhentikan maka dengan segera efeknya juga akan
berhenti.
Dosis yang biasa digunakan adalah 0,5 5 mcg/kg/menit dan dosis rata-
rata adalah 2 mcg/kg/menit. Mulai nitroprusida pada dosis 0,5 mcg/kg/menit dan
titrasi 0,25-0,5 mcg/kg/menit tiap 2 menit untuk mencapai target yang diinginkan.
Jangan pernah memberikan Nitroprusida dalam tetesan cepat karena dapat
menurunkan tekanan darah secara cepat. Nitroprusida cenderung rusak bila
terkena sinar, gunakan benda-benda yang tidak tembus cahaya dalam penimpanan
obat ini, dan buang obat ini setelah 12 jam.
Pada terapi lama (>72 jam), nitroprusida akan diubah menjadi tiosianat
dan dapat menyebabkan toksisitas sianida. Jangan melebihi dosis 10
mcg/kg/menit karena dapat berisiko toksisitas sianida.
Efek sampin Nitroprusida adalah penurunan yang drastis pada tekanan
darah, sehingga kadang penggunaanya diberikan juga dopamin.

Nitrogliserin
Nitrogliserin biasa digunakan pada pasien dengan angina dan hipertensi.
Obat ini termasuk venodilator (dilatasi vena). Ketika vena terdilatasi, darah akan
mudah masuk ke dalam sirkulasi. Perfusi koroner akan meningkat, dan
mengurangi afterload dan preload.
Nitrogliserin dapat digunakan dengan menggunakan infusion pump
dengan dosis 5 10 mcg/menit. Dosis obat ini berkisar 10 200 mcg/menit.
Titrasi nitrogliserin dengan 10 mcg tiap 5 menit untuk mengurangi tekanan darah
atau meredakan angina.
Dosis nitrogliserin juga dapat disesuaikan dengan berat badan pasien.
Dosis normalnya adalah 0,5 1,5 mcg/kg/menit, dapat dititrasi 0,1 0,2 mcg/kg/
5 menit.
64

Pada pemberian obat ini, umum terjadi nyeri kepala karena dilatasi vena
juga terjadi pada pembuluh darah otak. Pada kasus ini dapat diberikan
asetaminofen.

Inotropik Positif: Meningkatkan Kontraktilitas
Kontraktilitas, atau squeeze adalah komponen ketiga yang mempengaruhi CO.
Obat-obatan yang menstimulasi reseptor beta-1 dapat meningkatkan
kontraktilitas.

Dobutamin
Dobutamin dapat digunakan pada pasien yang mengalami gagal jantung,
syok kardiogenik, dan kadang pada pembedahan jantung yang membutuhkan
bantuan efek inotropik positif.
Dobutamin menstimulasi beta-1 sehingga meningkatkan kontraktilitas dan
akhirnya meningkatkan tekanan darah dan CO. Efek lain yang timbul adalah
peningkatan HR yang menyebabkan peningkatan kebutuhan oksigen miokardium
akibat takikardi yang timbul.
Dobutamin juga dapat menstimulasi reseptor beta-2 yang menyebabkan
vasodilatasi, sehingga menyebabkan pengurangan afterload/resistensi vaskular
sistemik.
Dosis yang biasa diberikan adalah 2,5 20 mcg/kg/menit. Dimulai dengan
dosis 2 mcg/kg/menit. Titrasi dengan dosis 1 2 mcg/kg/menit tiap 5 10 menit
untuk mendapatkan tekanan darah yang diinginkan.

Milrinone
Milrinone digunakan pada pasien yang mempunyai CO yang rendah
akibat kontraktilitas yang buruk. Keadaan ini umum ditemukan pada pasien
dengan gagal jantung kanan akut. Milrinone baik digunakan pada pasien CHF
sebagai terapi jangka pendek.
Kerja milrinone berbeda dengan obat-obatan yang sebelumnya telah
disebutkan. Milrinon tidak menstimulasi reseptor alfa maupun beta, namun
65

meningkatkan siklik AMP pada sel sehingga meningkatkan kontraktilitas dan
vasodilatasi (reduksi afterload).
Saat milrinone meningkatkan kontraktilitas dan menurunkan afterload,
efek terhadap HR sangat minimal. Hal ini berarti peningkatan CO tanpa
meningkatkan HR dan konsumsi oksigen miokardium.
Dosis yang direkomendasi adalah 50 mcg/kg loading dalam 10 menit,
diikuti dosis maintenance 0,375 0,75 mcg/kg/menit. Dosis bervariasi tergantung
pada fungsi ginjal.

Dopamin: Dosis Sedang
Saat renal dose dopamine 2 5 mcg/kg/menit ditingkatkan, reseptor beta-
1 dan beta-2 terstimulasi sehingga terjadi peningkatan HR, kontraktilitas, dan
sedikit vasodilatasi.
Dosis sedang dopamin digunakan untuk menimbulkan efek inotropik
positif pada pasien dengan gagal jantung (HR juga ikut meningkat). Pada dosis
ini, efek dopamin akan sama dengan dobutamin. Dosis sedang yang dimaksud
adalah 5-10 mcg/kg/menit.

Inotropik/Vasopressor: Meningkatkan Afterload
Sering kali pasien dalam kondisi kritis mempunyai tekanan darah yang
rendah. Untuk menjamin semua organ tubuh mengalami perfusi yang baik,
penting untuk menjaga tekanan darah dalam jarak yang normal.
Vasopressor dapat meningkatkan tekanan darah dengan cara
vasokonstriksi pembuluh darah arteri. Dengan cara ini tubuh dapat meningkatkan
CO dan afterload. Vasopressor umum digunakan pada pasien dengan cardiac
arrest dan hipotensi.
Efek vasokonstriksi adalah menutup atau memindahkan darah dari perifer
menuju ke organ yang lebih utama. Pada penggunaan obat ini, harus di lakukan
monitor sirkulasi pada ekstremitas. Ekstremitas yang terasa dingin dapat
menandakan telah terjadi vasokonstriksi perifer. Terkadang diperlukan waktu-
66

waktu saat lebih penting untuk menjaga tekanan darah dibandingkan dengan
sirkulasi pada ekstremitas.

Dopamin Dosis Tinggi (10 20 mcg/kg/menit)
Penggunaan dopamin dosis tinggi dapat dingunakan pada keadaan
hipotensi yang tidak disertai dengan hipovolemia.
Pada dosis tinggi, dopamin menstimulasi reseptor alfa, menyebabkan
vasokonstriksi. Efek ini cenderung menggeser efek lain pada pemberian dengan
dosis rendah (termasuk efek vasodilator).
Ketika dopamin dosis tinggi menutup pembuluh darah, organ-organ
interna mendapat perfusi yang kurang baik sehingga efek dopamin dosis renal
hilang; urine ouput akan berkurang. Resistensi vaskular sistemik meningkat dan
kekuatan kontraksi jantung juga akan meningkat.
Infus dopamin dapat dimulai pada dosis 5 mcg/kg/menit, titrasi tiap 1-2
mcg/kg/menit setiap 5-15 menit sampai didaptkan hasil yang diinginkan.
Ketika akan menggunakan dopamin dosis tinggi, dapat dipertimbangkan
juga penggunaan dengan norepinefrin atau bahkan menggantikan dopamin dengan
norepinefrin.

Norepinefrin (Vascon )
Norepinefrin digunakan untuk terapi hipotensi akibat beberapa kondisi
seperti infark miokardium, septisemia, reaksi transfusi, dan reaksi obat.
Norepinefrin merupakan vasokonstriktor poten untuk meningkatkan tekanan
darah. Efek utamanya adalah efek stimulasi alfa-adrenergik. Indikasi penggunaan
norepinefrin adalah hipotensi yang diakibatkan oleh berkurangnya resistensi
vaskular sistemik.
Saat menggunakan norepinefrin, harus mengkoreksi hipovolemia terlebih
dahulu, karena pada saat hipovolemia, cairan tubuh sangat berkurang sehingga
tidak akan mampu untuk meningkatkan tekanan darah meskipun telah
menggunakan norepinefrin. Norepinefrin cocok digunakan pada pasien dengan
syok sepsis.
67

Dosis loading dapat dicapai dengan pemberian 8 12 mcg/menit, diikuti
dengan dosis maintenance 2 12 mcg/menit. Dosis terapeutik obat ini adalah 2-
12 mcg/menit, dititrasi dengan dosis 1-2 mcg tiap 5-10 menit sampai tercapai
target terapi.
Norepinefrin mempunyai potensi menyebabkan kerusakan ginjal akibat
vasokonstriksi berkepanjangan. Karena dapat menyebabkan vasokonstriksi,
monitor tanda-tanda vital secara teliti.

Epinefrin (Adrenalin)
Epinefrin umumnya adalah hormon yang dikeluarkan oelh kelenjar
adrenal (suprarenalis). Epinefrin bersifat simpatomimetik, yaitu efek yang
menyamai (mimik) dengan sistem saraf simpatis. Obat ini biasanya digunakan
secara intravena pada pasien dengan cardiac arrest, dan dalam infus pada
hipotensi berat.
Epinefrin mempunyai efek campuran pada resptor-resptor saraf simpatis.
Epinefrin dapat menstimulasi resptor alfa, beta-1, dan beta-2. Akibat dari
stimulasi reseptor alfa adalah vasokonstriksi dan peningkatan tekanan darah.
Peningkatan kontraktilitas dan HR akibat dari stimulasi beta-1, sehingga juga
meningkatkan kebutuhan oksigen miokardium.
Dosis yang biasa diberikan adalah 1-8 mcg/menit, atau 0,01-0,05
ug/kg/menit. Titrasi epinefrin dengan 1 mcg/menit atau 0,01 mcg/kg/menit tiap 5
menit. Monitor tekanan darah tiap 5 menit.

68

Afterl oad Al fa 1 -2 Dopami nergi k
(SVR) (Vasokonstri ksi ) (HR & Kontrakti l i tas) (Vasodi l atasi ) (Di l atasi Renal )
Furosemid +
Nit roprusida
Nit rogliserin
Dobut amin Minimal + +
Milrinone Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada
Dopamin
Renal Dose
Dopamin
Dosis Sedang
Dopamin
Dosis Tinggi
Norepinefrin + Minimal
Epinefrin + + +
Terapi Farmakol ogi pada Kegagal an Si rkul asi Akut
+ +
- -
Obat
Efek Hemodi nami k yang Ti mbul Reseptor yang Tersti mul asi
BP Kontrakti l i tas Prel oad HR
+

Shock
Shock didefinisikan sebagai keadaan dimana sel dan jaringan tidak
mampu memenuhi kebutuhan metabolismenya. Pusat dari penyebab shock ini
adalah terjadinya hipoperfusi jaringan, baik disebabkan oleh shock hipovolemik,
hemorhagik, sepsis, kardiogenik, atau neurogenik. Perfusi jaringan dipengaruhi
oleh (1) Cardiac Output (CO), yaitu perkalian antara stroke volume (SV) dan
Heart Rate (HR), dan (2) Resistensi Perifer (PR).
Ketidakseimbangan perfusi ini menyebabkan aktivasi respon
neuroendokrin dan inflamasi. Respon yang timbul akan bergantung pada etiologi
dari shock. Contohnya, respon kardiovaskular yang diinduksi oelh aktivasi sistem
saraf simpatis terjadi pada shock sepsis dan neurogenik. Sebagai tambahan,
hipoperfusi dapat terjadi akibat aktivasi dan kerusakan sel, seperti pada shock
sepsis ataupun traumatik shock. Tedapat banyak respon organ spesifik yang
berfungsi untuk mempertahankan perfusi jaringan pada sirkulasi koroner dan
serebral, contohnya adalah (1) reseptor peregangan dan baroreseptor pada jantung
dan sinus karotis dan arkus aorta, (2) kemoreseptor, (3) respon serebral iskemi,
(4) pelepasan vasokonstriktor endogen, (5) perpindahan jaringan ke rongga
intravaskuler, dan (5) reabsorpsi ginjal dan retensi garam dan air.

69


Patofisiologi perjalanan terjadinya hipoperfusi dan shock. Berkurangnya perfusi jaringan secara
langsung bisa diakibatkan oleh perdarahan/hipovolemia, gagal jantung, atau kerusakan neurologis.
Berkurangnya perfusi sel dan cedera sel diakibatkan oleh reaksi imunologi dan respon inflamasi.
Pada jalur lain, adanya produk mikroba ketika terjadi infeksi atau pelepasan produk sel endogen
dari kerusakan sel dapat mengaktifkan sel yang mempengaruhi perfusi jaringan dan terjadinya
shock.. (Keterangan: HMBG 1 = High Mobility Group Box 1; LPS = Lipopolisakarida; RAGE =
Receptor for Advanced Glycation End products)

70


Siklus shock. Apapun etiologinya, hipoperfusi jaringan dan shock menyebabkan siklus
yang maju kedepan dan akhirnya akan memperparah kerusakan sel dan disfungsi
jaringan.

1) Shock Sepsis
Shock sepsis merupakan tahap yang paling akhir dari Systemic
Inflammation Response Syndrome (SIRS). SIRS akan menyebabkan
perubahan pada HR, Respiratory Rate (RR), tekanan darah (TD), regulasi
suhu, dan aktivasi sel imun.
Keadaan Definisi
Infeksi Ditemukan adanya sumber infeksi mikroba
SIRS Dua atau lebih dari kriteria berikut:
Suhu 38C atau 36C
HR 90 x/menit
RR 20 x/menit atau PaCO2 32 mmHg atau terpasang ventilator
Leukosit 12.000/uL atau 4.000 /uL atau neutrofi l batang 10%
Sepsis Infeksi + SIRS
Sepsis Berat Sepsis + Disfungsi Organ
Shock Sepsis Sepsis + Kolaps Kardiovaskular (membutuhkan vasopressor)
Spektrum Klinis Infeksi dan SIRS

Penatalaksanaan
Early Goal Directed Therapy (EGDT) merupakan tindakan untuk
menjelaskan target resusitasi pada pasien dengan shock. Tujuan dari
penatalaksanaan EGDT adalah usaha untuk menjaga preload jantung,
kontraktilitas, dan afterload untuk menjaga keseimbangan sistemik dengan
71

cara pendistribusian oksigen yang mencukupi. EGDT biasanya digunakan
pada shock yang spesifik seperti shock sepsis dan semua targetnya harus
dicapai dalam waktu kurang dari 6 jam agar dapat mencegah kegagalan
organ yang ireversibel. Berikut adalah langkah-langkah EGDT:

Protokol EGDT. (CVP = Central Venous Pressure; ScvO
2
= Central Venous Oxygen
Saturation)
1
st
Step
Resusitasi dengan kristalloid 4 6 L atau lebih
Pada pasien dengan ventilasi mekanis, target CVP (CVP =
Tekanan atrium kanan = volume akhir diastolik ventrikel kanan
[Preload]) adalah 12 15 mmHg. Sedangkan jika tanpa ventilasi
mekanis, cukup 8 12 mmHg. CVP mencerminkan salah satu
72

fungsi jantung, yaitu preload-nya (selain dari afterload,
kontraktilitas, dan heart rate) serta volume darah yang kembali ke
jantung.
Preload adalah jumlah volume darah pada ventrikel sebelum
dipompa. Preload dikenal juga sebagai filling pressures. Preload
dipengaruhi oleh 3 faktor, yaitu: (1) total volume darah yang ada di
dalam vaskular; (2) distribusi volume vaskular, apakah ada di
dalam pembuluh darah, di dalam sel, atau di dalam ruangan
ketiga?; (3) Sistol atrium: yaitu apakah kontraksi atrium sinkron
dengan kontraksi ventrikel? Jika tidak, maka preload berkurang
20%.
Pantau efek samping, yaitu edema periorbital dan ekstremitas,
crackles pada auskultasi paru, dan takipneu.
2
nd
Step
Pemberian vasopressor untuk mempertahankan Mean Arterial
Blood Pressure (MAP) agar 65 mmHg. MAP adalah rata-rata
tekanan darah diantara tekanan sistolik dan diastolik di aorta. MAP
sangat berfungsi untuk menentukan apakah volume darah yang
dipompa oleh ventrikel sudah mencukupi atau tidak.
Rumus MAP = (Sistol + [2 x Diastol]) : 3
3
rd
Step
Oksigenasi dengan Oksigen 100% dengan menggunakan sungkup
muka dengan reservoir oksigen, dengan aliran oksigen 10 15
liter.

2) Shock Kardiogenik


C. Koma Hepatik (Ensefalopati Hepatik)
Pendahuluan
73

Hati merupakan salah satu organ yang sangat penting peranannya dalam
mengatur metabolisme tubuh, yaitu dalam proses anabolisme atau sintesis bahan-
bahan yang penting seperti sintesis protein dan pembentukan glukosa, proses
katabolisme dengan melakukan detoksikasi bahan-bahan seperti amonia, berbagai
jenis hormon dan obat-obatan. Di samping itu hati juga berperan sebagai gudang
tempat penyimpanan bahan-bahan seperti glikogen dan beberapa vitamin dan
memelihara aliran normal darah splanknikus. Adanya kerusakan hati maka akan
mengganggu fungsi-fungsi tersebut sehingga dapat menyebabkan terganggunya
fungsi otak akibat adanya zat-zat toksik. Gangguan pada otak tersebut dapat
bermanifestasi sebagai gejala neuropsikiatrik yang disebut sebagai koma hepatik
atau ensefalopati hepatik

Definisi
Ensefalopati hepatik adalah suatu kompleks suatu gangguan susunan saraf
pusat yang dijumpai yang mengidap gagal hati. Kelainan ini ditandai oleh
gangguan memori dan perubahan kepribadian (Corwin., 2001).
Ensefalopati hepatik (ensefalopati sistem portal, koma hepatikum) adalah
suatu kelainan dimana fungsi otak mengalami kemunduran akibat zat-zat racun di
dalam darah, yang dalam keadaan normal dibuang oleh hati (Stein., 2001).
Ensefalopati hepatik merupakan sindrom neuropsikiatrik pada penderita
penyakit hati berat. Sindrom ini ditandai oleh kekacauan mental, tremor otot dan
flapping tremor yang dinamakan asteriksis (Price et al., 1995).

Patogenesis
Sampai saat ini, patogenesis koma hepatikum belum diketahui secara
pasti, karena: (1) Masih terdapatnya perbedaan mengenai dasar
neurokimia/neurofisiologis; (2) Heterogenitas otak, baik secara fungsional
maupun biokimia yang berbeda dalam jaringan otak; (3) Ketidak pastian apakah
perubahan-perubahan mental dalam penemuan biokimia yang saling berkaitan
satu sama lainnya.
Beberapa hipotesis yang dicetuskan antara lain adalah:
74

Hipotesis ammonia. Amonia berasal dari metabolisme bakteri di mukosa usus
sebagai hasil degradasi protein dalam lumen usus dan dari bakteri yang
mengandung enzim urease. Dalam hepar, ammonia diubah menjadi urea pada
hepatosit periportal dan glutamine pada hepatosit perivena, sehingga jumlah
ammonia yang masuk ke sirkulasi dapat dikontrol dengan baik. Pada penyakit hati
kronis, terdapat gangguan ammonia sehingga kadar ammonia dalam vena
meningkat 5 10x lipat. Secara teori ammonia mengganggu faal otak melalui:
Pengaruh langsung terhadap membran neuron. Yaitu berkurangnya glikogen
pada astrosit, gangguan komunikasi sel glia-neuron, dan mengganggu
transmisi sinaps.
Mempengaruhi metabolisme otak melalui siklus peningkatan sintesis glutamin
dan ketoglutarat, kedua bahan ini mempengaruhi siklus kreb sehingga
menyebabkan hilangnya molekul ATP yang diperlukan untuk oksidasi sel.
Pada pasien dengan sirosis terjadi perubahan cairan dan elektrolit sistemik dengan
cara retensi natrium dan air akibat sirosis atau penggunaan obat diuresis. Karena
ensefalopati umumnya diperparah oleh gangguan metabolik, status asam-basa
darah harus dipertimbangkan dalam pengaruhnya terhadap keseimbangan
metabolisme ammonia, dengan asumsi kenaikan kadar ammonia darah
menentukan derajat keparahan ensefalopati. Hipokalemi terjadi pada pasien
dengan sirosis akibat kehilangan cairan akibat obat diuresis, diare, vomitus, dan
defisiensi nutrien. Pertama, hipokalemia meningkatkan produksi produksi
ammonia pada ginjal. Kedua, hipokalemia dan alkalosis meningkatkan uptake
ammonia ke dalam sel. Karena kalium dalam tubuh paling banyak tersimpan
dalam intersel, mengurangi konsentrasi kalium pada cairan ekstrasel menstimulasi
efluks kalium keluar sel untuk mengembalikan konsentrasi ekstrasel. Sel
mengkompensasi kehilangan kalium dengan cara menambah uptake ion natrium
dan hidrogen untuk menjaga elektroneuralitas, sehingga menyebabkan alkalinisasi
rongga ekstrasel dan asidifikasi rongga intrasel. Karena ammonia (NH
3
) dan ion
ammonium (NH
4
) diperlukan dalam keseimbangan, alkalosis ekstrasel menambah
permeabilitas sel terhadap NH
3
, dimana asidosis intrasel tetap menjaga kadar NH
4

di dalam sel. Sehingga, efek hipokalemia adalah pergerakan ammonia ke dalam
75

neuron atau sel lain yang menyebabkan efek toksik, sehingga koreksi kalium
serum dibutuhkan sebagai terapeutik.
Hipotesis toksisitas sinergik. Zat neurotoksik lain yang mempunyai efek sinergis
dengan ammonia seperti merkaptan, asam lemak rantai pendek (oktanoid), fenol,
dan lain-lain.
Merkaptan yang dihasilkan dari Metionin oleh bakteri usus akan berperan
menghambat NaK-ATP-ase.
Asam lemak rantai pendek terutama oktanoid mempunyai efek metabolik seperti
gangguan oksidasi, fosforilasi, dan penghambatan konsumsi oksigen serta
penekanan aktivitas NaK-ATP-ase sehingga dapat menyebabkan koma hepatik
reversibel.
Fenol sebagai hasil metabolisme tirosi dan fenilalanin dapat menekan aktivitas
otak dan enzim hati monoamine oksidase, laktat dehidrogenase, suksinat
dehidrogenase, prolin oksidase yang berpotensi dengan zat lain seperti ammonia
yang mengakibatkan koma hepatikum. Senyawa-senyawa tersebut akan
meningkatkan efek neurotoksisitas ammonia.
Hipotesis neurotransmitter palsu. Pada keadaan normal, otak mengandung
neurotransmitter dopamin dan noradrenalin. Sedangkan pada gangguan fungsi
hati, neurotransmitter otak akan diganti oleh neurotransmitter parlsu seperti
oktapamin dan feniletanolamin, yang lebih lemah dibandingkan dopamin atau
nor-adrenalin.
Beberapa faktor yang mempengaruhi adalah: (1) Pengaruh bakteri usus terhadap
protein sehingga terjadi peningkatan produksi oktapamin yang melalui aliran
pintas (shunt) masuk ke sirkulasi otak; (2) Pada gagal hati seperti sirosis hepatis,
akan terjadi penurunan asam amino rantai cabang (BCAA) yang terdiri dari valin,
leusin, dan isoleusin, yang terjadinya peningkatan asam amino aromatik (AAA)
seperti tirosin, fenilalalnin, dan triptofan karena penurunan ambilan hepar
(hepatic uptake). Rasio antara BCAA dengan AAA (Fisischer Ratio) normalnya
adalah 3 3,5 dan pada keadaan tersebut akan mengecil menjadi 10.
76

Keseimbangan kedua kelompok asam amino tersebut penting dipertahankan
karena akan menggambarkan konsentrasi neurotransmitter pada susunan saraf
pusat.
Hipotesis GABA (Gamma Amino Butyric Acid) dan Benzodiazepin.
Ketidakseimbangan antara asam amino neurotransmitter yang menghambat dan
merangsang fungsi otak merupakan faktor yang berperan terjadinya koma hepatik.
Terjadi penurunan transmitter yang memiliki efek merangsang seperti glutamat,
aspartat, dan dopamin sebagai akibat meningkatnya ammonia dan gama
aminobutirat (GABA) yang menghambat transmisi impuls.
Efek GABA yang meningkat bukan karena influx yang meningkat ke dalam otak,
tetapi akibat perubahan reseptor GABA dalam otak akibat suatu substansi yang
mirip benzodiazepine (benzodiazepine-like substance).

Klasifikasi
Klasifikasi EH yang banyak dianut adalah:
1) Menurut cara terjadinya
a) EH tipe akut
Timbul tiba-tiba dengan perjalanan penyakit yang pendek, sangat cepat
memburuk jatuh dalam koma, sering kurang dari 24 jam. Tipe ini antara
lain hepatitis virus fulminan, hepatitis karena obat dan racun, sindroma
reye atau dapat pula pada sirosis hati.
b) EH tipe kronik
Terjadi dalam periode yang lama, berbulan-bulan sampai dengan
bertahun-tahun. Suatu contoh klasik adalah EH yang terjadi pada sirosis
hepar dengan kolateral sistem porta yang ekstensif, dengan tanda-tanda
gangguan mental, emosional atau kelainan nueurologik yang berangsur-
angsur makin berat.
2) Menurut faktor etiologinya
A. EH primer/Endogen
Terjadi tanpa adanya faktor pencetus, merupakan tahap akhir dari
kerusakan sel-sel hati yang difus nekrosis sel hati yang meluas. Pada
77

hepatitis fulminan terjadi kerusakan sel hati yang difus dan cepat,
sehingga kesadaran terganggu, gelisah, timbul disorientasi, berteriak-
teriak, kemudian dengan cepat jatuh dalam keadaan koma, sedangkan
pada siridis hepar disebabkan fibrosi sel hati yang meluas dan biasanya
sudah ada sistem kolateral, ascites. Disini gangguan disebabkan adanya
zat racun yang tidak dapat dimetabolisir oleh hati. Melalui sistem portal /
kolateral mempengaruhi susunan saraf pusat.
B. EH Sekunder / Eksogen
Terjadi karena adanya faktor-faktor pencetus pada pederita yang telah
mempunyai kelainan hati. Faktor-faktor antara lain adalah:
a) Gangguan keseimbangan cairan, elektrolit dan PH darah:
Dehidrasi/hipovolemia
Parasintesis abdomen
Diuresis berlebihan
b) Pendarahan gastrointestinal
Operasi besar
Infeksi berat
Intake protein berlebihan
Konstipasi lama yang berlarut-larut
Obat obat narkotik/ hipnotik
Pintas porta sistemik, baik secara alamiah maupun pembedahan
Azotemia

Manifestasi klinik
Spektrum klinis EH sangat luas yang sama sekali asimtomatik hingga
koma hepatik. Simpton yang acap kali dijumpai pada EH klinis antara lain
perubahan personalitas, iritabilitas, apati, disfasia, dan rasa mengantuk disertai
tanda klinis seperti asteriksis, iritabilitas, gelisah, dan kehilangan kesadaran
(koma). Manifestasi klinis EH biasanya didahului oleh dekompensasi hati dan
adanya faktor pencetus yang berupa keadaan amoniaagenik seperti makan protein
berlebih, perdarahan gastrointestinal atau program obat sedatif.
78

Manifestasi EH adalah gabungan dari ganguan mental dan neurologik.
Gambaran klinik EH sangat bervariasi, tergantung progresivitas penyakit ini,
penyebab, dan ada tidaknya berdasarkan status mental, adanya asteriksis,serta
kelainan EEG, manifestasi neuropsikiatri pada EH dapat dibagi atas stadium (lihat
tabel). Di luar itu terdapat sekelompok pasien yang asimtomatik, tetapi
menunjukkan adanya kelainan pada pemeriksaan EEG dan / atau psikometrik.
Contoh uji piskometrik yang populer ialah NCT (Number Conection Test).
Kelompok inilah yang digolongkan sebagai ensefalopatia hepatik subklinis atau
laten (EHS). Para peneliti mendapatkan bahwa proporsi EHS jauh lebih besar
daripada EH klinis (akut maupun kronik), yaitu mencapai 70-80% dari seluruh
kasus sirosis hati dengan hipertensi portal.

Tingkat Gejala Tanda Gambaran EEG
Afektif hilang, euforia, depresi Asteriksis, kesulitan bicara, ke-
apatis, kelakuan tak wajar, peru- sulitan menulis
bahan kebiasaan tidur
Koma Kebingungan, disorientasi, me-
Mengancam ngantuk
Kebingungan nyata, dapat ba- Asteriksis, fetor hepatik, lengan
ngun dari tidur, bereaksi terha- kaku, hiperrefleks, klonus, gras -
dap rangsangan ping reflex, sucking reflex
Koma Dalam Tidak sadar, refleks (-) Fetor hepatik, tonus otot (-) (++++)
Tingkat Derajat Koma Hepatik
Prodromal
(+++)
(++)
(+)
Koma Ringan
Asteriksis, fetor hepatik


Diagnosis
Diagnosis koma hepatik dapat ditegakkan berdasarkan gambaran klinis
dan dibantu dengan beberapa pemeriksaan penunjang, antara lain adalah:
Elektroensefalografi (EEG). Dengan pemeriksaan EEG terlihat peninggian
amplitudo dan menurunnya jumlah siklus gelombang perdetik. Terjadi penurunan
gelombang normal Alfa (8 12 Hz).
Tingkat Ensefalopati Frekuensi Gelombang EEG
Tingkat 0 Frekuensi Alfa (8,5 - 12 siklus/detik)
Tingkat 1 7 - 8 siklus/detik
Tingkat 2 5 - 7 siklus/detik
Tingkat 3 3 - 5 siklus/derik
Tingkat 4 3 siklus/detik atau negatif
Tingkat Kuantitas dari Elektroensefalografi (EEG)

79

Tes Psikometri. Cara ini dapat membantu menilai tingkat kemampuan intelektual
pasien yang mengalami koma hepatik subklinis. Penggunaannya sangat sederhana
dan mudah melakukannya serta memberikan hasil dengan cepat dan tidak mahal.
Tingkat Ensefalopati Hasil UHA dalam detik
Normal 15 - 30
Tingkat 1 31 - 50
Tingkat 2 51 - 80
Tingkat 3 81 - 120
Tingkat 4 > 120
Tingkat Uji Hubung Angka (UHA) / Number Connection Test (NCT)

Tes UHA dapat dipakai untuk menilai tingkat ensefalopati hepatik terutama pada
pasien sirosis hepatik yang rawat jalan.

Pemeriksaan Ammonia Darah. Ammonia merupakan hasil akhir metabolisme
asam amino baik yang berasal dari dekarboksilasi protein maupun hasil deaminasi
glutamine pada usus dari hasil katabolisme protein otot. Dalam keadaan normal,
ammonia dikeluarkan oleh hati dengan pembentukan urea. Pada kerusakan sel
hati seperti sirosis hati, terjadi peningkatan konsentrasi ammonia darah karena
gangguan fungsi hati dalam mendetoksifikasi ammonia serta terjadinya pintas
(shunt) porto-sistemik.
Tingkat Ensefalopati Frekuensi Gelombang EEG
Tingkat 0 < 150
Tingkat 1 151 - 200
Tingkat 2 201 - 250
Tingkat 3 251 - 300
Tingkat 4 > 300
Hubungan Ensefalohepati Hepatik dengan Amonia Darah


Diagnosis Banding
1) Koma intoksikasi obat & alkohol
2) Trauma kepala (komussio serebri, kontusio serebri, perdarahan subdural, dan
perdarahan epidural).
3) Tumor otak
4) Koma akibat gangguan metabolisme (uremia, hipoglikemia, hiperglikemia)
5) Epilepsi

80

Diagnosis
Diagnosis ditegakkan atas dasar anamnesis riwayat penyakit pemeriksaan fisik
dan laboratorium (Gitlin., 1996).
1. Anamnesis
Riwayat penyakit hati.
Riwayat kemungkinan adanya faktor-faktor pencetus.
Adakah kelainan neuropsikiatri: perubahan tingkah laku, kepribadian,
kecerdasan, kemampuan bicara dan sebagainya.
2. Pemeriksaan fisik
Tentukan tingkat kesadaran / tingkat ensefalopati.
Stigmata penyakit hati (tanda-tanda kegagalan faal hati dan hipertensi
portal).
Adanya kelainan neuroogik: inkoordinasi tremor, refleks patologi,
kekakuan.
Kejang, disatria.
Gejala infeksi berat / septicemia.
Tanda-tanda dehidrasi.
Ada pendarahan gastrointestinal.
3. Pemeriksaan laboratorium
a) Hematologi
Hemoglobin, hematokrit, hitung lekosit-eritrosit-trombosit, hitung
jenis lekosit.
Jika diperlukan: faal pembekuan darah.
b) Biokimia darah
Uji faal hati: trasaminase, billirubin, elektroforesis protein, kolestrol,
fosfatase alkali.
Uji faal ginjal: Urea nitrogen (BNU), kreatinin serum.
Kadar amonia darah.
Atas indikasi: HbsAg, anti-HCV, AFP, elektrolit, analisis gas darah.
c) Urin dan tinja rutin
4. Pemeriksaan lain (tidak rutin).
81

a) EEG (Elektroensefaloram) dengan potensial picu visual (visual evoked
potential) merupakan suatu metode yang baru untuk menilai perubahan
dini yang halus dalam status kejiwaan pada sirosis.
b) CT Scan pada kepala biasanya dilakukan dalam stadium ensefalopatia
yang parah untuk menilai udema otak dan menyingkirkan lesi structural
(terutama hematoma subdura pada pecandu alkohol).
c) Pungsi lumbal, umumnya mengungkapkan hasil-hasil yang normal,
kecuali peningkatan glutamin. Cairan serebrospinal dapat berwarna
zantokromat akibat meningkatnya kadar bilirubin. Hitung sel darah putih
cairan spinal yang meningkat menunjukan adanya infeksi. Edema otak
dapat menyebabkan peningkatan tekanan.

Penatalaksanaan
Upaya yang dilakukan pada penatalaksanaan koma hepatik adalah:
1. Mengobati penyakit dasar hati;
2. Mengidentifikasi faktor-faktor pencetus;
3. Mengurangi/mencegah pembentukan influx toksin-toksin nitrogen ke jaringan
otak antara lain dengan cara;
a) Menurunkan atau mengurangi asupan makan yang mengandung protein;
b) Menggunakan laktulosa dan antibiotika;
c) Membersihkan saluran cerna bagian bawah
4. Upaya suportif dengan pemberian kalori yang cukup serta mengatasi
komplikasi yang mungkin ditemui seperti hipoglikemia, perdarahan saluran
cerna, dan keseimbangan elektrolit
1) EH tipe akut
Pengelolaan baik tipe/endogen maupun tipe sekunder/eksogen, pada
prinsipnya sama yaitu terdiri dari tindakan umum dan khusus. Bagi tipe
sekunder/eksogen diperlukan pengelolaan faktor pencetusnya (Gitlin., 1996).
A. Tindakan umum
82

a) Penderita stadium III-IV perlu perawatan suportif nyang intensif :
perhatikan posisi berbaring, bebaskan jalan nafas, pemberian oksigen,
pasang kateter foley.
b) Pemantauan kesadaran, keadaan neuropsikiatri, system
kardiopulmunal dan ginjal keseimbangan cairan, elektrolit serta asam
dan basa.
c) Pemberian kalori 2000 kal/hari atau lebih pada fase akut bebas protein
gram/hari (peroral, melalui pipa nasogastrik atau parental).
B. Tindakan khusus
a) Mengurangi pemasukan protein (Gitlin., 1996)
Diet tanpa protein untuk stadium III-IV
Diet rendah protein (nabati) (20gram/hari) untuk stadium I-II.
Segera setelah fase akut terlewati, intake protein mulai
ditingkatkan dari beban protein kemudian ditambahkan 10 gram
secara bertahap sampai kebutuhan maintanance (40-60 gram/hari)
bila telah stabil. Sumber protein terutama dari asam amino rantai
cabang untuk menyeimbangkan asam amino neurotransmitter asli
dan palsu dan kemungkinan dapat menyeimbangkan metabolisme
ammonia di otot.
b) Mengurangi populasi bakteri kolon (urea splitting organism).
Laktulosa peroral untuk stadium I-II atau pipa nasogastrik untuk
stadium III-IV, 30-50 cc tiap jam atau 60 120 mL/hari, diberikan
secukupnya sampai terjadi diare ringan. Laktulosa merupakan
suatu disakarida sintetis tidak diabsorpsi oleh ileum, tetapi di
hidrolisis oleh bakteri colon, sehingga terjadi lingkungan pH yang
asam yang akan menghambat penyerapan ammonia. Selain itu,
frekuensi defekasi bertambah sehingga mempercepat waktu transit
protein usus. Penggunaan laktulosa bersamaan dengan antibiotika
yang tidak diabsorpsi usus seperti neomisin, akan menghasilkan
hasil yang lebih baik.
Lacticol (Beta Galactoside Sorbitol), dosis: 0,3-0,5 gram/hari.
83

Pengosongan usus dengan lavement 1-2x/hari: dapat dipakai
katartik osmotic seperti MgSO4 atau laveman (memakai larutan
laktulosa 20% atau larutan neomisin 1% sehingga didapat pH = 4)
Antibiotika: neomisin 4 x 1-2 gram/hari, peroral, untuk stadium I-
II, atau melalui pipa nasogastrik untuk stadium III-IV. Rifaximin
(derifat Rimycin), dosis: 1200 mg per hari selama 5 hari dikatakan
cukup efektif.
c) Obat-obatan lain
Penderita koma hepatikum perlu mendapatkan nutrisi parenteral.
Sebagai langkah pertama dapat diberikan cairan dektrose 10% atau
maltose 10%, karena kebutuhan karbohidrat harus terpenuhi lebih
dahulu. Langkah selanjutnya dapat diberikan cairan yang
mengandung AARC (Comafusin hepar) atau campuran sedikit
AAA dalam AARC (Aminoleban): 1000 cc/hari. Tujuan
pemberian AARC adalah untuk mencegah masuknya AAA ke
dalam sawar otak, menurunkan katabolisme protein, dan
mengurangi konsentrasi ammonia darah. Cairan ini banyak
dibicarakan akhir-akhir ini.
L-dopa: 0,5 gram peroral untuk stadium I-II atau melalui pipa
nesogastrik untuk stadium III-IV tiap 4 jam.
Hindari pemakaian sedatva atau hipnotika, kecuali bila penderita
sangat gelisah dapat diberikan diimenhidrimat (Dramamine) 50 mg
i.m: bila perlu diulangi tiap 6-8 jam. Pilihan obat lain: fenobarbital,
yang ekskresinya sebagian besar melalui ginjal.
Vit K 10-20 mg/hari i.m atau peroral atau pipa nasogastrik.
Obat-obatan dalam taraf eksperimental:
o Bromokriptin (dopamine reseptor antagonis) dalam dosis 15
mg/hari dapat memberi perbaikan klinis, psikometrik dan EEG.
o Antagonis benzodiaepin reseptor (Flumazenil), memberi hasil
memuaskan, terutama untuk stadium I-II.
d) Pengobatan radikal
84

Exchange tranfusio, plasmaferesis, dialysis, charcoal hemoperfusion,
transpalantasi hati (Gitlin., 1996).
C. Pengobatan radikal
Koreksi gangguan keseimbangan cairan, elekrtrolit, asam basa.
Penggulangan perdarahan saluran cerna
Atasi infeksi dengan antibiotika yang tepat dalam dosis adekuat.
Hentikan obat-obatan pencetus EH; obat-obatan hepatotoksik,
diuretika atau yang menimbulkan konstipasi.
2) EH tipe Kronik
Prinsip-prinsip pengobatan EH tipe kronik.
a) Diet rendah protein, maksimal 1 gram/kg BB terutama protein nabati.
b) Hindari konstipasi, dengan memberikan laktulosa dalam dosis secukupnya
(2-3 x 10 cc/hari).
c) Bila gejala ensefalopati meningkat, ditambah neomisin 4x1 gram / hari.
d) Bila timbul eksaserbasi akut, sama seperti EH tipe akut.
e) Perlu pemantauan jangka panjang untuk penilaian keadaan mental dan
neuromuskulernya.
f) Pembedahan elektif: colon by pass, transplantasi hati, khususnya untuk
EH kronik stadium III-IV.







BAB IV
KESIMPULAN

Penurunan kesadaran atau koma merupakan salah satu kegawatan neurologi yang
menjadi petunjuk kegagalan fungsi integritas otak dan sebagai final common pathway dari
85

gagal organ seperti kegagalan jantung, nafas dan sirkulasi akan mengarah kepada gagal otak
dengan akibat kematian. Penurunan kesadaran dapat ditentukan secara kualitatif dan kuantitatif.
Penurunan kesadaran disebabkan oleh kelainan metabolik dan struktural yang mempengaruhi
korteks dan ARAS. Diagnosis dapat ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik umum,
pemeriksaan fisik neurologis dan pemeriksaan penunjang. Adapun tatalaksana pada pasien
dengan penurunan kesadaran terdiri atas tatalaksana umum dan khusus.


86

DAFTAR PUSTAKA

Batubara, AS. 1992. Koma dalam Majalah Cermin Dunia Kedokteran. Ed 80. FK USU. Hal 85-
87.

Feldman, Mark.. et al. 2006. Gastrointestinal and Liver Disease
Patophysiology/Diagnosis/Management 8
th
Edition. Saunders Elsevier: Philadelphia.

Greenberg, MS. 2001. Coma dalam Handbook of Neurosurgey. 5
th
ed. Thieme: NY. Hal 119-123

Harris, S. 2004. Penatalaksanaan Pada Kesadaran Menurun dalam Updates in
Neuroemergencies. FKUI: Jakarta. Hal.1-7

Harsono. 2005. Koma dalam Buku Ajar Neurologi. Gajah Mada University Press: Yogyakarta.

Kumar, Parveen., Clark, Michael. 2009. Clinical Medicine 7
th
Edition. Saunders Elsevier:
Toronto

Lindsay, KW dan Bone I. 1997. Coma and Impaired Conscious Level dalam Neurology and
Neurosurgery Illustrated. Churchill Livingstone: UK. Hal.81

Persatuan Edokrinologi Indonesia (PERKENI). 2011. Konsensus Pengelolaan Diabetes Mellitus
Tipe 2 di Indonesia. PB. PERKENI: Jakarta.

Soemadji, Djoko Wahono. 2009. Hipoglikemia Iatrogenik Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Jilid III. Interna Publishing: Jakarta.

Sukamana, Nanang. 2009. Intoksikasi Narkotika (Opiat) Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid
III. Interna Publishing: Jakarta.

You might also like