You are on page 1of 12

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Uraian Tumbuhan Dandang Gendis
2.1.1 Sistematika Tumbuhan
Sistematika tumbuhan daun dandang gendis adalah sebagai berikut :
Divisi : Spermatophyta
Sub divisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledonae
Ordo : Solanaceae
Famili : Acanthaceae
Genus : Clinacanthus
Species : Clinacanthus nutans (Burm. f.) Lindau (Anonim, 2005).
2.1.2 Sinonim
Sinonim dari tumbuhan dandang gendis (Clinacanthus nutans (Burm. f.)
Lindau) adalah : Clinacanthus burmani Nees., Beloperone futgina Hassk.
(Anonim, 2005).
2.1.3 Nama Daerah
Nama daerah adalah ki tajam (Sunda), gendis (J awa Tengah) (Hariana,
2007). Di luar negeri dikenal dengan istilah pha ya yor, salet, phon (Thailand), bi
phaya yow (Cina) (anonim, 2005).
2.1.4 Habitat dan Morfologi
Tumbuhan dandang gendis (Clinacanthus nutans (Burm. f.) Lindau)
merupakan tanaman perdu, tahunan, tinggi 2-3 meter, tumbuh dekat air, belukar
Universitas Sumatera Utara
atau ditanam sebagai pagar hidup dengan ketinggian 5-400 m di atas permukaan
laut. Tumbuhan ini memiliki akar tunggang berwarna putih kotor. Batang
berkayu, tegak, beruas dan berwarna hijau. Daun tunggal, berhadapan, bentuk
lanset, panjang 8-12 mm, lebar 4-6 mm, bertulang daun menyirip, berwarna hijau,
ujung runcing, pangkal membulat, permukaan daun tidak berbulu, permukaan atas
lebih tua dan lebih mengkilap. (Anonim, 2005).
2.1.5 Kandungan Kimia dan Efek Farmakologis
Daun dandang gendis (Clinacanthus nutans (Burm. f.) Lindau) mengandung
senyawa alkaloid, triterpenoid / steroid, glokosida, tanin, saponin, flavonoid dan
minyak atsiri (Wirasty,2004). Efek farmakologis yang dimiliki oleh dandang
gendis diantaranya mengefektifkan fungsi kelenjar tubuh, meningkatkan sirkulasi
diuretik, obat demam dan diare (Hariana, 2007). Daun Clinacanthus nutans secara
tradisional telah lama digunakan di Thailand sebagai antiinflamasi untuk
mengobati gigitan serangga, herpes, infeksi dan alergi (Anonim, 2008).
2.2 Metode ekstraksi
Ekstraksi adalah suatu kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut
sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan menggunakan pelarut
cair. Ada beberapa metode ekstraksi dengan mengunakan pelarut, yaitu:
1. maserasi
Maserasi adalah proses pengekstraksian simplisia menggunakan pelarut
dengan beberapa kali pengadukan dengan temperatur ruangan. Sedangkan
remaserasi adalah pengulangan penambahan pelarut setelah dilakukan
penyarian maserat pertama dan seterusnya (Ditjen POM, 2000).
Keuntungan cara penyarian dengan maserasi adalah cara pengerjaan dan
Universitas Sumatera Utara
peralatan yang digunakan sederhana dan mudah di gunakan (Depkes RI,
1986).
2. perkolasi
Perkolasi adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru sanpai
sempurna yang umumnya dilakukan pada temperatur ruangan (Ditjen
POM, 2000). Serbuk simplisia ditempatkan dalam bejana silinder, pada
bagian bawahnya diberi sekat berpori. Cairan penyari dialirkan sehingga
dapat melarutkan zat aktif sampai mencapai keadaan jenuh (Depkes RI,
1986).
3. refluks
Refluks adalah ekstraksi dengan menggunakan pelarut pada temperatur
titik didihnya selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas dan relatif
konstan dengan adanya pendingin balik (Ditjen POM, 2000).
4. sokletasi
Sokletasi adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru,
umumnya dilakukan dengan menggunakan alat soklet sehingga terjadi
ekstraksi kontinu dan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya
pendingin balik (Ditjen POM, 2000).
5. digesti
Digesti adalah maserasi dengan menggunakan pemanasan lemah, yaitu
pada temperatur 40-50
0
C. Cara meserasi ini hanya dapat dilakukan untuk
simplisia yang zat aktifnya tahan terhadap pemanasan (Depkes RI, 1986).


Universitas Sumatera Utara
6. infus
Infus adalah ekstraksi menggunakan pelarut air pada temperatur penangas
air (bejana infus tercelup dalam penangas air mendidih, temperatur terukur
96-98
0
C) selama waktu tertentu (15-20 menit) (Ditjen POM, 2000).
Penyarian dengan cara ini menghasilkan sari yang tidak stabil dan mudah
tercemar oleh kuman dan kapang. Oleh sebab itu sari yang diperoleh, tidak
boleh disimpan lebih dari 24 jam (Depkes RI, 1986).
7. dekok
Dekok serupa seperti infus tetapi dengan waktu yang lebih lama (30 menit)
dan temperatur sampai titik didih air (Ditjen POM, 2000). Perbedaannya
dengan infus adalah pada rebusan yang disari panas-panas (Voigt, 1994).
2.3 Nata de coco
Air kelapa merupakan media yang baik untuk pertumbuhan mikroba
karena mengandung gula, senyawa nitrogen, mineral dan vitamin. Dengan melalui
suatu proses fermentasi, maka berubah menjadi Nata De Coco. Produknya mirip
seperti agar agar yang mempunyai kekerasan seperti kolang kaling dan dapat
digunakan untuk keperluan makanan maupun non makanan. Dengan
dikembangkannya pemanfaatan air kelapa tersebut, maka air kelapa yang tadinya
merupakan limbah bagi lingkungan, dapat diubah menjadi bahan yang
mempunyai nilai ekonomi tinggi.
Nata de coco adalah nama yang mula-mula dikenal di Filiphina untuk
menyebut produk olahan yang dibuat dari air kelapa dengan bantuan bakteri
pembentuk Nata yaitu Acetobacter xylinum. Kata Nata diduga berasal dari bahasa
Spanyol, yaitu Nadar yang berarti berengan. Dugaan lain, kata ini berasal dari
Universitas Sumatera Utara
bahasa Latin nature artinya terapung. Sedangkan menurut Rony Palungkun
(2001) Nata berasal dari bahasa Spanyol yang berarti krim (cream). J adi nata de
coco adalah krim yang berasal dari air kelapa (Anonim, 2008).
Nata lebih dikenal dengan nama nata de coco karena pada umumnya
substrat yang digunakan adalah air kelapa. Namun demikian dapat dibuat dari
berbagai macam substrat, misalnya nata de pinna untuk substrat yang berasal dari
buah nanas, nata de tomato untuk yang beasal dari buah tomat, serta nata de soya
yang dibuat dari limbah tahu (Astawan, 2004).
2.4 Bakteri Acetobacter xylinum
Bakteri pembentuk Nata adalah Acetobacter xylinum yang termasuk genus
Acetobacter yang mempunyai ciri antara lain berbentuk batang, gram negatif,
bersifat aerobik. Factor-faktor yang mempengaruhi Acetobacter xylinum
mengalami pertumbuhan adalah nutrisi, sumber karbon, sumber nitrogen, serta
tingkat keasaman media, temperatur, dan oksigen. Sumber karbon dapat
digunakan gula dari berbagai macam jenis seperti glukosa, sukrosa, fruktosa,
ataupun maltose dan untuk mengatur pH digunakn asam asetat. Sumber nitrogen
biasanya berasal dari bahan organic seperti ZA, urea. Bakteri Acetobacter
Xylinum dapat tumbuh pada pH 3,5 7,5, namun akan tumbuh optimal bila pH
nya 4,3. sedangkan suhu ideal bagi pertumbuhan bakteri Acetobacter Xylinum
pada suhu 28 31
0
C. Bakteri ini sangat memerlukan oksigen, sehingga dalam
fermentasi tidak perlu ditutup rapat namun hanya ditutup untuk mencegah kotoran
masuk ke dalam media yang dapat mengakibatkan kontaminasi (Anonim, 2008).
2.5 Sediaan dengan Pelepasan Terkendali
Untuk menghindari pemakaian obat berulang dan menghindari efek yang
Universitas Sumatera Utara
tak diinginkan maka diusahakan memberikan sediaan lepas lambat dan terkendali
yang bekerja dengan mengurangi kecepatan absorpsi dengan mengontrol
pelepasan obat dari sediaan. Bentuk sediaan dengan pelepasan terkendali
dibedakan atas waktu pelepasan, sedangkan jumlah awal zat aktif yang dilepaskan
harus berkesinambungan dan tidak tergantung pada tempat dimana sediaan berada
atau pada laju perjalanan dari lambung ke usus (Syukri, 2002).
Sediaan dengan aksi terkendali dikelompokkan atas tiga golongan yaitu
1) Sediaan dengan pelepasan atau aksi dipertahankan, merupakan bentuk
sediaan yang mula-mula melepaskan zat aktif dalam jumlah cukup untuk
mendapatkan ketersediaan hayati yang dikehendaki atau menimbulkan
efek farmakologi secepatnya dan dapat menjaga aktivitasnya dalam waktu
yang lebih lama mulai dari obat diberikan dalam dosis tunggal.
2) Sediaan dengan aksi dipertahankan, merupakan sediaan dengan pelepasan
dipertahankan yang harus diformula sedemikian rupa sehingga laju
pelepasan zat aktif setelah pelepasan dosis awal sama dengan laju
peneiadaan atau inaktivasi zat aktif. Sediaan ini juga memberikan
ketersediaan hayati yang diinginkan dengan jumlah zat aktif yang cukup,
atau mungkin berlebih (tidak berbahaya) dibandingkan dengan jumlah
yang diperlukan untuk mendapatkan aksi terapetik. Selain itu laju
pelepasan zat aktif akan meningkat dan waktu aksinya lebih lama
dibandingkan dengan dosis tunggal.
3) Sediaan dengan aksi berulang, merupakan sediaan seperti penyediaan
dosis tunggal, dan melepaskan dosis tunggal berikutnya dalam waktu
tertentu setelah pemberian obat (Syukri, 2002).
Universitas Sumatera Utara
2.6 Radang (Inflamasi)
Inflamasi merupakan suatu respon protektif normal terhadap luka jaringan
yang disebabkan oleh trauma fisik, zat kimia yang merusak, atau zat-zat
mikrobiologik. Inflamasi adalah usaha tubuh untuk menginaktivasi atau merusak
organisme yang menyarang, menghilangkan zat iritan dan mengatur derajat
perbaikan jaringan. Inflamasi dicetuskan oleh pelepasan mediator kimiawi dari
jaringan yang rusak dan migrasi sel (Mycek, 2001). Ketika proses inflamasi
berlangsung, terjadi reaksi vaskular dimana cairan, elemen-elemen darah, sel
darah putih dan mediator kimia berkumpul pada tempat cidera jaringan atau
infeksi(Taufik, 2008).
Adapun tanda-tanda pokok peradangan:
1. Rubor (kemerahan) ini merupakan hal pertama saat mengalami
peradangan, karena banyak darah mengalir ke dalam mikrosomal lokal
pada tempat peradangan.
2. Kalor (panas) dikarenakan lebih banyak darah yang disalurkan pada
tempat peradangan dari pada yang disalurkan ke daerah normal. Fenomena
panas lokal ini tidak terlihat pada tempat peradangan jauh di dalam tubuh
karena jaringan sudah mempunyai suhu 370 C.
3. Dolor (rasa sakit) dikarenakan pembengkakan jaringan mengakibatkan
peningkatan tekanan lokal dan juga karena ada pengeluaran zat histamin
dan zat kimia bioaktif lainnya.
4. Tumor (pembengkakan) pengeluaran ciran-cairan ke jaringan interstisial.
Universitas Sumatera Utara
5. Fungsio laesa (perubahan fungsi) adalah reaksi peradangan yang telah
dikenal, tetapi tidak diketahui secara mendalam dengan cara apa fungsi
jaringan yang meradang itu terganggu (Taufik, 2008).
2.7.1 Mekanisme terjadinya radang
Proses terjadinya inflamasi dapat dibagi dalam dua fase:
1. Perubahan vaskular
Respon vaskular pada tempat terjadinya cedera merupakan suatu yang
mendasar untuk reaksi inflamasi akut. Perubahan ini meliputi perubahan
aliran darah dan permeabilitas pembuluh darah. Perubahan aliran darah
karena terjadi dilatasi arteri lokal sehingga terjadi pertambahan aliran
darah (hypermia) yang disusul dengan perlambatan aliran darah.
Akibatnya bagian tersebut menjadi merah dan panas. Sel darah putih akan
berkumpul di sepanjang dinding pembuluh darah dengan cara menempel.
Dinding pembuluh menjadi longgar susunannya sehingga memungkinkan
sel darah putih keluar melalui dinding pembuluh. Sel darah putih bertindak
sebagai sistem pertahanan untuk menghadapi serangan benda-benda asing.
2. Pembentukan cairan inflamasi
Peningkatan permeabilitas pembuluh darah disertai dengan keluarnya sel
darah putih dan protein plasma ke dalam jaringan disebut eksudasi. Cairan
inilah yang menjadi dasar terjadinya pembengkakan. Pembengkakan
menyebabkan terjadinya tegangan dan tekanan pada sel syaraf sehingga
menimbulkan rasa sakit (Mansjoer, 1999).
Cara kerja AINS untuk sebagian besar berdasarkan hambatan sintesis
prostaglandin, dimana kedua jenis cyclooxygenase diblokir. AINS yang ideal
Universitas Sumatera Utara
diharapkan hanya menghambat COX II (peradangan) dan tidak COX I
(perlindungan mukosa lambung), juga menghambat lipooxygenase (pembentukan
leukotrien). Tersedia tiga obat dengan kerja selektif, artinya lebih kuat
menghambat COX II daripada COX I (Mansjoer, 1999).
2.7.2 Mediator Radang
Inflamasi dicetuskan oleh pelepasan mediator dari jaringan yang rusak dan
migrasi sel. Mediator kimiawi spesifik bervariasi dengan tipe peradangan
(inflamasi) diantaranya adalah histamin, bradikinin, prostaglandin dan interleukin
(Mycek, 2001). Histamin merupakan mediator pertama yang dilepaskan dari
sekian banyaknya mediator lain dan segera muncul dalam beberapa detik yang
menyebabkan peningkatan permeabilitas kapiler.
Bradikinin dan kalidin bereaksi lokal menimbulkan rasa sakit, vasidilatasi,
meningkatkan permeabilitas kapiler dan berperan meningkatkan potensi
prostaglandin (Mansjoer, 1999).
Asam arakhidonat merupakan prekursor dari sejumlah besar mediator
inflamasi. Senyawa ini merupakan komponen utama lipid seluler dan hanya
terdapat dalam keadaan bebas dengan jumlah kecil yang sebagian besar berada
dalam bentuk fosfolipid membran sel. Bila membran sel mengalami kerusakan
oleh suatu rangsangan kimiawi, fisis atau mekanis, maka enzim fosfolipase A
2

diaktivasi untuk mengubah fosfolipida tersebut menjadi asam arakhidonat
(Mansjoer, 1999).
Sebagai penyebab inflamasi, prostaglandin (PG) bekerja lemah, berpotensi
kuat setelah bergabung dengan mediator atau substansi lain yang dibebaskan
secara lokal seperti histamin, serotinin, atau leukotrien. Prostaglandin mampu
Universitas Sumatera Utara
menginduksi vasodilatasi pembuluh darah dalam beberapa menit dan terlibat pada
terjadinya nyeri, inflamasi dan demam (Mansjoer, 1999).
Bagan terjadinya inflamasi dapat dilihat pada Gambar I berikut ini:



















Gambar 1. Bagan mekanisme terjadinya inflamasi (Katzung, 2002).

Rangsangan
Gangguan membran sel
Fosfolipida
Dihambat
kortikosteroid

Asam arakhidonat
Fosfolipase

Leukotrien
LTB4 LTC4/D4/E4
Prostaglandin Tromboksan Prostaksilin
Atraksi/
aktivasi
fagosit
Perubahan permeabilitas
vaskuler, kontriksi bronchial,
peningkatan sekresi
Modulasi leukosit
Inflamasi Bronkospasme, kongesti,
penyumbatan mukus Inflamasi
Lipooksigenase siklooksigenase
Universitas Sumatera Utara
2.8 Obat-obat antiinflamasi
2.8.1 Obat Antiinflamasi dari Golongan Steroid (Glukokortikoid)
Glukokortikoid mempunyai potensi efek antiinflamasi dan pertama kali
dipublikasikan, dianggap jawaban terakhir dalam pengobatan peradangan.
Sayangnya, toksisitas yang berat sehubungan dengan terapi kortikosteroid kronis
mencegah pemakaiannya kecuali untuk mengontrol pembengkakan akut penyakit
sendi (Katzung, 2002).
Glukokortikoid mempunyai efek mengurangi peradangan yang disebabkan
karena efeknya terhadap konsentrasi, distribusi dan fungsi leukosit perifer serta
penghambatan aktivitas fosfolipase A
2
. Setelah pemberian dosis tunggal
glukokortikoid bekerja singkat dengan konsentrasi neutrofil meningkat yang
menyebabkan pengurangan jumlah sel pada daerah peradangan (Katzung, 2002).
2.8.2 Obat Antiinflamasi Non-Steroida (AINS)
Obat-obat AINS terbagi dalam beberapa golongan berdasarkan struktur
kimianya, perbedaan kimiawi ini menyebabkan luasnya batas-batas sifat
farmakokinetiknya. Obat ini efektif untuk peradangan akibat trauma (pukulan,
benturan, kecelakaan) juga setelah pembedahan, atau pada memar akibat olah
raga. Obat ini dipakai pula untuk mencegah pembengkakan bila diminum sedini
mungkin dalam dosis yang cukup tinggi (Tjay, 2002). Obat-obat anti-inflamasi
nonsteroid (AINS) terutama bekerja dengan jalan menghambat enzim
siklooksigenase tetapi tidak enzim lipoksigenase (Mycek, 2001).
Aktivitas antiinflamasi obat AINS mempunyai mekanisme kerja yang
sama dengan aspirin terutama bekerja melalui penghambatan biosintesis
prostaglandin. Tidak seperti aspirin, obat-obat ini adalah penghambat
Universitas Sumatera Utara
siklooksigenase yang reversibel. Selektivitas terhadap COX I dan COX II,
bervariasi dan tak lengkap. Misalnya aspirin, indometasin, piroksikam dan
sulindak dianggap lebih efektif menghambat COX I, metabolit aktif nabumeton
sedikit lebih selektif terhadap COX II. Dari obat AINS yang tersedia, indometasin
dan diklofenak dapat mengurangi sintesis baik prostaglandin maupun leukotrin
(Katzung, 2002).
2.9 Indometasin
Indometasin yang diperkenalkan pada tahun 1963 adalah turunan indol.
Obat ini lebih toksik, tetapi dalam lingkungan tertentu obat ini lebih efektif
daripada aspirin atau AINS lainnya. Obat ini merupakan peghambat sintesis
prostaglandin terkuat dan diabsorpsi dengan baik setelah pemberian oral dan
sebagian besar terikat dengan protein plasma (Katzung, 2002).
Walaupun potensinya sebagai obat anti-inflamasi, toksisitas indometasin
membatasi pemakaiannya. Efek samping indometasin terjadi sampai 50%
penderita yang diobati. Kebanyakan efek samping ini berhubungan dengan dosis.
Keluhan saluran cerna seperti mual, muntah, anoreksia, diare dan nyeri abdomen.
Dapat terjadi ulserasi saluran cerna bagian atas kadang-kadang dengan
pendarahan (Mycek, 2001). Indometasin tidak diajurkan diberikan kepada anak,
wanita hamil, penderita penyakit lambung. Penggunaannya kini dianjurkan hanya
bila AINS lain kurang berhasil (Ganiswarna, 1995).





Universitas Sumatera Utara

You might also like