You are on page 1of 9

Jurnal Harmoni Sosial, Januari 2007, Volume I, No.

2

60
KELUARGA BERCERAI DAN INTENSITAS INTERAKSI ANAK
TERHADAP ORANG TUANYA
(Studi Deskriptif di Kecamatan Medan Sunggal)

Maryanti
Rosmiani

Abstract: The essence of marriage is the unity of a man and a woman until death due
them part. But, there are many reasons that can lead to the situation where they can no
longer live together as husband and wife. The divorce has many impacts, especially on
children. One of the impacts is that children can not interact as intense as they used to do
with their parents. This matter is critical to handle because it relates to childrens
development, both socially and psychologically.

Keywords: divorce, children, interaction

PENDAHULUAN

Perkawinan pada hakikatnya merupakan
bentuk kerjasama kehidupan antara pria dan
wanita di dalam masyarakat di bawah suatu
peraturan khusus atau khas dan hal ini sangat
diperhatikan baik oleh agama, negara maupun
adat, artinya bahwa dari peraturan tersebut
bertujuan untuk mengumumkan status baru
kepada orang lain sehingga pasangan ini diterima
dan diakui statusnya sebagai pasangan yang sah
menurut hukum, baik agama, negara maupun
adat dengan sederetan hak dan kewajiban untuk
dijalankan oleh keduanya, sehingga pria itu
bertindak sebagai suami sedangkan wanita
bertindak sebagai istri.
Dalam perkawinan pasangan suami istri
mengikat dirinya pada persetujuan umum yang
diakui, untuk setia mentaati peraturan dan
ketentuan-ketentuan di dalam masyarakat,
mereka secara timbal balik, terhadap anak-
anaknya, sanak keluarganya dan terhadap orang
lain dalam masyarakat. Dari perkawinan laki-
laki dan perempuan inilah terbentuk suatu
lembaga baru yaitu lembaga keluarga.
Keluarga dibedakan menjadi dua tipe
keluarga, yaitu keluarga batih (nuclear family)
dan keluarga luas (extended family). Adapun
keluarga batih ini ialah suatu satuan keluarga
terkecil yang terdiri dari ayah, Ibu, dan anak-
anaknya.
Adapun keluarga luas (extended family)
adalah keluarga yang terdiri atas beberapa
keluarga batih. Keluarga menurut Horton (1999:
268), merupakan suatu kelompok kekerabatan
yang menyelenggarakan pemeliharaan anak dan
kebutuhan manusiawi lainya. Dari lembaga
keluarga inilah akan lahir anggota-anggota baru
sebagai penerus keturunan mereka.
Keluarga sebagai unit terkecil,
memerlukan organisasi tersendiri dan karena itu
perlu adanya peran dan fungsi masing-masing
anggota keluarga, terutama peran dan fungsi
suami dan istri, dan juga anggota keluarga lainya.
Keluarga terdiri dari beberapa orang, secara
otomatis akan terjadi interaksi antara anggotanya.
Interaksi dalam keluarga juga akan menentukan
dan berpengaruh terhadap keharmonisan atau
sebaliknya tak bahagia (disharmonis). Kondisi
keluarga yang bahagia merupakan keluarga ideal
yang dicita-citakan dan didambakan oleh setiap
pasangan suami-istri. Gunarsa (1993) menyatakan,
keluarga bahagia/ideal adalah keluarga yang seluruh
anggotanya merasa bahagia yang ditandai oleh
berkurangnya ketegangan, kekacauan dan merasa
puas terhadap seluruh keadaan dan keberadaan
dirinya (eksistensi dan aktualisasi diri) yang
meliputi aspek fisik, mental, emosi dan sosial.
Bentuk keluarga yang ideal, di dalam
masyarakat berbeda-beda dari satu masyarakat
kemasyarakat yang lainya, karena latar belakang
sosial budayanya berbeda. Di negara-negara barat
dan negara-negara industrialis lainnya, keluarga
ideal dibentuk dari keluarga batih dan memang
tampak dominan karena dianggap bentuk
keluarga batih lebih adaptif terhadap kebutuhan
proses industrialisasi. Sistem keluarga ideal
menurut Sanderson (1995: 481), yaitu menyang-
kut hubungan suami dan istri, orang tua dan
anak-anaknya, serta keluarga dan semua kerabat,
dan hubungan ini telah banyak mengalami
perubahan saat ini, karena pada awalnya
hubungan-hubungan tersebut lebih diwarnai oleh
kepentingan ekonomis belaka (walau tidak
Maryanti adalah Alumni Departemen Sosiologi FISIP USU
Rosmiani adalah Dosen Departemen Sosiologi FISIP USU
Universitas Sumatera Utara
Maryanti dan Rosmiani, Keluarga Bercerai dan Intensitas...
61
semua), namun akhirnya sistem keluarga semakin
lama semakin dilandasi oleh rasa cinta kasih
antara suami dan istri, serta terhadap anak-
anaknya, maupun kerabatnya. Dalam hal ini
pasangan hidup dan anak semakin dihargai
sebagai pribadi yang memiliki arti penting secara
emosional. Keluarga sebagai satuan emosional
yang memenuhi peran, tanggung jawab semakin
dianggap penting oleh umumnya masyarakat.
Keluarga ideal juga tidak lepas dari sejauh mana
ia mampu menjalankan fungsi keluarga dengan
baik di dalam keluarga, karena fungsi keluarga
tidak dapat dipisahkan dari keluarga ideal adapun
fungsi keluarga tersebut adalah fungsi pengaturan
seksual, fungsi reproduksi, fungsi sosialisasi,
fungsi afeksi, fungsi penentuan status, Fungsi
perlindungan, dan fungsi ekonomi. Berjalannya
fungsi-fungsi ini membawa keluarga pada pola
penyesuaian sebagai dasar hubungan sosial
dengan penuh cinta kasih, sehingga tercipta pola
interaksi sosial yang lebih luas, baik dengan
sesama anggota keluarga maupun masyarakat
sekitarnya.
Pola interaksi dalam keluarga umumnya
bersifat intim, artinya bahwa hubungan suami
dan istri, hubungan suami, istri dan anak-anaknya
memungkinkan mereka akrab satu sama lain.
Karena lingkungan yang pertama sekali dikenal
dan dekat adalah keluarga. Interaksi anggota
keluarga yang baik, juga tercermin dari
kebersamaan dalam melakukan kegiatan-kegiatan
pekerjaan rumah tangga, hobi, rekreasi, dan
sebagainya. Karena seringnya melakukan segala
kegiatan bersama-sama dapat meningkatkan
keakraban antara anggota keluarga dan tidak
merasa asing antara yang satu dengan yang
lainya. Sehingga dapat memungkinkan
terciptanya keluarga yang harmonis atau bahagia
yang tentunya diidamidamkan setiap keluarga.
Oleh karena itu diperlukan kondisi keluarga yang
harmonis dengan adanya keterkaitan yang erat
antara anggota keluarga, baik antara ayah dan
ibu, orang tua dengan anak-anaknya, sebab
dengan kondisi keluarga yang harmonis akan
lebih menjamin terlaksananya fungsi-fungsi
keluarga.
Akan tetapi dalam suatu keluarga
terutama suami dan istri sebagai orang tua tidak
selamanya mampu menjalankan peran fungsi-
fungsi keluarga. Hal ini disebabkan karena
adanya pemicu konflik yang mempengaruhi
keharmonisan keluarga tersebut di antaranya:
a. Tidak adanya tanggung jawab suami,
dalam hal kebutuhan ekonomi.
b. Adanya perselingkuhan baik yang
dilakukan oleh pihak suami maupun istri.
c. Berbeda prinsip dalam mengarungi bahtera
rumah tangga seperti masalah anak,
masalah pekerjaan dll.
d. Biologis adalah keadaan suami atau istri
yang tidak mempunyai kemampuan
jasmani untuk membina perkawinan yang
bahagia, seperti sakit, impoten atau
mandul.
e. Suami ingin menikah lagi dengan orang
lain, yang lebih dikenal dengan istilah
poligami/dimadu.

Dengan sebab-sebab di atas, kondisi
suatu keluarga akan terjadi konflik yang akhirnya
akan menyebabkan adanya ketidaksepahaman,
perselisihan, silang pendapat di antara keduanya
dan juga akan berpengaruh kepada anggota
keluarga lainnya sehingga menyebabkan
kegoncangan dan ketidakharmonisan di dalam
keluarga, kondisi ini disebut disharmonisasi
keluarga, karena jika dalam keluarga suami dan
istri bermasalah, maka seluruh interaksi orang tua
dengan anak-anaknya juga akan berpengaruh
sehingga kebahagiaan dalam keluarga akan
mengalami hambatan. Karena itu semua anggota
keluarga yang ikut membentuk keluarga harus
berperan serta dalam mempengaruhi kondisi
bahagia atau tak bahagia dalam keluarga, bahkan
bila kondisi ini berjalan terus-menerus akan
mengakibatkan putusnya hubungan suami dan
istri atau di kalangan masyarakat lebih dikenal
dengan istilah perceraian.
Perceraian ditafsirkan sebagai pecahnya
suatu unit keluarga. Terputusnya atau retaknya
struktur keluarga disebabkan karena fungsi
keluarga yang tidak berjalan semestinya.
Perceraian sedikit banyak akan mempengaruhi
lingkungan keluarga, khususnya anak, karena
perceraian bagi anak akan berdampak pada
penentuan status anak maupun interaksi anak
dengan orang tuanya setelah perceraian. Adapun
dampak dari perceraian yang sering kali dialami
anak adalah:
1. Anak merasa terjepit, anak mengalami
kesulitan untuk berkata saya memilih tinggal
dengan ibu, atau memilih tinggal dengan
ayah. Dia merasa terjepit di tengah-tengah,
siapa yang harus dibela, siapa yang harus
diikuti setelah perceraian.
Universitas Sumatera Utara
Jurnal Harmoni Sosial, Januari 2007, Volume I, No. 2

62
2. Anak akan mengalami interaksi yang kurang
baik, dengan pisahnya salah satu orang
tuanya, dengan interaksi yang kurang baik
dan jarang tersebut akan merubah perhatian
dan kasih sayang orang tua terhadap anak.

Perceraian suami dan istri tidak merubah
status anak sebagai anak mereka, namun tidak
dapat dihindari akan sangat berpengaruh pada
frekuensi bertemu dan intensitas interaksi anak
dengan orang tua setelah perpisahan mereka,
khususnya pada orang tua yang tidak satu atap
lagi dengan si anak, walaupun tidak dapat
dipungkiri terjadi juga dengan orang tua yang
seatap dengannya. Interaksi anak dengan orang
tua yang bercerai akan mengalami kerenggangan
dan bahkan terasa kaku karena jarangnya proses
perjumpaan dengan salah satu atau kedua orang
tuanya, karena anak setelah perceraian harus
berpisah dengan orang tuanya atau harus tinggal
di rumah familinya.
Interaksi orang tua dengan anak sangat
dibutuhkan oleh anak karena idealnya interaksi
antara orang tua dan anak berjalan secara
kesinambungan dan kontiniu. Pada anak yang
sedang berkembang mereka memerlukan arahan
dan bimbingan yang biasanya didapatkan dari
orang-orang dewasa yang dekat dengan mereka
dan bisa mereka percayai salah satu di antaranya
adalah orang tua. Pentingnya interaksi anak
dengan orang tua karena dalam interaksi itu
didapatkan kasih sayang, rasa aman dan perhatian
dari orang tua yang tidak ternilai harganya.
Interaksi yang baik antara orang tua dan anak
juga harus diimbangi dengan pemenuhan
kebutuhan anak, seperti kebutuhan pangan,
sandang, dan pendidikan, karena semua itu
adalah tanggung jawab orang tua yang telah
melahirkannya.
Apabila dalam suatu keluarga terjadi
suatu perceraian, maka sedikit banyak akan
mempengaruhi perubahan perhatian dari orang
tua terhadap anaknya baik perhatian fisik, seperti
sandang, pangan, dan pendidikan maupun
perhatian psikis seperti, kasih sayang dan
intensitas interaksi. Perubahan ini disebabkan
karena kebiasaan hidup yang dilakukan bersama
dalam satu rumah, harus berubah menjadi
kehidupan sendiri-sendiri. Dengan kondisi di atas
dapat mengakibatkan sang anak kehilangan sosok
orang tua yang tidak seatap lagi, karena
hubungan mereka terputus karena perceraian.
Kehilangan salah satu orang tua berarti tak
adanya tokoh yang dapat diidentifikasi dalam
keluarga (Sinolungan, 1979: 44). Kehilangan satu
orang tua dapat menyebabkan kenakalan pada
anak sebagaimana angka kenakalan terbanyaknya
terdapat pada anak laki-laki yang hanya tinggal
dengan ibunya, Begitu juga kenakalan yang
terjadi pada anak perempuan menunjukkan angka
tertinggi terdapat pada mereka yang hidupnya
hanya dengan ayah, hal ini disebabkan karena
pola interaksi yang tidak seimbang yang diterima
anak, sehingga wajar bila sang anak menjadi
nakal karena norma-norma dan aturan yang
seharusnya disosialisasikan oleh ayah dan
ibunya, tidak pernah mereka dapatkan secara
seimbang dari kedua orang tuanya, hal ini
menyebabkan proses interaksi yang baik dalam
keluarga tidak terpenuhi disebabkan oleh
perceraian.
Dalam perumusan masalah ini perlu
dibatasi masalahnya sehingga menjadi suatu
permasalahan pokok, yang nantinya dapat lebih
mengarahkan penelitian ini, adapun perumusan
masalah dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimana status anak pada keluarga
bercerai, dalam hal status tempat tinggalnya,
status kebutuhan ekonominya dan status
pendidikannya.
2. Bagaimana intensitas interaksi anak terhadap
orang tuanya pada keluarga bercerai.

PEMBAHASAN

Perceraian
Dalam PP No. 9 Tahun 1975 dikenal
istilah perceraian, namun bagi yang menganut
agama Islam perceraian ini sering disebut talak,
kata talak ini didapati pada Peraturan Menteri
Agama No. 3 Tahun 1975. Adapun yang
dimaksud dengan perceraian atau talak ialah
pemutusan hubungan perkawinan antara suami
istri dengan mempergunakan kata-kata cerai
(talak) atau yang sama maksudnya dengan itu
(Said, 1994: 3). Oleh karena itu perceraian atau
talak dapat dilakukan oleh suami baik lisan
maupun secara tulisan dan menggunakan kata-
kata yang menjurus kepada perceraian
sebagaimana diungkapkan oleh Nakamuru, 1991:
31, bahwa cerai/talak itu ialah suatu bentuk
pemutusan perkawinan yang dinyatakan secara
lisan atau tulisan, dengan bunyi Aku talak
engkau atau aku ceraikan engkau, juga dapat
digunakan kata-kata lain yang sama artinya,
Universitas Sumatera Utara
Maryanti dan Rosmiani, Keluarga Bercerai dan Intensitas...
63
suami yang akan menceraikan istrinya itu dengan
kata-kata yang jelas.
Dari definisi di atas dapat dilihat bahwa
perceraian merupakan putusnya hubungan
perkawinan yang sah, yang selama ini telah
terbina. Perceraian terkadang dianggap
malapetaka karena perceraian dapat memutuskan
silaturahim antara suami istri dan keluarga
masing-masing dan dapat mengguncangkan
kestabilan jiwa anak dan menggelisahkan
masyarakat.
Klasifikasi perceraian dalam Undang-
Undang No. 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa:
a. Perkawinan antara suami dan istri dapat
putus karena:
1. Kematian
2. Perceraian, dan
3. Atas putusan pengadilan.
Mengungkai (melepaskan) ikatan
perkawinan dan mengakhiri hubungan
suami dan istri (Said, 1994: 2).
b. Putusnya perkawinan yang disebabkan
karena perceraian dapat terjadi karena talak
atau berdasarkan gugatan perceraian.

Cerai talak, yaitu bagi mereka yang
melangsungkan perkawinannya menurut agama
Islam. Maksud perceraiannya dapat diajukan
kepada pengadilan agama di tempat mereka
bertempat tinggal. Cerai gugat, yaitu bagi mereka
yang melangsungkan perkawinannya menurut
agamanya dan kepercayaanya selain agama Islam
dan bagi seorang istri yang melangsungkan
perkawinannya menurut agama Islam gugat
perceraianya dapat diajukan pada pengadilan
negeri/agama di mana mereka tinggal.
Adapun menurut Djamil Latif dalam
agama Islam klasifikasi putusnya ikatan
perkawinan disebabkan;
1. Kematian suami atau istri,
2. Oleh perceraian karena;
a. Tindakan pihak suami
b. Tindakan pihak istri
c. Persetujuan kedua belah pihak
d. Keputusan hakim

Perceraian dapat terjadi bila seseorang
yang akan bercerai mempunyai alasan-alasan
yang kuat untuk bercerai, bahkan antara suami
dan istri tidak akan dapat hidup rukun lagi
sebagai suami istri. Adapun alasan-alasan
perceraian (Pasal 116) antara lain adalah:
1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi
pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain
sebagainya yang sukar disembuhkan.
2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain
selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin
pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau
karena hal lain di luar kemampuannya.
3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara
5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat
setelah perkawinan berlangsung.
4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau
penganiayaan berat yang membahayakan
pihak lain.
5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau
penyakit dengan akibat tidak dapat
menjalankan kewajiban sebagai suami atau
istri.
6. Antara suami istri terus menerus terjadi
perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada
harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah
tangga.

Sesuai dengan undang-undang, batalnya
perkawinan serta sahnya perceraian hanya dapat
dibuktikan dengan keputusan pengadilan agama
untuk orang-orang Islam dan pengadilan negeri
untuk orang-orang non-Islam. Namun sebagian
masyarakat untuk proses perceraian lebih
memilih menggunakan hukum adat atau memilih
menggunakan proses perceraian dengan cara
kekeluargaan. Di mana dalam proses perceraian
ini pihak adat menjadi saksi putusnya perkawinan
pasangan ini, begitu juga perceraian dengan cara
kekeluargaan akan dianggap sah apabila ada
kesepakatan berpisah dari suami dan istri yang
diketahui oleh keluarga kedua belah pihak,
dengan alasan-alasan yang diterima. Walaupun
proses ini sebenarnya tidak diakui oleh negara.
Perceraian baik secara resmi maupun
secara tidak resmi berdampak negatif bagi
pasangan yang bercerai, lingkungan, dan yang
paling terasa berat dampaknya terjadi pada anak.
Adapun dampak perceraian itu sendiri dapat
menyebabkan:
1 Anak mempunyai kemarahan, frustasi dan
dia mau melampiaskanya, dan pelampiasan-
nya adalah dengan melakukan hal-hal yang
berlawanan dengan peraturan-peraturan,
memberontak, dan lain sebagainya.
2 Bila anak tinggal dengan ibu, anak
kehilangan figur otoritas, figur ayah, waktu
figur otoritas itu menghilang, anak seringkali
tidak terlalu takut pada ibunya.
Universitas Sumatera Utara
Jurnal Harmoni Sosial, Januari 2007, Volume I, No. 2

64
3 Anak kehilangan jati diri sosialnya atau
identitas sosial. Status sebagai anak cerai
memberikan suatu perasaan berbeda dari
anak-anak lain.

Setelah perceraiaan kedua pasangan ini
juga dihadapkan pada penyesuaian diri dengan
pengasuhan anak, kebiasaan dan gaya hidup baru,
serta tanggung jawab tambahan sebagai orang tua
tunggal bagi orang tua yang diserahi pengasuhan
anak setelah perceraian. Bagi orang tua tunggal
keadaan ini akan menjadi lebih buruk ketika ia
harus menanggung urusan keuangan dan bekerja
pada saat bersamaan. Walau sebenarnya kedua
orang tuanya tetap bertanggung jawab terhadap
kelangsungan hidup sang anak dari kebutuhan
ekonomi, sampai kebutuhan pendidikan. Hal ini
sesuai dengan ketentuan hukum yang tercantum
dalan UU Perkawinan No.1 Tahun 1974, Pasal
41, yang menyatakan bahwa akibat putusan
perkawinan adalah:
1. Baik istri atau suami tetap berkewajiban
memelihara dan mendidik anak-anaknya,
semata-mata berdasarkan kepentingan anak,
bilamana ada perselisihan, mengenai
penguasaan anak-anak, pengadilan memberi
putusannya.
2. Suami yang bertanggung jawab atas semua
biaya pemeliharaan dan pendidikan yang
diperlukan anak itu bilamana suami tidak
dapat memberi kewajiban tersebut,
pengadilan dapat menentukan bahwa istri
ikut memikul biaya tersebut.

Interaksi
Manusia telah mempunyai naluri untuk
melakukan interaksi dengan sesamanya semenjak
dia dilahirkan di dunia. Interaksi sesama manusia
merupakan suatu kebutuhan, oleh karena itu
dengan pemenuhan kebutuhan tersebut ia akan
dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan lainnya.
Tanpa interaksi dengan manusia lain tidak akan
dapat bertahan untuk hidup. Dalam buku
sosiologi suatu pengantar, Soerjono Soekanto
(1986: 498) mengutip definisi Gillian dan Gillian
dari buku mereka Cultural Sociology yakni
interaksi merupakan hubungan-hubungan sosial
yang dinamis, yang menyangkut hubungan antara
orang perorangan dengan kelompok manusia.
Intekaksi sosial merupakan suatu konsep yang
sangat penting dalam sosiologi. Istilah tersebut
secara kontak timbal balik atau interstimulasi dan
respons antara individu-individu dan kelompok.
Adapun ciri ciri dari interaksi sosial adalah:
1. Jumlah pelakunya lebih dari seorang,
biasanya dua atau lebih.
2. Adanya komunikasi antar para pelaku dengan
menggunakan simbol-simbol.
3. Adanya suatu dimensi waktu yang meliputi
masa lampau, kini, dan akan datang, yang
menentukan sifat dari aksi yang sedang
berlangsung.
4. Adanya suatu tujuan tertentu.

Menurut Kimbal Young dan Raymond
W. Mack (dalam Soekanto 1982: 58) menyatakan
bahwa interaksi sosial, adalah kunci dari semua
kehidupan sosial, oleh karena tanpa interaksi, tak
akan mungkin ada kehidupan bersama; interaksi
yang dilakukan oleh manusia mempunyai syarat-
syarat agar interaksi terjadi dengan baik.
1. Kontak
2. Komunikasi

Kontak pada dasarnya merupakan aksi
dari individu atau kelompok agar mempunyai
makna bagi pelakunya, dan kemudian ditangkap
oleh individu atau kelompok lain. Penangkapan
makna tersebut yang menjadi pangkal tolak untuk
memberikan reaksi.
Kontak dapat terjadi secara langsung,
yakni melalui gerak dari fisikal organisme
(action of physical organism), misalnya melalui
pembicaraan, gerak, isyarat dan dapat pula secara
tidak langsung, misalnya melalui tulisan atau
bentuk-bentuk komunikasi jarak jauh, seperti
telepon, chatting, dan sebagainya. Sebagaimana
yang dikatakan oleh Alvin dan Helen Gouldner
dalam Taneko (1990: 110), interaksi itu adalah
suatu aksi dan reaksi di antara orang-orang, jadi
tidak memperdulikan secara berhadapan muka
secara langsung ataukah melalui simbol-simbol
seperti bahasa, tulisan yang disampaikan dari
jarak ribuan kilometer jauhnya. Semua itu
tercakup di dalam konsep interaksi selama
hubungan itu mengharapkan adanya satu atau
lebih bentuk respons. Komunikasi muncul setelah
kontak berlangsung. Terjadinya kontak belum
berarti telah ada komunikasi, oleh karena
komunikasi itu timbul apabila seseorang individu
memberi tafsiran pada perilaku orang lain.
Dengan tafsiran tadi, lalu seseorang itu
mewujudkan dengan perilaku, di mana perilaku
tersebut merupakan reaksi terhadap perasaan
yang ingin di sampaikan oleh orang lain.
Universitas Sumatera Utara
Maryanti dan Rosmiani, Keluarga Bercerai dan Intensitas...
65
Sehubungan dengan komunikasi,
schlegel berpendapat bahwa: manusia adalah
makhluk sosial yang dapat bergaul dengan
dirinya sendiri, mentafsirkan makna-makna,
obyek-obyek di dalam kesadarannya, dan
memutuskan bagaimana ia bertindak secara
berarti sesuai dengan penafsiran itu (Taneko,
1990: 75 ). Gerungan (2002: 57) seorang sarjana
psikologi mengatakan bahwa interaksi sosial
dirumuskan sebagai berikut: yaitu suatu
hubungan antara dua orang atau lebih individu
yang satu mempengaruhi, merubah atau
memperbaiki kelakuan individu lain atau
kebalikannya.
Oleh karena itu, dalam keluarga itu juga
perlu adanya komunikasi antara ayah, ibu, dan
anak-anaknya, komunikasi ini tidak hanya
terbatas pada keluarga yang utuh, tetapi berlaku
juga pada keluarga yang tidak bersatu lagi
(bercerai) walaupun keluarga yang bercerai ini
secara otomatis memisahkan anak dengan satu
orang tuanya, pisahnya/tidak serumah lagi anak
dan satu orang tuanya tidak selalu menandakan
putusnya komunikasi baik komunikasi secara
langsung maupun komunikasi secara tidak
langsung, karena komunikasi yang terpenting
antara anak dan orang tuanya yang berpisah
adalah makna dan kualitasnya dari pertemuan itu,
walaupun antara anak dengan orang tuanya
bertemu dan berkomunikasi secara langsung
hanya 1 minggu sekali bahkan hingga 1 satu
bulan sekali saja, tetapi bila pertemuan itu
disertai dengan suasana akrab, penuh perhatian
dan kasih sayang yang tercurahkan selalu, saling
bercerita tentang kejadian yang dialami,
diskusi/bertukar pikiran, memberikan nasihat-
nasihat dan lain sebagainya lebih penting dan
lebih baik dari pada sering bertemu tetapi tanpa
komunikasi yang baik dan suasana yang hambar.
Komunikasi yang baik ini juga dapat diiringi
dengan komunikasi secara tidak langsung seperti
lewat telpon, SMS, surat menyurat, merupakan
suatu hal yang juga dapat menambah keeratan
hubungan antara anak dan orang tua, karena
dengan komunikasi yang baik ini menunjukkan
kepedulian orang tua terhadap anak, dengan
menanyakan kabar, memberi ungkapan-ungkapan
kasih sayang dengan menggunakan media
komunikasi secara tidak langsung tersebut.
Keluarga bercerai sedikit banyak akan
berdampak dan berpengaruh pada anak, namun
hal ini akan berbeda bila orang tua yang berpisah
tersebut masih berinteraksi dan berkomunikasi
secara baik dengan anak memperkecil dampak
yang negatif bagi anak, dari pada membiarkan
keluarga yang utuh tetapi selalu terjadi konflik di
antara anggota terutama ayah dan ibunya, karena
keluarga penuh konflik tidak akan mampu
menjalankan fungsi-fungsi keluarga dengan
sempurna, baik yang fungsinya berlaku sesama
suami dan istri, maupun fungsi yang yang
kaitannya dengan anak. Adapun fungsi-fungsi
keluarga tersebut adalah:
1. Fungsi pengaturan seksual.
2. Fungsi reproduksi.
3. Fungsi sosialisasi.
4. Fungsi afeksi (kasih sayang).
5. Fungsi penentuan status.
6. Fungsi perlindungan.
7. Fungsi ekonomi, (Horton dan Hunt, 1987:
274-279 ).

Fungsi-fungsi keluarga di atas
merupakan fungsi keluarga yang ideal, hal ini
akan berbeda pada kondisi keluarga yang
bercerai, di mana fungsi keluarga antara
pasangan suami dan istri tidak mukin berlaku lagi
seperti, seperti fungsi pengaturan seksual dan
fungsi reproduksi, tetapi hal ini berbeda dengan
yang dialami anak, seharusnya anak tetap
menerima fungsi-fungsi keluarga yang memang
berlaku bagi anak, karena pada dasarnya anak
masih berstatus sebagai anak dari kedua orang
tuanya tersebut, tidak seperti kedua orang tuanya
setelah perceraian berstatus duda dan janda. Anak
masih berhak mendapat fungsi-fungsi keluarga
dari kedua orang tuanya tersebut, karena orang
tua berhak mendapat motivasi yang kuat untuk
mendidik karena anak merupakan buah cinta
kasih hubungan suami dan istri. Anak merupakan
perluasan biologis dan sosial orang tuanya,
motivasi yang kuat ini melahirkan emosional
antara orang tua dan anak. Penelitian-penelitian
membuktikan bahwa hubungan emosional lebih
berarti dan efektif dari pada hubungan intelektual
dalam proses sosialisasi, oleh karena itu orang
tua memainkan peranan sangat penting terhadap
proses sosialisasi anak.
Corak hubungan anak dan orang tua
sangat menentukan proses sosialisasi anak, corak
hubungan anak dan orang tua ini berdasarkan
penelitian yang dilakukan Fels Research Institute
(1993: 47), dapat dibedakan menjadi 3 pola yaitu:
1. Pola menerima-menolak, pola ini didasarkan
atas taraf kemesraan orang tua terhadap anak.
Universitas Sumatera Utara
Jurnal Harmoni Sosial, Januari 2007, Volume I, No. 2

66
2. Pola memiliki-melepaskan, pola ini
didasarkan atas beberapa besar sikap
protektif orang tua terhadap anak. Pola ini
bergerak dari sikap orang tua yang
overprotektive dan memiliki anak sampai
kepada sikap mengabaikan anak sama sekali.
3. Pola demokratif-otokrasi, pola ini didasarkan
atas taraf partisipasi anak dalam menentukan
kegiatan-kegiatan dalam keluarga. Pola
otokrasi berarti orang tua bertindak sebagai
diktator terhadap anak, sedangkan dalam
keluarga demokrasi sampai batas-batas
tertentu, anak dapat berpartisipasi dalam
keputusan-keputusan orang tua.

Peran orang tua juga dibutuhkan seorang
anak dalam hal sosialisasi norma-norma dan
aturan yang berlaku di masyarakat. Orang tua
juga wajib memberi pegangan hidup baik dan
nilai-nilai dasar kehidupan kepada anak untuk
bekal anak dikemudian hari. Sosialisasi adalah
proses interaksi sosial di mana calon anggota
masyarakat mengenal cara-cara berfikir,
berperan, dan berperilaku, sehingga dapat
berperan secara efektif di dalam masyarakat yang
dipelajarinya, dalam sosialisasi mengajarkan
nilai-nilai, norma-norma dan simbol (Ihromi,
1990). Hal yang sama juga dijelaskan oleh
Wirotomo (1994: 11) bahwa sosialisasi
merupakan suatu proses yang amat penting dalam
kehidupan bermasyarakat, bahkan proses paling
dasar dari terbentuknya masyarakat. Sosialisasi
dalam keluarga bisa disebut primary
socialization, yaitu sosialisasi yang paling
pertama diterima oleh seorang anak. Menurut
Parson dalam Wirotomo (1994: 11). Sosialisasi
primer dalam keluarga menghasilkan personality
structure di mana pola orientasi nilai yang
ditanamkan pada seseorang akan sulit untuk
diubah lagi sepanjang kehidupannya.
Penelitian ini adalah penelitian deskriptif
dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Hal
ini dimaksudkan untuk dapat memahami
permasalahan atau yang diteliti sehingga dapat
memberikan gambaran yang lebih mendalam
tentang gejala-gejala dan fenomena yang diteliti
dan diharapkan diperoleh data sesuai dengan
yang diperlukan.
Yang menjadi unit analisis dalam
penelitian ini adalah anak yang berusia 8-20
tahun, yang orang tuanya bercerai di Kecamatan
Medan Sunggal. Pemilihan informan dilakukan
dengan cara Purposive sampling, di mana
informannya telah ditentukan terlebih dahulu
dengan menentukan kriteria informan yang
dianggap berkompeten untuk dijadikan sebagai
sumber data yang sesuai dengan tujuan
penelitian. Adapun kriteria-kriteria informan
dalam penelitian ini adalah:
1. Anak yang berusia 8-20 tahun
2. Belum menikah

Untuk jumlah informan tidak ditentukan,
penentuannya adalah data, artinya apabila data
yang diperoleh dari informan sudah dianggap
cukup mendukung penelitian, maka pengumpulan
data dari informan akan dihentikan.

Deskripsi Hasil Penelitian
Perceraian di Kecamatan Medan Sunggal
kebanyakan dilakukan dengan cara kekeluargaan,
cara ini dilakukan dengan alasan keterbatasan
ekonomi, menginginkan proses yang cepat dan
murah, dan juga karena proses birokrasi yang
berbelit sehingga terkesan mempersulit. Adapun
faktor-faktor terjadinya perceraian di Kecamatan
Medan Sunggal ini adalah: faktor ekonomi,
faktor perselingkuhan, faktor keterlibatan orang
tua (mertua) dalam rumah tangga, faktor tidak
ada cinta dan yang terakhir adalah faktor beda
prinsip.
Perceraian orang tua menyebabkan
berubahnya tempat tinggal anak sehingga status
tempat tinggal anak bersama ayahnya, ibu
ataupun dengan familinya, yang terlebih dulu
telah dilakukan penentuan dengan siapa sang
anak tinggal. Setelah dilakukan penelitian di
lapangan penentuan tempat tinggal anak
diputuskan oleh pihak kedua keluarga besarnya
dengan sistem musyawarah. Penentuan tempat
tinggal ini pun tidak mengalami permasalahan
yang berarti, di mana setelah diputuskan status
tempat tinggal anak tidak terjadi rebutan anak
baik dari pihak ayah maupun pihak ibu. Tempat
tinggal anak sesuai hasil putusan perceraian
dengan tempat tinggal anak sekarang pun masih
mengalami kesesuaian.
Orang tua yang tidak mendapatkan hak
asuh anak terkesan tidak perduli kepada kondisi
anak tersebut, hal ini terbukti pada pemenuhan
kebutuhan sang anak pasca-perceraian.
Pemenuhan kebutuhan anak baik kebutuhan
ekonomi maupun kebutuhan pendidikan
khususnya pembiayaan untuk sang anak yang
diberikan orang tua (ayah dan ibu) tidak
seimbang, karena selama ini kebutuhan yang
Universitas Sumatera Utara
Maryanti dan Rosmiani, Keluarga Bercerai dan Intensitas...
67
diperlukan anak kebanyaan dipenuhi oleh sang
ibu. Padahal ayahlah yang seharusnya
bertanggung jawab penuh terhadap kebutuhan
anak dan bila ayah kurang mampu dapat dibantu
oleh ibu, status ibu hanyalah membantu tidak
bertanggung jawab penuh, namun kenyataannya
sang ibulah yang lebih peduli terhadap kebutuhan
anak. Hal ini tidak sesuai dengan UU Perkawinan
No. 1 Tahun 1974, Pasal 41 yang menyatakan
bahwa akibat putusnya perkawinan adalah:
a. Baik istri atau suami tetap berkewajiban
memelihara dan mendidik anak-anaknya,
semata-mata berdasarkan kepentingan anak,
bilamana ada perselisihan mengenai
penguasaan anak-anak, pengadilan memberi
putusannya.
b. Suami yang bertanggung jawab atas semua
biaya pemeliharaan dan pendidikan yang
diperlukan anak itu bilamana suami tidak
dapat memberi kewajiban tersebut,
pengadilan dapat menentukan bahwa istri
ikut memikul biaya tersebut.

Setelah terjadi perceraian interaksi anak
dengan orang tua yang terpisah masih tetap
berlangsung, baik interaksi secara langsung
bertatap muka maupun interaksi secara tidak
langsung lewat telpon, SMS, dan lain-lain.
Kaitannya dengan hal ini adalah interaksi untuk
menciptakan kepedulian, kasih sayang, masih
diterima anak dari orang tuanya yang berpisah,
jarangnya pertemuan tidak menentukan, dan yang
terpenting adalah kualitas pertemuan tersebut, di
mana dalam setiap pertemuan orang tua yang
berpisah masih menjalankan peranannya sebagai
seorang yang mensosialisasikan nilai-nilai dan
norma kepada anak-anaknya dengan baik, norma
dan nilai itu disosialisasikan sesuai dengan
perkembangan zaman seperti yang sedang marak
di kalangan remaja kaitannya dalam hal
pergaulan bebas, maupun mengenai narkoba
yang saat ini sangat digandrungi anak-anak muda
bahkan anak-anak kecil yang masih duduk di
sekolah dasar.
Orang tua juga masih mengingatkan
norma dan kebiasaan-kebiasaan dahulu yang
pernah diajarkan dan diterapkan di dalam
keluarga sebelum perceraian terjadi, kebiasaan-
kebiasaan itu antara lain berupa kebiasaan jam
istirahat (tidur siang) ini bagi anak yang belum
berusia remaja alias masih sekolah dasar,
kebiasaan-kebiasaan selanjutnya adalah
mengingatkan supaya rajin sholat, rajin mengaji,
serta mengarahkan hobi informan). Maka dari itu
terbukti para informan setelah perceraian masih
mempunyai perilaku yang positif (baik).

PENUTUP

1. Kepada orang tua yang bercerai hendaknya
tetap memberikan pemenuhan kebutuhan
pangan, sandang, papan (ekonomi), secara
seimbang dari kedua orang tuanya.
2. Orang tua yang sudah bercerai hendaknya
tidak hanya memberikan pendidikan umum
saja, tetapi juga pendidikan agama yang juga
tidak kalah pentingnya dengan pendidikan
umum. Pendidikan agama ini hendaknya
diajarkan oleh orang tua, melalui perilaku-
perilaku yang baik sehingga dapat dijadikan
panduan nilai dan moral sebagai pegangan
hidupnya.
3. Kepada anak yang orang tuanya sudah
berpisah diharapkan tetap menjalankan nilai
dan moral yang baik dalam kehidupan sehari-
hari, walaupun pengawasan dari orang tua
tidak seintens dan seakrab dahulu.
Universitas Sumatera Utara
Jurnal Harmoni Sosial, Januari 2007, Volume I, No. 2

68
DAFTAR PUSTAKA


Betran, L. Alwin. 1980. Sosiologi. Surabaya, PT Bina Ilmu.

Cole, Kelly. 2004. Anak Menghadapi Perceraian Orang Tua. Jakarta, Prestasi Pustakaraya.

Faisal, Sanapiah. 1989. Format-Format Penelitian Sosial. Jakarta, LP3ES.

Gerungan. A.W. 2002. Psikologi Sosial. Jakarta, PT Refika Adhitama.

Goode, William . 1991. Sosiologi Keluarga. Jakarta, Bumi Aksara Jakarta.

Gunarsa, Yulia Singgih D. 2003. Azas-Azas Psikologi Keluarga Idaman. Jakarta, Gunung Mulia.

Horton, Paul B. 1999. Sosiologi Jilid 1 dan 2. Jakarta, Erlangga.

Ihroni, T.O. 1990. Para Ibu yang Berperan Tunggal dan yang Berperan Ganda. Jakarta, Penerbit
Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia .

Kartasapoetra, G. & JB, Kreimers. 1987. Sosiologi Umum. Jakarta, Bina Aksara.

Khairuddin. 1997. Sosiologi Keluarga. Yogyakarta, Liberty Yogyakarta.

Latif, Djamil. 1985. Aneka Perceraian di Indonesia. Jakarta, Ghalia Indonesia.

Mahfuzh, Jamaluddin. 2001. Psikologi Anak dan Remaja Muslim. Jakarta, Al. Al kautsar.

Nakamura, Hisako. 1990. Perceraian Orang Jawa. Yogyakarta, Gajah Mada University Press.

Ramulyo, Mohd. Idris. 1996. Hukum Perkawinan Islam. Jakarta, Bumi Aksara.

Rasjidi, Lili.1983. Alasan Perceraian menurut UU No.1 Th.1974 tentang Perkawinan. Bandung,
Penerbit Alumni.

Sabiq, Syaid. 1996. Fiqih Sunnah. Bandung, PT. Al maarif.

Said, H.A Fuad. 1994. Perceraian menurut Hukum Islam. Jakarta, Pustaka Al-Husna.

Sinolungan.A.E.Pengaruh Keluarga di dalam Masalah Kecenderungan Nakal Siswa Remaja pada
SMA-SMA Manado. Bandung, Departeman P & K.

Soekanto, Soerjono. 1983. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta, Rajawali pers.

Taneko, Soleman B. 1990. Struktur dan Proses Sosial. Jakarta, CV Rajawali.

Universitas Sumatera Utara

You might also like