You are on page 1of 15

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Menurut konferensi Ramsar sendiri lahan basah (wetlands) dapat diartikan sebagai lahan
basah yang secara alami atau buatan selalu tergenang, baik secara terus-menerus ataupun
musiman, dengan air yang diam ataupun mengalir. Air yang menggenangi lahan basah dapat
berupa air tawar, payau dan asin. Tinggi muka air laut yang menggenangi lahan basah yang
terdapat di pinggir laut tidak lebih dari 6 meter pada kondisi surut.
Lahan basah adalah salah satu dari banyaknya lingkungan produktif di dunia. Lahan
basah merupakan “supermarket” dari keanekaragaman hayati. Lahan basah merupakan
istilah kolektif tentang ekosistem yang pembentukannya dikuasai air, dan proses serta
cirinya dikendalikan oleh air. Suatu lahan basah adalah suatu tempat yang cukup basah
selama waktu yang cukup panjang bagi pengembangan vegetasi dan organisme lain yang
teradaptasi khusus. Lahan basah merupakan areal transisi antara lahan kering dan wilayah
perairan seperti danau, rawa, payau, sungai dan pantai. Tidak semua lahan basah yang selalu
berair atau tergenang sepanjang tahun.
Lahan basah merupakan ekosistem yang produktif, mempunyai sejumlah fungsi dan manfaat
yang bernilai bagi manusia. Lahan basah adalah daerah peralihan antara sistem perairan dan
sistem daratan. Tumbuhan yang hidup umumya adalah hidrofita, substratnya berupa tanah
hidric yang tidak dikeringkan serta berupa bahan bukan tanah dan jenuh atau tertutup
dengan air dangkal pada suatu waktu selama musim pertumbuhan setiap tahun.
Indonesia merupakan negara yang memiliki ekosistem lahan basah (wetlands) yang
terluas di Asia Tenggara yakni sekitar 37 juta Ha, sehingga menempatkan Indonesia sebagai
salah satu kawasan terkaya di dunia dalam hal potensi keanekaragaman hayati yang
terkandung didalamnya, baik secara ekologis maupun ekonomis. Berdasarkan fungsi dan
tatanan lingkungannya, tipologi lahan basah Indonesia secara garis besar terdiri dari empat
macam yakni : 1) lahan basah pesisir dan lautan yang meliputi antara lain hutan bakau,
hutan payau, hutan mangrove, terumbu karang dan dataran pasir  2) lahan basah Rawa
yang meliputi hutan rawa gambut, rawa padang, rawa rumput dan rawa herba  3) Lahan
basah dataran sungai yang meliputi sungai, dataran banjir, lebak-lebung dan muara sungai,
serta  4) Lahan basah danau, bendungan dan lahan basah bentukan seperti sawah,
tambak garam, danau, situ, dan bendungan.
Mengingat cukup bervariasinya tipe dan sifat ekosistem lahan basah Indonesia, maka
ekosistem lahan basah tersebut mempunyai potensi yang sangat besar untuk dapat
dikembangkan pemanfaatannya secara berkelanjutan. Secara garis besar fungsi dan manfaat
lahan basah terhadap manusia dan lingkungan adalah sebagai berikut :
1. Memenuhi Kebutuhan Dasar Manusia  
Kebutuhan dasar manusia selalu mengingat seiring dengan meningkatnya kemajuan jaman.
Bagi Indonesia, yang dianggap sebagai kebutuhan dasar adalah pangan, sandang, papan,
kesehatan dan pendidikan. Dari kelima kebutuhan dasar ini, pangan, papan dan kesehatan
dapat dipenuhi oleh ekosistem lahan basah secara langsung. Sedangkan kebutuhan sandang
dan pendidikan secara tidak langsung dapat dipenuhi dengan memanfaatkan potensi lahan
basah melalui peningkatan pendapatan.
2. Sumber Pendapatan dan Kesempatan Kerja   Produk hutan dikawasan lahan basah
merupakan komoditi yang dapat memberikan penghasilan dan pendapatan negara antara lain
melalui industri chip dan kertas. tidak sedikit masyarakat yang telah memanfaatkannya
sebagai sumber mata pencaharian baik dari kayu, kulit kayu, madu maupun berbagai hasil
estuaria yang sangat beranekaragam seperti udang, ikan, kepiting, moluska dan lainnya.  
3. Penyangga dan Pendukung sistem kehidupan (life supporting system)   Peranan lahan
basah juga mencakup sebagai pemenuhan manfaat lingkungan yang berkaitan erat dengan
stabilisasi dan kesehatan lingkungan, juga meningkatkan dan memelihara produktifitas
perairan estuaria dan kegiatan ekotourism.
Lahan basah di Asia terdiri dari bermacam-macam jenis, seperti habitat alami dan buatan
(Scott 1989; Watkins & Parish 1999) termasuk:
Daerah inter-tidal dan muara, seperti danau, pesisir, batu karang yang berada didaerah
terbuka, endapan lumpur dan pasir, danau air asin (di daerah yang bertemperatur rendah)
dan hutan bakau (di daerah tropis dan sub-tropis);
 Sungai dan rawa yang terbentuk dari genangan banjir, anak sungai dan danau;
Danau air tawar dan hamparan ilalang baik yang bersifat temporer maupun permanen
Hutan rawa gambut dan hutan rawa air tawar, serta
Gambut dan lumpur Sedikit sekali jenis lahan basah yang termasuk dalam jenis
musiman, seperti danau air asin dan/atau yang mengandung alkalin. Di Asia juga memiliki
lahan basah buatan, seperti sawah yang bersifat musiman, ladang garam, kolam aquakultur
dan waduk.
Dari contoh tersebut di atas, dapat terlihat bahwa betapa sulitnya dalam
mendefinisikan lahan basah. Hal ini telah berlangsung sejak lama (Finlayson & Van der
Valk 1995), yang sebagian terkait dengan masalah penjelasan habitatnya yang sering kali
dianggap sebagai ecotones antara habitat air dan darat. Satu hal yang sangat penting tentang
lahan basah, bahwa lahan basah sudah diterima dan mendapat pengakuan dunia berkat
Ramsar Convention. Meskipun demikian, ketika ditegaskan oleh Finlayson (1999) saat
mengembangkan protokol untuk inventarisasi lahan basah di Australia, definisi tentang
lahan basah ini cenderung meluas, seperti lahan basah di pesisir pantai dan laut, mengingat
keduanya berada dalam perairan dalam dan terjadi karena adanya penggenangan air secara
musiman dan sporadis. Namun pencantuman daerah laut telah menimbulkan banyak
perdebatan.

1.2 Tujuan dan Kegunaan

Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk mengetahui potensi lahan basah
dan pesisir baik secara biofisik maupun ekologis dengan merujuk kepada fungsi-fungsinya.
Sedangkan kegunaannya adalah sebagai bahan informasi bagai mahasiswa dalam meninjau
sejauh mana potensi dan fungsi lahan basah dan pesisir.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Lahan Basah


Lahan basah adalah istilah kolektif tentang ekosistem yang pembentukannya
dikuasai air, dan proses serta cirinya terutama dikendalikan air. Suatu lahan basah adalah
suatu tempat yang cukup basah selama waktu cukup panjang bagi pengembangan vegetasi
dan organisme lain yang teradaptasi khusus (Maltby, 1986). Lahan basah ditakrifkan
(define) berdasarkan tiga parameter, yaitu hidrologi, vegetasi hidrofitik, dan tanah hidrik
(Cassel, 1997).
Lahan basah mencakup suatu rentangan luas habitat pedalaman, pantai, dan marin
yang memiliki sejumlah tampakan sama. Konvensi Ramsar 1971 menakrifkan lahan basah
yang penting secara internasional sebagai berikut (Dugan, 1990).
Lahan basah adalah wilayah rawa, lahan gambut, dan air, baik alami maupun buatan,
bersifat tetap atau sementara, berair ladung (stagnant, static) atau mengalir yang bersifat
tawar, payau, atau asin, mencakup wilayah air marin yang di dalamnya pada waktu surut
tidak lebih daripada enam meter.
Sesungguhnya, lahan basah merupakan komponen penting beraneka ekosistem
karena berfungsi menyimpan air banjir, memperbaiki mutu air, dan menyediakan habitat
bagi margasatwa (Cassel, 1997). Dalam kenyataan lahan basah dapat menyediakan sederetan
barang dan jasa penting bagi manusia dalam penggunaan langsung dan tidak langsung,
kesejahteraan margasatwa, dan pemeliharaan mutu lingkungan. Proses biofisik yang menjadi
gantungan penyediaan barang dan jasa, juga menopang fungsi dan struktur ekosistem.
Pengembangan pertanian paling banyak menghilangkan lahan basah. Sebagai
contoh, di Amerika Serikat pada kurun waktu antara 1950an dan 1970an, 87% lahan basah
yang hilang disebabkan oleh pengembangan pertanian, 8% oleh pengembangan kota, dan
5% oleh pengembangan lain (Maltby, 1986).
Tiap lahan basah tersusun atas sejumlah komponen fisik, kimia, dan biologi, seperti
tanah, air, spesies tumbuhan dan hewan, serta zat hara. Proses yang terjadi antar-komponen
dan di dalam tiap komponen membuat lahan basah dapat mengerjakan fungsi-fungsi
tertentu, dapat membangkitkan hasilan, dan dapat memiliki tanda pengenal khas ekosistem.
2.2 Fungsi Lahan Basah

Nilai lahan merupakan gabungan tiga parameter, yaitu fungsi yang dapat
dikerjakan, hasilan (product) yang dapat dibangkitkan, dan tanda pengenal (attribute)
berharga pada skala ekosistem yang dapat disajikan. Tiap lahan basah tersusun atas sejumlah
komponen fisik, kimia, dan biologi, seperti tanah, air, spesies tumbuhan dan hewan, serta zat
hara. Proses yang terjadi antarkomponen dan di dalam tiap komponen membuat lahan basah
dapat mengerjakan fungsi-fungsi tertentu, dapat membangkitkan hasilan, dan dapat memiliki
tanda pengenal khas pada skala ekosistem. Tidak semua ciri (characteristic) ada pada tiap
lahan basah. Maka tidak semua lahan basah dapat menjalankan semua fungsi dan tidak
semua fungsi dapat dikerjakan sama di tiap lahan hasah (Dugan, 1990).
Fungsi khusus terpenting lahan basah mencakup pengimbuhan (recharge) dan
pelepasan (discharge) air bumi (ground water), penqendalian banjir, melindungi garis pantai
terhadap abrasi laut, penambatan sedimen, toksikan, dan hara, serta pemendaman
(sequestering) karbon khususnya di lahan gambut. Hasilan yang dapat dibangkitkan ialah
sumberdaya hutan, sumberdaya pertanian, perikanan, dan pasokan air. Tanda pengenal
berharga pada skala ekosistem ialah keanekaan hayati, keunikan warisan alami (geologi,
tanah, margasatwa, ikan, edafon, vegetasi), dan bahan untuk penelitian ilmiah. Lahan basah,
khususnya lahan gambut, merupakan gudang penyimpan informasi, sangat berguna tentang
lingkungan purba (paleoenvironment) berkenaan dengan ragam vegetasi, keadaan iklim,
lingkungan pengendapan, dan pembentukan gambut sendiri (dimodifikasi dari Dugan,
1990; dan Page, 1995).
Soal fungsi dan tanda pengenal berharga mensyaratkan konservasi penuh, sedang
persyaratan dalam soal hasilan berkisar antara kenservasi penuh dan konversi lengkap.
Pasokan air memerlukan konservasi penuh. Pengembangan sumberdaya pertanian
menghendaki konversi lengkap. Pengembanqan sumberdaya hutan dan ikan dapat
mensyaratkan konversi lengkap, cukup dengan konversi terbatas, atau tidak perlu konversi.
Pengembangan sumberdaya hutan untuk hasilan alami, seperti bahan tumbuhan obat atau
rempah, damar, getah, dan madu, tidak memerlukan konversi. Untuk hasilan kayu dari
hutan alam tidak diperlukan konversi, akan tetapi dapat mengakibatkan konversi tanpa
diniati karena mengusik ekosistem melampaui batas daya 1entingnya (resilience).
Diperlukan konversi lengkap untuk hasilan kayu dan hutan tanaman. Pengusahaan
akuakultur tambak mengkonversi lengkap lahan basah mangrove. Pengembangan
sumberdaya perikanan di perairan umum tidak memerlukan konversi. Dalam sistem
tertentu, antara lain beje masyarakat Dayak Kalimantan Tengah. dipenlukan konversi
terbatas dengan menggali handil yang berujung di cekungan berair. Handil digunakan untuk
menggiring ikan dari sungai masuk ke dalam cekungan berair dan kolam alami digunakan
untuk menjebak dan menangkap ikan.
Menurut Dugan (1990), fungsi lahan basah ialah:
1. Pengisian kembali air tanah, yang terutama dijalankan oleh dataran banjir, rawa air tanah,
danau, lahan gambut dan hutan rawa.
2. Pelepasan air tanah
3. Penambatan sedimen, bahan beracun dan hara
4. Rekreasi dan turisme
5. Pengendalian banjir, yang dijalankan oleh semua bentuk lahan basah, kecuali sistem
pantai terbuka (Dijalankan Oleh semua bentuk lahan basah).
6. Pengukuran garis tepilaut (shoreline) dan pengendalian erosi, yang terutama dijalankan
oleh estuari, kewasan mangrove, sistem pantai terbuka, dataran banjir dan rawa air tawar.
7. Ekspor biomassa, yang dijalankan oleh semua bentuk lahan basah, kecuali lahan gambut.
8. Perlindungan terhadap badai dan pematah angin, yang terutama dijalankan oleh estuari,
kawasan mangrove, sistem pantai terbuka dan hutan rawa.
9. Pengukuhan iklim mikro, yang terutama dijalankan oleh kawasan mangrove, dataran
banjir, rawa air tawar, danau dan hutan rawa.
10.Pengangkutan air, yang terutama dijalankan oleh estuari, kawasan mangrove, dataran
banjir dan danau. Imbuhan (pengisian kembali) air tanah terjadi pada waktu air bergerak
dari lahan basah ke bawah dan masuk ke dalam akuifer. Selama pergerakan ini terjadi
pembersihan air. Air dalam akuifer dapat mengalir ke samping dan akhirnya dapat naik
ke permukaan lahan basah lain. Jadi, imbuhan air tanah di lahan basah yang satu
bergandengan dengan pelepasan air tanah di lahan basah yang lain. Fungsi imbuhan dan
pelepasan air tanah antarlahan basah dalam setahun dapat tertukarkan, tergantung pada
kenaikan dan penurunan permukaan air tanah setempat yang mengubah arah landaian
permukaan air tanah.
2.3 Potensi Biofisik Lahan Basah
Kinerja lahan basah membangkitkan hasilan dan jasa lingkungan dan ekonomi.
Masyarakat umum masih sulit memahami kepentingan hasilan dan jasa lingkungan
berhubung hasilan dan jasa tersebut sulit dihargai dengan uang karena tidak biasa
dipertukarkan denqan mekanisme pasar. Padahal banyak hasilan atau jasa lingkungan Iahan
basah yang secara ekonomi penting sekali bagi hanyak bentuk kegiatan manusia (Burbridqe,
1996). Sebaqai contoh, jasa lingkungan lahan basah menambat air membantu mengurangi
kerusakan karena banjir yang dapat dinilai dengan uang niilyaran rupiah. Contoh lain, jasa
lingkungan lahan basah nembersihkan air dapat dinilai dengan uang menurut pengurangan
pengeluaran untuk memelihara kesehatan ponduduk.
Ada hasilan yang diperoleh dari luar lahan basah yang dapat dijual sebetulnya
berasal dan lahan basah. Contoh, ikan dewasa yang tertangkap di hilir sungai berpijah dan
bertumbuh di lahan basah yang ada di hulu sungai. Seringkali jasa yang dibangkitkan lahan
basah utuh dirasakan maslahatnya di luar lahan basah. Oleb karena asas kausalitas peristiwa
alam tidak difahami, masyarakat umum tidak dapat menghargai upaya konservasi lahan
basah. Ketidakpedulian atau ketidaktanggapan akan masalah-masalah lingkungan dan
konservasi barangkali dapat dirunut ke kelemahan pendidikan lingkungan di dalam dan di
luar sekolah (Ponniah, 1997).
Ada nasabah (relationship) erat antara faktor biogeofisik, ekonomi, dan sosial-
budaya dalam kegiatan pengembangan lahan basah yang digambarkan oleh Burbridge
(1996) dengan diagram Venn berikut ini.

Tolong Dibuat (Bingung Abangmu)


Lebih-lebih dindamu!!!!!!

Gambar 1. Nasabah antara ketiga faktor pokok pengembangan lahan basah (menurut
Burbridge, 1996).
Nilai lahan basah ditentukan oleh fungsi yang dapat dijalankan, produk yang dapat
dihasilkan, dan maknanya sebagai ujud. Perbedaan ciri biofisik membawa serta perbedaan
nilai. Fungsi-fungsi terpenting yang dapat dijalankan oleh bagian besar atau semua kategori
lahan basah alami ialah imbuhan (recharge) air tanah, mengatur pelepasan (discharge) air
tanah, mengendalikan banjir, mengukuhkan (stabilize) garis pantai, mengendalikan erosi,
menambat sedimen, hara dan bahan beracun, dan mengukuhkan iklim mikro. Kemampuan
menambat bahan meracun dapat dimanfaatkan untuk membersihkan limbah cair dan
mengendalikan pencemaran oleh sumber baur (nonpoint source). Di Amerika Serikat juga
digunakan lahan basah buatan yang dirancang khusus untuk keperluan tersebut (Mitsch,
1922; Hammer, 1992). Lahan gambut berperan dalam mengendalikan emisi CO2 ke
atmosfer dengan memendam (sequester) C dalam bahan organik gambut, berarti membantu
menekan efek rumah kaca. Fungsi-fungsi yang dapat dijalankan menunjukkan bahwa lahan
basah alami berperan penting dalam menjaga keselamatan dan kelestarian lingkungan.
Produk-produk yang dapat dihasilkan lahan basah alami berasal dari sumberdaya
hutan (kayu, damar, buah, bahan obat), sumbedaya satwa liar (kulit, telur, madu),
sumberdaya akuatik (ikan), sumberdaya nabati yang menghasilkan hijauan pakan, dan
bekalan (supply) air dari air yang ditambat. Gambut berkemampuan menambat air sangat
besar. Setiap m3 gambut secara rerata dapat menambat air yang cukup untuk memenuhi
kebutuhan air rumahtangga satu orang selama 10 hari.
Lahan basah alami dapat dikembangkan untuk budidaya tanaman, ternak dan ikan.
orang Bugis dan Banjar mengembangkan lahan rawa pasang surut untuk budidaya padi
sawah. Orang Banjar juga mengembangkan budidaya padi sawah di lahan lebak, demikian
pula orang Palembang. Lahan lebak oleh orang Banjar juga dikembangkan untuk budidaya
ikan. Orang Jawa di Kedu, Bojonegoro dan Lamongan mengembangkan budidaya tanaman
pangan di lahan bonorowo. Lahan gambut di Palembang dan Kalimantan Barat oleh
penduduk setempat dikembangkan untuk hortikultura (nenas, sayuran). Di Malaysia dan
Amerika Serikat banyak lahan gambut dikembangkan untuk budidaya sayuran. Di Malaysia
lahan gambut juga dikembangkan untuk perkebunan kelapa sawit. Di Riau perkebunan
kelapa berkembang baik di lahan gambut. Sejarah pertanian berawal di dataran banjir,
seperti di dataran banjir S. Nil di Mesir, S. Mekong di Vietnam dan Kamboja, dan S.
Yangtze-kiang di Cina. Berdasarkan pengalaman tersebut kemudian orang
mengembangkan lahan basah buatan untuk budidaya padi (sawah) dan ikan (kolam,
tambak).
Sebagai ujud, lahan basah alami merupakan warisan alam khas berkenaan dengan keanekaan
hayati, plasma nutfah, ekosistem langka, dan gejala alam yang memikat. Semuanya ini
menjadikan lahan basah alami suatu kimah keilmuan (scientific asset) yang sangat berharga.

2.4 Potensi Ekonomis Lahan Basah


Masih banyak watak, perilaku, dan kegunaan sebenarnya lahan basah yang belum
kita ketahui dan fahami. Tanpa pengetahuan yang memadai, pengelolaan lahan basah tidak
mungkin menghasilkan kemaslahatan menyeluruh yang berkelanjutan, baik dari perspektif
ekonomi, sosial-budaya, maupun lingkungan. Indonesia memiliki lahan basah terluas di
kawasan tropika. Belum ada angka luas lahan basah dan luas lahan gambut di Indonesia
yang darat diterima umum. Ada yang menyebut luas lahan gambut Indonesia 17 juta ha dan
ada yang mengatakan 27 juta ha (Rieley. dkk., 1996). Barangkali dapat diterima kalau yang
27 juta ha adalah seluruh lahan basah, sedang yang 7 juta ha adalah lahan gambut. Angka
luas lahan gambut Indonesia yang lebih sening diajukan dalam pustaka internasional
ialah 17 juta ha (Maltby, 1986).
RePPProt mengajukan dua angka luas lahan gambut Indonesia yang berbeda
menurut pengukuran tahun 1988 dan 1990. Luas pada tahun 1988 dan 1990 masing-masing
ialah 20.072.825 ha dan 17.852.925 ha. Menurut Rieley, dkk. (1996), perbedaan antara
kedua angka tersebut barangkali berkaitan dengan perubahan penggunaan lahan dan
kehilangan lahan gambut karena penebangan hutan, pengatusan, dan pengembangan untuk
produksi dan pemukiman. Kehilangan lahan gambut paling besar selama dua tahun tersebut
(1988-1990) terjadi di Sumatera dari 8.253.450 ha berkurang nenjadi 6.941.250 ha, berarti
menyusut sehanyak 16%. Diantara begitu banyak masalah yang perlu ditelaah dan
ditangani untuk mengungkapkan hakikat lahan basah selengkapnya dan untuk
menentukan sistem
Pengelolaannya yang berkelanjutan ada beberapa masalah yang perlu diprioritaskan.
Dimana-mana 1ahan basah hilang atau berubah karena perusakan proses atau oleh
intensifikasi pertanian, urbanisasi, pencemaran, pembangunan bendung, pengalihan air
regional dan intervensi atas sistem ekologi dan hidrologi. Di negara-negara sedang
berkembang, kehilangan lahan basah pada gilirannya memberikan dampak berat atas
masyarakat Setempat yang hidupnya bergantung pada sumberdaya tersebut. Untuk dapat
menyelesaikan persoalannya, sebab-sebab pasti kehilangan lahan basah perlu diaalisis.
2.5 Rincian Sebab-sebab Kehilangan Lahan Basah
Hal yang paling utama berkenaan dengan sebab-sebab kehilangan lahan basah akibat
tindakan manusia ialah:
Secara langsung:- Pengatusan untuk pertanian, kehutanan, dan pengendalian nyamuk
- Penggalian saluran untuk navigasi dan perlindungan terhadap banjir
- Penimbunan atau peninggian lahan untuk jalan dan pembangunan
kawasan tempat tinggal dan industri
- Konversi untuk akuakultur atau marikultur
- Pembuatan bendung, tanggul, dan dinding penahan laut untuk
pengendalian banjir, pasokan air, dan irigasi
- Pelepasan pestisida, hara dan limbah rumah tangga dan aliran limpas
pertanian, serta sedimen
- Nenambang gambut untuk bahan bakar atau medium semai
- Penyedotan air bumi berlebihan

Secara taklangsung: - Pengalihan sedixnen oleh bendung dan saluran dalam


- Pengubahan hidrologi oleh saluran dan jalan
- Amblesan oleh pengatusan, pematangan tanah mineral, perubahan
fisik dan kimia gambut, serta penyedotan air bumi berlebihan
(disadur dan dijabarkan dari Dugan,
1990).
BAB III

PREVENTIFISASI KONVERSI LAHAN BASAH

Dilihat dari segi luasnya yang potensial bagi budidaya pertanian, dan asas
penghematan air irigasi, lahan basah di Indonesia perlu dimanfaatkan sebaik-baiknya.
Untuk perencanaan pengembangannya perlu dikenali kendala-kendalanya. Kendala pokok
ialah: (1) ketercapaian dan keterlintasannya biasanya buruk, (2) kekurangan tenaga kerja
setempat, (3) kesulitan penyediaan air rumah tangga yang memenuhi syarat, (4) persoalan
sanitasi dan kesehatan lingkungan untuk orang, tanaman dan ternak, (5) sistem layanan yang
sepadan belum siap, (6) nilainya sebagai cagar alam khas selalu menjadi sumber
pertentangan antara kebutuhan pelestarian (preservation) dan kebutuhan produksi serta
pemukiman penduduk, (7) merupakan ekosistem yang peka terhadap usikan karena
kemaujudannya dikendalikan oleh hidrologi, padahal pengaturan tata air justru menjadi
dasar pengembangannya, (8) tanahnya masih menjalani proses perkembangan aktif,
sehingga keterandalan data tanah cepat usang, (9) oleh karena pada jalur hirarki katener
lahan basah berada di hilir, keadaannya dipengaruhi sangat kuat oleh kejadian di hulu, dan
(10) perhatian terhadap tumbuhan yang secara alami beradaptasi pada lingkungan lahan
basah dan upaya pembudidayaannya untuk pangan masih langka.
Tidak semua bentuk lahan basah, bahkan tidak tidak semua lahan basah yang
sebentuk dapat menjalankan semua fungsi secara maksimal. Sehingga diperlukan pengaturan
penggunaan dengan sistem tata guna lahan. Sehingga dapat dilakukan reservasi terhadap
lahan basah tertent yang membutuhkan sesuai dengan fungsi perlindungan maupun fungsi
lanjutan (sustaining) produksi yang berlangsung di lahan lain maupun lahan basah. Sehingga
ada lahan basah yang boleh dikembangkan untuk produksi dengan teknik konservasi yang
baik. Untuk dapatmenetapkan tata guna lahan yang baik yang dapat manjamin preservasi,
konservasi dan produksi diperlukan informasi lengkap tentang watak lahan basah masing-
masing dan perilakunya dalam asosiasinya antar lahan basah.
Untuk menyelamatkan selaku sumberdaya marjinal maka diperlukan pembaharuan
sikap dan pola pikir. Dengan jelas Maltby (1986) mengemukakan bahwa ekonomi, rekayasa,
ekologi, dan lingkungan nukanlah hal yang terpisah melainkan suatu kesatuan yang disebut
ekosistem. Maka pengembangan lahan basah harus berlandaskan konsep holistik dan
perencanaan yang serba cukup (Comprehensive).
Oleh karena itu rekayasa merupakan solusi tepat yang dapat dilakukan sedangkan teknologi
merupakan hasil rekayasa sehingga suatu teknologi tertentu hanya berlaku khusus untuk
suatu ekosistem. Tiap lahan basah memerlukan teknologi yang cocok diterapkan di suatu
lahan basah tertentu, tidak dengan sendirinya cocok diterapkan pula dilahan basah yang lain.
Sehingga pendekatan teknologi yang tetap memperhatikan aspek lingkungan dan
keberlanjutan ekosistem merupakan hal yang sangat perlu untuk dijadikan faktor penentu
lestarinya lahan basah.
BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

Secara sistematis, setelah membedah mengenai Lahan Basah terkait tentang Fungsi
dan Potensinya maka kami dapat menyimpulkan sebagai berikut :
- Lahan basah merupakan lahan yang produktif untuk dikembangkan karena tidak
hanya memanfaatkan aspek keberlanjutan kelestarian populasi tanaman melainkan
keberlanjutan populasi ekosistem lain dapat dipengaruhi dan dikembangkan antara
lain populasi air, hewan, dan keberlanjutan Biodiversitasnya.
- Secara teknis lahan basah memiliki potensi Biofisik dan potensi Ekonomis yang
dapat menambah pengahasilan masyarakat secara umum dan negara secara khusus
disebabakan banyaknya keterkaitan ekologis yang terkait di dalamnya.
- Lahan basah juga disamping sangat potensil untuk dikembangkan di bangsa kita juga
perlu diperhatikan konservasinya serta pemanfaatannya secara maksimal dan tidak
hanya menitikberatkan pada lahan kering.
DAFTAR PUSTAKA

Burbridge, P. 1996. Social. Cultural and economic factors that influence the sustainable
development of peatlands. Dalam: E. Maltby. C.P Immirzi & R.J Safford (eds).
Tropical Lawland Peatlands of Southeast Asia. IUCN. Gland, Switzerland. H 163 –
171

Cassel. D.K, 1997. Foreword. Dalam: M.J Vaprekas & S.W . Spracher (eds). Aquic
condition and Hydric soils: The Problem Soil. SSSA Spesial Publication Number
50. h vii

Dugan. P.J. (ed). 1990. Wetland conservation. The World conservation Union. Gland,
Switzerland. 96 h

Maltby, E. 1986. Waterlogged wealth. An Earthscan paperback. Int. Inst. For Environment
and Development. London. 200h

Rieley, J.O. A.A. Ahmad-Shah. & M.A. Brady. 1996. The Extent and nature of tropical peat
swamps. Dalam: E. Maltby. C.P Immirzi & R.J Safford (eds). Tropical Lawland
Peatlands of Southeast Asia. IUCN. Gland, Switzerland. H 7 - 53

Suripin, 2004. Pelestarian Sumber Daya Tanah dan Air. Penerbit Andi. Yogyakarta.

www.puslittan.bogor.net/berkasPDF/JurnalPP/2006/Nomor-1/08-Sanchez- 2006.pdf
TUGAS KELOMPOK LAHAN BASAH DAN PESISIR
DOSEN : Dr. Ir. MUH. NATHAN, M. Agr

FUNGSI & POTENSI


LAHAN BASAH DAN PESISIR

OLEH :
KELOMPOK 2
Mansyur Lolo Tembu G211 06 026
Ratna Dwi Ariyanti G211 06 004
Aulia Saraswaty G211 06 003
Jurusan Ilmu Tanah
Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin
Makassar
2009

You might also like