You are on page 1of 15

1

BRAIN DEATH

I. PENDAHULUAN
Sampai tiga-empat dekade yang lalu, penentuan saat kematian relatif sederhana.
Seseorang yang sudah berhenti bernafas, tidak teraba denyut jantungnya, dinyatakan
mati. Namun dengan kemajuan teknologi medis sejak beberapa puluh tahun terakhir
ini, saat ini fungsi vital dapat dipertahankan secara buatan, meskipun fungsi otak
telah berhenti. Hal tersebut pada akhirnya berimplikasi terhadap definisi kematian
secara medis, yang kemudian memunculkan suatu konsep kematian batang otak
sebagai penanda kematian. Kematian didefinisikan sebagai hilangnya fungsi otak.
Brain death, atau dalam bahasa Indonesia disebut mati otak atau mati batang
otak, meliputi hingga sekitar 50% dari semua kasus di Hongkong, dan 60% dari mati
otak diakibatkan oleh perdarahan intrakranial. Sisanya disebabkan oleh tumor dan
infeksi (Gunther et al., 2011), Di Amerika, penyebab utama brain death adalah cedera
kepala dan perdarahan subarachnoid. Batang otak dapat mengalami cedera oleh lesi
primer ataupun karena peningkatan tekanan pada kompartemen supratentorial atau
infratentorial yang mempengaruhi suplai darah atau integritas struktur otak. Cedera
hipoksia lebih mempengaruhi korteks dari pada batang otak (Lazar et al., 2001)
Mati otak diartikan sebagai berhentinya semua fungsi otak secara total dan
ireversibel termasuk batang otak. Awalnya kematian didefenisikan oleh para dokter
sebagai berhentinya denyut jantung dan respirasi secara permanen (mati somatik).
Perkembangan dalam resusitasi telah menyebabkan defenisi kematian terpaksa
ditinjau kembali. Perkembangan medis misalnya ventilator, peralatan dialisis dan
infus obat yang mendukung sirkulasi seringkali menopang pasien yang sedang kritis
untuk dapat bertahan hidup secara somatik walaupun secara fisiologis sangat parah
termasuk di dalamnya kematian otak itu sendiri.

II. ETIOLOGI
Penyebab kematian otak yang utama adalah sedera kepala traumatik,
cerebrovascular accidents, dan cedera hipoksik iskemi setelah henti jantung. Waktu
antara cedera ke diagnosis mati otak bervariasi dari jam samapai beberapa hari,
tergantung tingkat keparahan dan respon terhadap terapi (Shemie et al., 2003).
2
Penyebab umum kematian otak lainnya termasuk, overdosis obat, tenggelam, tumor
otak primer, meningitis, pembunuhan dan bunuh diri. Dalam kepustakaan lain,
hipoglikemia jangka panjang disebut sebagai penyebab kematian otak.

Kematian otak ditandai dengan koma, apneu dan hilangnya semua refleks
batang otak. Diagnosis klinis ini pertama kali disampaikan dalam kepustakaan
kedokteran pada tahun 1959 dan kemudian digunakan dalam praktik kedokteran pada
dekade berikutnya pada bidang trauma klinis yang spesifik. Kebanyakan kasus
kematian dapat didiagnosis di tempat tidur pasien.
III. PATOFISIOLOGI
Patofisiologi penting terjadinya kematian otak adalah peningkatan hebat tekanan
intrakranial (TIK) yang disebabkan perdarahan atau edema otak. Jika TIK meningkat
mendekati tekanan darah arterial, kemudian tekanan perfusi serebral (TPS) mendekati
nol, maka perfusi serebral akan terhenti dan kematian otak terjadi (Lazar, 2001).
Aliran darah normal yang melalui jaringan otak pada orang dewasa rata-rata
sekitar 50 sampai 60 mililiter per 100 gram otak per menit. Untuk seluruh otak, yang
kira-kira beratnya 1200 1400 gram terdapat 700 sampai 840 ml/menit. Penghentian
aliran darah ke otak secara total akan menyebabkan hilangnya kesadaran dalam waktu
5 sampai 10 detik. Hal ini dapat terjadi karena tidak ada pengiriman oksigen ke sel-sel
otak yang kemudian langsung menghentikan sebagian metabolismenya. Aliran darah
ke otak yang terhenti untuk tiga menit dapat menimbulkan perubahan-perubahan yang
bersifat irreversibel (Guyton 1996).
Sedikitnya terdapat tiga faktor metabolik yang memberi pengaruh kuat terhadap
pengaturan aliran darah serebral. Ketiga faktor tersebut adalah konsentrasi karbon
dioksida, konsentrasi ion hidrogen dan konsentrasi oksigen. Peningkatan konsentrasi
karbon dioksida maupun ion hidrogen akan meningkatkan aliran darah serebral,
sedangkan penurunan konsentrasi oksigen akan meningkatkan aliran (wilson, 1994).
Faktor-faktor iskemia dan nekrotik pada otak oleh karena kurangnya aliran
oksigen ke otak menyebabkan terganggunya fungsi dan struktur otak, baik itu secara
reversible dan ireversibel. Percobaan pada binatang menunjukkan aliran darah otak
dikatakan kritis apabila aliran darah otak 23/ml/100mg/menit (Normal 55
ml/100mg/menit). Jika dalam waktu singkat aliran darah otak ditambahkan di atas 23
ml, maka kerusakan fungsi otak dapat diperbaiki. Pengurangan aliran darah otak di
3
bawah 8-9 ml/100 mg/menit akan menyebabkan infark, tergantung lamanya.
Dikatakan hipoperfusi jika aliran darah otak di antara 8 dan 23 ml/100 mg/menit.
Jika jumlah darah yang mengalir ke dalam otak regional tersumbat secara parsial,
maka daerah yang bersangkutan langsung menderita karena kekurangan oksigen.
Daerah tersebut dinamakan daerah iskemik. Di wilayah itu didapati: 1) tekanan
perfusi yang rendah, 2) PO2 turun, 3) CO2 dan asam laktat tertimbun. Autoregulasi
dan kelola vasomotor dalam daerah tersebut bekerja sama untuk menanggulangi
keadaan iskemik itu dengan mengadakan vasodilatasi maksimal (Gunther et al.,
2011).
Pada umumnya, hanya pada perbatasan daerah iskemik saja bisa dihasilkan
vasodilatasi kolateral, sehingga daerah perbatasan tersebut dapat diselamatkan dari
kematian. Tetapi pusat dari daerah iskemik tersebut tidak dapat teratasi oleh
mekanisme autoregulasi dan kelola vasomotor. Di situ akan berkembang proses
degenerasi yang ireversibel. Semua pembuluh darah dibagian pusat daerah iskemik itu
kehilangan tonus, sehinga berada dalam keadaan vasoparalisis. Keadaan ini masih
bisa diperbaiki, oleh karena sel-sel otot polos pembuluh darah bisa bertahan dalam
keadaan anoksik yang cukup lama. Tetapi sel-sel saraf daerah iskemik itu tidak bisa
tahan lama. Pembengkakan sel dengan pembengkakan serabut saraf dan selubung
mielinnya (udem serebri) merupakan reaksi degeneratif dini. Kemudian disusul
dengan diapedesis eritosit dan leukosit. Akhirnya sel-sel saraf akan musnah. Yang
pertama adalah gambaran yang sesuai dengan keadaan iskemik dan yang terakhir
adalah gambaran infark (Guyton 1996).
Adapun pada hipoglikemia, mekanisme yang terjadi sifatnya umum.
Hipoglikemia jangka panjang menyebabkan kegagalan fungsi otak. Berbagai
mekanisme dikatakan terlibat dalam patogenesisnya, termasuk pelepasan glutamat
dan aktivasi reseptor glutamat neuron, produksi spesies oksigen reaktif, pelepasan
Zinc neuron, aktivasi poli (ADP-ribose) polymerase dan transisi permeabilitas
mitokondria (Cryer, 2007).

IV. KRITERIA BRAIN DEATH

Pada tahun 1979 Mollaret dan Goulon memperkenalkan istilah coma de pass
(koma irreversibel) dalam menggambarkan 23 pasien koma dengan hilangnya
kesadaran, refleks batang otak, respirasi dan dengan hasil elektroensefalogram yang
4
mendatar. Pada tahun 1968, sebuah komite Ad hoc pada Fakultas Kedokteran
Harvard meninjau kembali defenisi kematian otak dan kemudian diartikan sebagai
koma ireversibel atau kematian otak adalah tidak adanya respon terhadap stimulus,
tidak ada gerakan napas, tidak adanya refleks batang otak dan koma yang
penyebabnya sudah diketahui, kondisi tersebut menetap sekurang-kurangnya 6 sampai
24 jam (Reis, 2007).
Pada tahun 1991 Mohandas dan Chou menggambarkan kerusakan batang otak
sebagai komponen penting dari kerusakan otak yang berat. Konferensi perguruan
tinggi Medical Royal dan fakultas-fakultas yang ada di dalamnya di Kerajaan Inggris
pada tahun 1996, menerbitkan sebuah pernyataan mengenai diagnosis kematian otak
dimana kematian otak diartikan sebagai hilangnya fungsi batang otak secara lengkap
dan ireversibel.
Pernyataan ini memberikan pedoman yang termasuk di dalamnya perbaikan
dalam uji apnea dan memusatkan perhatian pada batang otak sebagai pusat dari fungsi
otak. Tanpa batang otak ini, tidak ada kehidupan. Pada tahun 1981 komisi presiden
untuk studi masalah etik dalam kedokteran biomedis juga penelitian tentang perilaku
menerbitkan pedomannya. Dokumen tersebut merekomendasikan kegunaan tes
konfirmasi untuk mengurangi durasi waktu yang dibutuhkan untuk observasi dan
merekomendasikan periode 24 jam bagi pasien dengan gangguan anoksia dan
kemudian menyingkirkan syok sebagai syarat untuk menentukan kematian otak
(Doyle, 2007).
Akhir-akhir ini Akademi Neurologi Amerika memberikan kasus berdasarkan
bukti dan menyarankan adanya pemeriksaan-pemeriksaan dalam praktek. Laporan ini
secara spesifik mengarah kepada adanya peralatan-peralatan pemeriksaan klinis dan
tes konfirmasi validitas serta adanya deskripsi tentang uji apnea dalam praktek.
Sehubungan dengan dibutuhkannya konsep kematian otak, maupun metode terstruktur
suatu diagnosis, beragam kriteria telah diterbitkan. Beberapa diantaranya:
1. Kriteria Harvard
Kunci perkembangan diagnosis kematian otak diterbitkan Kriteria Harvard,
kunci diagnosis tersebut adalah:
a. Tidak bereaksi terhadap stimulus noksius yang intensif (unresponsive
coma).
b. Hilangnya kemampuan bernapas spontan.
c. Hilangnya refleks batang otakdan spinal.
5
d. Hilangnya aktivitas postural seperti deserebrasi.
e. EEG datar.
Hipotermia dan pemakaian depresan seperti barbiturat harus disingkirkan.
Kemudian, temuan klinis dan EEG harus tetap saat evaluasi sekurang-kurangnya
24 jam kemudian.

2. Kriteria Minnesota
Pengalaman klinis dengan menggunakan kriteria Harvard yang disarankan
mungkin sangat terbatas. Hal ini menyebabkan Mohandes dan Chou mengusulkan
Kriteria Minnesota untuk kematian otak. Yang dihilangkan dari kriteria ini
adalah tidak dimasukkannya refleks spinalis dan aktivitas EEG
(elektroensefalograf dan masih dipandang sebagai sebuah pilihan pemeriksaan
untuk konfirmasi), elemen kunci kriteria Minnesota adalah
a. Hilangnya respirasi spontan setelah masa 4 menit pemeriksaan.
b. Hilangnya refleks otak yang ditandai dengan: pupil dilatasi, hilangnya
refleks batuk, refleks kornea dan siliospinalis, hilangnya dolls eye
movement, hilangnya respon terhadap stimulus kalori dan hilangnya
refleks tonus leher.
c. Status penderita tidak berubah sekurang-kurangnya dalam 12 jam, dan
d. Proses patologis yang berperan dan dianggap tidak dapat diperbaiki
(Dimancescu, 2002).
Pertimbangan utama dalam mendiagnosis kematian otak adalah sebagai
berikut: 1) Hilangnya fungsi serebral, 2) hilangnya fungsi batang otak termasuk
respirasi spontan, dan 3) bersifat ireversibel. Hilangnya fungsi serebral ditandai
dengan berkurangnya pergerakan spontan dan berkurangnya respon motorik dan
vokal terhadap seluruh rangsang visual, pendengaran dan kutaneus. Refleks-refleks
spinalis mungkin saja ada (Wijdicks, 2001) .
EEG merupakan indikator berharga dalam kematian serebral dan banyak
lembaga kesehatan yang memerlukan pembuktian Electro Cerebral Silence (ECS),
yang juga disebut EEG datar atau isoelektrik. Dikatakan EEG datar apabila tidak ada
perubahan potensial listrik melebihi 2 mikroVolt selama dua kali 30 menit yang
direkam setiap 6 jam. Perlu ditekankan bahwa tidak adanya respon serebral dan EEG
datar tidak selalu berarti kematian otak. Akan tetapi, keduanya dapat terjadi dan
6
bersifat reversible pada keadaan hipotermia dan intoksikasi obat-obatan hipnotik-
sedatif (Reis, 2007).
Fungsi-fungsi batang otak dianggap tidak ada jika tidak terdapat reaksi pupil
terhadap cahaya, tidak terdapat refleks kornea, vertibulo-ocular, orofaringeal atau
trakea. Tidak ada respon deserebrasi terhadap stimulus noksius dan tidak ada
pernapasan spontan. Untuk kepentingan dalam praktek, apnea absolut dikatakan
terjadi pada pasien, jika pasien tersebut tidak melakukan usaha untuk menolak
penggunaan alat respirasi setidaknya selama 15 menit. Sebagai tes akhir, pasien dapat
dilepaskan dari respirator lebih lama (beberapa menit) untuk memastikan bahwa
PCO2 arteri meningkat di atas ambang untuk merangsang pernapasan spontan (Doyle,
2007).
Jika hasil pemeriksaan memperlihatkan bahwa semua fungsi otak hilang, maka
pemeriksaan harus diulang dalam waktu 6 jam untuk memastikan bahwa keadaan
pasien bersifat ireversibel. Jika riwayat dan pengamatan komprehensif yang sesuai
terhadap prosedur penggunaan obat-obatan tidak ada, maka observasi selama periode
72 jam mungkin dibutuhkan untuk memperoleh reversibilitas walaupun jarang terjadi
dalam praktek, studi perfusi serebral menunjukkan terhentinya sirkulasi intrakranial
secara sempurna menyebabkan terjadinya kematian otak (Walton, 1997).

V. PENETAPAN DIAGNOSIS BRAIN DEATH
Diagnosis kematian batang otak merupakan diagnosis klinis. Tidak diperlukan
pemeriksaan lain apabila pemeriksaan klinis (termasuk pemeriksaan refleks batang
otak dan tes apnea) dapat dilaksanakan secara adekuat. Apabila temuan klinis yang
sesuai dengan kriteria kematian batang otak atau pemeriksaan konfirmatif yang
mendukung diagnosis kematian batang otak tidak dapat diperoleh, diagnosis kematian
batang otak tidak dapat ditegakkan (NYSDH, 2005).
Menegakkan diagnosis mati matang otak, meliputi tiga langkah, yaitu (1)
evaluasi etiologi dari cedera kepala berat dan mengekslusi penyebab reversible; (2)
penemuan 3 temuan klinis mati otak; (3) konfirmasi test (Gunther et al., 2011).
Tiga temuan klinis dalam kematian otak adalah koma atau tidak adanya
respon, absennya refleks batang otak, dan apnea. (Doyle, 2007).
1. Koma atau tidak adanya respon.
7
Tidak ada respon pada rangsangan nyeri, dengan stimulasi nyeri pada
penekanan daerah supraorbita, sternum dan dasar kuku.

2. Absennya refleks batang otak.
a. Pupil.
Pengujian terhadap refleks pupil dilakukan dengan menguji respon
terhadap cahaya yang terang. Kematian otak akan menunjukkan pupil yang
berbentuk bulat, oval, ataupun ireguler. Kebanyakan pupil pada pasien yang
mengalami kematian otak akan berada pada ukuran 4 hingga 6 mm, namun
ukuran dapat bervariasi dari 4 hingga 9 mm. Yang harus diperhatikan dalam
pengujian ini adalah bahwa banyak obat dapat mempengaruhi ukuran pupil.
Pemberian obat topikal di mata dan trauma kornea atau bulbus okuli dapat
menyebabkan abnormalitas ukuran pupil dan menyebabkannya menjadi non
reaktif.

b. Pergerakan okuler.
Gerakan okuler akan absen setelah dilakukan gerakan memutar kepala da
tes kalorik. Pengujian ini hanya dilaksanakan setelah dipastikan tidak ada
fraktur atau instabilitas dari servikal atau pada pasien dengan cedera kepala.
Pergerakan okuler dilihat dari dua reflex, yaitu reflex okulosefalik dan tes
kalori.
Reflex okulosefalik dirangsang dengan menggerakkan kepala secara cepat
dan tegas dari posisi tengah ke posisi 90 derajat kiri dan kanan, pada orang
normal akan menghasilkan deviasi mata ke arah berlawanan dengan gerakan
kepala. Pergerakan mata vertikal juga diuji dengan melakukan fleksi leher.
Pada kematian otak, tidak akan ditemukan adanya pembukaan kelopak mata
dan pergerakan mata vertikal dan horizontal.
Rangsangan kalori adalah suatu tes yang menggunakan perbedaan
temperatur untuk mendiagnosa adanya kerusakan saraf ke delapan. Jika terjadi
kematian batang otak, maka tidak akan muncul deviasi tonus dari mata
sebagai resfleks terhadap rangsangan yang diberikan. Posisi pasien tidur
terlentang, dengan kepala fleksi 30, atau duduk dengan kepala ekstensi 60.
Tes ini terdiri dari dua cara, yaitu tes kalori cara Kobrak dan tes kalori
8
bitermal. Untuk penegakan diagnosis mati otak, yang direkomendasikan
adalah tes kalori kobrak (UDD,1997).
Tes kalori cara kobrak menggunakan spuit 5 atau 10 mL, ujung jarum
disambung dengan kateter. Perangsangan dilakukan dengan mengalirkan air es
(0C), sebanyak 5 mL selama 20 detik ke dalam liang telinga.Sebagai
akibatnya terjadi transfer panas dari telinga dalam yang menimbulkan suatu
arus konveksi dalam endolimfe. Hal ini menyebabkan defleksi kupula dalam
kanalis yang sebanding dengan gravitasi, dan rangsangan serabut-serabut
aferennya.Suatu cairan dingin yang dialirkan ke liang telinga kanan akan
menimbulkan nistagmus dengan fase lambat ke kanan.
Tes kalori bitermal ditemukan oleh Dick & Hallpike. Pada cara ini dipakai
2 macam air, dingin dan panas. Suhu air dingin adalah 30C, sedangkan suhu
air panas adalah 44C. Volume air yang dialirkan ke dalam liang telinga
masing-masing 250 mL, dalam waktu 40 detik .Setelah air dialirkan, dicatat
lama nistagmus yang timbul.Setelah liang telinga kiri diperiksa dengan air
dingin, diperiksa telinga kanan dengan air dingin juga kemudian telinga kiri
dialirkan air panas, lalu telinga kanan.Pada tiap-tiap selesai pemeriksaan
(telinga kiri atau kanan atau air dingin atau air panas) pasien diistirahatkan
selama 5 menit. Tes kalori bitermal ini untuk melihat dan membandingkan
fungsi vestibuler.
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam pemeriksaan tes kalori adalah
adanya obat yang dapat mengurangi atau menghilangkan respon kalorik, yakni
sedatif, aminoglikosida, antidepresan trisiklik, antikolinergik, obat
antiepilepsi, dan agen kemoterapi. Setelah cedera kepala atau trauma fasial,
edema kelopak mata atau kemosis konjungtiva dapat menghambat pergerakan
bola mata. Bekuan darah atau serumen dapat juga mengurangi respon kalorik,
dan uji dilakukan ulang setelah pemeriksaan inspeksi langsung tympanum.
Fraktur basal dari tulang petrosus dapat menghilangkan respon kalorik secara
unilateral dan dapat diidentifikasi dengan prosesus mastoideus yang ekimosis
(FK Unhas, 2009).

c. Sensasi fasial dan respon motor fasial
Refleks kornea harus diuji dengan swab tenggorok. Refleks kornea dan
refleks rahang harus negatif. Wajah yang mengernyit saat diberikan rangsang
9
nyeri dapat diuji dengan memberikan tekanan dalam dengan obyek tumpul
pada dasar kuku, tekanan pada daerah supraorbita, atau tekanan yang dalam
pada kedua kondilus setinggi sendi temporomandibuler.
Yang harus diperhatikan dalam pemeriksaan ini adalah adanya trauma
fasial yang berat sehingga dapat mengganggu interpretasi refleks batang otak.


d. Refleks faring dan trakhea
Respon tersedak, yang diuji dengan merangsang faring posterior dengan
laringoskop, harus absen. Tidak adanya refleks batuk pada suction bronkhial
juga harus tampak.
Dalam pemeriksaan ini, harus diperhatikan bahwa pada apsien yang
diintubasi secara oral, respon tersedak mungkin sulit untuk diamati.


GAMBAR 1 : pemeriksaan refleks batang otak
Manifestasi berikut terkadang tampak dan tidak boleh diinterpretasikan
sebagai bukti fungsi batang otak (AAN, 1995)
a. Gerakan spontan ekstremitas selain dari respon fleksi atau ekstensi
patologis
b. Gerakan mirip bernafas (elevasi dan aduksi bahu, lengkungan
punggung, ekspansi interkosta tanpa volume tidal yang bermakna)
c. Berkeringat, kemerahan, takikardi
d. Tekanan darah normal tanpa dukungan farmakologis, atau peningkatan
mendadak tekanan darah
10
e. Tidak-adanya diabetes insipidus
f. Refleks tendo dalam, refleks abdominal superfisial, respon fleksi triple
g. Refleks babinski

3. Apnea
Pada uji apnea, harus diperhatikan beberapa kondisi sebelum dilakukannya
pengujian. Persyaratan-persyaratan berikut ini harus diperhatikan:
a. suhu inti 36,5
o
C
b. tekanan darah sistolik 90 mm Hg,
c. euvolemia (atau lebih baik apabila balans cairan positif selama 6 jam
sebelum pemeriksaan),
d. eukapnea (atau apabila PCO2 arteri 40 mm Hg), dan
e. normoksemia (atau apabila PO2 arteri 200 mm Hg).
Tahapan-tahapan dalam melakukan tes apnea adalah sebagai berikut:
a. Kondisi awal pasien adalah menggunakan ventilator, maka pasang
oksimetri, pre-oksigenasi dan observasi hingga syarat-syarat terpenuhi
Pre-oksigenasi bertujuan untuk mencapai PO2 arteri 200 mm Hg
Pre-oksigenasi bertujuan untuk mengeliminasi tumpukan nitrogen,
akselerasi transport oksigen, dan mengurangi resiko hipoksik
akibat dilakukannya tes apnea.
Pre-oksigenasi dilakukan selama 30 menit atau sampai saat syarat
terpenuhi (PO2 arteri arteri 200 mm Hg)
b. Lepas ventilator
c. Pasang nasal kanul setinggi karina dan berikan O
2
100% 6-8lpm
d. Selama proses pemberian O
2
6-8lpm melalui nasal kanul, amati dengan
seksama pergerakan respirasi.
e. Setelah pemberian O2 6-8 lpm melalui nasal kanul selama 8-10 menit,
pasang kembali oxymetri untuk mengukur PO2 dan PCO2. Lalu
hubungkan kembali dengan ventilator.
f. Bila saat tes apnea tekanan darah sistolik menjadi 90 mm Hg, atau
oksimeter pulsa menunjukkan desaturasi, atau terjadi aritmia kardia,
segera ambil sampel darah, dan lakukan analisa gas darah arteri. Pasien
pun segera di hubungkan kembali dengan ventilator tanpa harus
11
menunggu 8-10 menit untuk meminimalisir terjadinya komplikasi tes
apnea.
Interpretasi hasil tes apnea adalah:
Tes apnea disebut positif jika tidak ada pergerakan respirasi dan kadar
PCO2 arteri 60mmHg (atau terjadi peningkatan PCO2 20mmHg dari
PCO2 awal untuk penderita dengan riwayat hiperkarbia).
Tes apnea disebut negatif bila teramati adanya gerakan respirasi.
Tes apnea disebut indeterminan apabila saat proses pemberian O2 kanul
terjadi aritmia atau hipotensi dan hasil BGA menunjukkan PCO2 < 60
mm Hg, atau peningkatannya < 20 mm Hg. Pada hasil ini diperlukan tes
konfirmasi untuk diagnosis mati batang otak.
Bila tidak ada pergerakan respirasi, PCO2 kurang dari 60 mm Hg, dan
tidak ada aritmia kardia atau hipotensi signifikan, tes dapat diulang 10
menit kemudian (Wijdicks, 1994. Wijdicks, 2001. Beterhealt,2000.
Eduardo,2009).
Komplikasi yang dapat terjadi setelah dilakukannya tes apnea adalah:
Asidosis (63%)
Hipotensi (24%)
Aritmia kardiak (3%)

GAMBAR 2 : Tes apnea

Tes Konfirmasi
Diagnosis kematian batang otak merupakan diagnosis klinis. Tidak diperlukan
pemeriksaan lain apabila pemeriksaan klinis (termasuk pemeriksaan refleks batang
12
otak dan tes apnea) dapat dilaksanakan secara adekuat. Beberapa pasien dengan
kondisi tertentu seperti cedera servikal atau kranium, instabilitas kardiovaskular, atau
faktor lain yang menyulitkan dilakukannya pemeriksaan klinis untuk menegakkan
diagnosis kematian batang otak, perlu dilakukan tes konfirmatif (Widjicks,2001;
NYSDH,2005.
Tes tambahan untuk konfirmasi kematian otak harus memenuhi kriteria
berikut:
a. Tidak boleh ada positif palsu, sehingga saat tes mengkonfirmasi adanya
kematian otak, maka tidak boleh ada pasien yang sembuh atau memiliki
potensi untuk sembuh.
b. Tes harus dapat berdiri sendiri dalam menegakkan apakah kematian otak
benar-benar terjadi atau tidak.
c. Tes tidak boleh dipengaruhi faktor yang dapat menyesatkan seperti efek
obat atau gangguan metabolik.
d. Tes harus distandarisasi dalam hal teknologi, teknik, dan klasifikasi
hasilnya.
e. Tes harus dapat diperoleh secara umum, aman, dan dengan mudah
dilakukan.
Kondisi-kondisi berikut dapat mempengaruhi diagnosis klinis kematian batang
otak, sedemikian rupa sehingga hasil diagnosis tidak dapat dibuat dengan pasti hanya
berdasarkan pada alasan klinis sendiri. Pada keadaan ini pemeriksaan konfirmatif
direkomendasikan (Widjicks, 2001):
a. Trauma spinal servikal berat atau trauma fasial berat
b. Kelainan pupil sebelumnya
c. Level toksis beberapa obat sedatif, aminoglikosida, antidepresan trisiklik,
antikolinergik, obat antiepilepsi, agen kemoterapi, atau agen blokade
neuromuskular
d. Sleep apnea atau penyakit paru berat yang mengakibatkan retensi kronis
CO
2

Pemilihan tes konfirmatif yang akan dilakukan sangat tergantung pada
pertimbangan praktis, mencakup ketersediaan, kemanfaatan, dan kerugian yang
mungkin terjadi (Widjicks, 2001). Beberapa tes konfirmatif yang biasa dilakukan
antara lain:
13
a. Tes-tes tambahan yang ada saat ini terutama meliputi tes elektrofisiologis
(elektroensefalografi, potensial pacuan somatosensorik dan potensial
pacuan pendengaran batang otak, dan respon pacuan motorik),
b. Tes aliran darah otak (angiografi serebri empat vasa, tes kedokteran nuklir
aliran darah otak, Doppler transkranial, MRI, angiografi resonansi
magnetik, dan pemeriksaan CT),
c. Pemeriksaan lainnya seperti pemeriksaan metabolisme, pemeriksaan
oksigen vena jugularis, dan tes atropin.
Saat dilakukan secara kontinyu, pemantauan elektroensefalografi dapat
menunjukkan supresi tegangan secara umum, yang dapat menunjukkan pada klinisi
adanya kematian otak. Namun, EEG telalu anatomis, dan terbatas secara fisilogis.
EEG merekam aktivitas hanya dari lapisan korteks yan berada tepat di bawah kulit
kepala dan tidak merekam dari struktur subkorteks, seperti batang otak atau thalamus,
dan hanya memberikan cakupan yang terbatas dari permukaan cembung otak besar.
Lebih jauh lagi, tidak semua frekuensi EEG tertangkap sehingga dapat memberikan
hasil datar atau isoelektrik saat ada neuron yang masih hidup di batang otak atau
tempat lain. Hanya ada sedikit penelitian yang menguji validitas dari EEG dalam
kaitannya dengan kematian otak. EEG juga memiliki kelemahan, dimana dapat terjadi
gangguan dari faktor-faktor yang dapat menyesatkan, seperti terjadinya gambaran
yang datar atau isoelektris saat terjadi overdosis barbiturat atau anestesi yang dalam,
dimana keduanya merupakan kondisi yang reversibel. Sehingga, pada tes EEG dapat
terjadi positif palsu maupun negatif palsu, membuat EEG menjadi suatu tes yang jauh
dari ideal untuk penentuan kematian otak (Leis, 2007).
Saat diperlukan konfirmasi untuk penentuan kematian otak, tes aliran darah ke
otak dianggap lebih tepat. Tes yang menunjukkan absennya aliran darah ke otak
umumnya diterima sebagai penegakan kematian otak yang memiliki kepastian, karena
konsep bahwa apabila otak tidak mendapatkan suplai darah selama periode waktu
tertentu akan mati sudah diyakini secara luas. Tentunya kondisi hipotermia dan
hipotensi transien yang reversibel harus disingkirkan. Kematian otak dapat disertai
dengan baik edema jaringan ataupun efek massa yang menyebabkan tekanan
intrakranial menjadi sama atau lebih dari tekanan darah sistolik dan tekanan darah
arteri rata-rata. Konsekuensinya, darah tidak memasuki kompartemen intrakranial,
atau hanya memasuki selama sistol, mengakibatkan tidak terjadinya perfusi ke
jaringan otak, sehingga menyebabkan kematian sel neuron dan glia otak, tes aliran
14
darah otak memberikan metode yang dapat diterima dan dapat berdiri sendiri dalam
menegakkan kematian otak. Tes tersebut tidak disesatkan oleh obat, gangguan
metabolik, atau hipotermia. Syarat sebelumnya adalah bahwa tekanan darah sistemik
harus adekuat, dimana pasien tidak dalam kondisi syok. Tes aliran darah otak meliputi
angiografi empat vasa (karotis dan vertebral), TCD, MRI, dan MRA, angiografi CT,
dan tes kedokteran nuklir. Tes yang lebih akurat untuk perfusi lebih dipilih, yakni
angiografi dan CT emisi foton tunggal (SPECT), dibandingkan dengan pencitraan
sirkulasi otak dua dimensi (Framnas et al., 2009).
.Tes perfusi jarang memberikan hasil negatif palsu, dimana ditemukan perfusi
struktur arteri atau vena pada pasien yang telah dikonfirmasi mengalami kematian
otak secara patologis dan klinis. Ini terutama terjadi pada kondisi dimana tekanan
intrakranial menurun akibat mekanisme dekompresi, seperti kraniektomi dekompresif,
fraktur tengkorak, pintasan ventrikuler atau anak dengan tengkorak yang masih rapuh.
Negatif palsu tersebut jarang terjadi. Harus diingat bahwa adanya aliran darah tidak
serta merta mengeksklusi kemungkinan kematian otak. Harus diingat bahwa dalam
melakukan tes konfirmasi kematian otak, negatif palsu tidak lebih bermasalah
daripada positif palsu, karena lebih berbahaya apabila seseorang secara keliru
dinyatakan mengalami kematian otak daripada bila seseorang dinyatakan tidak mati
otak padahal sesungguhnya telah terjadi kematian otak.
Tes yang menjadi standar emas tes konfirmasi kematian otak adalah
angiografi serebral empat vasa. Tes ini invasive dan harus dilakukan dengan
memndahkan pasien ke departemen radiologi. Absennya pengisian darah intrakranial
dari arteri karotis interna atau vertebra harus didahului oleh tekanan intrakranial yang
melebihi tekanan darah arteri rata-rata. (Young et al. 2006)

New York State Department of Health (2005) menyebutkan langkah-langkah
yang diperlukan dalam penetapan kematian batang otak adalah sebagai berikut:
a. Evaluasi kasus koma
b. Memberikan penjelasan kepada keluarga mengenai kondisi terkini pasien
c. Penilaian klinis awal refleks batang otak
d. Periode interval observasi
1. sampai dengan usia 2 bulan, periode interval observasi 48 jam
2. usia lebih dari 2 bulan sampai dengan 1 tahun, periode interval observasi 24
jam
15
3. usia lebih dari 1 tahun sampai dengan kurang dari 18 tahun, periode interval
observasi 12 jam
4. usia 18 tahun ke atas, periode interval observasi berkisar 6 jam
e. Penilaian klinis ulang refleks batang otak
f. Tes apnea
g. Pemeriksaan konfirmatif bila ada indikasi
h. Persiapan akomodasi yang sesuai
i. Sertifikasi kematian batang otak
j. Penghentian penyokong kardiorespirasi

VI. DIFERENSIAL DIAGNOSIS
Status vegetative menetap (Persistent Vegetative States). Keadaan ini berbeda
dengan mati otak. Fungsi batang otak masih baik. Pada PVS yang diperkirakan hilang
adalah fungsi neokortikal dari otak. Pasien masih dapat bernafas spontan dan reflex-
reflex masih ada. Pasien tidak sadarkan diri dengan mata terbuka dan pupil melebar.
Pada PVS kriteria Harvard tidak terpenuhi. Pasien PVS masih hidup secara biologis,
tetapi secara intelektual dan sosial sudah mati. Kemungkinan pulih ke keadaan normal
sangat sulit, hanya satu banding seribu (Jacobalis, 1997).
VII. TINDAKAN TERHADAP PASIEN BRAIN DEATH
Tidak ada lagi yang dapat dilakukan pada pasien dengan mati otak (Jacobalis,
1997). Pasien dengan mati otak adalah manusia yang sudah mati, Brain death is
death. Mati adalah kematian batang otak, sekalipun elektrokardiografi masih
menunjukkan ritme normal (Indries, 1997).
Jika semua criteria mati otak sudah terpenuhi, maka ventilator dan alat pendukung
hidup lainnya dapat dilepas. Dengan begitu, dokter dan rumah sakit tidak dituntut
melakukan pembunuhan. Untuk negara dengan tindakan transpalntasi yang telah
berkembang pesat, diagnosis mati otak diusahakan secepat mungkin agar organ yang
ada pada pasien tersebut dapat digunakan untuk keperluan transplantasi calon
resepien (Jacobalis, 1997).

You might also like