You are on page 1of 40

PELATIHAN HAK ASASI MANUSIA

UNTUK JEJARING KOMISI YUDISIAL RI


Bandung, 30 Juni - 3 Juli 2010


MAKALAH











AKSES MENUJU KEADILAN
(Access to Justice)

Oleh:
Dr. J. Djohansjah, S.H., M.H.













KOMISI YUDISIAL
REPUBLIK INDONESIA



DAFTAR ISI

Judul
Pengantar .. 1
Akses Menuju Keadilan . 4
A. Bantuan Hukum .. 9
1. Akses Menuju Keadilan Dalam Sistem Hukum Acara Pidana ..... 10
2. Akses Menuju Keadilan Dalam Sistem Hukum Acara Perdata . 22
B. Informasi Hukum . 28
Penutup Dan Saran 34
Daftar Pustaka ......................................................................... 36

MAKALAH





AKSESMENUJUKEADILAN
(AccesstoJustice)








Oleh:

Dr. J. Djohansjah, S.H., M.H.


















Disampaikan Pada Pelatihan HAM Bagi Jejaring Komisi Yudisial
Bandung, 3 Juli 2010
PENGANTAR

Topik makalah yang diberikan kepada Penulis, adalah:Akses
Menuju Keadilan atau yang lebih umum dikenal dengan istilah
Access to J ustice. Pengertian Akses Menuju Keadilan adalah
Kesempatan atau kemampuan setiap warga negara tanpa
membedakan latar belakangnya ( ras, agama, keturunan,
pendidikan, atau tempat lahirnya) untuk memperoleh keadilan
melalui lembaga peradilan. Termasuk juga akses bagi masyarakat
khususnya bagi kelompok miskin, buta hukum, dan tidak berpendidikan
terhadap mekanisme yang adil dan akuntabel (bertanggungjawab)
untuk memperoleh keadilan dalam sistem hukum positif melalui
lembaga peradilan.
Latar belakang faktual yang mendasari lahirnya pemikiran-
pemikiran mengenai Akses Menuju Keadilan adalah kenyataan bahwa
tidak semua golongan dalam masyarakat memperoleh kesempatan
yang sama untuk memperoleh keadilan pada saat menghadapi masalah
hukum di pengadilan. Seperti yang dikatakan oleh Warren Burger,
seorang hakim Pengadilan di Amerika Serikat pernah mengatakan
bahwa: Sistem Pengadilan telah dipenuhi dengan pengacara yang
buas, hakim yang ganas dan pegawai dengan beban kesibukan yang
tinggi sehingga tidak dapat menyediakan prosedur yang adil.
Padahal, pendekatan historis dan filsafat selalu menginginkan
hukum berkaitan dengan keadilan. Dalam kata lain, pengadilan sebagai
pelaksana hukum adalah suatu lembaga yang akan memberikan
keadilan bagi mereka yang mencari keadilan, tidak peduli siapapun dan
bagaimanapun latar belakangnya. Namun, dalam kenyataannya, hukum
sejak semula selalu mengandung potensi untuk cenderung memberikan
1
keuntungan kepada mereka dari golongan yang lebih mampu secara
finansial.
1

Jurang pemisah antara tujuan ideal hukum, yaitu keadilan dengan
kenyataan hidup sehari-hari digambarkan oleh George Bernard Shaw
2

sebagai berikut:
The law is equal before all of us, but we are not all equal
before the law. Virtually there is one law for the rich and
another for the poor, one law for the cunning and another
for the simple, one law for the forceful and another for the
feeble, one law for the ignorant and another for the learned,
one law for the brave and another for the timid, and within
family limits one law for the parent and no law at all for the
child.

Celah antara cita-cita keadilan dan praktik pelaksanaannya dalam
kehidupan sehari-hari telah melahirkan suatu pandangan John Rawls
mengenai keadilan. Rawls memandang keadilan seperti dua sisi mata
uang yang tidak dapat terpisahkan. Keadilan mengandung prinsip
persamaan (equality); di sisi lain, keadilan juga mengandung prinsip
perbedaan (difference). Prinsip persamaan termaktub dalam kalimat
setiap warga negara bersamaan haknya di hadapan hukum. Di sisi
lain, prinsip perbedaan memberikan kewajiban kepada pemerintah
untuk memberikan perlindungan dan perlakuan khusus kepada warga
negara yang secara ekonomi dan sosial berada dalam posisi kurang
beruntung atau lemah.

1
Satjipto Rahardjo, Sisi-Sisi Lain dari Hukum di Indonesia, Penerbit Buku Kompas,
Jakarta, 2003, hlm. 177.
2
George Bernard Shaw adalah penulis drama Inggris. Kalimat tersebut dikutip dari
naskah drama berjudul Millionairess. Lihat Laurence, Dan H. (ed), The Bodley Bernard
Shaw: Collected Plays with their Prefaces, vol. 6, 1973. Lihat juga Kurniawan, Runtuhnya
Tafsir Hukum Monolitik, Sketsa Wacana Hukum di Tengah Masyarakat yang Berubah, Jurnal
Hukum JENTERA, Edisi 01/Agustus 2002, hlm. 71.
2
Apa yang dikemukakan oleh John Rawls sesungguhnya bukan hal
baru bagi kita di Indonesia, prinsip persamaan ini dapat dilihat juga
dalam sila ke-5 Pancasila
3
, alinea IV Pembukaan UUD 1945
4
, dan Pasal
27 UUD 1945.
5
Dengan kata lain, negara Republik Indonesia
memberikan perlindungan hukum yang sama bagi seluruh warga
negara Indonesia tanpa memandang dasar agama, ras/suku,
keturunan, atau tempat lahirnya, dan latar belakang ekonomis,
pendidikan, dll.
6

Dengan demikian, topik mengenai Akses Menuju Keadilan
dilandasi oleh semangat untuk melindungi hak-hak warga negara yang
secara ekonomis kurang beruntung, bukan hanya pada saat
menghadapi masalah di peradilan, tetapi juga meliputi haknya untuk
memperoleh informasi mengenai segala sesuatu yang berkaitan dengan
lembaga pengadilan.
Khusus mengenai pembicaraan tentang Akses Menuju Keadilan
sebagai hak untuk memperoleh informasi, maka pembahasan materi
tersebut berkaitan erat dengan topik mengenai Transparansi yang
merupakan istilah yang sudah lebih dulu dikenal. Sebagai contoh, dalam
Cetak Biru Pembaruan Mahkamah Agung yang dikeluarkan oleh
Mahkamah Agung tahun 2003, hlm. 205, menyebutkan bahwa salah
satu bentuk dari transparansi bahwa publik diberikan keleluasaan untuk
mengakses informasi. Jaminan untuk mengakses informasi ini akan

3
Sila Kelima Pancasila berbunyi: Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
4
Alinea ke-4 Pembukaan UUD 1945 berisi 5 dasar negara yang kemudian dikenal dengan
nama Pancasila.
5
Pasal 27 UUD 1945 : Segala warganegara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan
wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya; (2) Tiap-tiap
warganegara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan; (3) Setiap
warganegara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara.
6
Ali, H. Zainuddin, Sosiologi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hlm. 101-102.
3
memudahkan masyarakat dalam melakukan kontrol terhadap
Mahkamah Agung...
7
Memang antara Akses Menuju Keadilan dan Transparansi
memiliki keterkaitan yang sangat erat. Keduanya disebut-sebut dalam
pembahasan mengenai Reformasi Peradilan. Keduanya juga saling
berkaitan dengan istilah lain yang juga biasa kita dengar, yaitu
akuntabilitas peradilan atau judicial accountability.
Pembicaraan mengenai Akses Menuju Keadilan dan Transparansi
menjadi topik bahasan yang menarik sehubungan dengan makin
meningkatnya tekanan masyarakat terhadap jajaran pengadilan
Indonesia untuk melakukan reformasi yang disesuaikan dengan
reformasi demokrasi di bidang ketatanegaraan. Namun dalam makalah
ini kami tidak membahas mengenai Transparansi, oleh karena topik
mengenai Transparansi telah dibahas oleh pemateri sebelumnya.
Namun berbeda dengan pengertian transparansi yang
menitikberatkan pada akuntabilitas atau kontrol masyarakat kepada
badan peradilan, pengertian akses menuju keadilan meletakkan titik
berat kepada pelayanan sistem peradilan kepada masyarakat,
khususnya golongan masyarakat yang tidak mampu secara finansial.


AKSES MENUJU KEADILAN

Pembicaraan mengenai Akses Menuju Keadilan dalam makalah ini
berpedoman kepada terms of reference yang diberikan oleh Panitia
Penyelenggara seminar ini. Permasalahan dalam pembicaraan Akses

7
Cetak Biru Pembaruan Mahkamah Agung, Mahkamah Agung Republik Indonesia, 2003,
hlm. 205.
4
Menuju Keadilan adalah hak setiap orang untuk mendapatkan akses
memperoleh keadilan melalui lembaga peradilan yang merupakan Hak
Asasi Manusia.
Mengenai Akses Menuju Keadilan Joshua Rozenberg berpendapat:
Few of us give it a second thought. We assume justice will
somehow be available, on tab, whenever we need it, but when the
time comes to enforce our rights many of us will find it very
difficult if not downright impossible to obtain true justice from
the courts.
8

Sebagai negara hukum (rechtsstaat) sebagaimana bunyi pasal 1
ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan Negara
Indonesia adalah negara hukum; maka negara harus menjamin
persamaan setiap orang di hadapan hukum serta melindungi hak asasi
manusia. Persamaan di hadapan hukum memiliki arti bahwa semua
orang memiliki hak untuk diperlakukan sama di hadapan hukum
(equality before the law). Persamaan perlakuan di hadapan hukum bagi
setiap orang berlaku dengan tidak membeda-bedakan latar
belakangnya (ras, agama, keturunan, pendidikan atau tempat lahirnya),
untuk memperoleh keadilan melalui lembaga peradilan.
Pasal 8 UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang
telah dilengkapi dan disempurnakan dengan UU No. 4 Tahun 2003,
secara eksplisit menyatakan bahwa setiap orang, yang disangka,
ditangkap, ditahan, dituntut dan/atau dihadapkan di depan pengadilan,
wajib dianggap tidak bersalah sebelum adanya putusan pengadilan,
yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum
yang tetap. Secara implisit makna persamaan kedudukan di hadapan

8
Joshua Rozenberg, The Search For Justice An Anotamy od the Law, Hodder and
Stoughton Ltd, 194, hlm. 171. Yang terjemahannya kurang lebih adalah Beberapa dari kita
memberikan suatu permikiran bahwa keadilan telah ada dan tersedia apabila kita
membutuhkannya, akan tetapi apabila tiba waktunya untuk melaksanakan hak-hak kita, kita
akan mendapatkan kesulitan-kesulitan atau tidak mendapatkannya sama sekali, untuk
memperoleh keadilan yang benar dari lembaga peradilan.

5
hukum dapat ditemukan juga dalam Pasal 37 dan Pasal 38 UU No. 4
Tahun 2004 jo. UU No. 4 Tahun 2003 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Di dalam UU No. 8 tahun 1981 tentang KUHAP, baik persamaan
kedudukan di hadapan hukum maupun asas praduga tak bersalah tidak
secara tegas dicantumkan dalam salah satu pasal, namun hal itu
tersirat baik dalam Konsideran dan Penjelasan Umum KUHAP,
khususnya dalam angka 3 antara lain ditegaskan: asas yang
mengatur perlindungan terhadap keluhuran harkat serta martabat
manusia yang telah diletakkan di dalam Undang-undang tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, yaitu UU No. 14
Tahun 1970 harus ditegakkan dalam dan dengan undang-undang ini.
Asas-asas yang dimaksud tersebut, antara lain, adalah:
a. Perlakuan yang sama atas diri setiap orang di hadapan hukum
dengan tidak mengadakan pembedaan perlakuan.
b. Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, didakwa di
pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan
pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh
kekuatan hukum tetap (presumption of innocence).
c. Setiap orang yang tersangkut perkara wajib diberi kesempatan
memperoleh bantuan hukum yang semata-mata diberikan untuk
melaksanakan kepentingan pembelaan atas dirinya.
Dalam hubungan ini Solly Lubis
9
menjelaskan bahwa:
Yang dimaksud dengan kedudukan yang sama dalam
hukum dalam Pasal 27 ayat (1) itu adalah meliputi baik
bidang hukum privat maupun hukum publik, sehingga
karenanya setiap warga negara mempunyai hak untuk
mendapatkan perlindungan dengan mempergunakan kedua
kelompok hukum tersebut dan jika ditilik selanjutnya, maka
tampak bahwa hukum yang dimaksud sebagai alat, sudah

9
Solly Lubis, Pembahasan UUD 1945, Alumni, Bandung, 1975, hlm. 112.
6
mencakup segi-segi keperdataan dan kepidanaan, serta
cabang-cabang hukum publik lainnya, seperti Hukum Tata
Negara, Hukum Tata Pemerintahan, Hukum Acara
Pidana/Perdata dan sebagainya, di dalam Pasal 27 ayat (1)
UUD 1945 tersebut telah tercakup semua hak-hak hukum
seperti disebutkan di dalam UUD.
Bentuk persamaan perlakuan di hadapan hukum adalah bahwa
semua orang berhak untuk memperoleh pembelaan dari advokat sesuai
dengan ketentuan undang-undang, sehingga tidak hanya orang yang
mampu saja yang dapat memperoleh pembelaan dari
advokat/penasihat hukum tetapi juga fakir miskin atau orang yang tidak
mampu juga dapat hak yang sama dalam rangka memperoleh keadilan
(access to justice).
Pada abad ini Askes Menuju Keadilan dapat digambarkan sebagai
berikut:
Justice, as so administered, has to be available to all, on an
equal footing. This is the ideal, but one which has never been
attained, due largely to inequalities of wealth and power and an
economic system which maintains and tends to increase the
inequalities.
10
Ada banyak kasus di Indonesia di mana orang dengan mudah bisa
menyebutkan bagaimana orang-orang yang sederhana dan tidak punya
uang mengalami perlakuan hukum yang tidak adil. Kasus Sengkon-
Karta pada akhir 1970-an mungkin merupakan kasus yang paling
terkenal di Indonesia. Kemudian perkara yang terbaru, perkara
terdakwa Prita yang sempat ditahan di Rutan atas laporan penghinaan
terhadap RS. Omni Internasional. Pada kasus-kasus tersebut, pihak
terdakwa atau terhukum adalah orang-orang lemah secara ekonomis,

10
Justice In The Twenty-First Century; Cavendish Publishing (Australia) Pty Limited,
2000. Yang terjemahannya kurang lebih adalah: Keadilan, sebagaimana dijalankan, harus
tersedia untuk semua, sederajat kedudukannya. Inilah sesuatu yang ideal, tetapi hal ini tidak
pernah dicapai, karena terdapat ketidaksamaan kemakmuran dan kekuasaan serta sistem
ekonomi yang mempertahankan dan cenderung meningkatkan ketidaksamaan.
7
sehingga mereka tidak mampu menemukan keadilan yang sepantasnya
bagi perkara mereka; atau di mana si terlapor atau terdakwa yang
kalah ketika berhadapan dengan laporan pihak lain yang memiliki
kekuatan ekonomi besar dan dapat mempengaruhi lembaga peradilan.
Untuk memudahkan pembahasan pada makalah ini, maka penulis
akan membahas Akses Menuju Keadilan dari 2 (dua) sisi, yaitu
bagaimana Akses Menuju Keadilan berdasarkan:
(1) sistem hukum acara pidana; dan
(2) berdasarkan sistem hukum acara perdata.
Pembahasan keduanya perlu dibedakan, karena juga menganut tata
cara dan sistem yang berbeda, sekalipun tetap juga memiliki titik-titik
persamaan.
Selain itu, pembicaraan mengenai Akses Menuju Keadilan juga
menyangkut kemudahan bagi masyarakat luas untuk memperoleh
informasi mengenai hal-hal yang terjadi di pengadilan. Hal ini didasari
pada suatu pendapat bahwa pengadilan selain sebagai lembaga
yudikatif, juga merupakan lembaga yang memberikan pelayanan publik
kepada semua orang atau kepada masyarakat luas. Oleh karena itu,
pelayanan yang diberikan juga harus mudah dipahami dan mudah
didapatkan seperti selayaknya lembaga-lembaga pelayanan publik
lainnya.
Hal ini berarti bahwa Akses Menuju Keadilan bisa dipandang
melalui 2 (dua) sudut pandang yang saling melengkapi. Secara privat,
berarti Bantuan Hukum dan secara publik berarti Informasi Hukum.



8
A. BANTUAN HUKUM

Mengenai Bantuan Hukum, Joshua Rozenberg mengatakan:
For many people the legal aid scheme will be no more than a
cruel deception apparently available to help them a problem
arises, but in practice priced out of their reach
11
Pada dasarnya, usaha-usaha terhadap Akses Menuju Keadilan
telah diselenggarakan di Indonesia sejak tahun 1970, di mana dalam
TAP MPR No. IV/MPR/1978 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara
(GBHN)
12
, mengenai pembangunan di bidang hukum, telah ditetapkan
arah pembangunan bidang kepada:
1) Peningkatan dan penyempurnaan pembinaan hukum nasional
dengan mengadakan pembaharuan kodifikasi serta unifikasi hukum
di bidang-bidang tertentu;
2) penertiban badan-badan penegak hukum sesuai dengan fungsi dan
wewenang masing-masing;
3) peningkatan kemampuan dan kewibawaan aparat penegak hukum;
4) pembinaan penyelenggaraan bantuan hukum untuk golongan
masyarakat yang kurang mampu.
Melalui GBHN tahun 1978, maka Indonesia mulai secara aktif
membicarakan Akses Menuju Keadilan yang digambarkan sebagai
Bantuan Hukum bagi mereka yang tidak mampu. Pelaksanaan atas
GBHN tersebut diwujudkan dengan lahirnya UU No. 8 Tahun 1981
Tentang Hukum Acara Pidana, yang menggantikan hukum acara
peninggalan masa kolonial sebagaimana diatur dalam HIR/RIB dan RBG.

11
Ibid, Joshua Rozenberg, hal. 171. Yang terjemahannya kurang lebih adalah Untuk
banyak orang, bantuan hukum tidak lebih dari tipuan kejam - seharusnya ditujukan untuk
membantu mereka yang menghadapi masalah hukum, tetapi dalam prakteknya menuntut biaya
diluar kemampuannya.
12
Ketetapan MPR ini merupakan salah satu pertimbangan dalam UU No. 8 Tahun 1981
tentang KUHAP.
9
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa Akses Menuju Keadilan
dalam sistem hukum acara pidana diwujudkan dalam bentuk Bantuan
Hukum. Oleh karena itu, apabila orang membicarakan tentang
Bantuan Hukum, maka pembicaraan adalah mengenai sistem hukum
acara pidana itu sendiri.
Pengertian ini sedikit berbeda jika kita berbicara dalam konteks
sistem hukum acara perdata. Bantuan Hukum tidak mengenai sistem
hukum acara perdata, karena di dalam hukum acara perdata, tidak ada
kewajiban khusus bagi pemohon atau penggugat untuk menggunakan
Penasihat Hukum. Setiap orang dapat mengajukan sendiri
permasalahan hukumnya langsung kepada pengadilan.
Masuknya ketentuan mengenai Bantuan Hukum dalam Hukum
Acara Pidana ini dipandang sebagai suatu tonggak penting dalam
perlindungan HAM di Indonesia, selain itu mengingat masalah Bantuan
Hukum ini merupakan hal yang esensi dalam setiap sistem hukum di
negara-negara modern.
Oleh karena itu, kami akan menguraikan mengenai bagaimana
sistem hukum acara pidana Indonesia dalam UU No. 8 Tahun 1981
mengatur tentang Bantuan Hukum tersebut.

1) Akses Menuju Keadilan Dalam Sistem Hukum Acara Pidana
Bantuan hukum merupakan pelaksanaan Pasal 1 ayat (1) KUHP
13

yang lazim disebut sebagai asas legalitas. Asas legalitas sendiri adalah
asas umum Hukum Pidana yang berlaku universal. Meskipun tidak
secara nyata menyebut tentang bantuan hukum, namun pasal 1 KUHP

13
Pasal 1 Ayat (1) KUHP berbunyi: Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali
berdasarkan kekuatan ketentuan-ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada.
10
ini mempunyai substansi dan tujuan yang sama, yaitu sebagai
perlindungan hukum atas hak kebebasan dan jiwa raga seorang
tersangka atau terdakwa. Sehingga adalah layak juga apabila bantuan
hukum dipandang sebagai wujud nyata atas asas legalitas.
14
Bantuan hukum adalah instrumen penting dalam Sistem Peradilan
Pidana karena merupakan bagian dari perlindungan HAM, khususnya
terhadap hak atas kebebasan dan hak atas jiwa-raga. Namun
pertanyaan paling mendasar adalah apakah bantuan hukum itu
bersifat wajib ataukah baru diwajibkan setelah beberapa syarat
tertentu dipenuhi.
Berdasarkan ketentuan Pasal 56 ayat (1) Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana, seseorang yang dituntut untuk kejahatan-
kejahatan yang diancam dengan hukuman penjara minimal 5 tahun
harus dibantu oleh Penasihat hukum, atau bantuan hukum lain dari
Lembaga Bantuan Hukum yang dibentuk oleh Lembaga Swadaya
Masyarakat.
15
Hak untuk dibela advokat dan perolehan bantuan hukum bagi
fakir miskin sudah ada sejak dahulu sebagaimana diatur dalam
Reglement op de rechtsvordering (Rv) bagi golongan Eropa (Europeans)
dan HIR bagi golongan Timur Asing (Vreemde Oosterlingen). Namun
tidak ada jaminan serupa bagi masyarakat golongan pribumi.
Apabila melihat Pasal 54 KUHAP maka pada prinsipnya hak atas
bantuan hukum tersebut diakui, tetapi tidak termasuk ke dalam hak
yang bersifat wajib. Ada kondisi atau syarat tertentu yang harus
dipenuhi sebelum hak atas bantuan hukum tersebut menjadi

14
Merupakan pendapat O.C. Kaligis dalam Disertasinya berjudul: Perlindungan Hukum
Atas Hak Asasi Tersangka, Terdakwa Dan Terpidana Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia
15
Access to Justice in Indonesia, Special Note on Indonesias Transitional Era and
Corruption by Maruarar Siahaan, Access to Justice in Asian and European Transitional Countries,
Bogor, 27-28 June.
11
wajib. Pasal 56 Ayat (1) dan (2) KUHAP menyatakan bahwa syarat
khusus tersebut menyangkut:
(a) kemampuan (finansial); dan
(b) ancaman hukuman bagi tindak pidana yang disangkakan.
Apabila ketentuan wajib tersebut diabaikan, akan menimbulkan
akibat tuntutan Jaksa Penuntut Umum tidak dapat diterima atau
mengakibatkan Penyidikan menjadi tidak sah. Pendirian pengadilan
seperti itu dapat dilihat dalam salah satu putusan Mahkamah Agung No.
1565 K/Pid/1991 tertanggal 16 September 1993. Dalam kasus ini,
proses pemeriksaan Penyidikan melanggar pasal 56 ayat (1) KUHAP,
yakni Penyidikan berlanjut terhadap Tersangka tanpa didampingi oleh
penasihat hukum. Pelanggaran ini dijadikan alasan kasasi, dan
dibenarkan oleh peradilan tingkat kasasi, dengan pertimbangan:
Apabila syarat-syarat penyidikan tidak dipenuhi seperti
halnya Penyidik tidak menunjuk penasihat hukum bagi
Tersangka sejak awal Penyidikan, tuntutan Penuntut Umum
dinyatakan tidak dapat diterima.
Kondisi dan syarat-syarat seperti itu menimbulkan ketidakpastian,
khususnya mengenai bagaimana penyidik bisa menilai apakah seorang
tersangka mampu secara finansial atau tidak untuk membayar jasa
Penasihat Hukum. Tampaknya, syarat ini diadakan karena pada awal
terbentuknya, KUHAP mencoba untuk mencari kompromi antara dua
keadaan yang terjadi dalam masyarakat Indonesia pada waktu itu, yaitu
kondisi di daerah-daerah terpencil di Indonesia, di mana penegakan
hukum tetap harus berjalan sekalipun tidak ada tenaga penasihat
hukum.
12
Contoh lain, dalam kasus Bom Kuningan dengan Terdakwa Joko
Triharmanto dan Purnama Putra.
16
Pada saat dakwaan dibacakan,
kedua Terdakwa tersebut tidak didampingi oleh Penasihat Hukum,
padahal ancaman hukuman maksimal yang didakwakan kepada mereka
adalah hukuman mati sesuai Pasal 9 dan 13 huruf b Perpu No. 1/2002
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Juncto UU No. 15
tahun 2003 tentang Penetapan Perpu No. 1/2002 menjadi UU.
Rencananya kedua terdakwa tersebut didampingi oleh Penasihat Hukum
dari Mabes Polri, namun tanpa ada keterangan yang jelas Penasihat
Hukum tersebut tidak hadir di persidangan. Terhadap tidak adanya
Penasihat Hukum para Terdakwa, maka Majelis Hakim meminta Jaksa
Penuntut Umum untuk memastikan kedua terdakwa harus didampingi
oleh Penasihat Hukum pada persidangan selanjutnya, mengingat
ancaman pidana yang didakwakan adalah pidana mati.
Pada masa sekarang mengenai bantuan hukum secara cuma-
cuma diatur dalam pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Advokat No. 18
Tahun 2003 tentang Advokat yang berbunyi: Advokat wajib
memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada pencari
keadilan yang tidak mampu; dan juga diatur dalam Peraturan
pemerintah No. 83 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara
Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma; sebagai peraturan
pelaksana dari pasal 22 ayat (1) UU No. 18 Tahun 2003 tentang
Advokat.
Dalam pasal 1 angka (6) PP No. 83 Tahun 2008, disebutkan
bahwa Lembaga Bantuan Hukum adalah lembaga yang memberikan

16
Lihat Harian KORAN TEMPO, tanggal 3 Januari 2006, Lima Tersangka Bom Kuningan
Diadili, hlm. 6. Lihat Diduga Membantu Noordin M. Top, Lima Terdakwa Teroris Mulai Diadili,
<http://cms.sip.co.id/hukumonline/detail.asp?id=1416&cl>, dikutip pada tanggal 23 Juni 2003.
Lihat juga Terdakwa Pengebom Kedubes Australia Di Sidang,
<http://www.suaramerdeka.com/harian/0601/03/nas17.html>, dikutip pada tanggal 23 Juni
2003.
13
bantuan hukum kepada Pencari Keadilan tanpa menerima pembayaran
honorarium. Namun konsep bantuan hukum sebagaimana dimaksud
dalam pasal 1 angka (6) PP No. 83 Tahun 2008 tersebut tidak sesuai
dengan apa yang terjadi pada kenyataannya. Pada kenyataan banyak
terdapat kantor-kantor advokat yang mengaku sebagai organisasi
bantuan hukum tapi sebenarnya berpraktik komersial dan memungut
fee, yang menyimpang dari konsep pro bono public yang sebenarnya
merupakan kewajiban advokat.
17
Hal ini terjadi karena tidak ada
peraturan perundang-undangan yang secara tegas memberikan sanksi
bagi advokat yang menolak memberikan bantuan hukum secara cuma-
cuma kepada orang yang tidak mampu membayar. Peraturan yang ada
hanya memberikan sanksi oleh Organisasi Advokat kepada advokat
yang melanggar ketentuan tersebut berupa sanksi teguran lisan,
teguran tertulis, pemberhentian sementara, dan pemberhentian tetap
dari profesinya, sebagaimana diatur dalam pasal 14 ayat (1) dan (2) PP
No. 83 Tahun 2008. Oleh karena itu diperlukan undang-undang bantuan
hukum yang mengatur dan memberikan sanksi yang tegas serta
mengikat kepada advokat yang menolak memberikan bantuan hukum
secara cuma-cuma kepada orang yang tidak mampu dan mempertegas
hak konstitusional fakir miskin untuk memperoleh bantuan hukum.
Namun yang jadi permasalahan adalah bahwa peraturan
perundang-undangan mengenai bantuan hukum secara cuma-cuma
hanya mengatur untuk golongan yang tidak mampu dan fakir miskin,
sebagaimana diatur dalam pasal 1 angka (4) PP No. 83 Tahun 2008
yang berbunyi: Pencari Keadilan yang tidak mampu yang selanjutnya
disebut Pencari Keadilan adalah orang perseorangan atau sekelompok
orang yang secara ekonomis tidak mampu memerlukan jasa hukum

17
Frans Hendra Winarta, Probono Publico, Hak Konstitusional Fakir Miskin untuk
Memperoleh Bantuan Hukum, hal. 12, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 2009

14
Advokat untuk menangani dan menyelesaikan masalah hukum dan
pasal 4 ayat (3) PP No. 83 Tahun 2008 yang berbunyi: Dalam
permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pencari Keadilan
harus melampirkan keterangan tidak mampu yang dibuat oleh pejabat
yang berwenang; sehingga bagaimanakah untuk golongan menengah
yang tidak dapat digolongankan fakir miskin dan juga tidak dapat
dikatakan mampu (kaya) untuk membayar jasa pengaca/advokat,
namun ditolak untuk mendapatkan surat keterangan tidak mampu oleh
pejabat yang berwenang dengan alasan termasuk golongan yang
mampu untuk membayar jasa pengacara/advokat ?
Mengenai bantuan hukum Jerold Auerbach berpendapat bahwa:
Throughout the 20
th
century, as judges and lawyers have
monotonously conceded, legal institutions have defaulted on
their obligation to provide justice for all. This is surely
because the ideal of equal justice is incompatible with the
social realities of unequal wealth, power, and opportunity,
which no amount of legal formalism can disguise.
18

Dalam memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma, aspek
terpenting dalam bantuan hukum adalah segi pendanaan. Kondisi
financial sangat penting dalam menentukan pengembangan program
bantuan hukum. Segi pendanaan untuk bantuan hukum bagi orang
yang tidak mampu seharusnya merupakan tanggung jawab negara. Jika
negara mengabaikan tugas konstitusionalnya untuk membiayai gerakan
bantuan hukum dan tidak mengalokasikan anggaran tertentu dalam

18
Justice In The Twenty-First Century; Cavendish Publishing (Australia) Pty Limited,
2000. Hal. 82. terjemahannya kurang lebih adalah: Sepanjang abad 20, para hakim dan para
pengacara terus-menerus mengakui bahwa lembaga-lembaga hukum sudah gagal memenuhi
kewajiban mereka untuk menyediakan keadilan untuk semua. Hal ini terjadi karena ide dari
keadilan yang sama ternyata tidak sejalan dengan kenyataan-kenyataan sosial dari
kemakmuran yang tidak merata, kekuasaan dan kesempatan, di mana tidak ada lagi formalisme
hukum yang dapat disembunyikan.
15
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), itu artinya negara
tidak memenuhi kewajibannya untuk melindungi fakir miskin.
Namun dalam kenyataannya negara tidak menyediakan dana
yang signifikan untuk membiayai bantuan hukum bagi orang fakir
miskin dan tidak mampu. Contohnya adalah dukungan financial bagi
YLBHI (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia) yang merupakan
lembaga bantuan hukum diperoleh dari sumbangan-sumbangan luar
negeri, seperti dari Amerika Serikat, Belanda, Swedia, Belgia, Australia,
dan Kanada.
19

Di India, bantuan hukum diakui sebagai hak konstitusional yang
dinyatakan dalam Konstitusi India pasal 21 dan 22, intinya adalah
negara di berikan tanggung jawab untuk menyediakan bantuan hukum
bagi fakir miskin. Di Filipina, negara membantu pendanaan bagi
bantuan hukum untuk orang miskin melalui kejaksaan agung,
sedangkan Undang-Undang Dasar 1945 pasal 34 ayat (1) mengakui hak
sipil, politik, ekonomi, budaya dan sosial fakir miskin tetapi belum
menyediakan dana signifikan dalam Anggaran Pendapatan dan
Pembelanjaan Negara (APBN) bagi bantuan hukum.
20
Negara
seharusnya menyediakan dana yang diambil dari APBN bagi
terselenggaranya bantuan hukum.
Sedangkan dalam perkara pidana, Pasal 56 ayat (1) KUHAP
menjamin bahwa untuk perkara-perkara pidana dengan ancaman
hukuman mati atau hukuman lebih dari 15 tahun atau ancaman
hukuman lebih dari 5 tahun bagi mereka yang tidak mampu, negara
melalui pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan
dalam proses peradilan wajib menunjuk penasihat hukum. Pada masa
lalu, setiap pengadilan dapat menunjuk Penasihat Hukum yang tersedia

19
Ibid, Frans Hendra Winarta, hal. 15
20
Frans Hendra Winarta, Suara Rakyat Hukum Tertinggi, PT Kompas Media Nusantara,
2009
16
di Pos Bantuan Hukum (Posbakum) yang umumnya ada di setiap
pengadilan negeri. Sekarang ini dengan adanya Peraturan Pemerintah
No. 83 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian
Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma; maka diharapkan orang yang
tidak mampu membayar jasa advokat/penasihat hukum dapat meminta
bantuan hukum secara cuma-cuma untuk menghadapi perkaranya dan
setiap orang yang tidak mampu serta diancam pidana penjara paling
sedikit 5 tahun dapat memperoleh penasihat hukum/advokat dalam
menghadapi perkaranya di pengadilan.
Di Amerika Serikat, setiap proses pidana akan dimulai dengan
Miranda Rule yang merupakan hak tersangka sebelum diperiksa oleh
penyidik/instansi yang berwenang.
21
Hak tersebut antara lain adalah
hak untuk diam, karena segala perkataannya dapat digunakan untuk
melawannya di pengadilan; hak untuk mendapatkan penasihat
hukum/advokat untuk membela hak-hak hukumnya, dan bila ia tidak
mampu maka ia berhak mendapatkan penasihat hukum dari negara,
yang diberikan oleh pejabat yang bersangkutan.
22
Hak tersebut
merupakan bagian dari hak untuk memperoleh keadilan. Miranda Rule
hanya merupakan penegasan saja terhadap hak-hak asasi manusia
untuk memperoleh keadilan yang telah ada sebelumnya. Keadilan di sini
termasuk keadilan atas kepastian hukum dalam tata cara mengadilinya.
Disamping hak-hak yang telah diatur dalam Miranda Rule sebagai
Hak Asasi Manusia (HAM). Ternyata ada HAM lain yang berkaitan
dengan Miranda Rule yang telah pula diakomodasi dalam peraturan-

21
M. Sofyan Lubis, ; Prinsip Miranda RuleHak Tersangka Sebelum Pemeriksaan; Hal.
15; Pustaka Yustisia, 2010. Miranda Rule berbunyi: You have the right to remain silent. You
have the right to the pressence of an attorney. If you cannot afford an attorney, one will be
appointed for you. (huruf tebal oleh Penulis) Anything you say can and will be used against
you.
Terjemahan: Anda berhak untuk diam. Anda berhak atas kehadiran penasihat hukum. Jika
anda tidak mampu menunjuk penasihat hukum, maka negara akan memilihkan. Apapun yang
anda katakan dapat dan akan digunakan untuk menuntutmu.
22
Ibid, M Sofyan Lubis, hal. 22
17
peraturan perundang-undangan di Indonesia. Adapun prinsip-prinsip
yang ada di dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia,
adalah sebagai berikut:
Hak untuk dianggap sama di depan hukum (pasal 17 UU HAM)
Hak untuk mendapat bantuian dan perlindungan yang adil dari
pengadilan yang objektif (pasal 5 ayat (2) UU HAM).
Hak memperoleh keadilan dari pengadilan yang jujur dan adil.
Hak untuk dianggap tidak bersalah sebelum diputuskan oleh
hakim (pasal 18 ayat (1) UU HAM)
Hak untuk dituntut hanya berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku
Hak untuk mendapatkan ketentuan hukum yang paling
menguntungkan tersangka, jika perubahan aturan hukum (pasal
18 ayat (3) UU HAM)
Hak untuk mendapatkan bantuan hukum sejak penyidikan sampai
adanya putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap (pasal 18
ayat (4) UU HAM)
Hak untuk dituntut pidana hanya berdasar aturan hukum yang
telah ada sebelumnya (pasal 18 ayat (2) UU HAM)
Hak untuk tidak dituntunt untuk kedua kalinya dalam kasus yang
sama (pasal 18 ayat (5) UU HAM)
Hak untuk mendapat jaminan hukum yang diperlukan untuk
pembelaannya (pasal 18 ayat (1) UU HAM)

Berdasarkan ketentuan pasal 54 dan pasal 114 KUHAP, sebelum
penyidik melakukan pemeriksaan terhadap seorang tersangka maka
tersangka wajib diberitahukan hak-haknya, termasuk untuk
mendapatkan bantuan hukum dengan didampingi oleh penasihat hukum
dalam pemeriksaannya. Berdasarkan ketentuan pasal 115 KUHAP
penasihat hukum dalam mendampingi tersangka dilakukan dengan cara
18
menyaksikan dan mendengar pemeriksaan yang dilakukan oleh
penyidik, namun dalam hal kejahatan terhadap keamanan negara,
penasihat hukum dapat hadir dengan cara melihat tetapi tidak dapat
mendengar pemeriksaan terhadap tersangka. Adapun hak-hak
tersangka selama pemeriksaan yang harus dihormati dan diperhatikan
oleh penyidik adalah sebagai berikut:
Hak untuk memberikan keterangan secara bebas tanpa tekanan dari
siapa pun dan atau dalam bentuk apa pun (pasal 117 ayat (1)
KUHAP).
Hak untuk dicatat keterangan yang diberikannya dengan seteliti-
telitinya sesuai dengan kata-kata yang dipergunakan oleh tersangka
sendiri (pasal 117 ayat (2) KUHAP).
Hak untuk meneliti dan membaca kembali hasil pemeriksaan
sebelum tersangka menandatanganinya (pasal 118 ayat (1) KUHAP).
Dari ketentuan pasal 114 KUHAP diatur bahwa penyidik
berkewajiban sebelum pemeriksaan dimulai, memberitahukan bahwa
tersangka berhak mendapatkan bantuan hukum dari penasihat
hukum/advokat, dan memberitahukan bahwa perkara yang dihadapinya
mengharuskan dirinya dalam pemeriksaan didampingi penasihat
hukum/advokat. Sesuai dengan prinsip-prinsip Miranda Rule, maka
pemberitahuan tersebut seharusnya diberikan setelah seseorang
dinyatakan sebagai tersangka, dengan maksud agar tersangka punya
waktu untuk menghubungi atau mengupayakan penasihat hukum atau
advokat guna mengkonsultasikan permasalahan yang sedang
dihadapinya tersebut.
Namun yang terjadi selama ini bukanlah demikian, seseorang
yang dijadikan tersangka tidak langsung diberitahukan akan hak-hak
hukumnya. Pemberitahuan dilakukan pada saat pemeriksaan dimulai,
sehingga hal itu mengakibatkan tersangka tidak punya waktu dan
19
kesempatan untuk mencari, menghubungi, dan berkonsultasi dengan
penasihat hukum/advokat tentang perkara yang sedang dihadapinya.
Pemberitahuan tersebut juga terkesan hanya formalitas.
Miranda Rule merupakan aturan yang bersifat universal di hampir
semua negara yang berdasarkan hukum mempunyai peraturan hukum
yang mirip. Negara Indonesia yang merupakan negara hukum sangat
menghormati Miranda Rule yang dibuktikan dengan mengadopsi
Miranda Rule ini ke dalam sistem Hukum Acara Pidana yaitu di dalam
pasal 56 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1981 KUHAP yang berbunyi: Dalam
hal tersangka atau terdakwa disangka atau didakwa melakukan tindak
pidana yang diancam dengan pidana mati atau ancaman pidana lima
belas tahun atau lebih atau bagi mereka yang tidak mampu yang
diancam dengan tindak pidana lima tahun atau lebih yang tidak
mempunyai penasihat hukum sendiri, pejabat yang bersangkutan pada
semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjuk
penasihat hukum bagi mereka.
Ketentuan pasal 56 ayat (1) KUHAP dipandang dari pendekatan
strict law atau formalitas legal thinking mengandung beberapa aspek
permasalahan hukum, antara lain:
Mengandung aspek nilai Hak Asasi Manusia (HAM), di mana bagi
setiap tersangka atau terdakwa berhak didampingi penasihat hukum
pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan. Hak ini
tentu sejalan dan/atau tidak boleh bertentangan dengan Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia yang menegaskan hadirnya penasihat
hukum untuk mendampingi tersangka atau terdakwa merupakan
sesuatu yang inhaerent pada diri manusia. dan konsekuensi logisnya
bagi penegak hukum yang mengabaikan hak ini adalah bertentangan
dengan nilai HAM.
20
Pemenuhan hak ini oleh penegak hukum dalam proses peradilan
pada semua tingkat pemeriksaan menjadi kewajiban dari pejabat
yang bersangkutan apabila tindak pidana yang disangkakan atau
didakwakan diancam pidana mati atau 15 tahun atau lebih, atau bagi
yang tidak mampu yang diancam dengan pidana 5 tahun atau lebih
yang tidak mempunyai penasihat hukum sendiri. Berdasarkan
ketentuan pasal 56 ayat (1) KUHAP ini tentu kehadiran dan
keberadaan penasihat hukum mendampingi tersangka bersifat
imperatif, sehingga kalau mengabaikannya maka mengakibatkan
hasil pemeriksaan atau hasil penyidikan tidak sah atau batal demi
hukum.
Pasal 56 ayat (1) KUHAP sebagai ketentuan yang bernilai HAM telah
diangkat menjadi salah satu patokan Miranda Rule di Indonesia.
Apabila pemeriksaan/penyidikan, penuntutan atau pemeriksaan
perkara tersangka/terdakwa di persidangan tidak didampingi
penasihat hukum maka sesuai dengan Miranda Rule, hasil penyidikan
tidak sah (illegal) atau batal demi hukum (null and void).
23


Kewajiban pejabat yang bersangkutan untuk menunjuk penasihat
hukum pada suatu tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan tersebut
tidak berlaku/gugur atau terdapat pengecualian dalam hal sebagai
berikut:
a. sebelum pemeriksaan dimulai tersangka/terdakwa telah
mempunyai penasihat hukum sendiri yang telah ia tunjuk sendiri
atau atas tunjukan dari keluarga tersangka tersebut;
b. Tersangka atau terdakwa tersebut diancam dengan pidana kurang
dari 5 (lima) tahun (sebagaimana diatur dalam pasal 21 ayat (4)
huruf a KUHAP).


23
Ibid, M. Sofyan Lubis, hal. 34
21
Namun dalam hal tersangka menolak untuk didampingi oleh
penasihat hukum, maka guna terciptanya transparansi penegakan
hukum, pihak penyidik seyogyanya membuat berita acara penolakan
tersangka atau membuat surat pernyataan dari tersangka yang
bersangkutan yang isinya menolak adanya penasihat hukum dalam
perkara yang dihadapinya, dan mengenai adanya surat pernyataan
penolakan dari tersangka tersebut harus diketahui dan turut
ditandatangani pula oleh penasihat hukum yang bersangkutan
tersebut.
24

2) Akses Menuju Keadilan Dalam Sistem Hukum Acara Perdata
Setiap orang mempunyai persamaan di hadapan hukum,
sebagaimana dikemukakan dalam Pasal 27 UUD 1945, sebagai ide atau
gagasan atau cita-cita hukum. Asas persamaan hak disebut juga
sebagai asas equality before the law. Dalam praktik sehari-hari
dikatakan bahwa pengadilan wajib menjunjung tinggi prinsip persamaan
di hadapan hukum (equality before the law) sebagai bentuk keadilan.
Penerapan prinsip equality dapat dipandang sebagai landasan paling
hakiki bagi kekuasaan kehakiman. Melalui prinsip ini kekuasaan
kehakiman dituntut untuk memberikan berbagai hak (kepentingan)
individual yang terlibat pada suatu perkara, dan keseimbangan antara
hak-hak individual tersebut dengan kepentingan masyarakat yang lebih
luas cakupannya. Dalam dimensi universal, hakim wajib memperhatikan
asas simillia similibus (kasus serupa diperlakukan serupa).
Secara kontekstual, hakim justru mendapati kasus-kasus yang
seolah-olah serupa, tetapi sesungguhnya tidak mewakili konstelasi hak
(kepentingan) yang serupa pula. Setiap kasus memiliki keunikan yang

24
Ibid, M. Sofyan Lubis, hal. 40.
22
pada akhirnya harus diperlakukan secara khusus pula. Jika generalisasi
perlakuan terjadi, justru akan melukai rasa keadilan, sebagaimana
diungkapkan dalam slogan summun ius summa injuria (hukum yang
mutlak adalah ketidakadilan terbesar).
25
Dengan demikian penerapan asas equality before the law harus
tercermin dalam proses beracara di pengadilan, bukan pada putusan
perkaranya. Penerapan asas equality before the law perlu diterapkan
sejak pertama kali seorang pencari keadilan mendaftarkan gugatan atau
tuntutannya sampai kepada putusan dan eksekusi putusan pengadilan
yang telah berkekuatan hukum tetap.
Ketentuan Pasal 237 - 241 HIR / Pasal 272 281 RBg telah
mengatur bahwa orang-orang yang betul-betul tidak mampu membayar
bisaya perkara boleh minta izin kepada Ketua Pengadilan Negeri agar
berperkara secara cuma-cuma (prodeo) disertai dengan surat
keterangan dari kelurahan (sekarang ini dikenal dengan surat
keterangan miskin).
Ketentuan Pasal 118 HIR / 142 RBg mengatur gugatan yang
dibuat dengan tulisan tangan dan ditandatangani sendiri oleh
Penggugat.
Ketentuan Pasal 120 HIR / 144 RBg mengatur juga tentang
gugatan yang tidak tertulis bagi orang yang tidak bisa baca-tulis.
Penggugat dapat datang ke pengadilan dan mohon kepada Ketua
Pengadilan Negeri setempat untuk mengajukan gugatan tidak tertulis.
Kemudian Ketua Pengadilan Negeri akan menunjuk hakim atau panitera
yang akan membantu pemohon/penggugat untuk membuat gugatannya
secara tertulis. Dengan mengajukan sendiri gugatannya, pemohon atau

25
J. Djohansjah, Reformasi Mahkamah Agung Kepada Independensi Kekuasaan
Kehakiman, Kesaint Blanc, Jakarta, 2008, hlm. 68.
23
masyarakat tidak wajib menggunakan jasa advokat (kecuali dalam
perkara kepailitan).
Perkara perdata yang mencerminkan keberpihakan pengadilan
terhadap nasib rakyat miskin, dapat dicermati dalam kasus Kedung-
Ombo.
Perkara Kedung-Ombo ini merupakan contoh konkrit bagaimana
pengadilan menerapkan prinsip equality dan prinsip keadilan dari John
Rawls dan Jeremy Bentham yang menyatakan bahwa memaksimalkan
persamaan penghasilan akan tercapai apabila setiap orang dilindungi
dalam batas-batas tertentu agar ia dapat leluasa bergabung dalam
aktivitas produksi. Bagaimana kesejahteraan itu ditentukan oleh bentuk
dan besar-kecilnya masyarakat yang akan menikmati atau terkena
akibat dari suatu kebijakan.
26

Konsep keadilan sosial dapat dilihat dari Putusan Mahkamah
Agung RI No. 2263 K/Pdt/1991 tanggal 20 Juli 1991, yang dikenal
dengan perkara Kedungombo. Proyek bendungan Kedungombo adalah
proyek pemerintah yang berguna untuk meningkatkan padi dalam
rangka program swasembada beras. Proyek tersebut menyebabkan
beberapa desa yang berada di areal bendungan harus dibebaskan.
Pembebasan dan ganti rugi belum lagi selesai ketika bendungan
berfungsi dan rumah-rumah penduduk digenangi air. Putusan MARI
tersebut memenangkan gugatan para petani dan memberikan ganti rugi
lebih daripada tuntutan dalam gugatan mereka.
Putusan kasasi MARI tersebut mewakili konsep keadilan sosial.
Setiap kesejahteraan berarti persamaan kesejahteraan dan hal itu
berarti juga perlindungan terhadap masyarakat marjinal agar

26
Posner, Richard A., the Economics of Justice, Harvard University Press, Cambridge,
1983, hlm. 91
24
merekapun dapat dengan leluasa ikut atau menikmati aktivitas ekonomi
tersebut. Proyek bendungan Kedung Ombo adalah proyek yang baik
bagi masyarakat petani di Jawa Tengah maupun masyarakat Indonesia
secara keseluruhan karena mendukung tujuan swasembada pangan.
Tetapi penduduk yang akan kehilangan tanah dan rumahnya tidak boleh
menjadi penonton atau korban atas proyek tersebut. Penduduk yang
terkena proyek juga harus ikut menikmati keberadaan proyek tersebut
melalui aktivitas ekonomi berupa ganti rugi atas tanah dan rumah
mereka.
27

Kasus Kedung Ombo berawal pada tahun 1982, dengan
dimulainya pembangunan waduk Kedung Ombo yang menyebabkan
6.576 Hektar lahan harus dibebaskan. Proyek tersebut terletak di 3
(tiga) keresidenan: Semarang, Pati dan Surakarta, dan 9 (sembilan)
kabupaten: Semarang, Demak, Kudus, Pati, Blora, Grobogan, Jepara,
Boyolali dan Sragen. Jumlah seluruh penduduk yang terkena dampak
pembebasan tanah akibat proyek meliputi 5.268 kepala keluarga atau
sekitar 30.000 jiwa. Pembebasan tidak berjalan lancar. Sampai waduk
Kedung Ombo diresmikan pada tanggal 18 Mei 1991, masih sekitar 600
keluarga yang menolak ganti rugi dan tetap bertahan di daerah
genangan. 34 orang di antara keluarga yang menolak ganti rugi
kemudian mengajukan gugatan ke PN Semarang dengan tuntutan agar
diberikan ganti rugi yang wajar sebesar Rp 10.000,- / meter persegi.
Pada tanggal 20 Desember 1990, melalui putusan No.
117/Pdt/G/1990/PN.Smg, gugatan para penggugat dinyatakan ditolak.

27
Menciptakan keseimbangan antara kepentingan umum (algemeen belang) di satu sisi
dengan kepentingan individual (individueel belang) di sisi lain bukanlah merupakan persoalan
yang mudah. Di masa Orde Baru, kepentingan umum selalu didahulukan atau dikedepankan.
Pemerintah atas nama negara memiliki hak untuk mencabut atau mengabaikan hak-hak
individu demi kepentingan umum. Perkembangan dewasa ini telah berubah. Seiring
keikutsertaan Indonesia dalam berbagai konvensi internasional HAM, maka hak-hak yang
dianggap sebagai non-derogable rights tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan
dengan alasan apapun, termasuk oleh pemerintah sekalipun.
25
Pada tanggal 9 April 1991, Pengadilan Tinggi Semarang dalam putusan
No. 143/Pdt/1991/PT.Smg, ternyata menguatkan putusan PN
Semarang. Warga kemudian mengajukan kasasi kepada Mahkamah
Agung yang pada tanggal 28 Juli 1993, dalam putusan No.
2263K/Pdt.1991, Majelis Hakim Agung (Prof. Z. Asikin Kusumah
Atmadja; A.M. Manrapi; dan R.L. Tobing) mengabulkan permohonan
kasasi para warga Kedung Ombo. Bahkan putusan kasasi Mahkamah
Agung memerintahkan agar pemerintah membayar ganti rugi yang jauh
lebih besar (Rp 50.000,- / meter persegi) dari tuntutan yang diminta
oleh warga Kedung Ombo. Bahkan Majelis Hakim menetapkan kerugian
imaterial sesuai dengan petitum ex aequo et bono sebesar Rp 2 Milyar.
Mejelis Hakim Z. Asikin Kusumah Atmadja bependapat bahwa:
...tanah yang digunakan adalah milik warga berekonomi
lemah yang ditempati turun temurun, sehingga setelah
mereka rela melepaskan tanahnya seharusnya diberi ganti
rugi yang mendekati realitas agar mereka bisa memperoleh
tanah pengganti. Perbuatan pemerintah dalam kasus ini
adalah tidak sah dan bertentangan dengan hukum, sehingga
akibat semua ini, warga telah kehilangan kenikmatan hidup
(nilai imaterial) yang seharusnya ditambahkan pada nilai
ganti rugi.... uang ganti rugi yang ditetapkan dalam surat
keputusan tersebut di atas sangat minim dan tidak
manusiawi, sebab uang ganti rugi tersebut di bawah harga
umum dan tidak dapat digunakan untuk membeli barang
yang sejenis/kualitas/kwantitas yang sama.... uang ganti
rugi yang diperoleh dari para Termohon Kasasi tidak
dapat/bisa untuk membeli tanah dan rumah sebagaimana
yang dimiliki semula.
Berdasarkan ketentuan Hukum Acara Perdata, Hakim dilarang
memberikan putusan lebih dari tuntutan yang diminta.
28
Risiko atas
tindakan tersebut adalah putusan menjadi batal demi hukum.
29
Hakim

28
Ketentuan ini terdapat dalam Pasal 178 Ayat (3) HIR: Hakim tidak diizinkan
menjatuhkan keputusan atas perkara yang tidak digugat, atau memberikan lebih daripada yang
digugat [asas judex non reddit plus quam quod petens ipse requirit atau a judge does not give
more than what the complaining party himself demands].
29
Pada tanggal 30 Juli 1994, Presiden Soeharto mengadakan pertemuan dengan Ketua
Mahkamah Agung. Presiden meminta secara khusus agar Ketua MA memberikan keputusan
26
dalam perkara ini berpendapat lain. Pelanggaran atas ketentuan hukum
acara yang bersifat imperatif adalah berdasarkan pertimbangan tujuan
keadilan bagi masyarakat luas. Nilai tanah bagi pegawai di kota besar
dan bagi kaum petani di pedesaan tentunya berbeda. Bagi orang kota
tanah adalah benda tidak bergerak yang mempunyai harga. Sementara
bagi kaum petani, tanah adalah seluruh hidup, nafkah, dan harta turun
temurun yang dipelihara. Pendekatan keadilan hukum hanya akan
melihat hukum dari sisi legal, tanah sebagai benda tetap yang
mempunyai harga. Tetapi pendekatan keadilan sosial akan melihat
aspek-aspek sosial dan perkembangan masyarakat. Oleh karena itu
putusan hakim pada tingkat kasasi dirasakan lebih memberikan
keadilan.
Akses kepada keadilan di bidang hukum acara perdata juga
mengakomodasikan perkembangan kasus-kasus seperti perkara Kedung
Ombo tersebut, di mana suatu tindakan hukum atau kebijakan dapat
saja menimbulkan kerugian bagi masyarakat banyak.

yang seadil-adilnya dalam penanganan Peninjauan Kembali perkara ini. Ketua MA tidak
menganggap pernyataan Presiden tersebut sebagai bentuk intervensi eksekutif. Purwoto
berpendapat, hal ini adalah himbauan yang wajar-wajar saja, sekalipun pemerintah merupakan
pihak dalam sengketa tersebut. Lihat Abdul Hakim G. Nusantara dan Budiman Tanuredjo,
Dua Kado Hakim Agung buat Kedung Ombo: Tinjauan Putusan-Putusan Mahkamah Agung
tentang Kasus Kedung Ombo, Jakarta, Elsam, 1977, hlm. 87.
Melalui Putusan tanggal 29 Oktober 1994, No. 650 PK/Pdt.1994, dengan majelis hakim
terdiri atas Ketua Mahkamah Agung dan 4 orang ketua muda MA (pimpinan MA) Mahkamah
Agung membatalkan putusan kasasi dan menyatakan gugatan warga Kedung Ombo tidak dapat
diterima (niet ontvankelijk verklaard). Dalam pertimbangannya, Majelis hakim PK berpendapat
bahwa hakim pada tingkat kasasi telah menyalahi ketentuan hukum acara Pasal 178 Ayat (3)
HIR.
Selanjutnya Mejelis Hakim PK mengatakan: juga sesuai dengan tertib acara, apabila
hakim telah mengabulkan tuntutan primer pemohon, maka tuntutan subsider (nilai imaterial)
tidak bisa dipertimbangkan lagi. Jika hakim memutuskan berdasarkan ex aquo et bono, tetapi
nilainya tidak boleh melebihi tuntutan primer. Ganti rugi akibat kehilangan kenikmatan hidup,
selain tidak diminta oleh pemohon, juga kurang dipertimbangkan oleh hakim. Berdasarkan Pasal
1370, 1371, dan 1372 KUHPerdata, ganti rugi imaterial hanya dapat diberikan untuk kondisi
tertentu, seperti kematian, luka berat dan penghinaan. Majelis Hakim Purwoto menyatakan
bahwa oleh karena dalam perkara ini pemohon (warga Kedung Ombo) menggunakan Peraturan
Menteri Dalam Negeri No. 15 Tahun 1975, sementara Majelis Hakim berpendapat seharusnya
dipergunakan ketentuan Keppres No. 55 Tahun 1993 sebagai sumber hukum yang digunakan
dalam perkara, maka gugatan tersebut tidak dapat diterima.
27
Ketentuan Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2002 tentang
Acara Gugatan Perwakilan Kelompok memberikan kesempatan kepada
masyarakat luas yang dirugikan akibat tindakan hukum atau kebijakan
tertentu, untuk mengajukan gugatannya secara bersama-sama ke
pengadilan.
Dengan cara ini, maka tiap-tiap orang yang merasa dirugikan oleh
suatu tindakan hukum tidak perlu mengajukan gugatan satu per satu
atas nama orang per orang. Cukup dengan membentuk satu kelompok
dan menunjuk perwakilannya untuk mengajukan gugatan kepada pihak
tertentu.
Sayangnya saat ini belum semua perbuatan hukum dapat
diajukan gugatan kelompok. Saat ini hanya perkara-perkara di bidang
tertentu saja yang boleh diajukan secara gugatan kelompok (class
action), antara lain perkara-perkara yang berkaitan dengan UU No. 23
Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No. 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen, dan UU No. 41 tentang 1999
tentang Kehutanan.
Sesungguhnya gugatan kelompok (class action) ini akan sangat
memudahkan dan membantu pihak masyarakat kecil yang secara
langsung menjadi korban kerugian atas tindakan tindak bertanggung
jawab pihak lain. Namun dalam praktiknya gugatan kelompok tidak
mudah dilaksanakan karena pengelolaan anggota-anggota kelompok
yang juga tidak mudah.


B. INFORMASI HUKUM
Seiring dengan berlangsungnya reformasi ketatanegaraan di
Indoensia pada tahun 1998, Mahkamah Agung tergerak untuk segera
28
melakukan perubahan-perubahan dan perbaikan-perbaikan, khususnya
Untuk membangun Pengadilan yang fair dan transparan.
Mahkamah Agung menyadari bahwa pengadilan yang fair dan
transparan dibentuk dalam rangka mewujudkan peradilan yang
berkualitas. Untuk mencapainya, maka para hakim maupun
penyelenggara peradilan harus memiliki integritas, ilmu pengetahuan
dan kemampuan yang memadai.
Peradilan yang berkualitas, menurut Mahkamah Agung, terdiri
atas 3 (tiga) unsur, yaitu:
a) dipenuhinya pertimbangan Yuridis, Sosiologis dan Filosofis
dalam setiap putusan pengadilan;
b) tercapainya unsur efisiensi, berupa penyelenggaraan peradilan
yang dilakukan secara sederhana, cepat dan biaya ringan.
c) Adanya efektivitas dalam setiap putusan berupa keseragaman
(unifikasi) dan kepastian hukum.

Untuk mencapai peradilan yang berkualitas, Mahkamah Agung
telah menetapkan sejumlah langkah kebijaksanaan yang diwujudkan
sebagai berikut:
1) Mengupayakan asas peradilan cepat, sederhana dan biaya yang
terjangkau dilaksanakan secara konsisten dan konsekwen,
sehingga dapat memenuhi rasa keadilan bagi pencari keadilan
dari seluruh lapisan masyarakat, termasuk golongan masyarakat
yang tidak mampu;
2) Menyempurnakan administrasi peradilan untuk mempercepat
proses penyelesaian perkara pada tingkat pertama dan banding
dari semua lingkungan peradilan serta meningkatkan proses
penyelesaian perkara di tingkat kasasi dan peninjauan kembali;
29
3) Melanjutkan upaya untuk lebih memfungsikan dan
mendayagunakan tempat sidang tetap (zittingsplaatsen) dalam
rangka mendekatkan badan peradilan dengan pencari keadilan
serta agar perkara dapat diselesaikan di tempat kasus perkara
terjadi.
4) Mendorong Badan Peradilan agar dapat berfungsi sebagai
penggerak masyarakat dalam pembangunan hukum dan
pembinaan tertib hukum;
5) Mendorong para hakim agar dalam mengambil putusan, di
samping senantiasa harus berdasarkan pada hukum yang berlaku,
juga berdasarkan atas keyakinan yang seadil-adilnya dan sejujur-
jujurnya dengan mengingat akan kebebasan yang dimilikinya
dalam meriksa dan memutus perkara. Oleh karena itu, dalam
menegakkan hukum perlu digunakan metode analisis yuridis
komprehensip untuk memecahkan permasalahan hukum,
khususnya perkara. Analisis ini menggunakan pendekata yuridis,
sebagai pendekatan pertama dan utama yaitu sesuai dengan
ketentuan peraturan perundanga-undangan yang berlaku,
pendekatan filosofis yaitu berintikan rasa keadilan dan kebenaran
serta pendekatan sosiologis yaitu sesuai dengan tata nilai budaya
yang berlaku di masyarakat.
6) Meningkatkan kualitas serta kemampuan profesional para hakim
dari semua lingkungan peradilan melalui pelatihan teknis yustisial
berupa pendalaman materi terutama dalam menghadapi
perkembangan hukum sebagai dampak dari globalisasi dan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
7) Meningkatkan pengawasan terhadap penyelenggaraan peradilan
di semua lingkungan peradilan.
8) Sikap keterbukaan/transparansi merupakan langkah yang diambil
lembaga peradilan sehingga setiap orang terutama para pencari
30
keadilan dapat mengetahui sejauh mana penyelesaian
perkaranya, khususnya di Mahkamah Agung. Sikap keterbukaan
ini di Mahkamah Agung awalnya dikenal dengan namun Akses
121. Sayangnya kemudian tidak berjalan baik, hingga sekarang
diganti menjadi SIMARI (Sistem Informasi Mahakamah Agung
RI), dan kini telah diubah lagi namanya menjadi SIAP MARI
(Sistem Informasi dan Administrasi Peradilan MARI). Dewasa
ini pun, setiap pengadilan negeri maupun pengadilan agama,
utamanya di kota-kota besar Indonesa juga sudah mempunyai
situs internet sendiri yang memberikan informasi mengenai
pengadilan yang bersangkutan.

Tuntutan-tuntutan agar pengadilan lebih transparan ditanggapi
oleh Mahkamah Agung dengan mengeluarkan Keputusan Ketua
Mahkamah Agung RI No. 144/KMA/SK/VII/2007 tentang Keterbukaan
Informasi di Pengadilan, tanggal 28 Agustus 2007.
Melalui keputusan tersebut Mahkamah Agung memberikan
pedoman mengenai informasi-informasi apa saja yang harus
diumumkan kepada publik, yaitu:
1) gambaran umum pengadilan yang antara lain, meliputi: fungsi,
tugas, yuridiksi dan struktur organisasi Pengadilan tersebut serta
telepon, faksimili, nama dan jabatan pejabat Pengadilan non
Hakim;
2) gambaran umum proses beracara di Pengadilan;
3) hak-hak pencari keadilan dalam proses peradilan;
4) biaya yang berhubungan dengan proses penyelesaian perkara
serta biaya hak-hak kepaniteraan sesuai dengan kewenangan,
tugas dan kewajiban Pengadilan;
5) putusan dan penetapan Pengadilan yang telah berkekuatan tetap;
31
6) putusan dan penetapan Pengadilan Tingkat Pertama dan
Pengadilan Tingkat Banding yang belum berkekuatan hukum tetap
dalam perkara-perkara tertentu, yakni:
a. korupsi;
b. terorisme;
c. narkotika/psikotropika;
d. pencucian uang; atau
e. perkara lain yang menarik perhatian publik atas perintah
Ketua Pengadilan.
7) agenda sidang pada Pengadilan Tingkat Pertama;
8) agenda sidang pembacaan putusan, bagi Pengadilan Tingkat
Banding dan Pengadilan Tingkat Kasasi;
9) mekanisme pengaduan dugaan pelanggaran yang dilakukan
hakim dan pegawai;
10) hak masyarakat dan tata cara untuk memperoleh informasi di
pengadilan.

Khusus untuk Mahkamah Agung
30
, selain informasi-informasi di
atas, juga wajib untuk mengumumkan informasi tentang:

30
Mahkamah Agung telah mengembangkan Sistem Informasi / komputerisasi yang
dinamakan SIAP MARI (dahulu namanya SIMARI). Sistem Informasi tersebut akan terdiri
atas Sistem Inti dan Sistem Pendukung. Sistem Inti akan mengemukakan tentang: (i) Sistem
Informasi Adminstrasi Perkara (SIAP); (ii) Sistem Informasi Adminstrasi Hukum (SIAH); (iii)
Portal Internet yang dapat diakses oleh umum melalui website
<http://www.mahkamahagung.go.id>. Sedangkan Sistem Pendukung yang bersifat internal
akan berisi modul: (i) Sistem Informasi Kepegawaian MA (SIKMA); Sistem Informasi Keuangan
(SIKeu); (iii) Sistem Informasi Perencanaan (SIRen); (iv) Sistem Informasi Sarana Prasarana
(SILog); dan (v) Sistem Pengawasan (SIWasbin). Pengembangan sistem informasi berbasis
komputerisasi (Akses 121) sesungguhnya telah dimulai oleh Mahkamah Agung pada tahun 1998
setelah penulis bersama-sama dengan Ibu Mariana Sutadi dan Bapak Kahardiman ditugaskan
oleh Ketua Mahkamah Agung untuk melakukan studi banding mengenai Integrated Court
Administration di Amerika Serikat. Menurut Arlene Sheskin dan Charles W. Grau, masuknya
teknologi informasi dalam sistem hukum Amerika karena tuntutan rasionalisasi penggunaan
dana dan sumber daya pengadilan. Penggunaan teknologi informasi menjadi pilihan karena
selama bertahun-tahun cara ini telah dipergunakan oleh perusahaan-perusahaan swasta agar
tetap memiliki daya saing dan memenuhi tuntutan konsumen. Inti dari penggunaan teknologi
informasi adalah integrasi dari seluruh tugas administrasi pengadilan dengan peran profesi-
profesi pengadilan yang sudah ada sebelumnya. Integrasi tersebut juga berarti menggabungkan
pekerjaan-pekerjaan rutin pengadilan dengan para pekerja profesional yang baru. Lihat tulisan
32
(1) Peraturan Mahkamah Agung;
(2) Surat Edaran Mahkamah Agung;
(3) Yurisprudensi Mahkamah Agung;
(4) Laporan Tahunan Mahkamah Agung;
(5) Rencana strategis Mahkamah Agung;
(6) Pembukaan pendaftaran untuk pengisian posisi hakim atau
pegawai.
Selain dari informasi-informasi yang telah dikemukakan di atas,
maka bagi negara dengan topografi seperti Indonesia yang terdiri dari
banyak kepulauan, maka letak gedung pengadilan yang hanya ada di
Ibukota Kabupaten/Kotamadya juga merupakan salah satu
permasalahan Akses Menuju Keadilan, yang menyebabkan masyarakat
di pedalaman sulit untuk memperjuangkan hak-hak hukumnya melalui
lembaga pengadilan.
Di masa Hindia Belanda, diadakan tempat-tempat sidang tetap di
luar gedung pengadilan yang disebut dengan istilah zittingsplaatsen.
Hakim-hakim (dalam perkara pidana) dan jaksa akan datang dan
menyidangkan perkara-perkara di tempat tersebut.
31

Tempat-tempat zittingsplaatsen seperti masa Hindia Belanda ini
sempat dihidupkan di masa Orde Baru. Sayangnya karena tidak ada
anggaran yang memadai, maka tempat-tempat zittingsplaatsen
tersebut tidak terawat bahkan sering dijadikan kandang hewan ternak
oleh masyarakat sekitar. Pada akhirnya gagasan yang mendekatkan
pencari keadilan dengan pengadilan ini lenyap dengan sendirinya.

Arlene Sheskin and Charles W. Grau, Judicial Responses to Technocratic Reform,
terungkap dalam Cramer, James A. (ed.), Courts and Judges, volume 15, Sage Publications,
Baverlly Hills, 1981, hlm. 225-227.
31
Bagir Manan, Kekuasaan Kehakiman Indonesia Dalam UU No. 4 Tahun 2004, FH UII
Pers, Yogyakarta, 2007, hlm. 59
33
Penulis berpendapat, gagasan mengenai zittingsplaatsen ini perlu
dihidupkan kembali. Jika pemerintah bisa menyediakan akses
kesehatan (seperti puskesmas keliling, Kantor Pos Keliling, Kantor Pajak
Keliling, bahkan SIM Keliling), maka tentu saja penyediaan pengadilan
dengan hakim/jaksa keliling juga dapat dilakukan. Hal ini juga akan
sangat membantu dalam mendidik masyarakat mengenai hukum dan
bagaimana memperjuangkan hak-hak perorangan atau individu dan
hak-hak masyarakat.


Penutup dan Saran

Berdasarkan uraian kami tersebut di atas, maka penulis
berkesimpulan, bahwa:
1. Akses Menuju Keadilan dalam pengertian Bantuan Hukum kepada
kaum lemah dan miskin sekalipun telah diatur dalam KUHAP,
namun masih memerlukan sinkronisasi dengan ketentuan
peraturan hukum lainnya, misalnya dengan UU Kejaksaan atau
UU Kepolisian atau UU Peradilan. Selain itu, juga perlu
diperhatikan bahwa syarat atau kondisi dalam KUHAP untuk
mengakses Bantuan Hukum juga perlu dihilangkan. Hak atas
Bantuan Hukum adalah bersifat mutlak dan bukan pilihan, kecuali
si tersangka atau terdakwa menolak dengan tegas haknya
tersebut.
2. Perlu juga dipertimbangkan dan disiapkan bahwa Bantuan Hukum
bukan hanya sekedar hak bagi tersangka atau terdakwa, tetapi
juga kewajiban bagi para Advokat. Dengan demikian, hak Advokat
untuk menerima honorarium harus ditanggung oleh negara.
34
Dalam hal ini, pemerintah perlu membuat mekanisme
pembayarannya melalui sistem keuangan negara.
3. Akses Menuju Keadilan dalam pengertian Informasi Hukum
merupakan pelayanan publik dari lembaga peradilan. Dengan
menggunakan teknologi informasi, diharapkan setiap orang di
pelosok manapun berada dapat dengan mudah dan murah
menerima informasi mengenai tata cara, biaya dan hal-hal lain
yang berkaitan dengan proses beracara di pengadilan.

Demikianlah ceramah kami, mudah-mudahan dapat bermanfaat
bagi Jejaring Komisi Yudisial sekalian. Terima kasih atas perhatiannya.

Denpasar, 26 Juni 2010

Dr. J. Djohansjah, S.H., M.H.
35
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Hakim G. Nusantara dan Budiman Tanuredjo, Dua Kado Hakim
Agung buat Kedung Ombo: Tinjauan Putusan-Putusan Mahkamah
Agung tentang Kasus Kedung Ombo, Elsam, Jakarta, 1977.
Ali, H. Zainuddin, Sosiologi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2005.
Arlene Sheskin and Charles W. Grau, Judicial Responses to Technocratic
Reform, Cramer, James A. (ed.), Courts and Judges, volume 15,
Sage Publications, Baverlly Hills, 1981.
Bagir Manan, Kekuasaan Kehakiman Indonesia Dalam UU No. 4 Tahun
2004, FH UII Pers, Yogyakarta, 2007.
Cetak Biru Pembaruan Mahkamah Agung, Mahkamah Agung Republik
Indonesia, 2003.
Frans Hendra Winarta, Probono Publico, Hak Konstitusional Fakir Miskin
untuk Memperoleh Bantuan Hukum, PT. Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta 2009

Frans Hendra Winarta, Suara Rakyat Hukum Tertinggi, PT Kompas
Media Nusantara, 2009
J. Djohansjah, Reformasi Mahkamah Agung Kepada Independensi
Kekuasaan Kehakiman, Kesaint Blanc, Jakarta, 2008.
Joshua Rozenberg, The Search For Justice An Anotamy od the Law,
Hodder and Stoughton Ltd, 194,
Justice In The Twenty-First Century, Cavendish Publishing (Australia)
Pty Limited, 2000.
Kurniawan, Runtuhnya Tafsir Hukum Monolitik, Sketsa Wacana Hukum
di Tengah Masyarakat yang Berubah, Jurnal Hukum JENTERA,
Edisi 01/Agustus 2002.
Laurence, Dan H. (ed), The Bodley Bernard Shaw: Collected Plays with
their Prefaces, vol. 6, 1973.
Posner, Richard A., the Economics of Justice, Harvard University Press,
Cambridge, 1983
36
Satjipto Rahardjo, Sisi-Sisi Lain dari Hukum di Indonesia, Penerbit Buku
Kompas, Jakarta, 2003.
Solly Lubis, Pembahasan UUD 1945, Alumni, Bandung, 1975.
Sofyan Lubis, Prinsip Miranda Rule Hak Tersangka Sebelum
Pemeriksaan; Pustaka Yustisia, 2010.
Access to Justice in Indonesia, Special Note on Indonesias Transitional
Era and Corruption by Maruarar Siahaan, Access to Justice in
Asian and European Transitional Countries, Bogor, 27-28 June.
Harian Koran Tempo, tanggal 3 Januari 2006,







37

You might also like