You are on page 1of 22

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

1. KONSEP SKIZOFRENIA
1.1. Definisi Skizofrenia
Skizofrenia adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan suatu
gangguan psikiatrik mayor yang ditandai dengan adanya perubahan pada persepsi,
pikiran, afek, dan perilaku seseorang. Kesadaran yang jernih dan kemampuan
intelektual biasanya tetap terpelihara, walaupun defisit kognitif tertentu dapat
berkembang kemudian (Sadock, 2003).
Gejala skizofrenia secara garis besar dapat di bagi dalam dua kelompok,
yaitu gejala positif dan gejala negatif. Gejala positif berupa delusi, halusinasi,
kekacauan pikiran, gaduh gelisah dan perilaku aneh atau bermusuhan. Gejala
negatif adalah alam perasaan (afek) tumpul atau mendatar, menarik diri atau
isolasi diri dari pergaulan, miskin kontak emosional (pendiam, sulit diajak
bicara), pasif, apatis atau acuh tak acuh, sulit berpikir abstrak dan kehilangan
dorongan kehendak atau inisiatif

1.2. Epidemiologi
Skizofrenia dapat ditemukan pada semua kelompok masyarakat dan di
berbagai daerah. Insiden dan tingkat prevalensi sepanjang hidup secara kasar
hampir sama di seluruh dunia. Gangguan ini mengenai hampir 1% populasi
dewasa dan biasanya onsetnya pada usia remaja akhir atau awal masa dewasa.
Universitas Sumatera Utara
Pada laki-laki biasanya gangguan ini mulai pada usia lebih muda yaitu 15-25
tahun sedangkan pada perempuan lebih lambat yaitu sekitar 25-35 tahun. Insiden
skizofrenia lebih tinggi pada laki-laki daripada perempuan dan lebih besar di
daerah urban dibandingkan daerah rural (Sadock, 2003).
Pasien skizofrenia beresiko meningkatkan risiko penyalahgunaan zat,
terutama ketergantungan nikotin. Hampir 90% pasien mengalami ketergantungan
nikotin. Pasien skizofrenia juga berisiko untuk bunuh diri dan perilaku
menyerang. Bunuh diri merupakan penyebab kematian pasien skizofrenia yang
terbanyak, hampir 10% dari pasien skizofrenia yang melakukan bunuh diri
(Kazadi, 2008).
Menurut Howard, Castle, Wessely, dan Murray, 1993 di seluruh dunia
prevalensi seumur hidup skizofrenia kira-kira sama antara laki-laki dan
perempuan diperkirakan sekitar 0,2%-1,5%. Meskipun ada beberapa
ketidaksepakatan tentang distribusi skizofrenia di antara laki-laki dan perempuan,
perbedaan di antara kedua jenis kelamin dalam hal umur dan onset-nya jelas.
Onset untuk perempuan lebih rendah dibandingkan laki-laki, yaitu sampai umur
36 tahun, yang perbandingan risiko onsetnya menjadi terbalik, sehingga lebih
banyak perempuan yang mengalami skizofrenia pada usia yang lebih lanjut bila
dibandingkan dengan laki-laki (Durand, 2007).




Universitas Sumatera Utara
1.3. Etiologi
Terdapat beberapa pendekatan yang dominan dalam menganalisa penyebab
skizofrenia, antara lain :
1.3.1. Faktor Genetik
Menurut Maramis (1995), faktor keturunan juga menentukan timbulnya
skizofrenia. Hal ini telah dibuktikan dengan penelitian tentang keluarga-keluarga
penderita skizofrenia terutama anak-anak kembar satu telur. Angka kesakitan bagi
saudara tiri ialah 0,9 - 1,8%; bagi saudara kandung 7 15%; bagi anak dengan
salah satu orangtua yang menderita skizofrenia 7 16%; bila kedua orangtua
menderita skizofrenia 40 68%; bagi kembar dua telur (heterozigot) 2 -15%; bagi
kembar satu telur (monozigot) 61 86%.
Skizofrenia melibatkan lebih dari satu gen, sebuah fenomena yang disebut
quantitative trait loci. Skizofrenia yang paling sering kita lihat mungkin
disebabkan oleh beberapa gen yang berlokasi di tempat-tempat yang berbeda di
seluruh kromosom. Ini juga mengklarifikasikan mengapa ada gradasi tingkat
keparahan pada orang-orang yang mengalami gangguan ini (dari ringan sampai
berat) dan mengapa risiko untuk mengalami skizofrenia semakin tinggi dengan
semakin banyaknya jumlah anggota keluarga yang memiliki penyakit ini (Durand
& Barlow, 2007).
1.3.2. Faktor Biokimia
Skizofrenia mungkin berasal dari ketidakseimbangan kimiawi otak yang
disebut neurotransmitter, yaitu kimiawi otak yang memungkinkan neuron-neuron
berkomunikasi satu sama lain. Beberapa ahli mengatakan bahwa skizofrenia
Universitas Sumatera Utara
berasal dari aktivitas neurotransmitter dopamine yang berlebihan di bagian-
bagian tertentu otak atau dikarenakan sensitivitas yang abnormal terhadap
dopamine. Banyak ahli yang berpendapat bahwa aktivitas dopamine yang
berlebihan saja tidak cukup untuk skizofrenia. Beberapa neurotransmitter lain
seperti serotonin dan norepinephrine tampaknya juga memainkan peranan
(Durand, 2007).
1.3.3. Faktor Psikologis dan Sosial
Faktor psikososial meliputi adanya kerawanan herediter yang semakin lama
semakin kuat, adanya trauma yang bersifat kejiwaan, adanya hubungan orang tua-
anak yang patogenik, serta interaksi yang patogenik dalam keluarga
(Wiraminaradja & Sutardjo, 2005).
Banyak penelitian yang mempelajari bagaimana interaksi dalam keluarga
mempengaruhi penderita skizofrenia. Sebagai contoh, istilah schizophregenic
mother kadang-kadang digunakan untuk mendeskripsikan tentang ibu yang
memiliki sifat dingin, dominan, dan penolak, yang diperkirakan menjadi penyebab
skizofrenia pada anak-anaknya (Durand & Barlow, 2007).
Menurut Coleman dan Maramis (1994 dalam Baihaqi et al, 2005), keluarga
pada masa kanak-kanak memegang peranan penting dalam pembentukan
kepribadian. Orangtua terkadang bertindak terlalu banyak untuk anak dan tidak
memberi kesempatan anak untuk berkembang, ada kalanya orangtua bertindak
terlalu sedikit dan tidak merangsang anak, atau tidak memberi bimbingan dan
anjuran yang dibutuhkannya.

Universitas Sumatera Utara
1.4. Perjalanan Penyakit
Perjalanan penyakit skizofrenia sangat bervariasi pada tiap-tiap individu.
Perjalanan klinis skizofrenia berlangsung secara perlahan-lahan, meliputi
beberapa fase yang dimulai dari keadaan premorbid, prodromal, fase aktif dan
keadaan residual (Sadock, 2003; Buchanan, 2005).
Pola gejala premorbid merupakan tanda pertama penyakit skizofrenia,
walaupun gejala yang ada dikenali hanya secara retrospektif. Karakteristik gejala
skizofrenia yang dimulai pada masa remaja akhir atau permulaan masa dewasa
akan diikuti dengan perkembangan gejala prodromal yang berlangsung beberapa
hari sampai beberapa bulan. Tanda dan gejala prodromal skizofrenia dapat berupa
cemas, gundah (gelisah), merasa diteror atau depresi. Penelitian retrospektif
terhadap pasien dengan skizofrenia menyatakan bahwa sebagian penderita
mengeluhkan gejala somatik, seperti nyeri kepala, nyeri punggung dan otot,
kelemahan dan masalah pencernaan (Sadock, 2003).
Fase aktif skizofrenia ditandai dengan gangguan jiwa yang nyata secara
klinis, yaitu adanya kekacauan dalam pikiran, perasaan dan perilaku. Penilaian
pasien skizofrenia terhadap realita terganggu dan pemahaman diri (tilikan) buruk
sampai tidak ada. Fase residual ditandai dengan menghilangnya beberapa gejala
klinis skizofrenia. Yang tinggal hanya satu atau dua gejala sisa yang tidak terlalu
nyata secara klinis, yaitu dapat berupa penarikan diri (withdrawal) dan perilaku
aneh (Buchanan, 2005).


Universitas Sumatera Utara
1.5. Tipe-tipe Skizofrenia
Diagnosa Skizofrenia berawal dari Diagnostik and Statistical Manual of
Mental Disorders (DSM) yaitu: DSM-III (American Psychiatric Assosiation,
1980) dan berlanjut dalam DSM-IV (American Psychiatric Assosiation,1994) dan
DSM-IV-TR (American Psychiatric Assosiation,2000). Berikut ini adalah tipe
skizofrenia dari DSM-IV-TR 2000. Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala yang
dominan yaitu (Davison, 2006) :
1.5.1. Tipe Paranoid
Ciri utama skizofrenia tipe ini adalah waham yang mencolok atau halusinasi
auditorik dalam konteks terdapatnya fungsi kognitif dan afektif yang relatif masih
terjaga. Waham biasanya adalah waham kejar atau waham kebesaran, atau
keduanya, tetapi waham dengan tema lain (misalnya waham kecemburuan,
keagamaan, atau somalisas) mungkin juga muncul. Ciri-ciri lainnya meliputi
ansietas, kemarahan, menjaga jarak dan suka berargumentasi, dan agresif.
1.5.2. Tipe Disorganized (tidak terorganisasi)
Ciri utama skizofrenia tipe disorganized adalah pembicaraan kacau, tingkah
laku kacau dan afek yang datar atau inappropriate. Pembicaraan yang kacau dapat
disertai kekonyolan dan tertawa yang tidak erat kaitannya dengan isi pembicaraan.
Disorganisasi tingkah laku dapat membawa pada gangguan yang serius pada
berbagai aktivitas hidup sehari-hari.
1.5.3. Tipe Katatonik
Ciri utama skizofrenia tipe ini adalah gangguan pada psikomotor yang dapat
meliputi ketidakbergerakan motorik (waxy flexibility). Aktivitas motor yang
Universitas Sumatera Utara
berlebihan, negativism yang ekstrim, sama sekali tidak mau bicara dan
berkomunikasi (mutism), gerakan-gerakan yang tidak terkendali, mengulang
ucapan orang lain (echolalia) atau mengikuti tingkah laku orang lain
(echopraxia).
1.5.4. Tipe Undifferentiated
Tipe Undifferentiated merupakan tipe skizofrenia yang menampilkan
perubahan pola simptom-simptom yang cepat menyangkut semua indikator
skizofrenia. Misalnya, indikasi yang sangat ruwet, kebingungan (confusion),
emosi yang tidak dapat dipegang karena berubah-ubah, adanya delusi, referensi
yang berubah-ubah atau salah, adanya ketergugahan yang sangat besar, autisme
seperti mimpi, depresi, dan sewaktu-waktu juga ada fase yang menunjukkan
ketakutan.
1.5.5. Tipe Residual
Tipe ini merupakan kategori yang dianggap telah terlepas dari skizofrenia
tetapi masih memperlihatkan gejala-gejala residual atau sisa, seperti keyakinan-
keyakinan negatif, atau mungkin masih memiliki ide-ide tidak wajar yang tidak
sepenuhnya delusional. Gejala-gejala residual itu dapat meliputi menarik diri
secara sosial, pikiran-pikiran ganjil, inaktivitas, dan afek datar.





Universitas Sumatera Utara
1.6. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada pasien skizofrenia dapat berupa terapi biologis, dan
terapi psikososial.
1.6.1. Terapi Biologis
Pada penatalaksanaan terapi biologis terdapat tiga bagian yaitu terapi
dengan menggunakan obat antipsikosis, terapi elektrokonvulsif, dan pembedahan
bagian otak. Terapi dengan penggunaan obat antipsikosis dapat meredakan gejala-
gejala skizofrenia. Obat yang digunakan adalah chlorpromazine (thorazine) dan
fluphenazine decanoate (prolixin). Kedua obat tersebut termasuk kelompok obat
phenothiazines, reserpine (serpasil), dan haloperidol (haldol). Obat ini disebut
obat penenang utama. Obat tersebut dapat menimbulkan rasa kantuk dan kelesuan,
tetapi tidak mengakibatkan tidur yang lelap, sekalipun dalamdosis yang sangat
tinggi (orang tersebut dapat dengan mudah terbangun). Obat ini cukup tepat bagi
penderita skizofrenia yang tampaknya tidak dapat menyaring stimulus yang tidak
relevan (Durand, 2007).
Terapi Elektrokonvulsif juga dikenal sebagai terapi electroshock pada
penatalaksanaan terapi biologis. Pada akhir 1930-an, electroconvulsive therapy
(ECT) diperkenalkan sebagai penanganan untuk skizofrenia.Tetapi terapi ini telah
menjadi pokok perdebatan dan keprihatinan masyarakat karena beberapa alasan.
ECT ini digunakan di berbagai rumah sakit jiwa pada berbagai gangguan jiwa,
termasuk skizofrenia.
Menurut Fink dan Sackeim (1996) antusiasme awal terhadap ECT semakin
memudar karena metode ini kemudian diketahui tidak menguntungkan bagi
Universitas Sumatera Utara
sebagian besar penderita skizofrenia meskipun penggunaan terapi ini masih
dilakukan hingga saat ini. Sebelum prosedur ECT yang lebih manusiawi
dikembangkan, ECT merupakan pengalaman yang sangat menakutkan pasien.
Pasien seringkali tidak bangun lagi setelah aliran listrik dialirkan ke tubuhnya dan
mengakibatkan ketidaksadaran sementara, serta seringkali menderita kerancuan
pikiran dan hilangnya ingatan setelah itu. Adakalanya, intensitas kekejangan otot
yang menyertai serangan otak mengakibatkan berbagai cacat fisik (Durand, 2007).
Pada terapi biologis lainnya seperti pembedahan bagian otak Moniz (1935,
dalam Davison, et al., 1994) memperkenalkan prefrontal lobotomy, yaitu proses
operasi primitif dengan cara membuang stone of madness atau disebut dengan
batu gila yang dianggap menjadi penyebab perilaku yang terganggu. Menurut
Moniz, cara ini cukup berhasil dalam proses penyembuhan yang dilakukannya,
khususnya pada penderita yang berperilaku kasar. Akan tetapi, pada tahun 1950-
an cara ini ditinggalkan karena menyebabkan penderita kehilangan kemampuan
kognitifnya, otak tumpul, tidak bergairah, bahkan meninggal.
1.6.2. Terapi Psikososial
Gejala-gejala gangguan skizofrenia yang kronik mengakibatkan situasi
pengobatan di dalam maupun di luar Rumah Sakit J iwa (RSJ ) menjadi monoton
dan menjemukan. Secara historis, sejumlah penanganan psikososial telah
diberikan pada pasien skizofrenia, yang mencerminkan adanya keyakinan bahwa
gangguan ini merupakan akibat masalah adaptasi terhadap dunia karena berbagai
pengalaman yang dialami di usia dini. Pada terapi psikosial terdapat dua bagian
yaitu terapi kelompok dan terapi keluarga (Durand, 2007).
Universitas Sumatera Utara
Terapi kelompok merupakan salah satu jenis terapi humanistik. Pada terapi
ini, beberapa klien berkumpul dan saling berkomunikasi dan terapist berperan
sebagai fasilitator dan sebagai pemberi arah di dalamnya. Para peserta terapi
saling memberikan feedback tentang pikiran dan perasaan yang dialami. Peserta
diposisikan pada situasi sosial yang mendorong peserta untuk berkomunikasi,
sehingga dapat memperkaya pengalaman peserta dalam kemampuan
berkomunikasi.
Pada terapi keluarga merupakan suatu bentuk khusus dari terapi kelompok.
Terapi ini digunakan untuk penderita yang telah keluar dari rumah sakit jiwa dan
tinggal bersama keluarganya. Keluarga berusaha untuk menghindari ungkapan-
ungkapan emosi yang bisa mengakibatkan penyakit penderita kambuh kembali.
Dalam hal ini, keluarga diberi informasi tentang cara-cara untuk
mengekspresikan perasaan-perasaan, baik yang positif maupun yang negatif
secara konstruktif dan jelas, dan untuk memecahkan setiap persoalan secara
bersama-sama. Keluarga diberi pengetahuan tentang keadaan penderita dan cara-
cara untuk menghadapinya. Dari beberapa penelitian, seperti yang dilakukan oleh
Fallon (Davison, et al., 1994; Rathus, et al., 1991) ternyata campur tangan
keluarga sangat membantu dalamproses penyembuhan, atau sekurang-kurangnya
mencegah kambuhnya penyakit penderita, dibandingkan dengan terapi-terapi
secara individual.



Universitas Sumatera Utara
2. KEKAMBUHAN KEMBALI (RELAPS)
Kekambuhan pasien skizofrenia adalah istilah yang secara relatif
merefleksikan perburukan gejala atau perilaku yang membahayakan pasien dan
atau lingkungannya. Tingkat kekambuhan sering di ukur dengan menilai waktu
antara lepas rawat dari perawatan terakhir sampai perawatan berikutnya dan
jumlah rawat inap pada periodetertentu (Pratt, 2006).
Keputusan untuk melakukan rawat inap di rumah sakit pada pasien
skizofrenia adalah hal terutama yang dilakukan atas indikasi keamanan pasien
karena adanya kekambuhan yang tampak dengan tindakan seperti ide bunuh diri
atau mencelakakan orang lain, dan bila terdapat perilaku yang sangat
terdisorganisasi atau tidak wajar termasuk bila pasien tidak mampu memenuhi
kebutuhan dasar berupa makan, perawatan diri dan tempat tinggalnya. Selain itu
rawat inap rumah sakit diperlukan untuk hal-hal yang berkaitan dengan diagnostik
dan stabilisasi pemberian medikasi (Durand, 2007).
Perawatan pasien skizofrenia cenderung berulang (recurrent), apapun
bentuk subtipe penyakitnya. Tingkat kekambuhan lebih tinggi pada pasien
skizofrenia yang hidup bersama anggota keluarga yang penuh ketegangan,
permusuhan dan keluarga yang memperlihatkan kecemasan yang berlebihan.
Tingkat kekambuhan dipengaruhi juga oleh stress dalam kehidupan, seperti hal
yang berkaitan dengan keuangan dan pekerjaan. Keluarga merupakan bagian yang
penting dalam proses pengobatan pasien dengan skizofrenia.

Universitas Sumatera Utara
Keluarga berperan dalam deteksi dini, proses penyembuhan dan pencegahan
kekambuhan. Penelitian pada keluarga di Amerika, membuktikan bahwa peranan
keluarga yang baik akan mengurangi angka perawatan di rumah sakit,
kekambuhan, dan memperpanjang waktu antara kekambuhan.
Meskipun angka kekambuhan tidak secara otomatis dapat dijadikan sebagai
kriteria kesuksesan suatu pengobatan skizofrenia, tetapi parameter ini cukup
signifikan dalam beberapa aspek. Setiap kekambuhan berpotensi menimbulkan
bahaya bagi pasien dan keluarganya, yakni seringkali mengakibatkan perawatan
kembali/rehospitalisasi dan membengkaknya biaya pengobatan.

3. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KETIDAKPATUHAN
MINUM OBAT
Faktor yang paling penting sehubungan dengan kekambuhan pada
skizofrenia adalah ketidakpatuhan meminum obat. Salah satu terapi pada pasien
skizofrenia adalah pemberian antipsikosis. Obat tersebut akan bekerja bila dipakai
dengan benar tetapi banyak dijumpai pasien skizofrenia tidak menggunakan obat
mereka secara rutin. Kira-kira 7% orang-orang yang diberi resep obat-obat
antipsikotik menolak memakainya (Hoge, 1990).
Penelitian tentang prevalensi ketidakpatuhan menunjukkan bahwa sebagian
besar penderita skizofrenia berhenti memakai obat dari waktu ke waktu. Sebuah
studi follow-up sebagai contoh menemukan bahwa selama kurun waktu dua tahun,
tiga diantara empat pasien yang diteliti menolak memakai obat antipsikotiknya
selama paling tidak seminggu (Durand, 2007)
Universitas Sumatera Utara
Menurut Tambayong (2002) faktor ketidakpatuhan terhadap pengobatan
adalah kurang pahamnya pasien tentang tujuan pengobatan, tidak mengertinya
pasien tentang pentingnya mengikuti aturan pengobatan yang ditetapkan
sehubungan dengan prognosisnya, sukarnya memperoleh obat di luar rumah sakit,
mahalnya harga obat, dan kurangnya perhatian dan kepedulian keluarga yang
mungkin bertanggung jawab atas pembelian atau pemberian obat kepada pasien.
Terapi obat yang efektif dan aman hanya dapat dicapai bila pasien mengetahui
seluk beluk pengobatan serta kegunaannya.
Menurut Siregar (2006) ketidakpatuhan pemakaian obat akan
mengakibatkan penggunaan suatu obat yang berkurang. Dengan demikian, pasien
akan kehilangan manfaat terapi yang diantisipasi dan kemungkinan
mengakibatkan kondisi yang diobati secara bertahap menjadi buruk. Adapun
berbagai faktor yang berkaitan dengan ketidakpatuhan, antara lain :
3.1. Penyakit
Sifat kesakitan pasien dalam beberapa keadaan, dapat berkontribusi pada
ketidakpatuhan. Pada pasien dengan gangguan psikiatrik, kemampuan untuk
bekerja sama, demikian juga sikap terhadap pengobatan mungkin dirusak oleh
adanya kesakitan, dan individu-individu ini lebih mungkin tidak patuh daripada
pasien lain. Berbagai studi dari pasien dengan kondisi seperti pasien skizofrenia
telah menunjukkan suatu kejadian ketidakpatuhan yang tinggi. Pasien cenderung
menjadi putus asa dengan program terapi yang lama dan tidak menghasilkan
kesembuhan kondisi.
Universitas Sumatera Utara
Apabila seorang pasien mengalami gejala yang signifikan dan terapi
dihentikan sebelum waktunya, ia akan lebih memperhatikan menggunakan
obatnya dengan benar. Beberapa studi menunjukkan adanya suatu korelasi antara
keparahan penyakit dan kepatuhan, hal itu tidak dapat dianggap bahwa pasien ini
akan patuh dengan regimen terapi mereka. Hubungan antara tingkat
ketidakmampuan yang disebabkan suatu penyakit dan kepatuhan dapat lebih baik,
serta diharapkan bahwa meningkatnya ketidakmampuan akan memotivasi
kepatuhan pada kebanyakan pasien.
Permasalahan yang lain adalah model kepercayaan pasien tentang
kesehatannya, dimana menggambarkan pikiran pasien tentang penyebab dan
keparahan penyakit mereka. Banyak orang menilai bahwa skizofrenia adalah
penyakit yang kurang penting dan tidak begitu serius dibandingkan penyakit
penyakit lain seperti diabetes, epilepsi dan kanker. J adi jelas bahwa jika mereka
mempercayai penyakitnya tidak begitu serius dan tidak penting untuk diterapi
maka ketidakpatuhan dapat terjadi. Begitu juga persepsi sosial juga berpengaruh.
J ika persepsi sosial buruk maka pasien akan berusaha menghindari setiap hal
tentang penyakitnya termasuk pengobatan. Sikap pasien terhadap pengobatan juga
perlu diperhitungkan dalam hubungannya terhadap kepatuhan pasien terhadap
pengobatan. Sangatlah penting untuk mengamati, berdiskusi dan jika
memungkinkan mencoba untuk merubah sikap pasien terhadap pengobatan. Pada
pasien skizofrenia sikap pasien terhadap pengobatan dengan antipsikotik
bervariasi dari yang sangat negatif sampai sangat positif.

Universitas Sumatera Utara
3.2. Regimen Terapi
3.2.1. Terapi Multi Obat
Pada umumnya, makin banyak jenis dan jumlah obat yang digunakan
pasien, semakin tinggi resiko ketidakpatuhan. Bahkan, apabila instruksi dosis
tertentu untuk obat telah diberikan, masalah masih dapat terjadi. Kesamaan
penampilan (misalnya, ukuran, warna, dan bentuk) obat-obat tertentu dapat
berkontribusi pada kebingungan yang dapat terjadi dalam penggunaan multi obat.
3.2.2. Frekuensi Pemberian
Pemberian obat pada jangka waktu yang sering membuat ketidakpatuhan
lebih mungkin karena jadwal rutin normal atau jadwal kerja pasien akan
terganggu untuk pengambilan satu dosis obat dan dalam banyak kasus pasien akan
lupa, tidak ingin susah atau malu berbuat demikian.
Sikap pasien terhadap kesakitan dan regimen pengobatan mereka juga perlu
diantisipasi dan diperhatikan. Dalam kebanyakan situasi adalah wajar
mengharapkan bahwa pasien akan setuju dan lebih cenderung patuh dengan suatu
regimen dosis yang sederhana dan menyenangkan.
3.2.3. Durasi dan Terapi
Berbagai studi menunjukkan bahwa tingkat ketidakpatuhan menjadi lebih
besar, apabila periode pengobatan lama. Seperti telah disebutkan, suatu risiko
yang lebih besar dari ketidakpatuhan perlu diantisipasi dalam pasien yang
mempunyai penyakit kronik, terutama jika penghentian terapi mungkin tidak
berhubungan dengan terjadinya kembali segera atau memburuknya kesakitan.
Ketaatan pada pengobatan jangka panjang lebih sulit dicapai. Walaupun tidak ada
Universitas Sumatera Utara
intervensi tunggal yang berguna untuk meningkatkan ketaatan, kombinasi
instruksi yang jelas, pemantauan sendiri oleh pasien, dukungan sosial, petunjuk
bila menggunakan obat, dan diskusi kelompok.
3.2.4. Efek Merugikan
Perkembangan dari efek suatu obat tidak menyenangkan, memungkinkan
menghindar dari kepatuhan, walaupun berbagai studi menyarankan bahwa hal ini
tidak merupakan faktor penting sebagaimana diharapkan. Dalam beberapa situasi
adalah mungkin mengubah dosis atau menggunakan obat alternatif untuk
meminimalkan efek merugikan. Namun, dalam kasus lain alternatif dapat
ditiadakan dan manfaat yang diharapkan dari terapi harus dipertimbangkan
terhadap risiko.
Penurunan mutu kehidupan yang diakibatkan efek, seperti mual dan muntah
yang hebat, mungkin begitu penting bagi beberapa individu sehingga mereka tidak
patuh dengan suatu regimen. Kemampuan beberapa obat tertentu menyebabkan
disfungsi seksual, juga telah disebut sebagai suatu alasan untuk ketidakpatuhan
oleh beberapa pasien dengan zat antipsikotik dan antihipertensi. Bahkan, suatu
peringatan tentang kemungkinan reaksi merugikan dapat terjadi pada beberapa
individu yang tidak patuh dengan instruksi.
3.2.5. Pasien Asimtomatik (Tidak Ada Gejala) atau Gejala Sudah Reda
Sulit meyakinkan seorang pasien tentang nilai terapi obat, apabila pasien
tidak mengalami gejala sebelum memulai terapi. Pada suatu kondisi dimana
manfaat terapi obat tidak secara langsung nyata, termasuk keadaan bahwa suatu
obat digunakan berbasis profilaksis. Dalam kondisi lain, pasien dapat merasa baik
Universitas Sumatera Utara
setelah menggunakan obat dan merasa bahwa ia tidak perlu lebih lama
menggunakan obatnya setelah reda. Situasi sering terjadi ketika seorang pasien
tidak menghabiskan obatnya ketika menghabiskan obatnya selama terapi
antibiotik, setelah ia merasa bahwa infeksi telah terkendali. Praktik ini
meningkatkan kemungkinan terjadinya kembali infeksi dan pasien wajib diberi
nasihat untuk menggunakan seluruh obat selama terapi antibiotik.
3.2.6. Harga Obat
Walaupun ketidakpatuhan sering terjadi dengan penggunaan obat yang
relatif tidak mahal, dapat diantisipasi bahwa pasien akan lebih enggan mematuhi
instruksi penggunaan obat yang lebih mahal. Biaya yang terlibat telah disebut oleh
beberapa pasien sebagai alasan untuk tidak menebus resepnya sama sekali, sedang
dalam kasus lain obat digunakan kurang sering dari yang dimaksudkan atau
penghentian penggunaan sebelum waktunya disebabkan harga.
3.2.7. Pemberian/Konsumsi Obat
Walau seorang pasien mungkin bermaksud secara penuh untuk patuh pada
instruksi, ia mungkin kurang hati-hati menerima kuantitas obat yang salah
disebabkan pengukuran obat yang tidak benar atau penggunaan alat ukur yang
tidak tepat. Misalnya, sendok teh mungkin volumenya berkisar antara 2mL
sampai 9mL. Ketidakakurasian penggunaan sendok teh untuk mengkonsumsi obat
cair dipersulit oleh kemungkinan tumpah apabila pasien diminta mengukur
dengan sendok teh. Walaupun masalah ini telah lama diketahui, masih belum
diperhatikan secara efektif dan pentingnya menyediakan mangkok ukur bagi
pasien, sempril oral atau alat penetes yang telah dikalibrasi untuk penggunaan
Universitas Sumatera Utara
cairan oral adalah jelas. Akurasi dalam pengukuran obat, harus ditekankan dan
apoteker mempunyai suatu tanggung jawab penting untuk memberikan informasi
serta jika perlu, menyediakan alat yang tepat untuk memastikan pemberian jumlah
obat yang dimaksudkan.
3.2.8. Rasa Obat
Rasa obat-obatan adalah yang paling umum dihadapi dengan penggunaan
cairan oral. Oleh karena itu, dalam formulasi obat cair oral, penambah penawar
rasa, dan zat warna adalah praktik yang umum dilakukan oleh industri farmasi
untuk daya tarik serta pendekatan formulasi demikian dapat mempermudah
pemberian obat kepada pasien.

3.3. Interaksi Pasien dengan Profesional Kesehatan
Keadaan sekeliling kunjungan seorang pasien ke dokter dan/atau apoteker,
serta mutu dan keberhasilan (keefektifan) interaksi profesional kesehatan dengan
pasien adalah penentu utama untuk pengertian serta sikap pasien terhadap
kesakitannya dan regimen terapi. Salah satu kebutuhan terbesar pasien adalah
dukungan psikologis yang diberikan dengan rasa sayang. Selain itu, telah diamati
bahwa pasien cenderung untuk lebih mematuhi instruksi seorang dokter yang
merka kenal betul dan dihormati, serta dari siapa saja mereka menerima informasi
dan kepastian tentang kesakitan dan obat-obat mereka.
Berbagai faktor berikut adalah di antara faktor yang dapat mempengaruhi
kepatuhan secara merugikan, jika perhatian yang tidak memadai diberikan pada
lingkup dan mutu interaksi dengan pasien.
Universitas Sumatera Utara
3.3.1. Menunggu Dokter atau Apoteker
Apabila seorang pasien mengalami suatu waktu menunggu yang signifikan
untuk bertemu dengan dokter atau untuk mengerjakan (mengisi) resepnya,
kejengkelan dapat berkontribusi pada kepatuhan yang yang lebih buruk terhadap
instruksi yang diberikan. Dari suatu penelitian ditunjukkan bahwa hanya 31% dari
pasien yang biasanya menunggu lebih dari 60 menit untuk bertemu dengan
dokternya yang benar-benar patuh, sedangkan yang menunggu dalam 30 menit,
67% dari pasien tersebut benar-benar patuh.
3.3.2. Sikap dan Keterampilan Komunikasi Profesional Kesehatan
Berbagai studi menunjukkan ketidakpuasan pasien terhadap sikap pelaku
pelayan kesehatan. Uraian yang umum tentang pelaku pelayan kesehatan di rumah
sakit mencakup dingin, tidak tertarik, tidak sopan, agresif, kasar, dan otoriter.
Walaupun uraian demikian tersebut tidak demikian bagi banyak praktisi yang
mengabdi dan terampil, sikap yang tidak pantas terhadap pasien telah cukup
terbukti menunjukkan suatu masalah yang signifikan.
Pelaku pelayan kesehatan cenderung menggunakan terminologi sehingga
pasien tidak dapat mengerti dengan mudah, mereka sering kurang pengetahuan
tentang teori dan praktik perilaku, dan mereka mempunyai kesadaran yang
terbatas pada tingkat, masalah, dan penyebabpasien tidak taat pada pengobatan.
Ketaatan pada pengobatan, berhubungan dengan kejelasan penjelasan dokter
penulis resep, pasien sering merasa bahwa instruksi dinyatakan kurang jelas atau
sama sekali tidak jelas. Ketepatan waktu dan kejelasan suatu pesan sangat kuat
mempengaruhi bagaimana itu diterima, dimengerti, dan diingat. Pasien mengingat
Universitas Sumatera Utara
dengan sangat baik instruksi pertama yang diberikan; instruksi yang perlu
penekanan adalah lebih baik diingatkan kembali; makin sedikit instruksi
diberikan, semakin besar bagian yang diingat. J adi suatu pesan tidak saja harus
jelas dinyatakan, tetapi juga harus diorganisasikan dan disampaikan sedemikian
rupa sehingga memungkinkan pasien yang mengikuti dan memproses informasi
secara sempurna.
3.3.3. Gagal Mengerti Pentingnya Terapi
Alasan utama untuk tidak patuh adalah bahwa pentingnya terapi obat dan
akibat yang mungkin, jika obat tidak digunakan sesuai dengan instruksi yang tidak
mengesankan pasien. Pasien biasanya mengetahui relatif sedikit tentang kesakitan
mereka, apalagi manfaat dan masalah terapi yang diakibatkan terapi obat.
Oleh karena itu, mereka menyimpulkan pikiran sendiri berkenaan dengan
kondisi dan pengharapan yang berkaitan dengan efek terapi obat. J ika terapi tidak
memenuhi pengharapan, mereka lebih cenderung menjadi tidak patuh. Perhatian
yang lebih besar diperlukan untuk memberi edukasi pada pasien tentang
kondisinya, dan manfaat serta keterbatasan dari terapi obat, akan berkontribusi
pada pengertian yang lebih baik dari pihak pasien tentang pentingnya
menggunakan obat dengan cara yang dimaksudkan.
3.3.4. Pengertian yang Buruk Pada Instruksi
Berbagai investigasi telah menguraikan masalah dari jenis ini. Dari suatu
studi pada sekitar 6000 resep, 4% dari resep itu terdapat instruksi pasien ditulis
Sesuai Petunjuk. Akibat yang mungkin dari salah pengertian dapat serius.
Misalnya, seorang pasien menggunakan tiga kali dua kapsul fenitoin (100mg)
Universitas Sumatera Utara
sehari, daripada seharusnya tiga kali satu kapsul sehari seperti instruksi dokter.
Pada pasien skizofrenia yang menggunakan obat antipsikotik haloperidol 2,5
mg/hari dan fluphenazine Hydrochloride 2,5 mg/hari.
Alasan untuk penggunaan instruksi oleh beberapa dokter Gunakan sesuai
petunjuk telah diteliti. Walaupun penggunaan penandaan ini diadakan dalam
situasi yang terseleksi dipertahankan, kemungkinan untuk membingungkan dan
mengakibatkan kesulitan, dibuktikan dalam penelitian serta menyimpulkan bahwa
perlu membuat instruksi penggunaan obat sespesifik mungkin. Bahkan, apabila
petunjuk kepada pasien sudah lebih spesifik dari sesuai petunjuk kebingungan
masih dapat terjadi.
3.3.5. Pasien takut bertanya
Pasien sering ragu bertanya kepada tim pelaku pelayan kesehatan untuk
menjelaskan kondisi kesehatan mereka atau pengobatan yang diajukan. Keragu-
raguan ini dapat dihubungkan pada ketakutan dianggap bodoh, perbedaan status
sosial, dan bahasa atau tidak didorong oleh pelaku pelayan kesehatan tersebut.
Interaksi pasien dengan pelaku pelayan kesehatan yang lebih berhasil dapat
didorong dengan meningkatkan kepekaan pada pihak pelaku pelayan kesehatan.
3.3.6. Ketidakcukupan waktu konsultasi
Profesional pelayan kesehatan kebanyakan bersifat kurang berinteraksi
dengan pasien karena tekanan pekerjaan. Dalam beberapa bagian rumah sakit,
waktu atau praktik sibuk, waktu konsultasi sangat terbatas dan ini jelas menjadi
sautu masalah. J ika seorang pasien diberi hanya satu atau dua menit untuk waktu
konsultasi, dapat terjadi hal yang lebih buruk. Biaya yang dikeluarkan pasien
Universitas Sumatera Utara
tinggi, berkenaan dengan waktu, transport dan pengeluaran untuk obat. Hal ini
dapat meningkatkan ketidakpatuhan pasien terhadap instruksi karena mereka
merasa bahwa profesional pelayan kesehatan tidak ada perhatian pada
penyembuhan penyakit mereka. Untuk itu pentingnya rumah sakit agar
mempertimbangkan untuk memperpanjang waktu konsultasi bagi pasien.
Profesional pelayan kesehatan harus didorong untuk mengerti bahwa komunikasi
yang efektif dengan pasien bukanlah suatu ideal yang tidak realistik, tetapi
merupakan suatu aspek inti dari keberhasilan praktik klinik.
3.3.7. Kesediaan Informasi Tercetak
Ketaatan pada pengobatan mungkin meningkat, dengan tersedianya
informasi tercetak dalam bahasa yang sederhana. Di beberapa negara maju, semua
IFRS (Instalasi Farmasi Rumah Sakit) harus mempunyai lembaran informasi
untuk pasien, tersedia untuk setiap obat. Instruksi sederhana untuk obat yang
paling banyak digunakan dan obat yang paling banyak disalahgunakan dapat
dicetak pada kertas murah.













Universitas Sumatera Utara

You might also like