You are on page 1of 8

analitik kita.

Itu adalah sebuah pertanyaan yang harus dijawab oleh para


ahli ekonomi Islam.
Ciri-ciri Sistem Ekonomi Islam
Perubahan perilaku yang diantisipasifperubahan tata nilai dan tujuan
yang diharapkan, kewajiban untuk mengimplementasikan perintah yang
jelas dari Al-Quran dan Sunnah, demikian pula seluruh struktur sistem
Islam, akan menciptakan suatu kerangka institusional ekonomi Islam
yang unik dan berbeda. Itu semua diterangkan oleh Siddiqi (1978: 115;
1984: 4) sebagai berikut.
1. Hak yang Relatif dan Terbatas bagi Individu, Masyarakat,
dan Negara
Dari semua hak yang dianugerahkan kepada manusia, Siddiqi
menganggap bahwa hak untuk mendapatkan kebebasan menyembah
Allah Swt. sebagai hak primer manusia". Tak boleh ada yang
menghalangi atau membatasi hak fundamental ini. Atas dasar inilah
Siddiqi mencoba menghubungkan ekonomi Islam. Oleh karena orang
hanya dapat mencapai sukses (falah) dengan memenuhi kebutuhan
materialnya secara jujur dan benar, maka ia harus diberi kebebasan
untuk memiliki, memanfaatkan dan mengatur milik maupun barang
dagangannya. Namun, semua hak itu memancar dari kewajiban manusia
sebagai kepercayaan dan khalifah Allah Swt. di muka bumi. jadi, Siddiqi
(seperti Mannan) memandang kepemilikan swasta atau pribadi sebagai
suatu hak individual selama ia melaksanakan kewajibannya serta tidak
menyalahgunakan haknya itu.
Dalam menangkis pernyataan mereka yang tidak mengakui adanya
kepemilikan pribadi karena dikhawatirkan akan berlawanan dengan
semangat keadilan dan persamaan' yang diajarkan oleh Al-Quran,
Siddiqi lebih meyakinkan daripada Mannan (yang tidak dengan pasti
menyatakan mengapa ia mendukung kepemilikan pribadi). Bagi
Siddiqi, oleh karena tidak ada larangan kepemilikan pribadi yang jelas
di dalam Al-Quran maupun Sunnah, maka harus dibolehkan karena
mengharamkan yang halal adalah haram. Demikianlah ia menolak
semua pendapat yang didasarkan melulu kepada penafsiran terhadap
semangat Al-Quran dan Sunnah.5 Kepemilikan oleh masyarakat dan
negara juga dibolehkan dalam hal-hal tertentu di mana kepemilikan
pribadi tidak dimungkinkan (Siddiqi, 1972: 45-52). Dalam situasi konflik
atau dimungkinkan terjadinya konflik kepentingan, hak masyarakat
dan negara lebih diutamakan daripada hak pribadi. Meskipun demikian,
sama seperti Mannan, Siddiqi ( 1978: 67) memandang hubungan individu
dan negara sebagai suatu hubungan yang aktii positif dan purposif yang
clidasarkan pada niat balk dan kerja sama.
2. Peranan Negara yang Positif dan Aktif
Tidak seperti Mannan, Siddiqi konsisten dalam dukungannya
terhadap peran aktif dan positif negara di dalam sistem ekonomi.
Sekalipun ia menyetujui dan membela perlunya sistem pasar berfungsi
dengan baik, ia tidak memandangnya sebagai sesuatu yang keramat dan
tak bisa dilanggar. jika pasar gagal mencapai keadilan, maka negara harus
campur tangan. Ia menyebut penyediaan kebutuhan dasar bagi semua
orang serta penyediaan barang-barang publik dan sosial (yang di dalam
jqh dikategorikan sebagai fargu kzfayah) sebagai contoh bagi campur
tangan negara. Meski Kuran (1986) mempertanyakan alasan campur
tangan pemerintah di dalam suatu sistem ekonomi yang berhubungan
dengan Islamic man, Siddiqi tiap bertahan pada argumennya sendiri
dengan menyatakan secara sungguh-sungguh bahwa campur tangan
negara itu _disebutkan dan bahkan diwajibkan oleh Al-Quran dan Sunnah.
Walau Islam mengenal dan mengakui kepemilikan pribadi, kebebasan
berusaha dan persaingan yang sehat, Siddiqi (1988a: 110) menyatakan
bahwa aturan Islam bagi individu, lembaga serta hukum sosial Islam
bahwa suatu negara haruslah menyelenggarakan serta memberi legitimasi
bagi campur tangan negara, yang dimaksudkan untuk menegakkan suatu
masyarakat yang diisi dengan semangat kerja sama.
Kevvajiban amar maruf dan nahi munkar' diperluas jangkauannya
ke lingkungan ekonomi dan Siddiqi merujuk kepada lembaga Hisbah
yang telah amat terkenal (Siddiqi, 1972: 87) untuk mendukung pan-
Sekalipun ia menyetujui dan membela perlunya sistem pasar berfungsi
dengan baik, ia tidak memandangnya sebagai sesuatu yang keramat dan
tak bisa dilanggar. jika pasar gagal mencapai keadilan, maka negara harus
campur tangan. Ia menyebut penyediaan kebutuhan dasar bagi semua
orang serta penyediaan barang-barang publik dan sosial (yang di dalam
jqh dikategorikan sebagai fargu kzfayah) sebagai contoh bagi campur
tangan negara. Meski Kuran (1986) mempertanyakan alasan campur
tangan pemerintah di dalam suatu sistem ekonomi yang berhubungan
dengan Islamic man, Siddiqi tiap bertahan pada argumennya sendiri
dengan menyatakan secara sungguh-sungguh bahwa campur tangan
negara itu _disebutkan dan bahkan diwajibkan oleh Al-Quran dan Sunnah.
Walau Islam mengenal dan mengakui kepemilikan pribadi, kebebasan
berusaha dan persaingan yang sehat, Siddiqi (1988a: 110) menyatakan
bahwa aturan Islam bagi individu, lembaga serta hukum sosial Islam
bahwa suatu negara haruslah menyelenggarakan serta memberi legitimasi
bagi campur tangan negara, yang dimaksudkan untuk menegakkan suatu
masyarakat yang diisi dengan semangat kerja sama.
Kevvajiban amar maruf dan nahi munkar' diperluas jangkauannya
ke lingkungan ekonomi dan Siddiqi merujuk kepada lembaga Hisbah
yang telah amat terkenal (Siddiqi, 1972: 87) untuk mendukung pan-
dengan menyatakan bahwa bank di dalam perekonomian Islam harus
melihat kembali pada fungsinya, yakni tidak hanya sebagai lembaga
perantara melainkan juga sebagai agen ckonorni, dan bagaimanapun
harus secara langsung terlibat dalam penciptaan kegiatan ekonomi.
4. jaminan Kebutuhan Dasar bagi Semua E
Siddiqi memandang jaminan akan terpenuhinya kebutuhan dasar
bagi semua orang sebagai salah satu ciri utama sistem ekonomi Islam.
Memang diharapkan orang dapat memenuhi kebutuhan melalui
usaha mereka sendiri. Namun, ada saja di antara mereka yang untuk
sementara tak dapat bekerja karena menganggur atau sebagian lagi malah
menganggur permanen karena memang tidak mampu bekerja dan oleh
karenanya harus dijamin kebutuhannya. Hal ini jelas sekali dinyatakan
oleh Al-Quran dan Sunnah. Siddiqi (1986: 259-60) menyatakan:
Prinsip bahwa kebutuhan dasar setiap orang harus dipenuhi sepe-
nuhnya dilandasi oleh syariah. Individu itu sendiri, sanak dekatnya, para
tetangga dan masyarakat semuanya, harus mengetahui dan memikul
tanggung jawab masing-masing. Namun, tanggung jawab terakhir untuk
mengimplementasikan prinsip ini terletak pada negara Islam. Ini adalah
bagian dari visi Islam.
Demikianlah kita lihat bahwa negara memiliki tanggung jawab
"\
untul<'menjamin terpenuhinya kebutuhan dasar bagi semua orang. jika
kita mengakui hal ini, pertanyaan berikutnya yang dijavvab oleh Siddiqi
adalah apa saja yang termasuk kebutuhan dasar? Menjawab pertanyaan
ini, Siddiqi (1986: 258) rnengutip al-Ghazali dan asy-Syathibi dengan
menyatakan bahwa kebutuhan dasar mencakup apa saja yang diperlukan
untuk menjaga agama, kehidupan, akal, keturunan, dan harta. Jika
diterjemahkan kc clalam bahasa praktik, kebutuhan dasar itu akan berupa
cukup makan, pakaian, perumahan, jaminan kesehatan, pendidikan dan
juga, jika perlu, hal-hal seperti peralatan, transpor, bahan bakar, clan
sebagainya. (1986: 261-4).
Naqvi (l986: 287-91) terlihat mcndukuug Siddiqi dalam hal ini,
terutama yang berkenaan dengan peranan nvgnra ali dalam kegiatan
ekonomi. Namun, banyak orang lain yang xucrraxsn lmhwa daftar yang
disusun oleh Siddiqi mengenai kebutuhan dasar ilu hampir mustahil
dipenuhi oleh negara-negara Muslim. Tetapi Siddiqi mclihat penyediaan
kebutuhan dasar tersebut sebagai suatu proscs hcrumhzlp, yang bekerja di
dalam batas-batas keuangan negara-negara Muslim (|986: 302).
Secara umum, pandangan Siddiqi terhadap kcrangka institusional
sistem ekonomi Islam itu mirip dengan pandangan Mannan, dan
mewakili pemikiran mainstream dalam ekonomi Islam. Kepemilikan
mutlak hanya ada pada Allah Swt., tetapi manusia diberi hak yang
relatif lagi terbatas bagi kepemilikan pribadi itu. Argumennya dalam
hal kepemilikan pribadi lebih meyakinkan, karcna merujuk kepada
metodologi fqh untuk mendukung pandangannya. Atas nama keadilan
dan kebajikan, ia menginginkan adanya peranan negara yang aktif dan
positif, bahkan membolehkan campur tangan langsung di pasar produk
maupun pasar faktor produksi untuk menjamin berfungsinya sistem
pasar secara benar.
Ia tidak banyak membahas zakat, tetapi lebih berkonsentrasi pada
penghapusan bunga (riba) dan menggantikannya dengan bagi laba-dan-
rugi. Konsentrasinya kepada perbankan 11am itu telah dikritik oleh
Sardar (l988: 204-5) yang melihat usaha pemberian instrumen Islami'
pada kerangka monetarist/Keynesian/neoklasik sebagai suatu hal yang
sia-sia. Bukan Sardar, melainkan Naqvi, Neinhaus dan Kuran yang syarat-
syaratnya pada penggunaan mudharabah belum secara meyakinkan ditolak
oleh Siddiqi. Pandangan Siddiqi terhadap penyediaan kebutuhan dasar
dapat ditafsirkan mirip dengan strategi kebutuhan dasar atau dengan
praktik-praktik di beberapa program kesejahteraan kapitalis. Namun,
pandangan Siddiqi sedemikian jelasnya ketika ia menekankan bahwa
"suatu jaminan berupa kebutuhan hidup minimal bagi semua orang
itu paling baik dilakukan melalui distribusi aset yang menghasilkan
pendapatan (income yielding assets) yang lebih adil dalam jangka panjang
(l986: 277), yang berarti bahwa ia menghendaki adanya reformasi
struktural di dalam sistem dan bukan hanya transfer langsung atau
pemberian kebutuhan dasar jangka pendek saja.
Distribusi
]il<a Mannan me-ngkritik ekonorni konvensional karena memperla-
kukan distribusi sebagai suatu perluasan dari teori harga (yakni harga
faktor produksi), maka Siddiqi merasa tidak puas karena ekonomi
konivcnsional itu memperlakukan distribusi sebagai suatu konsekuensi
konsumsi (permintaan) dan produksi (penawaran). Baginya (Notes:
23-4), hal itu mengekalkan gagasan palsu tentang kekuasaan kon-
sumcn', menciptakan khayalan bahwa masyarakat melakukan per-
mintaan terhadap apa yang mereka ingin konsumsi, kaum produsen
memproduksi karena menuruti kontribusi yang diberikan kepada proses
procluksi (distribusi fungsional). Tetapi permintaan, menurut Siddiqi,
dibatasi atau ditentukan oleh distribusi awal pendapatan dan kekayaan.
Oleh karena itu, distribusi, semua determinan dan ketimpangannya,
haruslah dipelajari dan dikoreksi dari sumbernya', bukan hanya sekadar
mengatakan saja seperti yang terjadi dalam ekonomi konvensional
(neoklasik). Dalam kenyataannya, Siddiqi (1986: 275-8) menganggap
distribusi pendapatan dan kekayaan awal yang tak seimbang dan tak adil
sebagai salah satu situasi yang menjadi jalan bagi berlakunya campur
tangan negara, di samping pemenuhan kebutuhan dan mempertahankan
praktik-praktik pasar yang jujur.
Itu semua membawa Siddiqi rnernbahas distribusi, hak atas harta
dan kepemilikan awal di dalam Islam (atau seperti sebutan Baqir Sadr,
distribusi praproduksi). Kekayaan dapat diusahakan maupun diwarisi,
namun dipandang sebagai suatu amanah dari Allah Swt., Sang Pemilik
Mutlak. Siddiqi (1986: 156) tegas sekali rnenggariskan bahwa oleh
karena tidak ada pernyataan eksplisit di dalam Al-Qur'an dan Sunnah
yang melarang kepemilikan kekayaan oleh swasta, maka dibolehkan.
Hanya saja, hak memiliki kekayaan itu terbatas sifatnya. Hak itu
terbatas dalam pengertian bahwa masing-masing individu, negara dan
masyarakat memiliki claim untuk memiliki yang dibatasi oleh tempat
dan hubungannya di dalam sistem sosio-ekonomi Islam. Hak memiliki
kekayaan ini, menurut Siddiqi (1978: 49-74), tidak boleh menimbulkan
konflik karena semua lapisan masyarakat akan bekerja deml tujuan
bersama, yakni menggunakan semua sumber daya yang diberikan
oleh Allah Swt. bagi kebaikan semua orang. Jika terjadi konflik kepen-

You might also like