You are on page 1of 29

5

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Menings
Menings merupakan selaput atau membran yang terdiri dari jaringan
penyambung yang melapisi otak. Menings terdiri dari tiga bagian yaitu duramater,
arakhnoid mater dan pia mater.
12

1. Duramater
Duramater dibentuk dari jaringan ikat fibrosa dan merupakan selaput yang
keras. Karena tidak melekat erat pada selaput arakhnoid di bawahnya, maka
terdapat suatu rongga potensial yang disebut rongga subdural yang terletak di
antara duramater dan arakhnoid mater dimana sering terjadi perdarahan
subdural.
13,14
Rongga subdural ini secara anatomik tidak ada, namun terdapat
suatu jaringan longgar yang disebut lapisan sel pembatas dura (dural-border
cell layer). Jaringan yang tidak mengandung kolagen ini mudah rapuh dan
terisi oleh sel-sel darah membentuk perdarahan subdural.
14

Secara konvensional, duramater otak terdiri dari dua lapis yaitu lapisan
endosteal dan lapisan meningeal. Kedua lapisan ini melekat dengan rapat,
kecuali sepanjang tempat-tempat tertentu mereka terpisah untuk membentuk
sinus-sinus venosus.
12

Lapisan endosteal sebenarnya merupakan lapisan periosteum yang
menutupi permukaan dalam tulang kranium. Pada foramen magnum, lapisan
ini tidak bersambung dengan duramater medula spinalis. Di sekitar pinggir
semua foramina cranii, lapisan ini menyambung dengan periosteum pada
permukaan luar tulang-tulang tengkorak. Pada sutura-sutura, lapisan endosteal
berlanjut dengan ligamentum sutura. Lapisan endosteal melekat dengan erat
pada tulang-tulang di basis cranii.
15,16

Lapisan meningeal adalah duramater yang sebenarnya, sering disebut
dengan cranial duramater. Merupakan membran fibrosa padat dan kuat yang
membungkus otak serta bersambung dengan duramater medula spinalis
6



melalui foramen magnum.
16
Lapisan meningeal membentuk empat septum ke
arah dalam yaitu falx cerebri, tentorium cerebelli, falx cerebelli dan
diaphragma sellae. Falx cerebri dan tentorium cerebelli membagi rongga
kranium menjadi tiga ruang yang terpisah tidak sempurna yaitu dua belahan
(hemisfer) serebri dan satu serebellum. Fungsi septum ini adalah untuk
menghambat pergeseran otak.
12,15,17

Pada lapisan duramater ini terdapat banyak cabang-cabang pembuluh
darah yang berasal dari arteri carotis interna, a.maxilaris, a.pharyngeus
ascendens, a.occipitalis dan a.vertebralis. Dari sudut klinis, yang terpenting
adalah a.meningea media (cabang dari a.maxillaris) karena arteri ini umumnya
sering pecah pada keadaan trauma kapitis yang menyebabkan terjadinya
perdarahan epidural.
12
Pembuluh darah lain yang juga memiliki aspek klinis
yang penting adalah bridging veins. Bridging veins ialah pembuluh-pembuluh
vena yang berjalan dari permukaan otak meliputi lobus frontalis, parietalis dan
oksipitalis yang melewati rongga subdural menuju sinus sagitalis superior di
garis tengah. Robekan pada bridging veins akibat cedera kepala dapat
menyebabkan terjadinya perdarahan subdural.
3,13

Gambar 2.1 Bridging veins (ditandai dengan lingkaran merah). A. Bridging veins
dan lapisan menings normal; B. Robekan pada bridging veins menyebabkan
perdarahan subdural
Keterangan : SS (sinus sagitalis superior); BV (bridging veins); DP (plexus
venosus dura); PA (penetrating arteriole); MA/MV (arteri/vena meningeal).
Sumber : Julie Mack et all, Pediatr Radiol : Anatomy and Development of the
Meninges, 2009.
A
7



Pada duramater terdapat banyak ujung saraf sensoris dari nervus
trigeminus. Duramater peka terhadap regangan sehingga jika terjadi stimulasi
pada ujung saraf ini dapat menimbulkan sakit kepala yang hebat.
12

2. Arakhnoid mater
Merupakan membran halus yang bersifat impermeabel, terletak di antara
piamater di bagian dalam dan duramater di bagian luar. Membran ini
dipisahkan dari piamater oleh ruang subarakhnoid yang berisi cairan
serebrospinal. Dinding dari ruang arakhnoid ini ditutupi oleh sel-sel mesotelial
yang gepeng. Arakhnoid mater berhubungan dengan piamater melalui untaian
jaringan fibrosa halus yang membentuk jembatan-jembatan di atas sulkus pada
permukaan otak. Pada tempat-tempat tertentu, arakhnoid mater dan pia mater
terpisah agak lebar untuk membentuk villi arakhnoidea yang berfungsi sebagai
tempat difusi cairan serebrospinal ke dalam aliran darah.
12,15

3. Pia mater
Piamater adalah membran vaskular yang diliputi oleh sel-sel mesotelial
yang gepeng. Struktur ini melekat erat pada otak, menutupi girus-girus dan
turun hingga mencapai bagian sulkus yang paling dalam.
16

Gambar 2.2 Anatomi Menings
Sumber : Atlas Anatomi Sobotta Jilid 1 Edisi 21 Halaman 264, 2005.
8



2.2 Aspek Fisiologis pada Kepala
Berbeda dengan organ tubuh lainnya, jaringan otak terdapat dalam rongga
tulang tengkorak yang sifatnya tertutup, kaku dan keras serta dilindungi oleh
selaput durameter yang tidak elastis sehingga mengurangi kemungkinan
pengembangan jaringan otak dalam keadaan tertentu. Sebagai dampaknya,
kompartemen intrakranial yang terdiri dari jaringan otak, darah dan cairan
serebrospinal harus tetap konstan. Tekanan intrakranial merupakan jumlah total
dari tekanan yang mewakili volume jaringan otak, volume darah intrakranial dan
cairan serebrospinalis yang normalnya adalah 5-15 mm Hg. Adanya peningkatan
volume dari salah satu komponen tersebut akan menyebabkan penurunan volume
dari komponen yang lain agar dapat mempertahankan tekanan intrakranial.
Misalnya jika terdapat massa berupa perdarahan maka akan dikompensasi dengan
memindahkan cairan serebrospinalis dari rongga tengkorak ke kanalis spinalis dan
volume darah intrakranial akan menurun karena berkurangnya peregangan
durameter. Hubungan antara tekanan dan volume ini dikenal dengan compliance.
Apabila volume dari salah satu kompartemen intrakranial meningkat dan tidak
dapat dikompensasi oleh kedua kompartemen yang lain, maka terjadilah
peningkatan tekanan intrakranial yang secara klasik ditandai dengan suatu trias
yaitu nyeri kepala, muntah-muntah dan papil edema.
18

Konsep ini dijabarkan dalam Hukum Monroe-Kellie yang menegaskan bahwa
total volume intrakranial adalah tetap, karena sifat dasar dari tulang tengkorak
yang tidak elastik. Volume intrakranial (Vic) adalah sama dengan jumlah total
volume komponen-komponennya yaitu volume jaringan otak (Vbr), volume
cairan serebrospinalis (Vcsf) dan volume darah (Vbl).
2

Vic = V br + V csf + V bl
Pada orang dewasa, volume intrakranial normalnya sekitar 1500 ml, dimana
80-90 % merupakan jaringan otak, 10-12% volume darah intravaskular serebral
dan sisanya (3-8%) merupakan volume cairan serebrospinal. Kompensasi atas
terbentuknya lesi intrakranial adalah digesernya cairan serebrospinal dan darah
vena hingga batas kompensasi, untuk selanjutnya tekanan intrakranial akan naik
secara tajam.
2,19

9



2.3 Cedera Kepala
2.3.1 Definisi cedera kepala
Cedera kepala merupakan kasus yang sangat sering terjadi setiap harinya.
Berdasarkan struktur anatominya, cedera dapat terjadi dari lapisan terluar hingga
paling dalam di kepala yaitu kulit kepala, tulang tengkorak, menings, pembuluh
darah otak dan jaringan otak.
2

Cedera kepala adalah trauma mekanik pada kepala yang terjadi baik secara
langsung ataupun tidak langsung yang kemudian dapat berakibat kepada
gangguan fungsi neurologis, fungsi fisik, kognitif dan psikososial yang dapat
bersifat temporer atau permanent. Istilah lain yang kerap digunakan dalam
literatur barat adalah traumatic brain injury (TBI) yang mana menurut Brain
Injury Assosiation of America, cedera otak adalah suatu kerusakan pada kepala
yang bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh
benturan fisik atau kekuatan mekanik dari luar, yang dapat mengurangi atau
mengubah kesadaran sehingga menimbulkan gangguan pada fungsi kognitif dan
fungsi fisik. Dalam prakteknya, istilah ini juga digunakan sebagai sinonim dari
cedera kepala termasuk untuk keadaan yang tidak disertai defisit neurologis sama
sekali.
2,10


2.3.2 Epidemiologi Cedera Kepala
Dari berbagai sumber menunjukkan bahwa cedera merupakan penyebab utama
kematian pada pasien berusia kurang dari 45 tahun. Dari berbagai kasus cedera,
ternyata hampir 50%-nya merupakan cedera kepala atau cedera bagian tubuh
lainnya yang disertai pula oleh cedera kepala.
2

Di Amerika Serikat, kejadian cedera kepala setiap tahunnya diperkirakan
mencapai 500.000 kasus per tahun. Dari jumlah tersebut, 10% meninggal sebelum
tiba di rumah sakit. Yang sampai di rumah sakit, 80% dikelompokkan sebagai
cedera kepala ringan (CKR), 10% termasuk cedera kepala sedang (CKS), dan
10% sisanya adalah cedera kepala berat (CKB).
13
Kecelakaan lalu lintas
merupakan penyebab 48%-53% dari insiden cedera kepala, 20%-28% lainnya
10



karena jatuh dan 3%-9% lainnya disebabkan tindak kekerasan, kegiatan olahraga
dan rekreasi.
10
Penelitian deskriptif oleh Evans di Amerika pada tahun 1996
melaporkan penyebab cedera kepala terbanyak adalah akibat kecelakaan lalu
lintas yaitu sekitar 45%, 30% akibat terjatuh, 10% kecelakaan dalam pekerjaan,
10% kecelakaaan waktu rekreasi,dan 5% akibat diserang atau di pukul.
20

Penelitian lain mendapatkan bahwa insidensi cedera kepala di Amerika Serikat
pada tahun 1992-1994 ialah 444 per 100.000 penduduk per tahun. Adapun di
negara berkembang, insidensi cedera kepala ialah sekitar 200 per 100.000
penduduk beresiko per tahun. Angka tersebut dihitung berdasarkan jumlah pasien
cedera kepala yang datang mencari pertolongan ke rumah sakit, sehingga angka
tersebut lebih rendah dari angka kejadian yang sebenarnya terutama pada pasien
cedera kepala ringan yang tidak mencari pertolongan ke rumah sakit.
21

Usia yang paling banyak mengalami cedera kepala adalah 15-24 tahun. Cedera
kepala pada kelompok usia ini pada umumnya akibat kecelakaan lalu lintas.
Sedangkan untuk kelompok usia di atas 65 tahun, penyebab utama terjadinya
cedera kepala adalah terjatuh. Untuk anak-anak dengan usia kurang dari 2 tahun,
cedera kepala terutama disebabkan karena jatuh dari kursi atau meja. Anak usia
10-15 tahun umumnya mengalami cedera kepala akibat kecelakaan olah raga atau
kegiatan bermain sehari-hari.
2

Penelitian yang dilakukan oleh Moppett pada tahun 2007 di RS Nottingham
Inggris mengenai faktor resiko cedera kepala memberikan hasil insidensi cedera
kepala berdasarkan usia sebagai gambaran bimodal yaitu memiliki 2 puncak.
Puncak pertama ialah rentang usia 10-29 tahun dengan jumlah pasien sebanyak
2.817 (52,63%) dari jumlah total 5.352 pasien. 1.754 (62,26%) pasien adalah pria
dan 1063 (37,74%) adalah wanita. Puncak kedua dengan insidensi yang lebih
rendah adalah pada rentang usia lebih dari 60 tahun yaitu sebanyak 854 pasien
(15,96%) dimana 632 (74,00%) pasien adalah pria dan sisanya sebanyak 222
(25,99%) pasien adalah wanita. Dari data tersebut diketahui bahwa pria lebih
banyak mengalami cedera kepala dibandingkan wanita yaitu dengan perbandingan
1,7 : 1.
22

11



Angka kejadian cedera kepala di Indonesia berkisar 13,2% dari keseluruhan
cedera.
9
Data di RS Cipto Mangunkusumo Jakarta untuk penderita rawat inap,
terdapat 60-70% pasien dengan cedera kepala ringan (CKR), 15-20% cedera
kepala sedang (CKS), dan sekitar 10% dengan cedera kepala berat (CKB).
10
Di
Provinsi Kalimantan Barat sendiri, angka kejadian cedera kepala pada tahun 2007
sebesar 11,6% dari keseluruhan cedera yang terjadi dan 50% dari cedera kepala
tersebut terjadi pada usia di bawah 1 tahun. Perbandingan antara laki-laki dan
perempuan tidak begitu berbeda yaitu 1,2:1.
11


2.3.3 Mekanisme Cedera Kepala
Mekanisme cedera kepala dibagi atas cedera tumpul dan cedera tembus.
Cedera tumpul biasanya berkaitan dengan kecelakaan lalu lintas, jatuh atau
pukulan benda tumpul. Cedera tembus disebabkan oleh luka tembak ataupun
tusukan benda tajam.
13

Dalam mekanisme cedera kepala dapat terjadi peristiwa coup dan contrecoup.
Cedera primer yang diakibatkan oleh adanya benturan pada tulang tengkorak dan
daerah sekitarnya disebut lesi coup. Pada daerah yang berlawanan dengan tempat
benturan akan terjadi lesi yang disebut contrecoup. Akselarasi-deselarasi terjadi
karena kepala bergerak dan berhenti secara mendadak saat terjadi trauma.
Perbedaan densitas antara tulang tengkorak (substansi solid) dan otak (substansi
semisolid) menyebabkan tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan
intrakranialnya. Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa otak membentur
permukaan dalam tengkorak pada tempat yang berlawanan dari benturan
(contrecoup).
10

Secara neuropatologis, pada dasarnya terdapat dua fase utama perkembangan
kerusakan serebral yang menyertai cedera kepala. Cedera otak primer (COP),
terjadi bertepatan pada saat terjadi trauma, dan cedera otak sekunder (COS),
terjadi setelah proses alamiah yang berlanjut maupun akibat dari komplikasi yang
kemudian timbul dan secara klinik tidak didapatkan pada saat trauma. Faktor
pencetus COS mungkin bisa akibat gangguan sistemik atau proses intrakranial.
Proses sistemik antara lain hipoksemia, hipotensi, hiperkapnia, hipertermia,
12



hipoglikemia, atau hiponatremia. Sementara proses intrakranial meliputi kenaikan
TIK atau pergeseran struktur serebral, vasospasme, kejang dan infeksi. Pada
penanganannya, tidak banyak yang bisa kita lakukan terhadap COP, tetapi banyak
yang bisa kita perbuat untuk memperkecil kemungkinan terjadinya COS dengan
mencegah, mendeteksi dan mengoreksi pencetus COS mulai di tempat kejadian,
selama transportasi dan rujukan, selama anastesia, tindakan bedah maupun
perawatan intensif dan perawatan bangsal bedah saraf.
8


2.3.4 Klasifikasi Cedera Kepala
Dalam mengklasifikasikan cedera kepala, ada banyak cara pembagian. Namun,
yang paling umum dan berguna dalam penggunaan sehari-hari adalah berdasarkan
klinis dan kelainan patologis.
2

1. Klasifikasi Klinis
Klasifikasi keadaan klinis, yaitu kesadaran pasien, berguna sekali dalam
pedoman penanganan pasien pertama kali, misalnya di unit gawat darurat (UGD).
Klasifikasi klinis adalah klasifikasi berdasarkan penilaian Glasgow Coma Scale
(GCS) pada saat pasien pertama kali masuk ke UGD, yaitu sebagai berikut
2,8
:
a. Cedera Kepala Ringan (CKR) jika GCS 13-15
b. Cedera Kepala Sedang (CKS) jika GCS 9-12
c. Cedera Kepala Berat (CKB) jika GCS 3-8

2. Klasifikasi Patologis
Pengklasifikasian kedua yang juga penting adalah berdasarkan kelainan
atau kerusakan patologis yang terjadi pada pasien. Klasifikasi patologis terbagi
menjadi kerusakan primer dan sekunder.
2

a. Cedera Kepala Primer
Cedera kepala primer adalah kerusakan yang terjadi pada masa akut, yaitu
segera saat benturan terjadi. Kerusakan dapat mengenai jaringan kulit sampai
otak, dalam bentuk laserasi kulit kepala, perdarahan, fraktur, dan kerusakan
jaringan otak. Kerusakan primer ini dapat bersifat (fokal) lokal maupun
difus.
2,19

13



1) Kerusakan fokal : yaitu kerusakan jaringan yang bersifat fokal, yang
terjadi pada bagian tertentu saja dari kepala, sedangkan bagian lainnya
relatif tidak terganggu. Kelainan ini umunya bersifat makroskopis.
Kerusakan yang terjadi dapat berupa
2
:
a) Perlukaan dan perdarahan ekstrakranial
b) Fraktur tulang kepala
c) Perdarahan intrakranial baik berupa perdarahan epidural maupun
subdural
d) Kontusio dan laserasi serebri
2) Kerusakan difus : yaitu kerusakan yang sifatnya berupa disfungsi
menyeluruh dari otak dan umumnya berupa mikroskopis.
2

a) Cedera aksonal difusa (Diffuse axonal injury)
b) Diffuse vescular injury

b. Cedera Kepala sekunder
Cedera kepala sekunder adalah kelainan atau kerusakan yang terjadi setelah
terjadinya trauma/benturan dan merupakan akibat dari peristiwa yang terjadi
pada kerusakan primer. Penyebab terjadinya cedera kepala sekunder ini dapat
bersifat intrakranial atau bisa juga sistemik. Kelainan dapat muncul dalam
hitungan menit, namun dapat pula baru muncul dalam beberapa hari
kemudian. Beberapa literatur memasukkan kelainan yang terjadi sebagai
rangkaian dari kelainan patologis yang terjadi, sedangkan beberapa literatur
lain menyebutnya sebagai komplikasi. Kelainan yang terjadi antara lain
2
:
1) Gangguan sistemik akibat hipoksia dan hipotensi
2) Edema serebral
3) Herniasi jaringan otak
4) Peningkatan tekanan intrakranial/ hipertensi intrakranial
5) Infeksi
6) Emboli lemak
7) Hidrosefalus
8) Fistula Cairan Serebrospinalis
14




2.3.5 Pemeriksaan dan Penatalaksanaan Cedera Kepala
1. Penatalaksanaan pre-hospital
Pasien cedera kepala harus segera dipindahkan dari lokasi terjadinya trauma
ke tempat yang lebih aman kemudian segera dibawa ke pusat pelayanan
kesehatan terdekat baik ke Puskesmas atau langsung ke Unit Gawat Darurat di
Rumah Sakit. Setiap pasien cedera kepala harus dianggap mengalami cedera
spinal sehingga proses pemindahan dan pengangkatan pasien harus hati-hati
dan dilakukan sekaligus dengan satu aba-aba. Jalan napas/airway sebisa
mungkin dibersihkan dari kotoran atau cairan menggunakan kain, sapu tangan
atau jari. Sebelum dirujuk ke Rumah Sakit, dilakukan penanganan awal pada
pasien seperti pemasangan infus, collar neck untuk mencegah imobilisasi
servikal maupun intubasi endotrakeal jika peralatan dan tenaga ahli tersedia.
23


2. Penanganan pada Unit Gawat Darurat (UGD)
Prinsip penanganan awal pada pasien cedera kepala meliputi survei primer dan
survei sekunder. Dalam penanganan survei primer hal-hal yang diprioritaskan
antara lain airway, breathing, circulation, disability, dan exposure.
10

Disabilitas dinilai dengan skala AVPU yaitu : Alert (sadar), Voice (bereaksi
pada rangsang suara), Pain (bereaksi pada rangsang nyeri), atau
Unresponding (tidak ada reaksi). Nilai pula refleks cahaya langsung dan tak
langsung pada pupil serta ukuran kedua pupil dalam mm, dibandingkan kiri
dan kanan, isokor atau tidak. Pemeriksaan fisik pada pasien dilakukan seraya
menanyakan riwayat singkat mengenai trauma yang dialami pasien pada
keluarga atau orang yang mengantar. Rangkain pemeriksaan tersebut
sebaiknya dapat diselesaikan dalam waktu 3 menit. Survei primer ini
dilanjutkan atau dilakukan bersamaan dengan tindakan resusitasi yang
meliputi
23
:
a. Pembersihan jalan napas dari sekret, darah, muntahan atau kotoran
lainnya. Pasien tidak sadar yang disertai trauma craniofasial
memerlukan intubasi.
15



b. Pemasangan collar neck dipertahankan hingga pemeriksaan
radiologi menyingkirkan dugaan adanya cedera spinal.
c. Pernapasan dipertahankan dengan ambubag. Intubasi endotrakeal
dilakukan pada pasien cedera kepala dengan GCS < 8 dan pola
pernapasan yang buruk.
d. Untuk mempertahankan sirkulasi yang adekuat diberikan suplai
cairan berupa Ringers lactate, normal saline atau dextrose saline
tetapi bukan dextrose 5 % karena dapat memicu terjadinya edema
otak.
e. Dilakukan pemasangan pipa nasogastrik dan kateter urin.
f. Pemeriksaan tanda-tanda vital dan jumlah urin dilakukan sebagai
respon terhadap tindakan resusitasi.

Pemeriksaan tingkat kesadaran dinilai dengan Glasgow Coma Scale (GCS)
dan dilakukan sebelum maupun sesudah resusitasi. Penilaian ini dilakukan
secara periodik untuk menilai apakah keadaan penderita membaik atau
memburuk. Dari ketiga komponen GCS tersebut, motorik merupakan
komponen yang paling objektif. Dalam hal ini, untuk semua komponen yang
menjadi tolak ukur penilaian adalah reaksi (respon) terbaik. Untuk penderita
dengan hematoma periorbita yang besar, penilaian komponen mata harus
disesuaikan dengan respons motorik. Demikian pula untuk penderita yang
afasia, atau terintubasi, komponen verbalnya harus disesuaikan dengan
respons motorik.
23,24



16



Tabel 2.1 Penilaian Glasgow Coma Scale (GCS)
Jenis Pemeriksaan Nilai
Respon membuka mata
Buka mata spontan
Buka mata bila dipanggil/ rangsangan suara
Buka mata bila dirangsang nyeri
Tidak ada reaksi dengan rangsangan apapun

4
3
2
1
Respon verbal
Komunikasi verbal dan orientasi baik
Bingung, isorientasi waktu, tempat dan orang
Kata-kata tidak teratur
Suara tidak jelas
Tidak ada reaksi

5
4
3
2
1
Respon motorik
Mengikuti perintah
Melokalisir nyeri
Fleksi normal (menarik anggota yang dirangsang)
Fleksi abnormal (dekortisasi)
Ekstensi abnormal (deserebrasi)
Tidak ada reaksi (flaksid)

6
5
4
3
2
1

Sumber : American College of surgeons, Cedera Kepala dalam ATLS, 2004.

Respon membuka mata dan respon motorik berdasarkan penilaian GCS pada
tabel tersebut baru dapat dilakukan pada pasien cedera kepala yang berusia 1
tahun dan respon verbal baru dapat dilakukan pada usia di atas 5 tahun. Penilaian
respon membuka mata dan respon motorik pada usia di bawah 1 tahun dan respon
verbal di bawah usia 5 tahun dapat dilihat pada tabel berikut
24
:



17



Tabel 2.2 Penilaian GCS berdasarkan reaksi yang didapatkan sesuai umur
Jenis Pemeriksaan Nilai
Respon membuka mata (0-1 tahun)
Buka mata spontan
Buka mata oleh teriakan
Buka mata bila dirangsang nyeri
Tidak ada reaksi dengan rangsangan apapun

4
3
2
1
Respon verbal
0-2 tahun
Menangis kuat
Menangis lemah
Kadang-kadang menangis lemah
Mengeluarkan suara lemah
Tidak ada reaksi
2-5 tahun
Menyebutkan kata-kata yang sesuai
Menyebutkan kata-kata tidak sesuai
Menangis dan menjerit
Mengeluarkan suara lemah
Tidak ada reaksi

5
4
3
2
1
Respon motorik (0-1 tahun)
Belum dapat dinilai
Melokalisir nyeri
Menghindari nyeri
Fleksi abnormal (dekortisasi)
Ekstensi abnormal (deserebrasi)
Tidak ada reaksi (flaksid)

6
5
4
3
2
1

Sumber : Iskandar Japardi, Cedera Kepala, 2004.

Adapun survei sekunder meliputi pemeriksaan secara menyeluruh dari kepala
hingga kaki.
10
Penatalaksanaan cedera kepala bertujuan mempertahankan kondisi
umum pasien, penanganan segera akibat cedera primer, pencegahan atau
meminimalkan cedera kepala sekunder dengan penanganan peningkatan tekanan
intrakranial dan mempertahankan tekanan perfusi serebral yang adekuat.
22

Untuk mencegah peningkatan tekanan intrakranial, ada tiga strategi yang dapat
dilakukan yaitu
24
:
18



1. Menghindari terjadinya hiperkapnia
PaCO
2
harus dipertahankan di bawah 40 mmHg sebab hiperkapnia dapat
menyebabkan terjadinya peningkatan aliran darah ke otak sehingga terjadi
peningkatan TIK.
2. Menghindari pemberian cairan yang berlebihan
Untuk mempertahankan tekanan darah agar stabil dapat diberikan cairan
kristaloid atau darah. Balance cairan harus diperhatikan untuk
menghindarkan terjadinya overloading (pemberian cairan berlebihan).
3. Diuretika osmosis
Diuretika osmosis dapat digunakan untuk menurunkan TIK pada cedera
kepala akut, yang banyak digunakan ialah manitol.

Obat-obatan yang sering digunakan pada pasien cedera kepala antara lain
23,24
:
a. Anti kejang post trauma seperti phenitoin dan karbamazepin
b. Obat pencegah ulkus lambung dan duodeni seperti antagonis H-2 reseptor
maupun proton pump inhibitor
c. Obat antiemetik
d. Obat yang bersifat inotropik seperti dopamin, dobutamin dan epinefrin
e. Antibiotika untuk pengobatan terhadap infeksi dan profilaksis pada pasien
cedera kepala yang disertai luka terbuka atau fraktur kranium.
f. Analgetika seperti tramadol

3. Perawatan di ruang ICU (Intensive Care Management)
Pasien cedera kepala dengan GCS 8 pascaresusitasi merupakan indikasi
untuk dirawat di ICU. Fokus penanganan adalah mencegah terjadinya cedera
otak sekunder dan mempertahankan oksigenasi serebral yang adekuat.
23


4. Tindakan Operasi
Tindakan operasi pada kasus cedera kepala ditentukan oleh kondisi klinis
pasien, temuan neuroradiologi dan patofisiologi dari lesi. Secara umum
digunakan panduan sebagai berikut
10
:
19



a. Volume masa hematom mencapai lebih dari 40 ml di daerah supratentorial
atau lebih dari 20 cc di daerah infratentorial.
b. Kondisi pasien yang semula sadar semakin memburuk secara klinis, serta
gejala dan tanda fokal neurologis semakin berat.
c. Terjadi gejala sakit kepala, mual, dan muntah yang semakin hebat
d. Pendorongan garis tengah sampai lebih dari 3 mm
e. Terjadi kenaikan tekanan intrakranial lebih dari 25 mmHg.
f. Terjadi penambahan ukuran hematom pada pemeriksaan ulang CT scan
g. Terjadi gejala herniasi otak
h. Terjadi kompresi / obliterasi sisterna basalis

2.3.6 Prognosis Cedera Kepala
Mortalitas pasien dengan peningkatan tekanan Intrakranial > 20 mmHg selama
perawatan mencapai 47%, sedangkan TIK di bawah 20 mmhg kematiannya 39%.
Tujuh belas persen pasien cedera kepala berat mengalami gangguan kejang-kejang
dalam dua tahun pertama post trauma.
25

Faktor-faktor yang dapat dijadikan Predictor outcome cedera kepala adalah :
lamanya koma, durasi amnesia post trauma, area kerusakan cedera pada otak,
mekanisme cedera dan umur.
25

Beberapa pengukuran outcome setelah cedera kepala yang sering digunakan
antara lain
25
:
1. Glasgow Outcome Scale (GOS) :
Terdiri dari 5 kategori yaitu meninggal, status vegetatif, kecacatan yang berat,
kecacatan sedang (dapat hidup mandiri tetapi tidak dapat kembali ke sekolah
dan pekerjaannya), kembali pulih sempurna (dapat kembali
bekerja/sekolah).
5,25

2. Dissabily Rating Scale (DRS)
Merupakan skala tunggal untuk melihat perbaikan dari koma sampai kembali
ke lingkungannya. Terdiri dari 8 kategori termasuk komponen kesadaran
(GCS) dan kecacatan (activity of daily living, handicap dalam bekerja).
25

20



3. Fungsional Independent Measure (FIM)
Banyak digunakan untuk rehabilitasi, terdiri dari 18 poin skala yang
digunakan untuk mengevaluasi tingkat kemandirian mobilitas, perawatan diri
dan kognitif.
25


2.4 Perdarahan Subdural Akut (PSDA)
2.4.1 Definisi Perdarahan Subdural Akut
Perdarahan subdural akut adalah perdarahan intrakranial yang terjadi di antara
lapisan duramater dan arakhnoid mater dengan gejala klinis yang timbul segera
atau beberapa jam atau bahkan sampai 3 hari setelah terjadinya trauma.
2

Perdarahan subdural merupakan timbunan darah dan bekuan darah yang terjadi
secara cepat di bawah lapisan durameter dan di atas arakhnoid mater atau disebut
juga rongga subdural. Rongga tersebut sebenarnya tidak ditemukan di bawah
durameter normal, namun karena adanya pengumpulan cairan atau perdarahan
pada durameter maka terbentuklah rongga di bawah durameter tersebut.
8

Perdarahan subdural diklasifikasikan berdasarkan waktu terjadinya cedera
kepala hingga memberikan gejala klinis menjadi akut, subakut dan kronik. Bila
waktu terjadinya cedera kepala tidak diketahui, maka gambaran hematom pada
CT scan kepala dapat membantu menentukan klasifikasi tersebut.
2,24

1. Perdarahan subdural akut ialah perdarahan subdural dengan gejala klinis
yang timbul segera atau beberapa jam bahkan sampai 3 hari atau 72 jam
setelah terjadinya trauma kepala. Pada gambaran CT scan terdapat daerah
hiperdens dibandingkan jaringan otak sekitar yang berbentuk bulan sabit
atau sering disebut crescentic sign. Akan tetapi, seandainya penderita
mengalami anemia berat atau jika terdapat cairan serebrospinal yang
mengencerkan darah di daerah subdural , gambaran pada CT scan bisa
menjadi isodens bahkan hipodens.
2,24

2. Perdarahan subdural subakut, akan memberikan gejala klinis antara hari
ke-4 sampai hari ke-7. Literatur lain mengatakan sampai hari ke-20.
21



Gambaran CT scan berupa campuran hiperdens, hipodens atau isodens
terhadap jaringan otak sekitar.
24,26

3. Perdarahan subdural kronik jika gejala timbul setelah 2-3 minggu dan
menunjukkan gambaran yang hipodens pada CT scan.
24,26

Perdarahan subdural subakut dan kronik ini dapat berkembang dari PSDA yang
tidak diterapi dengan baik.
24

2.4.2 Epidemiologi Perdarahan Subdural Akut
Perdarahan subdural akut (PSDA) merupakan tipe perdarahan yang banyak
terjadi yaitu berkisar antara 26-63% dari keseluruhan cedera kepala.
3,4,5
Penelitian
oleh Aykut Karasu dkk di Turki tentang faktor yang mempengaruhi prognosis
pada PSDA mendapatkan jumlah pasien PSDA dari tahun 1998-2006 sebanyak
113 orang, 57 pasien (50,4%) pada cedera kepala berat, 35 pasien (31,0%) cedera
kepala sedang dan 21 pasien (18,6%) cedera kepala ringan.
5
Penelitian deskriptif
di Filipina oleh Henry Ty melaporkan bahwa dari tahun 1989-1993 terdapat 83
pasien cedera kepala yang disertai PSDA, 40 pasien (48,2%) merupakan cedera
kepala berat, 26 pasien (31,3%) cedera kepala sedang dan 17 pasien (20,5%)
cedera kepala ringan.
6
Hal ini menunjukkan bahwa PSDA tidak hanya terjadi pada
cedera kepala berat, namun dapat juga terjadi pada pasien cedera kepala ringan
dan sedang. Dari 83 pasien tersebut, 72 (87 %) pasien adalah laki-laki dan 11
(13%) pasien adalah perempuan dengan perbandingan laki-laki dan perempuan
adalah 6,5:1.
6

Orang dewasa pada usia 30 dan 40 tahun merupakan kelompok usia terbesar
yang mengalami PSDA, terutama lebih sering terjadi pada kelompok usia 41-42
tahun.
4,8
Penelitian deskriptif oleh Henry Ty di Filipina pada tahun 1989-1993
mendapatkan kelompok usia terbanyak yang mengalami PSDA ialah kelompok
usia 20-29 tahun, dengan gambaran distribusi usia pada PSDA secara lengkap
dapat dilihat pada tabel 2.3 berikut
6
:



22



Tabel 2.3 Gambaran distribusi usia pada PSDA
Usia (tahun) Jumlah pasien Persentase (%)
0-9 7 8,4
10-19 9 10,8
20-29 20 24,1
30-39 16 19,3
40-49 9 10,8
50-59 9 10,8
60-69 5 6,0
70-72 2 2,4
tidak diketahui 6 7,2
Total 83 99,8
Sumber : Henry Ty, Acute Subdural Hematoma : A Five-Year Review, 1995.

Angka kejadian PSDA yang pasti di Indonesia tergolong sulit dilacak.
Penelitian yang dilakukan oleh Joko Widodo pada tahun 1999 dan Hartanto RA
pada tahun 2003 melaporkan lebih kurang terdapat 4,5% kasus PSDA dari semua
kasus cedera kepala di RSU Dr. Soetomo.
8

Penyebab tersering PSDA bervariasi, tetapi biasanya disebabkan jatuh dari
ketinggian (72%), kecelakaan sepeda motor (24%) dan sisanya ialah perdarahan
spontan, cedera karena olah raga dan kecelakaan kerja (4%).
8
Penelitian lain
mendapatkan bahwa kecelakaan lalu lintas merupakan penyebab tersering dari
PSDA (53 %) dan sisanya disebabkan jatuh dari ketinggian (37 %).
4
Di Indonesia
belum ada catatan nasional mengenai morbiditas dan mortalitas perdarahan
subdural.
7


2.4.3 Patofisiologi Perdarahan Subdural Akut
Mekanisme tersering penyebab terjadinya PSDA adalah benturan pada kepala
dengan kecepatan tinggi. Namun, perdarahan subdural juga kadang bisa terjadi
23



tanpa ada riwayat trauma kepala, misalnya pada penderita dengan terapi
antikoagulan, gangguan pembekuan darah ataupun ruptur aneurisma serebral.
2,8

Perdarahan subdural akut akibat cedera kepala dapat terjadi melalui tiga
mekanisme yaitu
3
:
a. Laserasi atau pecahnya arteri dan vena kortikal kecil
b. Kontusio serebri yang berkaitan dengan perdarahan intraserebral yang
menerobos arakhnoid mater
c. Ruptur atau pecahnya bridging veins
Laserasi dari vena kortikal merupakan penyebab PSDA yang jarang terjadi
sedangkan pecahnya arteri kortikal biasanya berkaitan dengan cedera kepala
ringan pada orang tua akibat adanya efek degenerasi dan patologi pada dinding
vaskular yang berkaitan dengan penambahan usia. Autopsi pada 10 cadaver yang
diinduksi trauma yang dilakukan oleh Depreitere et all pada tahun 2006 di Belgia
mendapatkan bahwa dua pertiga penyebab PSDA berkaitan dengan kontusio
serebri dan sepertiganya diakibatkan oleh pecahnya bridging veins.
3

Setelah trauma impaksi, akibat gerakan sagital dari kepala maka terjadi
akselerasi atau deselerasi serebral relatif terhadap struktur duramater yang
terfiksasi pada rongga kranium. Hal ini menyebabkan bridging vein tertarik dan
teregang. Bridging veins adalah vena yang menghubungkan permukaan hemisfer
serebri dengan sinus venosus pada duramater. Bila tarikan terhadap vena tersebut
cukup besar, maka vena akan robek dan terjadi perdarahan di area subdural.
7,8

Mayoritas perdarahan subdural berhubungan dengan faktor usia yang
merupakan faktor resiko pada cedera kepala (blunt head injury). Perdarahan
subdural biasanya lebih sering ditemukan pada penderita penderita dengan usia
lebih dari 60 tahun. Pada orang-orang tua, bridging veins mulai agak rapuh
sehingga lebih mudah pecah/rusak bila terjadi trauma. Selain itu, regangan
bridging veins pada orang tua juga lebih besar akibat adanya atrofi otak sehingga
meningkatkan resiko robeknya vena tersebut bahkan oleh trauma yang ringan
sekalipun. Peningkatan tekanan intrakranial pada orang tua relatif lebih lambat
karena memiliki compliance yang lebih besar. Sedangkan pada bayi-bayi ruang
24



subdural lebih luas, tidak ada adhesi , sehingga perdarahan subdural bilateral lebih
sering di dapat pada bayi bayi.
7,26,27

Derajat kecepatan akselerasi adalah penyebab robeknya bridging vein, dan
bukan akibat kontak langsung dari trauma kepala. PSDA pada kecelakaan sepeda
motor lebih sedikit karena derajat kecepatan akselerasi lebih rendah akibat adanya
mekanisme penyerapan energi dari mobil itu sendiri, misalnya pada mobil yang
dilengkapi dengan air bags. Mekanisme absorbsi ini tidak didapatkan pada
keadaan dimana kepala langsung terbentur benda keras misalnya pada kasus
terjatuh dari ketinggian dan menimpa permukaan benda keras. Biasanya cedera
impaksi yang menghasilkan perdarahan subdural juga menyebabkan cedera
penyerta yang berat terhadap parenkim otak, itulah mengapa prognosa lebih jelek
dibandingkan perdarahan ekstradural.
7,8

Perdarahan subdural paling sering terjadi pada konveksitas otak daerah lobus
temporalis, berikutnya lobus frontalis dan parietalis. Perdarahan sebagian kecil
bisa terjadi di fisura interhemisfer serebri serta tentorium.
7

Sama halnya dengan efek massa lain yang terdapat pada rongga kranium yang
kaku, maka adanya PSDA juga dapat menyebabkan peningkatan tekanan intra
kranial (TIK). Kenaikan TIK pada PSDA setelah tiga jam pascatrauma mencapai
tiga kali lebih tinggi dari tingkat normal. Peningkatan TIK ini berakibat
menurunnya aliran darah ke otak sesuai dengan hukum Monroe-Kellie. Selain itu,
peningkatan TIK juga akan menyebabkan pergeseran jaringan otak melewati garis
tengah (midline shift) dan herniasi. Dua jenis herniasi yang umum terjadi ialah
herniasi girus cinguli (herniasi subfalcial) dan herniasi uncus (transtentorial).
Herniasi girus cinguli dapat menyebabkan infark serebri melalui penekanan pada
arteri serebri anterior dan herniasi uncus dapat menyebabkan infark serebri
melalui penekanan pada arteri serebri posterior. Herniasi uncus juga dapat
menyebabkan penekanan pada nervus ketiga sehingga terjadi penurunan
reaktifitas pupil terhadap cahaya yang akhirnya terjadilah dilatasi pupil ipsilateral.
Herniasi uncus yang progresif juga dapat menekan batang otak. Kerusakan
iskemik serebral merupakan temuan neuropatologis terpenting pada penderita
PSDA.
8

25



2.4.4 Gambaran Klinis Perdarahan Subdural Akut
Perjalanan klinis PSDA ditentukan oleh dua faktor, yaitu derajat beratnya
cedera otak yang terjadi pada saat trauma atau impaksi dan kecepatan
pertambahan volume perdarahan subdural.
7,8

Penurunan kesadaran merupakan tanda klinik paling sering yang muncul pada
PSDA pascatrauma. Penderita dengan trauma berat dapat mengakibatkan
kerusakan parenkim otak difus, menyebabkan penderita kehilangan kesadaran
langsung pascatrauma. Penurunan kesadaran juga dapat disebabkan kerusakan
batang otak atau penekanan batang otak akibat efek massa. Peningkatan tekanan
intrakranial akibat massa perdarahan secara klasik ditandai dengan suatu trias
yaitu nyeri kepala, muntah-muntah dan papil edema.

Adanya respon Cushing
(bradikardi, hipertensi, dan pelebaran tekanan pulsasi nadi) mengindikasikan
terjadinya herniasi akibat ekspansi massa perdarahan.

Penderita dengan cedera
yang relatif lebih ringan, derajat kesadarannya bervariasi tergantung pada
kecepatan berkembangnya perdarahan subdural.
8
Gambaran klinis yang muncul
merupakan akibat dari keduanya yaitu cedera otak primer dan tekanan oleh massa
perdarahan subdural.
7,18

Pupil yang anisokor (pupil dilatasi satu sisi biasanya ipsilateral) dan penurunan
reflek cahaya serta defisit motorik kontralateral (deserebrasi unilateral,
hemiparese atau hemiplegia) merupakan gejala klinik yang paling sering terjadi.
7,8


2.4.5 Gambaran Perdarahan Subdural Akut pada CT Scan Kepala
Computed Tomographic (CT) merupakan prosedur pemeriksaan rutin yang
dilakukan untuk menilai pasien cedera kepala. Prosedurnya cepat, aman dan
akurat. Jaringan otak yang normal dan abnormal dibedakan berdasarkan densitas
dan kemampuannya menyerap energi sinar X. Sinar X yang melalui kepala
dikumpulkan oleh detektor sinar X khusus dan informasi yang diperoleh
ditampilkan sebagai gambaran rekonstruksi pada layar komputer. Bekuan darah
memiliki kemampuan menyerap sinar X yang baik dan akan tampak sebagai
gambaran hiperdense (area yang berwarna putih). Jaringan otak yang mengalami
26



edema atau iskemia dimana kandungan cairan lebih tinggi dari jaringan otak
normal akan lebih sedikit menyerap sinar X sehingga tampak hipodense atau
berwarna hitam.
16,28

CT scan merupakan modalitas pemeriksaan yang baik dan terutama
direkomendasikan pada pasien cedera kepala yang dicurigai terdapat perdarahan
atau cedera pada jaringan otak berdasarkan manifestasi klinisnya. CT scan kepala
dapat memastikan diagnosis perdarahan subdural dan dapat menunjukkan lokasi
perdarahan tersebut secara akurat. Semakin cepat diagnosis ditegakkan maka
semakin cepat pula tindakan operasi dapat dilakukan sehingga dapat mencegah
prognosis ke arah yang lebih buruk. Sebelum melakukan pemeriksaan CT scan,
pasien cedera kepala perlu diresusitasi dan distabilisasi terlebih dahulu.
29,30

National Institute for Clinical Excellence (NICE) menetapkan pedoman untuk
melakukan pemeriksaan CT scan kepala pada pasien cedera kepala yang
memenuhi salah satu atau lebih kriteria berikut
29
:
a. GCS < 13 (CKS dan CKB)
b. Dicurigai adanya fraktur baik fraktur terbuka maupun tertutup
c. Terdapat tanda-tanda fraktur basis cranii (CSF/cerebrospinal fluid
otorrhea atau rhinorrhea, raccon eyes/ hematom kacamata dan
Battles sign)
d. Muntah berulang
e. Tanda-tanda penurunan neurologis fokal (focal neurological deficit)
f. Kejang pascatrauma kepala
g. Koagulopathy/gangguan pembekuan darah atau menggunakan obat
antikoagulan

Pasien cedera kepala yang berorientasi baik dan tidak terdapat riwayat
penurunan kesadaran tidak memerlukan pemeriksaan CT scan kepala.
Kebanyakan pasien dengan cedera kepala ringan bahkan tidak memerlukan terapi
dan dapat dipulangkan tanpa disertai komplikasi apapun. Namun, beberapa pasien
cedera kepala ringan dengan GCS > 13 dalam jumlah yang kecil dapat mengalami
perdarahan intrakranial dan memerlukan penanganan operasi. Untuk itu, pasien
27



cedera kepala ringan juga perlu dilakukan pemeriksaan CT scan kepala jika
memiliki salah satu dari beberapa faktor resiko berikut
31
:
a. Penurunan kesadaran dan amnesia pascatrauma kepala
b. Kejang
c. Sakit kepala berat
d. Bingung atau disorientasi
e. Muntah berulang
f. Terdapat tanda-tanda fraktur basis cranii
g. Tanda-tanda penurunan neurologis fokal (focal neurological deficit)
h. Koagulopathy/gangguan pembekuan darah atau menggunakan obat
antikoagulan
i. Usia > 60 tahun

Gambaran perdarahan subdural akut klasik pada CT scan berbentuk konkaf
atau menyerupai bulan sabit (crescentic sign) dan bersifat hiperdens. Akan tetapi
bila penderita mengalami anemia berat dan nilai hematokrit rendah atau darah
bercampur dengan cairan serebrospinal yang mengencerkan perdarahan maka
gambaran pada CT scan dapat menjadi isodens atau bahkan hipodens.
2,27,29,32

Contoh gambaran PSDA pada CT scan dapat dilihat pada gambar 2.3 berikut:









Gambar 2.3 CT Scan kepala menunjukkan gambaran PSDA dengan ketebalan
2,59 cm (tanda panah) dan midline shift sejauh 2,42 cm (tanda bintang).
Sumber : Chul-Hee Lee et all, Journal Korean Med Sci : Spontaneous Rapid
Reduction of a Large Acute Subdural Hematoma, 2009.
28



Perdarahan subdural yang sedikit (small SDH) dapat berbaur dengan gambaran
tulang tengkorak dan hanya akan tampak dengan menyesuaikan CT window
width. Perdarahan subdural akut yang terletak pada interhemisfer serebri terjadi
akibat laserasi vena yang menghubungkan korteks parietalis/oksipitalis dengan
sinus sagitalis superior. Gambaran CT Scan kepala tampak sebagai pita putih
sepanjang falx serebri.
7,27,32


Gambar 2.4 CT scan potongan aksial dengan window yang berbeda
A. CT scan dengan brain window menunjukkan gambaran perdarahan subdural
akut interhemisfer tipis sepanjang falx serebri (tanda bintang).
B. CT scan dengan soft tissue window menunjukkan gambaran perdarahan
subdural akut dalam jumlah kecil (tanda panah) yang sulit terlihat pada brain
window karena ditutupi oleh densitas yang tinggi pada tulang kalvaria di
dekatnya.
Sumber : Toyama et al, CT for Acute Stage of Closed Head Injury, 2005.


Pergeseran garis tengah (midline shift) akan tampak pada perdarahan subdural
yang volumenya besar. Bila tidak ada midline shift, maka harus dicurigai adanya
massa kontralateral dan bila midline shift hebat harus dicurigai adanya edema
serebral y ang mendasarinya.
7,27
Gambaran CT Scan kepala dengan PSDA
bilateral dapat dilihat pada gambar 2.5 berikut :
A
B
29



Gambar 2.5 PSDA bilateral yang menyebar hampir ke seluruh permukaan
hemisfer serebri (tanda panah)
Sumber : Toyama et al, CT for Acute Stage of Closed Head Injury, 2005.

PSDA yang tampak sebagai gambaran isodens terjadi pada pasien dengan nilai
hemoglobin yang rendah, biasanya 8-10 g/dl atau pada kondisi dimana terjadi
robekan pada duramater meningeal sehingga perdarahan subdural bercampur
dengan cairan serebrospinal. Adanya gambaran penebalan korteks serebri dan
midline shift meningkatkan kecurigaan ke arah perdarahan subdural akut isodens.
Pemeriksaan MRI dapat membantu mendukung diagnosis PSDA. Adapun conroh
gambaran PSDA isodens dapat dilihat pada gambar 2.6 berikut ini
27
:

Gambar 2.6 PSDA isodens bilateral pada CT scan ditunjukkan oleh tanda panah
Sumber : Alisa and Gean, Traumatic Brain Injury: Imaging Update, 2004.

30



2.4.6 Operasi pada Perdarahan Subdural Akut
PSDA dengan gejala yang progresif memburuk merupakan petunjuk perlunya
dilakukan operasi untuk evakuasi hematoma secepatnya. PSDA yang dapat segera
dioperasi dalam 4 jam pertama memberikan prognosis yang baik. Pada kasus
dengan perdarahan yang kecil misalnya 3 cc, masih memungkinkan untuk
dilakukan terapi konservatif dengan observasi yang ketat. Diharapkan akan terjadi
lisis dan penyerapan darah dalam waktu sekitar 10 hari, meskipun dapat diikuti
dengan fibrosis dan pengapuran pada jaringan otak tersebut.
2

Tujuan utama dari terapi operasi adalah evakuasi massa yang berupa
perdarahan dan dekompresi serebral sedini mungkin guna menurunkan atau
mencegah peningkatan tekanan intrakranial dan memperbaiki kondisi intraserebral
seoptimal mungkin.

Operasi yang dilakukan dinamakan kraniotomi dekompresi.
Kraniotomi dekompresi dilakukan pada pasien bila didapatkan penurunan
kesadaran, pupil anisokor, terdapat defisit neurologis, pada pemeriksaan CT scan
didapatkan tebal PSDA > 10mm atau terdapat midline shift > 5mm, dan sisterna
basalis menutup/ merapat.
8
Pada perdarahan subdural, setelah kranium diangkat,
duramater akan terlihat kebiruan, tegang dan cembung. Setelah dilakukan operasi,
pasien segera dirawat di ICU dan dilakukan monitoring TIK.
24

Tahap-tahap kraniotomi dekompresi dapat dilihat pada gambar 2.7 berikut:

Gambar 2.7 Kraniotomi dekompresi pada perdarahan subdural akut
Sumber : http://basilelaw.com/images/injury/Craniotomy.jpg
31



2.4.7 Prognosis Perdarahan Subdural Akut
Ada beberapa faktor yang ikut menentukan prognosis dari PSDA. Angka
kematian PSDA bervariasi yaitu antara 30-90%. Terdapat perbedaan mencolok
pada tingkat mortalitas antara pasien dengan usia di bawah 40 tahun dan di atas 40
tahun, dimana peningkatan usia berhubungan dengan prognosis yang lebih buruk.
Pada penderita di atas 50 tahun angka kematian mencapai 75%. Penderita PSDA
dengan ketergantungan alkohol mempunyai prognosa lebih jelek dibandingkan
PSDA pada penderita non alkoholik.
3,4,8

Pasien dengan perdarahan subdural akut yang sedikit (diameter < 1 cm),
prognosanya baik. Perdarahan subdural akut yang sederhana (simple SDH) ini
mempunyai angka mortalitas 20%. Perdarahan subdural akut yang kompleks
(complicated SDH) biasanya mengenai parenkim otak , misalnya kontusio atau
laserasi dari hemisfer serebri disertai dengan volume hematoma yang banyak.
Pada penderita ini, mortalitas melebihi 50% dan biasanya berhubungan dengan
besarnya volume subdural hematoma dan jauhnya midline shift. Hal yang paling
penting untuk menentukan prognosa ialah ada tidaknya kontusio serebri.
7

Tingkat kesadaran awal dan pascaresusitasi sebelum operasi cukup bermakna
menentukan hasil akhir penatalaksanaan. Penderita yang masih sadar sebelum
operasi, angka kematiannya 9%, sementara penderita yang tidak sadar sebelum
operasi, angka kematiannya 40-65%. Angka kematian 74% pada penderita dengan
GCS 4-5, dibandingkan 36% pada penderita dengan GCS 6-8.
8

Penelitian yang dilakukan oleh Raju et all
4
pada tahun 2004 di New Delhi
tentang faktor yang mempengaruhi prognosis PSDA menemukan bahwa
abnormalitas pupil juga berkaitan dengan prognosis pasien PSDA dimana dari 22
pasien dengan reaksi pupil yang baik didapatkan 15 orang (68%) yang hidup,
sedangkan dari 30 pasien dengan kedua pupil yang tidak bereaksi terhadap
rangsang cahaya didapatkan hanya 5 orang (16,6%) yang hidup.
4

Cedera kepala dengan komplikasi perdarahan subdural, prognosanya kurang
baik walaupun dengan tindakan intervensi operasi segera. Hanya sepertiga kasus
yang mengalami perbaikan. Angka kematian secara keseluruhan mencapai 55-
70% walaupun penderita sadar pascatrauma dan tanpa kerusakan primer serebral
32



yang berat.

Angka kematian 47% ditemukan pada penderita tidak sadar yang
dilakukan tindakan evakuasi hematom kurang dari dua jam pascatrauma,
dibandingkan dengan tindakan evakuasi hematom lebih dari dua jam pascatrauma
angka kematiannya meningkat menjadi 80%.
8
Laporan lain menyebutkan bahwa
angka kematian 30% bila operasi dilakukan kurang dari empat jam pascatrauma,
dan 90% bila operasi dikerjakan lebih dari empat jam pascatrauma.
7


2.5 Aplikasi Klinis bagi Dokter Umum
Perdarahan subdural akut relatif lebih banyak terjadi daripada perdarahan
epidural dan memiliki angka mortalitas yang tinggi. PSDA yang dapat segera
dioperasi dalam 4 jam pertama memberikan prognosis yang baik. Sehingga
semakin cepat diagnosis PSDA dapat ditegakkan maka semakin cepat pula
tindakan operasi dapat dilakukan.

Keterlambatan dalam mendiagnosis perdarahan
subdural akut dapat berdampak pada prognosis yang buruk dan merupakan
perkara medikolegal.

Telah dilaporkan bahwa sekitar satu perlima dari penderita
PSDA meninggal tidak terdiagnosa. Hal ini perlu diperhatikan oleh dokter umum
sebagai lini pertama dalam hal diagnosa dan melakukan pencegahan ke arah yang
lebih buruk yaitu dengan memberikan penanganan yang tepat pada pasien cedera
kepala.
2,7,23,26,34

Dokter umum perlu memahami patofisiologi PSDA mulai dari anatominya,
aspek fisiologis pada kepala, mekanisme terjadinya PSDA, gambaran klinis
PSDA dan dapat menentukan indikasi pemeriksaan CT scan pada pasien cedera
kepala serta dapat membaca hasil CT scan tersebut terkait dengan PSDA. Pasien
cedera kepala yang disertai trias nyeri kepala, muntah-muntah dan papil edema
perlu dicurigai telah terjadi peningkatan tekanan intrakranial akibat efek massa
perdarahan. Adanya respon Cushing (bradikardi, hipertensi, dan pelebaran
tekanan pulsasi nadi) mengindikasikan terjadi herniasi. Pupil yang anisokor (pupil
dilatasi satu sisi biasanya ipsilateral) dan penurunan reflek cahaya serta defisit
motorik kontralateral (deserebrasi unilateral, hemiparese atau hemiplegia)
merupakan gejala klinik pada PSDA yang paling sering terjadi.
7,8,18

33



Pasien cedera kepala yang beresiko mengalami PSDA ialah pasien CKB, usia >
40 tahun, menjalani terapi antikoagulan atau memiliki riwayat gangguan
pembekuan darah dan pasien yang ketergantungan alkohol. Pasien-pasien ini perlu
segera dilakukan pemeriksaan CT scan sehingga diagnosis PSDA dapat
ditegakkan lebih awal dan tindakan operasi dapat dilakukan dalam rentang waktu
kurang dari 4 jam pascatrauma agar prognosisnya lebih baik.
2,7,23
Dokter umum
juga wajib melaksanakan penyuluhan atau promosi kesehatan kepada masyarakat
guna menurunkan insidensi perdarahan subdural akut.
34


2.6 Kerangka Teori


Gambar 2.8 Kerangka teori perdarahan subdural akut

You might also like