You are on page 1of 26

Skenario 1 GIT Chyndita Arti Pranesya

Nyeri Ulu Hati (1102010057)



LI 1. Memahami dan Menjelaskan Anatomi Saluran Pencernaan Bagian Atas
LO 1.1 Makroskopik
Gaster (lambung) merupakan bagian saluran pencernaan yang melebar dan mempunyai
tiga fungsi: (a) menyimpan makananpada orang dewasa, gaster mempunyai kapasitas sekitar
1500 ml; (b) mencampur makanan dengan getah lambung untuk membentuk kimus yang
setengah cair; dan (c) mengatur kecepatan pengiriman kimus ke usus halus sehingga pencernaan
dan absorbsi yang efisien dapat berlangsung.
Gaster terletak di bagian atas abdomen, terbentang dari permukaan bawah arcus costalis
sinistra sampai regio epigastrica dan umbilicalis. Sebagian besar gaster terletak di bawah costae
bagian bawah. Secara kasar, gaster berbentuk huruf J dan mempunyai dua lubang, ostium
cardiacum dan ostium pyloricum; dua curvatura, curvatura major dan curvatura minor; dan
dua dinding, paries anterior dan paries posterior.
Gaster relatif terfiksasi pada kedua ujungnya, tetapi di antara ujung-ujung tersebut gaster
sangat mudah bergerak. Gaster cenderung terletak tinggi dan transversal pada orang pendek dan
gemuk (gaster steer-horn) dan memanjang vertikal pada orang yang tinggi dan kurus (gaster
berbentuk huruf J). Bentuk gaster sangat berbeda-beda pada orang yang sama dan tergantung
pada isi, posisi tubuh, dan fase pernafasan.

Gambar 1-1. Anatomi makroskopis lambung/gaster



Gaster dibagi menjadi bagian-bagian berikut:
Fundus gastricum berbentuk kubah, menonjol ke atas dan terletak di sebelah kiri ostium
cardiacum. Biasanya fundus berisi penuh udara.
Corpus gastricum terbentak dari ostium cardiacum sampai incisura angularis, suatu lekukan
yang ada pada bagian bawah curvatura minor.
Anthrum pyloricum terbentang dari incisura angularis sampai pylorus.
Pylorus merupakan bagian gaster yang berbentuk tubular. Dinding otot pylorus yang tebal
membentuk musculus sphincter pyloricus. Rongga pylorus dinamakan canalis pyloricus.

a. Pendarahan gaster
Arteriae berasal dari cabang truncus coeliacus.
- Arteria gastrica sinistra berasal dari truncus coeliacus. Arteri ini berjalan ke atas dan
kiri untuk mencapai oesophagus dan kemudian berjalan turun sepanjang curvatura
minor gaster. Arteria gastrica sinistra mendarahi 1/3 bawah oesophagus dan bagian atas
kanan gaster.
- Arteria gastrica dextra berasal dari arteria hepatica communis pada pinggir atas
pylorus dan berjalan ke kiri sepanjang curvatura minor. Arteria ini mendarahi bagian
kanan bawah gaster.
- Arteriae gastricae breves berasal dari arteria lienalis pada hilum lienale dan berjalan
ke depan di dalam ligamentum gastrosplenicum untuk mendarahi fundus.
- Arteria gastroomentalis sinistra berasal dari arteria splenica pada hilum lienale dan
berjalan ke depan di dalam ligamentum gastrolienale untuk mendarahi gaster sepanjang
bagian atas curvatura major.
- Arteria gastroomentalis dextra berasal dari arteria gastroduodenalis yang
merupakan cabang arteria hepatica communis. Arteria ini berjalan ke kiri dan
mendarahi gaster sepanjang bawah curvatura major.

Venae. Vena-vena ini mengalirkan darah ke dalam sirkulasi portal. Vena gastrica sinistra
dan dextra bermuara langsung ke vena porta hepatis. Venae gastricae breves dan vena
gastroomentalis sinistra bermuara ke dalam vena lienalis. Vena gastroomentalis
dextra bermuara ke dalam vena mesentrica superior.

b. Persarafan gaster
Persarafan ini termasuk serabut-serabut simpatis yang berasal dari plexus coeliacus dan
serabut-serabut parasimpatis dari nervus vagus dextra dan sinistra.
Truncus vagalis anterior yang dibentuk di dalam thorax, terutama berasal dari nervus
vagus sinistra, memasuki abdomen pada permukaan anterior oesophagus. Truncus, yang
mungkin tunggal atau multipel, kemudian terbagi menjadi cabang-cabang yang menyarafi
permukaan anterior gaster. Sebuah cabang hepaticus yang besar berjalan ke atas menuju
hepar, dan di sini membentuk ramus pyloricus yang berjalan turun ke pylorus.
Truncus vagalis posterior, yang dibentuk di dalam thorax, terutama berasal dari nervus
vagus dextra, memasuki abdomen pada permukaan posterior oesophagus. Selanjutnya
truncus membentuk cabang-cabang yang menyarafi permukaan posterior gaster. Suatu cabang
yang besar berjalan menuju plexus coeliacus dan plexus mesentricus superior dan kemudian
didistribusikan ke usus sampai flexura coli sinistra dan ke pancreas.
Persarafan simpatis gaster membawa serabut-serabut rasa nyeri, sedangkan serabut
parasimpatis nervus vagus membawa secretomotoris untuk glandulae gastricae dan serabut
motoris untuk tunica muscularis gaster. Musculus sphincter pyloricus menerima serabut
motoris dari sistem simpatis dan serabut inhibitor dari nervus vagus.

LO 1.2 Mikroskopik
Peralihan Oesophagus-Gaster (Cardiac)









Merupakan segmen saluran pencernaan yang melebar, fungsi utama menambah cairan makanan,
mengubahnya menjadi bubur dan melanjutkan proses pencernaan. Ada 3 daerah struktur histologis yang
berbeda yaitu, corpus, fundus dan pylorus. Peralihan oesophagus dan lambung disebut oesophagus-cardia,
epitel berlapis gepeng oesophagus beralih menjadi epitel selapis toraks pada cardia. Mukosa cardia terlihat
berlipat-lipat disebut foveola gastrica. Didalam lamina propria terdapat kelenjar terpotong melintang
(kelenjar tubulosa berkelok-kelok), dapat meluas ke dalam lamina propria oesophagus.


kardia
Esofagus



T. Muskularis eksterna
T. submukosa

Setelah mencapai cardia, kelenjar oesophagus di submukosa tidak ada lagi. Tunica muscularis circularis menebal
membentuk sphincter.



Gaster
Epitel terdiri dari sel silindris mensekresi mukus (PAS-positif). Permukaan lambung ditandai dengan lipatan mukosa
disebut rugae. Dalam lipatan terdapat invaginasi atau cekungan disebut gastric-pits atau foveolae gastrica. Di dalam
mukosa terdapat kelenjar-kelenjar yang bermuara pada foveolae gastrica.
Fundus
Mukosa diliputi epitel selapis toraks. Pada dasar faveola gastrica bermuara kelenjar fundus, kelenjar tubulosa
simpleks dan lurus. Foveolae gastrica sepertiga tebal mukosa (dangkal), sedang kelenjarnya (fundus) dua pertiga
tebal mukosa, terletak dalam lamina propria.

Ada 4 macam sel kelenjar :
1. Sel mucus leher (neck cell), terdapat di leher kelenjar, mirip sel epitel mukosa. Bagian apikal sel kadang-
kadang mengandung granula.
2. Sel HCl (parietal cell). Bentuk sepertiga atau bulat, terdapat dibagian isthmus kelenjar. Sitoplasma merah
(asidofil), inti ditengah, kromatin padat
3. Sel zimogen (chief cell). Sel bentuk mirip sel HCl, tidak teratur, sitoplasma basofil (biru), inti terletak di basal.
Terdapat banyak dibagian bawah kelenjar.
4. Sel argentaffin (sediaan HE, sukar dijumpai). Dinding serupa saluran cerna yang lain, seperti, tunica
muscularis mucosa, tunica submucosa, tunica muscularis dengan lapisan circular lebih tebal dan tunica serosa.





Pylorus
Berbeda dengan fundus foveolae gastrica lebih dalam. Sel-sel kelenjar hampir homogen, semua sel mucus kelenjar
pylorus sering berkelok-kelok di dalam lamina propria. Kadang-kadang ditemukan nodulus lymphaticus yang
menembus sampai tunica submucosa. Tunica muscularis, dengan lapisan circular amat tebal membentuk sphincter.

Peralihan Gaster-Duodenum
Perubahan histologis dari dinding gaster pylorus ke dinding duodenum. Tunica mucosa epitel toraks, yang pada
bagian duodenum mulai terdapat sel goblet. Pada duodenum mulai terdapat tonjolan ke permukaan villus intestinal
yang gemuk atau lebar dengan sel goblet dan criptus atau sumur Lieberkuhn. Pada pylorus terdapat kelenjar pylorus.
Ciri khas duodenum adalah adanya kelenjar Brunner atau mucu. Tunica adventitia pada duodenum, tidak terbungkus
peritoneum.












Epitel berlapis gepeng
Tanpa lpsn tanduk
Epitel selapis
torak
Kelenjar
esofagus
LI 2. Memahami dan menjelaskan Fisiologi Pencernaan
LO 2.1 Mekanisme Sistem Pencernaan
Kecepatan sekresi lambung dapat dipengaruhi oleh (1) faktor-faktor yang muncul sebelum
makanan mencapai lambung; (2) faktor-faktor yang timbul akibat adanya makanan di dalam
lambung; dan (3) faktor-faktor di duodenum setelah makanan meninggalkan lambung. Dengan
demikian, diaktifkan, pepsin secara autokatalis mengaktifkan lebih banyak pepsinogen dan
memulai pencernaan protein. Sekresi pepsiongen dalam bentuk inaktif mencegah pencernaan
protein struktural sel tempat enzim tersebut dihasilkan. Pengaktifan pepsinogen tidak terjadi
sampai enzim tersebut menjadi lumen dan berkontak dengan HCl yang disekresikan oleh sel lain
di kantung-kantung lambung. Sekresi lambung dibagi menjadi tiga fasefase sefalik, fase
lambung, dan fase usus.

c. Fase sefalik terjadi sebelum makanan mencapai lambung. Masuknya makanan ke dalam mulut
atau tampilan, bau, atau pikiran tentang makanan dapat merangsang sekresi lambung.

d. Fase lambung terjadi saat makanan mencapai lambung dan berlangsung selama makanan
masih ada.
Peregangan dinding lambung merangsang reseptor saraf dalam mukosa lambung dan
memicu refleks lambung. Serabut aferen menjalar ke medula melalui saraf vagus. Serabut
eferen parasimpatis menjalar dalam vagus menuju kelenjar lambung untuk menstimulasi
produksi HCl, enzim-enzim pencernaan, dan gastrin.
Fungsi gastrin:
- merangsang sekresi lambung,
- meningkatkan motilitas usus dan lambung,
- mengkonstriksi sphincter oesophagus bawah dan merelaksasi sphincter pylorus,
- efek tambahan: stimulasi sekresi pancreas.
Pengaturan pelepasan gastrin dalam lambung terjadi melalui penghambatan umpan balik
yang didasarkan pada pH isi lambung.
- Jika makanan tidak ada di dalam lambung di antara jam makan, pH lambung akan rendah
dan sekresi lambung terbatas.
- Makanan yang masuk ke lambung memiliki efek pendaparan (buffering) yang
mengakibatkan peningkatan pH dan sekresi lambung.

e. Fase usus terjadi setelah kimus meninggalkan lambung dan memasuki usus halus yang
kemudian memicu faktor saraf dan hormon.
Sekresi lambung distimulasi oleh sekresi gastrin duodenum sehingga dapat berlangsung
selama beberapa jam. Gastrin ini dihasilkan oleh bagian atas duodenum dan dibawa dalam
sirkulasi menuju lambung.
Sekresi lambung dihambat oleh hormon-hormon polipeptida yang dihasilkan duodenum.
Hormon ini dibawa sirkulasi menuju lambung, disekresi sebagai respon terhadap asiditas
lambung dengan pH di bawah 2, dan jika ada makanan berlemak. Hormon-hormon ini
meliputi gastric inhibitory polipeptide (GIP), sekretin, kolesistokinin (CCK), dan hormon
pembersih enterogastron.

LO 2.2 Mekanisme Motorik
Terdapat empat aspek motilitas lambung: (1) pengisian lambung/gastric filling, (2)
penyimpanan lambung/gastric storage, (3) pencampuran lambung/gastric mixing, dan (4)
pengosongan lambung/gastric emptying.

f. Pengisian lambung
Jika kosong, lambung memiliki volume sekitar 50 ml, tetapi organ ini dapat mengembang
hingga kapasitasnya mencapai 1 liter (1.000 ml) ketika makan. Akomodasi perubahan volume
yang besarnya hingga 20 kali lipat tersebut akan menimbulkan ketegangan pada dinding
lambung dan sangat meningkatkan tekanan intralambung jika tidak terdapat dua faktor
berikut ini:
Plastisitas otot lambung. Plastisitas mengacu pada kemampuan otot polos lambung
mempertahankan ketegangan konstan dalam rentang panjang yang lebar, tidak seperti otot
rangka dan otot jantung, yang memperlihatkan hubungan ketegangan. Dengan demikian,
saat serat-serat otot polos lambung teregang pada pengisian lambung, serat-serat tersebut
melemas tanpa menyebabkan peningkatan ketegangan otot.
Relaksasi reseptif lambung. Relaksasi ini merupakan relaksasi refleks lambung sewaktu
menerima makanan. Relaksasi ini meningkatkan kemampuan lambung mengakomodasi
volume makanan tambahan dengan hanya sedikit mengalami peningkatan tekanan. Tentu
saja apabila lebih dari 1 liter makanan masuk, lambung akan sangat teregang dan individu
yang bersangkutan merasa tidak nyaman. Relaksasi reseptif dipicu oleh tindakan makan
dan diperantarai oleh nervus vagus.

g. Penyimpanan lambung
Tabel 2-1. Stimulasi Sekresi Lambung
Sebagian otot polos mampu mengalami depolarisasi parsial yang autonom dan berirama. Salah
satu kelompok sel-sel pemacu tersebut terletak di lambung di daerah fundus bagian atas. Sel-
sel tersebut menghasilkan potensial gelombang lambat yang menyapu ke bawah di sepanjang
lambung menuju sphincter pylorus dengan kecepatan tiga gelombang per menit. Pola
depolarisasi spontan ritmik tersebut, yaitu irama listrik dasar atau BER (basic electrical
rhythm) lambung, berlangsung secara terus menerus dan mungkin disertai oleh kontraksi
lapisan otot polos sirkuler lambung.
Setelah dimulai, gelombang peristaltik menyebar ke seluruh fundus dan corpus lalu ke
antrum dan sphincter pylorus. Karena lapisan otot di fundus dan corpus tipis, kontraksi
peristaltik di kedua daerah tersebut lemah. Pada saat mencapai antrum, gelombang menjadi
jauh lebih kuat disebabkan oleh lapisan otot di antrum yang jauh lebih tebal.
Karena di fundus dan corpus gerakan mencampur yang terjadi kurang kuat, makanan yang
masuk ke lambung dari oesophagus tersimpan relatif tenang tanpa mengalami pencampuran.
Daerah fundus biasanya tidak menyimpan makanan, tetapi hanya berisi sejumlah gas.
Makanan secara bertahap disalurkan dari corpus ke antrum, tempat berlangsungnya
pencampuran makanan.

h. Pencampuran lambung
Kontraksi peristaltik lambung yang kuat merupakan penyebab makanan bercampur dengan
sekresi lambung dan menghasilkan kimus. Setiap gelombang peristaltik antrum mendorong
kimus ke depan ke arah sphincter pylorus. Sebelum lebih banyak kimus dapat diperas keluar,
gelombang peristaltik sudah mencapai sphincter pylorus dan menyebabkan sphincter tersebut
berkontraksi lebih kuat, menutup pintu keluar dan menghambat aliran kimus lebih lanjut ke
dalam duodenum. Bagian terbesar kimus antrum yang terdorong ke depan, tetapi tidak dapat
didorong ke dalam duodenum dengan tiba-tiba berhenti pada sphincter yang tertutup dan
tertolak kembali ke dalam antrum, hanya untuk didorong ke depan dan tertolak kembali pada
saat gelombang peristaltik yang baru datang. Gerakan maju-mundur tersebut, yang disebut
retropulsi, menyebabkan kimus bercampur secara merata di antrum.

i. Pengosongan lambung
Kontraksi peristaltik antrumselain menyebabkan pencampuran lambungjuga
menghasilkan gaya pendorong untuk mengosongkan lambung. Jumlah kimus yang lolos ke
dalam duodenum pada setiap gelombang peristaltik sebelum sphincter pylorus tertutup erat
terutama bergantung pada kekuatan peristalsis. Intensitas peristalsis antrum dapat sangat
bervariasi di bawah pengaruh berbagai sinyal dari lambung dan duodenum; dengan demikian,
pengosongan lambung diatur oleh faktor lambung dan duodenum.
Faktor di lambung yang mempengaruhi kecepatan pengosongan lambung. Faktor lambung
utama yang mempengaruhi kekuatan kontraksi adalah jumlah kimus di dalam lambung.
Apabila hal-hal lain setara, lambung mengosongkan isinya dengan kecepatan yang sesuai
dengan volume kimus setiap saat. Peregangan lambung memicu peningkatan motilitas
lambung melalui efek langsung peregangan pada otot polos serta melalui keterlibatan plexus
intrinsik, nervus vagus, dan hormon lambung gastrin. Selain itu, derajat keenceran (fluidity)
kimus di dalam lambung juga mempengaruhi pengosongan lambung. Semakin cepat derajat
keenceran dicapai, semakin cepat isi lambung siap dievakuasi.
Faktor di duodenum yang mempengaruhi kecepatan pengosongan lambung. Walaupun
terdapat pengaruh lambung, faktor di duodenumlah yang lebih penting untuk mengontrol
kecepatan pengosongan lambung. Duodenum harus siap menerima kimus dan dapat bertindak
untuk memperlambat pengsongan lambung dengan menurunkan aktivitas peristaltik di
lambung sampai duodenum siap mengakomodasi tambahan kimus. Bahkan, sewaktu lambung
teregang dan isinya sudah berada dalam bentuk cair, lambung tidak dapat mengosongkan
isinya sampai duodenum siap menerima kimus baru.

LO 2.3 Mekanisme Biokimia
Karbohidrat
Karbohidrat diklasifikasikan menjadi monosakarida (glukosa, galaktosa, dan fruktosa), disakarida
(maltosa, laktosa, sukrosa), oligosakarida dan polisakarida (amilum/pati). Dalam kondisi sehari-hari,
ada tiga sumber utama karbohidrat dalam diet makanan, yaitu sukrosa (gula pasir), laktosa (gula
susu) dan pati/starch (gula tumbuhan).
Pencernaan karbohidrat dimulai semenjak berada di mulut. Enzim ptyalin (amilase) yang
dihasilkan bersama dengan liur akan memecah polisakarida menjadi disakarida. Enzim ini bekerja di
mulut sampai fundus dan korpus lambung selama satu jam sebelum makanan dicampur dengan
sekret lambung. Enzim amilase juga dihasilkan oleh sel eksokrin pankreas, di mana ia akan dikirim
dan bekerja di lumen usus halus sekitar 15-30 menit setelah makanan masuk ke usus halus. Amilase
bekerja dengan cara mengkatalisis ikatan glikosida (14) dan menghasilkan maltosa dan beberapa
oligosakarida.
Setelah polisakarida dipecah oleh amilase menjadi disakarida, maka selanjutnya ia kembali
dihidrolisis oleh enzim-enzim di usus halus. Berbagai disakaridase (maltase, laktase, sukrase, -
dekstrinase) yang dihasilkan oleh sel-sel epitel usus halus akan memecah disakarida di brush border
usus halus. Hasil pemecahan berupa gula yang dapat diserap yaitu monosakarida, terutama glukosa.
Sekitar 80% karbohidrat diserap dalam bentuk glukosa, sisanya galaktosa dan fruktosa. Glukosa dan
galaktosa diserap oleh usus halus melalui transportasi aktif sekunder. Dengan cara ini, glukosa dan
Tabel 2-2. Faktor yang mengatur motilitas dan pengosongan lambung
galaktosa dibawa masuk dari lumen ke interior sel dengan memanfaatkan gradien konsentrasi Na
+

yang diciptakan oleh pompa Na
+
basolateral yang memerlukan energi melalui protein pengangkut
SGLT-1. Setelah dikumpulkan di dalam sel oleh pembawa kotranspor, glukosa dan galaktosa akan
keluar dari sel mengikuti penurunan gradien konsentrasi untuk masuk ke kapiler darah. Sedangkan
frukosa diserap ke dalam sel melalui difusi terfasilitasi pasif dengan bantuan pengangkut GLUT-5.
Lemak
Lemak merupakan suatu molekul yang tidak larut air, umumnya berbentuk trigliserida (bentuk lain
adalah kolesterol ester dan fosfolipid). Pencernaan lemak dilakukan oleh lipase yang dihasilkan oleh
sel eksokrin pankreas. Lipase yang dihasilkan pankreas ini akan dikirim ke lumen usus halus dan
menghidrolisis trigliserida menjadi asam lemak dan monogliserida. Selain dihasilkan oleh sel lipase
pankreas, juga diketahui bahwa lipase juga dihasilkan oleh kelenjar lingual dan enterosit, namun
lipase yang dihasilkan oleh bagian ini hanya mencerna sedikit sekali lemak sehingga tidak begitu
bermakna.
Untuk memudahkan pencernaan dan penyerapan lemak, maka proses tersebut dibantu oleh garam
empedu yang dihasilkan oleh kelenjar hepar (hati). Garam empedu memiliki efek deterjen, yaitu
memecah globulus-globulus lemak besar menjadi emulsi lemak yang lebih kecil (proses
emulsifikasi). Pada emulsi tersebut, lemak akan terperangkap di dalam molekul hidrofobik garam
empedu, sedangkan molekul hidrofilik garam empedu berada di luar. Dengan demikian lemak
menjadi lebih larut dalam air sehingga lebih mudah dicerna dan meningkatkan luas permukaan
lemak untuk terpajan dengan enzim lipase.
Setelah lemak (trigliserida) dicerna oleh lipase, maka monogliserida dan asam lemak yang dihasilkan
akan diangkut ke permukaan sel dengan bantuan misel (micelle). Misel terdiri dari garam empedu,
kolesterol dan lesitin dengan bagian hidrofobik di dalam dan hidrofilik di luar (permukaan).
Monogliserida dan asam lemak akan terperangkap di dalam misel dan dibawa menuju membran
luminal sel-sel epitel. Setelah itu, monogliserida dan asam lemak akan berdifusi secara pasif ke
dalam sel dan disintesis kembali membentuk trigliserida. Trigliserida yang dihasilkan akan
dibungkus oleh lipoprotein menjadi butiran kilomikron yang larut dalam air. Kilomikron akan
dikeluarkan secara eksositosis ke cairan interstisium di dalam vilus dan masuk ke lakteal pusat
(pembuluh limfe) untuk selanjutnya dibawa ke duktus torasikus dan memasuki sistem sirkulasi.
Selain lipase, terdapat enzim lain untuk mencerna lemak golongan nontrigliserida seperti kolesterol
ester hidrolase (untuk mencerna kolesterol ester) dan fosfolipase A
2
(untuk mencerna fosfolipase).
Khusus untuk asam lemak rantai pendek/sedang dapat langsung diserap ke vena porta hepatika tanpa
harus dikonversi (seperti trigliserida), hal ini disebabkan oleh sifatnya yang lebih larut dalam air
dibandingkan dengan trigliserida.
Protein
Pencernaan protein (pemutusan ikatan peptida) dilakukan terutama di antrum lambung dan usus
halus (duodenum dan jejunum). Sel utama (chief cell) lambung menghasilkan pepsin yang
menghidrolisis protein menjadi fragmen-fragmen peptida. Pepsin akan bekerja pada suasana asam
(pH 2.0-3.0) dan sangat baik untuk mencerna kolagen (protein yang terdapat pada daging-dagingan).
Selanjutnya, sel eksokrin pankreas akan menghasilkan berbagai enzim, yaitu tripsin, kimotripsin,
karboksipeptidase, dan elastase yang akan bekerja di lumen usus halus. Tiap-tiap enzim akan
menyerang ikatan peptida yang berbeda dan menghasilkan campuran asam amino dan rantai peptida
pendek. Hasil dari pencernaan oleh protease pankreas kebanyakan masih berupa fragmen peptida
(dipeptida dan tripeptida), hanya sedikit berupa asam amino.
Setelah itu sel epitel usus halus akan menghasilkan enzim aminopeptidase yang akan menghidrolisis
fragmen peptida menjadi asam-asam amino di brush border usus halus. Hasil dari pencernaan ini
adalah asam amino dan beberapa peptida kecil.
Setelah dicerna, asam amino yang terbentuk akan diserap melalui transpor aktif sekunder (seperti
glukosa dan galaktosa). Sedangkan peptida-peptida kecil masuk melalui bantuan pembawa lain dan
diuraikan menjadi konstituen asam aminonya oleh peptidase intrasel di sitosol enterosit. Setelah
diserap, asam-asam amino akan dibawa masuk ke jaringan kapiler yang ada di dalam vilus.
Garam dan air
Natrium dapat diserap secara pasif atau aktif di usus halus maupun di usus besar. Secara pasif Na
+
dapat berdifusi di antara sel-sel epitel melalui taut erat yang bocor. Secara aktif, Na
+
menembus sel
dengan bantuan pompa Na
+
bergantung ATPase. Pompa ini akan memindahkan Na
+
melawan
gradien konsentrasinya dan proses tersebut memerlukan energi. Setelah berada di dalam sel, Na
+

akan dipompa secara aktif ke ruang lateral dan berdifusi ke dalam kapiler untuk selanjutnya diangkut
menuju sistem sirkulasi. Perpindahan Na
+
tersebut dapat mempengaruhi perpindahan zat-zat lain
seperti Cl
-
, glukosa, dan asam amino, hal ini disebut sebagai transpor aktif sekunder.
Penyerapan (perpindahan) Na
+
akan menciptakan daerah dengan tekanan osmotik yang tinggi di
antara sel-sel. Dengan adanya tekanan osmotik yang tinggi ini, air (H
2
O) akan masuk menembus sel
menuju ruang lateral (untuk menurunkan tekanan osmotik yang tinggi tersebut). Masuknya air
mengakibatkan peningkatan tekanan hidrostatik, sehingga air tersebut akan didorong lagi ke ruang
interior vilus untuk selanjutnya diserap di kapiler darah.
Vitamin
Pada umumnya vitamin larut-air akan diserap bersama dengan air, dan vitamin larut-lemak akan
diangkut ke dalam misel dan diserap secara pasif bersama dengan produk akhir pencernaan lemak.
Adapun vitamin B
12
bersifat unik, karena harus berikatan dengan faktor intrinsik yang dihasilkan
oleh sel parietal agar dapat diserap di ileum terminal.
Ion bikarbonat
Penyerapan ion bikarbonat agak sedikit berbeda dibandingkan dengan penyerapan zat-zat lainnya.
Ketika sodium (Na
+
) diserap oleh sel epitel, akan dilepaskan ion H
+
ke lumen usus. Ion H
+
ini akan
berikatan dengan ion bikarbonat menjadi asam karbonat (H
2
CO
3
). Selanjutnya, asam karbonat ini
akan terdisasosiasi menjadi air dan karbon dioksida. Air akan diserap secara osmosis, sedangkan
karbon dioksida akan diserap ke kapiler darah dan dikeluarkan dari tubuh melalui paru.
Besi dan kalsium
Besi diserap sesuai dengan kebutuhan tubuh (tidak semua besi yang masuk akan diserap). Dari
lumen, besi akan dipindahkan ke sel epitel melalui transpor aktif, di mana besi Fe
2+
lebih mudah
diserap dibanding besi Fe
3+
. Dari epitel, besi kemungkinan akan diangkut ke kapiler darah oleh
transferin atau disimpan di sel dalam bentuk ferritin. Sedangkan penyerapan kalsium (Ca
2+
) terjadi di
duodenum, melalui transpor aktif yang bergantung kepada pengaturan oleh hormon paratiroid dan
vitamin D (vitamin D akan menginduksi sintesis kalbindin, suatu protein pengikat kalsium intrasel).
Penyerapan kalsium dapat dihambat oleh asam fitat, yang terdapat dalam sereal.
Ion-ion lain
Potassium, magnesium, pospat dan ion lain diserap di mukosa intestinal. Ion monovalen lebih mudah
diserap dibandingkan dengan ion bivalen. Walaupun demikian, hanya sedikit ion bivalen yang
dibutuhkan oleh tubuh manusia.

LI 3. Memahami dan Menjelaskan Dispepsia
LO 3.1 Definisi

Istilah dispepsia berkaitan dengan makanan dan menggambarkan keluhan atau kumpulan gejala yang
terdiri dari nyeri atau rasa tidak nyaman di epigastrium, mual, muntah, kembung, cepat kenyang, rasa
perut penuh, sendawa, regurgitasi dan rasa panas yang menjalar di dada. Sindrom atau keluhan ini dapat
disebabkan atau didasari berbagai macam penyakit.

Definisi dispepsia menurut kriteria Rome III adalah salah satu atau lebih gejala dibawah ini :
Rasa penuh setelah makan (yang diistilahkan postprandial distress syndrome)
Rasa cepat kenyang (yang berarti ketidakmampuan untuk menghabiskan ukuran makan normal atau
rasa penuh setelah makan)
Rasa nyeri epigastrik atau seperti rasa terbakar (diistilahkan epigastric pain syndrome)

Dalam konsensus Roma II tahun 2000, disepakatai bahwa definisi disepsia sebagai dyspepsia
refers to pain or discomfort centered in the upper abdomen (dispepsia merupakan rasa sakit atau
tidak nyaman di daerah abdomen atas).

LO 3.2 Etiologi
Penyebab dispepsia dapat diklasifikasikan menjadi dispepsia organik dan dispepsia fungsional. Penyebab
dispepsia organik antara lain esofagitis, ulkus peptikum, striktura esophagus jinak, keganasan saluran
cerna bagian atas, iskemia usus kronik, dan penyakit pankreatobilier.1 Sedangkan dispepsia fungsional
mengeksklusi semua penyebab organik. Etiologi dari dispepsia dapat dilihat pada tabel 1 dan dispepsia
fungsional dapat dilihat pada tabel 2.

Tabel 1. Etiologi dispepsia
Esofago gastro duodenal Tukak peptik, gastritis kronis, gastritis NSAID, keganasan
Obat-obatan Antiinflamasi non steroid, teofilin, digitalis, antibiotik
Hepatobilier Hepatitis, Kolesistitis, Kolelitiasis, Keganasan, Disfungsi sfinkter
Oddi
Pankreas Pankreatitis, keganasan
Penyakit sistemik lain Diabetes mellitus, penyakit tiroid, gagal ginjal, kehamilan,
penyakit jantung koroner / iskemik

Gangguan fungsional Dispepsia fungsional, irritable bowel syndrome


Tabel 2. Mekanisme terjadinya gejala dispepsia pada dispepsia fungsional
Hipersensitivitas viseral
o Meningkatnya persepsi distensi
o Gangguan persepsi asam
o Hipersensitivitas viseral sebagai konsekuensi inflamasi kronik
Gangguan motilitas
o Hipomotilitas antral post prandial
o Menurunnya relaksasi fundus gaster
o Menurunnya atau gangguan pengosongan lambung
o Refluks gastro-esofageal
o Refluks duodeno-gaster
Perubahan sekresi asam
o Hiperasiditas
Infeksi kuman Helicobacter pylori
Stress
Gangguan dan kelainan psikologis
Predisposisi genetik

Beberapa obat dapat juga menyebabkan keluhan dispepsia seperti terlihat pada tabel 3. Pada umumnya
adalah OAINS (Obat Anti Inflamasi Non Steroid) yang dapat merusak mukosa sehingga menyebabkan
gastritis.

Tabel 3. Obat-obatan yang dapat menyebabkan keluhan dispepsia
Acarbose
Aspirin, Obat anti inflamasi non steroid
Colchicine
Digitalis
Estrogen
Gemfibrozil
Glukokortikoid
Preparat besi
Levodopa
Narkotik
Niasin
Nitrat
Orlistat
Potassium klorida
Quinidine
Sildenafil
Teofilin

LO 3.3 Klasifikasi
Sindroma dispepsia ini biasanya diderita sudah beberapa minggu atau bulan, yang sifatnya hilang
timbul atau terus-menerus. Karena banyaknya penyebab yang menimbulkan kumpulan gejala
tersebut, maka sindroma dispepsia dapat diklasifikasian menjadi (1) dispepsia organik dan (2)
dispepsia non-organik atau dispepsia fungsional.

a. Dispepsia organik
Dispepsia organik jarang ditemukan pada usia muda, tetapi banyak ditemukan pada usia lebih
dari 40 tahun. Istilah dispepsia organik baru dapat digunakan bila penyebabnya sudah jelas,
antara lain:
Dispepsia tukak (ulcer-like dyspepsia). Keluhan penderita yang sering diajukan adalah
rasa nyeri di ulu hati. Berkurang atau bertambahnya rasa nyeri ada hubungannya dengan
makanan, pada tengah malam sering terbangun karena nyeri atau pedih di ulu hati. Hanya
dengan pemeriksaan endoskopi dan radiologi dapat menentukan adanya tukak lambung
atau di duodenum.
Dispepsia bukan tukak. Mempunyai keluhan yang mirip dengan dispepsi tukak. Biasa
ditemukan pada gastritis, duodenitis, tetapi pada pemeriksaan endoskopi tidak ditemukan
tanda-tanda tukak.
Refluks gastroesofageal. Gejala yang klasik dari refluks gastroesofageal yaitu rasa panas di
dada dan regurgitasi asam, terutama setelah makan. Bila seseorang mempunyai keluhan
tersebut disertai dengan keluhan sindroma dispepsia lainnya, maka dapat disebut sindroma
dispepsia refluks gastroesofageal.
Penyakit saluran empedu. Sindroma dispepsi ini biasa ditemukan pada penyakit saluran
empedu. Rasa nyeri dimulai dari perut kanan atas atau di ulu hati yang menjalar ke
punggung dan bahu kanan.
Karsinoma. Karsinoma dari saluran cerna sering menimbulkan keluhan sindroma
dispepsia. Keluhan yang sering diajukan adalah rasa nyeri di perut, kerluhan bertambah
berkaitan dengan makanan, anoreksia, dan berat badan yang menurun.
Pankreatitis. Rasa nyeri timbulnya mendadak, yang menjalar ke punggung. Perut dirasa
makin tegang dan kembung. Di samping itu, keluhan lain dari sindroma dispepsi juga ada.
Dispepsia pada sindroma malabsorbsi. Pada penderita inidi samping mempunyai
keluhan rasa nyeri perut, nausea, anoreksia, sering flatus, kembungkeluhan utama
lainnya yang mencolok ialah timbulnya diare profus yang berlendir.
Dispepsia akibat obat-obatan. Banyak macam obat yang dapat menimbulkan rasa sakit
atau tidak enak di daerah ulu hati tanpa atau disertai rasa mual, dan muntah, misalnya obat
golongan NSAID (non steroid anti inflammatory drugs), teofilin, digitalis, antibiotik oral
(terutama ampisilin, eritromisin), alkohol, dan lain-lain. Oleh karena itu, perlu ditanyakan
obat yang dimakan sebelum timbulnya keluhan dispepsia.
Gangguan metabolisme. Diabetes melitus dengan neuropati sering timbul komplikasi
pengosongan lambung yang lambat, sehingga timbul keluhan nausea, vomitus, perasaan
lekas kenyang. Hipertiroidi mungkin menimbulkan keluhan rasa nyeri di perut dan vomitus,
sedangkan hipotiroidi menyebabkan timbulnya hipomoltilitas lambung. Hiperparatiroidi
mungkin disertai rasa nyeri di perut, nausea, vomitus, dan anoreksia.

b. Dispepsia non-organik/fungsional
Dispepsia fungsional atau dispepsia non-organik merupakan dispepsia yang tidak ada kelainan
organik, tetapi merupakan kelainan dari fungsi saluran makanan. Yang termasuk dispepsia
fungsional adalah:
Dispepsia dismotilitas (dismotility-like dyspepsia)
Pada dispepsia dismotilitas, umumnya terjadi gangguan motilitas, di antaranya: waktu
pengosongan lambung lambat, abnormalitas kontraktil, abnormalitas mioelektrik lambung,
refluks gastroduodenal. Penderita dengan dispepsia fungsional biasanya sensitif terhadap
produksi asam lambung yang meningkat.
Kelainan psikis, stres, dan faktor lingkungan juga dapat menimbulkan dispepsia
fungsional. Hal ini dapat dijelaskan kembali pada faal saluran cerna pada proses pencernaan
yang mendapat mengaruh dari nervus vagus. Nervus vagus tidak hanya merangsang sel
parietal secara langsung, tetapi memungkinkannya efek dari antral gastrin dan rangsangan
lain dari sel parietal. Dengan melihat, mencium bau, atau membayangkan suatu makanan
saja sudah terbentuk asam lambung yang banyak, yang mengandung HCl dan pepsin.


Dyspepsia organik Dyspepsia fungsional
- Ulkus peptik kronik (ulkus ventrikuli, ulkus
duodeni)- Gastro-esophageal reflux
disease (GORD), dengan atau tanpa esofagitis.
- Obat : OAINS, Aspirin
- Kolelitiasis simtomatik
- Pancreatitis kronik
- Gangguan metabolik (uremia, hiperkalsemia,
gastroparesis DM)
- Keganasan (gaster, pancreas, kolon)
- Insufisiensi vaskula mesenterikus
- Nyeri dinding perut
- Disfungsi sensorik-motorik
gastroduodenum- Gastroparesis
idiopatik/hipomotilitas antrum
- Disritmia gaster
- Hipersensitivitas gaster/duodenum
- Faktor psikososial
- Gastritis H. pylori
- Idiopatik


LO 3.4 Epidemiologi
Keluhan dispepsia merupakan keadaan klinis yang sering dijumpai dalam praktek
praktis sehari-hari. Di Indonesia diperkirakan 30% kasus pada praktek umum dan
60% pada praktek spesialis merupakan kasus dispepsia. Di Amerika, prevalensi
dispepsia sekitar 25%, tidak termasuk pasien dengan keluhan refluks. Insiden
pastinya tidaklah terdokumentasi dengan baik, tetapi penelitian di Skandinavia
menunjukkan dalam 3 bulan, dispepsia berkembang pada 0,8% pada subyek tanpa
keluhan dispepsia sebelumnya.6 Prevalensi keluhan saluran cerna menurut suatu
pengkajian sistematik atas berbagai penelitian berbasis populasi (systematic review
of population-based study) menyimpulkan angka bervariasi dari 11-41%. Jika keluhan
terbakar di ulu hati dikeluarkan maka angkanya berkisar 4-14%.

Dispepsia masih menimbulkan masalah kesehatan karena merupakan masalah kesehatan
yang kronik dan memerlukan pengobatan jangka panjang sehingga meningkatkan biaya
perobatannya. Walaupun gejalanya hanya singkat dan dapat diobati sendiri oleh
pasien tanpa berobat ke dokter. Dispepsia terjadi pada hampir 25% (dengan
rentang 13%-40%) populasi tiap tahun tetapi tidak semua pasien yang terkena
dispepsia akan mencari pengobatan medis.

LO 3.5 Patofisiologi

Functional and structural abnormalities can interact with each other and contribute to the generation of
symptoms in this disorder. Increased duodenal acid exposure observed in functional dyspepsia
53, 56
might
induce gastric sensorimotor dysfunction,
51, 54, 57, 58, 59, 60, 61
possibly by activating visceral afferent neurons and
consequently efferent vagal motor neurons
89
(1). In addition, similar to the oesophagus,
90
increased acid
load could disrupt the intestinal barrier (2). On the other hand, impaired duodenal barrier function
86
can lead
to acid hypersensitivity in functional dyspepsia,
50, 51, 52, 54
by facilitating the passage of H
+
ions through the
epithelium, which can subsequently reach acid-sensing receptors (such as TRPV1 and ASIC) located on
visceral afferent nerve endings
91, 92, 93
(3). Increased duodenal permeability enables luminal antigens to cross
the epithelium. This process could lead to an abnormal challenge of antigens in the mucosa, thereby eliciting
an immune response and resulting in low-grade inflammation (4). In turn, low-grade inflammation in the
mucosa
79, 80, 81, 83, 84, 86
can again contribute to impaired intestinal barrier function (5). In addition, mucosal
immune activation might provoke systemic cellular immune activation and release of cytokines from
peripheral blood monocytes (6, 7).
82, 94
These cytokines can affect gastric sensorimotor function directly via
altered neuronal transmission
95, 96, 97
(6) or indirectly by activating neurons in the nucleus tractus solitarius
and subsequently modulating the efferent vagal motor pathway
98
(7).
http://www.nature.com/nrgastro/journal/v10/n3/fig_tab/nrgastro.2012.255_F1.html

Dari sudut pandang patofi siologis, proses yang paling banyak dibicarakan dan potensial berhubungan
dengan dispepsia fungsional adalah hipersekresi asam lambung, infeksi Helicobacter pylori, dismotilitas
gastrointestinal, dan hipersensitivitas viseral.5 Ferri et al. (2012) menegaskan bahwa patofi siologi dispepsia
hingga kini masih belum sepenuhnya jelas dan penelitian-penelitian masih terus dilakukan terhadap faktor-
faktor yang dicurigai memiliki peranan bermakna, seperti di bawah ini:17
1. Abnormalitas fungsi motorik lambung, khususnya keterlambatan pengosongan lambung, hipomotilitas
antrum, hubungan antara volume lambung saat puasa yang rendah dengan pengosongan lambung yang
lebih cepat, serta gastric compliance yang lebih rendah.
2. Infeksi Helicobacter pylori
3. Faktor-faktor psikososial, khususnya terkait dengan gangguan cemas dan depresi.

Sekresi asam lambung
Kasus dispepsia fungsional umumnya mempunyai tingkat sekresi asam lambung, baik sekresi basal maupun
dengan stimulasi pentagastrin, yang rata-rata normal. Diduga terdapat peningkatan sensitivitas mukosa
lambung terhadap asam yang menimbulkan
rasa tidak enak di perut.5

Helicobacter pylori Peran infeksi Helicobacter pylori pada dispepsia fungsional belum sepenuhnya
dimengerti dan diterima. Kekerapan infeksi H. pylori pada dispepsia fungsional sekitar 50% dan tidak berbeda
bermakna dengan angka kekerapan infeksi H. pylori pada kelompok orang sehat. Mulai ada kecenderungan
untuk melakukan eradikasi H. pylori pada dispepsia fungsional dengan H. pylori positif yang gagal dengan
pengobatan konservatif baku.5

Dismotilitas Selama beberapa waktu, dismotilitas telah menjadi fokus perhatian dan beragam abnormalitas
motorik telah dilaporkan, di antaranya keterlambatan pengosongan lambung, akomodasi fundus terganggu,
distensi antrum, kontraktilitas fundus
postprandial, dan dismotilitas duodenal.19 Beragam studi melaporkan bahwa pada dispepsia fungsional, terjadi
perlambatan pengosongan lambung dan hipomotilitas antrum (hingga 50% kasus), tetapi harus dimengerti
bahwa proses motilitas gastrointestinal merupakan proses yang sangat kompleks, sehingga gangguan
pengosongan lambung saja tidak dapat mutlak menjadi penyebab tunggal adanya gangguan motilitas.2

Ambang rangsang persepsi Dinding usus mempunyai berbagai reseptor, termasuk reseptor kimiawi,
reseptor mekanik, dan nociceptors. Berdasarkan studi, pasien dispepsia dicurigai mempunyai
hipersensitivitas viseral terhadap distensi balon di gaster atau duodenum, meskipun mekanisme pastinya
masih belum dipahami.5 Hipersensitivitas viseral juga disebut-sebut memainkan peranan penting pada semua
gangguan fungsional dan dilaporkan terjadi pada 30-40% pasien dengan dispepsia fungsional.19
Mekanisme hipersensitivitas ini dibuktikan melalui uji klinis pada tahun 2012.20 Dalam penelitian tersebut,
sejumlah asam dimasukkan ke dalam lambung pasien dispepsia fungsional dan orang sehat. Didapatkan
hasil tingkat keparahan gejala
dispeptik lebih tinggi pada individu dispepsia fungsional. Hal ini membuktikan peranan penting
hipersensitivitas dalam patofi siologi dispepsia.

Disfungsi autonom Disfungsi persarafan vagal diduga berperan dalam hipersensitivitas gastrointestinal pada
kasus dispepsia fungsional. Adanya neuropati vagal juga diduga berperan dalam kegagala relaksasi bagian
proksimal lambung sewaktu menerima makanan, sehingga menimbulkan gangguan akomodasi lambung dan
rasa cepat kenyang.5

Aktivitas mioelektrik lambung Adanya disritmia mioelektrik lambung pada pemeriksaan elektrogastrografi
terdeteksi pada beberapa kasus dispepsia fungsional, tetapi peranannya masih perlu dibuktikan lebih lanjut.5
Peranan hormonal Peranan hormon masih belum jelas diketahui dalam patogenesis dispepsia fungsional.

LO 3.6 Manifestasi Klinis
Klasifikasi klinis praktis didasarkan atas keluhan/gejala yang dominant membagi dispepsia menjadi tiga
tipe :
Dispepsia dengan keluhan seperti ulkus (Ulkus-like dyspepsia) dengan gejala: nyeri epigastrium
terlokalisasi, nyeri hilang setelah makan atau pemberian antacid, nyeri saat lapar dan nyeri episodic.
Dispepsia dengan gejala seperti dismotilitas (dysmotility-like dyspepsia) dengan gejala: mudah
kenyang, perut cepat terasa penuh saat makan, mual, muntah dan rasa tidak nyaman bertambah saat
makan.
Dispepsia non spesifik (tidak ada gejala seperti kedua tipe di atas).

LO 3.7 Diagnosis
Berbagai macam penyakit dapat menimbulkan keluhan yang sama, seperti halnya pada sindroma
dispepsia. Oleh karena itu, sindroma dispepsia hanya merupakan kumpulan gejala dari penyakit
saluran cerna, maka perlu dipastikan penyakitnya. Untuk memastikan penyakitnya, maka
diperlukan beberapa pemeriksaan, selain pemeriksaan fisik, juga diperlukan pemeriksaan
penunjang.
Pada dasarnya, langkah pemeriksaan penunjang diagnostik adalah untuk mengeksklusi
gangguan organik atau biokimiawi. Pemeriksaan laboratorium (gula darah, fungsi tiroid, fungsi
pancreas, dan sebagainya), radiologi (barium meal, USG), dan endoskopi merupakan langkah yang
paling penting untuk eksklusi penyebab organik ataupun biokimiawi. Untuk menilai
patofisiologinya, dalam rangka mencari dasar terapi yang lebih kausatif, berbagai pemeriksaan
dapat dilakukan, walaupun aplikasi klinisnya tidak jarang dinilai masih kontroversial. Misalnya
pemeriksaan pH-metri untuk menilai tingkat sekresi asam lambung; manometri untuk menilai
adanya gangguan fase III migrating motor complex (MMC); elektrogastrografi, skintigrafi, atau
penggunaan pellet radioopaq untuk mengukur waktu pengosongan lambung, Helicobacter
pylori, dan sebagainya.

c. Laboratorium. Pemeriksaan laboratorium perlu dilakukan, seperti pemeriksaan darah, urine,
dan tinja secara rutin. Dari pemeriksaan darah, bila ditemukan leukositosis berarti ada tanda-
tanda infeksi. Pada pemeriksaan tinja, jika tampak cair berlendir atau banyak mengandung
lemak, berarti kemungkinan pasien menderita malabsorbsi. Seseorang yang diduga menderita
dispepsi tukak, sebaiknya diperiksa asam lambungnya.

d. Radiologis. Pemeriksaan radiologis banyak menunjang diagnosis suatu penyakit di saluran
cerna. Setidak-tidaknya perlu dilakukan pemeriksaan radiologis terhadap saluran cerna bagian
atas dan sebaiknya menggunakan kontras ganda. Pada refluks gastroesofageal, akan tampak
peristaltik di oesophagus yang menurun terutama di bagian distal, tampak antiperistaltik di
antrum yang meninggi, serta sering menutupnya pylorus sehingga sedikit barium yang masuk
ke intestinal. Pada tukak, baik di lambung maupun di duodenum, akan terlihat gambaran yang
disebut niche, yaitu kawah dari tukak yang terisi kontras media. Bentuk niche dari tukak yang
jinak umumnya reguler, semisirkuler, dengan dasar licin.

e. Endoskopi. Pemeriksaan endoskopi dari saluran cerna bagian atas akan banyak membantu
menentukan diagnosis. Yang perlu diperhatikan adalah ada-tidaknya kelainan di oesophagus,
lambung, duodenum. Di tempat tersebut perlu diperhatikan warna mukosa, lesi, tumor (jinak
atau ganas).

f. Ultrasonografi (USG) merupakan sarana diagnostik yang non-invasif. Akhir-akhir ini makin
banyak dimanfaatkan untuk membantu menentukan diagnostik dari suatu penyakit, apalagi
alat ini tidak menimbulkan efek samping, dapat digunakan setiap saat, dan pada kondisi pasien
yang berat sekalipun dapat dimanfaatkan. Pemanfaatan alat USG pada sindroma dispepsia
terutama bila ada dugaan kelainan di tractus biliaris, pancreas, kelainan di tiroid, bahkan juga
ada dugaan di oesophagus dan lambung.

Tabel 4. Gambaran alarm sign untuk dispepsia.6
Umur 45 tahun (onset baru)
Perdarahan dari rektal atau melena
Penurunan berat badan >10%
Anoreksia
Muntah yang persisten
Anemia atau perdarahan
Massa di abdomen atau limfadenopati
Disfagia yang progresif atau odinofagia
Riwayat keluarga keganasan saluran cerna bagian atas
Riwayat keganasan atau operasi saluran cerna sebelumnya
Riwayat ulkus peptikum
Kuning (Jaundice)

Kriteria diagnostik Roma III untuk dispepsia fungsional
Dispepsia fungsional
Kriteria diagnostik terpenuhi* bila 2 poin di bawah ini seluruhnya terpenuhi:
1. Salah satu atau lebih dari gejala-gejala di bawah ini:
a. Rasa penuh setelah makan yang mengganggu
b. Perasaan cepat kenyang
c. Nyeri ulu hati
d. Rasa terbakar di daerah ulu hati/epigastrium
2. Tidak ditemukan bukti adanya kelainan struktural yang menyebabkan timbulnya gejala
(termasuk yang terdeteksi
saat endoskopi saluran cerna bagian atas [SCBA])
* Kriteria terpenuhi bila gejala-gejala di atas terjadi sedikitnya dalam 3 bulan terakhir, dengan awal
mula gejala timbul
sedikitnya 6 bulan sebelum diagnosis.

a. Postprandial distress syndrome
Kriteria diagnostik* terpenuhi bila 2 poin di bawah ini seluruhnya terpenuhi:
1. Rasa penuh setelah makan yang mengganggu, terjadi setelah makan dengan porsi biasa,
sedikitnya terjadi
beberapa kali seminggu
2. Perasaan cepat kenyang yang membuat tidak mampu menghabiskan porsi makan biasa,
sedikitnya terjadi
beberapa kali seminggu
* Kriteria terpenuhi bila gejala-gejala di atas terjadi sedikitnya dalam 3 bulan terakhir, dengan awal
mula gejala timbul
sedikitnya 6 bulan sebelum diagnosis.

Kriteria penunjang
1. Adanya rasa kembung di daerah perut bagian atas atau mual setelah makan atau bersendawa
yang berlebihan
2. Dapat timbul bersamaan dengan sindrom nyeri epigastrium.

b. Epigastric pain syndrome
Kriteria diagnostik* terpenuhi bila 5 poin di bawah ini seluruhnya terpenuhi:
1. Nyeri atau rasa terbakar yang terlokalisasi di daerah epigastrium dengan tingkat keparahan
moderat/sedang,
paling sedikit terjadi sekali dalam seminggu
2. Nyeri timbul berulang
3. Tidak menjalar atau terlokalisasi di daerah perut atau dada selain daerah perut bagian
atas/epigastrium
4. Tidak berkurang dengan BAB atau buang angin
5. Gejala-gejala yang ada tidak memenuhi kriteria diagnosis kelainan kandung empedu dan sfi
ngter Oddi
* Kriteria terpenuhi bila gejala-gejala di atas terjadi sedikitnya dalam 3 bulan terakhir, dengan awal
mula gejala timbul
sedikitnya 6 bulan sebelum diagnosis.

Kriteria penunjang
1. Nyeri epigastrium dapat berupa rasa terbakar, namun tanpa menjalar ke daerah retrosternal
2. Nyeri umumnya ditimbulkan atau berkurang dengan makan, namun mungkin timbul saat puasa
3. Dapat timbul bersamaan dengan sindrom distres setelah makan.
CDK-197_vol39_no9_th2012 ok.indd 648 9/14/2012 10:11:02 AM


Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang harus bias menyingkirkan kelainan serius, terutama kanker lambung,
sekaligus menegakkan diagnosis bila mungkin. Sebagian pasien memiliki resiko kanker yang rendah
dan dianjurkan untuk terapi empiris tanpa endoskopi. berikut merupakan pemeriksaan penunjang:
a. Tes Darah
Hitung darah lengkap dan LED normal membantu menyingkirkan kelainan serius. Hasil tes
serologi positif untukHelicobacter pylori menunjukkan ulkus peptikum namun belum
menyingkirkan keganasan saluran pencernaan.
b. Endoskopi (esofago-gastro-duodenoskopi)
Endoskopi adalah tes definitive untuk esofagitis, penyakit epitellium Barret, dan ulkus
peptikum. Biopsi antrum untuk tes ureumse untuk H.pylori (tes CLO).
Endoskopi adalah pemeriksaan terbaik masa kini untuk menyingkirkan kausa organic pada
pasien dispepsia. Namun, pemeriksaan H. pylori merupakan pendekatan bermanfaat pada
penanganan kasus dispepsia baru. Pemeriksaan endoskopi diindikasikan terutama pada pasien
dengan keluhan yang muncul pertama kali pada usia tua atau pasien dengan tanda alarm
seperti penurunan berat badan, muntah, disfagia, atau perdarahan yang diduga sangat
mungkin terdapat penyakit struktural.
Pemeriksaan endoskopi adalah aman pada usia lanjut dengan kemungkinan komplikasi
serupa dengan pasien muda.Menurut Tytgat GNJ, endoskopi direkomendasikan sebagai
investigasi pertama pada evaluasi penderita dispepsia dan sangat penting untuk dapat
mengklasifikasikan keadaan pasien apakah dispepsia organik atau fungsional. Dengan
endoskopi dapat dilakukan biopsy mukosa untuk mengetahui keadaan patologis mukosa
lambung.
c. DPL : Anemia mengarahkan keganasan
d. EGD : Tumor, PUD, penilaian esofagitis
e. Dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan laboratorium termasuk hitung darah lengkap, laju
endap darah, amylase, lipase, profil kimia, dan pemeriksaan ovum dan parasit pada tinja. Jika
terdapat emesis atau pengeluaran darah lewat saluran cerna maka dianjurkan untuk
melakukan pemeriksaan barium pada saluran cerna bgian atas.

Pemeriksaan Fisik
Anamnesis dan pemeriksaan fisik pada pasien dyspepsia yang belum diinvestigasi terutama hasrus
ditujukan untuk mencari kemungkinan adanya kelainan organik sebagai kausa dispepsia. Pasien
dispepsia dengan alarm symptoms kemungkinan besar didasari kelainan organik. Menurut Wibawa
(2006), yang termasuk keluhan alarm adalah:
1. Disfagia,
2. Penurunan Berat Badan (weight loss),
3. Bukti perdarahan saluran cerna (hematemesis, melena, hematochezia, anemia defisiensi
besi,atau fecal occult blood),
4. Tanda obstruksi saluran cerna atas (muntah, cepat penuh).
Pasien dengan alarm symptoms perlu dilakukan endoskopi segera untuk menyingkirkan penyakit
tukak peptic dengan komplikasinya, GERD (gastroesophageal reflux disease), atau keganasan.

LO 3.8 Diagnosis Banding
Penyakit jantung iskemik sering memberi keluhan nyeri ulu hati, panas di dada, perut kembung,
perasaan lekas kenyang. Penderita infark miokard dinding inferior juga sering memberikan
keluhan rasa sakit perut di atas, mual, kembung, kadang-kadang penderita angina mempunyai
keluhan menyerupai refluks gastroesofageal.
Penyakit vaskular kolagen, terutama pada sklerodema di lambung atau usus halus, akan sering
memberi keluhan sindroma dispepsia. Rasa nyeri perut sering ditemukan pada penderita SLE,
terutama yang banyak mengkonsumsi kortikosteroid.
Dispepsia organik
Ulkus peptik kronik
Gastroesophangeal reflux disease denagn atau tanpa gejala esofaginitis
Obat OAINS seperti aspirin
Kolelitiasis simtomatik
Pankreatitis kronik
Gangguan metabolic

Dispepsia fumgsional
Disfungsi sensorik motorik gastroduodenum
Gasrtoporesis idiopatik/hipomotilitas antrum
Disritmia gaster
Hipersensitifitas gaster/duodenum
Gastritis H pylori
Idiopatik

LO 3.9 Tatalaksana
Penatalaksanaan non farmakologis
1) Menghindari makanan yang dapat meningkatkan asam lambung
2) Menghindari faktor resiko seperti alkohol, makanan yang peda, obat-obatan yang berlebihan,
nikotin rokok, dan stres
3) Atur pola makan
Penatalaksanaan farmakologis yaitu:
Sampai saat ini belum ada regimen pengobatan yang memuaskan terutama dalam mengantisipasi
kekambuhan. Hal ini dapat dimengerti karena pross patofisiologinya pun masih belum jelas.
Dilaporkan bahwa sampai 70 % kasus DF reponsif terhadap placebo.
Obat-obatan yang diberikan meliputi antacid (menetralkan asam lambung) golongan antikolinergik
(menghambat pengeluaran asam lambung) dan prokinetik (mencegah terjadinya muntah)
Penatalaksanaan yang tepat pada pasien dengan dispepsia, antara lain :
1. Edukasi kepada pasien untuk mengenali dan menghindari keadaan yang potensial mencetuskan
serangan dispepsia
2. Modifikasi pola hidup
Menghindari jenis makanan yang dirasakan sebagai faktor pencetus. Pola makan porsi kecil
tetapi sering dan makanan rendah lemak.

Pengelolaan penderita dengan sindroma dispepsia secara garis besar pada umumnya sama.
Penderita yang mempunyai keluhan ringan umumnya dapat dilakukan dengan berobat jalan,
sedangkan yang mempunyai keluhan berat dengan atau tanpa komplikasi sebaiknya dirawat di
rumah sakit.

TERAPI FARMAKOLOGIS
g. Antasid Sistemik
Natrium bikarbonat
Natrium bikarbonat cepat menetralkan HCl lambung karena daya larutnya tinggi. Karbon
dioksida yang tebentuk dalam lambung dapat menimbulkan sendawa. Distensi lambung dapat
terjadi dan dapat menimbulkan perforasi. Selain menimbulkan alkalosis metabolik, obat ini
dapat menyebabkan retensi natrium dan edema. Natrium bikarbonat sudah jarang digunakan
sebagai antasid. Obat ini digunakan untuk mengatasi asidosis metabolik, alkalinisasi urin, dan
pengobatan lokal pruritus. Natrium bikarbonat tersedia dalam bentuk tablet 500-1000 mg.
Satu gram natrium bikarbonat dapat menetralkan 12 mEq asam. Dosis yang dianjurkan 1-4
gram. Pemberian dosis besar NaHCO3 atau CaCO3 bersama susu atau krim pada pengobatan
tukak peptik dapat menimbulkan sindrom alkali susu (milk alkali syndrom)

h. Antasid Non-sistemik
Aluminium hidroksida -- Al(OH)3
Daya menetralkan asam lambungnya lambat, tetapi masa kerjanya paling panjang. Al(OH)3
bukan merupakan obat yang unggul dibandingkan dengan obat yang tidak larut lainnya.
Al(OH)3 dan sediaanya Al (aluminium) lainnya dapat bereaksi dengtan fosfat membentuk
aluminium fosfat yang sukar diabsorpsi di usus kecil, sehingga eksresi fosfat melalui urin
berkurang sedangkan melalui tinja bertambah. Ion aluminium dapat bereaksi dengan
protein sehingga bersifat astringen. Antasid ini mengadsorbsi pepsin dan
menginaktivasinya. Absorsi makanan setelah pemberian Al tidak banyak dipengaruhi dan
komposisi tinja tidak berubah. Aluminium juga bersifat demulsen dan adsorben.
Efek samping Al(OH)3 yang utama ialah konstipasi. Ini dapat diatasi dengan
memberikan antasid garam Mg. Mual dan muntah dapat terjadi. Gangguan absorbsi fosfat
dapat terjadi sehingga menimbulkan sindrom deplesi fosfat disertai osteomalasia. Al(OH)3
dapat mengurangi absorbsi bermacam-macam vitamin dan tetrasiklin. Al(OH)3 lebih sering
menyebabkan konstipasi pada usia lanjut.
Aluminium hidroksida digunakan untuk tukak peptik, nefrolitiasis fosfat dan sebagai
adsorben pada keracunan. Antasid Al tersedia dalam bentuk suspensi Al(OH)3 gel yang
mengandung 3,6-4,4% Al2O3. Dosis yang dianjurkan 8 mL. Tersedia juga dalam bentuk
tablet Al(OH)3 yang mengandung 50% Al2O3. Satu gram Al(OH)3 dapat menetralkan 25 mEq
asam. Dosis tunggal yang dianjurkan 0,6 gram.

Kalsium karbonat
Kalsium karbonat merupakan antasid yang efektif karena mula kerjanya cepat, maka daya
kerjanya lama dan daya menetralkannya cukup lama.
Kalsium karbonat dapar menyebabkan konstipasi, mual, muntah, pendarahan saluran cerna
dan disfungsi ginjal, dan fenomena acid rebound. Fenomena tersebut bukan berdasarkan
daya netralisasi asam, tetapi merupakan kerja langsung kalsium di antrum yang mensekresi
gastrin yang merangsang sel parietal mengeluarkan HCl (H
+
). Sebagai akibatnya sekresi
asam pada malam hari akan sangat tinggi yang akan mengurangi efek netralisasi obat ini.
Efek serius yang dapat terjadi ialah hiperkalsemia, kalsifikasi metastatik, alkalosis,
azotemia, terutama terjadi pada penggunaan kronik kalisium karbonat bersama susu dan
antasid lain (milk alkali syndrom).
Pemberian 4 g kalsium karbonat dapat menyebabkan hiperkalsemia ringan, sedangkan
pemberian 8 g dapat menyebabkan hiperkalsemia sedang.
Kalsium karbonat tersedia dalam bentuk tablet 600 mg dan 1000 mg. Satu gram kalsium
karbonat dapat menetralkan 21 mEq asam. Dosis yang dianjurkan 1-2 gram.

Magnesium hidroksida -- Mg(OH)2
Magnesium hidroksida digunakan sebagai katartik dan antasid. Obat ini praktis, tidak larut,
dan tidak efektif sebelum obat ini berinteraksi dengan HCl membentuk MgCl2. Magnesium
hidroksida yang tidak bereaksi denagn HCl akan tetap berada dalam lambung dan akan
menetralkan HCl yang disekresi belakangan sehingga masa kerjanya lama. Antasid ini dan
natrium bikarbonat sama efektif dalam hal menetralkan HCl.
Ion magnesium dalam usus akan cepat diabsorbsi dan cepat dieksresi melalui ginjal, hal
ini akan membahayakan pasien yang fungsi ginjalnya kurang baik. Ion magnesium yang
diabsorbi akan bersifat sebagai antasid sistemik sehingga dapat menimbulkan alkali uria,
tetapi jarang alkalosis.
Pemberian kronik magnesium hidroksida akan menyebabkan diare akibat efek
katartiknya, sebab magnesium yang larut tidak diabsorbsi, tetapi tetap berada dalam usus
dan akan menarik air. Sebanyak 5-10% magnesium diabsorbsi dan dapat menimbulkan
kelainan neurologik, neuromuskular, dan kardiovaskular.
Sediaan susu magnesium (milk of magnesium) berupa suspensi yang berisi 7-8,55
Mg(OH). Satu ml susu magnesium dap menetralkan 2,7 mEq asam. Dosis yang dianjurkan 5-
30 ml. Bentuk lain ialah tablet susu yang berisi 325 mg Mg(OH)2 yang dapat dinetralkan
11,1 mEq asam.

Magnesium trisiklat
Magnesium trisiklat (Mg2Si3O8H2O) sebagai antasid non sistemik, bereaksi dalam lambung
sebagai berikut:
Silikon dioksid berupa gel yang terbentuk dalam lambung diduga berfungsi menutup tukak.
Sebanyak 7% silika dari magnesium trisiklat akan diabsorbsi melalui usus dan dieksresi
dalam urin. Silika gel dan megnesium trisiklat merupakan adsorben yang baik; tidak hanya
mengadsorbsi pepsin tetapi juga protein dan besi dalam makanan. Mula kerja magnesium
trisiklat lambat, untuk menetralkan HCl 30% 0,1 N diperlukan waktu 15 menit, sedangkan
untuk menetralkan HCl 60% 1,1 N diperlukan waktu satu jam.
Dosis tinggi magnesium trisiklat menyebabkan diare. Banyak dilaporkan terjadi batu
silikat setelah penggunaan kronik magnesium trisiklat. Ditinjau dari efektivitasnya yang
rendah dan potensinya yang dapat menimbulakan toksisitas yang khas, kurang beralasan
mengunakan obat ini sebagai antasid.
Magnesium trisiklat tersedia dalam bentuk tablet 500mg; dosis yang dianjurkan 1-4
gram. Tersedia pula sebagai bubuk magnesium trisiklat yang mengandung sekurang-
kurangnya 20% MgO dan 45% silikon dioksida. Satu gram magnesium trisiklat dapat
menetralkan 13-17 mEq asam.

i. Obat Penghambat Sekresi Lambung
Penghambat pompa proton
Penghambat pompa proton merupakan penghambat sekresi asam lambung yang lebih kuat
dari AH2. Obat ini bekerja di proses akhir pembentukan asam lambung, lebih distal dari AMP.
Saat ini, yang digunakan di klinik adalah omeprazol, esomeprazol, lansoprazol, rebeprazol,
dan pantoprazol. Perbedaan antara kelima obat tersebut adalah subtitusi cinci piridin
dan/atau benzimidazol. Omeprazol adalah campuran resemik isomer R dan S. Esomeprazol
adalah campuran resemik isomer omeprazol (S-omeprazol) yang mengalami eliminasi lebih
lambat dari R-omeprazol.

Farmakodinamik. Penghambat pompa proton adalah prodrug yang memebutuhkan suasana
asam untuk aktivasinya. Setelah diabsorbsi dan masuk ke sirkulasi sistemik, obat ini akan
berdifusi ke parietal lambung, terkumpul di kanalikuli sekretoar, dan mengalami aktivasi di
situ membentuk sulfonamid tetrasiklik. Bentuk aktif ini berikatan dengan gugus sulfhidril
enzim H
+
, K
+
, ATP-ase (enzim ini dikenal sebagai pompa proton) dan berada di membran sel
parietal. Ikatan ini mengakibatkan terjadinya penghambatan enzim tersebut. Produksi asam
lambung berhenti 80%-95% setelah penghambatan pompa poroton tersebut.
Penghambatan berlangsung lama antara 24-48 jam dan dapat menurunkan sekresi asam
lambung basal atau akibat stimulasi, terlepas dari jenis perangsangnya histamin, asetilkolin,
atau gastrin. Hambatan ini sifatnya irreversibel, produksi asam kembali dapat terjdai 3-4 hari
pengobatan dihentikan.

Farmakokinetik. Penghambat pompa proton sebaiknya diberikan dalam sediaan salut enterik
untuk mencegah degradasi zat aktif tersebut dalam suasana asam. Sediaan ini tidak mengalami
aktivasi di lambung sehingga bio-availabilitasnya labih baik. Tablet yang dipecah dilambung
mengalami aktivasi lalu terikat pada berbagai gugus sulfhidril mukus dan makanan.
Bioalvailabilitasnya akan menurun sampai dengan 50% karena pengaruh makanan. Oleh sebab
itu, sebaiknya diberikan 30 menit setelah makan.
Obat ini mempunyai masalah bioalvailabilitas, formulasi berbeda memperlihatkan
persentasi jumlah absorbsi yang bervariasi luas. Bioalvailabilitas yang bukan salut enterik
meningkat dalam 5-7 hari, ini dapat dijelaskan dengan berkurangnya prosuksi asam lambung
setelah obat bekerja. Obat ini dimetabolisme di hati oleh sitokrom P 450 (CYP), terutama
CYP2P19 dan CYP3A4.

Indikasi. Indikasi obat ini sama dengan AH2 yaitu pada penyakit peptik. Terhadap sindrom
Zollinger-Ellison, obat ini dapat menekan produksi asam lambung lebih baik pada AH2 pada
dosis yang efek sampingnya tidak terlalu mengganggu.

Efek samping. Efek samping yang umum terjadi adalah mual, nyeri perut, konstipasi,
flatulence, dan diare. Dilaporkan pula terjadi miopati subakut, atralgia, sakit kepala, dan ruam
kulit.

Sediaan dan posologi. Omeprazol tersedia dalam bentuk kapsul 10 mg dan 20 mg, diberikan 1
kali/hari selama 8 minggu. Esomeprazol tersedia dalam bentuk salut enterik 20 mg dan 40 mg,
serta sediaan vial 40 mg/10 ml. Pantoprazol tersedia dalam bentuk tablet 20 mg dan 40 mg.

j. Antagonis Reseptor H2
Antagonis reseptor H2 bekerja menghambat sekresi asam lambung. Burinamid dan metiamid
merupakan antagonis reseptor H2 yang pertama kali ditemukan, namun karena toksik tidak
digunakan di klinik. Antagonis reseptor H2 yang ada saat ini adalah simetidin, ranitidin,
famotidin, dan nizatidin.
Antagonis reseptor H2 merupakan obat yang efektif dan relatif aman untuk pasien dengan
hipersekresi asam lambung, misalnya untuk pasien tukak duodenum dan tukak lambung.
Golongan obat ini menggeser penggunaan antasid yang membutuhkan pemberian yang lebih
sering sehingga dapat mengurangi kepatuhan pasien. Bagi pasien yang menggunakan obat
lain/banyak obat, nampaknya akan lebih aman menggunakan ranitidin, famotidin, atau
nizatidin yang tidak/kurang kemungkinannya dibandingkan simetidin untuk mengadakan
interaksi dengan obat lain yang merupakan substrat enzim sitokrom P450. Dibandingkan
simetidin, kemungkinan efek samping ranitidin, famotidin, dan nizatidin nampaknya lebih
kecil, termasuk kemungkinan di antaranya kemungkinan impotensi dan ginekomastia karena
ketiga obat tersebut tidak mengikat reseptor androgen.

k. Prokinetik
Yang termasuk obat golongan ini adalah bathanecol, metoklopramid, domperidon, cisapride.
Bathanecol
Termasuk obat kalinomimetik yang menghambat asetilkolin esterase. Obat ini dipakai
untuk mengobati penderita dengan refluks gastroesophageal, makanan yang dirasa tidak
turun, transit oesophageal yang melantur, gastroparesis, kolik empedu. Efek sampingnya
cukup banyak, terutama pada aksi parasimpatis sistemik, di antaranya adalah sakit kepala,
mata kabur, kejang perut, nausea dan vomitus, spasme kandung kemih, berkeringat. Oleh
karena itu, obat ini mulai tidak digunakan lagi.

Metoklopramid
Secara kimia, obat ini ada hubungannya dengan prokainamid yang mempunyai efek anti-
dopaminergik dan kolinomimetik. Jadi, obat ini berkhasiat sentral maupun perifer. Khasiat
metoklopramid antara lain:
- meningkatkan pembedaan asetilkolin dari saraf terminal postganglion kolinergik,
- merangsang reseptor muskarinik pada asetilkolin, dan
- merupakan reseptor antagonis dopamin
Jadi, dengan demikian, metoklopramid akan merangsang kontraksi dari saluran cerna dan
mempercepat pengosongan lambung.
Efek samping yang ditimbulkan oleh obat ini antara lain reaksi distonik, iritabilitas atau
sedasi, dan efek samping ekstrapiramidal karena efek antagonisme dopamin sentral dari
metoklorpamid. Pemberian dosis tinggi pada anak dapat menyebabkan hipertonis dan
kejang.

Domperidon
Domperidon merupakan derivat benzimidazol. Karena domperidon merupakan antagonis
dopamin perifer dan tidak menembus sawar darah otak, maka tidak mempengaruhi
reseptor dopamin saraf pusat, sehingga mempunyai efek samping yang rendah daripada
metoklopramid.
Pemberian obat ini akan meningkatkan tonus sphincter oesophagus bagian bawah
sehingga mencegah terjadinya refluks gastroesophagus. Obat ini akan meningkatkan
koordinasi antroduodenal, dan memperbaiki motilitas lambung yang sedang terganggu,
yaitu dengan jalan meningkatkan kontraktiliitas serta menghambat relaksasi lambung
sehingga pengosongan lambung akan lebih cepat.
Domperidon bermanfaat untuk pengobatan dispepsia yang disertai masa pengosongan
yang lambat, refluks gastroesophagus, anoreksia nervosa, gastroparesis. Demikian pula
bermanfaat sebagai obat antiemetik pada penderita pasca-bedah, bahkan efektif sebagai
pencegah muntah pada penderita yang mendapat kemoterapi.
Efek sampingnya lebih rendah daripada metoklopramid, yaitu mulut kering, kulit gatal,
diare, pusing. Pada pemberian jangka panjang atau dosis tinggi, efeknya akan meningkatkan
sekresi prolaktin, dan dapat menimbulkan ginekomasti pada pria, serta galaktore dan
amenore pada wanita.

Cisapride
Cisapride merupakan derivat benzidamide dan tergolong obat prokinetik baru yang
mempunyai khasiat memperbaiki motilitas seluruh saluran cerna. Obat ini mempunyai
spektrum yang luas.
Pada penderita dengan dispepsia, dimana sering terjadi gangguan motilitas pada
saluran cerna bagian atas, obat ini bermanfaat untuk memperbaiki. Hal ini disebabkan
karena cisapride meningkatkan tonus sphincter oesophagus bagian bawah, peristaltik
oesophagus, dan pengosongan oesophagus. Di samping itu, akan meningkatkan peristaltik
antrum, memperbaiki koordinasi gastro-duodenum dan mempercepat pengosongan
lambung. Manfaat cisapride pada saluran cerna bagian bawah yaitu akan merangsang
aktivitas motorik usus halus dan kolon sehingga mempercepat transit di sini. Jadi, obat ini
juga bermanfaat pada pseudo-obstruksi usus kronis idiopatik, pada penderita konstipasi
karena paraplegia, dan pemakai obat laxatif yang menahun.
Efek samping yang ditimbulkannya yaitu borborigmi, diare, dan rasa kejang di perut
yang sifatnya sementar.

LO 3.10 Komplikasi
Penderita sindroma dispepsia selama bertahun-tahun dapat memicu adanya komplikasi yang tidak ringan.
Salah satunya komplikasi dispepsia yaitu luka di dinding lambung yang dalam atau melebar tergantung
berapa lama lambung terpapar oleh asam lambung. Bila keadaan dispepsia ini terus terjadi luka akan
semakin dalam dan dapat menimbulkan komplikasi pendarahan saluran cerna yang ditandai dengan
terjadinya muntah darah, di mana merupakan pertanda yang timbul belakangan. Awalnya penderita pasti
akan mengalami buang air besar berwarna hitam terlebih dulu yang artinya sudah ada perdarahan awal. Tapi
komplikasi yang paling dikuatirkan adalah terjadinya kanker lambung yang mengharuskan penderitanya
melakukan operasi.

LO 3.11 Prognosis
Mahadeva et al. (2011) menemukan bahwa pasien dispepsia fungsional memiliki prognosis kualitas
hidup lebih rendah dibandingkan dengan individu dengan dispepsia organik. Tingkat kecemasan
sedang hingga berat juga lebih sering dialami oleh individu dispepsia fungsional.25 Lebih jauh diteliti,
terungkap bahwa pasien dispepsia fungsional, terutama yang refrakter terhadap pengobatan,
memiliki kecenderungan tinggi untuk mengalami depresi dan gangguan psikiatris.

LO 3.12 Profilaksis
Diet merupakan peranan yang terpenting. Pada garis besarnya yang dipakai ialah cara pemberian
diet seperti yang diajukan oleh Sippy 1915 hingga dikenal pula Sippys diet. Sekarang lebih dikenal
dengan diet lambung yang sudah disesuaikan dengan masyarakat Indonesia. Dasar diet tersebut
ialah makan sedikit dan berulang kali, makan makanan yang mengandung susu dalam porsi kecil.
Jadi makanan yang dimakan harus lembek, mudah dicerna, tidak merangsang, dan kemungkinan
dapat menetralisir HCl. Pemberiannya dalam porsi kecil dan berulang kali. Dilarang makan pedas,
asam, alkohol.
Pola makan yang normal, dan teratur, pilih makanan yang seimbang dengan kebutuhan dan jadwal
makan yang teratur, sebaiknya tidak mengkonsumsi makanan yang berkadar asam tinggi, cabai,
alkohol dan, pantang rokok, bila harus makan obat karena sesuatu penyakit, misalnya sakit kepala,
gunakan obat secara wajar dan tidak mengganggu fungsi lambung. Berikut adalah 11 solusi
mencegah gangguan pencernaan
1. biasakan makan teratur
2. Kunyah makanan dengan baik supaya enzim ptialin dalam kelenjar ludah dapat melakukan
fungsinya dengan sempurna
3. Jangan makan terlalu banyak
4. Jangan berbaring setelah makan
5. Hindari waktu makan yang terlalu ber-dekatan supaya proses mencerna tidak terganggu
(interval 2-3 jam)
6. Jangan makan sambil minum (setiap cairan yang dikonsumsi dengan makanan padat akan
mengurangi aktivitas cairan pencernaan yang terlibat dalam proses pencernaan)
7. Tingkatkan konsumsi makanan sumber serat
8. Konsumsi makanan probiotik
9. Kurangi konsumsi makanan pembentuk asam (protein hewani dan karbohidrat sederhana)
10. Jangan makan makanan yang terlalu panas atau dingin (dapat mengiritasi lapisan dinding
lambung)
11. Kurangi stress

You might also like